• Tidak ada hasil yang ditemukan

HEALTH POLITICS: Teori dan Praktek. Sukri Palutturi, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HEALTH POLITICS: Teori dan Praktek. Sukri Palutturi, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

HEALTH POLITICS:

Teori dan Praktek

(2)

Buku ini saya dedikasikan kepada istri dan anak saya:

Aslina Asnawi, Ahmad Farhan Tanatoa, Ahmad Fauzan Tanatoa, dan Ahmad Farhat Tanatoa

(3)

KATA PENGANTAR

Buku ini terbit terinspirasi dari keterbatasan referensi berbahasa Indonesia, pengalaman dan pembelajaran bersama mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam bidang kesehatan masyarakat di berbagai universitas dan sekolah tinggi kesehatan di Indonesia khususnya Indonesia Bagian Timur. Sebut saja di Universitas Hasanuddin itu sendiri tempat penulis mengabdi, Universitas Haluoleo, Universitas Tadulako, Universitas Islam Negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tamalate dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar; pengalaman bersama para pengambil kebijakan pada level pemerintah kabupaten/kota, para politikus, pejabat provinsi sampai pengambil kebijakan pada tingkat kementerian. Jujur saja saya tidak memiliki pendidikan formal tentang politik, namun kami menyadari bahwa politik kesehatan merupakan kajian yang sangat penting dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Indonesia.

Sebuah kondisi yang berbeda saat pertama kali penulis tiba di Kota Brisbane Australia di awal tahun 2008 untuk melanjutkan bidang saya pada program Master of Science in Public Health (MSc.PH) yang kemudian diakhir tahun 2009 berlanjut mengambil program Doctor of Phylosophy (PhD) di Griffith University, suasana akademik yang begitu berbeda di Indonesia. Ruang perpustakaan yang sangat menarik dan didukung oleh fasilitas internet dan tersedianya berbagai referensi yang dibutuhkan termasuk buku yang relevan dengan kajian politik kesehatan. Saya menemukan beberapa buku yang menginspirasi lahirnya buku ini misalnya The Politics of Health: The Australian Experience (1995), buku yang diedit oleh Healther Gardner dan diterbitkan oleh Churcill Livingstone; The political economy of health, buku yang ditulis oleh Doyal dan Pennell (1979), diterbitkan oleh Pluto Press di London; . The politics of health in Europe, ditulis oleh Freeman (2000), diterbitkan oleh University of Manchester Press, Manchester; Theory and methods in political science, ditulis oleh Marsh dan Stoker (2002), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, Basingstoke, UK; dan Toward the Healthy City: People, Places and the Politics of Urban Planning, ditulis oleh Corburn (2009), diterbitkan oleh The MIT Press: Cambridge, Massachusetts, London. Beberapa buku diantaranya relatif tua tetapi bagi kami isi dari buku tersebut merupakan hal baru. Kesemua aspek ini menguatkan saya untuk terus mencoba menulis sampai lahirnya buku ini di tangan pembaca.

Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan bukan saja persoalan sakit, dokter, tempat tidur dan obat. Determinan kesehatan sangat kompleks, masalah kesehatan adalah masalah ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah kesehatan adalah masalah politik. Mengapa kesehatan banyak berkaitan dengan masalah politik karena kebijakan kesehatan yang lahir hingga hari ini baik berubah peraturan, program dan penganggaran tidak lepas dari kekuasaan, perdebatan berbagai kepentingan politik, dan persaingan, bahkan tidak sedikit keputusan kesehatan sangat ditentukan oleh

(4)

seorang bupati, walikota, gubernur dan presiden dan juga ketergantungan pada ketukan palu sidang anggota dewan yang terhormat.

Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas konsep, kompetensi dan etika politik kesehatan. Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar politik kesehatan: sifat politik kesehatan, mengapa kesehatan menjadi isu politik dan bagaimana kontribusi politik dalam bidang kesehatan. Kompetensi politik: keterampilan politik dalam bidang kesehatan, keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial, jenis keterampilan sosial, dimensi keterampilan politik dan bagaimana membangun keterampilan politik. Selain itu bagian ini pula menjelaskan etika politik kesehatan, standar etika politik kesehatan, siapa yang menentukan etika atau tidak beretika dalam bidang kesehatan. Bagian kedua membahas keterampilan dan implementasi politik kesehatan. Bab ini meliputi komunikasi politik kesehatan, advokasi kesehatan masyarakat, pemilu: kesehatan dan komitmen aktor politik, the politics of Healthy Cities. Bagian terakhir dari Bab ini pula membahas secara khusus tentang Politik Global: Dari MDGs ke SDGs, sebuah evaluasi MDGs berkaitan dengan pencapaian khususnya yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan strategi yang perlu dilakukan pasca MDGs untuk memenuhi tantangan kesehatan tersebut.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Karena itu, penulis mengapresiasi atas segala saran dan kritik yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya semoga karya ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di Indonesia.

Iman, ilmu, amal padu mengabdi.

Makassar, Oktober 2015

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK

BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA POLITIK KESEHATAN

BAB I KONSEP DASAR POLITIK KESEHATAN 1.1 Pendahuluan

1.2 Makna Politik dan Kesehatan 1.3 Sifat Politik Kesehatan

1.4 Mengapa Kesehatan menjadi Isu Politik 1.5 Politik dan Outcome Kesehatan

1.6 Diskusi dan Penugasan 1.7 Penutup

BAB II KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN 2.1 Pendahuluan

2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan 2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial

2.4 Dimensi Keterampilan Politik

2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi 2.6 Membangun Keterampilan Politik 2.7 Diskusi dan Penugasan

2.8 Penutup

BAB III ETIKA POLITIK KESEHATAN 3.1 Pendahuluan

3.2 Pengertian Etika, Etika Politik dan Etika Politik Kesehatan 3.3 Standar Penilaian Etika Politik Kesehatan

3.4 Siapa yang Menentukan Etik atau Tidak? 3.5 Diskusi dan Penugasan

(6)

BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI POLITIK KESEHATAN

BAB IV KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN 4.1 Pendahuluan

4.2 Konsep Komunikasi Politik Kesehatan

4.3 Ruang Lingkup Komunikasi Politik Kesehatan 4.4 Contoh Kasus Komunikasi Politik Kesehatan 4.5 Diskusi dan Penugasan

4.6 Penutup

BAB V ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT 5.1 Pendahuluan

5.2 Apa Advokasi Kesehatan Masyarakat itu? 5.3 Komponen Advokasi Kesehatan Masyarakat

5.4 Keterampilan dan Tantangan Advokasi Kesehatan Masyarakat 5.5 Advokasi Media

5.6 Diskusi dan Penugasan 5.7 Penutup

BAB VI PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK 6.1 Pendahuluan

6.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia 6.3 Pemilu dan Aktor Politik Kesehatan

6.4 Kompetensi bagi Para Aktor Politik 6.5 Diskusi dan Penugasan

6.6. Penutup dan Rekomendasi

BAB VII THE POLITICS OF HEALTHY CITIES 7.1 Pendahuluan

7.2 Healthy Cities: Urban Governance dan Planning 7.3 Dimensi Politik Healthy Cities: Proses dan Power

7.4 Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota 7.5 Tantangan Politik Perencanaan Healthy Cities

7.6 Studi Kasus Pentingnya Dukungan Politik dalam Implementasi Healthy Cities 7.7 Diskusi dan Penugasan

7.8 Penutup

BAB VIII POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs 8.1 Pendahuluan

8.2 Makna Pembangunan Berkelanjutan 8.3 Keterkaitan antara MDGs dan SDGs 8.4 Tujuan dan Indikator SDGs

8.5 Prinisp-Prinsip SDGs 8.6 Politik Global SDGs

(7)

8.7 Diskusi dan Penugasan 8.8 Penutup dan Rekomendasi PROFIL PENULIS

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik Tabel 2.1 : Empat Dikotomi MBTI

Tabel 2.2 : Perbedaan Manfaat Metode 16 PF and the Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)

Tabel 5.1 : Contoh Perubahan Produk antara Advokasi Kesehatan Masyarakat Tabel 5.2 : Peranan Partisipan/Aktor Advokasi Kesehatan Masyarakat

Tabel 7.1 : Tatanan Healthy Cities dan Organisasi Penanggung Jawab Tabel 7.2 : Struktur Organisasi Healthy Cities dan Penanggung Jawab

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan Gambar 1.2 : Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan

Gambar 2.1 : Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik

Gambar 2.2 : Proses Penilaian Umpan Balik 360 Derajat Gambar 4.1 : Model Komunikasi Politik Aristoteles Gambar 4.2 : Unsur Komunikasi Politik

Gambar 6.1 : Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2012

Gambar 6.2 : Angka Kematian Ibu Tahun 2012-2013 di Indonesia Menurut Provinsi

Gambar 6.3 : Tren Angka Kematian Ibu (AKI) beberapa negara ASEAN Gambar 6.4 : Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap

Provinsi, Indonesia

Gambar 6.5 : Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991- 2015

Gambar 6.6 : Angka Harapan Hidup Indonesia 2008-2012

Gambar 6.7 : Persentasi Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Menurut Provinsi

Gambar 6.8 : Persentasi Balita dengan Tinggi Badan di Bawah Normal

Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut Provinsi Gambar 6.9 : Persentasi Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi

Badan (BB/TB) Menurut Provinsi

Gambar 6.10 : Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011 Gambar 6.11 : Persentasi Kelebihan Berat Badan pada Penduduk Dewasa

Gambar 6.12 : Illustrasi Pengambilan Sumpah Anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019

(10)

DAFTAR KOTAK

Kotak 2.1 : Keterampilan Politik sebagai bagian dari keterampilan sosial Kotak 4.1 : Contoh Kasus Komunikasi Politik Ala Jokowi

Kotak 4.2 : Contoh Kasus Posbindu PTM Perlu Dukungan

Kotak 5.1 : Sembilan Tahapan Proses Advokasi Kesehatan Masyarakat Kotak 6.1 : Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS

(11)

BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA

POLITIK KESEHATAN

(12)

BAB I

KONSEP DASAR POLITIK BIDANG KESEHATAN

The political basis of our health services is the view of health as a commodity, a function of individuals rather than of societies; something to be valued, exchanged (bought and sold in many societies), and in every way determined by the actions of individuals (Scott-Samuel, 1979 dalam Bambra, Fox, and Scott-Samuel (2003), hal. 25

1.1 Pendahuluan

Masalah kesehatan tak dapat dipisahkan dari persoalan politik baik sebagai individu dan warganegara, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Bab ini menjelaskan makna politik, kesehatan dan politik kesehatan; dan sifat politik kesehatan. Bab ini juga menjelaskan pentingnya politik dalam kaitan dengan persoalan kesehatan dan bukti-bukti keterlibatan politik dalam konteks kesehatan. 1.2 Makna politik dan kesehatan

Pernah terbit sebuah tulisan di Harian Fajar, Makassar pada tanggal 20 Mei 2007. Tulisan ini berjudul Arti Politik dengan mengilustrasikan makna politik sebagai berikut:

”Seorang murid sekolah dasar mendapat pekerjaan rumah dari gurunya untuk menjelaskan arti kata POLITIK. Karena belum memahaminya, ia kemudian menanyakan kepada ayahnya. Sang ayah yang menginginkan si anak dapat berpikir secara kreatif kemudian memberikan penjelasan. Baiklah nak, ayah akan mencoba menjelaskan dengan perumpamaan, misalkan ayahmu adalah orang yang bekerja untuk menghidupi keluarga, jadi kita sebut ayah adalah investor. Ibumu adalah pengatur keuangan, jadi kita menyebutnya pemerintah. Kami di sini memperhatikan kebutuhan-kebutuhanmu, jadi kita menyebut engkau rakyat. Pembantu, kita masukkan dia ke dalam kelas pekerja dan adikmu yang masih balita, kita menyebutnya masa depan. Sekarang pikirkan hal itu dan lihat apakah penjelasan ayah ini bisa kau pahami?

Si anak kemudian pergi ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang dikatakan ayahnya. Pada tengah malam, anak itu terbangun karena mendengar adik bayinya menangis. Ia melihat adik bayinya mengompol. Lalu ia menuju kamar tidur orang tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tidur nyenyak. Karena tidak ingin membangunkan ibunya, maka ia pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci, maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di tempat tidur bersama pembantunya. Akhirnya ia menyerah dan kembali ke tempat tidur, sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti POLITIK.

(13)

Pagi harinya, sebelum berangkat ke sekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya: ”Politik adalah hal dimana para investor meniduri kelas pekerja, sedangkan pemerintah tertidur lelap, rakyat diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.

Tiga paragrap di atas memberi pandangan pada si anak dalam memahami arti politik. Pandangan tersebut kelihatan lugu dan mungkin agak humoris dari apa yang dipahaminya. Secara teori tentu saja pandangan tersebut tidaklah benar, akan tetapi dalam kenyataan ketika kita bicara tentang politik akan sangat susah terbantahkan kalau orang melihat dan mendefiniskannya seperti itu. Politik itu berdimensi ’kotor’, ’busuk’, ’jelek’, dan ’curang’ dan berbagai pandangan negatif lainnya.

Politik adalah organisasi masyarakat dan pembuatan keputusan kolektif tentang sumber daya (Bambra, Smith, & Kennedy, 2008). Laswell (1936) dalam Bambra et al. (2008) politik adalah siapa dapat apa, kapan dan bagaimana (who gets what, when, how). Politik didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah, para elit dan agen pemerintah. Definisi ini lebih pada pendekatan top down politik yang secara esensial memisahkan politik dari masyarakat. Politik digunakan untuk menggambarkan power-structured relationship pada satu group dan kontrol pada group yang lain. Definisi yang terakhir ini lebih bersifat bottom up dalam pengertian bahwa setiap orang dapat terlibat dalam tindakan politik.

Beberapa pakar mendefinisikan politik dalam perspektif yang lebih luas berdasarkan ideologi politik (Bambra et al., 2003; Heywood (2000); Marsh & Stoker, 2002), yaitu:

a. Politik sebagai pemerintahan (politics as government). Politik adalah berhubungan dengan seni pemerintahan dan aktivitas sebuah negara. Ini berhubungan dengan Behavioralists dan Institutionalist ilmu politik.

b. Politik sebagai kehidupan publik (politics as public life). Politik adalah berhubungan dengan masalah urusan masyarakat. Cara pandang politik ini berhubungan dengan teori pilihan rasional (Rational Choice Theory).

c. Politik sebagai resolusi konflik (politics as conflict resolution). Politik adalah berhubungan dengan ungkapan dan resolusi konflik melalui kompromi, konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya. Ini berhubungan dengan para ahli hubungan internasional (International Relations Theorists).

d. Politik sebagai kekuasaan (politics as power). Politik adalah proses melalui outcome yang ingin dihasilkan, dicapai dalam produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya yang terbatas dalam semua area eksistensi sosial. Cara pandang ini berhubungan dengan ilmu politik Feminist dan Marxist (Feminist and Marxist political science).

Definsi politik dalam ilmu-ilmu politik juga dapat digambarkan seperti pada Tabel 1.1 berdasarkan pandangan Behavioralism, Rational choice theory, Institutionalism, Feminism, Anti-foundationalism dan Marxism (Bambra et al., 2003).

(14)

Tabel 1.1: Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik

Pandangan Definsi

Behavioralism Politics is the processes associated with mainstream politics and government

Rational choice theory Politics is the conditions for collective action in the mainstream political word

Institutionalism Politics is the institutional arrangements within the mainstream politicl word

Feminism Politics is a process and the personal can be political

Anti-foundationalism Politics is a narrative contest that can take place in a variety of settings

Marxism Politics is the struggle between social groups: in particular social classes

Sumber: Disesuaikan dari Stoker (2002) dalam Bambra et al. (2003), hal. 10

Kesehatan pun demikian, seringkali kesehatan diartikan dan dinterpretasikan sebagai pelayanan kesehatan (health care) yang mempunyai pengertian yang sangat sempit. Kesehatan dianggap hanya berkaitan dengan pasien, dokter, perawat, bidan, tempat tidur dan obat. Di United Kingdom bahkan diartikan sebagai pelayanan kesehatan nasional (The National Health Services). Konsekuensinya, politik kesehatan secara signifikan sering kali dikonstruksikan menjadi politik pelayanan kesehatan (Freeman, 2000). Kondisi ini dapat terjadi karena kesehatan dapat ditelusuri dari dua isu ideologi yaitu definisi kesehatan pada satu sisi dan politik pada sisi yang lain. Kesehatan yang secara konvensional telah dioperasionalkan di bawah kapitalsime Barat mempunyai dua aspek yang saling berhubungan yaitu kesehatan dianggap sebagai ketiadaan penyakit (definsi biomedis) dan sebagai komoditi (definisi ekonomi) (Bambra, Fox, & Scott-Samuel, 2005). Kedua ideologi ini memfokuskan pada individu yang berlawanan dengan masyarakat sebagai dasar dari kesehatan. Cara pandang kesehatan dalam konteks masyarakat (kesehatan masyarakat) dipandang sebagai produk dari faktor-faktor individu misalnya faktor turunan/genetik, dan pilihan gaya hidup yang dapat mengakses ke pasar atau sistem kesehatan (Scott-Samuel, 1979). Dalam rangka menyelesaikan ketidaksetaraan ini, perhatian politik diarahkan terhadap variabel sistem kesehatan.

1.3 Sifat politik kesehatan

Konsep dan metode ilmu politik secara jelas mempunyai kontribusi terhadap studi-studi kesehatan. Meskipun demikian, debat spesifik tentang kesehatan belum dianggap secara luas sebagai entitas politik misalnya dalam debat-debat akademik atau dalam masyarakat (Bambra et al., 2008). Oleh karena itu, marginalisasi politik kesehatan seakan-akan mempunyai solusi sederhana yaitu perlunya perlakuan atau treatment kesehatan sebagai isu politik. Kesehatan termasuk aspek kehidupan manusia lainnya merupakan sebuah isu politik dalam banyak hal (Bambra et al., 2005):

(15)

a. Kesehatan adalah politik karena, sama seperti sumber daya yang lain atau komoditas di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, beberapa kelompok sosial mempunyai lebih dari yang lainnya (unequal distribution).

b. Kesehatan adalah politik karena determinan sosialnya (social determinants) adalah mudah diterima dalam intervensi politik dan oleh karena bergantung pada tindakan politik (biasanya) (health determinants).

c. Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir (organization). d. Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak untuk

kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek kewarganegaraan dan hak asasi manusia (citizenship).

e. Kesehatan adalah politik karena saat ini kita menghadapi krisis global yang cukup kompleks yang berdampak pada kesehatan dan kematian yang sesungguhnya dapat dicegah (globalisation).

Kesehatan adalah politik karena kekuasaan dilaksanakan sepanjang itu sebagai bagian dari sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Perubahan sistem ini membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik. Mengapa kesehatan berdimensi politik karena dalam bidang kesehatan terdapat disparitas derajat kesehatan masyarakat antar suku dan ras, antar kelompok, antar wilayah dan bahkan antar negara dimana sebagian kelompok tersebut memiliki akses dan status kesehatan yang lebih baik sementara lainnya tidak. Untuk mencapai itu perlu diperjuangkan dan mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam upaya memenuhi keadilan terhadap berbagai masalah dibidang kesehatan.

1.3.1 Ketidaksetaraan kesehatan

Banyak bukti menunjukkan bahwa determinan kesehatan paling kuat dalam kehidupan modern kependudukan ini adalah faktor sosial, budaya dan ekonomi (Acheson, 1998; Doyal & Pennell, 1979). Faktor-faktor ini datang dari berbagai sumber dan diakui oleh pemerintah dan badan-badan internasional (Acheson, 1998). Akan tetapi ketidaksetaraan kesehatan ini terus berlanjut dalam sebuah negara misalnya perbedaan kelas sosial ekonomi, gender dan kelompok etnik diantara mereka. Masih terjadi ketimpangan masalah kemakmuran, kesejahteraan dan sumber daya (Donkn, Goldblatt, & Lynch, 2002).

Bagaimana ketidakseimbangan kesehatan ini sungguh merupakan isu politik. Apakah ketidaksetaraan kesehatan diterima sebagai sesuatu yang alam ”natural” dan hasil perbedaan individu yang sulit terhindarkan tentang penghormatan terhadap genetik dan tangan-tangan tersembunyi (silent hands) pasar ekonomi ataukah masalah ekonomi dan sosial yang harus diselesaikan oleh masyarakat dan negara modern (Adams, Amos, & Munro, 2002). Perbedaan pandangan ini tidak hanya pada apakah secara scientifik dan ekonomi memungkinkan ketidaksetaraan kesehatan ini dapat terjadi tetapi juga perbedaan pandangan ideologi dan politik dapat menjadi penyebab terhadap masalah tersebut.

(16)

1.3.2 Determinan kesehatan

Penyebab dan faktor predisposisi terhadap sehat-sakit semakin dipahami dengan baik (Bambra et al., 2005). Meskipun demikian banyak kasus menunjukkan bahwa faktor lingkungan sama pentingnya dengan faktor sosial dan ekonomi dalam mempengaruhi kesehatan (Marmot & Wilkinson, 2001). Faktor-faktor seperti perumahan, pendapatan dan pengangguran dan isu lainnya banyak didominasi oleh masalah politik yang menjadi determinan kesehatan dan kesejahteraan. Demikian pula banyak determinan kesehatan dan ketidaksetaraan terhadap kesehatan bergantung dan berada di luar dari sektor kesehatan (Acheson, 1998; S Palutturi, Rutherford, Davey, & Chu, 2013). Karena masalah seperti ini berada di luar dari kewenangan sektor kesehatan (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan badan-badan pemerintah yang relevan dengan kesehatan), maka penyelesaiannya membutuhkan kebijakan non sektor kesehatan untuk mendukung dan menanggulangi masalah tersebut (Acheson (1998); Whitehead, Diderichsen, & Burstrom, 2000).

Sebagai contoh banjir merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada musim hujan terutama beberapa kota besar di Indonesia misalnya Makassar dan Jakarta. Banjir secara langsung tidak berhubungan dengan sektor kesehatan. Kewenangan ini mungkin berada di Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Tata Kota atau Mungkin Bappeda. Akan tetapi ketidakmaksimalan dinas dan badan ini merancang dan merencanakan kota yang sehat menyebabkan kota menjadi semraut, selokan tersumbat dimana-mana sehingga menyebabkan genangan air juga terjadi dimana-mana. Bukan hanya itu banjir tidak hanya berkaitan dengan genangan air, tetapi banjir juga akan dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas bahkan kecelakaan lalu lintas karena jalanan berlobang dan rendahnya kualitas infrastruktur jalanan. Semua masalah ini tentu tidak berada pada kewenangan dinas kesehatan atau kementerian kesehatan tetapi dampaknya pada kesehatan.

Diakui bahwa determinan sosial terhadap kesehatan (social determinants of health) telah mendapat porsi dalam banyak debat, diskusi dan mungkin kebijakan yang mendukung untuk itu tetapi gagal dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang berhubungan dengan determinan politik dan ketidaksetaraan kesehatan (political determinants of health).

1.3.3 Organisasi

Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) didefiniskan sebagai ”The science and art of preventing disease and prolonging life, and promoting physical and mental health and efficiency, through organized community efforts...”. Definisi ini menekankan bahka upaya terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang usia harapan hidup dan meningkatkan kesehatan hanya dapat dicapai melalui upaya kesehatan masyarakat yang terorganisir bukan upaya kesehatan individu yang terorganisir. Pengorganisasian masyarakat dihampir semua negara merupakan peranan negara dan badan-badan pemerintah. Definisi ini menggarisbawahi bahwa

(17)

aspek sosial dan politik terhadap upaya peningkatan status kesehatan merupakan sesuatu yang vital.

1.3.4 Kewarganegaraan

Terdapat tiga hak warga negara yaitu hak sipil, politik dan sosial (Bambra et al., 2005). Tuntutan terhadap hak-hak sipil misalnya hak dalam beragama, mengeluarkan pendapat dan melakukan kontrak atau perjanjian, muncul sekitar abad 18. Hak politik termasuk hak untuk dipilih atau menjadi wakil (representative) terhadap lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan misalnya anggota dewan, muncul sekitar abad 19 sementara isue kesehatan dan pendidikan gratis juga termasuk hak-hak ekonomi mulai banyak diperdebatkan pada abad 20. Kesehatan atau hak terhadap standar hidup yang layak termasuk hak kewarganegaraan sosial yang sangat penting (International Forum for the Defence of the Health of People, 2002). Hak-hak kewarganegaraan ini diperoleh sebagai hasil dari perjuangan sosial dan politik selama industrialisasi barat dan pengembangan kapitalisme. Karena itu isu kesehatan gratis termasuk isu yang berkaitan dengaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebetulnya telah menjadi perdebatan puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu. Sejarah perkembangan kewarganegaraan yang dimodifikasi dari Marshall (1963) dalam Bamra, et al. (2005) dapat dilihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1: Sejarah perkembangan kewarganegaraan Sumber: Bambra et al. (2003), Hal. 22

1.3.5 Globalisasi

Arus informasi, barang, modal dan tenaga kerja bahkan masalah lingkungan dalam lintas batas politik dan ekonomi telah terjadi dalam abad ini. Kompetisi

Sipil Politik Sosial Hak-hak sipil: Kebebasan beragama, berpikir, berpendapat dan kontrak Hak-hak politik: Hak untuk memilih

dan dipilih Hak-hak sosial: Pendidikan dan kesehatan gratis, pemeliharaan pendapatan

(18)

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bukti bahwa kelihatan dunia terasa semakin sempit, persepsi tentang waktu telah berubah dan terdapat interaksi global terhadap ide, budaya dan nilai-nilai, termasuk interaksi global dalam bidang kesehatan. Kebakaran hutan di beberapa provinsi dan pulau di Indonesia telah menjadi masalah global yang menuntut perhatian bersama secara global. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera menyebabkan negara-negara tetangga ”berteriak” dan bahkan sampai menawarkan diri untuk menyelesaikan masalah ini.

Lee (2000) dalam Bambra et al. (2003) memberikan definisi tentang globalisasi sebagai ”The process of closer interaction of human activity across a range of spheres, including the economic, sosial, political and cultural, experienced along three dimensions: spatial, temporal and cognitive”. Tentu saja, globalisasi memberikan manfaat dan tidak sedikit pula memberikan kerugian. Manfaatnya adalah jika potensi dan sumber daya yang dimiliki lebih siap dan memberi kontribusi terhadap masyarakat global, Indonesia menjadi negara yang bisa menjadi supplier tenaga kesehatan, bahasa Indonesia seharusnya dapat menjadi bahasa pemersatu dan bahasa pengantar bagi MEA. Namun demikian, jika bangsa ini tidak bisa bersaing bahkan tenaga kerja Indonesia dibayar dengan harga yang murah, maka globalisasi bagi bangsa Indonesia adalah bencana.

1.4 Mengapa kesehatan menjadi isu politik?

Kelihatannya politik kesehatan agak terbelakang dan termarginalkan (underdeveloped and marginalised). Politik kesehatan belum banyak diperdebatkan atau didiskusikan secara luas sebagai entitas politik dalam debat-debat akademik (seminar, workshop, penelitian, pelatihan, seminar dan konferens) atau kelompok masyarakat yang lebih luas, termasuk dalam ilmu politik (McGinnis, Williams-Russo, & Knickman, 2002; Navarro & Shi, 2001). Dibandingkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan dan kenegaraan lainnya misalnya masalah KPK, kepolisian, terorisme, ekonomi, geng motor masalah politik kesehatan belum menjadi isu dan perdebatan bagi setiap orang. Politik kesehatan hanya banyak diperdebatkan oleh partai, calon legislatif dan calon bupati/walikota/gubernur bahkan presiden ketika menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Isu kesehatan dan bahkan yang mempengaruhi kesehatan kemudian perlahan hilang seiring dengan saat terpilihnya seorang pimpinan. Masalah politik kesehatan akan muncul kembali diperdebatkan menjelang pemilihan berikutnya. Oleh karena itu, diibaratkan isu kesehatan ini diperdebatkan seperti mata gergaji. Tidak ada penjelasan secara sederhana dalam kealpaan ini. Perlakuan kesehatan sebagai politik hampir merupakan hasil interaksi dari sebuah isu yang demikian kompleks.

1.5 Politik dan outcome kesehatan

Terdapat hubungan antara politik, pasar tenaga kerja, disparitas sosial dan outcome kesehatan (lihat Gambar 1.2). Politik yang dimaksudkan misalnya dukungan elektoral yang diukur dengan partisipasi pemilih dan keberpihakan pemilih, dan sumber daya kekuasaan yang mendukung setiap tradisi politik. Kondisi politik ini berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja (labour market) dan negara kesejahteraan

(19)

(welfare state). Pasar tenaga kerja mencakup populasi yang aktif, partisipasi perempuan terhadap angkatan kerja, angka pengangguran terhadap perempuan dan laki-laki sementara negara kesejahteraan diukur dari pengeluaran kesehatan masyarakat (public health expenditure) dan cakupan pelayanan kesehatan masyarakat (public health care coverage). Baik pasar tenaga kerja maupun negara kesejahteraan berpengaruh terhadap disparitas sosial yang dikur dari disparitas pendapatan. Tentu saja disparitas sosial memberi dampak terhadap kesehatan baik terhadap angka kematian bayi maupun usia harapan hidup.

Gambar 1.2: Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan Sumber: Navarro et al. (2006)

1.6 Pertanyaan dan Diskusi

Setelah membaca materi ini, peserta dapat menjawab pertanyaan di bawah ini: a. Apa yang dimaksud dengan politik, kesehatan dan politik kesehatan?

b. Apa sifat politik kesehatan?

c. Mengapa kesehatan disebut isu politik?

d. Gambarkan sejarah perkembangan kewarganegraan dalam kaitan dengan kesehatan

e. Buktikan bahwa masalah kesehatan banyak ditentukan oleh dimensi politik! 1.7 Penutup

Dari aspek sosial masalah kesehatan telah banyak diperdebatkan akan tetapi pentingnya dimensi politik yang mempengaruhi kesehatan belum banyak dipelajari. Menyadari pentingnya dimensi politik terhadap kesehatan, maka sebaiknya perguruan tinggi kesehatan dan sekolah kesehatan (masyarakat) sebaiknya mengajarkan kepada mahasiswa dan mereka yang tertarik dalam bidang ini. Kami percaya bahwa politik kesehatan adalah sebuah bidang ilmu yang tidak kurang pentingnya dengan sosiologi

Politik Time in government berdasarkan perbedaan tradisi politik Dukungan elektoral:  Partisipasi pemilih  Keberpihakan pemilih

Sumber daya kekuasaan

Pasar tenaga kerja

 Populasi aktif  Partisipasi perempuan dalam angkatan kerja  Angka pengangguran laki-laki dan perempuan

Negara kesejahteraan  Pengeluaran kesehatan masyarakat  Cakupan pelayanan kesehatan masyarakat Disparitas sosial Disparitas pendapatan Outcome kesehatan Angka Kematian Bayi Usia Harapan Hidup

(20)

kedokteran dan ekonomi kesehatan pada satu sisi dan sosiologi politik dan psikologi politik pada sisi yang lain.

References:

Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London: The Stationary Office.

Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London: Sage.

Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health. Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.

Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health Promotion International, 20(2), 187-193.

Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J (Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave Macmillan.

Donkn, A., Goldblatt, P., & Lynch, K. (2002). Inequalities in life expectancy by social class 1997-1999. Health Statistics Quarterly, 15, 5-15.

Doyal, L., & Pennell, I. (1979). The political economy of health. London: Pluto Press. Freeman, R. (2000). The politics of health in Europe. Manchester: University of

Manchester Press.

Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.

International Forum for the Defence of the Health of People. (2002). Health as an esential human needs, a right of citizenship, and a public good: health for all is possible and necessary. International Journal of Health Services, 32, 601-606.

Marmot, M., & Wilkinson, R. (2001). Psychosocial and material pathways in the relation between income and health. British Medical Journal, 322, 1233-1236. Marsh, D., & Stoker, G. (2002). Theory and methods in political science.

Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan.

McGinnis, J. M., Williams-Russo, P., & Knickman, J. R. (2002). The case for more active policy attention to health promotion. Health Affairs, 21, 78-93.

Navarro, V., Muntaner, C., Borrell, C., Benach, J., Quiroga, A., Rodriguez-Sanz, M., . . . Pasarin, M. I. (2006). Politics and health outcomes. Lancet, 367.

Navarro, V., & Shi, L. (2001). The political context of social inequalities and health. International Journal of Health Services, 31, 1-21.

Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful partnership development at local government level. Griffith University, Brisbane, Australia.

Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126. Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact of

public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.), Understanding health inequalities. Buckingham: Open University Press.

(21)
(22)

BAB II

KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN

2.1 Pendahuluan

Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk mewujudkan kondisi kesehatan yang optimal, para professional kesehatan seharusnya memiliki kompetensi atau keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai bagian dari kompetensi sosial harus dikembangkan dan diasah terus guna memperoleh dukungan politik pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat dan faktor yang mempengaruhinya. Berbagai jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana membangun keterampilan tersebut disajikan pada bagian ini.

2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan

Meskipun politik kadang berkonotasi negatif tetapi ternyata keterampilam politik menjadi sangat penting bagi karir manager seseorang termasuk didalam mengelola program kesehatan. Keterampilan politik dimaknai sebagai gaya interpersonal yang merupakan penggabungan antara kepedulian sosial (social awareness) dengan kemampuan berkomunikasi. Orang-orang yang sering berlatih dan mempraktekkan keterampilan ini secara baik, menawan dan menarik dapat menginspirasi percaya diri, kepercayaan, dan ketulusan. Penggunaan keterampilan politik tidak dibatasi oleh interaksi tatap muka (face to face interaction), tetapi justru keterampilan politik ini memberikan ruang kepada model komunikasi yang lain misalnya melalui email dan sarana komunikasi lainnya.

Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial merupakan bagian dari salah satu kompetensi pemimpin kesehatan masyarakat, dibutuhkan hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta, partai politik, organisasi profesi, dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan (Non Government Organisation). Keterampilan seperti ini pun menjadi sangat penting dalam bidang kesehatan karena:

a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi determinan. Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka kematian dan angka kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa lingkungan, kebijakan, anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan atau pun dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik semua aspek ini harus dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah dan pengambil kebijakan, dikomunikasikan kepada kelompok atau pun masyarakat secara umum. b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu

ada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara internal orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan yang berbeda antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan promosi

(23)

kesehatan. Demikian pula antara satu departemen dengan departemen lainnya. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan dan Pertamanan masing-masing mempunyai bisnis berbeda yang kesemuanya mencoba untuk mempengaruhi pejabat tingkat di atasnya untuk diakomodasi sebagai sektor prioritas.

c. Karena determinan kesehatan sangat kompleks, maka perlu ada kemampuan koordinasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan yang ada. Koordinasi dan kerjasama menjadi sangat penting karena banyak fakor kesehatan yang berada di luar dari sektor kesehatan (beyond health). Angka kesakitan dan kematian yang tinggi bukan karena terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas tetapi karena kurang gizi, angka kecelakaan, jalanan berlubang atau banjir. Masalahnya tidak berada pada ranah sektor kesehatan tetapi dampaknya ada pada sektor kesehatan. d. Peningkatan kapasitas baik tenaga kesehatan maupun masyarakat secara

keseluruhan dan berkesinambungan. Oleh karena itu kemampuan melatih atau transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan tersebut dan demi efektifitas program.

Keterampilan politik yang harus dimiliki oleh mereka yang bergerak dibidang kesehatan adalah keterampilan komunikasi, memfasilitasi, melatih, mempengaruhi, mengkoordinasi dan kerjasama dengan orang lain. Meskipun demikian, kemampuan komunikasi tentang bagaimana menyampaikan pesan secara efektif, bagaimana mempengaruhi orang lain dan kerjasama dengan orang lain menjadi hal yang krusial dan tidak mudah untuk dilakukan. Nampaknya mudah untuk diungkapkan tetapi relatif sulit untuk diimplementasikan. Orang yang memiliki kemampuan politik yang tinggi mampu mengekspresikan diri secara alamiah dan dapat memanfaatkan berbagai sarana komunikasi. Mereka yang memiliki kemampuan dan skill politik yang tinggi memberi kesempatan kepada orang lain untuk menciptakan sinergitas diantara berbagai praktek perilaku untuk menetapkan sebuah dinamika interpersonal. Oleh karenanya, skill politik bukan merupakan sifat atau skill tunggal tetapi merupakan gabungan dari berbagai skill lainnya.

Kotak 2.1: Keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial

Sumber: Ferris, Perrewe, Anthony, and Gilmore (2000) Keterampilan sosial (Social Skills):

Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)- Melatih (Coaching) – Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi (Coordinating) – Kerjasama

(24)

2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial

Beberapa jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan politik, yaitu kecerdasan sosial (social intelligence), kecerdasan emosional (emotional intelligence), ketahanan ego (ego-resiliancy), social self efficacy (self efficacy social), Pemantauan diri sendiri (self monitoring),

a. Kecerdasan sosial

Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan mengelola orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas pandangan kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan lain yang tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada lebih dari satu cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan yang cenderung melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa kecerdasan sosial memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan politik. Banyak fakta-fakta di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai kemampuan akademik yang biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah masyarakat memimpin partai politik, organisasi daerah, bahkan posisi bupati/walikota, gubernur dan presiden. Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk lingkungan kerja dan berkaitan dengan pemahaman dan mengelola orang dalam pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi memiliki kemampuan di dalam memahami dan mengelola orang lain.

b. Kecerdasan emosional

Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan menunda kepuasaan sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan mampu mengontrol dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi juga memiliki rasa empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon bagaimana perasaan orang lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ketika seseorang menderita sakit berkepanjangan, mengalami musibah kemiskinan dan kelaparan, maka mereka yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bahkan dengan empati ini, mereka bisa memberikan bantuan dan ikut memecahkan masalah terhadap apa yang dihadapi oleh orang lain. Oleh karena itu, mengontrol dan mengatur emosi merupakan bagian penting dari keterampilan sosial disamping aspek penting lainnya misalnya membangun dan memanfaatkan modal sosial.

c. Ketahanan ego

Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda dan terus berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation, adaptive

(25)

impulse control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk beradaptasi dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang berkontribusi terhadap keterampilan politik.

d. Self efficacy sosial

Tipe lain dari keterampilan sosial yaitu efikasi diri sosial, yang mengacu pada penilaian kemampuan pribadi dalam konteks interaksi sosial. Orang yang mempunyai self efficacy sosial yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol hasil interaksi sosial. Mereka yang mempunyai self efficacy sosial yang rendah pada konstruksi ini, di sisi lain, percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menguasai interaksi sosial, terlepas dari level kompetensi sosial atau pengetahuan mereka. Dengan demikian, self efficacy sosial adalah keyakinan dasar atau keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan situasi sosial, yang memberikan kontribusi untuk bersikap optimistis dan sikap yang positif, dan berkontribusi terhadap terhadap efektivitas dalam situasi sosial. Keterampilan politik mencerminkan konsep efikasi diri sosial, namun skill politik ini berkaitan dengan konteks yang unik dan interaksi dalam organisasi.

e. Pemantauan diri sendiri (self monitoring)

Orang yang memiliki kemampuan pemantauan diri sendiri dapat menunjukkan kemampuan untuk mengontrol ekspresi emosi mereka. Mereka mampu menggunakan keterampilan ini secara efektif untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Dengan demikian, pemantauan diri merupakan jenis keterampilan sosial yang berfokus pada demonstrasi efektif tentang situasi perilaku sosial. Selain itu, mereka yang memiliki kemampuan ini mencerminkan keterampilan yang unik untuk bisa membaca, menafsirkan, dan memahami situasi sosial yang ada. Gaya sosial pemantauan diri yang tinggi adalah salah satu yang mencoba untuk menyajikan sesuatu yang sesuai orang dalam setiap situasi. Orang dengan orientasi ini pula, mempunyai sensitivitas dan daya respons yang kuat terhadap isyarat interpersonal. Meskipun demikian, keterampilan politik berbeda dengan pemantauan diri. Keterampilan politik sering digunakan untuk melakukan perubahan terhadap cara yang diinginkan, sedangkan pemantauan diri menggambarkan upaya individu untuk berperilaku dengan cara yang tepat secara sosial.

f. Tacit knowledge and practical intelligence

Tacit knowledge and practical intelligence diartikan sebagai pengetahuan dipahami tanpa dikatakan atau diam-diam atau tanpa diucapkan, dan kecerdasan praktis adalah salah satu skill sosial dan politik yang harus dimiliki oleh politisi kesehatan atau yang bergerak dibidang kesehatan. Tacit knowledge ini mengacu pada orientasi tindakan yang relevan dengan pengetahuan yang memungkinkan orang untuk mencapai tujuan mereka secara pribadi. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa bantuan lembaga lainnya dengan kata lain, belajar tentang diri sendiri. Hal ini berhubungan secara alamiah dan secara langsung berkaitan dengan pencapaian tujuan. Pengetahuan tacit berkaitan dengan kecerdasan praktis, atau akal sehat. Pengetahuan tacit dan kecerdasan praktis berhubungan erat satu sama lain dalam

(26)

keterampilan politik. Jika seseorang memiliki pengetahuan ini, salah satu lebih mungkin untuk dapat menunjukkan keterampilan politik. Dengan demikian, keterampilan politik sebagian besar didasarkan pada pengetahuan tacit seseorang dan kecerdasan praktis.

Pengaruh dimensi keterampilan sosial terhadap keterampilan politik dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1: Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik Sumber: Ferris et al. (2000)

2.4 Dimensi Keterampilan Politik

Pemeriksaan yang cermat dan teliti terhadap politik organisasi dan keterampilan politik menunjukkan beberapa aspek penting yang harus dimasukkan dalam konseptualisasi keterampilan politik. Pemeriksaan ini menunjukkan empat dimensi kritis keterampilan politik: kecerdasan sosial, pengaruh interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas.

Kecerdasan sosial. Individu yang memiliki keterampilan politik memahami interaksi sosial dengan baik dan akurat dan mampu menafsirkan perilaku mereka, serta perilaku orang lain. Mereka tajam dengan lingkungan sosial yang beragam dan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Pfeffer (1992) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik seperti ini sensitif terhadap orang lain, dan dia berpendapat bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi dengan orang lain sangat penting untuk mendapatkan hal-hal untuk diri sendiri. Individu yang cerdik secara sosial sering dipandang sebagai orang cerdik, bahkan pintar, dalam berhubungan dengan orang lain.

Pengaruh interpersonal. Secara politik, individu yang terampil memiliki gaya hidup sederhana dan meyakinkan yang memberikan pengaruh kuat pada orang lain di sekitar mereka. Pengaruh interpersonal memungkinkan orang untuk beradaptasi dan menyesuaikan perilaku mereka untuk situasi yang berbeda untuk memperoleh

Keterampilan politik Self-efficacy sosial Pemantauan diri sendiri Ketahanan ego Pengetahuan tacit dan kecerdasan praktis Kecerdasan emosional Kecerdasan sosial

(27)

tanggapan yang diinginkan dari orang lain. Pengaruh dimensi interpersonal menangkap apa yang Pfeffer (1992) sebut sebagai "fleksibilitas", yang melibatkan adaptasi perilaku seseorang untuk target pengaruh yang berbeda dalam setting kontekstual yang berbeda untuk mencapai tujuan seseorang.

Kemampuan jaringan. Individu dengan keterampilan politik yang dimilikinya mahir mengidentifikasi dan mengembangkan beragam kontak dan jaringan. Orang-orang dalam jaringan ini cenderung untuk memegang aset sebagai sesuatu yang berharga dan diperlukan untuk keuntungan pribadi dan organisasi yang sukses. Mereka biasanya mempunyai gaya yang halus. Individu politik terampil dengan mudah mengembangkan persahabatan dan membangun kuat, aliansi dan koalisi. Selain itu, individu yang tinggi dalam kemampuan jaringan memastikan mereka memiliki posisi untuk membuat dan memanfaatkan peluang (Pfeffer, 1992). Akhirnya, mereka sering menjadi negosiator terampil dan pembuat kesepakatan, dan mahir terhadap manajemen konflik.

Ketulusan jelas. Individu yang memiliki keterampilan politik muncul di permukaan sebagai seorang yang memiliki tingkat integritas yang tinggi dan menjadi otentik, dan tulus. Mereka, atau tampak jujur dan terus terang. Dimensi keterampilan politik ini sangat penting jika upaya pengaruh menjadi berhasil, karena berfokus pada niat yang dirasakan terhadap perilaku yang ditampilkan. Sebagaimana dicatat oleh Jones (1990), upaya pengaruh akan berhasil bila aktor yang dianggap tidak memiliki motif tersembunyi atau kepentingan lain daripada kepentingan yang ada selama ini. Individu yang tinggi dalam ketulusan jelas menginspirasi rasa percaya dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka karena tindakan mereka tidak ditafsirkan sebagai tindakan manipulatif atau koersif.

Keempat dimensi keterampilan politik itu yaitu kecerdasan sosial, pengaruh interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas diasumsikan mempunyai hubungan satu sama lain.

2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi

Kompetensi politik adalah sebuah konstruk yang telah diperkenalkan lebih dari dua dekade yang lalu untuk membangun sebuah organisasi yang efektif. Namun para ilmuan organisasi banyak tertidur (dormant) dan lambat menyadari pentingnya keterampilan politik tersebut. Di awal tahun 1980s, Pfeffer (1981) dan Mintzberg (1983) mengadvokasi perspektif politik pada organisasi. Keduanya juga menyarankan bahwa untuk menjadi efektif dalam lingkungan politik, individu seharusnya memiliki keterampilan politik. Penelitian-penelitian tentang keterampilan politik banyak tidur hingga Ferris dan koleganya (Ferris et al., 1999; Ferris, Treadway, et al., 2005) mengembangkan sebuah ukuran konstruk dan program penelitian.

Keterampilan politik ditandai sebagai pola kompetensi sosial yang komprehensif dengan manifestasi kognitif, afektif dan perilaku yang mempunyai dampak langsung terhadap outcome atau dampak moderator terhadap hubungan predictor-outcome. Sebuah pandangan baru yang dishare oleh banyak akademisi adalah bahwa organisasi sudah menjadi sifatnya sebagai arena politik (Mintzberg, 1985). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa meskipun kinerja, efektivitas, dan kesuksesan karir ditentukan sebagian oleh kecerdasan dan kerja keras, faktor lain

(28)

seperti kecerdasan sosial, posisi, dan kecerdasan itu sendiri memainkan peran penting (misalnya, Luthans, Hodgetts, & Bergen, 1988; Mintzberg, 1983). Pfeffer (1981) adalah salah satu yang pertama menggunakan istilah "skill politik" dalam literatur ilmiah. Dia menyarankan bahwa keterampilan politik dibutuhkan untuk menjadi sukses dalam organisasi. Demikian pula, Mintzberg (1983) mengemukakan bahwa keterampilan politik disebut sebagai latihan pengaruh melalui persuasi, manipulasi, dan negosiasi.

2.6 Membangun Keterampilan Politik

Orang mungkin dilahirkan dengan kapasitas dan mempunyai keterampilan politik, tetapi mungkin tidak pernah terwujud sampai batas yang paling maksimal kecuali mereka menemukan diri mereka sendiri. Mereka melatih diri sendiri. Semakin mengasah keterampilan politik tersebut untuk mencapai kesempurnaan dan atau terlibat secara aktif mengembangkan keterampilan, maka mereka akan memiliki keterampilan politik yang lebih maksimal pula. Oleh karena itu, perlu ada proses seleksi dan implikasi pelatihan untuk keterampilan politik. Ini menunjukkan bahwa keterampilan politik itu dapat diperoleh karena dilahirkan dan juga dapat dikembangkan melalui proses belajar dan latihan secara terus menerus. Orang yang memiliki keterampilan politik karena dilahirkan, berasal dari keluarga dan keturunan yang memiliki keterampilan politik yang baik dan juga keterampilan tersebut terus berlatih, maka orang tersebut akan semakin matang dengan keterampilan politik yang dimilikinya.

Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan politik seseorang, yaitu:

a. Penilaian diri sendiri (self assessment) dan pemahaman

Penilaian diri sendiri atau kesadaran diri yang lebih baik dapat dilakukan dengan memahami kepribadian seseorang dan bagaimana membuat keputusan. Kuesioner penilaian kepribadian yang cukup baik adalah Five-Factor Model and the Sixteen Personality Factor Questionnaire (16PF) (Cattell and Mead (2008); John & Srivastava, 1999; McCrae & John, 1991). Kedua instrumen ini mampu memberikan pandangan terhadap kepribadian seseorang di dalam menentukan bagaimana seorang merespon terhadap berbagai situasi organisasi. Five factor model biasa disebut Big 5 personality traits dan masing-masing mempunyai deskripsi, yaitu: Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, and Openness to Experience.

1) Ekstraversi (Extraversion). Menilai kuantitas dan intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung, kemampuan untuk berbahagia. Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan seseorang akan hubungan. Mereka yang memiliki skor ekstraversi yang tinggi cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan. Sementara mereka yang memiliki skor yang rendah cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian.

(29)

2) Keramahan (Agreeableness). Menilai kualitas orientasi individu dengan kontinum nilai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan dan perilaku. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Mereka yang memiliki skor A tinggi cenderung jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain. Mereka yang memiliki skor A rendah cenderung memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain.

3) Kesadaran (Conscientiousness). Menilai kemampuan individu didalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah, ia akan cenderung menjadi lebih kacau pikirannya,mengejar banyak tujuan.

4) Neurotisme (Neuroticism). Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah individu tersebut mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai coping response yang mal-adaptif. Dimensi ini menampung kemampuan seseorang untuk menahan stres. Mereka yang memiliki skor N yang tinggi cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang memiliki skor N yang rendah cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman.

5) Keterbukaan (Openness). Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini mengarah tentang minat seseorang. Mereka yang memiliki skor tinggi pada keterbukaan akan cenderung menjadi imajinatif, benar-benar sensitif dan intelek. Sementara mereka yang memilik skor rendah pada keterbukaan cenderung realistis, tidak kreatif, dan tidak penasaran terhadap sesuatu.

Sixteen personality factors (16PF) adalah kuesioner kepribadian yang telah dikembangkan berabad-abad lamanya oleh Raymond B. Cattell, Maurice Tatsuoka dan Herbert Eber, sebuah alat ukur yang komprehensif dan efektif untuk menilai kepribadian normal dalam berbagai pengaturan di mana penilaian yang mendalam dari seluruh orang yang dibutuhkan (Cattell & Mead, 2008). 16PF ini dapat digunakan sebagai instrumen klinik untuk membantu melakukan diagnosa gangguan mental demikian juga secara luas telah digunakan dalam bidang psikologi.

(30)

Walaupun 16 PF hanya mengukur kepribadian normal (bukan psikopatologi), tes tersebut juga sering digunakan dalam bidang konseling dan klinis karena kemampuannya dalam memberikan gambaran utuh dan mendalam pada seseorang, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Selain hal tersebut, 16 PF memfasilitasi dialog antara psikolog dan klien, hal ini karena 16 PF merepresentasikan aspek umum dalam keseharian sehingga dapat disharingkan dengan klien, selanjutnya memudahkan untuk berdiskusi, meningkatkan kesadaran diri dan membuat klien merasa aman dan nyaman sebagai partner dalam proses asesment dan terapi.

16 PF dapat mengetahui keadaan klien seperti cara berpikir, self-esteem, keterbukaan, toleransi, coping stres dan empati. Kesemua itu dapat digunakan dalam mengembangkan kerja sama dengan klien, memilih metode terapi yang sesuai dan merencanakan proses terapi yag efektif. Selain itu 16 PF telah digunakan pula dalam berbagai bidang, dari industri seperti rekrutmen, promosi dan training hingga penelitian tentang sosial, proses penuaan dan militer.

Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead, 2008; Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :

1. Warmth (Kehangatan)

2. Reasoning (Pemikiran/Penalaran)

3. Emotional stability (Stabilitas emosional) 4. Dominance (Dominasi)

5. Liveliness (Keaktifan)

6. Rule-Consciousness (Kesadaran peraturan) 7. Social Boldness (Keberanian sosial ) 8. Sensitive (Sensitif)

9. Vigilance (Kewaspadaan) 10. Abstractedness (Imajinasi) 11. Privateness (Privasi)

12. Apprehension (Penangkapan)

13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk berubah) 14. Self-Reliance (Kemandirian)

15. Perfectionism (Perfeksionisme) 16. Tension (Ketegangan)

Pengukuran penilaian diri sendiri adalah dengan melalui The Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Instrumen ini menyiapkan informasi mengenai bagaimana individu menyelesaikan masalah, membuat keputusan dan gaya interaksi yang lebih cocok. Psikiater Swiss, Carl Jung, mengembangkan teori awal abad 20 untuk menggambarkan preferensi dasar individu dan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara orang Prem (n.d). Postulat utama dari teori ini adalah bahwa orang memiliki kecenderungan perilaku bawaan dan preferensi. Jung teori penting tetapi tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. Isabel Myers dan Katherine Briggs (tim ibu-anak) memperluas kerja Jung dengan mengembangkan instrumen untuk membantu orang mengidentifikasi alat preferensi. MBTI merupakan indikator dari

(31)

tipe kepribadian (yaitu preferensi bawaan) yang telah terbukti sangat handal dan valid. Perbedaan dari alat berbasis karir psikologis atau lainnya

1. Tidak menilai kesehatan psikologis

2. Tidak "memberitahu" klien apa yang harus dilakukan 3. Melibatkan umpan balik klien dan "kesepakatan" 4. Melibatkan ada skala atau nilai

5. Kekuatan dan kelemahan inherent yang terkait dengan setiap jenis profil

Terdapat empat dimensi indikator tipe Myers-Briggs yaitu extraversion-introversion, sensing-intuition, thinking-feeling dan judging-perceiving (MBTI, 2013) (lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1: Empat Dikotomi MBTI Extraversion – Introversion

E - I Dichotomy

Di mana Anda lebih memilih untuk memfokuskan perhatian Anda - dan mendapatkan energi Anda?

Sensing – Intuition

S - N Dichotomy Bagaimana Anda memilih untuk mengambil informasi? Thinking – Feeling

T - F Dichotomy Bagaimana Anda membuat keputusan? Judging – Perceiving

J - P Dichotomy Bagaimana Anda berurusan dengan dunia luar? Sumber: Prem (n.d); MBTI (2013)

Extraversion – Introversion

Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi dari kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia internal, lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun kembali energi "tenang-pengisian".

Sensing – Intuition

Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara detil dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat meminimalkan pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah percaya informasi yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat bagaimana data berhubungan dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga dapat memperhatikan "firasat".

(32)

Thinking – Feeling

Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi; bersandar terhadap yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai dan perasaan manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari perspektif lain; terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada keterampilan-orang, kehangatan dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya "fakta".

Judging – Perceiving

Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat waktu; memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut; ingin tetap mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan mungkin tampak terlalu fleksibel.

Tabel 2.2: Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)

No 16PF MBTI

1 Berdasarkan analisis statistik dan pengamatan perilaku manusia

Berdasarkan Jung tentang teori kepribadian

2 Menyediakan pendekatan dari luar-ke

dalam Menyediakan pendekatan dari dalam- ke luar 3 Menggambarkan pengaruh yang

mendasari pada gaya perilaku individu dan dampaknya terhadap situasi kehidupan nyata

Membantu orang meningkatkan kesadaran diri mereka, dan memperluas pemahaman mereka tentang orang lain 4 Memberikan gambaran yang lebih rinci

tentang bagaimana berbeda atau seberapa mirip orang tersebut dengan orang lain, pada sejumlah besar dimensi kepribadian

Menyediakan cara mudah bagi individu untuk memahami esensi dari kepribadian mereka sendiri dan mengapa orang lain melihat dunia dan melakukan sesuatu yang berbeda

5 Memberikan gambaran rinci dan spesifik pada individu tersebut

Memberikan gambaran utuh dari keseluruhan kepribadian

6 Memberikan wawasan tertentu ke dalam perasaan dan emosi individu

Memberikan wawasan tertentu ke dalam bagaimana individu mengambil informasi dan membuat keputusan 7 Bagi individu yang sebelumnya

menyelesaikan tipe kuesioner berdasarkan MBTI, umpan balik 16PF menyediakan cara untuk menindaklanjuti interpretasi MBTI dengan cara yang baru & rinci

Bagi individu yang sebelumnya melengkapi instrumen berbasis sifat seperti kuesioner 16PF, menerima umpan balik MBTI memberikan alternatif yang berguna sebagai acuan Sumber: Hackston (n.d.)

(33)

Model penilaian diri sendiri yang tak kalah populernya yaitu dengan instrumen umpan balik 360 derajat (360-degree feedbacks). Cara ini dilakukan yaitu mengumpulkan persepsi orang lain tentang bagaimana pribadi atau perilaku manajer diterima dalam sebuah konteks organisasi. Ini adalah sejumlah instrumen, tetapi meskipun demikian instrumen ini tidak mengukur secara langsung keterampilan politik seseorang. Setiap individu atau tenaga kerja dalam konsep penilaian umpan balik 360 derajat menilai diri mereka sendiri dan menerima feedback dari rekan lainnya, atau atasan atau konsumen. Misalnya tenaga kesehatan menilai dirinya atas kualitas dan jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien atau keluarga pasien. Namun pada sisi yang lain konsumen/pasien/keluarga pasien, rekan sekerja dan atasan akan memberikan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan tersebut. Apakah pasien merasa puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan dalam hal keramahan, komunikasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan. Rekan sekerja dan atasan akan memberikan penilaian bagaimana petugas kesehatan tersebut memberikan pelayanan kepada pasien misalnya dalam hal kebersihan ruangan, toilet, ketersediaan air, pencahayaan dan kualitas udara dalam ruangan/gedung. Oleh karena itu, kualitas pelayanan kesehatan pasien dapat berdimensi luas, juga termasuk dalam hal ketanggapan petugas.

Antonioni (1996) dalam Widya (2004) mengemukakan sebuah perusahaan akan memperoleh manfaat dari diaplikasikannya penilaian kinerja umpan balik 360 derajat berupa:

1. Kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh penilaian 2. Meningkatnya management learning

3. Mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap penilai 4. Meningkatkan kinerja

Selain itu penilaian kinerja umpan balik 360 derajat dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan training, yaitu training apa yang dibutuhkan oleh seorang petugas kesehatan dalam rangka peningkatan keterampilan mereka misalnya pelatihan komunikasi interpersonal, pelatihan advokasi, pelatihan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Bagi seorang manajer program mungkin pelatihan yang dibutuhkan adalah menghitung unit cost Puskesmas atau Rumah Sakit, pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan, pelatihan healthy cities.

Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat juga dapat menemukan produk atau layanan baru dan layanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Bisnis rumah sakit tidak hanya berkaitan dengan dokter, tempat tidur dan obat tetapi semua komponen yang memberikan keamanan dan kenyamanan pasien dan keluarga pasien. Produk baru dapat berupa layanan parkir untuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan menggunakan sistem elektronik seperti layanan kendaraan di mal-mal atau di jalan tol; layanan kebutuhan yang berkaitan dengan fasilitas handphone, layanan rumah makan atau membangun layanan rujukan yang lebih cepat. Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat tersebut dapat pula mengukur reaksi anggota tim dan dapat memprediksi permasalahan yang akan dapat terjadi dari sebuah organisasi karena pada penilaian ini selain konsumen menilai dirinya sendiri, konsumen dinilai oleh orang lain atau teman sekerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat membangun

(34)

interkasi dan komunikasi yang lebih terbuka serta dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap potensi permasalahan yang akan muncul.

Untuk mencapaian kinerja maksimal, maka organisasi harus menetapkan tujuan, standar minimal bahkan tugas dan fungsi dari setiap orang dan jabatan. Dengan instrumen ini, maka kinerja seseorang lebih mudah untuk diukur, juga mereka yang dinilai mengetahui apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka.

INPUT PROCESS OUTPUT

Gambar 2.2: Proses penilaian umpan balik 360 derajat Sumber: Antonioni (1996), hal. 25

b. Metode untuk belajar dan mengembangkan keterampilan politik

Keterampilan politik dapat dipelajari atau dikembangkan dalam berbagai cara. Latihan pengalaman peserta melalui bermain peran dan simulasi merupakan salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan politik. Misalnya, peserta mungkin akan diminta untuk memainkan peran di dalam memecahkan masalah kebijakan pelayanan pasien BPJS yang demikian menimbulkan berbagai masalah sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dilaunching oleh pemerintah 1 Januari 2014. Diantara mereka ada yang bertindak sebagai pasien BPJS, petugas BPJS, Kasir, Security dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (Dokter).

1) Pasien BPJS ini adalah seorang perempuan bernama A, umur 39 tahun, tinggal di salah satu kecamatan di Makassar dalam wilayah kerja Puskesmas ”KK”. Menurut dokter yang memeriksanya yang bersangkutan akan mengalami operasi  Appraisal objective  Appraisal instrument  Feedback  Anonymity for appraisers  Selection of peer appraisers  Training appraisers  Training for coaches  Feedback report  Self appraisal  Reaction to feedback  Coaching for improvement  Targeting improvement areas  Developing action plans

 Reporting result back to appraisal

 Communication  Specific

improvement goal and action plans  Job training  Mini appraisal and

follow up  Recognition for improvement  Accountability  Increase awareness of appraisal expectation  Improvevement work behavior and performance  Reduction of undiscussable specifically  Increase in periodic informal 3600 feedback performance reviews  Increase in management training

Gambar

Tabel 1.1: Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik
Gambar 1.1: Sejarah perkembangan kewarganegaraan  Sumber: Bambra et al. (2003), Hal. 22
Gambar 1.2: Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan  Sumber: Navarro et al. (2006)
Gambar 2.1: Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik  Sumber: Ferris et al
+7

Referensi

Dokumen terkait