• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK

6.3 Pemilu dan aktor politik kesehatan

Siapa yang disebut aktor politik kesehatan? Siapa saja - orang, kelompok, lembaga atau profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang sehat dan sejahtera itulah aktor politik kesehatan. Tentu saja, mereka sangat sulit ditarik benang merahnya untuk menentukan siapa mereka itu sesungguhnya. Dalam tulisan ini diidentifikasi bahwa aktor politik tidak lain adalah mereka yang juga sekaligus bertindak sebagai aktor pembangunan misalnya bupati/walikota, gubernur dan presiden. Secara spesifik aktor politik dalam bidang kesehatan meliputi kementerian kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi, rumah sakit daerah, LSM kesehatan, journalis, para peneliti kesehatan, politikus, dan para akademisi. Oleh karena itu, aktor politik kesehatan dapat berasal dari kalangan pemerintah, birokrat, swasta maupun berasal dari LSM (Palutturi, 2010).

Meskipun banyak aktor politik kesehatan lain yang memperjuangkan masalah kesehatan akan tetapi terdapat sejumlah aktor politik yang sangat menentukan arah pembangunan kesehatan. Aktor politik yang dimaksudkan adalah presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR RI, DPD dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Untuk mewujudkan visi misi kesehatan Indonesia diperlukan penguatan komitmen politik yang serius oleh aktor politik baik pusat maupun daerah dari Sabang sampai Marouke. Mereka inilah yang harus memiliki pemahaman kesehatan yang komprehensif.

Menurut survei dan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang disajikan pada tanggal 26 September 2014 di sebuah forum penting. Tim peneliti memaparkan bagaimana

profil anggota DPR dan DPD Periode 2014-2019 kita dengan melihat latar belakang pekerjaan mereka. Ternyata mereka para anggota DPR dan DPD adalah mempunyai latar belakang yang cukup beragam. Hampir sekitar 70% anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha, anggota DPR/DPD/DPRD sebelumnya dan karyawan swasta. Selebihnya mereka berasal dari kalangan dosen, PNS, seniman, pemuka agama, dan sangat sedikit mereka yang berasal dari kalangan peneliti (Pusat Kajian Politik UI, 2014).

Hampir sama dengan anggota DPD, mereka juga berasal dari latar belakang pekerjaan yang beragam. Tetapi yang menarik dari anggota DPD ini adalah bahwa 19% diantara mereka adalah mereka yang pernah duduk sebelumnya sebagai anggota DPR atau DPRD. Artinya mereka pindah partai atau jalur politik. Hal tersebut dapat terjadi karena ada aturan kepartaian misalnya dimana tidak boleh menjadi wakil partai selama dua periode berturut-turut atau karena basis massa. Sekitar 30% latar belakang anggota senator DPD juga berasal dari kalangan pengusaha/wiraswasta dan karyawan swasta. Artinya ada kemiripan latar belakang pekerjaan baik anggota DPR maupun anggota DPD. Sementara anggota DPD lainnya berasal dari kalangan dosen, aktivis LSM, pemuka agama, seniman dan kalangan profesional misalnya pengacara, peneliti, dokter, dan sebagainya. Dengan latar belakang ini juga sekaligus menunjukkan bahwa mereka ini mempunyai pengalaman dan kepentingan yang berbeda tetapi yang pasti bahwa mereka tentu tetap mau survive dengan posisi yang dimilikinya atau bahkan pindah pada level yang dianggap lebih memberi keuntungan ekonomi, jabatan atau status sosial lainnya.

Dari aspek pendidikan pun, mereka mempunyai tingkat pendidikan yang berbeda. Sebagian besar anggota DPR berpendidikan Sarjana dan Magister (sekitar 80%) dan selebihnya berpendidikan Doktor. Meskipun rata-rata pendidikan DPR cukup baik, tetapi terdapat sekitar 8,47% yang hanya menamatkan pendidikannya sampai tingkat SLTA. Itu juga terjadi pada anggota DPD bahwa sebagian besar tingkat pendidikan mereka adalah Sarjana dan Magister (73%), Doktor (10%) dan selebihnya adalah pendidikan tingkat SLTA. Meskipun tingkat pendidikan bagi anggota DPR atau DPD tidak sepenting bagi perguruan tinggi, dosen misalnya namun semestinya anggota DPR atau DPD tidak ada lagi yang berpendidikan tingkat SLTA dan yang Strata Sarjana mestinya sudah berpendidikan Magister. Mereka adalah pembawa aspirasi masyarakat yang tentu secara akademik diharapkan mereka juga memiliki kemampuan menganalisis masalah dengan baik, memformulasi masalah, sampai mereka dapat dan mampu untuk mengembangkan program dan kebijakan yang lebih baik. Mereka ini adalah wakil rakyat yang berada pada tingkat nasional/pusat yang berbeda statusnya dengan mereka yang berada pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dengan adanya dorongan dan kebijakan pemerintah tentang pendidikan wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12 tahun itu artinya bahwa semestinya anggota DPR termasuk DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak ada lagi yang tidak berpendidikan Srata Satu.

Aktor-aktor politik ini demikian banyak baik berdasarkan jumlah maupun partai yang diwakilinya. Jika diperinci lebih jauh jumlah anggota DPR sebanyak 560 kursi dari 33 provinsi dan 77 daerah pemilihan provinsi di Indonesia (KPU, 2014; Pusat Kajian Politik UI, 2014). Dari sejumlah partai yang ada di Indonesia hanya 10 partai yang mampu menempatkan wakilnya di DPR Pusat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar menempati posisi partai dengan wakil terbanyak di DPR yaitu masing-masing 109 kursi dan 91 kursi. Kedua partai ini sekaligus mengukuhkan kembali sebagai partai terbesar di Indonesia sepanjang sejarah kepartaian. Partai Gerindra yang meskipun usianya jauh terpaut dengan partai-partai besar lainnya namun Partai Gerindra mampu menunjukkan sebagai salah satu partai di Indonesia yang cukup diperhitungkan bahkan pada pemilu 2014 mampu berada pada peringkat ke-3 dengan menempatkan sebanyak 73 orang di DPR. Saya kira partai lain patut belajar dari partai ini. Partai lainnya yaitu Partai Nasdem 35 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, Partai Demokrat 61 kursi, Partai Amanat Nasional 49 kursi, Partai Persatuan Pembangunan 39 kursi, dan Partai Hati Nurani Rakyat 16 kursi. Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak memperoleh kursi di DPR meskipun dua partai tersebut termasuk partai peserta pemilu.

Anggota DPD sebanyak 132 yaitu 4 senator tiap provinsi (33 provinsi) sedangkan anggota MPR adalah keseluruhan anggota DPR dan DPD sehingga jumlahnya sebanyak 692 orang. Ke-692 orang itu sekaligus merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan kewenangan besar dan luas yang akan mempengaruhi kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lima tahun ke depan, ditambah presiden, wakil presiden, dan para kabinetnya. Khusus DPD, lembaga ini merupakan lembaga perwakilan yang baru dibentuk pasca reformasi. Sesuai dengan format representasi, DPD dibagi menjadi fungsi legislasi, fungsi pertimbangan dan fungsi pengawasan pada bidang-bidang tertentu. Fungsi legislasi dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, ikut membahas Rancangan Undang-Undang Bidang terkait misalnya otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya. Selain itu juga berkaitan dengan masalah pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi pertimbangan yaitu memberikan pertimbangan kepada DPR sementara fungsi pengawasan yaitu melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan menyampaikan pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Baik anggota DPR maupun DPD, mereka ini telah dilantik dan mengucapkan sumpah menurut agama dan kepercayaan masing-masing 01 Oktober 2014 silam. Sumpah ini dilakukan sebagai upaya tanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat Indonesia yang diwakilkan di parlemen, tanggung jawab kepada negara, Pancasila dan UUD 1945.

Bunyi sumpah tersebut adalah sebagai berikut: Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan

peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seorang dan golongan; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 6.12: Ilustrasi Pengambilan Sumpah anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019 Sumber: http://bawaslu.go.id/en/node/1102, 08 Juni 2015

Dipandu Ketua Mahkamah Agung sejumlah anggota MPR, DPR dan DPD disumpah. Apakah saudara bersedia bersumpah menurut agama dan kepercayaan saudara masing-masing. Serentak para wakil rakyat baru itu menyatakan kesediannya. Jika aktor-aktor politik ini amanah akan sumpah dan janjinya sebagai wakil rakyat, maka mereka inilah sebagai pejuang pembangunan dalam segala bidang kehidupan, termasuk kesehatan. Mereka inilah yang akan bekerja secara maksimal untuk terus menjadi pembawa aspirasi masyarakat mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera.

Selain itu, pada tingkat provinsi terdapat jumlah anggota DPRD provinsi yang tidak sedikit jumlahnya demikian pula anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.137 orang lebih tinggi dari periode sebelumnya yang jumlahnya hanya 2008 kursi. Terdapat penambahan 134 kursi DPRD Provinsi secara nasional. Sementara jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia sebanyak 17.560 kursi meningkat 1.215 kursi DPRD Kabupaten/Kota dari periode sebelumnya yang jumlahnya hanya 16.345 kursi. Pada level provinsi disana terdapat 33 gubernur dan 33 wakil gubernur. Pada tingkat kabupaten/kota terdapat 397 bupati and 397 wakil bupati dan 98 walikota dan 98 wakil walikota. Mereka adalah aktor politik yang juga telah memegang sumpah dan janji, bersumpah dan berjanji dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT. Jika seluruh aktor politik tersebut

memiliki komitmen dalam upaya untuk menyehatkan warga yang telah memilih mereka dan konsisten dalam membuat berbagai kebijakan dibidang pembangunan kesehatan, maka upaya untuk membuat rakyat sehat akan dapat cepat dicapai. Namun sebaliknya jika wakil rakyat dan para aktor tersebut tidak mempunyai pemahaman dan wawasan kesehatan yang sempurna bahkan tidak mempunyai kepedulian kesehatan maka hancurlah sektor kesehatan di negeri ini (Sukri Palutturi, 2010). 6.4 Kompetensi bagi para aktor politik

Aktor politik kesehatan tidak berarti mereka adalah orang dengan latar belakang pendidikan kesehatan. Akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana para aktor politik mempunyai wawasan kesehatan. Ini sangat penting karena masalah kesehatan demikian kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan hanya melihat masalah kesehatan dari sudut pandang tertentu. Sebuah buku dengan judul the New Public Health yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2008, ditulis oleh Fran Baum, dia adalah seorang sosiolog dan konsultan yang menangani social determinant of health di badan organisasi kesehatan sedunia (World Health Organization). Buku ini menjelaskan bahwa masalah kesehatan tidak lagi hanya berorientasi pada pengobatan akan tetapi lebih dari itu dimensi-dimensi politik, ekonomi, sosial harus menjadi bagian dari pemecahan masalah kesehatan. Konteks politik yang berbicara tentang governance, kebijakan makro ekonomi, kebijakan sosial-buruh, pekerja perumahan dan tanah, kebijakan publik-pendidikan, kesehatan dan perlindungan atau jaminan sosial dan budaya dan nilai-nilai masyarakat merupakan bagian yang sangat penting yang mempengaruhi kesetaraan dan keadilan terhadap kesehatan dan kesejahteraan (Baum, 2008).

Kompetensi politik dipaparkan pada Bab tersendiri. Namun terdapat kompetensi substansi yang orientasinya adalah pada pemahaman yang harus dimiliki oleh para pengambil kebijakan termasuk para anggota DPR maupun DPD. Apa wawasan kesehatan yang harus dimiliki oleh para aktor politik, tentu tidak ada batasannya akan tetapi ada beberapa point yang dianggap penting untuk harus dipahami sebagai aktor politik yaitu sebagai berikut (Sukri Palutturi, 2010):

a. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia, hak yang paling fundamental yang harus dinikmati oleh seluruh warga negara (health is fundamental human rights). Dengan pemahaman ini, mereka akan sadar bahwa masalah kesehatan adalah hak yang harus dinikmati oleh setiap orang tanpa melihat perbedaan suku, ras, bangsa dan agama.

b. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah bukan sektor yang konsumtif akan tetapi sektor investasi yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Artinya peningkatan alokasi anggaran kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam menginvestaikan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

c. Aktor politik harus paham bahwa arah pembangunan kesehatan tidak hanya menekankan pada program-program kesehatan yang bersifat pengobatan dengan pendekatan individual melainkan pada promosi dan prevensi penyakit untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Wilayah (UKW) harus bersinergi dalam pembangunan. UKP lebih banyak orientasinya pada pengobatan, UKM lebih mendorong pada pencegahan penyakit dan promosi kesehatan, dan UKW menitikberatkan pada determinan sosial kesehatan yang lebih kompleks. Pendekatan yang terakhir ini adalah pendekatan lintas sektor. Jika masalah tersebut berada pada wilayah kabupaten/kota atau provinsi maka kedudukan Bappeda memegang peranan strategis untuk menjadi lembaga atau institusi yang bisa berperan sebagai dapur perencanaan bagi sektor-sektor yang lain dalam rangka mewujudkan wilayah yang sehat (Healthy Settings/Cities). d. Aktor politik harus paham bahwa kematian satu orang bayi karena kekurangan

gizi berarti negara telah mengabaikan rakyatnya. Artinya bahwa pemerintah harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi kesehatan anak apalagi saat ini pemerintah telah menggalakkan program 1000 hari pertama kehidupan. e. Aktor politik harus paham bahwa seorang yang telah terjangkit HIV/AIDS

berarti dia telah membawa beban penyakit seumur hidup. Saat ini kasus HIV/AIDS terus meningkat berdasarkan laporan dari Dirjen P2PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia belum lagi kasus yang tidak terlaporkan yang diprediksi jauh lebih banyak dari kasus yang terekam. Mereka telah menjadi pembawa sindrom/penyakit seumur hidup meskipun terdapat upaya pengobatan untuk menjaga stamina dan kondisi kesehatan si penderita. Pemerintah harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS yang lebih optimal. Jika tidak kasus HIV/AIDS akan semakin bertambah.

f. Aktor politik harus paham bahwa jika ada seorang warga negara pengguna narkoba berarti mereka telah merusak generasi dan bangsanya. Kasus narkotika pun juga semakin meningkat dan telah tersentuh hampir pada semua kalangan baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki atau perempuan, pelajar atau pekerja, pemerintah atau swasta. Mereka telah menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika ini. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi sangat kompleks dari masalah kesehatan, putus sekolah, gangguan mental sampai pada masalah sosial dan keamanan. Pemerintah harus memutuskan mata rantai dari penyalagunaan narkotika ini.

g. Aktor politik harus paham bahwa terdapat pertemuan para bupati/walikota se Indonesia pada tahun 2001 yang menyepakati bahwa alokasi anggaran kesehatan minimal 15% dari APBD, dan bahwa negara harus menyediakan alokasi anggaran kesehatan minimal 5% Gross National Product (GNP) sebagai standar minimal WHO.

h. Aktor politik harus paham bahwa yang menjadi kepala Puskesmas seperti yang diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Puskesmas yaitu Kepala Puskesmas dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Di tingkat Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan terdapat pilihan-pilihan jabatan baik jabatan fungsional maupun struktural bagi tenaga kesehatan yang harus dijalankan secara adil. Kepala puskesmas dapat dimainkan oleh seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat yang memang kurikulum pendidikannya bukan saja mencakup kesehatan masyarakat tetapi full kesehatan masyarakat. Tugas kepala puskesmas adalah tugas administratif dan manajerial yang harus fokus untuk dijalankan tanpa harus merangkap jabatan lainnya.

i. Aktor politik harus paham dan ingat bahwa ada janji-janji politik yang disampaikan saat kampanye oleh para calon bupati/walikota, gubernur dan presiden misalnya kesehatan gratis, pendidikan gratis, gratis lahir sampai mati dan seterusnya. Janji itu harus diimplementasikan karena janji itu adalah amanah, dan janji adalah kontrak antara masyarakat dan calon pemerintahnya.

6.5 Diskusi dan Penugasan

Studi kasus ini diambil dari sebuah berita yang dimuat di hukum online (2015). BPJS tentu saja masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dibicarakan terlepas dari plus minus yang dimilikinya. Harapan besar tentang jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harus diwujudkan namun untuk mencapai kondisi tersebut, masih banyak hal yang perlu dilakukan pembenahan baik pada tingkat kelembagaan, kepesertaan, pembiayaan, pemberi pelayanan kesehatan sampai pada masalah perilaku masyarakat itu sendiri sebagai pengguna pelayanan kesehatan. Peran pemerintah dan DPR adalah bagian tak terpisahkan untuk menyelesaikan masalah tersebut

Kotak 6.1: Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Sumber: Hukum Online (2015) http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bdc5290436/anggota-dpr-kritik-rencana-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan

Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran belum diperlukan, kecuali untuk iuran peserta PBI. Anggota Dewan minta BPJS Kesehatan diaudit. Sejumlah anggota DPR yang duduk di Komisi IX mempersoalkan rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kebijakan itu dikhawatirkan bisa mempengaruhi kepesertaan warga miskin dan semakin membebani rakyat. Kenaikan tak pas kalau belum dilakukan audit.Suir Syang, politisi Partai Gerindra, misalnya menilai rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta non PBI (Penerima Bantuan Iuran) tidak tepat. Sebab di lapangan masih banyak masyarakat miskin yang tidak tercakup PBI mendaftar sendiri sebagai peserta bukan penerima upah (PBPU) dengan mengambil ruang perawatan kelas tiga yang iurannya Rp25.500 per bulan setiap orang. Jika iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non PBI naik, ia khawatir masyarakat miskin yang telah mendaftar PBPU berhenti jadi peserta non PBI.

Anggota Komisi IX dari PDIP, Ketut Sustiawan, menyebut sebelum iuran BPJS Kesehatan dinaikan, harus dilakukan audit terlebih dulu agar bisa dihitung ulang berapa kenaikan yang diperlukan. “BPJS Kesehatan harus diaudit dulu,” katanya dalam Rapat Kerja di Senayan, Rabu (01/4). Senada, anggota Komisi IX dari Partai Golkar, Andi Fauzia Pujiwatie Hatta, mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus dipertimbangkan kembali dan harus menunggu hasil audit. Saat harga BBM naik dan kemungkinan pengaruhnya terhadap harga kebutuhan pokok, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan bakal menimbulkan rasa tidak adil kepada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah.

Fauzia mengingatkan, dengan besaran iuran yang ada sekarang, pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan masyarakat. Karena itu, ketimbang menaikkan iuran, lebih baik BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal lebih dahulu. “Tidak pantas (kenaikan iuran,-red) kalau pelayanan masih bermasalah,” tukasnya. Berdasarkan pemantauan Nihayatul Wafiroh di lapangan, peserta yang diuntungkan dengansistem BPJS Kesehatan sepakat kalau iuran dinaikkan. Tapi, peserta yang ditemuinya itu jumlahnya sedikit. Sementara peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantri di RS keberatan jika besaran iuran naik. Peserta yang keberatan itu jumlahnya sangat banyak. “Mereka bertanya apakah dengan kenaikan iuran itu ada jaminan pelayanan terhadap peserta akan lebih baik,” ujar politisi PKB itu.

Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengatakan jika BPJS Kesehatan defisit yang pertama kali harus disorot adalah bagaimana manajemen BPJS Kesehatan mengelola lembaga yang menggelar jaminan kesehatan itu. Apalagi di tengah kondisi itu, kata Okky, Direktur Utama BPJS Kesehatan malah bertandang ke German dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ke Swiss. Ia meminta ada laporan hasil kunjungan ke luar negeri itu. Okky meminta kenaikan iuran tidak dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan masyarakat. Tapi ia sepakat jika iuran peserta PBI naik. “Karena iuran PBI jauh lebih rendah (Rp19.225) daripada peserta mandiri ruang perawatan kelas tiga (Rp.25.500),” katanya. Politisi Partai Nasdem, Irma Suryani, tidak setuju rencana kenaikan iuran bagi peserta non PBI BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran itu tidak perlu selama manajemen BPJS Kesehatan belum diperbaiki. “Manajemen BPJS Kesehatan dibenahi dulu baru minta kenaikan iuran,” tegasnya.