• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung Dan Anak Bungsu Pada Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung Dan Anak Bungsu Pada Remaja"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Yustin Dita Septiani 079114076

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

Anak Bungsu Pada Remaja

Oleh:

Yustin Dita Septiani NIM : 079114076

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing,

(3)

iii

BUNGSU PADA REMAJA Dipersiapkan dan ditulis oleh :

Yustin Dita Septiani 079114076

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada Tanggal 4 April 2011

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Y. Heri Widodo, M.Psi Sekretaris : P. Eddy Suhartanto, M.Si Anggota : Titik Kristiyani, M.Psi

Yogyakarta, ………

Dekan

(4)

iv

Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.

~ Walt Disney~

Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah. Hidup adalah sebuah nyanyian, maka

nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah. Hidup adalah sebuah permainan,

maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah

~Bhagawan Sri Sthya Sai Baba~

Orang-orang yang berhasil akan mengambil manfaat dari

kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, dan akan mencoba kembali untuk

melakukan dengan cara yang berbeda

~Dale Carnegie~

Istilah tidak ada waktu, jarang sekali merupakan alasan yang

jujur, karena pada dasarnya kita semuanya memiliki waktu 24

jam yang sama setiap harinya. Yang perlu ditingkatkan ialah

membagi waktu dengan lebih cermat.

~ George Downing~

Kejarlah cita-cita sebelum cinta, apabila tercapainya cita-cita maka

dengan sendirinya cinta itu akan hadir.

(5)

v

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 9 Mei 2011 Penulis,

(6)

vi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu pada remaja. Hipotesis pada penelitian ini adalah ada perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu pada remaja. Harga diri anak sulung lebih tinggi dibandingkan dengan anak bungsu. Penelitian ini melibatkan 100 remaja yang terdiri dari 50 anak sulung dan 50 anak bungsu. Penelitian ini menggunakan skala harga diri dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,945. Hasil penelitian menghasilkan t sebesar 18,390 dan nilai p sebesar 0.00, hasil ini menunjukkan bahwa p < 0,05. Hal ini berarti ada perbedaan yang signifikan dalam harga diri anak sulung dan anak bungsu pada remaja. Harga diri anak sulung pada remaja lebih tinggi dibandingkan dengan anak bungsu pada remaja.

(7)

vii

ABSTRACT

The aim of this research is to observe the self esteem difference between the eldest children and the youngest on adolescents. The hypothesis in this research is there is self esteem difference between the eldest and youngest on adolescents. Self esteem of the eldest children is higher than the youngest. This research followed by 100 adolescents, consisting 50 eldest children and 50 youngest children. This research uses self esteem scale with alpha reliability coefficient for 0,945. The result of the research produce t for 18,390 and p score for 0.00, this result showed that p < 0,05. It means that there is significant difference in eldest and youngest children’s self esteem on adolescents. Self esteem of the eldest children on adolescents is higher than the youngest children.

(8)

viii Nama : Yustin Dita Septiani Nomor Mahasiswa : 079114076

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung dan Anak Bungsu pada Remaja beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam Bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti Kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 9 Mei 2011 Yang menyatakan,

(9)

ix

saya rasakan hingga detik ini. Lebih khusus puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung Dan Anak Bungsu Pada Remaja” ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa adanya motivasi, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan selesai tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah mendukung dalam penulisan skripsi ini.

(10)

x

pada akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. 4. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan

dukungan, saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Seluruh karyawan Fakutas Psikologi (Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Pak Gie, Bu Nanik) yang telah membantu dan memotivasi sehingga proses penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

7. Kedua orang tuaku Papa Yulianto dan Mama Atin Suprihatin yang selalu memberikan doa, kesabaran dan dukungan sehingga skripsi ini dapat selesai. Kalian adalah motivasi terbesarku untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

8. Adikku Yustin Aldi Saputro yang memberikan semangat dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

(11)

xi

semangat yang kalian berikan. Friend Forever yaaa.

11. Teman-teman di kantor Oriflame (Mba Nina, Mbok Nanik, Mba Vina, Retno), Terima Kasih atas pengertian dan dukungannya selama aku menyelesaikan skripsi ini. Tetap Semangat !!!

12. Buat Bob Jovan Vivaldiz. Makasih buat semua kenangan indah yang sudah kita lalui. Semoga kita selalu mengukir kenangan indah bersama dalam hidup kita. Amien.

13. Teman-teman KKN di Bondalem (Seno, Riris, Yona, Dion, Fetri, Novi, Gabey). Terima Kasih atas kebersamaan selama 1 bulan di lokasi KKN, terimakasih atas inspirasi, dukungan dan semangatnya ya creeeet……

14. Temen-temen BEMF Psikologi 2010, terimakasih untuk pengalaman organisasi, ide-ide dan inspirasinya.

15. Teman-teman Psikologi 2007 yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu terima kasih banyak atas kebersamaan dan kenangannya selama ini.

(12)

xii

dengan senang hati. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang membacanya

Yogyakarta, 9 Mei 2011 Penulis

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTTO………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….... v

ABSTRAK………... vi

ABSTRACT………... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………... viii

KATA PENGANTAR……… ix

DAFTAR ISI………... xiii

DAFTAR GAMBAR………... xvii

DAFTAR TABEL………... xviii

DAFTAR LAMPIRAN………. xvix

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah………... 9

C. Tujuan Penelitian………... 9

(14)

xiv

2. Tugas Perkembangan Remaja………. 12

B. Harga Diri………...……….. 13

1. Definisi Harga Diri………. 13

2. Aspek-Aspek Harga Diri……… 14

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri………..………... 16

4. Pembentukan Harga Diri………...………. 18

5. Karakteristik Harga Diri………. 18

6. Penelitian Tentang Harga Diri………...………. 19

C. Anak Sulung dan Anak Bungsu………. 23

1. Anak Sulung………...………… 23

a. Pengertian Anak Sulung………. 23

b. Karakteristik Anak Sulung………. 23

2. Anak Bungsu……….. 26

a. Pengertian Anak Bungsu……… 26

b. Karakteristik Anak Bungsu……… 26

3. Penelitian Tentang Urutan Kelahiran………. 29

D. Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung Dan Anak Bungsu…... 33

(15)

xv

C. Definisi Operasional………..……….... 40

D. Subjek Penelitian………... 42

E. Sampling………. 43

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data………... 44

G. Kredibilitas Alat Ukur………... 47

1. Estimasi Validitas………... 47

2. Estimasi Reliabilitas ……….... 48

3. Seleksi Item ………... 48

4. Hasil Uji Skala………. 49

H. Metode Analisa Data………... 52

1. Uji Asumsi………... 52

2. Uji Hipotesis……….... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 53

A. Pelaksanaan Penelitian………... 53

1. Persiapan Penelitian…...………. 53

2. Proses Penelitian………. 53

(16)

xvi

b. Uji Homogenitas……… 60

2. Uji Hipotesis………... 60

3. Uji Tambahan……… 61

C. Pembahasan………... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… 69

A. Kesimpulan………. 69

B. Saran………... 69

DAFTAR PUSTAKA……… 70

(17)

xvii

(18)

xviii

Tabel 2 Skor Butir-ButirFavorablePada Skala Harga Diri………. 46

Tabel 3 Skor Butir-butirUnfavorableSkala Harga Diri………... 46

Tabel 4 Blue PrintSkala Harga Diri Setelah Uji Coba………. 50

Tabel 5 Blue PrintSkala Harga Diri Dengan Keseimbangan Jumlah Sebaran………. 51

Tabel 6 Blue PrintSkala Harga Diri Setelah Penyusunan Ulang Nomor Item……….. 51

Tabel 7 Data Usia Subjek Pada Anak Sulung………... 55

Tabel 8 Data Usia Subjek Pada Anak Bungsu……….. 55

Tabel 9 Data Jenis Kelamin Subjek Pada Anak Sulung……… 56

Tabel 10 Data Jenis Kelamin Subjek Pada Anak Bungsu………... 56

Tabel 11 Data Jumlah Saudara Subjek Pada Anak Sulung………. 56

Tabel 12 Data Jumlah Saudara Subjek Pada Anak Bungsu……… 57

Tabel 13 Data Jarak Umur Anak Sulung Dengan Adik Bungsu…………. 58

Tabel 14 Data Jarak Umur Anak Bungsu Dengan Kakak Sulung……….. 59

Tabel 15 Data Mean Empiris Anak Sulung Dan Anak Bungsu…………. 61

(19)

xix

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Seorang anak tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga terdapat orang tua dan anak. Orang tua dan anak akan selalu berinteraksi dalam menjalani kehidupan. Dalam berinteraksi terdapat perlakuan dan sikap yang ditampilkan oleh orang tua pada anak. Perlakukan dan sikap tersebut, akan menjadi sumber bagaimana individu menilai keberhargaan dirinya. Maka dari itu, anak pada akhirnya akan menilai dirinya sendiri (Coopersmith, 1967).

Penilaian atau evaluasi terhadap dirinya, baik secara positif maupun negatif akan mempengaruhi tingkah laku sosial seseorang (Sarwono dan Meinarno, 2009). Penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri disebut harga diri (Deaux, Dane, dan Wrightsman dalam Sarwono & Meinarno, 2009). Harga diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai peran penting dan berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu. Bagaimana individu berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana individu melakukan penyesuaian sosial akan dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut menilai keberhargaan dirinya (Coopersmith, 1967).

(21)

Dalam melakukan interaksi dengan lingkungan, remaja menjadi salah satu individu yang mengalaminya. Tugas perkembangan remaja adalah menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial dan mencapai perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab (Havighurts dalam Hurlock, 1991).

Berdasarkan hasil-hasil studi yang panjang di berbagai negara menunjukkan bahwa masa yang paling penting dalam perkembangan harga diri seseorang adalah pada masa remaja (Tambunan, 2001). Hal ini dikarenakan masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitasi diri. Dalam proses pencarian identitas diri, remaja melibatkan perasaan harga diri. Harga diri merupakan kunci penting pada tingkah laku remaja dalam menilai dirinya sebagai orang yang berhasil atau tidak. Dalam proses pencarian identitas diri, remaja membutuhkan perjuangan untuk memiliki harga diri yang positif atau tinggi (Hall dalam Papalia dan Olds, 1986).

(22)

Individu dengan harga diri yang rendah dapat terjadi pada remaja. Remaja sebagai individu yang mengalami ”strom and stress” sangat membutuhkan perjuangan dalam memenuhi harga diri yang mantap (Hall dalam Papalia dan Olds, 1986). Apabila remaja gagal dalam perjuangan ini, maka remaja memiliki harga diri yang rendah. Individu dengan harga diri yang rendah adalah individu yang memiliki kepercayaan diri rendah sehingga tidak mampu menilai kemampuan dirinya. Penilaian pada kemampuan diri yang rendah mengakibatkan individu tidak mampu mengekspresikan diri dan merasa tidak puas dengan karakternya. Oleh karena itu, individu merasa tidak aman berada di lingkungan sehingga individu sulit dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial. Sementara itu, individu dengan harga diri yang rendah adalah individu yang pesimis dan perasaannya mudah dikendalikan oleh pendapat orang lain (Coopersmith, 1967).

Remaja yang memiliki harga diri yang rendah, mereka akan terkait dengan dampak negatif. Secara khusus, dampak dari remaja yang memiliki harga diri rendah dapat muncul dalam berbagai masalah (Shopeet aldalam Santrock, 2007). Harga diri rendah dapat mengakibatkan depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba dan masalah-masalah penyesuaian diri lainnya (Fenzel dalam Santrock, 2007).

(23)

yang rendah dapat menyebabkan tingginya narsisme, rendahnya empati dan dengan pemikiran yang bengis pada remaja (Halter dan Mc.Carley dalam Santrock, 2007). Menurut Robinson et al (1991) penelitian tentang harga diri yang rendah berhubungan dengan kesepian, depresi, kecemasan sosial dan alienasi/pengasingan.

Masalah nyata dalam kehidupan tercermin dalam kasus yaitu penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat. Berdasarkan data Badan Koordinasi Narkotika Nasional tahun 2000, terdapat sekitar 3,5 juta orang penyalahguna narkoba di Indonesia. Mengkhawatirkannya, target utama pasar narkoba ini adalah para remaja. Misalnya di Jakarta, pada tahun 2000 terdapat lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkoba dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka tersebut masih akan terus meningkat karena fenomena ini seperti gunung es yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat. Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkoba yang dapat diidentifikasi, terdapat 10 orang lainnya yang belum ketahuan. Terdapat faktor penyebab kasus penyalahgunaan narkoba tersebut yaitu faktor kepribadian. Remaja yang melakukan penyalahgunaan narkoba tersebut, memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah (Tambunan, 2001).

(24)

perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sari memiliki kebiasaan yang sudah dilakukan selama tiga tahun belakangan ini.

Sejak saya usia 19 tahun saya merasa badan saya terlalu gemuk dan makan terlalu banyak. Kemudian, saya makan sedikit sekali untuk mencapai berat badan ideal, bahkan sesekali saya tidak makan sama sekali seharian. Kebiasaan itu terus berlangsung sampai sekarang. Teman-teman mengatakan bahwa saya sudah kurus, tetapi tetap saja saya tidak yakin dan masih terus mengurangi makan. Saya sering mendapat saran dari teman untuk tidak menurunkan berat badan lagi karena sudah sangat kurus. Tetapi setiap kali saya makan, saya berfikir saya akan gemuk dan itu sangat menakutkan bagi saya”(Tambunan, 2001).

Menurut Coopersmith (1967) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu faktor lingkungan keluarga, faktor urutan kelahiran dalam keluarga, faktor lingkungan sosial dan faktor sosial ekonomi. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah urutan kelahiran dalam keluarga.

(25)

keluarga. Anak bungsu adalah anak yang paling muda dan terakhir dalam keluarga (Tim Penyusun Kamus, 1995).

Dalam kehidupan sehari-hari banyak fenomena mengatakan bahwa anak sulung dianggap sebagai anak yang cepat dewasa dan berwibawa. Di sisi lain, anak bungsu dianggap sebagai anak yang manja, tidak tegas dan lemah lembut (Gunarsa, 2003). Dalam salah satu situs blog pribadi anak sulung menuliskan:

Sebagai sulung, dari kecil saya sudah diterapkan untuk disiplin, bertanggungjawab dan memberikan contoh yang baik pada kedua adik saya. Orangtua juga menaruh harapan besar di pundak saya untuk mewujudkan harapan-harapan mereka” (“Si Anak Sulung”, 2009).

Sementara itu, dalam sebuah blog tentang anak bungsu terdapat sebuah percakapan:

A:“Kamu anak keberapa dalam keluarga?”

B:“anak ke-3, anak bungsu.”

A:“Waaahh… senang donk… pasti dimanjain banget yah.”

(“Indahnya Menjadi Anak Bungsu”, 2010)

(26)

melampaui kakak-kakaknya sehingga menjadi anak yang ambisius (Alwisol, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gates et al (1988) menemukan bahwa skor konsep diri lebih tinggi untuk anak-anak sulung daripada anak-anak kedua lahir dan termuda lahir. Selain itu, menurut penelitian Brigham Young University menjelaskan bahwa anak sulung secara rata-rata akan menikmati waktu berkualitas sebanyak 3000 jam bersama orangtuanya daripada adik-adiknya saat berusia 4-13 tahun. Dengan perhatian yang tidak terbagi tersebut, membuat anak sulung cenderung menjadi orang yang berprestasi lebih tinggi (“Kuat dan Lemahnya Si Anak Sulung, 2010”). Hasil penelitian lain di Universitas Oslo, Norwegia mengungkapkan bahwa anak sulung mempunyai IQ lebih tinggi 2.3 poin dibandingkan adiknya. Sedangkan anak kedua mengungguli IQ adiknya sebesar 1.1 poin (“Apakah Anda Anak Sulung, 2008”).

Hasil penelitian lain yang dilakukan Falbo (1981) di Kota Texas, Amerika Serikat menemukan bahwa harga diri anak sulung lebih tinggi daripada anak-anak yang kemudian dilahirkan. Falbo juga menemukan bahwa anak-anak sulung cenderung lebih kompetitif dibandingkan saudara muda. Pengembangan kepribadian individu sangat dipengaruhi oleh posisinya dalam keluarga, hubungannya dengan orang tua dan hubungannya dengan saudara kandung.

(27)

anak bungsu. Maka dari itu, terdapat perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu.

Sekilas tentang budaya masyarakat di Amerika Serikat, remaja sudah diajariindependensejak kecil. Sebagian besar remaja Amerika sudah hidup pisah dengan orang tua sejak umur 17 sehingga mendorong mereka menjadi sangat mandiri. Situasi tersebut berbeda pada masyarakat di Indonesia. Di Indonesia ikatan keluarga masih kuat (Suryana, 2006).

Secara khusus, pada kultur Jawa terdapat ciri khas pola asuh orang tua terhadap anak. Keluarga jawa biasanya berasumsi mempunyai banyak anak banyak rejeki. Istri didalam kehidupan rumah tangga adalah orang yang berkuasa dan menjadi tokoh utama bagi anak-anaknya serta penentu berbagai kegiatan penting yang terjadi dalam keluarga untuk menjamin kesejahteraan keluarganya. Dalam budaya jawa, orangtua mengatakan pada anak yang lebih tua untuk menjaga anak yang lebih kecil, anak yang paling muda mendapat perhatian yang lebih besar daripada kakak-kakaknya. Anak-anak jawa dari tingkat sosial manapun selalu diajarkan bahwa berlaku tidak baik terhadap saudara yang lebih tua yaitu balasan oleh hukum gaib, sehingga akan menjadi sakit dan celaka (Koentjaraningrat, 1990).

(28)

perkembangan remaja pasa saat ini di Indonesia dengan mengambil sampel subjek di kota Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti lebih dalam adalah sebagai berikut :

Apakah ada perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu ?. C. TUJUAN PENELITIAN

Peneliti ingin mengetahui perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu psikologi dan menambah wawasan pembaca, khususnya dalam psikologi perkembangan dengan cara memberi tambahan data empiris yang sudah teruji secara ilmiah. Selain itu, penelitian ini merangsang penelitian baru yang hendak mengkaji topik yang berkaitan dengan harga diri dan urutan kelahiran.

2. Praktis

a. Bagi Remaja

(29)

b. Bagi Orang Tua

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere

(kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”. Menurut pandangan Piaget mengatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintergrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa bahwa tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial yang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13-16/17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16/17 tahun sampai 18 tahun yaitu usia matang secara hukum.

(31)

Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat (Hurlock, 1990).

Menurut ahli lain, Thornburg (dalam Dariyo, 2004) menggolongkan remaja menjadi 3, yaitu:

a. Remaja awal : 13-14 tahun b. Remaja tengah : 15-17 tahun c. Remaja akhir : 18-21 tahun 2. Tugas Perkembangan Remaja

Berikut ini adalah tugas perkembangan remaja menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1991) yaitu :

a. Mencapai hubungan dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karier ekonomi.

(32)

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

B. Harga Diri

1. Definisi Harga diri

Menurut Coopersmith (1967) harga diri adalah suatu sikap yang mengacu pada evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya yang berkenaan dengan dirinya sendiri, hal itu mengekspresikan suatu sikap setuju/tidak setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu itu meyakini dirinya sendiri sebagai mampu, penting, berhasil, berharga. Selain itu, menurut Kohn (1994) harga diri diartikan sebagai cara bagaimana kita melihat diri kita dan karakteristik kita sendiri, yaitu berupa “personal judgement” (anggapan terhadap betapa berharganya dirinya sendiri) yang diekspresikan melalui sikap orang itu sendiri.

Hal yang senada diungkapkan oleh Rosenberg (dalam Burn, 1998) harga diri sebagai suatu sikap yang positif atau negatif terhadap suatu objek khusus yaitu diri. Selain itu menurut Tambunan (2001), harga diri mengandung arti suatu penilaian individu terhadap diri diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersikap negatif dan positif. Santrock (2002) mengatakan harga diri adalah evaluasi global dari diri.

(33)

dengan lingkungan, serta penerimaan penghargaan dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut. Di sisi lain, Stuart dan Sudden (dalam Tambunan, 2001) mengatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian diri dalam bentuk evaluasi diri yang dilakukan seseorang terhadap dirinya, berdasarkan pada hubungannya dengan orang lain yang menunjukkan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri, mampu, berhasil, berguna dan berharga.

2. Aspek-Aspek Harga Diri

Coopersmith (1967) membagi harga diri dalam empat aspek yaitu : a. Kekuasaan (power)

Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Keberhasilan seseorang yang meliputi kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, mengendalikan dan mempengaruhi orang lain dengan maksud untuk mencapai tujuan dan kemampuan melakukan inisiatif yang baik. b. Keberartian (significance)

(34)

individu, individu akan semakin berarti. Apabila individu tidak/jarang memperoleh stimulus positif dari orang lain, maka kemungkinan besar individu akan merasa ditolak dan kemudian mengisolasikan diri dari pergaulan

c. Kebajikan (virtue)

Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Adanya kesesuaian diri dengan moral dan standart etik yang berlaku dilingkungan. Kesesuaian diri dengan moral dan standart etik diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh para orang tua. Permasalahan nilai ini pada dasarnya berkisar pada persoalan benar dan salah. Bahasan tentang kebajikan juga tidak akan lepas dari segala macam pembicaraan mengenai peraturan dan norma didalam masyarakat, juga hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, serta ketaatan dalam beragama.

d. Kemampuan (competence)

Kesuksesan dalam memenuhi tuntutan prestasi. Merupakan

(35)

yang bagus akan merasa mampu mengatasi masalah yang dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain: a. Faktor lingkungan keluarga

Menurut Coopersmith (1967) perlakuan orang tua terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan harga diri anak. Contoh perlakuan orang tua terhadap anak yaitu orang tua yang sering memuji anaknya jika anak berperilaku baik. Orang tua lebih demokratis dengan anak. Orang tua menerima anak dengan penuh penerimaan dan pengungkapan cinta. Selain itu, orang tua tidak mudah menghukum dan menghukum anak dengan hukuman yang sesuai dengan perbuatan anak. Perlakukan orang tua tersebut akan cenderung mempengaruhi perkembangan harga diri anak yang cenderung tinggi. Orang tua yang menerapkan aturan yang kurang jelas, cara mendidik anak yang cenderung kasar, melakukan penolakan dan memberikan hukuman yang berat akan mempengaruhi harga diri anak cenderung rendah. b. Faktor urutan kelahiran dalam keluarga

(36)

yang memiliki adik kandung perempuan cenderung memiliki harga diri yang lebih tinggi.

c. Faktor lingkungan sosial

Menurut Coopersmith (1967) harga diri dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Individu akan mengevaluasi dirinya melalui respon yang diberikan dari orang lain. Apabila lingkungan memberi tanggapan yang baik, individu merasa diterima, dihargai, diperhatikan dan memperoleh kasih sayang. Maka dari itu, hal tersebut akan mendorong terbentuknya harga diri yang tinggi. Sebaliknya, apabila lingkungan menolak dan tidak mempedulikan individu maka hal tersebut akan mendorong terbentuknya harga diri yang rendah.

d. Faktor sosial ekonomi

(37)

4. Pembentukan Harga Diri

Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Dalam berinteraksi akan mengembangkan tentang kesadaran diri, identitas diri, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya. Oleh karena itu, individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).

5. Karakteristik Harga Diri

Menurut Coopersmith (1967) terdapat karakteristik individu dengan harga diri tinggi dan rendah antara lain :

a. Individu dengan harga diri tinggi

1.) Aktif, dominan dan dapat mengekspresikan diri dengan baik. 2.) Berhasil dalam bidang akademik.

3.) Mudah melakukan hubungan sosial.

4.) Percaya terhadap persepsi dan dirinya sendiri.

5.) Merasa yakin pada kemampuan diri, kecakapan sosial, dan kualitas diri yang tinggi.

6.) Tidak terpengaruh pada penilaian orang lain tentang sifat atau kepribadiannya, baik itu positif maupun negatif.

(38)

b. Individu dengan harga diri rendah 1.) Memiliki perasaan inferior.

2.) Takut mengalami kegagalan dalam menjalani hubungan sosial. 3.) Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi.

4.) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan. 5.) Kurang dapat mengekspresikan diri. 6.) Sangat tergantung pada lingkungan. 7.) Tidak konsisten.

8.) Secara pasif akan selalu mengikuti apa adanya lingkungan. 6. Penelitian Tentang Harga Diri

Studi longitudinal selama 2 tahun ini dilakukan oleh DuBoiset al

(2002), yaitu pengaruh dukungan sosial dan harga diri dengan penyesuaian diri pada awal masa remaja. Penelitian ini bersubjek 350 remaja awal. Penelitian menemukan kurang seimbangnya dukungan sosial dan rendahnya harga diri dibanding teman-teman sebaya akan meningkatkan perkembangan timbulnya masalah dalam berperilaku. Dukungan sosial dan harga diri merupakan sumber untuk dapat beradaptasi pada masa remaja awal.

(39)

Dalam buku Measures of personality and social psychological attitudes, penelitian tentang harga diri yang rendah berhubungan dengan kesepian (Perplau dan Perman, 1982), depresi (Sarver dan Brenan, 1982), kecemasan social (Leary, 1983) dan alienasi/pengasingan (Johnson, 1973). Penelitian yang dilakukan oleh Orth dan Trzesniewski dan Robins (2010) dengan subjek berumur 25-104 tahun. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa wanita mempunyai harga diri lebih rendah daripada pria di usia muda (sampai usia 80 tahun), tetapi di usia tua (> 80 tahun) menjadi berbalik. Kemudian, individu berkulit hitam dan putih mempunyai harga diri yg hampir sama akan tetapi berbeda sedikit (lebih tinggi manusia berkulit hitam) di usia muda, tetapi di usia tua mulai usia 65 tahun harga diri individu berkulit hitam menurun tajam, sedangkan individu berkulit putih tetap stabil. Selain itu, orang yang pendidikan tinggi selalu mempunyai harga diri lebih tinggi daripada orang yang berpendidikan rendah. Selain itu, perubahan sosioekonomi (penghasilan) dan kondisi kesehatan sangat berpengaruh pada penurunan harga diri di usia tua.

(40)

menurunkan harga diri. Apabila terjadi kurangnya perhatian/pengetahuan ibu terhadap aktivitas anaknya membuat harga diri rendah. Sehingga reaksi diri bersama perlakuan keibuan dapat dijadikan faktor untuk memprediksi harga diri. Kombinasi keduanya meningkatkan pengaruh dalam pengembangan diri.

Dalam penelitian pertama yang dilakukan oleh Stinsonet al(2008) harga diri rendah diprediksi adanya laporan masalah kesehatan 2 bulan berikutnya, dan hubungan ini dijelaskan oleh laporan adanya ikatan sosial yang buruk. Pada penelitian kedua menunjukkan bahwa kualitas ikatan sosial (misal stress interpersonal dan jumlah teman) yang buruk dapat memprediksi penurunan drastis harga diri, yang akan berpotensi semakin menurunkan kualitas ikatan sosial, dan akibatnya akan meningkatkan masalah kesehatan.

(41)

Sejauh ini penelitian-penelitian menunjukkan bahwa harga diri mempunyai peran yang penting bagi individu untuk dapat berfungsi secara efektif. Harga diri yang tinggi akan meningkatkan toleransi terhadap stress dan emosi negatif lain serta mempertinggi kemampuan penyesuaian diri. Sementara harga diri yang rendah berhubungan dengan depresi, kecemasan dan mal-adjustment. Harga diri juga berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam mengontrol lingkungan, seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan bekerja lebih keras dan menunjukkan performansi yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang memiliki harga diri rendah. Disamping itu, harga diri akan dapat menjaga dan memelihara integritas individu (Handayani, 2000)

Penelitian yang dilakukan Handayani (2000) adalah efektivitas pelatihan dan pengenalan diri terhadap peningkatan penerimaan diri dan harga diri remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan pengenalan diri efektif untuk menangani masalah-masalah penerimaan diri dan harga diri pada remaja. Hal ini didasarkan pada peningkatan skor penerimaan diri dan harga diri yang signifikan dan berkurangnya ciri-ciri yang mendukung penerimaan diri dan harga diri rendah.

(42)

C. Anak Sulung dan Anak Bungsu 1. Anak Sulung

a. Pengertian Anak Sulung

Anak sulung adalah satu-satunya yang tidak harus berbagi kasih sayang dan sentuhan orang tua dengan saudara-saudara kandung lain hingga saudara kandung lain (adiknya) lahir (Rothbart dalam Santrock, 2002). Selain itu, menurut Gunarsa (2003) anak sulung adalah anak yang paling tua atau anak pertama yang lahir dari suatu keluarga.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak sulung adalah anak yang pertama kali dilahirkan dalam suatu keluarga. b. Karakteristik Anak Sulung

Sepanjang siklus kehidupan, relasi yang erat tetap dipertahankan antara orang tua dan anak-anak yang lahir duluan. Orang tua menaruh harapan yang lebih tinggi pada anak-anak yang lahir duluan daripada anak-anak yang lahir kemudian. Orang tua memberi lebih banyak tekanan untuk berhasil dan bertanggung jawab. Selain itu, orang tua melibatkan anak sulung dalam kegiatan-kegiatannya (Rothbart dalam Santrock, 2002).

(43)

taat pada hukum dan ketertiban, mandiri dan dipercaya dengan tanggungjawabnya. Maka dari itu, anak sulung memiliki proses pemikiran seperti ini :

Anda lebih besar, lebih kuat, lebih tua, dan karena itu Anda juga harus terlihat pintar dari yang lain”.

(44)

akan berkembang menjadi seorang yang bertanggung jawab dan bersifat melindungi (Hall dan Lindzey, 1993).

Anak-anak sulung menempati posisi yang unik yaitu sempat menjadi anak tunggal selama beberapa waktu dengan segenap perhatian. Akan tetapi, keadaan yang nyaman ini berakhir dengan hadirnya anak kedua, ketiga dan seterusnya, sehingga kehadiran adiknya “mengancam” anak pertama. Maka dari itu, anak sulung mungkin akan berusaha merebut kembali posisinya semula. Anak sulung mungkin akan bertingkah seperti bayi lagi dengan tujuan mencari perhatian dan memperoleh dukungan kembali. Anak sulung mengalami penurunan posisi yang traumatis ketika saudara yang lebih muda lahir. Pandangan Adler tentang sifat positif pada anak sulung adalah dapat menjadi organisator yang baik. Di sisi lain, anak sulung memiliki sifat negatif yaitu memiliki kecemasan tinggi, memiliki perasaan berkuasa yang berlebihan, dan permusuhan secara tidak sadar. Selain itu, anak sulung memiliki sifat berjuang untuk mendapatkan pengakuan, harus selalu “benar” sedangkan yang lain selalu “salah”, sangat mengkritik orang lain dan tidak bisa bekerja sama (Feist, 2010).

(45)

untuk menjadi superior/kuat, kecemasannya tinggi dan terlalu dilindungi. Selain itu, anak sulung berkembang menjadi pribadi yang perhatian pada aturan dan hukum (Alwilsol, 2008). Berbagai perlakuan dan harapan yang diberikan pada anak sulung memunculkan karakteristik tertentu pada seseorang yang berposisi anak sulung.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat simpulkan bahwa anak sulung memiliki ciri-ciri umum yaitu memiliki kekuasaan yang tinggi, lebih dominan, kompeten, organisator yang baik, taat pada hukum dan tertib, mandiri, dipercaya dengan tanggungjawabnya, dewasa, suka menolong, dapat menyesuaikan diri, dapat mengendalikan diri, melindungi dan merawat adik-adiknya, karir akademik yang memuaskan. Di sisi lain, anak sulung memiliki ciri yaitu kecemasan yang tinggi, permusuhan yang tidak sadar, berjuang mendapatkan pengakuan, sangat mengkritik orang lain, tidak bisa bekerja sama.

2. Anak Bungsu

a. Pengertian Anak Bungsu

Anak Bungsu adalah anak yang terakhir dan termuda (Tim Penyusun Kamus, 1995)

b. Karakteristik Anak Bungsu

(46)

kehilangan keberanian untuk sukses dengan usaha sendiri. Anak bungsu selalu ambisius, padahal anak ambisius adalah anak yang malas. Kemalasan adalah tanda dari ambisi bergabung dengan keputusasaan. Ambisi yang tinggi akan membuat individu merasa tidak ada harapan untuk mewujudkan itu.

Menurur Adler, anak bungsu memiliki resiko tinggi menjadi anak yang bermasalah. Anak bungsu sering memiliki perasaan inferior yang kuat dan kurang mandiri. (Feist, 2010). Selain itu, anak bungsu merasa ingin sempurna dalam segala sesuatu dan memiliki ambisi yang tidak realistik (Feist, 2008).

Hal yang senanda juga diungkapkan Gunarsa (2003) anak bungsu adalah anak yang manja, tidak tegas dan lemah lembut. Dalam pandangan masyarakat, anak bungsu adalah anak yang manja. Sifat manja tersebut disebabkan karena anak bungsu menjadi pusat perhatian keluarga, baik dari orang tua maupun dari kakak-kakaknya. Sifat anak bungsu sering terlihat seperti kekanak-kanakan dan cepat putus asa. Apabila anak bungsu menginginkan sesuatu dan tidak tercapai, maka anak bungsu akan cepat menangis dan bertingkah laku secara berlebihan.

(47)

pertolongan, dan hiburan. Maka dari itu, anak bungsu seakan-akan berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, menyenangkan dan mengenakkan. Semua ini memberi kesempatan kepada anak untuk berlaku manja. Pada dasarnya, sikap manja akan merugikan diri sendiri karena dia tidak akan mempunyai pengalaman untuk melakukan sesuatu. Oleh karena tidak dapat melakukan sesuatu, anak bungsu merasa malu terhadap teman-temannya. Untuk menutupi rasa malu tersebut, anak bungsu mengasingkan diri dari teman-temannya. Oleh karena mengasingkan diri, anak bungsu kehilangan kesempatan untuk dapat berbuat sesuatu. Maka dari itu, anak bungsu makin mengasingkan dirinya dan akhirnya tidak dapat berbuat apa-apa. Apabila hal tersebut terjadi terus menerus, maka anak bungsu akan merasa putus asa (Sujanto dan Lubis dan Hadi,2004).

Kemungkinan besar anak bungsu menjadi orang dewasa neurotik yang tidak mampu menyesuaikan diri (Hall dan Lindzey,1993). Anak bungsu adalah anak yang sering dimanja karena pemanjaan tersebut mereka beresiko tinggi menjadi anak bermasalah. Anak bungsu mudah terdorong memiliki perasaan inferior yang kuat dan tidak mampu berdiri sendiri. Akan tetapi, anak bungsu sering termotivasi untuk melampaui kakak-kakaknya sehingga menjadi anak yang ambisius (Alwisol, 2008).

(48)

tidak tegas, lemah lembut, kekanak-kanakan, inferioritas yang tinggi, mengandung masalah, dewasa neurotik yang tidak mampu menyesuaikan diri. Selain itu, anak bungsu memiliki ambisius yang tinggi, ingin sempurna dalam segala sesuatu, mendapat perhatian, perawatan, dan pertolongan dari orangtua dan kakak-kakaknya.

3. Penelitian Tentang Urutan Kelahiran

Dalam penelitian Falbo (1981) menguji hubungan antara urutan kelahiran dan karakteristik kepribadian tertentu. Subjek berasal dari mahasiswa program sarjana terdiri dari 841 laki-laki dan 944 perempuan. Falbo menemukan bahwa harga diri lebih tinggi pada anak sulung daripada anak-anak kemudian dilahirkan. Falbo juga menemukan bahwa anak-anak sulung cenderung lebih kompetitif dibandingkan saudara muda.

Gates, Lineberger, Crockett, dan Hubbard (dalam Birth Order and Its effects on Self-Esteem, 1988) melakukan penelitian tentang urutan kelahiran dan kaitannya dengan depresi, kecemasan, dan konsep diri. Gates et al

menggunakan tiga skala yang berbeda, termasuk satu yang dirancang untuk mengukur tingkat konsep diri. Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berkisar di usia 7-12 dan dipilih dari sekolah negeri dan swasta. Gates et al

(49)

orang percaya ia dinilai oleh orang lain, mungkin terkait dengan urutan kelahiran.

Schwab dan Lundgren (dalam Birth Order and Its effects on Self-Esteem, 1978) melakukan dua penelitian terkait. Pada studi pertama, 82 laki-laki dan 82 mahasiswa perempuan ditanya tentang harga diri mereka dan persepsi publik harga diri mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga diri lebih tinggi untuk anak-anak sulung daripada anak yang lahir terlambat. Studi kedua adalah serupa, tetapi meneliti kemungkinan perbedaan antara pria dan wanita. Harga diri masih lebih tinggi bagi anak-anak sulung dibandingkan dengan anak-anak kemudian dilahirkan, tanpa memandang jenis kelamin. Pengembangan kepribadian individu sangat dipengaruhi oleh tempatnya dalam keluarga dan hubungannya dengan orang tua dan saudara kandung.

(50)

overachievers(orang yang prestasi melebihi apa yang diinginkan, berdasarkan pendidikannya, latar belakang, atau kemampuan mental)," jelasnya. Tak heran anak pertama seringkali merasa perlu untuk mendapat yang terbaik dari segalanya. Ia akan berusaha mencapai nilai tertinggi supaya mendapatkan kembali perhatian orangtuanya (“Kuat dan Lemahnya Si Anak Sulung”, 2010).

Pengaruh urutan kelahiran dikemukakan oleh Laosa dan Sigel (1982). Dari hasil penelitian ini diketahui makin menurun urutan kelahiran maka prestasi belajar makin rendah. Umumnya prestasi belajar anak sulung lebih baik daripada prestasi belajar anak kedua, anak kedua prestasi belajar lebih baik dari anak ketiga dan seterusnya (“Pengaruh urutan kelahiran terhadap kemampuan intelektual”, 2010)

(51)

hasil tes IQ pada 250 ribu pria sebagai syarat masuk tentara Norwegia. Menurut Kristensen dalam laporan yang dipublikasikan di situs msnbc awal September 2008, hal ini terjadi karena tingkatan sosial dalam keluarga. Anak sulung biasanya mendapat keuntungan karena mendapatkan sumber daya keluarga yang lebih, mengajari adik-adiknya dan ekspektasi yang ditanamkan orang tua kepadanya (“Apakah Anda Anak Sulung?”, 2008).

Praktisi emotional intelligence parenting dari Radani Emotional Intelligence Parenting Center, Hanny Muchtar Darta Certified EI PSYCH-K SET, mengatakan bahwa penelitian menunjukkan memang ada kaitan antara urutan kelahiran dan kepribadian anak. Dengan kata lain, tumbuh kembang si anak dalam beberapa hal tertentu dipengaruhi urutan kelahiran dalam keluarga, misalnya kepribadian anak pertama, anak kedua, anak ketiga, anak tengah dan anak tunggal. Penelitian menunjukkan bahwa temperamen anak,

social skills, kemampuan memecahkan masalah, dan rasa percaya diri anak dipengaruhi urutan kelahiran anak (“Urutan Lahir Pengaruhi Kepribadian”, 2009)

(52)

berpengalaman. Mereka memberi lebih banyak kelonggaran kepada anak bungsu karena dianggap paling muda, paling lemah, karena itu harus dilindungi. Anak tertua biasanya memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga adik-adiknya serta sebagai pemimpin. Situasi ini membantu dalam membangun rasa percaya diri, kedewasaan, kepemimpinan, kemampuan perencanaan, dan prestasi. Akan tetapi, karakter 'kakak tertua' sering digambarkan sebagai bossy. Di sisi lain, anak bungsu dianggap sebagai 'bayi' dalam keluarga dan sering dimanjakan. Ini membuat mereka tumbuh menjadi seseorang yang lucu, senang mengambil risiko, lebih bahagia, ramah, suka mencari perhatian dan lebih sensitif dibandingkan saudara-saudaranya (“Penyebab Urutan Lahir Pengaruhi Karakter Anak”, 2011).

D. Perbedaan Harga Diri Antara Anak Sulung dan Anak Bungsu

(53)

dikatakan bahwa anak sulung memiliki kekuasaan yang dapat mempengaruhi harga diri tinggi pada anak sulung. Di sisi lain tentang anak bungsu, salah satu ciri umum anak bungsu biasanya dilindungi oleh orang tua dan kakak-kakaknya. Situasi tersebut dapat mendorong anak bungsu menjadi kurang mandiri (ketergantungan) dan tidak mampu berdiri sendiri (Feist, 2010). Oleh karena itu, anak bungsu mudah terdorong memiliki perasaan inferior yang kuat (Alwisol, 2008). Memiliki perasaan inferior adalah salah satu ciri individu yang memiliki harga diri rendah (Coopersmith, 1967). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa anak bungsu mudah bergantung. Situasi tersebut membuat anak bungsu cenderung kurang mampu mengontrol dan mengatur tingkah laku diri sendiri dan orang lain (kekuasaan yang rendah). Menurut Coopersmith (1967) kekuasaan adalah salah satu aspek harga diri. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa anak bungsu cenderung memiliki harga diri yang lebih rendah.

(54)

sering dimanja (Alwisol, 2008). Posisi anak bungsu yaitu terlalu disayang, banyak mendapatkan perhatian, perawatan, pertolongan dan hiburan dari orang tua dan kakak-kakaknya. Dengan situasi tersebut, anak bungsu merasa berada di dalam kehidupan yang serba berkecukupan, menyenangkan dan mengenakkan. Semua itu memberi kesempatan kepada anak bungsu untuk berlaku manja. Pada dasarnya, sikap manja akan selalu merugikan diri sendiri karena dia tidak akan mempunyai pengalaman untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, anak bungsu tidak dapat melakukan sesuatu sehingga merasa malu terhadap teman-temannya. Untuk menutupi rasa malu tersebut, anak bungsu mengasingkan diri dari teman-temannya. Karena mengasingkan diri, anak bungsu kehilangan kesempatan untuk dapat berbuat yang sesuatu. Oleh karena itu, anak bungsu makin jauh mengasingkan dirinya sehingga anak bungsu tidak dapat berbuat apa-apa. Apabila hal ini terjadi terus menerus, anak anak bungsu akan merasa putus asa (Sujanto dan Lubis dan Hadi, 2004). Maka dari itu, anak bungsu cenderung merasa kurang berarti dan berharga. Menurut Coopersmith (1967) keberartian adalah salah satu aspek dalam harga diri. Situasi tersebut dapat bepengaruh pada harga diri anak bungsu yang memiliki harga diri cenderung rendah.

(55)

kedisiplinan. Situasi tersebut, dapat berpengaruh pada kepribadian anak sulung yaitu cenderung perhatian dan taat pada aturan dan hukum (Alwisol, 2008). Semakin taat terhadap hal-hal yang sudah ditetapkan dalam masyarakat maka semakin besar kemampuan individu untuk dapat dianggap sebagai panutan masyarakat. Oleh sebab itu, semakin tinggi pula penerimaan masyarakat terhadap individu bersangkutan. Hal ini mendorong harga diri yang tinggi (Coopersmith, 1967). Maka dari itu dapat dikatakan bahwa harga diri anak sulung cenderung tinggi. Di sisi lain, posisi anak bungsu beresiko tinggi menjadi anak yang bermasalah (Alwisol, 2008) sehingga dapat dimungkinkan anak bungsu cenderung kurang taat pada peraturan dan norma. Maka dari itu, anak bungsu cenderung untuk melakukan tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Hal tersebut termasuk dalam kebajikan yang rendah. Menurut Coopersmith (1967) kebajikan adalah salah satu aspek harga diri. Situasi tersebut, dapat berpengaruh pada harga diri anak bungsu yang dimungkinkan cenderung lebih rendah.

(56)
(57)

Bagan Perbedaan Harga Diri Anak Sulung dan Anak Bungsu

Situasi dasar anak sulung

 Orang tua menganggap lebih kuat  Orang tua lebih banyak melibatkan

dalam kegiatan-kegiatannya  Saudara yang lebih tua diharapkan

untuk membantu dan mengajari saudara yang lebih muda

 Orang tua memberi banyak tuntutan dan standart yang tinggi

Berpengaruh pada kepribadian anak sulung

 Dominan dan berkuasa

 Cenderung merasa dirinya penting  Cenderung perhatian dan taat pada

peraturan dalam hukum

 Cenderung memiliki karir akademik yang memuaskan

Aspek dalam harga diri

 Kekuasaan : kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku sendiri dan orang lain.  Keberartian : adanya kepedulian,

penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.

 Kebajikan : ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

 Kemampuan : kesuksesan dalam memenuhi tuntutan prestasi.

HARGA DIRI ANAK SULUNG CENDERUNG TINGGI

Anak Sulung Anak Bungsu

Situasi dasar anak bungsu

 Biasanya dilindungi oleh orang tua dan kakak-kakaknya

 Orang tua sering memanjakan  Terlalu disayang oleh orang tua dan

kakaknya, terlalu mendapatkan perhatian, perawatan, pertolongan dan hiburan

 Kurang harapan dan tuntutan dari orang tua

Berpengaruh pada kepribadian anak bungsu

 Cenderung mudah tergantung dan inferior yang kuat

 Cenderung memiliki sifat manja  Cenderung menjadi anak yang

bermasalah

 Cenderung tidak berprestasi tinggi

Aspek dalam harga diri

 Kekuasaan : kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku sendiri dan orang lain.  Keberartian : adanya kepedulian,

penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.  Kebajikan : ketaatan mengikuti

standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

 Kemampuan : kesuksesan dalam memenuhi tuntutan prestasi.

(58)

E. Hipotesis

(59)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif yaitu

penelitian yang berupaya mencari ada tidaknya perbedaan antara dua

kelompok. Penelitian ini bermaksud untuk mencari ada tidaknya perbedaan

harga diri antara anak sulung dan anak bungsu pada remaja.

B. Variabel Penelitian

Variable-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Tergantung : Harga Diri

2. Variabel Bebas : Urutan Kelahiran yaitu Anak Sulung dan

Anak Bungsu

C. Definisi Operasional

1. Harga Diri

Harga diri adalah suatu sikap yang mengacu pada evaluasi yang

dibuat oleh individu itu dan biasanya yang berkenaan dengan dirinya

sendiri, hal itu mengekspresikan suatu sikap setuju/tidak setuju dan

menunjukkan tingkat dimana individu itu meyakini dirinya sendiri sebagai

mampu, penting, berhasil, berharga.

(60)

Harga diri dalam penelitian ini akan diukur dengan skala harga diri yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dipaparkan oleh Coopersmith (1967) yaitu :

a. Kekuasaan (power)

Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.

b. Keberartian (significance)

Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.

c. Kebajikan (virtue)

Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

d. Kemampuan (competence)

Kesuksesan dalam memenuhi tuntutan prestasi.

Skor tinggi dalam skala ini menunjukkan bahwa subyek penelitian memiliki harga diri yang tinggi atau positif, sedangkan skor rendah menunjukkan harga diri yang rendah atau negatif.

2. Urutan Kelahiran

(61)

a. Anak sulung adalah anak yang pertama kali lahir dalam keluarganya. b. Anak bungsu adalah anak yang terakhir dan termuda.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja tengah dan remaja akhir pada anak sulung dan anak bungsu dengan jumlah 50 anak sulung dan 50 anak bungsu. Karakteristik pengambilan sampel adalah sebagai berikut :

a. Remaja tengah dan remaja akhir yang berusia minimal 16 tahun dan maksimal 21 tahun.

b. Memiliki saudara kandung minimal 2 dan maksimal 3 bersaudara.

c. Jarak kelahiran antara remaja anak sulung dan remaja anak bungsu maksimal 7 tahun

Alasan peneliti memilih karakteristik pengambilan sampel yang memiliki saudara kandung minimal 2 dan maksimal 3 bersaudara karena keluarga kecil. Keluarga kecil terdiri dari 2-3 anak. Keluarga kecil adalah keluarga yang direncanakan. Perencanaannya terdiri dari memperhatikan jumlah anak, merencanakan waktu kelahiran anak pertama dan jarak kelahiran. Dengan perencanaan tersebut, orang tua dapat memberikan perhatian yang cukup. Selain itu, anak dalam keluarga kecil mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang tergolong cukup. (Hurlock, 1990).

(62)

atau lebih. Dengan jumlah anak yang banyak, orang tua mempunyai waktu yang sedikit untuk memberikan perhatian pada anak. Orang tua yang kurang memberikan perhatian pada anak akan berdampak pada kepribadian anak yang kurang baik. Selain itu, anak dalam keluarga besar mendapatkan pemenuhan kebutuhan yang tergolong rendah (Hurlock, 1990). Secara umum keluarga kecil berbeda dengan keluarga besar sehingga peneliti memilih keluarga kecil dalam kriteria subjek penelitian ini.

Alasan peneliti memilih jarak maksimal 7 tahun adalah dengan jarak kelahiran maksimal 7 tahun kemungkinan anak sulung dan anak bungsu diasuh dalam waktu yang bersamaan. Selain itu, anak sulung dan anak bungsu memiliki masa kanak-kanak dalam waktu yang bersamaan. Secara statistik, kemungkinan anak sulung dan anak bungsu berasal dari populasi yang sama. Apabila variasinya lebih banyak maka kemungkinan terdapat variabel lain yang mempengaruhi. E. Sampling

(63)

F. Metode dan Alat Pengambilan Data

Metode pengumpulan data menggunakan skala yaitu Skala Harga Diri. Skala Harga Diri ini disusun dan dikembangkan sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Coopersmith (1967) yaitu :

a. Kekuasaan (power)

Kemampuan untuk mengatur tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Kemampuan ini ditandai dengan adanya pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain.

b. Keberartian (significance)

Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain.

c. Kebajikan (virtue)

Ketaatan mengikuti standar moral dan etika dengan ditandai oleh perilaku menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan.

d. Kemampuan (competence)

Kesuksesan dalam memenuhi tuntutan prestasi.

(64)

Tabel 1

Blue PrintSkala Harga Diri Sebelum Seleksi Item Nomor Item

Skala tersebut disusun berdasarkan metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating) dengan menggunakan Skala Likert, yaitu metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2003). Dengan metode ini, subjek diminta untuk merespon item-item yang dirumuskan secarafavorabledan secaraunfavorable.

Dalam pembuat skala peneliti memilih untuk tidak mengunakan N (netral) dan hanya menggunakan 4 kategorisasi yaitu SS (Sangat Sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Dasar pemilihan tersebut, menurut Hadi (1991) didasarkan pada 3 alasan, yaitu :

(65)

2. Tersedianya jawaban yang ditengah itu menimbulkan kecenderungan manjawab ditengah (central tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas kecenderungan jawabannya, kearah sesuai atau tidak sesuai.

3. Maksud kategorisasi SS-S-TS-STS.

Penilaian subjek untuk pernyataan positif(favorable): Tabel 2

Skor Butir-ButirFavorablePada Skala Harga Diri

Respon Skor

Sangat Sesuai 4

Sesuai 3

Tidak sesuai 2

Sangat tidak sesuai 1

Semakin tinggi skor subjek, maka semakin tinggi harga diri pada subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor subjek, maka semakin rendah harga diri subjek.

Penilaian subjek untuk pernyataan negatif (unfavorable) dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3

Skor Butir-butirUnfavorableSkala Harga Diri

Respon Skor

Sangat Sesuai 1

Sesuai 2

Tidak Sesuai 3

(66)

Skor yang rendah menunjukkan subjek memiliki harga diri yang rendah. Sebaliknya, skor yang tinggi menunjukkan subjek memiliki harga diri yang tinggi.

G. Kredibilitas Alat Ukur 1. Estimasi Validitas

a. Validitas isi

Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment

(Azwar, 1999). Peneliti berdiskusi dengan dosen pembimbing yang ahli. Kemudian dosen melihat apakah item-item dalam tes telah ditulis sesuai dengan blue print nya. Selain itu, apakah telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing item telah sesuai dengan aspek yang hendak diungkapnya. Selanjutnya, mengecek aspek-aspek nya apakah sudah dapat menggambarkan variabel yang akan diukur.

b. Validitas tampang

(67)

2. Estimasi Reliabilitas

Reliabilitas suatu alat ukur merupakan keajegan dari alat ukur terkait dengan hasil yang didapatkan pada subjek yang berbeda. Uji reliabilitas ini untuk mengetahui sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama (Azwar, 1999). Mengetahui reliabilitas item digunakan tehnik if item deleted dari nilai Cronbach yang diuji dengan SPSS for Windows versi 17. Koefisien reliabilitas berkisar mulai dari 0,0 sampai dengan 1,0. Alat ukur dikatakanreliablejika koefisien reliabilitasnya mendekati 0.9 (Azwar, 1999). 3. Seleksi Aitem

Salah satu hal pokok yang perlu mendapat perhatian dalam penulisan suatu skala adalah seleksi aitem. Hal ini penting karena kualitas skala psikologi sangat ditentukan oleh aitem-aitem di dalamnya. Selaksi aitem dapat dilakukan dengan melihat apakah aitem yang ditulis sudah sesuai denganblue print dan indikator perilaku yang hendak diungkap. Selain itu juga dengan melihat apakah aitem yang telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, dan apakah aitem-aitem yang ditulis memiliki social desirability yang tinggi. Selanjutnya, seleksi aitem dilakukan berdasarkan daya diskriminasi atau daya beda.

(68)

daya beda dilakukan dengan komputasi koefisien kolerasi antara distribusi skor pada setiap item dengan suatu kriteria yang relevan yaitu distribusi skor total tes itu sendiri. Pengujian konsistensi item total ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (Rix). Inilah yang dikenal dengan indeks daya beda item. Sebagai kriteria, digunakan batasan 0,3. Item yang memiliki korelasi diatas 0,3 (>0,3) dianggap memenuhi kriteria sebagai item yang baik, sedangkan item berkorelasi kurang dari 0,3 (<0,3) akan digugurkan (dalam Azwar, 2003). Apabila jumlah item yang lolos ternyata masih tidak mencukupi dari jumlah yang diinginkan, maka dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0.30 menjadi 0.25 (Azwar, 2003). 4. Hasil Uji Skala

a. Uji Reliabilitas

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan SPSS for windows versi 17, Skala Harga Diri memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,945. Hasil koefisien alpha Skala Harga Diri menunjukkan bahwa skala tersebut reliabel. b. Uji Daya Beda Item

(69)

diinginkan, maka peneliti menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25. Hasil uji daya beda item dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4

Blue PrintSkala Harga Diri Setelah Uji Coba Nomor item

Aspek Favorable Unfavorable Bobot

Jumlah

(70)

Tabel 5

Blue PrintSkala Harga Diri Dengan Keseimbangan Jumlah Sebaran Nomor item

Skala final Harga Diri yang akan digunakan dalam penelitian setelah dilakukan penyusunan ulang nomor item sebagai berikut :

Tabel 6

(71)

H. Metode Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data skala harga diri. Jika p > 0,05 maka sebaran skor dinyatakan normal. Sebaliknya jika p < 0,05 maka sebaran skor dinyatakan tidak normal. Uji Normalitas dilakukan dengan One Sample Kolmogorof Smirnovdengan menggunakan programSPSS 18 For Windows.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah varians dari sampel yang akan diuji mempunyai varians yang sama atau tidak. Uji homogenitas variansi dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18 For Windows yaitu melalui Leven’s Test For Equality of Variance. Apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka kedua jenis urutan kelahiran mempunyai varians yang sama dan jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (p<0,05) maka kedua jenis urutan kelahiran mempunyai varians yang tidak sama.

2. Uji Hipotesis

(72)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Penelitian

Pengambilan data yang dilakukan di lingkungan Sanata Dharma, peneliti meminta ijin untuk mengambil data pada para dosen pengampu mata kuliah. Pengambilan data yang dilakukan di lingkungan sekitar, peneliti mensurvei para subjek agar mendapat subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian.

2. Proses Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2011 sampai 4 Maret 2011. Peneliti mengambil data pada mahasiswa semester 2, 4, 6 dan 8 yang masuk dalam kriteria subjek penelitian. Selain itu, peneliti juga mengunjungi sahabat, teman, saudara dan tetangga yang masuk dalam kriteria subjek penelitian.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara meminta subyek untuk mengisi jawaban pada kuesioner yang berisi 1 skala, yaitu : skala harga diri. Peneliti membagikan 167 skala pada subyek dan skala tersebut kembali dengan jumlah yang sama pada peneliti. Pada saat pengolahan data, peneliti memilih skala yang sesuai dengan kriteria dalam penelitian sehingga terkumpul yang berjumlah 50 skala pada anak sulung dan 50 skala pada anak bungsu. Dalam penelitian ini melibatkan

(73)

100 subjek. Skala yang tidak sesuai dengan kriteria subjek dalam penelitian termasuk skala yang gugur. Skala yang gugur dikarenakan subjek termasuk dalam kelompok anak tunggal dan anak tengah. Selain itu, jumlah saudara dan jarak kelahiran tidak memenuhi kriteria. Selain itu, terdapat skala yang tidak diisi lengkap oleh subjek.

3. Data Demografis Subyek Penelitian

(74)

Tabel 7

Data Usia Subjek Pada Anak Sulung

Usia Jumlah Persentase

Pada anak bungsu, subjek yang berusia 16 tahun sebanyak 2 atau sebesar 4%. Subjek yang berusia 17 sebanyak 2 atau sebesar 4 %. Subjek yang berusia 18 tahun sebanyak 24 atau sebesar 48%. Subjek yang berusia 19 tahun sebanyak 18 atau sebesar 36%. Subjek yang berusia 20 tahun sebanyak 4 atau sebesar 8% (lihat tabel 8).

Tabel 8

Data Usia Subjek Pada Anak Bungsu

Usia Jumlah Persentase

(75)

Tabel 9

Data Jenis Kelamin Subjek Pada Anak Sulung Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 13 26%

Perempuan 37 74%

Jumlah 50 100%

Pada anak bungsu, subjek yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 atau sebesar 30%. Sedangkan, subjek yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 35 atau sebesar 70% (lihat tabel 10).

Tabel 10

Data Jenis Kelamin Subjek Pada Anak Bungsu Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 15 30%

Perempuan 35 70%

Jumlah 50 100%

Pada anak sulung, subjek yang memiliki 1 jumlah saudara sebanyak 28 atau sebesar 56%. Sedangkan, subjek yang memiliki 2 jumlah saudara sebanyak 22 atau sebesar 44% (lihat tabel 11).

Tabel 11

Data Jumlah Saudara Subjek Pada Anak Sulung Jumlah Saudara Jumlah Persentase

1 28 56%

2 22 44%

(76)

Pada anak bungsu, subjek yang memiliki 1 jumlah saudara sebanyak 27 atau sebesar 54%. Sedangkan, subjek yang memiliki 2 jumlah saudara sebanyak 23 atau sebesar 46% (lihat tabel 12).

Tabel 12

Data Jumlah Saudara Subjek Pada Anak Bungsu Jumlah Saudara Jumlah Persentase

1 27 54%

2 23 46%

Jumlah 50 100%

(77)

Tabel 13

Data Jarak Umur Anak Sulung Dengan Adik Bungsu Jarak umur Jumlah Persentase

1 2 4%

1,8 1 2%

2 5 10%

3 11 22%

4 7 14%

4,5 1 2%

5 6 12%

6 10 20%

7 7 14%

Jumlah 50 100%

(78)

Tabel 14

Data Jarak Umur Anak Bungsu Dengan Kakak Sulung Jarak umur Jumlah Persentase

1 1 2%

2 4 8%

3 7 14%

4 7 14%

5 6 12%

6 12 24%

7 13 26%

Jumlah 50 100%

B. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji Normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18 For Windowsdan hasilnya adalah sebagai berikut :

1.) Nilai probabilitas pada anak sulung adalah 0,719, sehingga p > 0,05 atau 0,719 > 0,05 (lihat lampiran 3). Dengan demikian sebaran skor pada anak sulung dinyatakan normal.

(79)

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan dengan SPSS 18 For Windows. Nilai probabilitas pada penelitian ini sebesar 0,065 (lihat lampiran 3). Artinya bahwa nilai probabilitas tersebut lebih besar dari 0,05 (0,065 > 0,05). Maka, data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki varians yang sama dan berasal dari populasi yang sama.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan setelah melakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Penghitungan uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan

(80)

3. Uji Tambahan

Uji tambahan dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah tingkat harga diri anak sulung dan anak bungsu yakni dengan membandingkan antara mean empiris anak sulung dengan mean teoritis dan mean empiris anak bungsu dengan mean teoritis (MT). Jika ME > MT, maka memiliki harga diri yang tinggi. Untuk mengetahui besar MT digunakan rumus sebagai berikut :

MT = (skor terendah x jumlah item) + (skor tertinggi x jumlah item)

---Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh Mean Empiris anak sulung dan anak bungsu, sebagai berikut :

Tabel 15

Data Mean Empiris Anak Sulung Dan Anak Bungsu

(81)

Nilai P pada sulung sebesar 0,000. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis pada anak sulung. Mean teoritis pada anak sulung sebesar 65 dan mean empiris 82,20. Hal tersebut menunjukkan bahwa mean empiris lebih besar daripada mean teoritis sehingga dapat diartikan bahwa harga diri anak sulung tergolong tinggi.

Nilai P pada anak bungsu sebesar 0,003. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean empiris dan mean teoritis anak bungsu. Mean teoritis merupakan rata-rata skor pada alat ukur penelitian, sedangkan mean empiris merupakan rata-rata skor data hasil penelitian. Mean teoritis pada anak bungsu sebesar 65 dan mean empiris sebesar 66,68. Hal tersebut menunjukkan bahwa mean empiris lebih besar daripada mean teoritis sehingga dapat diartikan bahwa harga diri anak bungsu tergolong tinggi.

Tabel 16

Data Mean Harga Diri Anak Sulung Dan Anak Bungsu Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Mean

P 37 82,32

(82)

anak bungsu berjenis kelamin perempuan sebesar 66,31. Anak sulung berjenis kelamin laki-laki mendapatkan mean sebesar 81,85 dan anak bungsu berjenis kelamin laki-laki mendapat mean sebesar 67,53.

C.Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu pada remaja. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu pada remaja. Hal ini berarti bahwa hipotesis awal penelitian ini, yaitu terdapat perbedaan harga diri antara anak sulung dan anak bungsu dapat diterima.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan urutan kelahiran dalam keluarga berpengaruh pada harga diri remaja. Hal ini sejalan dengan Coopersmith (1967) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah faktor urutan kelahiran dalam keluarga.

(83)

karakteristik tersebut, anak sulung memiliki kemampuan dalam kekuasaan. Menurut Coopersmith (1967) kekuasaan adalah salah satu aspek harga diri yang berarti kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain. Maka dari itu, harga diri anak sulung tergolong lebih tinggi. Di sisi lain, anak bungsu tidak mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak sulung. Orang tua tidak memberikan tekanan lebih untuk bertanggung jawab. Anak bungsu mendapat perhatian, perawatan dan pertolongan dari orangtua dan kakak-kakaknya (Sujanto dan Lubis dan Hadi, 2004). Dengan situasi tersebut, anak bungsu umumnya memiliki karakteristik yang kurang mandiri, tidak mampu berdiri sendiri dan memiliki perasaan inferior yang kuat (Alwisol, 2008). Menurut Coopersmith (1967), memiliki perasaan inferior adalah salah satu ciri individu yang memiliki harga diri rendah. Dengan karakteristik tersebut, anak bungsu cenderung kurang mampu dalam mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri maupun orang lain. Maka dari itu, anak bungsu memiliki harga diri yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan anak sulung.

Gambar

Tabel 1
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Harga diri merupakan bentuk yang penting dalam kehidupan sehari-hari dan berperan dalam menentukan tingkah laku seseorang yang meliputi penilaian, perasaan atau

Berdaarkan latas belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbeda an tingkat harga diri antara pelaku

Harga diri adalah proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. 

Menurut Coopersmith (1967) seseorang yang memiliki harga diri rendah memiliki ciri-ciri rendah diri, kurang percaya diri dan lebih segan menyatakan diri dalam suatu kelompok

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai konsep diri dari para ahli diaras, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah suatu refleksi atau evaluasi persepsi, pandangan dan

Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi akan lebih mudah menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan benar.Komponen keempat harga diri adalah Virtue

Permasalahan ini berkaitan dengan “apakah semakin tinggi tingkat obesitas seseorang akan diikuti dengan semakin rendah harga diri dan penyesuaian diri mereka”, berdasarkan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian yang dibuat oleh remaja tentang sejauh mana kepercayaan individu terhadap kemampuan