• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Program SL-PTT Padi Nasional: Analisis Persepsi dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Ke Depan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kinerja Program SL-PTT Padi Nasional: Analisis Persepsi dan Reorientasi Kebijakan Pengembangan Ke Depan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA PROGRAM SL-PTT PADI NASIONAL: ANALISIS PERSEPSI DAN

REORIENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KEDEPAN

Performance of National Rice Integrated Farm Management Field School

Program: Perception Analysis and Future Development Policy Reorientation

I Wayan Rusastra, Herman Supriadi, dan Ashari

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161 E-mail: wrusastra@yahoo.com

Naskah diterima: 14 Mei 2013 Direvisi: 12 November 2013 Disetujui terbit: 29 November 2013

ABSTRACT

Integrated crop management field school (ICM-FS) has been implemented since 2008 and it is burdensome to agricultural development resources. Implementation of the program is dynamic in nature, but its approach and principle are relatively fixed. This study was conducted in five provinces, i.e. West Java, East Java, Yogyakarta, Banten, and South Sumatera, involving 90 respondents consisting of researchers, extension workers, and government’s officials implementing the program. The main analysis applied in this study is respondents’ perception analysis complemented with related data, information and references. Results of the analysis indicated that: (a) ICM-FS as an approach of farm development needs an adaptation and modification for implementing it; (b) successful development of rice ICM-FS requires inter-sector support through synergy and integration of the regional-specific program; and (c) rice productivity improvement of high technical-efficiency rice farming has to take account of inclusive policy options. The policy instrument options to consider are production capacity improvement, availability, access and optimal input use, as well as rice farming diversification. Productivity enhancement should refer to principle of specific-location innovation development in the perspective of sustainable green revolution paradigm.

Keywords: ICM-FS, rice, impact, programs, perception, reorientation, policy, development

ABSTRAK

SL-PTT padi dilaksanakan sejak tahun 2008 dan telah membebani sumber daya pembangunan sektor pertanian yang relatif besar. Dalam tataran operasional telah terjadi dinamika operasional di lapangan, namun pendekatan dan prinsip dasar pengembangannya relatif tetap. Pengkajian dilakukan di lima provinsi yaitu Jabar, Banten, Jatim, DIY Yogyakarta, dan Sumatera Selatan, yang melibatkan 90 responden (peneliti, penyuluh dan pelaksana program) dengan mempertimbangkan analisis persepsi responden, yang dikomplemen dengan data, informasi, dan referensi terkait. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (a) PTT sebagai suatu pendekatan membutuhkan adaptasi dan modifikasi di lapangan; (b) keberhasilan pengembangan SL-PTT padi membutuhkan dukungan lintas sektor melalui integrasi dan sinergi program strategis sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah; dan (c) peningkatan produktivitas padi dalam kondisi efisiensi teknis yang tinggi perlu mempertimbangkan opsi kebijakan secara inklusif. Instrumen kebijakan yang dapat dipertimbangkan adalah peningkatan kapasitas produksi, ketersediaan, akses dan optimalisasi penggunaan saprodi, dan diversifikasi usahatani padi. Peningkatan produktivitas mengacu pada prinsip dasar pengembangan inovasi spesifik lokasi dalam perspektif implementasi paradigma revolusi hijau lestari.

(2)

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi padi menjadi prioritas pembangunan pertanian nasional. Salah satu program andalan Kementerian Pertanian dalam mendukung peningkatan produksi padi adalah PTT yang dimulai sejak tahun 2008. Dalam lima tahun terakhir terdapat dinamika operasional SL-PTT di lapangan, tetapi pendekatan dan prinsip dasarnya relatif tetap. Sejak 2013, unit SL-SL-PTT ditingkatkan dari 25 ha menjadi 1.000 ha, namun tetap menggunakan pendekatan PTT dengan prinsip dasar tetesan minyak melalui perkembangan laboratorium lapang (LL) dan sekolah lapang (SL) dalam operasionalnya (Rusastra, 2012). SL-PTT mencakup empat dimensi pokok yaitu konsepsi program, implementasinya, kebijakan pendanaan, dan dampaknya dalam peningkatan produksi padi nasional.

Dalam tataran konsepsi, SL-PTT tanaman pangan dengan filosofi tetesan minyak, di mana teknologi PTT akan menyebar dari LL ke wilayah SL dan seterusnya ke wilayah di luar SL-PTT, nampak tidak berjalan seperti yang diharapkan. Konsepsi SL-PTT yang cenderung bersifat sentralistik (intervensi pusat yang terlalu dominan) dalam bentuk BLM, seperti bantuan langsung pupuk (BLP) dan bantuan langsung benih unggul (BLBU), berimplikasi negatif terhadap kinerja implementasi dan dampak peningkatan produksi padi.

Dalam konteks implementasi program SL-PTT tanaman pangan beberapa aspek yang dinilai menjadi permasalahan (Rusastra et al., 2011) di antaranya adalah: (a) penyeragaman alokasi jumlah bantuan benih dan pupuk berimplikasi negatif terhadap perakitan/paket teknologi SL-PTT-padi spesifik lokasi; (b) pengadaan benih yang bersifat sentralistik dengan mengedepankan peran BUMN pada kondisi kesiapan industri perbenihan yang berbeda, berpotensi negatif terhadap kelembagaan formal, ketersediaan, dan akses benih oleh petani; (c) variasi intensitas pengawalan/pendampingan antara LL, SL-PTT, dan di luar araeal SL-PTT diduga akan berdampak terhadap kinerja dan pencapaian target peningkatan produksi padi.

Kebijakan dan implementasi pendanaan dinilai sangat penting untuk keberlanjutan dan pengembangan SL-PTT. Sumber pembiayaan SL-PTT tanaman pangan berasal dari APBN dan APBD maupun dana dari pihak swasta/stakeholder yang mencakup dua belas mata-anggaran. Kedua belas mata-anggaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar (Rusastra et al., 2011) yaitu: (a) perbaikan kapasitas produksi pertanian; (b) bantuan alat dan sarana produksi pertanian; (c) pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani; dan (d) pembiayaan terkait dengan kebijakan pendukung keberhasilan peningkatan produksi padi. Alokasi anggaran terkait dengan perbaikan kapasitas produksi dan infrastruktur pertanian relatif terbatas dan terdapat indikasi kuat tidak selalu dikaitkan dengan lokasi pengembangan SL-PTT. Beberapa mata-anggaran penting lainnya tidak dalam kendali Ditjen Tanaman Pangan, dengan implikasi dampak yang lemah terhadap kinerja program di lapangan. Permasalahan sinergi dan integrasi antar berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menentukan keberhasilan SL-PTT-padi akan menjadi permasalahan serius di lapangan.

Permasalahan inheren konsepsi, implementasi program, dukungan kegiatan dan pendanaan SL-PTT secara langsung dan tidak langsung akan berdampak terhadap pencapaian peningkatan produksi pangan nasional. Konsepsi dan implementasi SL-PTT yang cenderung bersifat sentralistik menghambat penciptaan dan penerapan SL-PTT spesifik lokasi. Adanya variasi pendampingan dan pengawalan serta lemahnya dukungan lintas institusi/ditjen teknis/sektoral, secara keseluruhan diduga akan berdampak terhadap pencapaian dampak peningkatan produksi dan keberlanjutan swasembada pangan nasional.

Tujuan dari pengkajian ini adalah menganalisis persepsi responden terhadap konsep dan kebijakan program SL-PTT, dampak implementasi program, dan persepsi terhadap kendala/aspirasi/opsi pengembangan SL-PTT padi menurut AEZ dan jenis padi. Dari hasil analisis ini dirumuskan reorientasi pengembangan program SL-PTT padi ke depan.

(3)

Berdasarkan kriteria: (a) representatif mewakili Jawa dan luar Jawa sebagai daerah sentra produksi padi nasional dan (b) keberagaman pengembangan SL-PTT padi (hibrida, non hibrida, dan padi gogo) dan agroekosistem (lahan irigasi, sawah tadah hujan, lahan kering dan lahan pasang surut), maka terpilih lima provinsi dengan deskripsi sebagai berikut: Jawa Timur (sawah irigasi), Jawa Barat (sawah irigasi dan sawah tadah hujan), Banten (sawah tadah hujan), D I Yogyakarta (lahan kering/gogo), dan Sumatera Selatan (sawah irigasi dan sawah pasang surut). Responden penelitian adalah perencana dan pelaksana SL-PTT di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan kecamatan, serta pelaksana dan peserta SL-PTT padi di tingkat desa yang meliputi PPL (pengawal/pendamping program, ketua/anggota kelompok tani, dan informan lainnya. Total responden dalam melihat persepsi ini mencapai 90 orang yang terdiri dari 33 peneliti, 26 penyuluh, dan 31 pelaksana SL-PTT di lapangan.

KONSEPSI DAN KEBIJAKAN PROGRAM SL-PTT PADI

Beberapa aspek terkait konsepsi dan kebijakan SL-PTT padi mencakup persepsi, prinsip dasar, dan konsepsi SL-PTT; tugas pendampingan dan pengawalan oleh peneliti (Puslit/Balit) dan pengkaji di BPTP; dimensi utama pengembangan usahatani; rancang bangun dan kebijakan keberhasilan SL-PTT; dan dukungan kebijakan peningkatan produksi dan pendapatan SL-PTT padi.

Prinsip Dasar dan Konsepsi SL-PTT

Terkait dengan prinsip dasar dan konsepsi SL-PTT padi secara agregat 42,86 persen responden menyatakan bahwa SL-PTT dengan filosofi tetesan minyak tidak berjalan seperti yang diharapkan. Harapan bahwa teknologi PTT akan menyebar dari LL ke wilayah SL dan seterusmya ke wilayah di luar SL-PTT ternyata tidak sesuai dengan harapan. Dengan memperhatikan lemahnya kinerja implementasi SL-PTT dalam peningkatan produksi padi, maka SL-PTT sebaiknya diarahkan sebagai media penyuluhan dengan penekanan pada penciptaan model SL-PTT spesifik lokasi, yang selanjutnya direplikasi sebagai program peningkatan produksi padi. Tingkat persetujuan responden bahwa SL-PTT diposisikan sebagai media penyuluhan dan model spesifik lokasi mencapai 81,32 persen. Jika gagasan SL-PTT spesifik lokasi dan antisipasi replikasinya dapat diterima, maka program SL-PTT dapat dibatasi, sehingga dana pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih efektif dalam mendukung peningkatan produksi padi nasional. Secara agregat persepsi responden terkait dengan pembatasan program SL-PTT mencapai 74,73 persen, dan tidak terdapat perbedaan persepsi yang berarti di antara tiga jenis responden.

Konsepsi SL-PTT yang bersifat sentralistik dengan intervensi pusat yang dominan dalam bentuk BLM, seperti BLBU (bantuan langsung benih unggul) dan pupuk, menimbulkan beberapa konsekuensi dan dampak. Konsekuensi dan dampak tersebut adalah SL-PTT spesifik lokasi menjadi tidak operasional; berdampak negatif terhadap ketersediaan benih; pemupukan spesifik lokasi menjadi tidak operasional; dan target peningkatan produksi padi tidak tercapai. Persepsi atau tingkat persetujuan responden terhadap keempat aspek tersebut adalah 68,13 persen, 80,22 persen, 59,34 persen, dan 61,54 persen. Dampak negatif SL-PTT sentralistik terhadap ketersediaan benih dinilai cukup signifikan dengan tingkat partisipasi tertinggi yaitu 80,22 persen, dan tidak terdapat perbedaan persepsi yang berarti antara peneliti dan pelaksana di lapangan.

Dalam mendukung keberhasilan konsepsi dan prinsip dasar PTT melalui pendekatan sekolah lapang, beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan (Jamal, 2009) di antaranya adalah: (a) pemantapan pemahaman karakteristik komponen inovasi PTT (inovasi dasar dan pilihan), sehingga petani dapat melakukan pilihan inovasi secara tepat berdasarkan local knowledge yang dimilikinya; (b) peningkatan kapasitas dan kemampuan penyuluh agar dapat melakukan modifikasi pendekatan sehingga aktivitas kelompok dan proses pembelajaran dapat berjalan secara berkelanjutan; (c) pemantapan proses dan pembentukan kelompok tani berdasarkan domisili agar

(4)

tetap sejalan dengan konsep LL dan SL yang menghendaki kebersamaan petani dalam satu hamparan; dan (d) proses pengenalan dan implementasi konsep/pendekatan PTT melalui sekolah lapang membutuhkan pendekatan multicara dan multimedia melalui sinergi program terkait di daerah dan nasional.

Tugas Pendampingan dan Pengawalan

Tugas pendampingan dan pengawalan yang dilakukan peneliti Puslitbang Tanaman Pangan, yang sepatutnya dilakukan oleh dinas teknis di daerah adalah: (a) menyediakan benih padi untuk uji adaptasi dan demo-plot PTT di LL; (b) menjadi narasumber teknologi usahatani padi pada pelatihan PL-1 di tingkat provinsi; (c) melakukan supervisi penerapan teknologi melalui kunjungan lapang tiga kali per tahun; dan (d) memberikan saran pemecahan masalah pengamanan produksi padi di lapangan. Penyuluh memberikan tingkat persetujuan yang tinggi terhadap keempat aspek ini, yang berarti sebaiknya penugasan tersebut dilakukan oleh aparat dinas di daerah. Sementara, menurut peneliti kegiatan uji adaptasi benih dan demo-plot PTT; dan narasumber teknologi pada pelatihan PL-1, dengan tingkat persetujuan rendah yaitu 57,58 persen dan 54,55 persen. Secara agregat dua aspek pertama memiliki tingkat persetujuan moderat (60-70%), dan untuk aspek dua terakhir memiliki tingkat persetujuan tinggi (di atas 70%). Dapat dinyatakan bahwa supervisi penerapan teknologi dan pemecahan masalah pengamanan produksi padi dapat dilakukan oleh dinas teknis dan jajarannya di daerah, di mana pendapat ini didukung oleh ketiga jenis responden (peneliti/penyuluh/pelaksana).

Tugas pengawalan SL-PTT padi yang dilakukan oleh peneliti BPTP, yang sepatutnya dilakukan oleh dinas teknis di daerah mencakup lima aspek yaitu: (a) melaksanakan demo-plot PTT dan super-imposed uji adaptasi usahatani padi; (b) menjadi narasumber teknologi usahatani padi pada pelatihan PL-2 di tingkat kabupaten; (c) memonitor perkembangan OPT bersama-sama dengan instansi terkait di daerah; (d) melakukan supervisi penerapan teknologi usahatani padi di lapangan; dan (e) memberikan saran pemecahan masalah pengamanan produksi padi. Penyuluh dan pelaksana di lapangan memberikan tingkat persetujuan yang sangat tinggi terhadap kelima aspek tersebut. Sementara itu, peneliti (termasuk pengkaji di BPTP) memberikan tingkat persetujuan moderat terhadap dua aspek pertama, dan persepsi tinggi terhadap tiga aspek terakhir. Dalam konteks ini dapat dinyatakan bahwa kegiatan monitoring perkembangan OPT; supervisi penerapan teknologi; dan pengamanan produksi padi dapat diserahkan kepada dinas teknis dan jajarannya di lapangan. Secara agregat tingkat persepsi (persetujuan) terhadap ketiga aspek terakhir ini mencapai 89,01 persen, 82,42 persen, dan 87,92 persen.

Dimensi Utama Pengembangan Usahatani

Keberhasilan pengembangan program SL-PTT padi akan ditentukan oleh eksistensi dimensi utama pengembangan usahatani yang mencakup: (a) kapasitas produksi dalam bentuk teknologi potensial dan kualitas lahan; (b) kondisi irigasi dan infrastruktur pertanian dan perdesaan; (c) dukungan kelembagaan yang dapat menjamin ketersediaan dan akses teknologi, sarana produksi, alsintan, penanganan panen/pasca panen, dan pemasaran hasil; dan (d) eksistensi kebijakan dan program perbaikan kemampuan manajemen petani yang mencakup penyuluhan/studi banding/pelatihan, dan lain lain. Persepsi (tingkat persetujuan) peneliti, penyuluh, dan pelaksana program SL-PTT padi terhadap keempat dimensi tersebut termasuk kategori tinggi (di atas 70%), dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antarketiga jenis responden. Secara agregat, tingkat partisipasinya untuk keempat dimensi utama pengembangan usahatani adalah: kapasitas usahatani padi (86,81%), infrastruktur irigasi/pertanian/perdesaan (85,71%), eksistensi kelembagaan pendukung (92,31%), dan kebijakan pengembangan kemampuan manajemen petani (90,11 %).

Analisis persepsi terkait dengan dimensi utama pengembangan usahatani padi tersebut sejalan dengan penelitian Kariyasa (2011) terkait dengan pengembangan SL-PTT jagung dengan deskripsi ringkas sebagai berikut: (a) dukungan infrastruktur dan kebijakan pengembangan mampu

(5)

meningkatkan produktivitas jagung sebesar 9,81 persen dan pendapatan petani sebesar Rp1,5 juta/ha; (b) dibutuhkan prioritas pemantapan pengembangan infrastruktur transportasi dan pemasaran serta dukungan kebijakan pemerintah khususnya di wilayah marjinal; (c) pengembangan pasar input yang kompetitif yang dapat mencegah volatilitas harga sehingga dapat memberikan insentif yang memadai bagi petani dalam peningkatan produksi tanaman pangan.

Rancang Bangun dan Kebijakan SL-PTT

Keberhasilan program SL-PTT di lapangan akan ditentukan oleh rancang bangun dan dukungan kebijakan keberhasilan program yang mencakup: (a) penetapan lokasi yang diawali identifikasi kendala utama pencapaian keberhasilan program SL-PTT; (b) uji adaptasi kesesuaian paket teknologi PTT, sehingga efektif dan efisien dalam pencapaian sasaran peningkatan produksi; (c) pengawalan dan pendampingan oleh peneliti BPTP dinilai tidak tepat; (d) pengawalan dan pendampingan oleh dinas teknis dinilai belum optimal; dan (e) program SL-PTT, sesuai dengan kebutuhan lapangan, didukung oleh program strategis pertanian (seperti JITUT, JIDES, PUAP, KUR, KPKPE, dll). Dari kelima aspek tersebut, ketiga jenis responden menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aspek ketiga bahwa pengawalan dan pendampingan SL-PTT oleh BPTP tidak tepat. Tingkat partisipasi (persetujuan) terhadap aspek ini sangat rendah, dengan nilai agregat 25,28 persen yang menunjukkan bahwa mereka masih mengharapkan peran BPTP dalam pengawalan dan pendampingan SL-PTT di lapangan.

Informasi yang dinilai cukup mengesankan adalah tingkat persepsi yang tinggi terhadap eksistensi dukungan program strategis pertanian terhadap pelaksanaan SL-PTT. Tingkat persetujuannya secara agregat mencapai 90,11 persen, dan tidak terdapat perbedaan yang berarti antarketiga jenis responden. Ketiga aspek lainnya memiliki tingkat persetujuan tinggi, yaitu adanya identifikasi dalam penetapan lokasi SL-PTT (92,31%), dilakukannya uji adaptasi paket teknologi PTT (85,71%), dan pengawalan dan pendampingan oleh dinas teknis di daerah dinilai belum optimal dan masih perlu ditingkatkan dengan tingkat persetujuan responden secara agregat mencapai 80,22 persen.

Tidak dapat dipungkiri bahwa program SL-PTT telah meningkatkan dinamika kelompok tani dan kinerja penyuluhan dan pendampingan (Nurasa dan Supriadi, 2012). Pengenalan varietas unggul baru, padi hibrida, penggunaan pupuk organik, dan sistem tanam bibit muda telah mulai diadopsi petani. Dapat dinyatakan bahwa pada derajat tertentu program perbenihan telah diadopsi petani. Dampak SL-PTT relatif bervariasi, di mana dampak signifikan nampak pada wilayah dimana persepsi dan adopsi benih unggul berkualitas relatif rendah. Keberhasilan program SL-PTT

akan sangat ditentukan oleh optimalisasi pengawal teknologi yang dikomplemen dengan

ketersediaan dan akses terhadap informasi, saprodi dan permodalan usahatani.

Dukungan Kebijakan Strategis Pengembangan

Dalam rangka pencapaian dampak peningkatan produksi dan pendapatan petani, program SL-PTT padi sepatutnya mendapatkan dukungan sejumlah kebijakan strategis sebagai berikut: (a) ketersediaan dan akses terhadap teknologi, sarana produksi utama seperti benih, pupuk, dan obat-obatan; (b) ketersediaan dan akses terhadap sarana/prasarana panen dan pasca panen; (c) pengembangan infrastruktur, dan sistem serta efisiensi pemasaran yang baik dan efisien; (d) subsidi sarana produksi dan kebijakan proteksi/stabilisasi harga gabah/beras; dan (e) sinergi kebijakan pertanian nasional dan kebijakan pertanian/agribisnis daerah. Responden memberikan dukungan positif kuat terhadap kelima kebijakan strategis ini, dengan tingkat persepsi secara agregat dengan tingkat persetujuan tinggi dengan nilai di atas 90,0 persen. Tidak terdapat perbedaan persepsi yang berarti antarpeneliti, penyuluh, dan pelaksana program SL-PTT.

Menurut Alihamsyah et al. (2011) di samping pemantapan dalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan dukungan kebijakan pengembangan SL-PTT dalam arti luas, maka aspek

(6)

monitoring dan evaluasi perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Alokasi dana operasional pendampingan dan pembinaan perlu dipersiapkan secara memadai bagi institusi penyuluhan untuk memperluas dan meningkatkan kinerja pendampingan dan pembinaan serta pelaporan SL-PTT. Perhatian khusus perlu diberikan pada pemberdayaan kelompok tani dengan memperhatikan keberagaman status petani, penguasaan lahan, dan kemampuan adopsi inovasi.

IMPLEMENTASI DAN DAMPAK PROGRAM SL-PTT PADI

Pada subbahasan berikut dibahas beberapa aspek terkait dengan persepsi responden (penyuluh, peneliti dan pelaksana) terhadap implementasi dan dampak SL-PTT padi yang mencakup: (a) dimensi implementasi SL-PTT padi dikaitkan dengan perencanaan/pedoman umum; (b) pengadaan dan ketersediaan benih dan pupuk dalam pengelolaan SL-PTT; (c) kinerja implementasi SL-PTT padi; (d) misalokasi anggaran SL-PTT yang diindikasikan oleh tidak adanya sinergi dan integrasi; (e) kinerja dan dampak program SL-PTT padi; dan (f) antisipasi pengembangan SL-PTT menurut AEZ dan jenis padi (hibrida dan nonhibrida).

Implementasi Program SL-PTT Padi

Dimensi implementasi SL-PTT padi dikaitkan dengan pedoman umum sebagai basis perencanaan menunjukkan bahwa persiapan SL-PTT didominasi oleh penetapan lokasi LL dan peserta SL dengan tingkat partisipasi tinggi 74,73 persen (di atas 70%). Sementara itu peserta SL-PTT dimaknai sebagai penerima BLBU memiliki tingkat partisipasi moderat yaitu 67,03 persen (60-70%). Banyak hal yang masih perlu dilakukan agar penetapan CPCL memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan introduksi teknologi SL-PTT agar mempertimbangkan hasil kajian kebutuhan dan peluang (KKP) pengembangan SL-PTT padi. Khusus untuk aspek terakhir, peserta SL-PTT dimaknai hanya sebagai penerima BLBU, terdapat perbedaan persepsi yang signifikan antara peneliti (78,79%), penyuluh (69,23%), dan pelaksana program dengan tingkat persetujuan hanya 54,84 persen (Tabel 1).

Tabel 1. Persepsi Responden terhadap Implementasi SL-PTT Padi Dikaitkan dengan Perencanaan/Pedum di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%)1)

No Dimensi implementasi Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Persiapan didominasi penetapan lokasi LL dan peserta SL

81,82 73,08 70,97 74,73

2. Penetapan CPCL tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan/kriteria

33,33 57,69 54,84 47,25

3. Introduksi teknologi SL-PTT belum mengacu hasil KKP

57,58 46,15 51,61 51,65

4. Kebutuhan saprodi hanya benih dan pupuk (peserta SL-PTT dimaknai hanya sebagai penerima BLBU)

78,79 69,23 54,84 67,03

Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

(7)

Ketersediaan dan akses benih dengan prinsip enam tepat menjadi kunci keberhasilan SL-PTT. Pengadaan benih dan pupuk yang bersifat sentralistik dengan mengedepankan peran BUMN dinyatakan berdampak buruk terhadap prinsip enam tepat dalam ketersediaan benih, dan juga berdampak negatif terhadap pengembangan industri perbenihan di daerah, masing-masing dengan tingkat partisipasi 80,22 persen dan 76,92 persen (Tabel 2). Sementara itu, dampaknya terhadap eksistensi SL-PTT spesifik lokasi bersifat moderat dengan tingkat partisipasi 67,03 persen. Perbedaan persepsi muncul cukup tajam antara peneliti dan pelaksana dengan penyuluh. Persepsi penyuluh adalah tidak ada permasalahan terkait dengan eksistensi SL-PTT spesifik lokasi kaitannya dengan manajemen sentralistik pengadaan benih padi.

Opsi pengadaan benih terkait prinsip enam tepat yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) sistem kontraktual pengadaan benih (kepada BUMN atau swasta), khususnya di daerah baru pengembangan, di mana kemampuan pelaku industri perbenihan belum berkembang secara baik; (b) dalam hal pelaku industri perbenihan telah berkembang dengan baik, dapat dilakukan model BLM (langsung rekening kelompok), dan kelompok dapat mengadakan benih secara mandiri; dan (c) akomodasi kedua pemikiran tersebut diharapkan dapat mendukung pengembangan sistem perbenihan formal, sehingga jaminan terhadap ketersediaan dan akses benih padi dapat dicapai dengan lebih baik. Secara agregat, responden memberi dukungan penuh terhadap gagasan tersebut yang ditunjukkan oleh tingkat partisipasi persetujuan yang tinggi, masing-masing dengan nilai 87,91 persen, 90,11 persen, dan 93,41 persen.

Tabel 2. Persepsi Responden terhadap Pengadaan dan Ketersediaan Benih/Pupuk dalam Pengelolaan SL-PTT Padi di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%)1)

No Pengadaan dan ketersediaan saprodi Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Dampak manajemen sentralistik a. Eksistensi SL-PTT spesifik lokasi

b. Ketersediaan saprodi (benih) tidak

memenuhi azas 6 tepat

c. Kinerja industri perbenihan daerah

84,85 87,88 90,91 42,31 73,08 61,54 70,97 80,65 77,32 67,03 80,22 76,92 2. Opsi pengadaan benih terkait prinsip 6 tepat

a. Sistem kontrak dengan BUMN &

swasta

b. Model BLM & kelompok mandiri

c. Kedua opsi tsb mendukung

pengembangan sistem perbenihan formal 90,91 93,94 96,97 88,46 88,46 92,31 87,10 90,32 93,55 87,91 90,11 93,41 Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

tahu.

Kinerja implementasi SL-PTT menunjukkan beberapa indikasi sebagai berikut (Tabel 3): (a) pengadaan sarana produksi (benih dan pupuk) belum sesuai dengan prinsip enam tepat, bahkan terdapat varietas benih yang tidak sesuai dan dengan daya tumbuh rendah (partisipasi responden tinggi, 82,42%); (b) penerapan teknologi SL-PTT di lapangan sangat ditentukan oleh status dominan petani sebagai petani penggarap (75,82%); (c) pelatihan bagi petugas SL-PTT (PL-II dan PL-III) berjalan relatif baik, sementara pelatihan bagi petani belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan (73,63%); (d) aspek dengan nilai partisipasi moderat adalah pertemuan dengan petani belum sesuai persyaratan (8 kali/musim) (tingkat partisipasi responden 65,93%); dan petani menilai bahwa penerapan teknologi SL-PTT adalah penerapan VUB melalui BLBU (patisipasi 60,44%); dan (e) aspek dengan tingkat partisipasi/persetujuan relatif rendah (di bawah 60%) adalah pemahaman komponen teknologi SL-PTT masih rendah dan pemahaman penyuluh terhadap irigasi intermiten dan pemupukan spesifik lokasi masih rendah.

(8)

Tabel 3. Persepsi Responden terhadap Implementasi SL-PTT Padi di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Kinerja implementasi SL-PTT Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Pelatihan petugas SL-PTT relatif baik, tetapi pelatihan petani kurang

75,76 80,77 67,74 73,63

2. Pertemuan petani belum sesuai persyaratan (8 kali/semusim)

63,64 61,54 74,19 65,93

3. Pengadaan saprodi belum sesuai prinsip 6 tepat

81,82 76,92 90,32 82,42

4. Pemahaman komponen teknologi SL-PTT

relatif rendah

63,64 57,69 58,07 59,34

5. Pemahaman penyuluh terhadap

intermitten & pemupukan spesifik lokasi masih rendah

63,64 38,46 48,39 50,55

6. Petani menilai penerapan teknologi SL-PTT adalah penerapan VUB dari BLBU

69,70 65,39 48,39 60,44

7. Penerapan teknologi dipengaruhi status petani penggarap

75,76 76,92 77,42 75,82

Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian 2)

Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak tahu

Implikasi dari informasi terkait dengan implementasi SL-PTT padi adalah beberapa aspek yang perlu mendapatkan penanganan penting adalah peningkatan intensitas dan kualitas pertemuan dan pelatihan bagi petani, pengadaan saprodi agar mengacu pada prinsip enam tepat, perbaikan kelembagaan bagi hasil agar kondusif dalam adopsi teknologi, dan peningkatan pemahaman petani tentang konsepsi dan esensi peran teknologi dalam arti luas terkait pengembangan SL-PTT padi. Ancaman yang perlu diantisipasi adalah kebijakan sentralistik dan buruknya koordinasi instansi terkait serta terbatasnya penyuluh pendamping (Supriadi, 2013). Dinyatakan bahwa program indikatif yang perlu dipertimbangkan adalah mengembangkan ketersediaan dan akses saprodi dan modal, evaluasi kelayakan teknologi, meningkatkan jumlah dan materi penyuluhan, dan memfungsikan penangkar benih lokal.

Dari empat mata anggaran yang dianalisis berdasarkan persepsi responden menunjukkan bahwa perbaikan kapasitas produksi pertanian yang mencakup dua komponen JITUT, JIDES, optimasi lahan, dan cetak sawah; serta rehabilitasi jaringan irigasi ditanggapi responden secara agregat dengan tingkat partisipasi moderat (61,0-64,0%). Bantuan alat dan sarana produksi pertanian yang mencakup tiga mata anggaran yaitu Bansos dengan pola BLM; bantuan alat dan mesin pertanian; serta bantuan perontok mekanis, dengan tingkat persetujuan/partisipasi rendah (di bawah 60%). Pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani yang mencakup empat mata anggaran (pelatihan PL-II dan PL-III; pendampingan SL-PTT; pendampingan teknologi; dan pengendalian OPT) juga memiliki tingkat partisipasi rendah dan moderat, dengan kisaran 52,0 persen-66,0 persen (Tabel 4).

(9)

Tabel 4. Persepsi Responden terhadap Misalokasi Anggaran SL-PTT Padi (Tidak Sinergis dan Terintegrasi) di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Misalokasi anggaran SL-PTT Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Perbaikan kapasitas produksi pertanian

a. JITUT, Jides, optimasi lahan dan

cetak sawah

b. Rehabilitasi jaringan irigasi

72,73 72,73 46,15 53,85 64,52 64,52 61,54 63,74 2. Bantuan alat dan sarana produksi

pertanian

a. Bansos dengan pola BLM b. Bantuan alat& mesin pertanian

c. Bantuan perontok mekanis dan

pengering 51,52 54,55 57,58 42,31 50 53,85 51,61 45,16 51,61 48,35 49,45 53,85 3. Pemberdayaan dan perbaikan manajemen

petani

a. Pelatihan PL-II dan PL-III

b. Pendampingan SL-PTT c. Pendampingan teknologi d. Pengendalian OPT 42,42 48,49 66,67 54,55 57,69 61,58 73,08 69,23 61,29 54,84 61,29 61,29 52,74 53,85 65,93 60,44 4. Kebijakan pendukung keberhasilan

SL-PTT

a. Peningkatan produksi tanama pangan b. Kemitraan pengembangan agribisnis

c. Pembinaan, monev, dan pelaporan

SL-PTT 51,52 69,70 48,49 50 53,85 53,85 45,16 54,84 54,84 48,35 59,34 51,65 Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

tahu

Kebijakan pendukung keberhasilan SL-PTT yang mencakup tiga kegiatan yaitu kebijakan peningkatan produksi, program kemitraan, dan pembinaan/monev/pelaporan, memiliki tingkat partisipasi rendah dengan kisaran 48,0 persen-60,0 persen. Dalam konteks politik anggaran dapat dinyatakan bahwa skala prioritas dukungan pendanaan lintas institusi dan lintas sektor yang dibutuhkan adalah perbaikan kapasitas produksi pertanian; pemberdayaan dan perbaikan manajemen petani, dan bantuan alat dan sarana produksi pertanian. Ketiganya ini perlu dikomplemen dengan kebijakan pendukung keberhasilan program SL-PTT padi.

Dalam perspektif sinergi program strategis untuk pemenuhan permodalan pengembangan SL-PTT padi patut dipertimbangkan integrasi dan sinergi program PUAP dengan justifikasi dan antisipasi (Darwis dan Rusastra, 2011; Hartono et al. 2013): (a) peningkatan efektivitas dan efisiensi penyaluran kredit karena adanya sinergi pemantapan pengembangan kelembagaan kelompok penerima program; (b) eksistensi dan ketersediaan dan akses permodalan terkait dengan pengembangan kapasitas produksi dan infrastruktur usahatani padi, disamping pengembangan program pemberdayaan; dan (c) sinergi PUAP dengan SL-PTT dengan sasaran membangun lembaga keuangan mandiri dengan mempertimbangkan karakteristik kelompok dan modal sosial masyarakat diharapkan dapat memantapkan akselerasi keberhasilan peningkatan produksi padi nasional.

(10)

Dampak Program SL-PTT Padi

Dampak implementasi program terhadap kinerja SL-PTT padi mencakup dua aspek utama yaitu: (a) dampak ketersediaan saprodi (benih dan pupuk) dan pengawalan/pendampingan; dan (b) dampak belum optimalnya implementasi dan koordinasi SL-PTT. Aspek pertama mencakup tiga komponen yaitu: (i) di dalam SL-PTT padi, prioritas pengawalan diarahkan di areal LL dibandingkan dengan di areal SL-PTT; (ii) karena konsentrasi pengawalan/ pendampingan terhadap areal SLPP, maka penanganan penyuluhan dan perbaikan manajemen petani di luar SL-PTT relatif tertinggal; (iii) konsekuensinya peningkatan produksi di areal LL lebih tinggi dibandingkan dengan di areal SL, dan di areal SL-PTT lebih tinggi daripada di luar SL-PTT.

Hasil analisis menunjukkan bahwa persepsi petani memperlihatkan tingkat persetujuan yang tinggi terhadap ketiga komponen aspek tersebut, dengan tingkat partisipasi di atas 70 persen. Komponen aspek kedua (optimalisasi dan koordinasi yang belum berjalan seperti yang diharapkan) berdampak tidak maksimal terhadap: (i) peningkatan produktivitas di areal LL; (ii) peningkatan produktivitas di areal SL; (iii) peningkatan produktivitas di luar SL-PTT; dan (iv) dampak peningkatan produksi padi tidak maksimal. Persepsi responden terkait dengan belum optimalnya implementasi dan koordinasi SL-PTT menunjukkan bahwa respon responden dengan tingkat persetujuan tinggi (di atas 70,0%), masing-masing dengan nilai 74,73 persen, 78,02 persen, 75,82 persen, dan 73,63 persen (Tabel 5).

Tabel 5. Persepsi Responden terhadap kinerja dan Dampak Program SL-PTT Padi di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Kinerja & dampak Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Ketersediaan saprodi dan kinerja pengawalan/ pendampingan

a. Prioritas pengawalan di areal LL vs SL b. Perbaikan manajemen petani di luar areal

SL-PTT tertinggal c. Peningkatan produksi LL>SL; SL-PTT>non-SL-PTT 75,76 75,76 84,85 65,39 69,23 76,92 70,97 74,19 80,65 70,33 72,53 80,22 2. Dampak belum optimalnya implementasi &

koordinasi SL-PTT

a. Peningkatan produktivitas di areal LL tidak maksimal

b. Peningkatan produktivitas di areal SL tidak maksimal

c. Peningkatan produktivitas du luar SL-PTT tidak maksimal

d. Dampak peningkatan produksi padi tidak

maksimal 81,82 81,82 84,85 81,82 73,08 76,92 73,08 57,69 70,97 77,42 70,97 80,65 74,73 78,02 75,82 73,63 Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

tahu

Pengembangan SL-PTT padi berdampak positif terhadap efisiensi usahatani, produktivitas, pendapatan, dan ketahanan pangan rumah tangga petani (Supriadi, 2013; Suharyanto, 2014). Tingkat efisiensi teknis usahatani alumni SL-PTT relatif tinggi (>70%) dan sekitar 15,8 persen lebih tinggi dibandingkan petani bukan alumni SL-PTT. Hasil penelitian di tiga kabupaten (Subang, Madiun dan OKU Timur) diperoleh peningkatan produktivitas sekitar 8,3 persen dan pendapatan sekitar Rp1,34 juta/ha. Hasil kajian di Bali menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga alumni SL-PTT lebih tinggi dibandingkan bukan alumni.

(11)

Pengembangan SL-PTT Padi menurut AEZ dan Jenis Padi

Kendala dan antisipasi SL-PTT menurut AEZ menunjukkan bahwa tingkat persepsi responden terhadap keempat indikator yang ditetapkan memiliki nilai tinggi (di atas 70,00%) dengan kisaran 74,00-83,00 persen. Tidak terdapat perbedaan yang berarti antarkelompok responden, kecuali untuk indikator “kesenjangan hasil lahan suboptimal lebih besar dari lahan irigasi”, di mana responden penyuluh memberikan respon moderat dengan tingkat persepsi 61,54 persen (Tabel 6).

Tabel 6. Persepsi Responden terhadap Kendala dan Antisipasi SL-PTT Padi menurut AEZ dan Jenis Padi di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Kendala dan antisipasi SL-PTT Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Menurut AEZ

a. Kendala di lahan sub-optimal lebih besar vs lahan irigasi

b. Kesenjangan hasil lahan

suboptimal>lahan irigasi

c. Peningkatan hasil lahan sub-optimal lebih sulit vs lahan irigasi

d. Kompleksitas kendala pengembangan di

lahan suboptimal lebih besar

78,79 78,79 72,73 84,85 80,77 61,54 73,08 84,62 90,32 83,87 80,65 80,65 82,42 74,75 74,75 82,42 2. Menurut jenis padi (hibrida vs non-hibrida)

a. Hibrida produktivitas tinggi, tetapi biaya produksi besar

b. Hibrida memerlukan perawatan intensif , risiko gagal besar

c. Rasa/taste beras hibrida tidak sesuai dengan preferensi konsumen

d. Ketersediaan dan akses benih hibrida

relatif sulit

e. Pendapatan dan B/C rastio usahatani

hibrida lebih rendah

78,79 84,85 63,64 84,85 66,67 88,46 88,46 61,54 88,46 65,39 77,42 93,55 61,29 93,55 67,74 80,22 87,91 61,54 87,91 65,93 Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

tahu

Persepsi responden terhadap kinerja dan antisipasi pengembangan SL-PTT padi hibrida versus nonhibrida terkait dengan dua indikator pertama dan indikitor keempat (ketersediaan dan akses benih hibrida relatif sulit) menunjukkan tingkat persetujuan tinggi dengan kisaran partisipasi agregat 80,00-88,00 persen (Tabel 6). Sementara itu, indikator “rasa/taste beras hibrida tidak sesuai dengan preferensi konsumen” dan “pendapatan dan B/C ratio usahatani padi hibrida lebih rendah” mendapatkan respon moderat (60-70%). Hal ini mengindikasikan kehadiran varietas hibrida yang sudah mulai dapat diterima responden/masyarakat dengan rasa nasi yang semakin sesuai dengan keinginan konsumen.

Dibandingkan dengan padi inbrida, padi hibrida melalui pengembangan SL-PTT memberikan respon peningkatan produktivitas yang lebih tinggi (11,8% berbanding 8,25%) dan peningkatan pendapatan Rp2,54 juta berbanding Rp1,34 juta/ha (Supriadi, 2013). Bantuan saprodi dan benih (BLBU) tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi padi inbrida tetapi nyata pada padi hibrida. Padi hibrida berpotensi dalam memacu pertumbuhan produksi padi

(12)

nasional karena memiliki potensi hasil yang tinggi (10 ton/ha) seperti Hipa 7 dan Hipa 8 (Satoto et al., 2012).

Secara umum dapat dinyatakan bahwa pendekatan PTT dan sekolah lapang (SL-PTT) berdampak positif terhadap efektivitas dan efisiensi adopsi teknologi, peningkatan produktivitas padi, perbaikan keuntungan dan pendapatan petani, namun karena rataan luas garapan yang relatif sempit maka diversifikasi usaha dan kesempatan kerja rumah tangga petani itu menjadi sangat penting (Adnyana dan Kariyasa, 2006; Suhendrata, 2008; dan Tarigan, 2010).

KENDALA DAN OPSI PENGEMBANGAN SL-PTT

Beberapa aspek terkait dengan bahasan ini adalah: (a) kendala dan permasalahan pelaksanaan SL-PTT; (b) aspirasi petugas dan petani terkait dengan pelaksanaan SL-PTT; (c) beberapa pilihan pengembangan kedepan yang mencakup: (i) SL-PTT dengan pendekatan sentralistik, (ii) percepatan pengembangan dan penerapan PTT (P3PTT), dan (iii) model PTT-Plus melalui pengembangan industri berbasis padi. Secara terinci aspek-aspek tersebut akan dibahas dengan urutan seperti urutan aspek sebelumnya.

Kendala dan Permasalahan Pelaksanaan

Kendala dan permasalahan umum dalam pelaksanaan SL-PTT padi di lapangan, mencakup beberapa aspek yaitu: (a) tingginya keberagaman kondisi calon lokasi SL-PTT padi (homogenitas, luasan hamparan, dan AEZ); (b) penyuluh memperoleh pelatihan yang relatif terbatas, sehingga dibutuhkan ‘Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis’ SL-PTT di lapangan; (c) ketidaktepatan jadual tanam, karena tidak terpenuhinya prinsip enam tepat penyediaan benih, kendala infrastruktur/air irigasi, dan perubahan iklim; (d) keterbatasan dana pengadaan sarana produksi (selain benih), dan dana untuk memfasilitasi pertemuan kelompok tani; (e) lemahnya koordinasi dan konsolidasi antarinstitusi yang terlibat dalam pelaksanaan SL-PTT padi di lapangan; (f) keterbatasan pengetahuan dan sarana (publikasi dan alat bantu) yang dimiliki pemandu lapang, dan belum terlaksananya dengan baik pelatihan di tingkat lapangan; (g) belum adanya sistem manajemen informasi dan pengawalan yang terintegrasi antara Dinas Pertanian dengan Badan/Kantor Penyuluhan dan BPTP; dan (h) ketidakkonsistenan kebijakan yang mengakibatkan kepercayaan berbagai pihak menurun, sehingga berdampak negatif terhadap kinerja SL-PTT padi di lapangan.

Persepsi responden terhadap kendala dan permasalahan pelaksanaan SL-PTT padi menunjukkan bahwa kedelapan indikator memberikan respons persetujuan/persepsi yang tinggi (di atas 70,00%) dengan kisaran 73,00 persen (inkonsistensi kebijakan dan penurunan kepercayaan pihak terkait) sampai dengan 92,30 persen untuk indikator ‘ketidaktepatan jadual tanam’. Dari kedelapan indikator tersebut terdapat konsistensi penilaian antara responden peneliti, penyuluh, dan pelaksana program SL-PTT di lapangan.

Aspirasi Pelaksanaan SL-PTT Padi

Persepsi dan aspirasi petugas mencakup aspek kebutuhan akan peningkatan koordinasi dan komunikasi antar institusi; dibutuhkan Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis, monitoring dan evaluasi secara berkala, peningkatan fasilitas dan dana operasional bagi pemandu dan penyuluh lapangan, dan peningkatan kapasitas penyuluh dan pendamping. Tingkat partisipasi penilaian responden terhadap kedelapan indikator tersebut dinilai sangat tinggi (dengan tingkat partisipasi diatas 90,0 persen). Demikian juga halnya dengan persepsi dan aspirasi petani, tingkat persetujuan responden sangat tinggi terhadap ketiga indikator yang diajukan, yaitu SL-PTT dinilai bermanfaat sehingga perlu dilanjutkan; perbaikan penyediaan benih dan pupuk sesuai dengan azas enam tepat; dan kegiatan SL-PTT kurang sesuai dengan jadual pembelajaran yang telah disepakati, sehingga dibutuhkan koordinasi yang lebih baik antar instansi yang terkait.

(13)

Di samping pemecahan masalah terhadap kendala dan pelaksanaan SL-PTT padi di lapangan, permasalahan mendasar yang perlu diperhatikan adalah eksistensi terkait dengan efisiensi (teknis dan alokatif) usahatani, dan peningkatan peran usahatani padi sebagai sumber utama pendapatan keluarga petani (Suharyanto, 2014). Kebijakan strategis yang dapat dipertimbangkan di antaranya adalah optimalisasi penggunaan input produksi dan meningkatkan kapasitas produksi usahatani, realokasi penggunaan input mengingat dampak pencapaian efisiensi alokatif yang cukup besar, kebijakan subsidi harga input produksi; dan penerapan PTT dalam perspektif penerapan usahatani integrasi tanaman dengan ternak.

Opsi Pengembangan Teknologi PTT

Dalam rangka peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padi melalui pengembangan teknologi PTT ke depan ditawarkan tiga program berikut kegiatannya, sbb:

(a) Meneruskan program SL-PTT padi dengan pendekatan sentralistik, dimana BP2SDM Pertanian sebagai pelaksana utama, dengan perbaikan aspek teknis dan manajemen, dan jumlah unit SL-PTT disesuaikan kapasitas SDM penyuluh dan situasi/kondisi lapangan; (b) Program yang bersifat terdesentralisasi, dalam format ‘Percepatan Pengembangan dan

Penerapan PTT (P3PTT)’ dengan menempatkan pemerintah daerah sebagai pelaksana utama, sedangkan pemerintah pusat bertindak sebagai partner dalam perencanaan dan evaluasi; (c) Pengkajian model pengembangan sistem produksi melalui inovasi PTT (seperti MP3MI)

berbasis inovasi PTT-padi yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian melalui BPTP, sehingga terbangun SL-PTT padi spesifik lokasi yang terencana dan terlaksana secara baik dan sistematis.

Dari ketiga opsi ini diharapkan setiap institusi dapat berperan sesuai dengan tupoksinya, dan sasaran peningkatan produksi dan kesejahteraan petani melalui SL-PTT padi dapat tercapai dengan baik. Ketiga opsi pengembangan PTT tersebut mendapatkan tanggapan positif dengan tingkat partisipasi yang tinggi dari responden, dengan kisaran nilai 81,00 persen-91,00 persen (Tabel 7). Pilihan ketiga opsi tersebut akan memungkinkan setiap institusi dapat berperan sesuai dengan tupoksinya, dan indikator terakhir ini mendapatkan respon sangat tinggi dari responden dengan nilai 91,21 persen.

Tabel 7. Persepsi Responden terhadap Opsi Pengembangan Teknologoi PTT ke Depan di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Opsi program/kegiatan Peneliti Penyuluh Pelaksana Total 1. SL-PTT dengan pendekatan sentralistik

• BP2SDM Pertanian sebagai pelaksanan utama

• Penyesuaian jumlah unit SL-PTT

78,79 96,15 74,19 81,32

2. Program SL-PTT terdesentralisasi

• Pemda sebagai pelaksana utama

• Pusat sebagai partner dalam perencanaan dan evaluasi

96,97 88,46 77,42 86,81

3. Model pengembangan berbasis inovasi PTT (seperti MP3MI)

96,97 88,46 90,32 91,21 4. Dari ketiga opsi, setiap institusi dapat berperan

sesuai Tupoksi

93,94 96,15 87,10 91,21

Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

(14)

SL-PTT Padi Sentralistik

Pemilihan dan implementasi opsi pertama (SL-PTT padi sentralistik) membutuhkan perbaikan aspek teknis dan manajemen SL-PTT dan komplementasi kebijakan pendukung pencapaian keberhasilan pengembangan pertanian daerah. Perbaikan aspek teknis dan manajemen mencakup beberapa indikator yaitu: (i) penciptaan model SL-PTT spesifik lokasi akan tetap diperlukan, sehingga kerja sama dengan Litbang Pertanian tetap penting sesuai dengan tupoksinya; (ii) dibutuhkan penyempurnaan program SL-PTT padi yang mencakup ketersediaan saprodi berbasis prinsip enam tepat, perbaikan pendampingan dan pengawalan, dan sinergi program penyediaan kredit bagi petani; (iii) sinergi program lintas sektor terkait dengan peningkatan kapasitas produksi, perbaikan infrastruktur pertanian/perdesaan, sesuai dengan kendala dan permasalahan spesifik di lapangan; dan (iv) koordinasi dan sinergi sumber pembiayaan pelaksanaan SL-PTT padi yang berasal dari APBN dan APBD maupun dari pihak swasta/stakeholder lainnya, dengan sasaran pencapaian peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padi.

Keempat indikator teknis dan manajemen ini mendapatkan tanggapan positif tinggi dari responden dengan tingkat partisipasi di atas 90,0 persen, dan tidak terdapat perbedaan persepsi antara responden peneliti, penyuluh, dan pelaksana program di lapangan (Tabel 8). Hal yang sama juga terjadi terhadap kebijakan pendukung keberhasilan pengembangan pertanian daerah yang

mencakup: ketersediaan dan akses teknologi/saprodi/kredit, pengembangan pasca

panen/pengolahan hasil/ pemasaran, subsidi saprodi/stabilitas dan insentif harga produksi, dan kebijakan pengembangan agribisnis seperti pengembangan informasi harga, program kemitraan, pengembangan infrastruktur fisik/kelembagaan, dll. Kesemuanya ini mendapatkan dukungan positif dengan tingkat partisipasi persepsi yang tinggi (di atas 90%) dari responden peneliti, penyuluh, dan pelaksana SL-PTT di lapangan.

Tabel 8. Persepsi Responden terhadap Opsi Model SL-PTT Sentralistik di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Aspek SL-PTT dan kebijakan pendukung Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Aspek teknis dan manajemen SL-PTT

a. Model SL-PTT spesifik lokasi akan tetap diperlukan

b. Dibutuhkan penyempurnaan

program SL-PTT

c. Sinergi lintas sektor sesuai

kebutuhan di lapangan

d. Koordinasi dan sinergi sumber

pembiayaan 96,97 100 96,97 100 100 100 96,15 100 96,77 96,77 93,55 93,55 96,70 96,70 94,51 96,70

2. Kebijakan pendukung keberhasilan

pengembangan pertanian daerah

a. Ketersediaan dan akses

teknologi/saprodi/kredit

b. Pengembangan pasca

panen/pengembangan produk/pemasaran

c. Subsidi saprodi/stabilisasi dan

insentif harga produksi

d. Kebijakan pengembangan agribisnis

100 100 100 100 88,46 100 100 100 93,55 96,77 96,77 96,77 93,41 97,80 97,80 97,80 Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

(15)

Percepatan Pengembangan dan Penerapan PTT

Deskripsi reorientasi kebijakan pengembangan SL-PTT padi melalui ‘Percepatan Pengembangan dan Penerapan PTT’ mencakup enam aspek penting, yaitu: (a) institusi pusat lebih dominan dalam penyusunan granddesign perencanaan berdasarkan pada luasan lahan dan sumber daya pendukung di daerah; (b) pelaksana program P3PTT menjadi domain daerah, dengan penetapan target peningkatan produksi dilakukan bersama institusi pusat; (c) penciptaan persaingan yang sehat antardaerah dalam pencapaian target peningkatan produksi padi, dengan insentif proporsi alokasi dana Dekon dan Tugas Perbantuan; (d) pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam merancang pendekatan pemberdayaan kelompok tani dengan sasaran pencapaian target peningkatan produksi di lapangan; (e) institusi pusat bersama institusi daerah menyusun mekanisme penilaian pencapaian target peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padi; dan (f) institusi pusat dan pemerintah daerah menyusun mekanisme ‘reward dan punishment’ terkait dengan kinerja pencapaian target peningkatan produksi/kesejahteraan petani dan alokasi anggaran/fasilitas pendukung lainnya.

Keenam aspek tersebut mendapatkan dukungan yang tinggi, bahkan sangat tinggi khususnya untuk aspek empat terakhir, dengan partisipasi persepsi di atas 90,0 persen, tanpa terdapat perbedaan yang berarti antarpeneliti, penyuluh, dan pelaksana program (Tabel 9). Sementara untuk aspek pertama ‘penyusunan grand design perencanaan oleh pusat’ yang secara agregat tingkat partisipasinyanya mencapai 76,92 persen, mendapatkan dukungan kuat dari peneliti (90,91%) dan penyuluh (88,46%), tetapi mengalami resistensi dari pelaksana di daerah dengan tingkat partisipasi persepsi yang lemah yaitu hanya 54,84 persen.

Tabel 9. Persepsi Responden terhadap Opsi Percepatan Pengembangan dan Penerapan PTT

(P3PTT) di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Aspek SL-PTT dan kebijakan pendukung Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Penyusunan grand design perencanaan oleh pusat

90,91 88,46 54,84 76,92

2. Pelaksanaan P3PTT menjadi domain daerah 87,88 92,31 83,87 86,81

3. Penciptaan persaingan sehat antardaerah 100 92,31 87,10 92,31

4. Kewenangan daerah dalam mereancang

pendekatan pemberdayaan kelompok

96,97 92,31 96,77 94,51

5. Pusat & daerah menyusun mekanisme penilaian kinerja SL-PTT

100 96,15 96,77 96,70

6. Penyusunan “reward & punishment” oleh pusat/daerah

96,97 96,15 87,10 92,31

Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2) Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak

tahu

Program PTT Plus

Program alternatif lainnya adalah ‘Program PTT Plus’ melalui pembentukan Badan Usaha Milik Petani (BUMP-Padi) dengan dukungan BUMN-Bidang Agroindustri dengan membangun industri berbasis padi dengan skala ekonomi 10.000 ha, dengan cakupan indikator, sbb: (a) penggilingan gabah skala 500 ton gabah per hari; (b) pembangkit listrik berbahan bakar sekam sekitar 4-5 mega watt; (c) pabrik tepung beras; (d) pabrik pengolah bekatul/stabilized brand atau pabrik minyak bekatul padi; (e) pabrik batu bata tahan api berbahan baku abu sekam; (f) pabrik pengolah pupuk potasium berbahan baku jerami; dan (g) pabrik pengolah silika berbahan baku abu sekam. Responden secara agregat memberikan respon tinggi (dengan tingkat partisipasi persepsi di atas 70%) untuk indikator pabrik pengolahan bekatul, pabrik pupuk potasium, pabrik tepung beras,

(16)

dan pabrik batu bata tahan api (Tabel 10). Sementara itu, tingkat partisipasi aspirasi moderat (kisaran 60-70%) untuk indikator program alternatif ‘PTT-Plus” ini. Dalam konteks ini, penyuluh dan pelaksana di lapangan memberikan respons yang lebih besar bila dibandingkan dengan peneliti.

Tabel 10. Persepsi Responden terhadap Opsi Model PTT Plus di Lima Provinsi di Indonesia, 2012 (%) 1)

No Aspek program PTT-Plus Peneliti Penyuluh Pelaksana Total

1. Penggilingan gabah skala 500 ton gabah/hari

60,61 76,92 64,51 65,93

2. Pembangkit listrik berbahan bakar sekam (4-5 megawatt)

54,55 73,08 83,87 69,23

3. Pabrik tepung beras 60,61 76,92 83,87 72,53

4. Pabrik pengolahan bekatul/pabrik minyak bekatul padi

75,76 84,61 87,10 81,32

5. Pabrik batu bata tahan api 63,64 73,08 77,87 70,33

6. Pabrik pupuk potasiun berbahan baku jerami

66,67 76,92 83,87 74,73

7. Pabrik pengolah silica berbahan baku sekam

63,64 76,92 80,65 67,74

Total responden2) 33 26 31 90

Keterangan: 1) Proporsi responden yang menyatakan persetujuannya terhadap aspek penelitian (%) 2)

Total responden yang mencakup responden dengan persepsi setuju, tidak setuju dan tidak tahu

Berdasarkan bahasan di atas, apapun opsi pengembangan yang akan dipilih maka dasar pemikiran yang menjadi acuan dalam peningkatan produktivitas padi sawah adalah inovasi teknologi spesifik teknologi dalam perspektif paradigma revolusi hijau lestari (Zaini, 2009) sebagai berikut: (a) peningkatan produktivitas padi agar dilakukan secara terintegrasi dengan upaya konservasi dan peningkatan kapasitas produksi berkelanjutan; (b) implementasi tiga kebijakan strategis secara inklusif yaitu peningkatan produktivitas, keuntungan usahatani, dan keberlanjutan ekonomi padi; (c) inovasi teknologi budidaya padi dengan pendekatan PTT yang dianjurkan merupakan entry point pencapaian revolusi hijau lestari tanpa merusak lingkungan; dan (d) arus difusi dan adopsi teknologi, termasuk pemanfaatan kearifan lokal dan pengetahuan lokal, perlu dipercepat atas dasar efisiensi dan daya saing.

REORIENTASI KEBIJAKAN DAN PROGRAM SL-PTT PADI

Filosofi tetesan minyak dalam pengembangan SL-PTT padi ternyata tidak berproses seperti yang diharapkan. Bantuan benih dengan sistem distribusi sentralistik (pelaku utama BUMN) ternyata tidak mampu menjamin azas enam tepat dalam menjamin kebutuhan petani. Terdapat pemikiran agar SL-PTT sebagai gerakan didukung dengen model SL-PTT spesifik lokasi. Fungsi peneliti dan pengkaji agar lebih fokus pada penciptaan, adaptasi, diseminasi, dan narasumber dalam pengembangan teknologi sesuai dengan tupoksinya.

Keberhasilan pengembangan SL-PTT dalam peningkatan produksi padi nasional membutuhkan peningkatan kapasitas produksi pertanian, pengembangan infrastruktur, kemampuan manajemen petani, dan kelembagaan pendukung pengembangan. Kesemuanya ini membutuhkan dukungan lintas sektor dan lintas dinas melalui sinergi dan integrasi program strategis sesuai dengan kebutuhan spesifik di tingkat lapangan.

(17)

Implementasi SL-PTT padi ternyata tidak berjalan optimal dan dampak yang dihasilkan juga belum tercapai secara maksimal. Program peningkatan produksi padi adalah kebijakan yang kompleks dan membutuhkan integrasi dan sinergi kegiatan yang kuat. Sistem pengadaan benih dan bahkan bantuan benih dinilai tidak tepat, dan dinilai mengganggu pengembangan sistem perbenihan formal dan kinerja industri perbenihan di daerah.

Pemahaman PTT sebagai suatu pendekatan, bukan suatu pilihan komponen/paket teknologi, yang membutuhkan adaptasi dan modifikasi sesuai dengan kondisi sumber daya dan karakteristik petani setempat perlu lebih dimantapkan. SL-PTT sesuai dengan kebutuhan lapangan membutuhkan komitmen pembinaan dan pendanaan lintas sektor/dinas teknis, serta kebijakan pendukung keberhasilan pengembangan agribisnis/ekonomi padi di lapangan. Karena kinerja program SL-PTT belum berjalan secara optimal, maka pada akhirnya dampaknya terhadap peningkatan produksi padi nasional tidak tercapai secara memuaskan.

Kompleksitas permasalahan dan lemahnya koordinasi dan konsolidasi antarinstitusi dalam pelaksanaan SL-PTT, serta dampak program yang tidak maksimal membutuhkan reorientasi program ke depan. Disadari adanya kompleksitas pengembangan SL-PTT di lahan suboptimal, demikian juga dengan pengembangan padi hibrida. Ke depan potensi pengembangan terdapat di lahan suboptimal, dan pada daerah dengan orientasi petani maju pengembangan padi hibrida telah menunjukkan keberhasilan.

Program SL-PTT dinilai bermanfaat sehingga perlu disempurnakan melalui peningkatan koordinasi dan komunikasi antarinstitusi. Program SL-PTT membutuhkan reorientasi dan modifikasi dengan mengedepankan kehadiran ‘model SL-PTT spesifik lokasi’ didukung dengan kebijakan (pusat/daerah) keberhasilan agribisnis/ekonomi padi. Opsi alternatif pengembangan program yang juga perlu dipertimbangkan adalah program SL-PTT terdesentralisasi melalui ‘Percepatan Pengembangan dan Penerapan PTT (P3PTT); model pengembangan berbasis inovasi PTT (MP3MI dan BUMP-Padi) melalui pembangunan industri berbasis padi dengan skala ekonomi 10.000 ha. Ketiga opsi alternatif ini mendapatkan dukungan kuat dari responden peneliti, penyuluh, dan pelaksana program di lapangan.

Teknologi harapan lain adalah yang telah dilakukan negara-negara maju seperti Jepang, Thailand, dan Korea yang sudah lama menerapkan sistem tanam direct seeded rice. Di Indonesia pada masa lalu dikenal dengan program tanam benih langsung (Tabela). Potensi hasil padi Tabela dengan populasi tinggi (60 kg benih/ha) produktivitasnya dapat mencapai 11 ton GKP/ha di lahan sawah irigasi. Sistem Tabela selain efisien dalam penggunaan tenaga kerja, lebih cepat panen 2 minggu, juga bisa meningkatkan hasil dibandingkan sistem tanam pindah. Perlu juga dicoba kombinasi pengembangan padi hibrida yang jelas produktivitasnya tinggi dengan sistem tabela untuk efisiensi usahatani padi secara nasional.

PENUTUP

Filosofi tetesan minyak dalam pengembangan SL-PTT padi ternyata tidak berproses seperti yang diharapkan. Program SL-PTT dengan pendekatan penyuluhan seperti Laboratorium Lapang (LL) dan Sekolah Lapang (SL) belum efektif meningkatkan adopsi maupun difusi teknologi untuk peningkatan produktivitas padi. Bantuan benih dengan sistem distribusi sentralistik ternyata tidak mampu menjamin azas enam tepat dalam menjamin kebutuhan petani. Sistem pengadaan dan bantuan benih dinilai tidak tepat dan mengganggu pengembangan sistem perbenihan formal dan kinerja industri perbenihan di daerah.

Pemahaman PTT sebagai suatu pendekatan, bukan suatu pilihan komponen/paket teknologi, membutuhkan adaptasi dan modifikasi sesuai dengan kondisi sumber daya dan karakteristik petani. Keberhasilan pengembangannya membutuhkan dukungan lintas sektor dan dinas melalui sinergi dan integrasi program strategis sesuai dengan kebutuhan spesifik di tingkat lapangan.

(18)

Program SL-PTT berdampak positif terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan petani, di mana komponen teknologi yang dominan diadopsi oleh petani adalah aplikasi pupuk berimbang, penggunaan pupuk organik, dan penerapan jajar legowo. SL-PTT padi hibrida belum banyak diminati petani, walaupun secara potensial padi hibrida merupakan terobosan untuk meningkatkan produksi beras nasional, bila didukung ketersediaan saprodi dan akses permodalan.

Program SL-PTT membutuhkan reorientasi dan modifikasi dengan mengedepankan kehadiran ‘model SL-PTT spesifik lokasi’ didukung dengan kebijakan pusat/daerah terkait keberhasilan agribisnis/ekonomi padi. Mengingat efisiensi teknis usahatani padi alumni SL-PTT yang relatif tinggi (sebagian besar petani mendekati produksi frontier) maka kebijakan strategis yang patut dipertimbangkan adalah peningkatan kapasitas produksi usahatani, optimalisasi penggunaan input produksi, ketersediaan dan akses saprodi, dan peningkatan peran usahatani padi sebagai sumber pendapatan utama.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. dan I K. Kariyasa. 2006. Dampak dan Persepsi Petani terhadap Penerapan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Jurnal Penelitian Tanaman Pangan 25 (1): 21 – 29.

Alihamsyah, T., D.S. Damardjati, U.S. Nugraha, R. Hendayana, E. Jamal, I N. Widiarta, Sunihardi, dan U.G. Kartasasmita. 2011. Evaluasi Program dan Kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Darwis, V. dan I W. Rusastra. 2011. Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Sinergi Program PUAP dengan Desa Mandiri Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian 9(2): 125-142.

Hartono, R., S. Hadi, B. Juanda, dan I W. Rusastra. 2013. Penyusunan Alternatif Model Kelembagaan Kredit Usaha Pertanian di Perdesaan. Jurnal Informatika Pertanian 22(2): 121-135.

Jamal, E. 2009. Telaahan Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT Padi): Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian 7(4): 337-349.

Kariyasa, I K. 2011. Impact of Infrastructure and Government Support on Corn Production in Indonesia: A Case on Integrated Crop Management Farm Field School. Jurnal Agro Ekonomi 24(2): 147-168.

Nurasa, T. dan H. Supriadi. 2012. Kajian Evaluasi Program SL-PTT Padi Menuju Swasembada Pangan Berkelanjutan. Analisis Kebiakan Pertanian 10(4): 313-329.

Rusastra, IW, W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, Baehaki dan Sarlan. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Rusastra, IW. 2012. Reorientasi Pendekatan dan Pola Pengawalan dan Pendampingan SL-PTT unit 1000 ha tahun 2013. Workshop Pengawalan dan Pendampingan SL-PTT di Puslitbang Tanaman Pangan, 30 Nopember – 1 Desember 2012. Bogor.

Satoto, Y. Widyastuti, I. A. Rumanti dan T.W.U. Sudibyo. 2012. Yield Stability and Resistance to Bacterial Leaf Blight and Tungro of Hybrid Rice Varieties Hipa 7 and Hipa 8. Journal Agricultural Research (JPP) 29 (03): 136 – 143. Indonesia Center for Food Crops Research and Development. Bogor.

(19)

Suharyanto, 2014. Dampak Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah terhadap Produksi, Efisiensi, Pendapatan dan Ketahanan Rumah Tangga Petani di Provinsi Bali. Disertasi Doktor, Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Suhendrata, T. 2008. Proses Inovasi Teknologi Pertanian dalam Peningkatan Produktivitas Padi Sawah untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Supriadi, H. 2013. Dampak Sekolah Lapang Pengelolaan Terpadu (SL-PTT) terhadap Adopsi Teknologi, Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Padi. JPPTP 16(2): 140-148.

Tarigan, H. 2010. SL-PTT Berhasil Tingkatkan Pendapatan Petani. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32(1): 16-19.

Zaini, Z. 2009. Memacu Peningkatan Produktivitas Padi Sawah melalui inovasi Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi dalam Era Revolusi Hijau Lestari. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 35-47.

Gambar

Tabel 1.  Persepsi Responden terhadap Implementasi SL-PTT Padi Dikaitkan dengan
Tabel 2.  Persepsi Responden terhadap Pengadaan dan Ketersediaan Benih/Pupuk dalam
Tabel 3.  Persepsi Responden terhadap Implementasi SL-PTT Padi di Lima Provinsi di Indonesia,
Tabel 4.  Persepsi Responden terhadap Misalokasi Anggaran SL-PTT Padi (Tidak Sinergis dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Navedeni rezultati nedvosmisleno pokazuju kako među novim članicama one s višim stopama rasta nemaju problema sa zadovoljavanjem fiskalnih kriterija konvergencije.. Najveći

Hasil analisis tentang hubungan antara intensitas getaran, umur, masa kerja, lama kerja, kebiasaan olahraga, dan sikap kerja dengan keluhan Musculoskeletal

Mengenai pola saluran pemasaran, dapat diketahui bahwa penjualan hasil produksi kepiting bakau di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiag dijual oleh petani

a) Pejabat yang berwenang menggunakan cap instansi adalah pejabat yang mendapat pelimpahan/penyerahan wewenang dari pejabat pemerintah daerah untuk menetapkan/menandatangani

Tujuan pendirian organisasi ini adalah Untuk mempersatukan turunan Borsak Sirumonggur Sihombing Lumbantoruan dohot Boruna Se Kota Medan dan Sekitarnya, agar tercipta

sebenarnya membutuhkan prasyarat yaitu dari Pasar Tradisional ,hal tersebut dilakukan dengan upaya dalam perlindungan hukum Pasar Tradisional terhadap minimarket,

[r]

Tekanan-tekanan saat krisis covid-19 ini membuat masyarakat melakukan perubahan perilaku dalam pemenuhan kebutuhan belanja dari yang siatnya konsumtif ke basic need,