• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke 2.1.1. Definisi Stroke - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke 2.1.1. Definisi Stroke - Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke

2.1.1. Definisi Stroke

Menurut Sofwan (2010), stroke dalam bahasa Inggris berarti “pukulan”. Ada banyak sekali terminologi dan definisi stroke. Salah satunya, stroke adalah sindrom

yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut,

disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologi dan bukan sebagai akibat tumor,

trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat (Dewanto, G, dkk, 2009).

Pinzon & Asanti (2010) mendefinisikan stroke sebagai defisit (gangguan)

fungsi sistem syaraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran

darah otak. Gangguan peredaran otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah

otak atau pecahnya pembuluhnya darah di otak.

WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik fokal

maupun global (menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah otak, yang

mengakibatkan kerusakan pembuluh darah di otak yang berlangsung selama 24 jam

atau lebih (Sutrisno, 2007).

Jadi dapat disimpulkan bahwa stroke adalah gangguan aliran suplai darah ke

otak yang terjadi secara mendadak yang dapat menimbulkan kecacatan menetap atau

(2)

2.1.2. Klasifikasi Stroke

Menurut Michel dalam Pinzon & Asanti (2010), secara patologi ada dua

macam stroke, yaitu stroke sumbatan (stroke iskemik) dan stroke perdarahan (stroke

hemoragik). Stroke sumbatan terjadi ketika pembuluh darah ke otak mengalami

sumbatan. Stroke perdarahan terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menuju

ke otak.

Untuk lebih jelasnya pembagian stroke sebagai berikut (Sofyan, 2010) :

1) Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya pembuluh darah

dalam otak yang pecah sehingga darah yang keluar dari pembuluh darah tersebut

dipaksa masuk ke dalam jaringan otak, kemudian merusak sel-sel otak di daerah

tertentu, sehingga pada akhirnya bagian otak yang terkena tidak dapat berfungsi

dengan baik. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi dua tipe yaitu (1) Perdarahan

Subaraknoid (PSA); dan (2) Perdarahan Intraserebral (PIS).

2) Stroke iskemik

Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya hambatan atau

sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah otak yang

diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan energy dan

oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah tersebut mati dan

tidak berfungsi lagi. Stroke iskemik dibagi menjadi beberapa tipe menurut

(3)

lakunar (terjadi di pembuluh darah yang kecil) dan emboli serebral (terjadi

karena adanya gumpalan darah/bekuan darah).

2.1.3. Faktor Risiko Stroke

Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke. Faktor risiko

stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor

risiko yang dapat diubah.

Tabel 2.1. Faktor Risiko Stroke

Faktor yang Tidak Dapat Diubah Faktor yang Dapat Diubah

Usia tua Hipertensi

Jenis kelamin laki-laki Diabetes Melitus

Ras Dislipidemia

Riwayat keluarga Merokok

Riwayat stroke sebelumnya Obesitas

Sumber : Pinzon & Asanti, 2010

Untuk lebih jelasnya faktor-faktor risiko stroke tersebut diuraikan sebagai

berikut (Wahyu, 2009) dan (Pinzon&Asanti, 2010) :

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

a.1. Usia

Meskipun stroke dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa mereka yang

berusia lanjut lebih berisiko terserang penyakit yang berpotensi mematikan

dan menimbulkan kecacatan tetap. Setelah mencapai usia 55 tahun, risiko

stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga

kasus stroke diidap oleh mereka yang berusia 65 tahun. Hal yang serupa juga

(4)

akan semakin mudah terserang stroke. Stroke dapat terjadi pada semua usia,

namun lebih dari 70% kasus stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun.

a.2. Jenis Kelamin

Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa laki-laki berisiko terserang stroke dibandingkan wanita.

Namun, kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita

dibandingkan laki-laki karena umumnya wanita terserang stroke pada usia

yang lebih tua. Pinzon & Asanti (2010) juga mengatakan bahwa laki-laki

lebih mudah terkena stroke. Hal ini dikarenakan lebih tingginya angka

kejadian faktor risiko stroke (hipertensi) pada laki-laki.

a.3. Riwayat Keluarga

Faktor genetik di dalam keluarga juga merupakan faktor risiko stroke.

Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi diketahui dapat

diturunkan secara genetik dari seseorang kepada keturunannya. Hertzberg,

dkk dalam Pinzon & Asanti (200) mengungkapkan bahwa risiko stroke

meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang dengan

riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan hipertensi.

Hal ini mendukung hipotesis bahwa peningkatan kejadian stroke pada

keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya faktor risiko stroke.

a.4. Ras atau Etnis

Insidensi dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada

(5)

Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui

dengan pasti. Pinzon & Asanti (2010) mengatakan bahwa kejadian stroke

pada ras kulit berwarna lebih tinggi dari kaukasoid.

b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah

b.1. Hipertensi

Pada kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkat melebihi batas normal.

Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung dalam

jangka waktu lama dan tidak diobati dapat berisiko menimbulkan berbagai

penyakit, seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal

ginjal maupun stroke (Wahyu, 2009).

Seseorang disebut mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih dari

140/90 mmHg atau lebih dari 135/85 mmHg pada individu yang mengalami

gagal jantung, insufisiensi ginjal, atau diabetes mellitus. Hipertensi

meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada factor risiko

lainnya (Pinzon&Asanti, 2010).

b.2. Merokok

Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan

risiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu

peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan

penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Merokok meningkatkan risiko

stroke sampai dua kali lipat. Ada hubungan yang linier antara jumlah batang

(6)

dalam Pinzon&Asanti (2010), risiko stroke akan bertambah 1,5 kali setiap

penambahan 10 batang rokok per hari.

b.3. Penyakit jantung

Jenis penyakit atau kelainan jantung yang meningkatkan risiko stroke adalah

aritmia jantung. Aritmia merupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung

yang tidak teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi menimbulkan suatu

bekuan sel trombosit (tromboemboli), yang dapat bermigrasi dari jantung dan

menyumbat arteri di otak, menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli.

b.4. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkatkan faktor risiko terjadinya

stroke. Hal ini disebabkan oleh penyakit metabolisme ini mengakibatkan

terjadinya kerusakan dinding arteri, baik yang berukuran besar

(makroangiopati) maupun kecil (mikroangiopati). Dinding arteri yang

mengalami kerusakan ini akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel-sel

trombosit, kolesterol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos di dinding

arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik.

b.5. Dislipidemia

Kolesterol dibentuk di dalam tubuh, yang terdiri dari dua bagian utama yaitu

kolesterol LDL dan kolesterol HDL. Kolesterol LDL disebut sebagai

“kolesterol jahat”, yang membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jumlah

kolesterol LDL yang tinggi akan menyebabkan penimbunan kolesterol di

(7)

(pengerasan dinding pembuluh darah arteri). Proses atherosclerosis akan

menimbulkan komplikasi pada organ target (jantung, otak, dan ginjal). Proses

tersebut pada otak akan meningkatkan risiko terkena stroke (Pinzon&Asanti,

2010).

b.6. Obesitas

Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki risiko yang tinggi untuk

menderita stroke. Penelitian Oki, dkk (2006) menyimpulkan bahwa seseorang

dengan indeks massa tubuh ≥ 30 memiliki risiko stroke 2,46 kali disbanding

yang memiliki indeks massa tubuh < 30 (Pinzon&Asanti, 2010).

Berbagai faktor risiko stroke harus dikenali dan diobati pada saat pasien

masuk RS. Pengendalian faktor risiko mutlak diperlukan untuk mencegah serangan

stroke ulang. Hipertensi, diabetes, dislipidemia, merokok, dan faktor lain harus

dikenali dan dicari penanganannya.

2.2. Perilaku Kesehatan Dalam Upaya Pencegahan Stroke 2.2.1. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)

terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan, serta lingkungan.

Secara lebih rinci perilaku kesehatan itu mencakup ; (1) perilaku seseorang

(8)

perilaku terhadap makanan (nutrition behavior); dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior).

Dari empat cakupan perilaku kesehatan tersebut di atas, perilaku yang terkait

dengan penelitian ini adalah perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Orang

yang sakit akan menyebabkan perubahan peranannya di dalam masyarakat maupun di

dalam lingkungan keluarga. Jelasnya, orang yang sakit memasuki posisi baru menurut

suatu peranan yang baru pula. Peranan baru bagi orang sakit (pasien) harus mendapat

pengakuan dan dukungan dari anggota masyarakat dan anggota keluarga yang sehat

secara wajar. Sebab dengan sakitnya salah satu anggota keluarga atau anggota

masyarakat maka akan ada lowongan posisi yang berarti juga mekanisme sistem di

dalam keluarga atau masyarakat tersebut akan terganggu (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Becker (1979) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2003), perilaku

sakit ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap

sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala sakit, pengobatan penyakit, dan

usaha-usaha untuk mencegah penyakit (Maulana, 2009). Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa usaha pencegahan penyakit merupakan salah bentuk dari perilaku

kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat faktor-faktor yang memengaruhi

perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain

dijelaskan dari Teori Lawrence Green (1980), Snehandu B.Kar (1983) dan WHO

(9)

a. Teori Lawrence Green

Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a.1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan

kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan,

sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial

ekonomi, dan sebagainya.

a.2. Faktor pendukung (Enabling factor) antara lain ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

a.3. Faktor pendorong (Reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat

perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami/istri, orang tua

tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

b. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa

perilaku itu merupakan fungsi dari :

b.1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan

kesehatannya (behavior intention).

b.2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

b.3. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan

(accessibility of information).

b.4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau

(10)

b.5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

c. Teori WHO

Tim kerja dari WHO mengenalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu

berprilaku tertentu karena adanya 4 alasan pokok. yaitu :

c.1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.

c.2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

c.3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak

atau sedikitnya pengalaman seseorang.

c.4. Nilai (value).

Dari ketiga teori perilaku kesehatan tersebut, teori Snehandu B. Kar jelas

menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan

seseorang adalah adanya dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitar.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang

dapat memberi dukungan pada penderita pasca stroke.

2.2.2. Upaya Pencegahan Stroke

Dalam kesehatan masyarakat ada lima tingkatan pencegahan penyakit dari

Leavel & Clark, yaitu :

1) Peningkatan kesehatan.

2) Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu.

(11)

4) Pembatasan kecacatan.

5) Pemulihan kesehatan.

Peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap

penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit

(pre-patogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer. Penegakan diagnosa secara dini

dan pengobatan yang cepat dan tepat, pembatasan kecacatan dan pemulihan

kesehatan adalah usaha-usaha yang dilakukan pada waktu sakit (patogenesis).

Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat disebut dengan

pencegahan sekunder (seconder prevention), sedangkan pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan disebut pencegahan tersier (tertiary prevention) (Effendy,

1998).

Pencegahan stroke dapat dilakukan dengan menjaga kebiasaan hidup sehat.

Kebiasaan hidup sehat itu disebut juga paradigma hidup sehat, yang berisi anjuran :

1) Hentikan merokok,

2) Hentikan kebiasaan minum alkohol,

3) Periksa kadar kolesterol,

4) Periksa dan kontrol penyakit diabetes,

5) Berolahraga secara teratur,

6) Kontrol konsumsi garam,

7) Hindari stres dan depresi,

(12)

Kontrol terhadap penyakit vaskular, seperti :

1) Hipertensi

Hipertensi harus diatasi untuk mencegah terjadinya serangan ulang stroke.

Menurut Canadian Hypertension Education Program (CHEP), target tekanan darah untuk pencegahan stroke adalah <140/90mmHg (135/85mmHg untuk

pengukuran di rumah).

2) Diabetes

Pada penderita diabetes, tekanan darah tetap kita kontrol dan nilainya

<130/80mmHg. Selain itu, kontrol yang paling penting adalah kontrol terhadap

kadar glukosa dan dianjurkan mencapai nilai hampir normal untuk mengurangi

komplikasi vaskular. Menurut Canadian Diabetes Association, target untuk kadar gula darah adalah 4.0-7.0mmol/L saat puasa dan 5.0-10.0mmol/L 2 jam

setelah makan.

3) Kolesterol

Pasien dengan kadar Low Density Lipoproteins-Cholesterol (LDL-C) >2.0 mmol/L harus dilakukan modifikasi gaya hidup, diet, dan pengobatan dengan

statin. Hal ini dilakukan sampai didapati kadar LDL-C <2.0 mmol/L.

Kontrol terhadap perilaku yang bisa diubah :

1) Merokok

Semua penderita stroke yang merokok harus dianjurkan berhenti merokok. Hal

ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi tambahan berupa terapi pengganti

(13)

2) Alkohol

Pasien yang merupakan peminum berat seharusnya berhenti atau mengurangi

konsumsi alkohol sampai ke titik yang aman, yaitu berkisar 14 minuman dalam 1

minggu untuk pria dan 9 minuman untuk wanita. Tetapi, titik aman tersebut tidak

sama untuk semua orang sehingga berhenti mengkonsumsi alkohol lebih baik.

3) Obesitas

Penurunan berat badan merupakan hal yang dianjurkan sampai dicapai BMI

18.5-24.9kg/m2 dan lingkar pinggang <88 cm untuk wanita dan <102 cm untuk

pria. Konsumsi makanan rendah lemak dan natrium, dan banyak konsumsi buah

dan sayur dianjurkan.

4) Aktivitas fisik

Bagi penderita stroke yang mampu melakukan aktivitas fisik, latihan fisik 30-60

menit seperti berjalan, jogging, bersepeda selama 4-7 hari dalam seminggu dapat

mengurangi faktor risiko dan faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian

stroke (APSS, 2007 dan AHA, 2006).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko stroke

yang dipunyai harus ditanggulangi dengan baik, karena penanganan yang tepat dari

faktor risiko tersebut sangat penting untuk prevensi sekunder. Pada kelompok risiko

tinggi, setelah terjadi serangan stroke seharusnya menjadi target penanganan secara

(14)

2.3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga 2.3.1. Definisi Keluarga

Banyak ahli mendefinisikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan

sosial di masyarakat, akan tetapi dari berbagai macam definisi tersebut ada satu

kesatuan yang dapat diambil kesimpulan. Berikut ini akan dikemukakan definisi

keluarga menurut beberapa ahli (Setyowati dan Murwani, 2008).

1) Duvall dan Logan (1986) menguraikan definisi keluarga adalah “Sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk

menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan

fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga”.

2) Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan sebagai berikut: “Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya

hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu

dengan yang lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan

serta mempertahakan suatu budaya”.

3) Spredley dan Allender (1996), keluarga adalah satu atau lebih individu yang

tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional dan mengembangkan

dalam interaksi sosial, peran, dan tugas.

4) BKKBN (1992), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri

dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu

dan anaknya.

(15)

1) Terdiri dari dua atau lebih individu yang diiikat oleh hubungan perkawinan

atau adopsi.

2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama atau jika terpisah mereka

tetap memperhatikan satu sama lain.

3) Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai

peran sosial suami, istri, anak, kakak, adik.

4) Mempunyai tujuan antara lain ; menciptakan dan mempertahankan budaya,

serta meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.

Tipe-tipe keluarga secara umum yang dikemukakan untuk mempermudah

pemahaman terhadap literature tentang keluarga (Friedman, 1998):

1) Keluarga inti (conjugal) yaitu keluarga yang menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah, terdiri dari suami, istri,dan anak, anak kandung, anak adopsi

atau keduanya.

2) Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang di dalamnya

seseorang dilahirkan.

3) Keluarga besar yaitu keluarga inti dan orang- orang yang berhubungan oleh

darah yang paling lazim menjadi anggota keluarga orientasi yang salah satu

teman keluarga inti, termasuk sanak keluarga kakek/nenek, tante, paman, dan

sepupu.

Berdasarkan beberapa definisi keluarga di atas dapat disimpulkan bahwa

(16)

orientasi yang berkumpul sebagai keluarga besar dimana salah satunya pernah

terserang stroke dan masih mengikuti program rawat jalan di rumah sakit.

2.3.2. Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga a. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau

sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Terdapat beberapa fungsi keluarga

menurut Friedman dalam Setiawati & Dermawan (2005) yaitu:

a.1. Fungsi afektif

Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan

pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan respon dari

keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami setiap anggota keluarga baik

senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan

kasih sayang.

a.2. Fungsi sosialisasi

Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak,

membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku

yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga

memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar disiplin, mengenal

budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu

berperan dalam masyarakat.

(17)

Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam

melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin

pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental, dan spiritual, dengan cara

memelihara dan merawat anggota keluarga serta menngenali kondisi sakit tiap

anggota keluarga.

a.4. Fungsi ekonomi

Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan,

papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. Mencari

sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan

penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

a.5. Fungsi biologis

Fungsi biologis, bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk

memelihara dan membesarkan anak dan kelanjutan generasi selanjutnya.

a.6. Fungsi psikologis

Fungsi psikologis, terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih saying dan

rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina

pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.

a.7. Fungsi pendidikan

Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan,

keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan

(18)

Dari uraian tentang fungsi-fungsi keluarga tersebut dapat diketahui bahwa

keluarga memiliki peranan penting dalam membantu anggota keluarga yang

mengalami gangguan kesehatan termasuk anggota keluarga setelah terserang stroke

karena mereka membutuhkan perhatian baik secara moril maupun materil. Keluarga

dapat menjalankan berbagai fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi afektif, perawatan

kesehatan, ekonomi dan psikologis.

b. Tugas Kesehatan Keluarga

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di

bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman dalam Setiadi (2008)

membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu:

b.1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung

menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya

perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan

seberapa besar perubahannya.

b.2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan

yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara

keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan

keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan

(19)

b.3. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat

membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.

Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan

melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau ke pelayanan kesehatan

untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak

terjadi.

b.4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga.

b.5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan

(pemanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada).

Menurut Effendy (1998) pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas

pokok sebagai berikut :

1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya

masing-masing.

4) Sosialisasi antar anggota keluarga.

5) Pengaturan jumlah anggota keluarga.

6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.

7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

(20)

Berdasarkan uraian tugas-tugas keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa

keluarga bertanggung jawab atas kondisi kesehatan anggota keluarganya, apalagi jika

anggota keluarga menderita stroke. Stroke termasuk penyakit yang berat karena

membuat penderitanya bergantung pada orang lain karena ketidakberdayaan yang

disebabkan penyakit tersebut. Keluarga hendaknya mengetahui penyakit yang diderita

anggota keluarga, agar bisa mengambil tindakan segera untuk menghindari

keterlambatan pertolongan dan mengurangi tingkat keparahannya.

2.3.3. Bentuk Dukungan Sosial Keluarga

Menurut Sarwono (2003) dukungan adalah suatu upaya yang diberikan

kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam

melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001) dukungan yaitu suatu usaha untuk

menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu. Sarafino (1990)

mengatakan bahwa kebutuhan, kemampuan, dan sumber dukungan mengalami

perubahan sepanjang kehidupan seseorang. Keluarga merupakan lingkungan pertama

yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya.

Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dengan

dukungan sosial sebagai koping keluarga. Baik dukungan-dukungan sosial keluarga

yang eksternal maupun internal terbukti bermanfaat. Friedman (1998) menjelaskan

bahwa dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan; sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap

(21)

Friedman (1998) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga mengacu

kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai

sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak

digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung

selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).

Menurut Taylor (1995), dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat

diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana

membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan tentram.

Menurut Caplan dalam Friedman (1998) dukungan sosial memiliki beberapa

fungsi dukungan yaitu:

1) Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan

diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian

saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.

2) Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,

membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator

indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

3) Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis

dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan

minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

4) Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk

(22)

Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam

bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Menurut Nursalam (2006) yang mengutip dari House dalam Depkes (2002)

membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial menjadi:

1) Dukungan Emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang

bersangkutan.

2) Dukungan Penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu,

dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan

perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang

mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).

3) Dukungan Instrumental

Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada

orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada

orang yang tidak punya pekerjaan.

4) Dukungan Informatif

Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta

petunjuk.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dukungan sosial

keluarga pada penderita pasca stroke sangat bermanfaat dalam pengendalian diri

(23)

tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada diri penderita akibat

penyakit stroke. Dukungan tersebut berupa dorongan, motivasi, empati, ataupun

bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman.

Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang dukungan sosial keluarga

pada anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu. Hasil penelitian Sebayang

(2011) mengungkapkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu sumber

penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan

seseorang. Dalam penelitiannya tersebut diungkapkan bahwa dukungan sosial

keluarga memiliki hubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia

paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (p= 0,028 ρ =-0,388). Oleh karena itu, disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan

pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia

paranoid dengan baik di rumah.

Hasil penelitian lainnya oleh Sundari (2011) menunjukkan bahwa hampir

seluruh responden (85%) dukungan sosialnya baik dan hampir seluruhnya (85%) juga

memiliki tingkat kepatuhan yang baik dalam menjalani terapi hemodialisis. Dari hasil

uji didapat nilai ρ< 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan klien gagal ginjal kronik dalam

menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisa Siloam Hospitals Surabaya.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa semakin baik dukungan keluarga

(24)

memotivasi keluarga pasien untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien

hemodialisa sehingga patuh dalam melakukan terapi hemodialisis.

2.3.4. Sumber Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti

dukungan dari suami/istri, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan

keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah

jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga inti itu

sendiri (Friedman, 1998).

Coyne & De longis dalam Lubis, N.L (2009) mengungkapkan bahwa

mungkin di satu pihak, bagi mereka yang telah menikah, significant others baginya

adalah pendamping hidupnya, karena pendamping hidup dapat dipandang sebagai

orang yang paling dapat memberikan dukungan disebabkan kedekatan emosional.

Namun di pihak lain mungkin berbeda, pasangan hidup mungkin tidak dapat saling

membantu, bahkan sebaliknya dapat menimbulkan konflik bagi penerima dukungan.

Tanakusuma mengisahkan pengalamannya sebagai seseorang yang pernah

menderita stroke, bahwa dukungan keluarga sangatlah besar, terutama dukungan istri

dan anak-anak. Bahkan sampai saat ini istrinya tetap menemani setiap kali hendak

pergi ke klub stroke dan mendampinginya mengikuti senam stroke. Begitu juga

halnya dengan Mariani seorang pensiunan dosen FISIP UI yang pernah terserang

stroke. Ia memperoleh dukungan dari anak dan keluarga besarnya. Mereka

(25)

Penyembuhan stroke membutuhkan biaya besar, maka perhatian dan bantuan dari

keluarga amat dibutuhkan (Adinda, 2009).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui

sumber-sumber dukungan keluarga yang ada maka kita dapat mengetahui sumber-sumber-sumber-sumber

dukungan yang efektif dan diperlukan oleh anggota keluarga yang pernah terserang

stroke. Keluarga dapat mendorong anggota keluarga pasca stroke untuk

mengkomunikasikan kesulitan-kesulitan pribadi secara bebas, diberi nasehat-nasehat

dan bimbingan pribadi sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi keluarga.

2.3.5. Dukungan Keluarga Terhadap Penderita Pasca Stroke

Menurut Friedman (1998), manajemen terhadap sakit yang kronis adalah

sebuah contoh kasus yang menunjukkan berbagai kemampuan keluarga dalam

memberikan dukungan. Penyakit kronis biasanya menuntut pengorbanan ekonomi,

sosial dan psikologis. Peran keluarga berbeda-beda, tergantung pada sifat bantuan

yang dibutuhkan. Sanak saudara dari keluarga besar terbukti dalam studi-studi riset

sebagai tempat permintaan bantuan bencana, bantuan keuangan, bantuan untuk krisis

jangka panjang, dan masalah-masalah yang lebih serius.

Setelah menjalani perawatan di RS, ada 3 kemungkinan yang dialami oleh

pasien stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3) sembuh

dengan kecacatan. Penelitian menunjukkan angka kematian pada stroke berkisar

antara 10%-30%. Sebagian kematian dialami dalam waktu 72 jam setelah serangan

stroke, dan pada umumnya berhubungan langsung dengan strokenya (stroke yang

(26)

maka ada 70%-90% penderita yang hidup pasca stroke. Mereka ini disebut dengan

stroke survivors.

Bagi para stroke survivor, masalah belumlah selesai. Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi para stroke survivors, pencegahan serangan stroke ulang dan penanganan gejala sisa stroke merupakan hal yang utama.

Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi, kepikunan, gangguan gerak, nyeri,

epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan. Penanganan bersifat individual

sesuai kondisi pasien.

Salah satu gejala sisa yang sering dialami pasien stroke adalah kepikunan.

Kepikunan (demensia) akibat stroke dapat terjadi dengan segera, atau bertahap

sampai dengan 3 bulan pasca stroke. Kejadian demensia pasca stroke adalah berkisar

antara 6%-32%. Usia yang tua, hipertensi, dan dislipidemia merupakan faktor yang

berperan besar untuk munculnya pikun pasca stroke. Pikun lebih sering dijumpai

pada stroke di otak besar (cerebrum) dibanding otak kecil (cerebelum) (Henon,

2006). Penelitian Rasquin, dkk (2005) pada 156 pasien stroke menunjukkan bahwa

gangguan memori dijumpai pada 23,4% (hampir seperempat dari seluruh pasien

stroke) dalam 1 bulan pasca stroke. Gangguan lain yang seringkali teramati adalah

gangguan bicara (18,6%), gangguan berhitung (51,6%), dan depresi (49%).

Kecacatan pasca stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien

untuk melanjutkan fungsinya kembali seperti sebelum sakit, dan kemampuan pasien

untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien

(27)

Tabel 2.2. Skala Rankin Untuk Kecacatan Stroke

1 Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa

2 Disabilitas ringan, tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

3 Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi dapat berjalan tanpa bantuan

4 Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan

5 Disabilitas berat, di tempat tidur, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian

Menurut Silaen, dkk (2008) setelah awal masa rawat inap dan rehabilitasi

stroke, 80% dari penderita stroke yang bertahan hidup kembali ke komunitas,

bergantung pada emosi anggota keluarga, informasi dan bantuan peralatan untuk

hidup sehari-hari. Pengasuh pasien stroke atau keluarga harus berhadapan bukan

hanya dengan kesulitan dalam pergerakan, merawat diri dan komunikasi, tetapi juga

gangguan kognitif, depresi dan perubahan kepribadian.

Kerusakan otak pasca stroke bagi penderita meminta perhatian besar baik bagi

penderita, keluarga dan masyarakat kerena menghambat kemampuan fungsional

mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri : kegiatan sehari-hari dan berkomunikasi.

Bagi penderita, mengalami stroke merupakan pukulan bagi dirinya yang

menimbulkan krisis sosial dan emosional. Ia ingin mendapatkan informasi yang lebih

jelas mengenai masalah kesehatannya, implikasinya serta petunjuk penyesuaian

(28)

Penderita yang tadinya aktif, dapat bekerja, dapat berjalan, berbicara,

memberi nasehat, memberi biaya, tiba-tiba tidak berdaya, pingsan, lemah, tergeletak

di tempat tidur, harus menginap di rumah sakit. Penyakit ini memaksa penderita

menjadi tergantung kepada orang lain, dalam kebutuhan dasar tertentu juga

menimbulkan depresi dan berkurangnya harga diri. Mungkin penderita tidak mampu

lagi membiayai dirinya sendiri dan tanggungan (bagi kepala keluarga) jika

anak-anaknya masih belum dewasa dan mandiri ( Lumban Tobing, 1998).

Kadang-kadang ada usulan dari pihak keluarga untuk menambah pengobatan

dari luar medis, hal ini harus di bicarakan dahulu dengan dokter yang merawat.

Terkadang timbul pertentangan antara keluarga dan dokter karena bisa

mengakibatkan komplikasi pada penderita sehingga mengakibatkan pulang paksa,

pindah rumah sakit atau minta ganti dokter (Harsono, 2000).

Sangat diharapkan bahwa keluarga dapat membantu pemulihan penderita

stroke. Untuk itu terlebih dahulu diperlukan sikap saling pengertian antara dokter,

perawat, fisioterapist, tim rehabilitasi lainnya dengan keluarga perihal keadaan penderita. Tidak jarang terjadi keadaan buntu yang mengakibatkan pulang paksa,

keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Yang sering terjadi adalah dana yang

kurang untuk membiayai pengobatan. Biasanya hal ini berakhir pada hak sepenuhnya

pada penderita atau keluarga (Harsono, 2000).

Pentingnya peran keluarga dalam perawatan penderita pasca stroke dapat

(29)

1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal

dengan lingkungannya.

2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada

salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi

keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada

anggota.

3) Berbagai pelayanan kesehatan bukan tempat penderita seumur hidup tetapi hanya

fasilitas yang membantu pasien dan keluarga mengembangkan kemampuan

dalam mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah dan

mempertahankan keadaan adaptif.

4) Salah satu faktor penyebab terjadinya stroke berulang adalah keluarga tidak tahu

cara menangani perilaku penderita di rumah (Irdawati, 2009).

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga berperan penting

dalam proses pemulihan dan penyesuaian kembali setiap penderita stroke. Oleh

karena itu, peran serta keluarga dalam proses pemeliharaan dan pencegahan

terjadinya serangan ulang sangat diperlukan.

Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan keluarga yang diungkapkan oleh

Friedman (1998), maka bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh keluarga kepada

para stroke survivor antara lain :

1) Dukungan informasional

Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu

(30)

yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat,

saran, petunjuk dan pemberian informasi. Untuk pasien stroke diberikan

informasi oleh keluarganya tentang: penyakit stroke serta pengelolaannya.

2) Dukungan penilaian

Keluarga memberikan support, penghargaan, perhatian kepada anggota keluarga

yang pernah mengalami stroke. Menurut Cohen dan Mc Kay dalam Niven

(2000), dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi

penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang

dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan

positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau

perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi

koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang

berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok

dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan

keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali

situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai

pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga

diri pasien.

3) Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya

keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan

(31)

juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,

modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan pada saat penderita

mengalami stress. Sheridan & Radmacher, dkk (1992) juga menambahkan bahwa

keluarga juga bisa memberikan pertolongan langsung seperti pemberian uang,

pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk ini dapat mengurangi stres

karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang behubungan

dengan materi.

4) Dukungan emosional

Keluarga memberikan dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya

kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan sehingga penderita

pasca stroke merasa nyaman dan aman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam

situasi-situasi stress. Arief (2008) mengatakan dalam situs online

healthyguidenews bahwa penderita pasca serangan stroke lebih cenderung sensitif dan mudah tersinggung atau bahkan mengalami depresi akibat merasa

tidak berguna bagi keluarga atau lingkungannya. Peran keluarga dalam kaitan

ikatan persaudaraan dan ikatan emosional biasanya memiliki peranan yang

sangat besar dalam membantu proses penyembuhan. Seluruh anggota keluarga

tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang membuat perasaan tersinggung bagi

penderita pasca stroke untuk menciptakan suasana keakraban dan kebahagiaan.

Berdasarkan hasil penelitian Widayati (2010) tentang pengalaman keluarga

(32)

adanya motivasi keluarga sebagai caregiver untuk kesembuhan penderita dan kecacatan penderita pasca stroke yang membutuhkan bantuan. Upaya yang dilakukan

keluarga untuk mencapai perbaikan penderita pasca stroke adalah dengan pengobatan

medis, herbal, alternatif dan perawatan di rumah. Hasil perawatan dan pengobatan

menunjukkan perkembangan yang menuju perbaikan kondisi penderita pasca stroke.

Kendala yang dialami keluarga dalam merawat penderita pasca stroke adalah

kesulitan ekonomi, kesulitan mencari pengobatan dan kurangnya dukungan dari pihak

lain. Meskipun demikian, keluarga tetap berusaha merawat dan menghadapi berbagai

kendala tersebut. Untuk itu diharapkan kepada tenaga kesehatan memberikan

penyuluhan dan dukungan kepada keluarga sebagai caregiver pada penderita pasca

stroke.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga terhadap

pasien stroke baik fase akut maupun pasca stroke sangat dibutuhkan untuk mencapai

proses penyembuhan/pemulihan. Dukungan keluarga memainkan peran penting

dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang

supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya.

Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik.

Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi

masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan

(33)

2.4. Landasan Teori

Pinzon & Asanti (2010) mengungkap bahwa faktor risiko stroke dibagi

menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat

diubah. Faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras,

riwayat keluarga dan riwayat stroke sebelumnya, sedangkan faktor risiko stroke yang

dapat diubah yaitu hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan obesitas.

Faktor risiko stroke yang dapat diubah tersebut dapat dikendalikan melalui perilaku

kesehatan dalam mencegah terjadinya stroke berulang.

Berdasarkan teori Snehandu B. Kar perilaku kesehatan seseorang dapat

dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial (social support) dari masyarakat sekitarnya.

Sumber-sumber dukungan sosial tersebut banyak diperoleh individu dari lingkungan

terdekat yaitu keluarga.

Menurut Friedman (1998), keluarga adalah dua orang atau lebih yang

disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan yang

mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.

Friedman dalam Setiadi & Dermawan (2005) mengungkapkan bahwa

keluarga memiliki beberapa fungsi salah satunya adalah fungsi perawatan kesehatan.

Keluarga bertanggung jawab untuk melindungi keamanan dan kesehatan seluruh

anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental,

dan spiritual, dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali

(34)

Selanjutnya, Keliat (1996) mengungkapkan bahwa dalam keadaan sehat-sakit

tersebut, keluarga memiliki peran sistem pendukung utama bagi anggota keluarganya.

Caplan dalam Friedman (1998) membagi bentuk-bentuk dukungan sosial tersebut

dalam bentuk :

1) Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan

diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang

pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan

suatu masalah.

2) Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan

balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan

validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.

3) Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan

praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan

makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.

4) Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk

istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.

Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam

bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan

(35)

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Independent Variabel Antara Variabel Dependent

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep di atas menggambarkan bahwa dukungan sosial yang

diberikan keluarga yang terdiri dari dukungan informasional, dukungan penilaian,

dukungan instrumental dan dukungan emosional dapat mempengaruhi terjadinya

stroke berulang melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh penderita stroke. Kasus

Pencegahan Stroke Berulang

Kontrol Dukungan Sosial Keluarga

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Menurut IAI dalam PSA No.30 membahas mengenai pertimbangan auditor atas kemampuan entitas dalam mempertahankan going concern pada paragraf 2, yaitu: ”Auditor bertanggungjawab

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak pelecehan seksual terhadap perempuan dalam penelitian ini adalah semua

Penelitian ini berjudul &#34;Pengaruh Gaya Kepemimpinan Wanita terhadap Kinerja Guru SMP pada Yayasan Pendidikan Tungal Alas (YPTA) Kota Cane &#34;.. Tujuan Penelitia ini adalah

Hasil penelitian yang di lakukan oleh peneliti didapatkan sebagian besar responden pola pemberian ASInya masih dalam kategori cukup, yaitu 17 (42,5%) ibu menyusui, menyusui

Percobaan yang ttlah dilckukan dlmakendkan untnk meaqparoleh sedlklt gaabaran tentang adanya kentinRklnan kenalkan kadar Pb dalam air sent dari subyek yang sa- ring kontak

Penanganan fisioterapi yang dapat dilakukan pada pasien yang mengalami inkontinensia urin meliputi kegel exercise dan core stability exercise, kegel exercise adalah

Pada Gambar 20, dapat dilihat bahwa penyebaran reservoar batupasir dengan menggunakan metode seismik inversi impedansi akustik dan seismik multiatribut saling

meningkatkan hasil belajar matematika pengolahan data dengan menggunakan strategi pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) agar siswa lebih memahami