• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah-masalah yang dihadapi siswa SMP dan SMA serta penerapan pendekatan konseling oleh mahasiswa angkatan 2002 prodi bimbingan dan konseling Universitas Sanata Dharma dalam program pengalaman lapangan tahun 2005/2006 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Masalah-masalah yang dihadapi siswa SMP dan SMA serta penerapan pendekatan konseling oleh mahasiswa angkatan 2002 prodi bimbingan dan konseling Universitas Sanata Dharma dalam program pengalaman lapangan tahun 2005/2006 - USD Repository"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN PENDEKATAN KONSELING OLEH MAHASISWA ANGKATAN 2002 PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING UNIVERSITAS SANATA DHARMA

DALAM PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN TAHUN 2005/2006

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh :

Andreas Tri Wiharyanto NIM : 991114033

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

”Tiada Pengorbanan dan Perjuangan

yang Lebih Besar dan Berarti

daripada Pengorbanan dan

Perjuangan

yang Dilakukan dan Diberikan

Orang Tua

untuk Kebahagiaan Anaknya”

(Penulis)

Skripsi ini kupersembahkan secara khusus untuk:

1.

Bapak dan Ibu Tercinta (St. Rubiman dan Th.

Sudarti)

2.

Kakakku tercinta Mas Eko dan Mas Ion beserta

keluarga

(5)
(6)

PENERAPAN PENDEKATAN KONSELING OLEH MAHASISWA ANGKATAN 2002 PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING

UNIVERSITAS SANATA DHARMA DALAM PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa di sekolah menengah (SMP pada tahun 2005 dan SMA pada tahun 2006) dan diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK berdasarkan jenis masalahnya, jenis kelamin, tingkatan kelas, ragam bimbingan dan faktor penyebab utamanya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendekatan konseling yang sering digunakan oleh mahasiswa praktikan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analisis dokumen. Subyek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2002 Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah melaksanakan PPL-BK di SMP dan SMA, yang jumlahnya 36 mahasiswa (21 mahasiswa di SMP dan 14 mahasiswa di SMA). Instrumen penelitian ini adalah laporan wawancara konseling yang disusun dalam laporan pelaksanaan PPL-BK di SMP dan SMA. Berikut ringkasan hasil penelitian ini.

1. Jenis masalah yang berkaitan dengan upaya menjalin relasi dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun lawan jenis (tujuan pacaran) paling banyak dihadapi oleh siswa. Di SMP jumlahnya mencapai 39 masalah (73,58%) dari total 53 masalah, sedangkan di SMA 21 masalah ( 42,86%) dari total 49 masalah.

2. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar masalah dihadapi oleh siswi. Di SMP jumlahnya mencapai 43 orang (81,87%), dan di SMA jumlahnya 32 orang (65,31%).

3. Berdasarkan tingkatan kelas, jumlah masalah di kelas IX lebih banyak (26 masalah atau 49,06%) dari kelas VII dan VIII. Jumlah masalah di kelas X, XI, dan XII di SMA sama banyaknya (16 masalah atau 32,65%).

4. Berdasarkan ragam bimbingan, masalah-masalah yang dihadapi siswa sebagian besar termasuk dalam ragam bimbingan pribadi-sosial, di SMP jumlahnya 51 masalah (96,22%) dan di SMA jumlahnya 35 masalah (71,43%).

5. Berdasarkan faktor penyebab utamanya, di SMP, faktor penyebabnya adalah faktor konflik dengan orang dekat yang jumlahnya mencapai 25 masalah (47,17%); sedangkan di SMA faktor konflik dengan orang dekat dan konflik dengan diri sendiri jumlahnya sama yakni masing-masing 17 masalah (34,69%).

6. Pendekatan konseling yang sering digunakan oleh praktikan adalah pendekatan

Interview for Adjustment. Di SMP jumlahnya mencapai 38 kali, dan di SMA jumlahnya mencapai 29 kali.

(7)

THE PROBLEMS FACED BY JUNIOR AND SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS AND THE COUNSELING APPROACH EMPLOYED BY 2002 BATCH STUDENTS OF GUIDANCE AND COUNSELING STUDY PROGRAM OF SANATA DHARMA

UNIVERSITY DURING THE INTERNSHIP PROGRAM IN THE ACADEMIC YEAR OF 2005/2006

Andreas Tri Wiharyanto Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

The research aimed to know the problems which were faced by high school students (Junior High School in 2005 and Senior High School in 2006) and was communicated to the practitioner students during the internship program, based on the kinds of problems, sex, grade, the kinds of guidance, and the main cause of the problems. The research also aimed to know the counseling approaches most frequently used by the practitioner students.

The research was a descriptive research which employed document analysis method. The subject of the research was 34 students (21 students in Junior High School and 14 students in Senior High School) from 2002 batch of Guidance and Counseling Study Program of Sanata Dharma University. The instrument of the research was the counseling interview report which was part of the internship program report submitted by 34 students participated in the internship program. These are summary of the research results:

1. The kind of problem mostly faced by students was problem related to efforts to build relationship with others, both relation with colleagues in the same age and opposite sex colleague. In Junior High School the number of the problem was 39 out of total 53 problems or 73,58%, while in the Senior High School the number of the problems was 21 out of 49 problems or 42,86%.

2. Based on sex, female students faced more problems. In Junior High School, 43 female students (81,875% of total observed students) reported as experiencing problems, and in the Senior High School, 32 female students (65,31% of total observed students) reported as experiencing problems.

3. Based on the grade, higher number of problems existed in grade IX (49,06% or 26 out of total 53 problems) compared to problems existed in grade VII and VIII. Problems existed in Senior High School (grade X, XI, and XII) were relatively similar for each grade (16 problems or 32,65% for each grade).

4. Based on the kinds of guidance, most problems faced by students were problem related to personal-social guidance. In Junior High School the number of problem was 96,22% or 51 out of 59, and in Senior High School the number of the problem was 71,43% or 35 out of 49.

5. Based on the main cause factors, it was found that in Junior High School the problems were mostly (47,17% or 25 out of 53 problems) caused by conflict with significant others, while in Senior High School, it was found that between conflict with significant others, and conflict with the self has the same number (34,69% or 17 out of 49 problem).

6. The counseling approach found as the most frequently used by the practitioners was Interview for Adjustment approach. In Junior High School the number was 38 cases out of 53, and in Senior High School the number was 29 cases out of 49.

(8)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas segala

berkat, rahmat, dan karuniaNya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik

dan lancar. Berbagai pengalaman berharga mengiringi setiap langkah penulis dalam

penulisan skripsi ini. Semua ini menjadi bagian dari proses belajar yang akan terukir

indah di dalam proses perjalanan kehidupan penulis. Penulis menyadari bahwa tanpa

adanya dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis hendak mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen pembimbing I yang

dengan semangat membimbing, mengoreksi, mengarahkan, menyediakan waktu

untuk berdiskusi, dan memberikan banyak masukan dalam proses penulisan

skripsi ini.

2. Pastor Drs. H. Sigit Pawanta, SVD. M.A. sebagai dosen pembimbing II yang

telah berkenan memberikan bimbingan dan masukan berharga demi

penyelesaian skripsi ini.

3. Fajar Santoadi, S.Pd. selaku Sekretaris Prodi yang telah banyak membantu

proses penyelesaian skripsi ini dengan memberikan ide-ide dan waktunya untuk

berdiskusi.

4. Segenap dosen dan sekretariat Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas

Sanata Dharma atas segala hal yang telah diberikan kepada penulis selama ini,

baik pada saat menjalani perkuliahan sampai proses penulisan skripsi ini selesai.

(9)

Uthe’, Donald, Ema, Emmy, dan lain-lain) yang telah bersedia membantu

penulis dengan dukungan dan meminjamkan laporan-laporan PPLBK guna

penulisan skripsi ini.

6. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan 1999, atas persahabatan dan kekompakannya

yang telah terjalin selama ini, serta dukungan dan semangat yang mendorong

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Segenap Keluarga Besar Yayasan Cindelaras Paritrana, yang telah memberikan

dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh keluargaku (Bapak dan Ibu tercinta, Mas Ion, Mbak Ade, Raka, Mbak

Tuti, Ibu Surat, Bapak Jono, dan Mas Eko sekeluarga) yang telah mendukung

dan memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan,

perhatian, dan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang

diberikan kepada penulis khususnya selama penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.

Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan pemerhati Bimbingan dan

Konseling.

Penulis

(10)

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v

ABSTRAK ………... vi

ABSTRACT ………... vii

KATA PENGANTAR ………... viii

DAFTAR ISI ………... x

DAFTAR TABEL ………... xiv

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 8

C. Tujuan Penelitian ………... 9

D. Manfaat Penelitian ………... 9

E. Pembatasan Istilah ………... 10

BAB II KAJIAN TEORI ………... 12

A. Pengertian dan Tujuan Konseling .……….. 12

B. Teori-Teori Konseling ……….... 14

(11)

2. Konseling Behavioristik ……….. 16

3. Rational Emotive Therapy………. 20

4. Konseling Eklektik ……….... 21

C. Pendekatan-Pendekatan Konseling ... 23

1. Fase-Fase dalam Proses Konseling ………... 24

2. Model Pelaksanaan Konseling ………. 26

a. Model Trait Factor ………. 26

b. Model Konseling Behavioristik ………..… 27

c. Model Konseling Rational Emotive Therapy …………. 29

d. Model Konseling Eklektik (Interview for Adjustment) ... 31

e. Model Konseling Eklektik (Decision Making Interview) 32 D. Tugas-Tugas Perkembangan Siswa ……… 34

E. Ragam Bimbingan Konseling ...…...………... 37

1. Ragam Bimbingan Karier ………. 37

2. Ragam Bimbingan Akademik ………... 39

3. Ragam Bimbingan Pribadi-Sosial ………. 41

F. PPL-BK Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma …..………... 42

1. Tujuan PPL-BK ………... 42

2. Layanan Konseling dalam PPL-BK ……….. 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………... 45

A. Jenis Penelitian ………... 45

(12)

C. Populasi dan Sampel ………... 48

D. Instrumen Penelitian ………... 51

E. Analisis Data ………... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 57

A. Hasil Penelitian ………... 57

1. Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMP ……….. 57

2. Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMA ……….. 65

B. Pembahasan Hasil Penelitian ……….. 73

1. Pembahasan Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMP ... 74

2. Pembahasan Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMA... 82

C. Gambaran Umum Hasil Penelitian dan Pembahasan tentang Jenis Masalah yang Sihadapi Siswa di Sekolah Menengah …. 88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 94

A. Ringkasan Hasil Penelitian ………. 94

B. Kesimpulan ……… 96

C. Saran ………... 97

DAFTAR PUSTAKA ……… 101

LAMPIRAN ………... 104

(13)

xiii

Halaman

Tabel 1. Distribusi SMA Tempat PPL-BK Berdasarkan Jumlah Praktikan

dan Jumlah Konseli ... 50

Tabel 2. Distribusi SMP Tempat PPL-BK Berdasarkan Jumlah Praktikan

dan Jumlah Konseli... 50

Tabel 3. Jumlah Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP ... 58

Tabel 4. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan

Jenis Kelamin dan Tingkatan Kelas ... 59

Tabel 5. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan

Ragam Bimbingan ... 61

Tabel 6. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan

Faktor Penyebab Utamanya ... 62

Tabel 7. Frekuensi Pendekatan Konseling yang Digunakan Mahasiswa

Praktikan ... 64

Tabel 8. Frekuensi Penggunaan Pendekatan Konseling Berdasarkan Jenis

Masalah yang Dihadapi Siswa SMP ... 64

Tabel 9. Jumlah Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA ...……… 66

Tabel 10. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA

berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkatan Kelas ... 67

Tabel 11. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA

(14)

xiv

Tabel 13. Frekuensi Pendekatan Konseling yang Digunakan Mahasiswa

Praktikan ... 72

Tabel 14. Frekuensi Penggunaan Pendekatan Konseling Berdasarkan Jenis

(15)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak masuknya pelayanan bimbingan dan konseling di Indonesia sekitar

tahun 1960-an sampai sekarang, pelayanan bimbingan dan konseling mengalami

perkembangan yang cukup pesat, khususnya pelayanan bimbingan dan konseling

di sekolah menengah. Pada tahun 1960 diselenggarakan Konferensi FKIP seluruh

Indonesia di Malang yang membahas tentang dasar-dasar pelaksanaan usaha

bimbingan di lingkungan sekolah sebagai salah satu penunjang pendidikan di

Indonesia. Dampak dari konferensi ini adalah Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan mengeluarkan instruksi tentang perlunya pelayanan bimbingan di

sekolah menengah dan tentang cara pelaksanaannya (Winkel dan Sri Hastuti,

2004:54).

Pada kurikulum SMA tahun 1962 dan 1968, pelayanan bimbingan dan

konseling lebih difokuskan pada bagaimana membantu siswa dalam membuat

pilihan jurusan yang tersedia seperti jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Sosial

dan Ilmu Budaya. Petugas yang ditunjuk untuk mengampu pelaksanaan

bimbingan dan konseling kala itu adalah guru pengajar dan bukan guru

pembimbing profesional, jumlahnya pun amat terbatas (Winkel dan Sri Hastuti,

2004:54).

Mulai periode tahun 1970-an, proses dan fokus pelayanan bimbingan dan

konseling pun mengalami perkembangan. Pelayanan bimbingan dan konseling

bertujuan agar siswa dapat mengembangkan pemahaman diri, mengembangkan

pengetahuan tentang lapangan kerja tertentu, serta mewujudkan penghargaan

terhadap kepentingan dan harga diri orang lain.

(16)

Mulai tahun 1980-an, fokus pelayanan bimbingan mengalami

perkembangan, yang semula terfokus pada kesulitan yang dihadapi siswa

khususnya dalam proses pemilihan jurusan di SMA, menjadi terarah ke masa

sesudah selesai pendidikan di SMA. Pelayanan bimbingan dilaksanakan dalam

rangka mempersiapkan siswa dalam menghadapi dan merencanakan masa

depannya dan lapangan pekerjaan yang akan dijalaninya nanti. Hal ini berarti ada

penambahan ragam bimbingan, yang semula lebih menekankan pada ragam

bimbingan akademik dan bimbingan pribadi-sosial, kini ditambahkan bimbingan

karier.

Meskipun ada penambahan dalam ragam kurikulum yang diberikan

kepada para siswa, namun pelaksanaan bimbingan masih menghadapi berbagai

hambatan seperti banyaknya kepala sekolah dan guru yang belum memahami

secara sungguh fungsi pelayanan bimbingan di sekolah, serta kurangnya tenaga

bimbingan di sekolah baik secara kuantitas maupun secara kualitas (konselor

profesional). Berdasarkan laporan dari Harian Kedaulatan Rakyat (17 April 1997),

jumlah kebutuhan guru pembimbing di Propinsi Jawa Tengah mencapai sekitar

1.300 orang guru pembimbing. Dampak dari kurangnya kuantitas tenaga

bimbingan yang ahli adalah digunakannya guru pengajar sebagai tenaga

bimbingan di sekolah, meskipun dalam hal kualitas patut dipertanyakan.

Untuk mengatasi kurangnya jumlah tenaga bimbingan di sekolah ini, maka

pada tahun 1970-an telah dibuka jurusan Bimbingan dan Konseling di Fakultas

Ilmu Pendidikan (FIP) di beberapa IKIP di Indonesia. Sedangkan untuk

meningkatkan kualitas atau kompetensi para tenaga bimbingan di sekolah

tersebut, maka diselenggarakan berbagai lokakarya dan konvensi yang bertaraf

nasional. Badan Pengembangan Pendidikan, Departemen P dan K,

(17)

menghasilkan suatu Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Program Bimbingan

dan Penyuluhan serta Pedoman Operasional pada Proyek-Proyek Perintis Sekolah

Pembangunan. Lembaga-lembaga pendidikan guru jenjang perguruan tinggi juga

menyelenggarakan lokakarya dan pertemuan konvensi yang bertaraf nasional.

Pertemuan ini bertujuan untuk memantapkan dasar-dasar pelayanan bimbingan di

sekolah dan menyusun satuan acuan operasional bagi pelaksanaan di lapangan.

Beberapa pertemuan tersebut antara lain (Winkel dan Sri Hastuti, 2004):

1. Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang tahun 1975. Dalam pertemuan

ini didirikan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dan

menghasilkan Kode Etik Jabatan bagi konselor di sekolah.

2. Sejumlah tenaga pendidikan konselor sekolah di FIP IKIP yang

menggabungkan diri pada The Association of Psychological and

Educational Counselor of Asia (APECA), yang didirikan di Manila tahun

1976, mengikuti konferensi-seminar bertaraf internasional yang

diselenggarakan setiap dua tahun sekali.

Sebagai tindak lanjut dari seminar-konvensi tersebut di atas adalah

dikukuhkannya Kurikulum Program Inti Program Studi Bimbingan dan Konseling

pada Strata S1 dan D3 pada tahun 1981. Kurikulum Inti ini adalah pedoman dasar

bahan atau materi pokok yang diberikan kepada mahasiswa yang menempuh

pendidikan di LPTK. Tujuan pokok penetapan kurikulum ini adalah untuk

mengupayakan peningkatan kualitas dan kemampuan petugas/tenaga bimbingan

yang profesional dalam rangka pelayanan bimbingan di sekolah menengah dan

menyiapkan petugas bimbingan yang profesional.

Meskipun kurikulum bimbingan dan konseling telah cukup lama

dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah, tetapi belum semua sekolah

(18)

pun belum semuanya merupakan petugas bimbingan yang profesional. Mulai

tahun 1990-an, di sekolah-sekolah negeri, khususnya di sekolah menengah umum

(SMA) dan sekolah menengah Pertama (SMP), telah banyak diangkat tenaga guru

pembimbing profesional. Tenaga guru pembimbing profesional yang

dimaksudkan di sini adalah guru yang telah menyelesaikan pendidikan bimbingan

dan konseling secara khusus di LPTK, baik negeri maupun swasta. Hal ini

membuktikan bahwa kebutuhan secara kuantitas dan kualitas akan petugas

pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah pun semakin lama

semakin meningkat. Kebutuhan akan kualitas dan kuantitas konselor ini semakin

tampak dengan telah ditetapkannya Kurikulum Satuan Pendidikan untuk SD-SMA

tahun 2006, di mana di dalam kurikulum tersebut terdapat Program Kegiatan

Pengembangan Diri. Dimana program kegiatan ini akan diampu sepenuhnya

tenaga bimbingan, karena tenaga bimbingan dipandang tepat dan kompeten untuk

mengampu mata pelajaran ini.

Semakin tingginya tingkat kebutuhan akan konselor di institusi pendidikan

menuntut peningkatan kompetensi konselor. Dalam seminar “Rekonstruksi

Paradigma Bimbingan Konseling Indonesia Abad 21” yang diselenggarakan oleh

FIP, Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 07 Juni 2001, terungkap kompetensi

konselor atau petugas bimbingan masih diragukan masyarakat. Akibatnya,

masyarakat masih lebih menghargai psikolog daripada seorang konselor. Tidak

mengherankan kalau profesi bimbingan dan konseling kemudian semakin tidak

populer di mata masyarakat. Ditegaskan pula bahwa setiap orang mampu menjadi

seorang konselor, tetapi seorang konselor profesional harus memiliki latar

belakang pendidikan yang sesuai. Dalam seminar ini ditawarkan pula solusi

pendirian lembaga pendidikan profesi konselor sebagai langkah untuk

(19)

dan rencana ini terwujud, organisasi profesi perlu menetapkan standardisasi.

Tujuannya adalah agar konselor yang ada di masyarakat dapat memberikan

pelayanan terbaik dengan didukung kemampuan dan keterampilan yang memadai.

(Harian Kompas, 09 Juni 2001).

Dengan adanya dukungan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga

Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Dirjen Dikti, tersusunlah Dasar

Standardisasi Profesi Konseling. Rumusan tersebut dikaji dan disempurnakan

melalui Workshop Nasional tentang Standardisasi Kompetensi dan Pendidikan

Konselor pada tanggal 10 Januari 2005 di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal

9 Februari 2005 di Universitas Negeri Semarang dan tanggal 12 Maret 2005 di

Universitas Negeri Malang. Pada tanggal 13-16 April tahun 2005 diselenggarakan

Kongres X Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) di Semarang.

Hal pokok yang dibahas dalam kongres tersebut adalah tentang standard

kompetensi konselor Indonesia yang dapat menjadi pegangan pokok bagi konselor

profesional di Indonesia. Pengurus Besar ABKIN telah menyusun 7 kompetensi

yang sebaiknya dimiliki oleh seorang konselor profesional, yakni:

1. Penguasaan konsep dan praksis pendidikan

2. Kesadaran dan komitmen etika profesional

3. Penguasaan konsep perilaku dan perkembangan individu

4. Penguasaan konsep dan praksis assesment

5. Penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling

6. Pengelolaan program bimbingan dan konseling

7. Penguasaan konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling

Dari ketujuh kompetensi tersebut di atas masih dijabarkan pula

subkompetensi dan indikator-indikatornya. Sebagai contoh salah satu

(20)

konseling adalah penguasaan pendekatan-pendekatan dan teknik-tehnik

bimbingan dan konseling. Indikator dari sub kompetensi ini adalah bahwa

konselor mampu menjelaskan berbagai macam pendekatan dalam bimbingan dan

konseling; mampu memilih pendekatan bimbingan dan konseling secara tepat;

dan terampil menggunakan teknik-teknik bimbingan dan konseling individual

dan kelompok. Subkompetensi dari kompetensi penguasaan konsep dan praksis

bimbingan dan konseling menjadi rujukan dalam penelitian ini, karena seluruh

komponen didalamnya menjadi pedoman atau pegangan pokok bagi konselor

dalam melaksanakan proses konseling sebagai bagian dari unjuk kerja profesi

konselor. Seperti telah dituliskan di atas tentang indikator-indikator

sub-kompetensi ini, tampak bahwa indikator-indikator tersebut menjadi modal dasar

bagi konselor untuk mencapai tujuan dari proses konseling, yaitu membantu

individu (siswa) menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan

mengembangkan segala potensi yang dimilikinya dengan seoptimal mungkin.

Dengan kata lain, proses konseling merupakan proses penting dalam rangka

pemberian bantuan kepada individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi

oleh individu tersebut. Oleh karenanya proses konseling harus didasari oleh

pemilihan dan penggunaan teori, pendekatan, teknik-teknik dan prosedur

konseling yang tepat, dan tidak hanya sebatas berbagi cerita, berbincang-bincang,

atau pemberian nasihat kepada seseorang.

Indikator-indikator di atas harus dipenuhi oleh seorang konselor, juga

calon konselor pada saat menjalani pendidikan di program studi Bimbingan dan

Konseling di LPTK. Pada saat menempuh pendidikan konselor, seorang calon

konselor dibekali berbagai macam materi dan keterampilan bimbingan dan

konseling. Materi yang diterima oleh calon konselor saat menempuh pendidikan

(21)

program dan penyusunan program konseling, teori dan pendekatan konseling,

teknik konseling, sampai pada tahap aplikasi atau praksis pelayanan bimbingan

dan konseling di lapangan.

Praktek pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh

mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma

melalui Program Pengalaman Lapangan Bimbingan dan Konseling (PPL-BK)

merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti mahasiswa. PPL-BK

menjadi salah satu wadah awal bagi mahasiswa untuk mempraktikkan dan

menerapkan materi pelayanan bimbingan dan konseling secara nyata di lapangan.

Dengan PPL-BK ini mahasiswa dituntut untuk mampu menerapkan berbagai

materi yang telah diperolehnya selama menjalani perkuliahan. Dengan kata lain,

PPL-BK menjadi salah satu kegiatan yang mengarahkan mahasiswa untuk

memenuhi standard kompentensi seperti yang ditetapkan oleh ABKIN.

Salah satu program pokok dalam PPL-BK di Universitas Sanata Dharma

adalah pelaksanaan layanan konseling. Dalam program kegiatan ini, mahasiswa

praktikan diharuskan memberikan layanan konseling kepada konseli (siswa

sekolah menengah) yang mengalami atau menghadapi masalah. Dalam proses

wawancara konseling ini, mahasiswa praktikan diharapkan mampu memilih dan

menggunakan pendekatan konseling yang paling tepat atau sesuai untuk

membantu mengatasi masalah yang dihadapi oleh siswa.

PPL-BK merupakan suatu program yang ditempuh oleh mahasiswa

dimana melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di dalamnya, termasuk

kegiatan layanan konseling, mahasiswa diarahkan untuk dapat memenuhi standard

kompetensi seperti yang telah ditetapkan oleh ABKIN. Salah satu hal penting

dalam layanan konseling adalah mahasiswa diharapkan dapat memilih dan

(22)

pendekatan konseling, mahasiswa paling tidak sudah diarahkan untuk memenuhi

salah satu indikator dari standard kompetensi konselor yakni indikator dari

penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling. Meskipun dengan

hanya mengetahui pendekatan konseling yang sering dipilih dan digunakan

mahasiswa tanpa mengetahui proses yang terjadi sesungguhnya, sebenarnya

belum dapat menjadi patokan bahwa mahasiswa tersebut sudah memenuhi

standard kompetensi konselor. Namun, paling tidak mahasiswa sudah berusaha

untuk memilih dan menggunakan pendekatan yang dipandang sesuai dan tepat

dengan masalah yang dihadapi oleh konseli. Dengan kata lain, mahasiswa

benar-benar diarahkan untuk dapat memenuhi standard kompetensi konselor.

Untuk melihat pendekatan yang dipilih dan digunakan oleh mahasiswa

praktikan tersebut, maka perlu dilihat pula hal-hal yang berkaitan dengan itu,

seperti masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh konseli, siapa yang

menghadapinya (dapat ditinjau berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelasnya,

bila masalah tersebut dialami oleh siswa), faktor apa yang menjadi penyebab

utama dari masalah tersebut, termasuk dalam ragam bimbingan apa masalah yang

dihadapi oleh konseli tersebut.

Penelitian ini merupakan sebuah langkah awal untuk mengetahui sampai

sejauh mana mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

Dharma, khususnya angkatan 2002, diarahkan untuk dapat memenuhi salah satu

standard kompetensi konselor melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan

dalam PPL-BK di sekolah menengah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

(23)

1. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh siswa di sekolah menengah dan

diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK

berdasarkan jenis kelamin, kelas, ragam bimbingan dan faktor penyebab

utamanya?

2. Pendekatan-pendekatan konseling apa saja yang paling sering digunakan oleh

mahasiswa praktikan dalam membantu siswa menjalani proses konseling pada

saat PPL-BK di sekolah menengah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah menengah dan

diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK

berdasarkan jenis kelamin, tingkatan kelas, ragam bimbingan dan faktor

penyebab utamanya.

2. Mengetahui pendekatan-pendekatan konseling yang paling sering digunakan

oleh mahasiswa praktikan dalam membantu siswa menjalani proses konseling

pada saat PPL-BK di sekolah menengah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain:

1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui masalah-masalah yang

dominan ditemui dan ditangani oleh mahasiswa praktikan selama menjalani

PPL-BK di sekolah menengah. Selain itu, dapat diketahui

pendekatan-pendekatan konseling yang dipilih dan digunakan oleh mahasiswa praktikan

(24)

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi atas pelaksanaan

layanan konseling yang dilakukan oleh mahasiswa praktikan selama menjalani

PPL-BK di sekolah menengah, khususnya bagi Prodi Bimbingan dan

Konseling. Sehingga Prodi Bimbingan dan Konseling dapat semakin

meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa dalam penguasaan

konsep dan praksis bimbingan dan konseling, khususnya dalam pemilihan dan

penggunaan pendekatan-pendekatan konseling di sekolah.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Prodi

Bimbingan dan Konseling sebagai calon konselor agar kian terpacu dan

terpancing untuk semakin memahami dan menguasai konsep-konsep

bimbingan dan konseling serta mampu memilih dan menerapkan berbagai

pendekatan konseling di lapangan dengan tepat sesuai dengan tujuan dari

pelayanan konseling.

4. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi ajang berlatih dan belajar untuk semakin

mendalami serta memahami konsep dan praksis bimbingan dan konseling,

khususnya tentang pendekatan-pendekatan konseling, sehingga pada saatnya

nanti dapat menjadi bekal dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan

konseling di lapangan. Selain itu, penelitian ini juga menjadi sarana berlatih

melakukan untuk penelitian.

E. Pembatasan Istilah

1. Masalah-masalah yang dihadapi siswa

Masalah-masalah yang dihadapi siswa adalah segala sesuatu yang menjadi

penghambat bagi siswa dalam menjalani tugas perkembangannya atau

(25)

Dalam penelitian ini, masalah yang dihadapi siswa tersebut dibagi menjadi

tiga bidang, yaitu bidang akademik, karier, dan pribadi-sosial.

2. Pendekatan-pendekatan Konseling

Pendekatan-pendekatan konseling adalah penerapan teori konseling yang

dipilih dan digunakan konselor dalam proses konseling dalam rangka

membantu konseli mengatasi masalahnya dan mengembangkan potensi

dirinya dengan seoptimal mungkin. Pendekatan konseling di sini berdasar

pada kerangka teori konseling tertentu sesuai dengan kasus yang dialami oleh

konseli. Pada penelitian ini, pendekatan konseling yang digunakan adalah

Trait Factor, Behavioral Approach, Rational Emotive Therapy, Interview for

Adjusment, dan Dicision Making Interview.

3. Mahasiswa Praktikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Mahasiswa Praktikan Prodi BK adalah individu yang menempuh pendidikan

di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau jenjang perguruan

tinggi yang dalam penelitian ini adalah Universitas Sanata Dharma, yang

secara khusus mengambil spesifikasi mempelajari tentang bimbingan dan

konseling dan sedang melaksanakan atau menempuh program PPL-BK di

sekolah menengah.

4. Sekolah Menengah

Sekolah menengah adalah lembaga formal yang merupakan tempat untuk

menimba ilmu bagi individu (remaja). Sekolah menengah yang dimaksudkan

dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Menengah Atas (SMA) yang menjadi tempat pelaksanaan PPL-BK mahasiswa

praktikan Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata

(26)

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan berbagai hal tentang konsep dasar konseling,

teori-teori konseling khususnya teori-teori yang berelevansi bagi konseling di

institusi pendidikan, pendekatan-pendekatan terhadap konseling (counseling

approach) dimana didalamnya terdapat metode atau cara yang digunakan oleh

masing-masing pendekatan dalam rangka pelaksanaan layanan konseling berikut

fase-fase atau urutan dalam proses konseling.

A. Pengertian dan Tujuan Konseling

Istilah konseling, secara etimologis, berasal dari bahasa Latin yaitu

consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan

“menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah

konseling berasal dari kata “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau

“menyampaikan”. Dalam kamus bahasa Inggris, kata counseling berasal dari kata

dasar counsel yang berarti nasihat, anjuran, dan pembicaraan. Sedangkan kata

counseling dapat diartikan sebagai sebuah pemberian nasihat, anjuran dan

pembicaraan dengan bertukar pikiran (Winkel, 1997; 70).

Banyak tokoh mengungkapkan pengertian konseling berdasarkan keadaan

dimana tokoh tersebut hidup. Berikut beberapa pengertian konseling yang

diungkapkan oleh beberapa tokoh. (Prayitno dan Erman, 2004, 100-105):

… interaksi yang terjadi (a) antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien (konseli); (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien. (Pepinsky & Pepinsky, dalam Shertzer & Stone, 1974).

(27)

... proses dalam mana konselor membantu konseli membuat interpretasi-interpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian yang perlu dibuatnya. (A.C. English, dalam Sherzer & Stone, 1974).

Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert, 1959).

... membantu individu agar dapat menyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku di masa yang akan datang. (Blocher, dalam Shertzer & Stone, 1974).

Winkel (1997) mengungkapkan bahwa pengertian konseling yang

dipandang cukup akurat adalah definisi yang dikemukakan Schmidt dalam

bukunya Counseling in Schools (1993) yaitu suatu pelayanan profesional yang

dirancang untuk mendampingi seseorang agar memperoleh pemahaman yang

lebih mendalam tentang berbagai permasalahan dan segala kemampuan pribadi;

pelayanan ini menggunakan aneka prinsip dan metode yang dikembangkan dalam

ilmu psikologi modern. Pengertian ini dipandang tidak terpengaruh oleh sudut

pandangan teoritis tertentu dan tidak tercemar oleh diskusi tentang batasan

konseling dan psikoterapi.

Berkaitan dengan pengertian-pengertian konseling, Winkel (1997; 72-73)

juga mengemukakan adanya perbedaan dan persamaan dari konsep-konsep

pengertian tersebut. Perbedaan yang cukup menonjol adalah menyangkut sudut

pandang, yaitu bahwa konseling terutama dilihat sebagai:

(28)

b. Proses yang dilalui oleh orang-orang yang dilayani (process),

c. Pertemuan tatap muka (face-to-face, relationship),

d. Serangkaian kegiatan yang bersifat membantu secara psikologis (helping

to feel and behave... by providing information and reaction)

Sedangkan persamaan dari pengertian-pengertian konseling terletak pada

perumusan tentang tujuan konseling atau hasil yang diperoleh dalam konseling,

yang pada dasarnya menekankan bahwa orang yang dilayani (konseli) berhasil

mengembangkan sikap serta tingkah laku yang memuaskan bagi dirinya sendiri

dan bagi lingkungannya; serta berhasil mengatur kehidupannya sendiri secara

bertanggungjawab.

Berdasarkan pengertian-pengertian, perbedaan dan persamaan dari

pengertian konseling ditinjau dari konsep dasar dan ciri-cirinya, maka dapat

dirumuskan secara singkat bahwa konseling adalah sebuah proses pemberian

bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut

konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut

konseli/klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh

konseli/klien serta terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik pada diri

konseli/klien.

B. Teori-Teori Konseling

Winkel (1997:373) menyatakan bahwa teori konseling adalah suatu

konseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses konseling

berlangsung; apa yang terjadi selama proses konseling, perubahan yang

bagaimana yang dituju, mengapa perubahan itu dapat terjadi, dan apa unsur-unsur

(29)

Dewasa ini jumlah teori konseling yang dikemukakan oleh para ahli sudah

cukup banyak. Teori-teori konseling tersebut dikemukakan berdasarkan sudut

pandang para ahli dan disesuaikan dengan keadaan pada saat ahli tersebut hidup.

Dengan perbedaan isi atau metode dari masing-masing teori tersebut,

maka berikut akan disajikan berbagai teori-teori konseling. Teori yang disajikan

dalam bagian ini adalah teori-teori konseling yang dipelajari oleh

mahasiswa/calon konselor di LPTK, dalam hal ini di Prodi Bimbingan dan

Konseling Universitas Sanata Dharma, yang nantinya akan dipraktikkan dalam

program PPL-BK di sekolah menengah. Teori-teori tersebut adalah:

1. Trait-Factor Counseling

Pelopor yang paling terkenal dari teori ini adalah Edmund Griffith (E.G.)

Williamson yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1900 di Rossville, Illionis, dan

meninggal pada tanggal 30 Januari 1979. Teori ini juga menekankan pada

pemahaman diri melalui test psikologis dan menerapkan pemahaman tersebut

untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh konseli, terutama yang

berkaitan dengan pilihan program studi atau bidang pekerjaan. Yang dimaksud

dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir,

berperasaan, dan berperilaku. Ciri-ciri ini dianggap sebagai suatu dimensi

kepribadian yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang

terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah (Winkel, 1997:388). Ciri-ciri

inilah yang akhirnya disebut sebagai factors.

Teori ini bertujuan untuk membantu konseli dalam membuat keputusan

atas alternatif pilihan yang berkaitan dengan pekerjaan/jabatan yang diinginkan.

(30)

keputusan atas pilihan jurusan atau program studi yang diharapkan dan dengan

bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Jadi, teori ini bertujuan

untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi konseli yang termasuk dalam

ragam bimbingan karier (Winkel dan Sri Hastuti, 2004:438-439).

Teori ini merupakan directive counseling atau Counselor-Centered

Counseling, dimana konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam

proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi

kebaikan konseli tersebut. Dalam proses wawancara konseling, konselor harus

melakukan langkah-langkah yaitu membantu konseli mengumpulkan dan

mengolah data tentang diri konseli (data psikologis); data lingkungan hidup yang

meliputi data konkret tentang lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan

bidang studi yang sedang ditinjau (data sosial). Data dan fakta-fakta tersebut

dalam kaitan satu sama lain akan menghasilkan sejumlah alternatif yang kemudian

dipertimbangkan pro dan kontranya. Akhirnya dipilih alternatif yang paling masuk

akal, paling bijaksana dan realistis karena baik bisa/dapat maupun ingin dipilih;

atau mungkin ditemukan alternatif baru yang mengambil unsur-unsur dari

berbagai alternatif yang lain. Pengumpulan data psikologis dan fakta sosial sangat

bermanfaat untuk dapat menentukan suatu norma atau patokan yang menjadi

landasan untuk kelak dapat mengambil keputusan tegas.

2. Konseling Behavioristik (Behavioristic Counseling)

Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris

Behavioral Counseling yang pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz

(31)

mengembangkan aliran ini adalah Dollar dan Miller, Wolpe, Lazarus, Eysenck,

Thoresen, Bandura, Goldstein, Yates serta Dustin dan George.

Pendekatan ini menitikberatkan pada perubahan nyata dalam perilaku

konseli sebagai hasil dari konseling. Pendekatan ini juga menekankan bahwa

hubungan antarpribadi tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan

nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah.

Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan yang memandang hubungan

antarpribadi antara konselor dan konseli sebagai komponen utama dan mutlak

serta sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.

Keyakinan dasar yang dipegang dalam pendekatan ini adalah bahwa perilaku

manusia merupakan hasil dari suatu proses belajar, maka dapat diubah dengan

belajar baru (Winkel dan Sri Hastuti, 2004). Maka, konseling behavioristik

memiliki ciri-ciri, antara lain (Latipun, 2001:113):

a. Berfokus pada perilaku yang tampak atau nyata

b. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik/konseling

c. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah

konseli.

d. Penafsiran objektif atas tujuan terapeutik/konseling.

Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dalam konseling behavioristik

perumusan tujuan secara spesifik lebih penting dibandingkan dengan proses

hubungan konseling. Hal ini dikarenakan masalah dan situasi yang dihadapi oleh

masing-masing konseli berbeda-beda, sehingga tujuan yang hendak dicapai

masing-masing pribadi juga berbeda sesuai dengan masalah dan kondisi yang

(32)

membantu konseli untuk mengubah perilaku salah suai atau perilaku maladaptif

dengan cara mempertahankan dan memperkuat perilaku yang diharapkan,

meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan

cara-cara berperilaku yang tepat (Corey (2003), Latipun (2001), Wilis (2004)).

Perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya

dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam interaksi ini, konseli dihadapkan

pada suatu rangsangan (Stimulus/S) dan bereaksi dengan cara tertentu

(Response/R). Cara reaksi ini lama kelamaan akan menjadi suatu pola yang

sifatnya dinamis sesuai dengan saat di mana konseli berada.

Konseling Behavioristik tidak dapat dilepaskan dari teori belajar

(Behaviorisme) yang telah ada sebelumnya. Tiga konsepsi tentang belajar yang

diuraikan oleh tiga tokoh yang berbeda adalah:

1) Belajar Signal menurut Ivan Pavlov

2) Belajar melalui Peneguhan Menurut Skinner

Pada dua konsepsi di atas, reaksi mengikuti rangsangan secara spontan

tanpa melalui suatu proses kognitif lebih dahulu. (S → R)

3) Belajar dari Model menurut Bandura

Pada konsepsi ini, ada kemungkinan terjadi sesuatu dalam diri subjek

sebelum memberikan reaksi. (S → r (rangsangan kognitif) → R).

Dalam pendekatan Behavioristik dalam konseling, rangkaian S→R

dikonsepsikan sebagai rangkaian Antecedent-Behavior-Consequence (A-B-C).

Antecedent atau Stimulus adalah kejadian-kejadian yang mendahului Behavior,

Consequence atau Reinforcement (peneguhan atau penguatan menurut Skinner)

(33)

Sedangkan Behavior sama dengan Response. Apabila rangkaian ini diulang-ulang

kembali, maka dapat membentuk pola perilaku yang tetap sama.

Dalam pendekatan Behavioristik, selain menaruh perhatian pada perubahan

perilaku, ada beberapa pelopor yang juga menaruh perhatian pada reaksi

emosional sebagai proses belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah dan

takut-takut, yang sering melatarbelakangi rasa tidak tenang serta terancam dan

mendasari perilaku manusia. Untuk kasus seperti ini ada dua alternatif prosedur

yang dilakukan konselor yaitu, pertama mengubah respon/reaksi terbuka (R) atau

perilaku (B) secara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respon/

reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Kedua, mengubah respon/

reaksi tertutup (r) lebih dahulu, lebih-lebih tanggapan pikiran dalam batin

seseorang; sebagai akibat respon/reaksi terbuka (R) akan berubah pula, namun

tidak secara langsung.

Selain itu, beberapa tokoh pendekatan Behavioristik juga mengembangkan

pendekatan baru yakni Pendekatan Kognitif-Behavioristik (Cognitive-Behavioral

Approach). Pendekatan ini lebih menekankan peranan dari persepsi, pikiran dan

keyakinan yang semuanya bersifat kognitif sebagai komponen yang sangat

menentukan dalam rangkaian S→r→R. Alasan dasarnya adalah bahwa manusia

dapat mengatur perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya

terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada

(34)

3. Rational-Emotive Therapy (RET)

Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. Beliau lahir

pada tahun 1913 di Pittsburgh, Pennsylvania dan dibesarkan di New York. RET

merupakan sebuah terapi atau corak konseling yang menekankan kebersamaan

dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking), berperasaan

(emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa perubahan

yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan berarti dalam

cara berperasaan dan berperilaku (Winkel, 1997, 144). Menurut Ellis (1994)

perilaku seseorang khususnya yang berkaitan dengan emosi, bukan disebabkan

secara langsung oleh peristiwa yang dialaminya, melainkan karena cara berpikir

atau sistem kepercayaan seseorang (rasional atau irrasional) (Latipun, 2001: 93).

Jadi tujuan dari RET adalah untuk memperbaiki dan mengubah sikap, cara

berpikir, persepsi, keyakinan serta pandangan konseli yang irrasional menjadi

rasional, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri

yang optimal (Wilis, 2004: 76).

RET dalam teori-teori konseling dan psikoterapi dikelompokkan sebagai

terapi behavior, karena terapi ini berasal dari aliran pendekatan

kognitif-behavioristik. Maka, RET juga sering disebut juga dengan nama lain seperti

Rational Therapy, Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitif Behavior

Therapy, Semantic Therapy, dan Rational Behavior Training.

Menurut Ellis (1994) ada tiga hal terkait dengan perilaku yang juga

menjadi konsep dasar RET atau yang sering disebut sebagai konsep A-B-C, yaitu

activating event atau activating experience (A) yang merupakan peristiwa atau

(35)

orang lain. Belief (B) yakni keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri

individu terhadap suatu peristiwa atau pengalaman. Keyakinan manusia pada

dasarnya ada dua yaitu keyakinan yang rasional atau masuk akal (rational

belief/rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief/iB). Consequence

(C) merupakan konsekuensi sebagai akibat atau reaksi individu dalam

hubungannya dengan A. Jadi, C pertamakali ditimbulkan oleh B, baik rB ataupun

iB terhadap A.

Dalam memberikan pelayanan kepada konseli dengan pendekatan ini,

konselor hendaknya berpegang pada konsep dasar di atas dengan menambahkan

unsur D (dispute) dan E (Effects). Dispute merupakan usaha yang dilakukan oleh

konselor dalam membantu konseli untuk mengubah pikirannya yang irrasional

dengan cara mendiskusikan secara terbuka dan terus terang dengan konseli.

Effects adalah hasil-hasil yang diperoleh dari proses diskusi bersama konseli, hasil

tersebut (seharusnya/harapannya) berupa pikiran yang lebih rasional dan perasaan

yang lebih wajar serta perilaku yang lebih tepat dan sesuai.

4. Konseling Eklektik

Konseling eklektik (Eclectic Counseling) mulai dikembangkan sejak tahun

1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak

konseling ini. Corak konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam

konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan yang

merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa

konsepsi serta pendekatan. Dengan kata lain, konseling eklektik merupakan

(36)

yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam

situasi yang tepat dalam rangka membantu konseli menyelesaikan masalahnya.

Hal ini mendasarkan pada pandangan bahwa semua teori konseling yang ada

pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atau terkadang

konselor merasakan adanya pembatasan apabila hanya menggunakan satu teori

atau pendekatan saja dalam proses konseling. Latipun (2001:135) mengemukakan

hal yang sama, yakni bahwa pendekatan konseling eklektik merupakan sebuah

pendekatan konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak

berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Sebuah teori itu memiliki

keterbatasan konsep, prosedur dan teknik, serta kelebihan dan kelemahan. Karena

itu pendekatan konseling eklektik mempelajari teori dan menerapkannya sesuai

dengan keadaan riil konseli.

Dengan pendekatan ini, konselor dapat menggunakan berbagai macam

variasi, tindakan, pikiran sesuai dengan kebutuhan dan ciri khas masalah yang

dihadapi oleh konseli. Meskipun demikian, konselor tetap harus berpegang pada

pola eklektik, menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta memilih manakah

yang paling tepat dan sesuai dari berbagai prosedur dan tehnik tersebut. Hal ini

sesuai seperti yang diungkapkan oleh Prochaska (1984) bahwa konseling eklektik

merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan

masalah-masalah pribadi dengan menerapkan prinsip-prinsip khusus yang ditetapkan

berdasarkan masalah khusus yang akan dipecahkan (Latipun, 2001:137).

Berkaitan dengan pendekatan eklektik ini, Winkel (1997) mengusulkan

suatu pola pendekatan yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di institusi

(37)

suatu kasus yang penyelesaiannya terutama terdiri atas pilihan di antara beberapa

alternatif (a choice case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara

konseling untuk membuat suatu pilihan (Decision Making Interview). Dalam pola

ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membantu konseli adalah

peninjauan pro dan kontra dari alternatif oleh konseli, kemudian dinilai dari sudut

pandang “Bisa dipilih?; mungkin untuk dipilih?” (Possible?), selanjutnya “Ingin

dipilih?” (Desirable?), dan yang terakhir adalah “Kalau dipilih, akan membawa

hasil yang diharapkan?” (Feasible)

Pola yang kedua adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu

kasus yang penyelesaiannya terutama menuntut perubahan sikap serta tindakan

penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus

diterima seadanya (a change case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan

wawancara konseling untuk penyesuaian diri (Interview for Adjustment). Untuk

kasus ini, konselor membantu konseli untuk meninjau kembali sikap dan

pandangannya sampai sekarang serta memikirkan sikap dan tindakan yang lebih

baik.

C. Pendekatan-pendekatan Konseling

Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai praksis konseling. Pertama,

berkaitan dengan urutan fase-fase yang umumnya dipakai dalam proses konseling.

Kedua, berkaitan dengan proses pelaksanaan konseling dengan mendasarkan pada

fase, pendekatan konseling dan masalah yang dihadapi oleh konseli. Dua hal ini

dipandang menjadi pegangan pokok bagi konselor dalam pelaksanaan layanan

konseling, meskipun ada teknik-teknik konseling yang juga berperanan penting

(38)

Sebelumnya perlu dijelaskan perbedaan teori konseling dan pendekatan

konseling. Teori konseling merupakan konsep dasar atau kerangka acuan berpikir

tentang bagaimana proses konseling berlangsung; apa yang terjadi selama proses

konseling, perubahan yang bagaimana yang dituju, mengapa perubahan tersebut

terjadi, dan unsur-unsur apa yang memegang peranan pokok. Pendekatan

konseling adalah suatu prosedur atau langkah-langkah/tahap-tahap yang harus

dilaksanakan dalam pelaksanaan wawancara konseling sehingga tujuan proses

konseling tersebut dapat tercapai.

1. Fase-fase dalam Proses Konseling

Proses wawancara konseling yang dilakukan oleh konselor dalam rangka

membantu konseli untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tidak bisa

dilepaskan dengan fase-fase dalam proses konseling. Fase-fase ini sangat

menentukan arah perjalanan proses konseling dari awal hingga akhir. Akan terjadi

kesulitan, baik bagi konselor maupun konseli, apabila fase-fase ini tidak berjalan

sesuai dengan urutannya.

Urutan fase dalam proses konseling pada umumnya ada lima yaitu, fase

pembukaan, penjelasan masalah, penggalian latar belakang masalah, penyelesaian

masalah. Secara ringkas akan diuraikan kelima fase tersebut (Winkel dan Sri

Hastuti, 2004: 473-478)

a. Pembukaan. Fase ini merupakan dasar bagi pengembangan hubungan

antarpribadi yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah

dalam wawancara konseling.

b. Penjelasan Masalah. Pada fase ini, konseli mengutarakan hal yang hendak

dibicarakan dengan konselor dan mengutarakan pula perasaan dan pikiran

(39)

masalah yang dialami konseli untuk kemudian dapat menentukan pendekatan

konseling yang tepat untuk fase selanjutnya.

c. Penggalian Latar Belakang Masalah (analisis kasus). Pada fase ini, inisiatif

berada di tangan konselor. Konselor berusaha menggali dari konseli gambaran

lengkap dan mendetail dari permasalahan yang dihadapi oleh konseli. Pada

fase ini, konselor menggunakan pendekatan yang paling tepat dengan

permasalahan yang dihadapi oleh konseli.

d. Penyelesaian Masalah. Pada fase ini, konselor bersama konseli membahas

bagaimana persoalan yang dihadapi oleh konseli dapat diatasi. Perlu pula

direncanakan tindakan-tindakan konkret yang akan dilakukan oleh konseli

setelah selesai proses konseling.

e. Penutup. Pada fase ini, konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian dari

persoalan yang dihadapinya. Fase ini diharapkan bentuknya agak formal

sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antarpribadi telah

selesai.

Dalam fase yang diuraikan di atas, konselor pada awalnya dapat bersikap

nondirektif yakni memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengungkapkan

perasaan dan pikirannya secara lebih leluasa. Kemudian konselor lebih bersikap

direktif yakni memberikan lebih banyak pengarahan dengan cara menyalurkan

pembicaraan.

Meskipun telah disusun urutan seperti di atas, tetapi tidak menutup

kemungkinan terjadinya pergeseran untuk konseli atau kasus tertentu. Pergeseran

tersebut terjadi, misalnya adanya kebutuhan untuk menggali sebab masalah yang

dialami konseli atau data tentang konseli, karena pada fase sebelumnya ternyata

(40)

2. Model Pelaksanaan Konseling Menurut Pendekatan Konseling

Pelaksanaan wawancara konseling tidak dapat lepas dari fase konseling.

Fase-fase yang digunakan di hampir semua pendekatan konseling memiliki

kesamaan urutan. Yang membedakan adalah pada fase ketiga dan keempat, yakni

fase penggalian latar belakang masalah (analisis kasus) dan penyelesaian masalah.

Pada kedua fase ini, masing-masing pendekatan memiliki metode atau cara

sendiri-sendiri sesuai dengan kasus atau masalah yang dihadapi oleh konseli

(Winkel dan Sri Hastuti, 2004:889-897). Dan yang akan lebih banyak dijabarkan

pada bagian ini adalah fase 3 dan 4.

a. Model Trait-Factor Counseling

Tujuan pelaksanaan konseling dengan pendekatan TF adalah untuk

membantu konseli dalam memecahkan dan mengatasi permasalahannya yang

berkaitan dengan suatu pilihan, baik pilihan program studi atau pilihan

jabatan/pekerjaan. Disini konselor dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas

memberikan informasi yang berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh konseli

(program studi atau dunia kerja).

Pada fase analisis kasus, konselor bersama konseli menggali bersama data

yang berkaitan dengan latar belakang masalah yang dihadapi konseli. Data yang

digali mencakup 3 unsur pokok:

1) Data tentang konseli, seperti kemampuan intelektual/taraf inteligensi;

kemampuan belajar; bakat khusus; arah minat; cita-cita; sifat kepribadian

yang menyolok; harapan-harapan; nilai-nilai yang dikejar; keterampilan

(41)

2) Data tentang keluarga, seperti harapan dan keluarga; kewajiban terhadap

keluarga; kemampuan ekonomi keluarga; posisi konseli dalam keluarga;

dan data lain yang relevan.

3) Data tentang lingkungan hidup, seperti prospek masa depan pekerjan yang

didambakan dan kualifikasi yang dituntut; ciri-ciri khas dari program studi

yang didambakan dan kualifikasi yang dituntut; dan data lain yang

relevan. Untuk konseli yang belum memiliki alternatif, berarti bersama

konselor mencari alternatif pilihan.

Pada fase penyelesaian masalah, konselor mengajak konseli untuk

berdiskusi tentang alternatif-alternatif pilihan yang telah ditentukan pada fase 3.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

1) Konselor bersama konseli meninjau pro-kontra atau untung-rugi dari

masing-masing alternatif pilihan yang telah dipilih pada fase 3. Tujuan dari

proses ini adalah untuk memperjelas alternatif pilihan dan semakin

mendekatkan pada pilihan yang paling tepat.

2) Setelah meninjau pro-kontra dari masing-masing alternatif, konseli dapat

menjawab YA/TIDAK dari pertanyaan “bisakah/mungkinkah?” dan

“inginkah?” dari masing-masing alternatif tersebut.

3) Apabila ternyata masih ada lebih dari satu alternatif pilihan. Maka, konselor

mengajak konseli untuk membuat urutan prioritas dari masing-masing

alternatif pilihan. Tujuan dari penyusunan prioritas ini adalah agar konseli

semakin berusaha untuk dapat diterima pada pilihannya.

b. Model Konseling Behavioristik

Tujuan layanan konseling dengan pendekatan konseling behavioristik ini

(42)

dengan perilakunya yang kurang baik atau salah suai saat ini yang disebabkan

oleh pengalaman masa lalunya, pikirannya yang irrasional terhadap perilakunya

tersebut dan perasaan negatifnya terhadap perilaku tersebut.

Pada fase analisis masalah, konselor menggali latar belakang masalah

yang dihadapi konseli dengan mengikuti sistematika yang sudah baku untuk

pendekatan ini. Sistematika tersebut menggunakan paradigma A-B-C yang

diterapkan terhadap analisis pada masa sekarang dan masa lampau (=sejumlah

tahun). Sebagai catatan, dalam proses penggalian masalah ini sebaiknya meninjau

B terlebih dahulu, yang meliputi perilaku (R) serta perasaan dan pikiran (r).

Berikut disajikan proses analisis kasus berdasarkan keterangan di atas dan urutan

yang dimaksudkan.

1) Konselor bersama konseli meninjau B pada masa sekarang yang meliputi

R dan r. Kemudian di lihat S (pengalaman/kejadian yang menjadi stimulus

terhadap B). Setelah itu konselor meminta konseli untuk mengungkapkan

C dari B, yang biasanya berupa perasaan dan pikiran yang positif atau efek

yang positif pada diri konseli.

2) Konselor bersama konseli melaksanakan proses yang sama seperti pada (1)

di atas, tetapi fokusnya pada masa lampau. Jadi, di sini digali pengalaman

atau kejadian yang sama atau mirip yang dialami konseli saat ini.

3) Berdasarkan dua proses di atas, dapat dikatakan bahwa konseli telah

melakukan proses belajar dan terbentuk suatu pola A, B, C.

Pada fase penyelesaian masalah, konselor bersama konseli mencari jalan

keluar atas permasalahan yang dihadapi konseli. Pertamakali yang dilakukan

adalah mengubah terlebih dahulu r-kognitif yang salah/keliru/kurang tepat/kurang

sesuai, karena menjadi landasan untuk mengubah R. Selanjutnya prosedur yang

(43)

1) Konselor menjelaskan proses belajar yang telah berlangsung di masa

lampau, sampai terbentuk pola A-B-C.

2) Konselor dapat menanyakan pengalaman positif di masa lampau (A), baik

yang sama atau mirip dengan yang dialami saat ini, tetapi tidak

menimbulkan r yang negatif melainkan r yang positif. Penggalian ini

bertujuan untuk mengimbangi pengalaman yang negatif dan menyadarkan

konseli karena mungkin konseli sudah membuat generalisasi yang negatif

atas pengalaman tersebut. Proses ini menjadi titik tolak bagi perubahan

r-kognitif yang negatif.

3) Konselor mengajak konseli untuk mengembangkan r-kognitif yang baru

(r-kognitif yang positif), yang berisikan tanggapan kognitif yang lain

terhadap A yang sudah terjadi dan kiranya masih akan terjadi. Ini akan

menjadi landasan untuk R yang baru. Meskipun demikian, diharapkan

r-kognitif yang lama sudah mulai melemah, karena r-r-kognitif tersebut tidak

begitu saja langsung hilang.

4) Konselor membantu konseli merencanakan bentuk tingkah laku yang baru

(R), yang lebih bersifat positif, dan akan dilaksanakan konseli sesudah

proses konseling. Konseli dituntut merencanakan dan melaksanakan

sesuatu yang konkret dan realistis, karena hal ini akan membantu

melestarikan perubahan dalam r.

c. Model Konseling Rational Emotive Therapy

Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk

membantu klien/konseli yang menghadapi masalah yang berkaitan dengan emosi,

kognisi dan perilaku. Dengan kata lain, dalam pendekatan RET konselor berusaha

(44)

pandangan konseli yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat

mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri yang optimal.

Pada pendekatan ini, konselor membantu konseli dengan mendasarkan

pada sistematika atau urutan yang telah baku yakni A-B-C-D-E. Pada fase 3

konselor bersama konseli menggali latar belakang masalah yang sedang dihadapi

oleh konseli. Dengan berpatokan pada sistematika yang baku tersebut, maka yang

dilakukan dalam fase 3 ini adalah:

1) Konselor bersama konseli menggali kejadian-kejadian atau

pengalaman-pengalaman yang baru-baru ini terjadi (3-4 minggu terakhir) (A).

2) Konselor menggali B atau tanggapan kognitif (r-kognitif) yang irrasional

pada konseli terhadap pengalaman atau kejadian tersebut di atas (A).

3) Setelah menggali kejadian (A) dan tanggapan kognitif (B) yang irrasional

konseli, konselor dan konseli melihat akibat (C) dari tanggapan kognitif

tersebut, baik dalam alam perasaan (r-afektif) yang tidak wajar, maupun

dalam perilaku nyata (tindakan yang salah suai=R).

Setelah konselor bersama konseli menggali A-B-C atas masalah yang

dihadapi konseli, selanjutnya konselor dan konseli bersama-sama mencari jalan

keluar atas masalah tersebut dengan menggunakan sistematika D-E. Proses

penyelesaian masalah tersebut adalah:

1) Pada tahap ini (D), konselor berusaha membantu konseli untuk mengubah

pikiran konseli yang irrasional dengan menjelaskan alasan konseli

mengalami masalah yakni B-irrasional (yang perlu diubah) terhadap A,

menantang konseli mengenai B-irrasional dengan pertanyaan yang

mengharuskan konseli berefleksi, dan memberikan alasan dan contoh

(45)

2) Pada tahap ini (E), konseli diharapkan sudah mulai menampakkan cara

berpikir yang lebih rasional, berperasaan yang wajar dan mulai

merencanakan perilaku yang tepat dan sesuai.

d. Model Konseling Eklektik (Interview for Adjustment/IA)

Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk

membantu konseli melakukan perubahan sikap dan tindakan penyesuaian diri

terhadap situasi yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya (a change

case).

Dalam pendekatan ini, sistematika yang diterapkan konselor dalam

membantu konseli sifatnya tidak baku. Hal ini berbeda dengan pendekatan lain

yang sistematikanya bersifat baku atau harus dilaksanakan menurut urutan yang

benar. Konselor dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan lain dengan

menyesuaikan kondisi yang dihadapi atau data yang dibutuhkan untuk membantu

konseli menyelesaikan masalahnya.

Pada fase penggalian latar belakang masalah konseli, konselor bersama

konseli berdiskusi tentang:

1) Asal usul masalah.

2) Unsur-unsur yang pokok dan tidak pokok.

3) Siapa-siapa saja yang terlibat.

4) Perasaan dan pikiran konseli.

5) Lain-lain segi/aspek yang dianggap perlu.

Setelah menggali latar belakang masalah konseli dan mendapatkan data

yang dibutuhkan, konselor bersama konseli bersama-sama mendiskusikan

beberapa hal untuk menyelesaikan masalah konseli. Maka, langkah-langkah yang

(46)

1) Konselor menjelaskan kepada konseli sebab konseli menghadapi

masalah ini, dengan catatan kalau memang diperlukan.

2) Konselor membantu konseli untuk lebih berpikir kritis, dewasa dan

konstruktif. Maka, konseli diharapkan dapat membuat perubahan dalam

pandangan dan sikap yang diperlukan agar dapat menghadapi situasi

yang ada secara konstruktif, meskipun pandangan dan sikap ini tidak

dapat diubah begitu saja. Isi pandangan dan sikap yang baru ini

tergantung pada inti kasus pada fase 3.

3) Kemudian konseli diminta untuk membuat merencanakan tindakan yang

akan diambil setelah keluar dari ruang konseling, termasuk memilih

beberapa alternatif pelaksanaan kalau ternyata kasus menuntut demikian

(ada pengembangan dari “change case” menjadi “choice case”)

e. Model Konseling dengan Pendekatan Eklektik (Decision Making Interview)

Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk

membantu konseli untuk menyelesaikan masalahnya yang berkaitan dengan

pemilihan suatu alternatif (choice case).

Pada fase analisis masalah, sistematika yang digunakan sama dengan fase

3 pada model konseling dengan pendekatan eklektik untuk IA. Yang membedakan

adalah pada pendekatan ini ada alternatif-alternatif pilihan yang harus dipilih oleh

konseli. Jadi, pada umumnya untuk kasus-kasus yang ditangani dengan

pendekatan ini sudah jelas isi dari alternatif-alternatif yang tersedia, dimana salah

satunya harus dipilih, dan jumlah alternatif yang ada. Tetapi, apabila isi dan

jumlah alternatif belum jelas, maka konselor bersama konseli melakukan

(47)

Pada fase penyelesaian masalah, dengan mendasarkan pada ciri khasnya

dari suatu “choice case”, maka konselor mengajak konseli untuk mendiskusikan

hal-hal yang berkaitan dengan alternatif-alternatif pilihan yang tersedia dan

membantu konseli untuk membuat pilihan atas alternatif-alternatif tersebut.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:

1) Mendiskusikan norma/patokan yang akan diterapkan bila tinjauan ini

ternyata relevan.

2) Konselor mengajak konseli untuk melihat pro dan kontra dari

masing-masing alternatif yang tersedia. Sebaiknya dalam proses ini konseli

dilibatkan agar konseli juga ikut berpikir.

3) Setelah meninjau norma/patokan dan melihat pro dan kontra dari

masing-masing alternatif, selanjutnya konselor dapat mengajukan

pertanyaan kepada konseli untuk mengarahkan pada pemilihan

alternatif yang paling tepat. Pertanyaan tersebut berupa

“Benarkah/Mungkinkah?” dan “Inginkah?”. Pertanyaan tersebut harus

dijawab dengan “Ya-Tidak”. Untuk alternatif yang paling masuk akal

dan dapat dipertanggungjawabkan dijawab dengan “Ya”. Ada

kemungkinan terdapat lebih dari satu alternatif yang cenderung dipilih

oleh konseli tetapi tidak dapat dipilih kedua-duanya, maka dapat dibuat

suatu kompromi dengan mengambil sesuatu dari masing-masing

alternatif tersebut. Pada dasarnya hendaklah dilihat baik-baik inti

masalah dan isi alternatif-alternatif.

4) Setelah dibuat pilihan secara tegas, barangkali perlu mengambil suatu

tindakan penyesuaian diri. (ada pengembangan dari “choice case

Gambar

Tabel 1.  Distribusi SMA Tempat PPL-BK Berdasarkan Jumlah Praktikan dan Jumlah Konseli
Tabel 3. Jumlah Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP
Tabel 4. Distribusi Jenis Masalah Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkatan Kelas
Tabel 5. Distribusi Jenis Masalah Siswa SMP Berdasarkan Ragam Bimbingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu unit usaha kerajinan tangan batik sasambo ” JAYA ABADI” dengan tujuan

Masa remaja apabila diperhatikan perkembangan manusianya sejak masih berada dalam kandungan sampai dengan masa kelahiran terlihat bahwa setiap orang akan mengalami perubahan.

The present study was designed to investigate the effects of G-90, as a stimulating factor agent, on the healing of the superfi cial digital fl exor tendon (SDFT) of rabbits after

Orokorrean esan dezakegu, errespontsabilitatea izatea ez zela erraza ikasle- entzat, batzutan erabakiak hartzerakoan egoera deserosoak sortzen zirelako, baina beste aldetik,

Pada sampel dengan suhu 125 0 C nilai CaO dan SiO2 cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan sifat mekaniknya, sedangkan pada sampel dengan suhu 150 0 C memiliki nilai

Dalam kasus ini, forgiveness dapat diartikan sebagai kesediaan wanita hamil di luar nikah yang diabaikan pasangannya untuk melepaskan hak yang dimilikinya

Penelitian tentang penggunaan Facebook di antara anggota komunitas DTLS ini bertujuan untuk mengetahui dinamika proses produksi pesan antaranggota, fungsi media