MAKALAH TAFSIR Tentang
ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Kelompok VI
Irsyad Hamda 1614010200
Husni Fauzan 1614010205
Rahma 1614010208
Dosen Pembimbing: Yulia Rahman, M.Ag
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu dan teknologi melalui penelitian terhadap gejala-gejala alam dan kehidupan, sebenarnya sangat mengherankan kalau orang-orang yang lalai itu hanya berhenti pada batas studi yang bersifat mekanis dan tidak menyeberang untuk menemukan rahasia-rahasia hukum Tuhan serta memahami hikmah di balik ciptaan-Nya. Orang yang melihat langit hanya dari warna yang biru, atau bumi dari tanahnya, ia tidak ubahnya hewan, bahkan lebih rendah dan lebih sesat.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, manusia dituntut untuk berpikir serta menggali ilmu karena Islam sendiri telah mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di saat semua teknologi sudah canggih, dunia membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan terkini yang ternyata semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an. Penafsiran Al-Quran sendiri seolah tidak pernah selesai, karena setiap saat bisa muncul sesuatu yang baru, sehingga Al-Quran terasa selalu segar karena dapat mengikuti perkembangan zaman. Pada kesempatan ini penulis hendak sedikit mengulas tentang ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan beserta tafsir dan analisisnya. Semoga apa yang penulis tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca dalam memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan beserta penafsirannya? 2. Q.S Al-Alaq Ayat 1-5 dan penafsirannya?
BAB II
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. 2. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam hadist shahihnya dari Aisyah: “ Pada mulanya, Rasulullah menerima wahyunya melalui mimpi yang benar. Setiap beliau bermimpi, pada siaangnya mimpi itu menjadi kenyataan. Mulai dari saat itu, beliau sangat ingin menyendiri(berkhalawat). Beliau pun pergi ke gua Hira yang berada di luar kota Mekkah (sekitar 6 km dari pusat kota), duduk beberapa malam di dalamnya dengan membawa bekal yang diperlukan. Ketiksa perbekalan habis, pulanglah Nabi ke rumah istrinya, Khadijah, untuk kembali mengambil bekal. Begitu seterusnya dilakukan hingga Nabi menerima wahyu yang tidak disangka-sangka. Pada saat dia duduk di dalam gua, datanglah malaikat Jibril, seraya meminta Nabi Muhammad untuk membaca. “Bacalah”, kata Jibril. Nabi menjawab: “Aku tidak bisa membaca.” Maka, Jibril pun memeluk Nabi erat-erat sehingga Nabi merasa payah. Setelah melepas pelukannya, Jibril kembali memerintah Nabi untuk membaca, dan Nabi pun menjawab sama: “Aku tidak bisa membaca,” Jibril kembali memeluk Nabi dengan sangat erat. Setelah pelukannya dilepaskan, Jibril membacakan lima ayat pertama surah al ‘alaq ini (HR. bukhari)1
3. Tafsir
Dalam waktu pertama saja, yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya. Nabi SAW disuruh membaca wahyu akan diturunkan kepada beliau itu di atas nama Allah, Tuhan yang telah mencipta.
“Menciptakan manusia dari segumpal darah.” Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah, yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si perempuan, yang setelah 40 hari lamanya, air itu telah menjelma jadi segumpal darah, dan dari segumpal darah itu kelak akan menjelma pula setelah melalui 40 hari, menjadi segumpal daging (Mudhghah).
Nabi bukanlah seorang yang pandai membaca. Beliau adalah ummi, yang boleh diartikan buta huruf, tidak pandai menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis. Tetapi Jibril mendesaknya juga sampai tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis, namun ayat-ayat itu akan dibawa langsung oleh Jibril kepadanya, diajarkan, sehingga dia dapat menghapalnya di luar kepala, dengan sebab itu akan dapatlah dia membacanya. Tuhan Allah yang menciptakan semuanya. Rasul yang tak pandai menulis dan membaca itu akan pandai kelak membaca ayat-ayat yang diturunkan kepadanya. Sehingga bilamana wahyu-wahyu itu telah turun kelak, dia akan diberi nama Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an itu pun artinya ialah bacaan. Seakan-akan Tuhan berfirman: “Bacalah, atas qudrat-Ku dan iradat-Ku.”
menulis. Maka jika kita selidiki isi Hadis yang menerangkan bahwa tiga kali Nabi disuruh membaca, tiga kali pula beliau menjawab secara jujur bahwa beliau tidak pandai membaca, tiga kali pula Jibril memeluknya keras-keras, buat meyakinkan baginya bahwa sejak saat itu kesanggupan membaca itu sudah ada padanya, apatah lagi dia adalah Insan Al-Kamil, manusia sempurna. Banyak lagi yang akan dibacanya di belakang hari. Yang penting harus diketahuinya ialah bahwa dasar segala yang akan dibacanya itu kelak tidak lain ialah dengan nama Allah jua.”
“Bacalah! Dan Tuhan engkau itu adalah Maha Mulia.” Setelah di ayat yang pertama beliau disuruh membaca di atas nama Allah yang menciptakan insan dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruhnya membaca di atas nama Tuhan. Sedang nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah Yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluk-Nya.
Itulah keistimewaan Tuhan itu lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi. Yaitu diajarkan-Nya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkan-Nya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah, yaitu dengan qalam. Dengan pena! Di samping lidah untuk membaca, Tuhan pun mentakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup, namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat difahamkan oleh manusia
dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan qalam yang telah ada dalam tangannya
Maka di dalam susunan kelima ayat ini, sebagai ayat mula-mula turun kita menampak dengan kata-kata singkat Tuhan telah menerangkan asal-usul kejadian seluruh manusia yang semuanya sama, yaitu daripada segumpal darah, yang berasal dari segumpal mani.2
4. Analisis
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu) dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengaharapkan ridha dari Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat
نوممملعي نيّذممللا ىوتممسي له
mengambil manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak mengetahui".
B. At-Taubah Ayat 122
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
2. Asbabun Nuzul
Dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ketika Rasul saw. tiba di Madinah, beliau mengutus pasukan yang tediri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Banyak sekali yang ingin ikut dalam pasukan itu sebenarnya fardu kifayah, bukan fardu ‘ain. Perang baru menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengarahkan kaum mukmin menuju medan perang (ghazwah) oleh sebab itu maka turunlah ayat ini4
3. Tafsir
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad, serta kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-duyun dan dengan penuh
semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada tempatnya karena ada area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang menyatakan bahwa ketika Rasul saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika diperturutkan, tidak akan tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali beberapa gelintir orang saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas dengan menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin
yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum, maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar, di antara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain
dan juga untuk memberi peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan anggota pasukan yang ditugaskan oleh Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka yang memperdalam pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul saw. karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.5
Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan bahwa kata thaaifah dapat berarti satu atau dua orang. Sementara ulama yang lain tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing dapat dinamai dengan firqah. Sedangkan kata liyatafaqqahuu
terambil dari kata fiqh, yakni pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan hanya sekadar pengetahuan.
Penambahan huruf taa pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikianlah kata-kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan. Sementara kata fiqh bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup segala macam pengetahuan mendalam. 6
4. Analisa
Orang-orang yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad dan meninggalkan negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang tinggal disana dan satu kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali ke kampung halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya yang tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya tentang agama Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan melanggar perintah-Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta.
Allah akan meninggikan tempat bagiorang-orang yang berilmu disurganya dan menjadikan mereka di dalam surga termasuk orang-orang yang berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad mustafa. 1992. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV Toha Putra.
Hamka. 1982. Tafsir al-azhar. Jakarta: pustaka panji mas. Ibnu katsier. 1992. Tafsir ibnu katsier. Surabaya : PT bina ilmu.
Nata, Abudin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.