PENERAPAN PENDEKATAN KONSELING OLEH MAHASISWA ANGKATAN 2002 PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING UNIVERSITAS SANATA DHARMA
DALAM PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN TAHUN 2005/2006
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh :
Andreas Tri Wiharyanto NIM : 991114033
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
”Tiada Pengorbanan dan Perjuangan
yang Lebih Besar dan Berarti
daripada Pengorbanan dan
Perjuangan
yang Dilakukan dan Diberikan
Orang Tua
untuk Kebahagiaan Anaknya”
(Penulis)
Skripsi ini kupersembahkan secara khusus untuk:
1.
Bapak dan Ibu Tercinta (St. Rubiman dan Th.
Sudarti)
2.
Kakakku tercinta Mas Eko dan Mas Ion beserta
keluarga
PENERAPAN PENDEKATAN KONSELING OLEH MAHASISWA ANGKATAN 2002 PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS SANATA DHARMA DALAM PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa di sekolah menengah (SMP pada tahun 2005 dan SMA pada tahun 2006) dan diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK berdasarkan jenis masalahnya, jenis kelamin, tingkatan kelas, ragam bimbingan dan faktor penyebab utamanya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendekatan konseling yang sering digunakan oleh mahasiswa praktikan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode analisis dokumen. Subyek penelitian adalah mahasiswa angkatan 2002 Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah melaksanakan PPL-BK di SMP dan SMA, yang jumlahnya 36 mahasiswa (21 mahasiswa di SMP dan 14 mahasiswa di SMA). Instrumen penelitian ini adalah laporan wawancara konseling yang disusun dalam laporan pelaksanaan PPL-BK di SMP dan SMA. Berikut ringkasan hasil penelitian ini.
1. Jenis masalah yang berkaitan dengan upaya menjalin relasi dengan orang lain, baik dengan teman sebaya maupun lawan jenis (tujuan pacaran) paling banyak dihadapi oleh siswa. Di SMP jumlahnya mencapai 39 masalah (73,58%) dari total 53 masalah, sedangkan di SMA 21 masalah ( 42,86%) dari total 49 masalah.
2. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar masalah dihadapi oleh siswi. Di SMP jumlahnya mencapai 43 orang (81,87%), dan di SMA jumlahnya 32 orang (65,31%).
3. Berdasarkan tingkatan kelas, jumlah masalah di kelas IX lebih banyak (26 masalah atau 49,06%) dari kelas VII dan VIII. Jumlah masalah di kelas X, XI, dan XII di SMA sama banyaknya (16 masalah atau 32,65%).
4. Berdasarkan ragam bimbingan, masalah-masalah yang dihadapi siswa sebagian besar termasuk dalam ragam bimbingan pribadi-sosial, di SMP jumlahnya 51 masalah (96,22%) dan di SMA jumlahnya 35 masalah (71,43%).
5. Berdasarkan faktor penyebab utamanya, di SMP, faktor penyebabnya adalah faktor konflik dengan orang dekat yang jumlahnya mencapai 25 masalah (47,17%); sedangkan di SMA faktor konflik dengan orang dekat dan konflik dengan diri sendiri jumlahnya sama yakni masing-masing 17 masalah (34,69%).
6. Pendekatan konseling yang sering digunakan oleh praktikan adalah pendekatan
Interview for Adjustment. Di SMP jumlahnya mencapai 38 kali, dan di SMA jumlahnya mencapai 29 kali.
THE PROBLEMS FACED BY JUNIOR AND SENIOR HIGH SCHOOL STUDENTS AND THE COUNSELING APPROACH EMPLOYED BY 2002 BATCH STUDENTS OF GUIDANCE AND COUNSELING STUDY PROGRAM OF SANATA DHARMA
UNIVERSITY DURING THE INTERNSHIP PROGRAM IN THE ACADEMIC YEAR OF 2005/2006
Andreas Tri Wiharyanto Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
The research aimed to know the problems which were faced by high school students (Junior High School in 2005 and Senior High School in 2006) and was communicated to the practitioner students during the internship program, based on the kinds of problems, sex, grade, the kinds of guidance, and the main cause of the problems. The research also aimed to know the counseling approaches most frequently used by the practitioner students.
The research was a descriptive research which employed document analysis method. The subject of the research was 34 students (21 students in Junior High School and 14 students in Senior High School) from 2002 batch of Guidance and Counseling Study Program of Sanata Dharma University. The instrument of the research was the counseling interview report which was part of the internship program report submitted by 34 students participated in the internship program. These are summary of the research results:
1. The kind of problem mostly faced by students was problem related to efforts to build relationship with others, both relation with colleagues in the same age and opposite sex colleague. In Junior High School the number of the problem was 39 out of total 53 problems or 73,58%, while in the Senior High School the number of the problems was 21 out of 49 problems or 42,86%.
2. Based on sex, female students faced more problems. In Junior High School, 43 female students (81,875% of total observed students) reported as experiencing problems, and in the Senior High School, 32 female students (65,31% of total observed students) reported as experiencing problems.
3. Based on the grade, higher number of problems existed in grade IX (49,06% or 26 out of total 53 problems) compared to problems existed in grade VII and VIII. Problems existed in Senior High School (grade X, XI, and XII) were relatively similar for each grade (16 problems or 32,65% for each grade).
4. Based on the kinds of guidance, most problems faced by students were problem related to personal-social guidance. In Junior High School the number of problem was 96,22% or 51 out of 59, and in Senior High School the number of the problem was 71,43% or 35 out of 49.
5. Based on the main cause factors, it was found that in Junior High School the problems were mostly (47,17% or 25 out of 53 problems) caused by conflict with significant others, while in Senior High School, it was found that between conflict with significant others, and conflict with the self has the same number (34,69% or 17 out of 49 problem).
6. The counseling approach found as the most frequently used by the practitioners was Interview for Adjustment approach. In Junior High School the number was 38 cases out of 53, and in Senior High School the number was 29 cases out of 49.
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kasih atas segala
berkat, rahmat, dan karuniaNya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
dan lancar. Berbagai pengalaman berharga mengiringi setiap langkah penulis dalam
penulisan skripsi ini. Semua ini menjadi bagian dari proses belajar yang akan terukir
indah di dalam proses perjalanan kehidupan penulis. Penulis menyadari bahwa tanpa
adanya dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini, secara khusus penulis hendak mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen pembimbing I yang
dengan semangat membimbing, mengoreksi, mengarahkan, menyediakan waktu
untuk berdiskusi, dan memberikan banyak masukan dalam proses penulisan
skripsi ini.
2. Pastor Drs. H. Sigit Pawanta, SVD. M.A. sebagai dosen pembimbing II yang
telah berkenan memberikan bimbingan dan masukan berharga demi
penyelesaian skripsi ini.
3. Fajar Santoadi, S.Pd. selaku Sekretaris Prodi yang telah banyak membantu
proses penyelesaian skripsi ini dengan memberikan ide-ide dan waktunya untuk
berdiskusi.
4. Segenap dosen dan sekretariat Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas
Sanata Dharma atas segala hal yang telah diberikan kepada penulis selama ini,
baik pada saat menjalani perkuliahan sampai proses penulisan skripsi ini selesai.
Uthe’, Donald, Ema, Emmy, dan lain-lain) yang telah bersedia membantu
penulis dengan dukungan dan meminjamkan laporan-laporan PPLBK guna
penulisan skripsi ini.
6. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan 1999, atas persahabatan dan kekompakannya
yang telah terjalin selama ini, serta dukungan dan semangat yang mendorong
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Segenap Keluarga Besar Yayasan Cindelaras Paritrana, yang telah memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh keluargaku (Bapak dan Ibu tercinta, Mas Ion, Mbak Ade, Raka, Mbak
Tuti, Ibu Surat, Bapak Jono, dan Mas Eko sekeluarga) yang telah mendukung
dan memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan,
perhatian, dan bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang
diberikan kepada penulis khususnya selama penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan pemerhati Bimbingan dan
Konseling.
Penulis
Halaman
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v
ABSTRAK ………... vi
ABSTRACT ………... vii
KATA PENGANTAR ………... viii
DAFTAR ISI ………... x
DAFTAR TABEL ………... xiv
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang ………... 1
B. Rumusan Masalah ………... 8
C. Tujuan Penelitian ………... 9
D. Manfaat Penelitian ………... 9
E. Pembatasan Istilah ………... 10
BAB II KAJIAN TEORI ………... 12
A. Pengertian dan Tujuan Konseling .……….. 12
B. Teori-Teori Konseling ……….... 14
2. Konseling Behavioristik ……….. 16
3. Rational Emotive Therapy………. 20
4. Konseling Eklektik ……….... 21
C. Pendekatan-Pendekatan Konseling ... 23
1. Fase-Fase dalam Proses Konseling ………... 24
2. Model Pelaksanaan Konseling ………. 26
a. Model Trait Factor ………. 26
b. Model Konseling Behavioristik ………..… 27
c. Model Konseling Rational Emotive Therapy …………. 29
d. Model Konseling Eklektik (Interview for Adjustment) ... 31
e. Model Konseling Eklektik (Decision Making Interview) 32 D. Tugas-Tugas Perkembangan Siswa ……… 34
E. Ragam Bimbingan Konseling ...…...………... 37
1. Ragam Bimbingan Karier ………. 37
2. Ragam Bimbingan Akademik ………... 39
3. Ragam Bimbingan Pribadi-Sosial ………. 41
F. PPL-BK Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma …..………... 42
1. Tujuan PPL-BK ………... 42
2. Layanan Konseling dalam PPL-BK ……….. 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………... 45
A. Jenis Penelitian ………... 45
C. Populasi dan Sampel ………... 48
D. Instrumen Penelitian ………... 51
E. Analisis Data ………... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 57
A. Hasil Penelitian ………... 57
1. Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMP ……….. 57
2. Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMA ……….. 65
B. Pembahasan Hasil Penelitian ……….. 73
1. Pembahasan Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMP ... 74
2. Pembahasan Hasil Penelitian di Jenjang Pendidikan SMA... 82
C. Gambaran Umum Hasil Penelitian dan Pembahasan tentang Jenis Masalah yang Sihadapi Siswa di Sekolah Menengah …. 88 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 94
A. Ringkasan Hasil Penelitian ………. 94
B. Kesimpulan ……… 96
C. Saran ………... 97
DAFTAR PUSTAKA ……… 101
LAMPIRAN ………... 104
xiii
Halaman
Tabel 1. Distribusi SMA Tempat PPL-BK Berdasarkan Jumlah Praktikan
dan Jumlah Konseli ... 50
Tabel 2. Distribusi SMP Tempat PPL-BK Berdasarkan Jumlah Praktikan
dan Jumlah Konseli... 50
Tabel 3. Jumlah Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP ... 58
Tabel 4. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan
Jenis Kelamin dan Tingkatan Kelas ... 59
Tabel 5. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan
Ragam Bimbingan ... 61
Tabel 6. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMP berdasarkan
Faktor Penyebab Utamanya ... 62
Tabel 7. Frekuensi Pendekatan Konseling yang Digunakan Mahasiswa
Praktikan ... 64
Tabel 8. Frekuensi Penggunaan Pendekatan Konseling Berdasarkan Jenis
Masalah yang Dihadapi Siswa SMP ... 64
Tabel 9. Jumlah Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA ...……… 66
Tabel 10. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA
berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkatan Kelas ... 67
Tabel 11. Distribusi Jenis Masalah yang Dihadapi Siswa SMA
xiv
Tabel 13. Frekuensi Pendekatan Konseling yang Digunakan Mahasiswa
Praktikan ... 72
Tabel 14. Frekuensi Penggunaan Pendekatan Konseling Berdasarkan Jenis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masuknya pelayanan bimbingan dan konseling di Indonesia sekitar
tahun 1960-an sampai sekarang, pelayanan bimbingan dan konseling mengalami
perkembangan yang cukup pesat, khususnya pelayanan bimbingan dan konseling
di sekolah menengah. Pada tahun 1960 diselenggarakan Konferensi FKIP seluruh
Indonesia di Malang yang membahas tentang dasar-dasar pelaksanaan usaha
bimbingan di lingkungan sekolah sebagai salah satu penunjang pendidikan di
Indonesia. Dampak dari konferensi ini adalah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan mengeluarkan instruksi tentang perlunya pelayanan bimbingan di
sekolah menengah dan tentang cara pelaksanaannya (Winkel dan Sri Hastuti,
2004:54).
Pada kurikulum SMA tahun 1962 dan 1968, pelayanan bimbingan dan
konseling lebih difokuskan pada bagaimana membantu siswa dalam membuat
pilihan jurusan yang tersedia seperti jurusan Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ilmu Sosial
dan Ilmu Budaya. Petugas yang ditunjuk untuk mengampu pelaksanaan
bimbingan dan konseling kala itu adalah guru pengajar dan bukan guru
pembimbing profesional, jumlahnya pun amat terbatas (Winkel dan Sri Hastuti,
2004:54).
Mulai periode tahun 1970-an, proses dan fokus pelayanan bimbingan dan
konseling pun mengalami perkembangan. Pelayanan bimbingan dan konseling
bertujuan agar siswa dapat mengembangkan pemahaman diri, mengembangkan
pengetahuan tentang lapangan kerja tertentu, serta mewujudkan penghargaan
terhadap kepentingan dan harga diri orang lain.
Mulai tahun 1980-an, fokus pelayanan bimbingan mengalami
perkembangan, yang semula terfokus pada kesulitan yang dihadapi siswa
khususnya dalam proses pemilihan jurusan di SMA, menjadi terarah ke masa
sesudah selesai pendidikan di SMA. Pelayanan bimbingan dilaksanakan dalam
rangka mempersiapkan siswa dalam menghadapi dan merencanakan masa
depannya dan lapangan pekerjaan yang akan dijalaninya nanti. Hal ini berarti ada
penambahan ragam bimbingan, yang semula lebih menekankan pada ragam
bimbingan akademik dan bimbingan pribadi-sosial, kini ditambahkan bimbingan
karier.
Meskipun ada penambahan dalam ragam kurikulum yang diberikan
kepada para siswa, namun pelaksanaan bimbingan masih menghadapi berbagai
hambatan seperti banyaknya kepala sekolah dan guru yang belum memahami
secara sungguh fungsi pelayanan bimbingan di sekolah, serta kurangnya tenaga
bimbingan di sekolah baik secara kuantitas maupun secara kualitas (konselor
profesional). Berdasarkan laporan dari Harian Kedaulatan Rakyat (17 April 1997),
jumlah kebutuhan guru pembimbing di Propinsi Jawa Tengah mencapai sekitar
1.300 orang guru pembimbing. Dampak dari kurangnya kuantitas tenaga
bimbingan yang ahli adalah digunakannya guru pengajar sebagai tenaga
bimbingan di sekolah, meskipun dalam hal kualitas patut dipertanyakan.
Untuk mengatasi kurangnya jumlah tenaga bimbingan di sekolah ini, maka
pada tahun 1970-an telah dibuka jurusan Bimbingan dan Konseling di Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP) di beberapa IKIP di Indonesia. Sedangkan untuk
meningkatkan kualitas atau kompetensi para tenaga bimbingan di sekolah
tersebut, maka diselenggarakan berbagai lokakarya dan konvensi yang bertaraf
nasional. Badan Pengembangan Pendidikan, Departemen P dan K,
menghasilkan suatu Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Program Bimbingan
dan Penyuluhan serta Pedoman Operasional pada Proyek-Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan. Lembaga-lembaga pendidikan guru jenjang perguruan tinggi juga
menyelenggarakan lokakarya dan pertemuan konvensi yang bertaraf nasional.
Pertemuan ini bertujuan untuk memantapkan dasar-dasar pelayanan bimbingan di
sekolah dan menyusun satuan acuan operasional bagi pelaksanaan di lapangan.
Beberapa pertemuan tersebut antara lain (Winkel dan Sri Hastuti, 2004):
1. Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang tahun 1975. Dalam pertemuan
ini didirikan Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dan
menghasilkan Kode Etik Jabatan bagi konselor di sekolah.
2. Sejumlah tenaga pendidikan konselor sekolah di FIP IKIP yang
menggabungkan diri pada The Association of Psychological and
Educational Counselor of Asia (APECA), yang didirikan di Manila tahun
1976, mengikuti konferensi-seminar bertaraf internasional yang
diselenggarakan setiap dua tahun sekali.
Sebagai tindak lanjut dari seminar-konvensi tersebut di atas adalah
dikukuhkannya Kurikulum Program Inti Program Studi Bimbingan dan Konseling
pada Strata S1 dan D3 pada tahun 1981. Kurikulum Inti ini adalah pedoman dasar
bahan atau materi pokok yang diberikan kepada mahasiswa yang menempuh
pendidikan di LPTK. Tujuan pokok penetapan kurikulum ini adalah untuk
mengupayakan peningkatan kualitas dan kemampuan petugas/tenaga bimbingan
yang profesional dalam rangka pelayanan bimbingan di sekolah menengah dan
menyiapkan petugas bimbingan yang profesional.
Meskipun kurikulum bimbingan dan konseling telah cukup lama
dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah, tetapi belum semua sekolah
pun belum semuanya merupakan petugas bimbingan yang profesional. Mulai
tahun 1990-an, di sekolah-sekolah negeri, khususnya di sekolah menengah umum
(SMA) dan sekolah menengah Pertama (SMP), telah banyak diangkat tenaga guru
pembimbing profesional. Tenaga guru pembimbing profesional yang
dimaksudkan di sini adalah guru yang telah menyelesaikan pendidikan bimbingan
dan konseling secara khusus di LPTK, baik negeri maupun swasta. Hal ini
membuktikan bahwa kebutuhan secara kuantitas dan kualitas akan petugas
pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah pun semakin lama
semakin meningkat. Kebutuhan akan kualitas dan kuantitas konselor ini semakin
tampak dengan telah ditetapkannya Kurikulum Satuan Pendidikan untuk SD-SMA
tahun 2006, di mana di dalam kurikulum tersebut terdapat Program Kegiatan
Pengembangan Diri. Dimana program kegiatan ini akan diampu sepenuhnya
tenaga bimbingan, karena tenaga bimbingan dipandang tepat dan kompeten untuk
mengampu mata pelajaran ini.
Semakin tingginya tingkat kebutuhan akan konselor di institusi pendidikan
menuntut peningkatan kompetensi konselor. Dalam seminar “Rekonstruksi
Paradigma Bimbingan Konseling Indonesia Abad 21” yang diselenggarakan oleh
FIP, Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 07 Juni 2001, terungkap kompetensi
konselor atau petugas bimbingan masih diragukan masyarakat. Akibatnya,
masyarakat masih lebih menghargai psikolog daripada seorang konselor. Tidak
mengherankan kalau profesi bimbingan dan konseling kemudian semakin tidak
populer di mata masyarakat. Ditegaskan pula bahwa setiap orang mampu menjadi
seorang konselor, tetapi seorang konselor profesional harus memiliki latar
belakang pendidikan yang sesuai. Dalam seminar ini ditawarkan pula solusi
pendirian lembaga pendidikan profesi konselor sebagai langkah untuk
dan rencana ini terwujud, organisasi profesi perlu menetapkan standardisasi.
Tujuannya adalah agar konselor yang ada di masyarakat dapat memberikan
pelayanan terbaik dengan didukung kemampuan dan keterampilan yang memadai.
(Harian Kompas, 09 Juni 2001).
Dengan adanya dukungan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga
Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Dirjen Dikti, tersusunlah Dasar
Standardisasi Profesi Konseling. Rumusan tersebut dikaji dan disempurnakan
melalui Workshop Nasional tentang Standardisasi Kompetensi dan Pendidikan
Konselor pada tanggal 10 Januari 2005 di Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal
9 Februari 2005 di Universitas Negeri Semarang dan tanggal 12 Maret 2005 di
Universitas Negeri Malang. Pada tanggal 13-16 April tahun 2005 diselenggarakan
Kongres X Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) di Semarang.
Hal pokok yang dibahas dalam kongres tersebut adalah tentang standard
kompetensi konselor Indonesia yang dapat menjadi pegangan pokok bagi konselor
profesional di Indonesia. Pengurus Besar ABKIN telah menyusun 7 kompetensi
yang sebaiknya dimiliki oleh seorang konselor profesional, yakni:
1. Penguasaan konsep dan praksis pendidikan
2. Kesadaran dan komitmen etika profesional
3. Penguasaan konsep perilaku dan perkembangan individu
4. Penguasaan konsep dan praksis assesment
5. Penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling
6. Pengelolaan program bimbingan dan konseling
7. Penguasaan konsep dan praksis riset dalam bimbingan dan konseling
Dari ketujuh kompetensi tersebut di atas masih dijabarkan pula
subkompetensi dan indikator-indikatornya. Sebagai contoh salah satu
konseling adalah penguasaan pendekatan-pendekatan dan teknik-tehnik
bimbingan dan konseling. Indikator dari sub kompetensi ini adalah bahwa
konselor mampu menjelaskan berbagai macam pendekatan dalam bimbingan dan
konseling; mampu memilih pendekatan bimbingan dan konseling secara tepat;
dan terampil menggunakan teknik-teknik bimbingan dan konseling individual
dan kelompok. Subkompetensi dari kompetensi penguasaan konsep dan praksis
bimbingan dan konseling menjadi rujukan dalam penelitian ini, karena seluruh
komponen didalamnya menjadi pedoman atau pegangan pokok bagi konselor
dalam melaksanakan proses konseling sebagai bagian dari unjuk kerja profesi
konselor. Seperti telah dituliskan di atas tentang indikator-indikator
sub-kompetensi ini, tampak bahwa indikator-indikator tersebut menjadi modal dasar
bagi konselor untuk mencapai tujuan dari proses konseling, yaitu membantu
individu (siswa) menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya dan
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya dengan seoptimal mungkin.
Dengan kata lain, proses konseling merupakan proses penting dalam rangka
pemberian bantuan kepada individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
oleh individu tersebut. Oleh karenanya proses konseling harus didasari oleh
pemilihan dan penggunaan teori, pendekatan, teknik-teknik dan prosedur
konseling yang tepat, dan tidak hanya sebatas berbagi cerita, berbincang-bincang,
atau pemberian nasihat kepada seseorang.
Indikator-indikator di atas harus dipenuhi oleh seorang konselor, juga
calon konselor pada saat menjalani pendidikan di program studi Bimbingan dan
Konseling di LPTK. Pada saat menempuh pendidikan konselor, seorang calon
konselor dibekali berbagai macam materi dan keterampilan bimbingan dan
konseling. Materi yang diterima oleh calon konselor saat menempuh pendidikan
program dan penyusunan program konseling, teori dan pendekatan konseling,
teknik konseling, sampai pada tahap aplikasi atau praksis pelayanan bimbingan
dan konseling di lapangan.
Praktek pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh
mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
melalui Program Pengalaman Lapangan Bimbingan dan Konseling (PPL-BK)
merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti mahasiswa. PPL-BK
menjadi salah satu wadah awal bagi mahasiswa untuk mempraktikkan dan
menerapkan materi pelayanan bimbingan dan konseling secara nyata di lapangan.
Dengan PPL-BK ini mahasiswa dituntut untuk mampu menerapkan berbagai
materi yang telah diperolehnya selama menjalani perkuliahan. Dengan kata lain,
PPL-BK menjadi salah satu kegiatan yang mengarahkan mahasiswa untuk
memenuhi standard kompentensi seperti yang ditetapkan oleh ABKIN.
Salah satu program pokok dalam PPL-BK di Universitas Sanata Dharma
adalah pelaksanaan layanan konseling. Dalam program kegiatan ini, mahasiswa
praktikan diharuskan memberikan layanan konseling kepada konseli (siswa
sekolah menengah) yang mengalami atau menghadapi masalah. Dalam proses
wawancara konseling ini, mahasiswa praktikan diharapkan mampu memilih dan
menggunakan pendekatan konseling yang paling tepat atau sesuai untuk
membantu mengatasi masalah yang dihadapi oleh siswa.
PPL-BK merupakan suatu program yang ditempuh oleh mahasiswa
dimana melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di dalamnya, termasuk
kegiatan layanan konseling, mahasiswa diarahkan untuk dapat memenuhi standard
kompetensi seperti yang telah ditetapkan oleh ABKIN. Salah satu hal penting
dalam layanan konseling adalah mahasiswa diharapkan dapat memilih dan
pendekatan konseling, mahasiswa paling tidak sudah diarahkan untuk memenuhi
salah satu indikator dari standard kompetensi konselor yakni indikator dari
penguasaan konsep dan praksis bimbingan dan konseling. Meskipun dengan
hanya mengetahui pendekatan konseling yang sering dipilih dan digunakan
mahasiswa tanpa mengetahui proses yang terjadi sesungguhnya, sebenarnya
belum dapat menjadi patokan bahwa mahasiswa tersebut sudah memenuhi
standard kompetensi konselor. Namun, paling tidak mahasiswa sudah berusaha
untuk memilih dan menggunakan pendekatan yang dipandang sesuai dan tepat
dengan masalah yang dihadapi oleh konseli. Dengan kata lain, mahasiswa
benar-benar diarahkan untuk dapat memenuhi standard kompetensi konselor.
Untuk melihat pendekatan yang dipilih dan digunakan oleh mahasiswa
praktikan tersebut, maka perlu dilihat pula hal-hal yang berkaitan dengan itu,
seperti masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh konseli, siapa yang
menghadapinya (dapat ditinjau berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan kelasnya,
bila masalah tersebut dialami oleh siswa), faktor apa yang menjadi penyebab
utama dari masalah tersebut, termasuk dalam ragam bimbingan apa masalah yang
dihadapi oleh konseli tersebut.
Penelitian ini merupakan sebuah langkah awal untuk mengetahui sampai
sejauh mana mahasiswa Prodi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma, khususnya angkatan 2002, diarahkan untuk dapat memenuhi salah satu
standard kompetensi konselor melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
dalam PPL-BK di sekolah menengah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
1. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi oleh siswa di sekolah menengah dan
diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK
berdasarkan jenis kelamin, kelas, ragam bimbingan dan faktor penyebab
utamanya?
2. Pendekatan-pendekatan konseling apa saja yang paling sering digunakan oleh
mahasiswa praktikan dalam membantu siswa menjalani proses konseling pada
saat PPL-BK di sekolah menengah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi siswa di sekolah menengah dan
diungkapkan kepada mahasiswa praktikan selama pelaksanaan PPL-BK
berdasarkan jenis kelamin, tingkatan kelas, ragam bimbingan dan faktor
penyebab utamanya.
2. Mengetahui pendekatan-pendekatan konseling yang paling sering digunakan
oleh mahasiswa praktikan dalam membantu siswa menjalani proses konseling
pada saat PPL-BK di sekolah menengah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain:
1. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui masalah-masalah yang
dominan ditemui dan ditangani oleh mahasiswa praktikan selama menjalani
PPL-BK di sekolah menengah. Selain itu, dapat diketahui
pendekatan-pendekatan konseling yang dipilih dan digunakan oleh mahasiswa praktikan
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk evaluasi atas pelaksanaan
layanan konseling yang dilakukan oleh mahasiswa praktikan selama menjalani
PPL-BK di sekolah menengah, khususnya bagi Prodi Bimbingan dan
Konseling. Sehingga Prodi Bimbingan dan Konseling dapat semakin
meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa dalam penguasaan
konsep dan praksis bimbingan dan konseling, khususnya dalam pemilihan dan
penggunaan pendekatan-pendekatan konseling di sekolah.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Prodi
Bimbingan dan Konseling sebagai calon konselor agar kian terpacu dan
terpancing untuk semakin memahami dan menguasai konsep-konsep
bimbingan dan konseling serta mampu memilih dan menerapkan berbagai
pendekatan konseling di lapangan dengan tepat sesuai dengan tujuan dari
pelayanan konseling.
4. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi ajang berlatih dan belajar untuk semakin
mendalami serta memahami konsep dan praksis bimbingan dan konseling,
khususnya tentang pendekatan-pendekatan konseling, sehingga pada saatnya
nanti dapat menjadi bekal dalam melaksanakan pelayanan bimbingan dan
konseling di lapangan. Selain itu, penelitian ini juga menjadi sarana berlatih
melakukan untuk penelitian.
E. Pembatasan Istilah
1. Masalah-masalah yang dihadapi siswa
Masalah-masalah yang dihadapi siswa adalah segala sesuatu yang menjadi
penghambat bagi siswa dalam menjalani tugas perkembangannya atau
Dalam penelitian ini, masalah yang dihadapi siswa tersebut dibagi menjadi
tiga bidang, yaitu bidang akademik, karier, dan pribadi-sosial.
2. Pendekatan-pendekatan Konseling
Pendekatan-pendekatan konseling adalah penerapan teori konseling yang
dipilih dan digunakan konselor dalam proses konseling dalam rangka
membantu konseli mengatasi masalahnya dan mengembangkan potensi
dirinya dengan seoptimal mungkin. Pendekatan konseling di sini berdasar
pada kerangka teori konseling tertentu sesuai dengan kasus yang dialami oleh
konseli. Pada penelitian ini, pendekatan konseling yang digunakan adalah
Trait Factor, Behavioral Approach, Rational Emotive Therapy, Interview for
Adjusment, dan Dicision Making Interview.
3. Mahasiswa Praktikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Mahasiswa Praktikan Prodi BK adalah individu yang menempuh pendidikan
di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) atau jenjang perguruan
tinggi yang dalam penelitian ini adalah Universitas Sanata Dharma, yang
secara khusus mengambil spesifikasi mempelajari tentang bimbingan dan
konseling dan sedang melaksanakan atau menempuh program PPL-BK di
sekolah menengah.
4. Sekolah Menengah
Sekolah menengah adalah lembaga formal yang merupakan tempat untuk
menimba ilmu bagi individu (remaja). Sekolah menengah yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang menjadi tempat pelaksanaan PPL-BK mahasiswa
praktikan Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dijelaskan berbagai hal tentang konsep dasar konseling,
teori-teori konseling khususnya teori-teori yang berelevansi bagi konseling di
institusi pendidikan, pendekatan-pendekatan terhadap konseling (counseling
approach) dimana didalamnya terdapat metode atau cara yang digunakan oleh
masing-masing pendekatan dalam rangka pelaksanaan layanan konseling berikut
fase-fase atau urutan dalam proses konseling.
A. Pengertian dan Tujuan Konseling
Istilah konseling, secara etimologis, berasal dari bahasa Latin yaitu
“consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan
“menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah
konseling berasal dari kata “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau
“menyampaikan”. Dalam kamus bahasa Inggris, kata counseling berasal dari kata
dasar counsel yang berarti nasihat, anjuran, dan pembicaraan. Sedangkan kata
counseling dapat diartikan sebagai sebuah pemberian nasihat, anjuran dan
pembicaraan dengan bertukar pikiran (Winkel, 1997; 70).
Banyak tokoh mengungkapkan pengertian konseling berdasarkan keadaan
dimana tokoh tersebut hidup. Berikut beberapa pengertian konseling yang
diungkapkan oleh beberapa tokoh. (Prayitno dan Erman, 2004, 100-105):
… interaksi yang terjadi (a) antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien (konseli); (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien. (Pepinsky & Pepinsky, dalam Shertzer & Stone, 1974).
... proses dalam mana konselor membantu konseli membuat interpretasi-interpretasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian yang perlu dibuatnya. (A.C. English, dalam Sherzer & Stone, 1974).
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. (Tolbert, 1959).
... membantu individu agar dapat menyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengaruh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilai-nilai untuk perilaku di masa yang akan datang. (Blocher, dalam Shertzer & Stone, 1974).
Winkel (1997) mengungkapkan bahwa pengertian konseling yang
dipandang cukup akurat adalah definisi yang dikemukakan Schmidt dalam
bukunya Counseling in Schools (1993) yaitu suatu pelayanan profesional yang
dirancang untuk mendampingi seseorang agar memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang berbagai permasalahan dan segala kemampuan pribadi;
pelayanan ini menggunakan aneka prinsip dan metode yang dikembangkan dalam
ilmu psikologi modern. Pengertian ini dipandang tidak terpengaruh oleh sudut
pandangan teoritis tertentu dan tidak tercemar oleh diskusi tentang batasan
konseling dan psikoterapi.
Berkaitan dengan pengertian-pengertian konseling, Winkel (1997; 72-73)
juga mengemukakan adanya perbedaan dan persamaan dari konsep-konsep
pengertian tersebut. Perbedaan yang cukup menonjol adalah menyangkut sudut
pandang, yaitu bahwa konseling terutama dilihat sebagai:
b. Proses yang dilalui oleh orang-orang yang dilayani (process),
c. Pertemuan tatap muka (face-to-face, relationship),
d. Serangkaian kegiatan yang bersifat membantu secara psikologis (helping
to feel and behave... by providing information and reaction)
Sedangkan persamaan dari pengertian-pengertian konseling terletak pada
perumusan tentang tujuan konseling atau hasil yang diperoleh dalam konseling,
yang pada dasarnya menekankan bahwa orang yang dilayani (konseli) berhasil
mengembangkan sikap serta tingkah laku yang memuaskan bagi dirinya sendiri
dan bagi lingkungannya; serta berhasil mengatur kehidupannya sendiri secara
bertanggungjawab.
Berdasarkan pengertian-pengertian, perbedaan dan persamaan dari
pengertian konseling ditinjau dari konsep dasar dan ciri-cirinya, maka dapat
dirumuskan secara singkat bahwa konseling adalah sebuah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut
konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut
konseli/klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh
konseli/klien serta terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik pada diri
konseli/klien.
B. Teori-Teori Konseling
Winkel (1997:373) menyatakan bahwa teori konseling adalah suatu
konseptualisasi atau kerangka acuan berpikir tentang bagaimana proses konseling
berlangsung; apa yang terjadi selama proses konseling, perubahan yang
bagaimana yang dituju, mengapa perubahan itu dapat terjadi, dan apa unsur-unsur
Dewasa ini jumlah teori konseling yang dikemukakan oleh para ahli sudah
cukup banyak. Teori-teori konseling tersebut dikemukakan berdasarkan sudut
pandang para ahli dan disesuaikan dengan keadaan pada saat ahli tersebut hidup.
Dengan perbedaan isi atau metode dari masing-masing teori tersebut,
maka berikut akan disajikan berbagai teori-teori konseling. Teori yang disajikan
dalam bagian ini adalah teori-teori konseling yang dipelajari oleh
mahasiswa/calon konselor di LPTK, dalam hal ini di Prodi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma, yang nantinya akan dipraktikkan dalam
program PPL-BK di sekolah menengah. Teori-teori tersebut adalah:
1. Trait-Factor Counseling
Pelopor yang paling terkenal dari teori ini adalah Edmund Griffith (E.G.)
Williamson yang lahir pada tanggal 14 Agustus 1900 di Rossville, Illionis, dan
meninggal pada tanggal 30 Januari 1979. Teori ini juga menekankan pada
pemahaman diri melalui test psikologis dan menerapkan pemahaman tersebut
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh konseli, terutama yang
berkaitan dengan pilihan program studi atau bidang pekerjaan. Yang dimaksud
dengan trait adalah suatu ciri yang khas bagi seseorang dalam berpikir,
berperasaan, dan berperilaku. Ciri-ciri ini dianggap sebagai suatu dimensi
kepribadian yang masing-masing membentuk suatu kontinum atau skala yang
terentang dari sangat tinggi sampai sangat rendah (Winkel, 1997:388). Ciri-ciri
inilah yang akhirnya disebut sebagai factors.
Teori ini bertujuan untuk membantu konseli dalam membuat keputusan
atas alternatif pilihan yang berkaitan dengan pekerjaan/jabatan yang diinginkan.
keputusan atas pilihan jurusan atau program studi yang diharapkan dan dengan
bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa tersebut. Jadi, teori ini bertujuan
untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi konseli yang termasuk dalam
ragam bimbingan karier (Winkel dan Sri Hastuti, 2004:438-439).
Teori ini merupakan directive counseling atau Counselor-Centered
Counseling, dimana konselor secara sadar mengadakan strukturalisasi dalam
proses konseling dan berusaha mempengaruhi arah perkembangan konseli demi
kebaikan konseli tersebut. Dalam proses wawancara konseling, konselor harus
melakukan langkah-langkah yaitu membantu konseli mengumpulkan dan
mengolah data tentang diri konseli (data psikologis); data lingkungan hidup yang
meliputi data konkret tentang lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan
bidang studi yang sedang ditinjau (data sosial). Data dan fakta-fakta tersebut
dalam kaitan satu sama lain akan menghasilkan sejumlah alternatif yang kemudian
dipertimbangkan pro dan kontranya. Akhirnya dipilih alternatif yang paling masuk
akal, paling bijaksana dan realistis karena baik bisa/dapat maupun ingin dipilih;
atau mungkin ditemukan alternatif baru yang mengambil unsur-unsur dari
berbagai alternatif yang lain. Pengumpulan data psikologis dan fakta sosial sangat
bermanfaat untuk dapat menentukan suatu norma atau patokan yang menjadi
landasan untuk kelak dapat mengambil keputusan tegas.
2. Konseling Behavioristik (Behavioristic Counseling)
Istilah Konseling Behavioristik berasal dari istilah bahasa Inggris
Behavioral Counseling yang pertama kali digunakan oleh John D. Krumboltz
mengembangkan aliran ini adalah Dollar dan Miller, Wolpe, Lazarus, Eysenck,
Thoresen, Bandura, Goldstein, Yates serta Dustin dan George.
Pendekatan ini menitikberatkan pada perubahan nyata dalam perilaku
konseli sebagai hasil dari konseling. Pendekatan ini juga menekankan bahwa
hubungan antarpribadi tidak dapat diteliti secara ilmiah, sedangkan perubahan
nyata dalam perilaku konseli memungkinkan dilakukan penelitian ilmiah.
Pendekatan ini merupakan kebalikan dari pendekatan yang memandang hubungan
antarpribadi antara konselor dan konseli sebagai komponen utama dan mutlak
serta sekaligus cukup untuk memberikan bantuan psikologis kepada seseorang.
Keyakinan dasar yang dipegang dalam pendekatan ini adalah bahwa perilaku
manusia merupakan hasil dari suatu proses belajar, maka dapat diubah dengan
belajar baru (Winkel dan Sri Hastuti, 2004). Maka, konseling behavioristik
memiliki ciri-ciri, antara lain (Latipun, 2001:113):
a. Berfokus pada perilaku yang tampak atau nyata
b. Memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan terapeutik/konseling
c. Mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah
konseli.
d. Penafsiran objektif atas tujuan terapeutik/konseling.
Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dalam konseling behavioristik
perumusan tujuan secara spesifik lebih penting dibandingkan dengan proses
hubungan konseling. Hal ini dikarenakan masalah dan situasi yang dihadapi oleh
masing-masing konseli berbeda-beda, sehingga tujuan yang hendak dicapai
masing-masing pribadi juga berbeda sesuai dengan masalah dan kondisi yang
membantu konseli untuk mengubah perilaku salah suai atau perilaku maladaptif
dengan cara mempertahankan dan memperkuat perilaku yang diharapkan,
meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu menemukan
cara-cara berperilaku yang tepat (Corey (2003), Latipun (2001), Wilis (2004)).
Perilaku konseli merupakan hasil dari keseluruhan pengalaman hidupnya
dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam interaksi ini, konseli dihadapkan
pada suatu rangsangan (Stimulus/S) dan bereaksi dengan cara tertentu
(Response/R). Cara reaksi ini lama kelamaan akan menjadi suatu pola yang
sifatnya dinamis sesuai dengan saat di mana konseli berada.
Konseling Behavioristik tidak dapat dilepaskan dari teori belajar
(Behaviorisme) yang telah ada sebelumnya. Tiga konsepsi tentang belajar yang
diuraikan oleh tiga tokoh yang berbeda adalah:
1) Belajar Signal menurut Ivan Pavlov
2) Belajar melalui Peneguhan Menurut Skinner
Pada dua konsepsi di atas, reaksi mengikuti rangsangan secara spontan
tanpa melalui suatu proses kognitif lebih dahulu. (S → R)
3) Belajar dari Model menurut Bandura
Pada konsepsi ini, ada kemungkinan terjadi sesuatu dalam diri subjek
sebelum memberikan reaksi. (S → r (rangsangan kognitif) → R).
Dalam pendekatan Behavioristik dalam konseling, rangkaian S→R
dikonsepsikan sebagai rangkaian Antecedent-Behavior-Consequence (A-B-C).
Antecedent atau Stimulus adalah kejadian-kejadian yang mendahului Behavior,
Consequence atau Reinforcement (peneguhan atau penguatan menurut Skinner)
Sedangkan Behavior sama dengan Response. Apabila rangkaian ini diulang-ulang
kembali, maka dapat membentuk pola perilaku yang tetap sama.
Dalam pendekatan Behavioristik, selain menaruh perhatian pada perubahan
perilaku, ada beberapa pelopor yang juga menaruh perhatian pada reaksi
emosional sebagai proses belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah dan
takut-takut, yang sering melatarbelakangi rasa tidak tenang serta terancam dan
mendasari perilaku manusia. Untuk kasus seperti ini ada dua alternatif prosedur
yang dilakukan konselor yaitu, pertama mengubah respon/reaksi terbuka (R) atau
perilaku (B) secara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respon/
reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Kedua, mengubah respon/
reaksi tertutup (r) lebih dahulu, lebih-lebih tanggapan pikiran dalam batin
seseorang; sebagai akibat respon/reaksi terbuka (R) akan berubah pula, namun
tidak secara langsung.
Selain itu, beberapa tokoh pendekatan Behavioristik juga mengembangkan
pendekatan baru yakni Pendekatan Kognitif-Behavioristik (Cognitive-Behavioral
Approach). Pendekatan ini lebih menekankan peranan dari persepsi, pikiran dan
keyakinan yang semuanya bersifat kognitif sebagai komponen yang sangat
menentukan dalam rangkaian S→r→R. Alasan dasarnya adalah bahwa manusia
dapat mengatur perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya
terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada
3. Rational-Emotive Therapy (RET)
Pelopor dan peletak dasar konseling ini adalah Albert Ellis. Beliau lahir
pada tahun 1913 di Pittsburgh, Pennsylvania dan dibesarkan di New York. RET
merupakan sebuah terapi atau corak konseling yang menekankan kebersamaan
dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thinking), berperasaan
(emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa perubahan
yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan berarti dalam
cara berperasaan dan berperilaku (Winkel, 1997, 144). Menurut Ellis (1994)
perilaku seseorang khususnya yang berkaitan dengan emosi, bukan disebabkan
secara langsung oleh peristiwa yang dialaminya, melainkan karena cara berpikir
atau sistem kepercayaan seseorang (rasional atau irrasional) (Latipun, 2001: 93).
Jadi tujuan dari RET adalah untuk memperbaiki dan mengubah sikap, cara
berpikir, persepsi, keyakinan serta pandangan konseli yang irrasional menjadi
rasional, sehingga ia dapat mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri
yang optimal (Wilis, 2004: 76).
RET dalam teori-teori konseling dan psikoterapi dikelompokkan sebagai
terapi behavior, karena terapi ini berasal dari aliran pendekatan
kognitif-behavioristik. Maka, RET juga sering disebut juga dengan nama lain seperti
Rational Therapy, Rational Emotive Behavior Therapy, Cognitif Behavior
Therapy, Semantic Therapy, dan Rational Behavior Training.
Menurut Ellis (1994) ada tiga hal terkait dengan perilaku yang juga
menjadi konsep dasar RET atau yang sering disebut sebagai konsep A-B-C, yaitu
activating event atau activating experience (A) yang merupakan peristiwa atau
orang lain. Belief (B) yakni keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri
individu terhadap suatu peristiwa atau pengalaman. Keyakinan manusia pada
dasarnya ada dua yaitu keyakinan yang rasional atau masuk akal (rational
belief/rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief/iB). Consequence
(C) merupakan konsekuensi sebagai akibat atau reaksi individu dalam
hubungannya dengan A. Jadi, C pertamakali ditimbulkan oleh B, baik rB ataupun
iB terhadap A.
Dalam memberikan pelayanan kepada konseli dengan pendekatan ini,
konselor hendaknya berpegang pada konsep dasar di atas dengan menambahkan
unsur D (dispute) dan E (Effects). Dispute merupakan usaha yang dilakukan oleh
konselor dalam membantu konseli untuk mengubah pikirannya yang irrasional
dengan cara mendiskusikan secara terbuka dan terus terang dengan konseli.
Effects adalah hasil-hasil yang diperoleh dari proses diskusi bersama konseli, hasil
tersebut (seharusnya/harapannya) berupa pikiran yang lebih rasional dan perasaan
yang lebih wajar serta perilaku yang lebih tepat dan sesuai.
4. Konseling Eklektik
Konseling eklektik (Eclectic Counseling) mulai dikembangkan sejak tahun
1940-an oleh Frederick Thorne yang merupakan promotor utama dari corak
konseling ini. Corak konseling ini menunjukkan suatu sistematika dalam
konseling yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan yang
merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa
konsepsi serta pendekatan. Dengan kata lain, konseling eklektik merupakan
yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam
situasi yang tepat dalam rangka membantu konseli menyelesaikan masalahnya.
Hal ini mendasarkan pada pandangan bahwa semua teori konseling yang ada
pastilah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Atau terkadang
konselor merasakan adanya pembatasan apabila hanya menggunakan satu teori
atau pendekatan saja dalam proses konseling. Latipun (2001:135) mengemukakan
hal yang sama, yakni bahwa pendekatan konseling eklektik merupakan sebuah
pendekatan konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan tidak
berorientasi pada satu teori secara eksklusif. Sebuah teori itu memiliki
keterbatasan konsep, prosedur dan teknik, serta kelebihan dan kelemahan. Karena
itu pendekatan konseling eklektik mempelajari teori dan menerapkannya sesuai
dengan keadaan riil konseli.
Dengan pendekatan ini, konselor dapat menggunakan berbagai macam
variasi, tindakan, pikiran sesuai dengan kebutuhan dan ciri khas masalah yang
dihadapi oleh konseli. Meskipun demikian, konselor tetap harus berpegang pada
pola eklektik, menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta memilih manakah
yang paling tepat dan sesuai dari berbagai prosedur dan tehnik tersebut. Hal ini
sesuai seperti yang diungkapkan oleh Prochaska (1984) bahwa konseling eklektik
merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi untuk memecahkan
masalah-masalah pribadi dengan menerapkan prinsip-prinsip khusus yang ditetapkan
berdasarkan masalah khusus yang akan dipecahkan (Latipun, 2001:137).
Berkaitan dengan pendekatan eklektik ini, Winkel (1997) mengusulkan
suatu pola pendekatan yang lebih memungkinkan untuk diterapkan di institusi
suatu kasus yang penyelesaiannya terutama terdiri atas pilihan di antara beberapa
alternatif (a choice case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara
konseling untuk membuat suatu pilihan (Decision Making Interview). Dalam pola
ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membantu konseli adalah
peninjauan pro dan kontra dari alternatif oleh konseli, kemudian dinilai dari sudut
pandang “Bisa dipilih?; mungkin untuk dipilih?” (Possible?), selanjutnya “Ingin
dipilih?” (Desirable?), dan yang terakhir adalah “Kalau dipilih, akan membawa
hasil yang diharapkan?” (Feasible)
Pola yang kedua adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu
kasus yang penyelesaiannya terutama menuntut perubahan sikap serta tindakan
penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus
diterima seadanya (a change case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan
wawancara konseling untuk penyesuaian diri (Interview for Adjustment). Untuk
kasus ini, konselor membantu konseli untuk meninjau kembali sikap dan
pandangannya sampai sekarang serta memikirkan sikap dan tindakan yang lebih
baik.
C. Pendekatan-pendekatan Konseling
Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai praksis konseling. Pertama,
berkaitan dengan urutan fase-fase yang umumnya dipakai dalam proses konseling.
Kedua, berkaitan dengan proses pelaksanaan konseling dengan mendasarkan pada
fase, pendekatan konseling dan masalah yang dihadapi oleh konseli. Dua hal ini
dipandang menjadi pegangan pokok bagi konselor dalam pelaksanaan layanan
konseling, meskipun ada teknik-teknik konseling yang juga berperanan penting
Sebelumnya perlu dijelaskan perbedaan teori konseling dan pendekatan
konseling. Teori konseling merupakan konsep dasar atau kerangka acuan berpikir
tentang bagaimana proses konseling berlangsung; apa yang terjadi selama proses
konseling, perubahan yang bagaimana yang dituju, mengapa perubahan tersebut
terjadi, dan unsur-unsur apa yang memegang peranan pokok. Pendekatan
konseling adalah suatu prosedur atau langkah-langkah/tahap-tahap yang harus
dilaksanakan dalam pelaksanaan wawancara konseling sehingga tujuan proses
konseling tersebut dapat tercapai.
1. Fase-fase dalam Proses Konseling
Proses wawancara konseling yang dilakukan oleh konselor dalam rangka
membantu konseli untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tidak bisa
dilepaskan dengan fase-fase dalam proses konseling. Fase-fase ini sangat
menentukan arah perjalanan proses konseling dari awal hingga akhir. Akan terjadi
kesulitan, baik bagi konselor maupun konseli, apabila fase-fase ini tidak berjalan
sesuai dengan urutannya.
Urutan fase dalam proses konseling pada umumnya ada lima yaitu, fase
pembukaan, penjelasan masalah, penggalian latar belakang masalah, penyelesaian
masalah. Secara ringkas akan diuraikan kelima fase tersebut (Winkel dan Sri
Hastuti, 2004: 473-478)
a. Pembukaan. Fase ini merupakan dasar bagi pengembangan hubungan
antarpribadi yang baik, yang memungkinkan pembicaraan terbuka dan terarah
dalam wawancara konseling.
b. Penjelasan Masalah. Pada fase ini, konseli mengutarakan hal yang hendak
dibicarakan dengan konselor dan mengutarakan pula perasaan dan pikiran
masalah yang dialami konseli untuk kemudian dapat menentukan pendekatan
konseling yang tepat untuk fase selanjutnya.
c. Penggalian Latar Belakang Masalah (analisis kasus). Pada fase ini, inisiatif
berada di tangan konselor. Konselor berusaha menggali dari konseli gambaran
lengkap dan mendetail dari permasalahan yang dihadapi oleh konseli. Pada
fase ini, konselor menggunakan pendekatan yang paling tepat dengan
permasalahan yang dihadapi oleh konseli.
d. Penyelesaian Masalah. Pada fase ini, konselor bersama konseli membahas
bagaimana persoalan yang dihadapi oleh konseli dapat diatasi. Perlu pula
direncanakan tindakan-tindakan konkret yang akan dilakukan oleh konseli
setelah selesai proses konseling.
e. Penutup. Pada fase ini, konseli telah merasa mantap tentang penyelesaian dari
persoalan yang dihadapinya. Fase ini diharapkan bentuknya agak formal
sehingga konselor dan konseli menyadari bahwa hubungan antarpribadi telah
selesai.
Dalam fase yang diuraikan di atas, konselor pada awalnya dapat bersikap
nondirektif yakni memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengungkapkan
perasaan dan pikirannya secara lebih leluasa. Kemudian konselor lebih bersikap
direktif yakni memberikan lebih banyak pengarahan dengan cara menyalurkan
pembicaraan.
Meskipun telah disusun urutan seperti di atas, tetapi tidak menutup
kemungkinan terjadinya pergeseran untuk konseli atau kasus tertentu. Pergeseran
tersebut terjadi, misalnya adanya kebutuhan untuk menggali sebab masalah yang
dialami konseli atau data tentang konseli, karena pada fase sebelumnya ternyata
2. Model Pelaksanaan Konseling Menurut Pendekatan Konseling
Pelaksanaan wawancara konseling tidak dapat lepas dari fase konseling.
Fase-fase yang digunakan di hampir semua pendekatan konseling memiliki
kesamaan urutan. Yang membedakan adalah pada fase ketiga dan keempat, yakni
fase penggalian latar belakang masalah (analisis kasus) dan penyelesaian masalah.
Pada kedua fase ini, masing-masing pendekatan memiliki metode atau cara
sendiri-sendiri sesuai dengan kasus atau masalah yang dihadapi oleh konseli
(Winkel dan Sri Hastuti, 2004:889-897). Dan yang akan lebih banyak dijabarkan
pada bagian ini adalah fase 3 dan 4.
a. Model Trait-Factor Counseling
Tujuan pelaksanaan konseling dengan pendekatan TF adalah untuk
membantu konseli dalam memecahkan dan mengatasi permasalahannya yang
berkaitan dengan suatu pilihan, baik pilihan program studi atau pilihan
jabatan/pekerjaan. Disini konselor dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas
memberikan informasi yang berkaitan dengan apa yang diharapkan oleh konseli
(program studi atau dunia kerja).
Pada fase analisis kasus, konselor bersama konseli menggali bersama data
yang berkaitan dengan latar belakang masalah yang dihadapi konseli. Data yang
digali mencakup 3 unsur pokok:
1) Data tentang konseli, seperti kemampuan intelektual/taraf inteligensi;
kemampuan belajar; bakat khusus; arah minat; cita-cita; sifat kepribadian
yang menyolok; harapan-harapan; nilai-nilai yang dikejar; keterampilan
2) Data tentang keluarga, seperti harapan dan keluarga; kewajiban terhadap
keluarga; kemampuan ekonomi keluarga; posisi konseli dalam keluarga;
dan data lain yang relevan.
3) Data tentang lingkungan hidup, seperti prospek masa depan pekerjan yang
didambakan dan kualifikasi yang dituntut; ciri-ciri khas dari program studi
yang didambakan dan kualifikasi yang dituntut; dan data lain yang
relevan. Untuk konseli yang belum memiliki alternatif, berarti bersama
konselor mencari alternatif pilihan.
Pada fase penyelesaian masalah, konselor mengajak konseli untuk
berdiskusi tentang alternatif-alternatif pilihan yang telah ditentukan pada fase 3.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1) Konselor bersama konseli meninjau pro-kontra atau untung-rugi dari
masing-masing alternatif pilihan yang telah dipilih pada fase 3. Tujuan dari
proses ini adalah untuk memperjelas alternatif pilihan dan semakin
mendekatkan pada pilihan yang paling tepat.
2) Setelah meninjau pro-kontra dari masing-masing alternatif, konseli dapat
menjawab YA/TIDAK dari pertanyaan “bisakah/mungkinkah?” dan
“inginkah?” dari masing-masing alternatif tersebut.
3) Apabila ternyata masih ada lebih dari satu alternatif pilihan. Maka, konselor
mengajak konseli untuk membuat urutan prioritas dari masing-masing
alternatif pilihan. Tujuan dari penyusunan prioritas ini adalah agar konseli
semakin berusaha untuk dapat diterima pada pilihannya.
b. Model Konseling Behavioristik
Tujuan layanan konseling dengan pendekatan konseling behavioristik ini
dengan perilakunya yang kurang baik atau salah suai saat ini yang disebabkan
oleh pengalaman masa lalunya, pikirannya yang irrasional terhadap perilakunya
tersebut dan perasaan negatifnya terhadap perilaku tersebut.
Pada fase analisis masalah, konselor menggali latar belakang masalah
yang dihadapi konseli dengan mengikuti sistematika yang sudah baku untuk
pendekatan ini. Sistematika tersebut menggunakan paradigma A-B-C yang
diterapkan terhadap analisis pada masa sekarang dan masa lampau (=sejumlah
tahun). Sebagai catatan, dalam proses penggalian masalah ini sebaiknya meninjau
B terlebih dahulu, yang meliputi perilaku (R) serta perasaan dan pikiran (r).
Berikut disajikan proses analisis kasus berdasarkan keterangan di atas dan urutan
yang dimaksudkan.
1) Konselor bersama konseli meninjau B pada masa sekarang yang meliputi
R dan r. Kemudian di lihat S (pengalaman/kejadian yang menjadi stimulus
terhadap B). Setelah itu konselor meminta konseli untuk mengungkapkan
C dari B, yang biasanya berupa perasaan dan pikiran yang positif atau efek
yang positif pada diri konseli.
2) Konselor bersama konseli melaksanakan proses yang sama seperti pada (1)
di atas, tetapi fokusnya pada masa lampau. Jadi, di sini digali pengalaman
atau kejadian yang sama atau mirip yang dialami konseli saat ini.
3) Berdasarkan dua proses di atas, dapat dikatakan bahwa konseli telah
melakukan proses belajar dan terbentuk suatu pola A, B, C.
Pada fase penyelesaian masalah, konselor bersama konseli mencari jalan
keluar atas permasalahan yang dihadapi konseli. Pertamakali yang dilakukan
adalah mengubah terlebih dahulu r-kognitif yang salah/keliru/kurang tepat/kurang
sesuai, karena menjadi landasan untuk mengubah R. Selanjutnya prosedur yang
1) Konselor menjelaskan proses belajar yang telah berlangsung di masa
lampau, sampai terbentuk pola A-B-C.
2) Konselor dapat menanyakan pengalaman positif di masa lampau (A), baik
yang sama atau mirip dengan yang dialami saat ini, tetapi tidak
menimbulkan r yang negatif melainkan r yang positif. Penggalian ini
bertujuan untuk mengimbangi pengalaman yang negatif dan menyadarkan
konseli karena mungkin konseli sudah membuat generalisasi yang negatif
atas pengalaman tersebut. Proses ini menjadi titik tolak bagi perubahan
r-kognitif yang negatif.
3) Konselor mengajak konseli untuk mengembangkan r-kognitif yang baru
(r-kognitif yang positif), yang berisikan tanggapan kognitif yang lain
terhadap A yang sudah terjadi dan kiranya masih akan terjadi. Ini akan
menjadi landasan untuk R yang baru. Meskipun demikian, diharapkan
r-kognitif yang lama sudah mulai melemah, karena r-r-kognitif tersebut tidak
begitu saja langsung hilang.
4) Konselor membantu konseli merencanakan bentuk tingkah laku yang baru
(R), yang lebih bersifat positif, dan akan dilaksanakan konseli sesudah
proses konseling. Konseli dituntut merencanakan dan melaksanakan
sesuatu yang konkret dan realistis, karena hal ini akan membantu
melestarikan perubahan dalam r.
c. Model Konseling Rational Emotive Therapy
Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk
membantu klien/konseli yang menghadapi masalah yang berkaitan dengan emosi,
kognisi dan perilaku. Dengan kata lain, dalam pendekatan RET konselor berusaha
pandangan konseli yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat
mengembangkan dirinya dan mencapai realisasi diri yang optimal.
Pada pendekatan ini, konselor membantu konseli dengan mendasarkan
pada sistematika atau urutan yang telah baku yakni A-B-C-D-E. Pada fase 3
konselor bersama konseli menggali latar belakang masalah yang sedang dihadapi
oleh konseli. Dengan berpatokan pada sistematika yang baku tersebut, maka yang
dilakukan dalam fase 3 ini adalah:
1) Konselor bersama konseli menggali kejadian-kejadian atau
pengalaman-pengalaman yang baru-baru ini terjadi (3-4 minggu terakhir) (A).
2) Konselor menggali B atau tanggapan kognitif (r-kognitif) yang irrasional
pada konseli terhadap pengalaman atau kejadian tersebut di atas (A).
3) Setelah menggali kejadian (A) dan tanggapan kognitif (B) yang irrasional
konseli, konselor dan konseli melihat akibat (C) dari tanggapan kognitif
tersebut, baik dalam alam perasaan (r-afektif) yang tidak wajar, maupun
dalam perilaku nyata (tindakan yang salah suai=R).
Setelah konselor bersama konseli menggali A-B-C atas masalah yang
dihadapi konseli, selanjutnya konselor dan konseli bersama-sama mencari jalan
keluar atas masalah tersebut dengan menggunakan sistematika D-E. Proses
penyelesaian masalah tersebut adalah:
1) Pada tahap ini (D), konselor berusaha membantu konseli untuk mengubah
pikiran konseli yang irrasional dengan menjelaskan alasan konseli
mengalami masalah yakni B-irrasional (yang perlu diubah) terhadap A,
menantang konseli mengenai B-irrasional dengan pertanyaan yang
mengharuskan konseli berefleksi, dan memberikan alasan dan contoh
2) Pada tahap ini (E), konseli diharapkan sudah mulai menampakkan cara
berpikir yang lebih rasional, berperasaan yang wajar dan mulai
merencanakan perilaku yang tepat dan sesuai.
d. Model Konseling Eklektik (Interview for Adjustment/IA)
Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk
membantu konseli melakukan perubahan sikap dan tindakan penyesuaian diri
terhadap situasi yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya (a change
case).
Dalam pendekatan ini, sistematika yang diterapkan konselor dalam
membantu konseli sifatnya tidak baku. Hal ini berbeda dengan pendekatan lain
yang sistematikanya bersifat baku atau harus dilaksanakan menurut urutan yang
benar. Konselor dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan lain dengan
menyesuaikan kondisi yang dihadapi atau data yang dibutuhkan untuk membantu
konseli menyelesaikan masalahnya.
Pada fase penggalian latar belakang masalah konseli, konselor bersama
konseli berdiskusi tentang:
1) Asal usul masalah.
2) Unsur-unsur yang pokok dan tidak pokok.
3) Siapa-siapa saja yang terlibat.
4) Perasaan dan pikiran konseli.
5) Lain-lain segi/aspek yang dianggap perlu.
Setelah menggali latar belakang masalah konseli dan mendapatkan data
yang dibutuhkan, konselor bersama konseli bersama-sama mendiskusikan
beberapa hal untuk menyelesaikan masalah konseli. Maka, langkah-langkah yang
1) Konselor menjelaskan kepada konseli sebab konseli menghadapi
masalah ini, dengan catatan kalau memang diperlukan.
2) Konselor membantu konseli untuk lebih berpikir kritis, dewasa dan
konstruktif. Maka, konseli diharapkan dapat membuat perubahan dalam
pandangan dan sikap yang diperlukan agar dapat menghadapi situasi
yang ada secara konstruktif, meskipun pandangan dan sikap ini tidak
dapat diubah begitu saja. Isi pandangan dan sikap yang baru ini
tergantung pada inti kasus pada fase 3.
3) Kemudian konseli diminta untuk membuat merencanakan tindakan yang
akan diambil setelah keluar dari ruang konseling, termasuk memilih
beberapa alternatif pelaksanaan kalau ternyata kasus menuntut demikian
(ada pengembangan dari “change case” menjadi “choice case”)
e. Model Konseling dengan Pendekatan Eklektik (Decision Making Interview)
Tujuan dari layanan konseling dengan pendekatan ini adalah untuk
membantu konseli untuk menyelesaikan masalahnya yang berkaitan dengan
pemilihan suatu alternatif (choice case).
Pada fase analisis masalah, sistematika yang digunakan sama dengan fase
3 pada model konseling dengan pendekatan eklektik untuk IA. Yang membedakan
adalah pada pendekatan ini ada alternatif-alternatif pilihan yang harus dipilih oleh
konseli. Jadi, pada umumnya untuk kasus-kasus yang ditangani dengan
pendekatan ini sudah jelas isi dari alternatif-alternatif yang tersedia, dimana salah
satunya harus dipilih, dan jumlah alternatif yang ada. Tetapi, apabila isi dan
jumlah alternatif belum jelas, maka konselor bersama konseli melakukan
Pada fase penyelesaian masalah, dengan mendasarkan pada ciri khasnya
dari suatu “choice case”, maka konselor mengajak konseli untuk mendiskusikan
hal-hal yang berkaitan dengan alternatif-alternatif pilihan yang tersedia dan
membantu konseli untuk membuat pilihan atas alternatif-alternatif tersebut.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
1) Mendiskusikan norma/patokan yang akan diterapkan bila tinjauan ini
ternyata relevan.
2) Konselor mengajak konseli untuk melihat pro dan kontra dari
masing-masing alternatif yang tersedia. Sebaiknya dalam proses ini konseli
dilibatkan agar konseli juga ikut berpikir.
3) Setelah meninjau norma/patokan dan melihat pro dan kontra dari
masing-masing alternatif, selanjutnya konselor dapat mengajukan
pertanyaan kepada konseli untuk mengarahkan pada pemilihan
alternatif yang paling tepat. Pertanyaan tersebut berupa
“Benarkah/Mungkinkah?” dan “Inginkah?”. Pertanyaan tersebut harus
dijawab dengan “Ya-Tidak”. Untuk alternatif yang paling masuk akal
dan dapat dipertanggungjawabkan dijawab dengan “Ya”. Ada
kemungkinan terdapat lebih dari satu alternatif yang cenderung dipilih
oleh konseli tetapi tidak dapat dipilih kedua-duanya, maka dapat dibuat
suatu kompromi dengan mengambil sesuatu dari masing-masing
alternatif tersebut. Pada dasarnya hendaklah dilihat baik-baik inti
masalah dan isi alternatif-alternatif.
4) Setelah dibuat pilihan secara tegas, barangkali perlu mengambil suatu
tindakan penyesuaian diri. (ada pengembangan dari “choice case”