BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi Stroke
Menurut Sofwan (2010), stroke dalam bahasa Inggris berarti “pukulan”. Ada banyak sekali terminologi dan definisi stroke. Salah satunya, stroke adalah sindrom
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut,
disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologi dan bukan sebagai akibat tumor,
trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat (Dewanto, G, dkk, 2009).
Pinzon & Asanti (2010) mendefinisikan stroke sebagai defisit (gangguan)
fungsi sistem syaraf yang terjadi mendadak dan disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak. Gangguan peredaran otak dapat berupa tersumbatnya pembuluh darah
otak atau pecahnya pembuluhnya darah di otak.
WHO mendefinisikan stroke sebagai gangguan saraf yang menetap baik fokal
maupun global (menyeluruh) yang disebabkan gangguan aliran darah otak, yang
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah di otak yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih (Sutrisno, 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa stroke adalah gangguan aliran suplai darah ke
otak yang terjadi secara mendadak yang dapat menimbulkan kecacatan menetap atau
2.1.2. Klasifikasi Stroke
Menurut Michel dalam Pinzon & Asanti (2010), secara patologi ada dua
macam stroke, yaitu stroke sumbatan (stroke iskemik) dan stroke perdarahan (stroke
hemoragik). Stroke sumbatan terjadi ketika pembuluh darah ke otak mengalami
sumbatan. Stroke perdarahan terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menuju
ke otak.
Untuk lebih jelasnya pembagian stroke sebagai berikut (Sofyan, 2010) :
1) Stroke hemoragik
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan karena adanya pembuluh darah
dalam otak yang pecah sehingga darah yang keluar dari pembuluh darah tersebut
dipaksa masuk ke dalam jaringan otak, kemudian merusak sel-sel otak di daerah
tertentu, sehingga pada akhirnya bagian otak yang terkena tidak dapat berfungsi
dengan baik. Stroke hemoragik terbagi lagi menjadi dua tipe yaitu (1) Perdarahan
Subaraknoid (PSA); dan (2) Perdarahan Intraserebral (PIS).
2) Stroke iskemik
Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan karena adanya hambatan atau
sumbatan pada pembuluh darah otak tertentu sehingga daerah otak yang
diperdarahi oleh pembuluh darah tersebut tidak mendapat pasokan energy dan
oksigen, sehingga pada akhirnya jaringan sel-sel otak di daerah tersebut mati dan
tidak berfungsi lagi. Stroke iskemik dibagi menjadi beberapa tipe menurut
lakunar (terjadi di pembuluh darah yang kecil) dan emboli serebral (terjadi
karena adanya gumpalan darah/bekuan darah).
2.1.3. Faktor Risiko Stroke
Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke. Faktor risiko
stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor
risiko yang dapat diubah.
Tabel 2.1. Faktor Risiko Stroke
Faktor yang Tidak Dapat Diubah Faktor yang Dapat Diubah
Usia tua Hipertensi
Jenis kelamin laki-laki Diabetes Melitus
Ras Dislipidemia
Riwayat keluarga Merokok
Riwayat stroke sebelumnya Obesitas
Sumber : Pinzon & Asanti, 2010
Untuk lebih jelasnya faktor-faktor risiko stroke tersebut diuraikan sebagai
berikut (Wahyu, 2009) dan (Pinzon&Asanti, 2010) :
a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a.1. Usia
Meskipun stroke dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa mereka yang
berusia lanjut lebih berisiko terserang penyakit yang berpotensi mematikan
dan menimbulkan kecacatan tetap. Setelah mencapai usia 55 tahun, risiko
stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga
kasus stroke diidap oleh mereka yang berusia 65 tahun. Hal yang serupa juga
akan semakin mudah terserang stroke. Stroke dapat terjadi pada semua usia,
namun lebih dari 70% kasus stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun.
a.2. Jenis Kelamin
Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa laki-laki berisiko terserang stroke dibandingkan wanita.
Namun, kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita
dibandingkan laki-laki karena umumnya wanita terserang stroke pada usia
yang lebih tua. Pinzon & Asanti (2010) juga mengatakan bahwa laki-laki
lebih mudah terkena stroke. Hal ini dikarenakan lebih tingginya angka
kejadian faktor risiko stroke (hipertensi) pada laki-laki.
a.3. Riwayat Keluarga
Faktor genetik di dalam keluarga juga merupakan faktor risiko stroke.
Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi diketahui dapat
diturunkan secara genetik dari seseorang kepada keturunannya. Hertzberg,
dkk dalam Pinzon & Asanti (200) mengungkapkan bahwa risiko stroke
meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang dengan
riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan hipertensi.
Hal ini mendukung hipotesis bahwa peningkatan kejadian stroke pada
keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya faktor risiko stroke.
a.4. Ras atau Etnis
Insidensi dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada
Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui
dengan pasti. Pinzon & Asanti (2010) mengatakan bahwa kejadian stroke
pada ras kulit berwarna lebih tinggi dari kaukasoid.
b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah
b.1. Hipertensi
Pada kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkat melebihi batas normal.
Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung dalam
jangka waktu lama dan tidak diobati dapat berisiko menimbulkan berbagai
penyakit, seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal
ginjal maupun stroke (Wahyu, 2009).
Seseorang disebut mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih dari
140/90 mmHg atau lebih dari 135/85 mmHg pada individu yang mengalami
gagal jantung, insufisiensi ginjal, atau diabetes mellitus. Hipertensi
meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada factor risiko
lainnya (Pinzon&Asanti, 2010).
b.2. Merokok
Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan
risiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu
peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan
penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Merokok meningkatkan risiko
stroke sampai dua kali lipat. Ada hubungan yang linier antara jumlah batang
dalam Pinzon&Asanti (2010), risiko stroke akan bertambah 1,5 kali setiap
penambahan 10 batang rokok per hari.
b.3. Penyakit jantung
Jenis penyakit atau kelainan jantung yang meningkatkan risiko stroke adalah
aritmia jantung. Aritmia merupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung
yang tidak teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi menimbulkan suatu
bekuan sel trombosit (tromboemboli), yang dapat bermigrasi dari jantung dan
menyumbat arteri di otak, menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli.
b.4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkatkan faktor risiko terjadinya
stroke. Hal ini disebabkan oleh penyakit metabolisme ini mengakibatkan
terjadinya kerusakan dinding arteri, baik yang berukuran besar
(makroangiopati) maupun kecil (mikroangiopati). Dinding arteri yang
mengalami kerusakan ini akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel-sel
trombosit, kolesterol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos di dinding
arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik.
b.5. Dislipidemia
Kolesterol dibentuk di dalam tubuh, yang terdiri dari dua bagian utama yaitu
kolesterol LDL dan kolesterol HDL. Kolesterol LDL disebut sebagai
“kolesterol jahat”, yang membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jumlah
kolesterol LDL yang tinggi akan menyebabkan penimbunan kolesterol di
(pengerasan dinding pembuluh darah arteri). Proses atherosclerosis akan
menimbulkan komplikasi pada organ target (jantung, otak, dan ginjal). Proses
tersebut pada otak akan meningkatkan risiko terkena stroke (Pinzon&Asanti,
2010).
b.6. Obesitas
Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki risiko yang tinggi untuk
menderita stroke. Penelitian Oki, dkk (2006) menyimpulkan bahwa seseorang
dengan indeks massa tubuh ≥ 30 memiliki risiko stroke 2,46 kali disbanding
yang memiliki indeks massa tubuh < 30 (Pinzon&Asanti, 2010).
Berbagai faktor risiko stroke harus dikenali dan diobati pada saat pasien
masuk RS. Pengendalian faktor risiko mutlak diperlukan untuk mencegah serangan
stroke ulang. Hipertensi, diabetes, dislipidemia, merokok, dan faktor lain harus
dikenali dan dicari penanganannya.
2.2. Perilaku Kesehatan Dalam Upaya Pencegahan Stroke 2.2.1. Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, serta lingkungan.
Secara lebih rinci perilaku kesehatan itu mencakup ; (1) perilaku seseorang
perilaku terhadap makanan (nutrition behavior); dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior).
Dari empat cakupan perilaku kesehatan tersebut di atas, perilaku yang terkait
dengan penelitian ini adalah perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Orang
yang sakit akan menyebabkan perubahan peranannya di dalam masyarakat maupun di
dalam lingkungan keluarga. Jelasnya, orang yang sakit memasuki posisi baru menurut
suatu peranan yang baru pula. Peranan baru bagi orang sakit (pasien) harus mendapat
pengakuan dan dukungan dari anggota masyarakat dan anggota keluarga yang sehat
secara wajar. Sebab dengan sakitnya salah satu anggota keluarga atau anggota
masyarakat maka akan ada lowongan posisi yang berarti juga mekanisme sistem di
dalam keluarga atau masyarakat tersebut akan terganggu (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Becker (1979) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2003), perilaku
sakit ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap
sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala sakit, pengobatan penyakit, dan
usaha-usaha untuk mencegah penyakit (Maulana, 2009). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa usaha pencegahan penyakit merupakan salah bentuk dari perilaku
kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat faktor-faktor yang memengaruhi
perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain
dijelaskan dari Teori Lawrence Green (1980), Snehandu B.Kar (1983) dan WHO
a. Teori Lawrence Green
Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
a.1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan
kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan,
sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi, dan sebagainya.
a.2. Faktor pendukung (Enabling factor) antara lain ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
a.3. Faktor pendorong (Reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat
perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami/istri, orang tua
tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.
b. Teori Snehandu B. Kar
Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa
perilaku itu merupakan fungsi dari :
b.1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior intention).
b.2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).
b.3. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessibility of information).
b.4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau
b.5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).
c. Teori WHO
Tim kerja dari WHO mengenalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu
berprilaku tertentu karena adanya 4 alasan pokok. yaitu :
c.1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
c.2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada
pengalaman orang lain.
c.3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak
atau sedikitnya pengalaman seseorang.
c.4. Nilai (value).
Dari ketiga teori perilaku kesehatan tersebut, teori Snehandu B. Kar jelas
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan
seseorang adalah adanya dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitar.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang
dapat memberi dukungan pada penderita pasca stroke.
2.2.2. Upaya Pencegahan Stroke
Dalam kesehatan masyarakat ada lima tingkatan pencegahan penyakit dari
Leavel & Clark, yaitu :
1) Peningkatan kesehatan.
2) Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu.
4) Pembatasan kecacatan.
5) Pemulihan kesehatan.
Peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap
penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit
(pre-patogenesis), dan disebut dengan pencegahan primer. Penegakan diagnosa secara dini
dan pengobatan yang cepat dan tepat, pembatasan kecacatan dan pemulihan
kesehatan adalah usaha-usaha yang dilakukan pada waktu sakit (patogenesis).
Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat disebut dengan
pencegahan sekunder (seconder prevention), sedangkan pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan disebut pencegahan tersier (tertiary prevention) (Effendy,
1998).
Pencegahan stroke dapat dilakukan dengan menjaga kebiasaan hidup sehat.
Kebiasaan hidup sehat itu disebut juga paradigma hidup sehat, yang berisi anjuran :
1) Hentikan merokok,
2) Hentikan kebiasaan minum alkohol,
3) Periksa kadar kolesterol,
4) Periksa dan kontrol penyakit diabetes,
5) Berolahraga secara teratur,
6) Kontrol konsumsi garam,
7) Hindari stres dan depresi,
Kontrol terhadap penyakit vaskular, seperti :
1) Hipertensi
Hipertensi harus diatasi untuk mencegah terjadinya serangan ulang stroke.
Menurut Canadian Hypertension Education Program (CHEP), target tekanan darah untuk pencegahan stroke adalah <140/90mmHg (135/85mmHg untuk
pengukuran di rumah).
2) Diabetes
Pada penderita diabetes, tekanan darah tetap kita kontrol dan nilainya
<130/80mmHg. Selain itu, kontrol yang paling penting adalah kontrol terhadap
kadar glukosa dan dianjurkan mencapai nilai hampir normal untuk mengurangi
komplikasi vaskular. Menurut Canadian Diabetes Association, target untuk kadar gula darah adalah 4.0-7.0mmol/L saat puasa dan 5.0-10.0mmol/L 2 jam
setelah makan.
3) Kolesterol
Pasien dengan kadar Low Density Lipoproteins-Cholesterol (LDL-C) >2.0 mmol/L harus dilakukan modifikasi gaya hidup, diet, dan pengobatan dengan
statin. Hal ini dilakukan sampai didapati kadar LDL-C <2.0 mmol/L.
Kontrol terhadap perilaku yang bisa diubah :
1) Merokok
Semua penderita stroke yang merokok harus dianjurkan berhenti merokok. Hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi tambahan berupa terapi pengganti
2) Alkohol
Pasien yang merupakan peminum berat seharusnya berhenti atau mengurangi
konsumsi alkohol sampai ke titik yang aman, yaitu berkisar 14 minuman dalam 1
minggu untuk pria dan 9 minuman untuk wanita. Tetapi, titik aman tersebut tidak
sama untuk semua orang sehingga berhenti mengkonsumsi alkohol lebih baik.
3) Obesitas
Penurunan berat badan merupakan hal yang dianjurkan sampai dicapai BMI
18.5-24.9kg/m2 dan lingkar pinggang <88 cm untuk wanita dan <102 cm untuk
pria. Konsumsi makanan rendah lemak dan natrium, dan banyak konsumsi buah
dan sayur dianjurkan.
4) Aktivitas fisik
Bagi penderita stroke yang mampu melakukan aktivitas fisik, latihan fisik 30-60
menit seperti berjalan, jogging, bersepeda selama 4-7 hari dalam seminggu dapat
mengurangi faktor risiko dan faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian
stroke (APSS, 2007 dan AHA, 2006).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor risiko stroke
yang dipunyai harus ditanggulangi dengan baik, karena penanganan yang tepat dari
faktor risiko tersebut sangat penting untuk prevensi sekunder. Pada kelompok risiko
tinggi, setelah terjadi serangan stroke seharusnya menjadi target penanganan secara
2.3. Konsep Dukungan Sosial Keluarga 2.3.1. Definisi Keluarga
Banyak ahli mendefinisikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan
sosial di masyarakat, akan tetapi dari berbagai macam definisi tersebut ada satu
kesatuan yang dapat diambil kesimpulan. Berikut ini akan dikemukakan definisi
keluarga menurut beberapa ahli (Setyowati dan Murwani, 2008).
1) Duvall dan Logan (1986) menguraikan definisi keluarga adalah “Sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan
fisik, mental emosional serta sosial dari tiap anggota keluarga”.
2) Bailon dan Maglaya (1978) mendefinisikan sebagai berikut: “Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan
serta mempertahakan suatu budaya”.
3) Spredley dan Allender (1996), keluarga adalah satu atau lebih individu yang
tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional dan mengembangkan
dalam interaksi sosial, peran, dan tugas.
4) BKKBN (1992), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami-istri atau suami-istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu
dan anaknya.
1) Terdiri dari dua atau lebih individu yang diiikat oleh hubungan perkawinan
atau adopsi.
2) Anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama atau jika terpisah mereka
tetap memperhatikan satu sama lain.
3) Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai
peran sosial suami, istri, anak, kakak, adik.
4) Mempunyai tujuan antara lain ; menciptakan dan mempertahankan budaya,
serta meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial anggota.
Tipe-tipe keluarga secara umum yang dikemukakan untuk mempermudah
pemahaman terhadap literature tentang keluarga (Friedman, 1998):
1) Keluarga inti (conjugal) yaitu keluarga yang menikah, sebagai orang tua, atau pemberi nafkah, terdiri dari suami, istri,dan anak, anak kandung, anak adopsi
atau keduanya.
2) Keluarga orientasi (keluarga asal) yaitu unit keluarga yang di dalamnya
seseorang dilahirkan.
3) Keluarga besar yaitu keluarga inti dan orang- orang yang berhubungan oleh
darah yang paling lazim menjadi anggota keluarga orientasi yang salah satu
teman keluarga inti, termasuk sanak keluarga kakek/nenek, tante, paman, dan
sepupu.
Berdasarkan beberapa definisi keluarga di atas dapat disimpulkan bahwa
orientasi yang berkumpul sebagai keluarga besar dimana salah satunya pernah
terserang stroke dan masih mengikuti program rawat jalan di rumah sakit.
2.3.2. Fungsi dan Tugas Kesehatan Keluarga a. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau
sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Terdapat beberapa fungsi keluarga
menurut Friedman dalam Setiawati & Dermawan (2005) yaitu:
a.1. Fungsi afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan respon dari
keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami setiap anggota keluarga baik
senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan
kasih sayang.
a.2. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada anak,
membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku
yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga
memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar disiplin, mengenal
budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu
berperan dalam masyarakat.
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam
melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin
pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental, dan spiritual, dengan cara
memelihara dan merawat anggota keluarga serta menngenali kondisi sakit tiap
anggota keluarga.
a.4. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan,
papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga. Mencari
sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan
penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
a.5. Fungsi biologis
Fungsi biologis, bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturunan tetapi untuk
memelihara dan membesarkan anak dan kelanjutan generasi selanjutnya.
a.6. Fungsi psikologis
Fungsi psikologis, terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih saying dan
rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.
a.7. Fungsi pendidikan
Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan pengetahuan,
keterampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk kehidupan
Dari uraian tentang fungsi-fungsi keluarga tersebut dapat diketahui bahwa
keluarga memiliki peranan penting dalam membantu anggota keluarga yang
mengalami gangguan kesehatan termasuk anggota keluarga setelah terserang stroke
karena mereka membutuhkan perhatian baik secara moril maupun materil. Keluarga
dapat menjalankan berbagai fungsi-fungsi keluarga seperti fungsi afektif, perawatan
kesehatan, ekonomi dan psikologis.
b. Tugas Kesehatan Keluarga
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di
bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman dalam Setiadi (2008)
membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu:
b.1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung
menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya
perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan
seberapa besar perubahannya.
b.2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan
yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara
keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan
keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan
b.3. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat
membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan
melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau ke pelayanan kesehatan
untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak
terjadi.
b.4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarga.
b.5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan
(pemanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada).
Menurut Effendy (1998) pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas
pokok sebagai berikut :
1) Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.
2) Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.
3) Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya
masing-masing.
4) Sosialisasi antar anggota keluarga.
5) Pengaturan jumlah anggota keluarga.
6) Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga.
7) Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.
Berdasarkan uraian tugas-tugas keluarga tersebut dapat disimpulkan bahwa
keluarga bertanggung jawab atas kondisi kesehatan anggota keluarganya, apalagi jika
anggota keluarga menderita stroke. Stroke termasuk penyakit yang berat karena
membuat penderitanya bergantung pada orang lain karena ketidakberdayaan yang
disebabkan penyakit tersebut. Keluarga hendaknya mengetahui penyakit yang diderita
anggota keluarga, agar bisa mengambil tindakan segera untuk menghindari
keterlambatan pertolongan dan mengurangi tingkat keparahannya.
2.3.3. Bentuk Dukungan Sosial Keluarga
Menurut Sarwono (2003) dukungan adalah suatu upaya yang diberikan
kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam
melaksanakan kegiatan. Menurut Santoso (2001) dukungan yaitu suatu usaha untuk
menyokong sesuatu atau suatu daya upaya untuk membawa sesuatu. Sarafino (1990)
mengatakan bahwa kebutuhan, kemampuan, dan sumber dukungan mengalami
perubahan sepanjang kehidupan seseorang. Keluarga merupakan lingkungan pertama
yang dikenal oleh individu dalam proses sosialisasinya.
Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dengan
dukungan sosial sebagai koping keluarga. Baik dukungan-dukungan sosial keluarga
yang eksternal maupun internal terbukti bermanfaat. Friedman (1998) menjelaskan
bahwa dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan; sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap
Friedman (1998) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga mengacu
kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai
sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak
digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung
selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Menurut Taylor (1995), dukungan keluarga merupakan bantuan yang dapat
diberikan kepada keluarga lain berupa barang, jasa, informasi dan nasehat, yang mana
membuat penerima dukungan akan merasa disayang, dihargai, dan tentram.
Menurut Caplan dalam Friedman (1998) dukungan sosial memiliki beberapa
fungsi dukungan yaitu:
1) Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian
saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.
2) Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator
indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.
3) Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis
dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan
minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.
4) Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk
Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam
bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Menurut Nursalam (2006) yang mengutip dari House dalam Depkes (2002)
membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial menjadi:
1) Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang yang
bersangkutan.
2) Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain itu,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan
perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang itu kurang
mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).
3) Dukungan Instrumental
Mencakup bantuan langsung, misalnya orang memberi pinjaman uang kepada
orang yang membutuhkan atau menolong dengan memberi pekerjaan pada
orang yang tidak punya pekerjaan.
4) Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta
petunjuk.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dukungan sosial
keluarga pada penderita pasca stroke sangat bermanfaat dalam pengendalian diri
tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada diri penderita akibat
penyakit stroke. Dukungan tersebut berupa dorongan, motivasi, empati, ataupun
bantuan yang dapat membuat individu yang lainnya merasa lebih tenang dan aman.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang dukungan sosial keluarga
pada anggota keluarga yang menderita penyakit tertentu. Hasil penelitian Sebayang
(2011) mengungkapkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu sumber
penanganan stres yang penting dan mempunyai pengaruh terhadap kondisi kesehatan
seseorang. Dalam penelitiannya tersebut diungkapkan bahwa dukungan sosial
keluarga memiliki hubungan dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia
paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan (p= 0,028 ρ =-0,388). Oleh karena itu, disarankan kepada perawat untuk melibatkan keluarga dalam perawatan
pasien skizofrenia paranoid sehingga keluarga mampu merawat pasien skizofrenia
paranoid dengan baik di rumah.
Hasil penelitian lainnya oleh Sundari (2011) menunjukkan bahwa hampir
seluruh responden (85%) dukungan sosialnya baik dan hampir seluruhnya (85%) juga
memiliki tingkat kepatuhan yang baik dalam menjalani terapi hemodialisis. Dari hasil
uji didapat nilai ρ< 0,05 maka H0 ditolak yang artinya ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan klien gagal ginjal kronik dalam
menjalani terapi hemodialisis di ruang hemodialisa Siloam Hospitals Surabaya.
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa semakin baik dukungan keluarga
memotivasi keluarga pasien untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien
hemodialisa sehingga patuh dalam melakukan terapi hemodialisis.
2.3.4. Sumber Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/istri, atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan
keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Sebuah
jaringan sosial keluarga secara sederhana adalah jaringan kerja sosial keluarga inti itu
sendiri (Friedman, 1998).
Coyne & De longis dalam Lubis, N.L (2009) mengungkapkan bahwa
mungkin di satu pihak, bagi mereka yang telah menikah, significant others baginya
adalah pendamping hidupnya, karena pendamping hidup dapat dipandang sebagai
orang yang paling dapat memberikan dukungan disebabkan kedekatan emosional.
Namun di pihak lain mungkin berbeda, pasangan hidup mungkin tidak dapat saling
membantu, bahkan sebaliknya dapat menimbulkan konflik bagi penerima dukungan.
Tanakusuma mengisahkan pengalamannya sebagai seseorang yang pernah
menderita stroke, bahwa dukungan keluarga sangatlah besar, terutama dukungan istri
dan anak-anak. Bahkan sampai saat ini istrinya tetap menemani setiap kali hendak
pergi ke klub stroke dan mendampinginya mengikuti senam stroke. Begitu juga
halnya dengan Mariani seorang pensiunan dosen FISIP UI yang pernah terserang
stroke. Ia memperoleh dukungan dari anak dan keluarga besarnya. Mereka
Penyembuhan stroke membutuhkan biaya besar, maka perhatian dan bantuan dari
keluarga amat dibutuhkan (Adinda, 2009).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui
sumber-sumber dukungan keluarga yang ada maka kita dapat mengetahui sumber-sumber-sumber-sumber
dukungan yang efektif dan diperlukan oleh anggota keluarga yang pernah terserang
stroke. Keluarga dapat mendorong anggota keluarga pasca stroke untuk
mengkomunikasikan kesulitan-kesulitan pribadi secara bebas, diberi nasehat-nasehat
dan bimbingan pribadi sesuai dengan nilai-nilai dan tradisi keluarga.
2.3.5. Dukungan Keluarga Terhadap Penderita Pasca Stroke
Menurut Friedman (1998), manajemen terhadap sakit yang kronis adalah
sebuah contoh kasus yang menunjukkan berbagai kemampuan keluarga dalam
memberikan dukungan. Penyakit kronis biasanya menuntut pengorbanan ekonomi,
sosial dan psikologis. Peran keluarga berbeda-beda, tergantung pada sifat bantuan
yang dibutuhkan. Sanak saudara dari keluarga besar terbukti dalam studi-studi riset
sebagai tempat permintaan bantuan bencana, bantuan keuangan, bantuan untuk krisis
jangka panjang, dan masalah-masalah yang lebih serius.
Setelah menjalani perawatan di RS, ada 3 kemungkinan yang dialami oleh
pasien stroke, yaitu : (1) meninggal dunia, (2) sembuh tanpa cacat, dan (3) sembuh
dengan kecacatan. Penelitian menunjukkan angka kematian pada stroke berkisar
antara 10%-30%. Sebagian kematian dialami dalam waktu 72 jam setelah serangan
stroke, dan pada umumnya berhubungan langsung dengan strokenya (stroke yang
maka ada 70%-90% penderita yang hidup pasca stroke. Mereka ini disebut dengan
stroke survivors.
Bagi para stroke survivor, masalah belumlah selesai. Stroke dapat memberikan gejala sisa atau dampak lanjut. Bagi para stroke survivors, pencegahan serangan stroke ulang dan penanganan gejala sisa stroke merupakan hal yang utama.
Berbagai dampak pasca stroke adalah depresi, kepikunan, gangguan gerak, nyeri,
epilepsi, tulang keropos, dan gangguan menelan. Penanganan bersifat individual
sesuai kondisi pasien.
Salah satu gejala sisa yang sering dialami pasien stroke adalah kepikunan.
Kepikunan (demensia) akibat stroke dapat terjadi dengan segera, atau bertahap
sampai dengan 3 bulan pasca stroke. Kejadian demensia pasca stroke adalah berkisar
antara 6%-32%. Usia yang tua, hipertensi, dan dislipidemia merupakan faktor yang
berperan besar untuk munculnya pikun pasca stroke. Pikun lebih sering dijumpai
pada stroke di otak besar (cerebrum) dibanding otak kecil (cerebelum) (Henon,
2006). Penelitian Rasquin, dkk (2005) pada 156 pasien stroke menunjukkan bahwa
gangguan memori dijumpai pada 23,4% (hampir seperempat dari seluruh pasien
stroke) dalam 1 bulan pasca stroke. Gangguan lain yang seringkali teramati adalah
gangguan bicara (18,6%), gangguan berhitung (51,6%), dan depresi (49%).
Kecacatan pasca stroke pada umumnya dinilai dengan kemampuan pasien
untuk melanjutkan fungsinya kembali seperti sebelum sakit, dan kemampuan pasien
untuk mandiri. Salah satu skala ukur yang sering dipakai untuk pasien
Tabel 2.2. Skala Rankin Untuk Kecacatan Stroke
1 Tidak ada disabilitas yang signifikan, dapat melakukan tugas harian seperti biasa
2 Disabilitas ringan, tidak dapat melakukan beberapa aktivitas seperti sebelum sakit, namun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
3 Disabilitas sedang, memerlukan sedikit bantuan, tapi dapat berjalan tanpa bantuan
4 Disabilitas sedang-berat, tidak dapat berjalan tanpa bantuan, dan tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
5 Disabilitas berat, di tempat tidur, inkontinensia, memerlukan perawatan dan perhatian
Menurut Silaen, dkk (2008) setelah awal masa rawat inap dan rehabilitasi
stroke, 80% dari penderita stroke yang bertahan hidup kembali ke komunitas,
bergantung pada emosi anggota keluarga, informasi dan bantuan peralatan untuk
hidup sehari-hari. Pengasuh pasien stroke atau keluarga harus berhadapan bukan
hanya dengan kesulitan dalam pergerakan, merawat diri dan komunikasi, tetapi juga
gangguan kognitif, depresi dan perubahan kepribadian.
Kerusakan otak pasca stroke bagi penderita meminta perhatian besar baik bagi
penderita, keluarga dan masyarakat kerena menghambat kemampuan fungsional
mulai dari aktivitas bergerak, mengurus diri : kegiatan sehari-hari dan berkomunikasi.
Bagi penderita, mengalami stroke merupakan pukulan bagi dirinya yang
menimbulkan krisis sosial dan emosional. Ia ingin mendapatkan informasi yang lebih
jelas mengenai masalah kesehatannya, implikasinya serta petunjuk penyesuaian
Penderita yang tadinya aktif, dapat bekerja, dapat berjalan, berbicara,
memberi nasehat, memberi biaya, tiba-tiba tidak berdaya, pingsan, lemah, tergeletak
di tempat tidur, harus menginap di rumah sakit. Penyakit ini memaksa penderita
menjadi tergantung kepada orang lain, dalam kebutuhan dasar tertentu juga
menimbulkan depresi dan berkurangnya harga diri. Mungkin penderita tidak mampu
lagi membiayai dirinya sendiri dan tanggungan (bagi kepala keluarga) jika
anak-anaknya masih belum dewasa dan mandiri ( Lumban Tobing, 1998).
Kadang-kadang ada usulan dari pihak keluarga untuk menambah pengobatan
dari luar medis, hal ini harus di bicarakan dahulu dengan dokter yang merawat.
Terkadang timbul pertentangan antara keluarga dan dokter karena bisa
mengakibatkan komplikasi pada penderita sehingga mengakibatkan pulang paksa,
pindah rumah sakit atau minta ganti dokter (Harsono, 2000).
Sangat diharapkan bahwa keluarga dapat membantu pemulihan penderita
stroke. Untuk itu terlebih dahulu diperlukan sikap saling pengertian antara dokter,
perawat, fisioterapist, tim rehabilitasi lainnya dengan keluarga perihal keadaan penderita. Tidak jarang terjadi keadaan buntu yang mengakibatkan pulang paksa,
keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Yang sering terjadi adalah dana yang
kurang untuk membiayai pengobatan. Biasanya hal ini berakhir pada hak sepenuhnya
pada penderita atau keluarga (Harsono, 2000).
Pentingnya peran keluarga dalam perawatan penderita pasca stroke dapat
1) Keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal
dengan lingkungannya.
2) Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan yang terjadi pada
salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi
keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada
anggota.
3) Berbagai pelayanan kesehatan bukan tempat penderita seumur hidup tetapi hanya
fasilitas yang membantu pasien dan keluarga mengembangkan kemampuan
dalam mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah dan
mempertahankan keadaan adaptif.
4) Salah satu faktor penyebab terjadinya stroke berulang adalah keluarga tidak tahu
cara menangani perilaku penderita di rumah (Irdawati, 2009).
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga berperan penting
dalam proses pemulihan dan penyesuaian kembali setiap penderita stroke. Oleh
karena itu, peran serta keluarga dalam proses pemeliharaan dan pencegahan
terjadinya serangan ulang sangat diperlukan.
Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan keluarga yang diungkapkan oleh
Friedman (1998), maka bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh keluarga kepada
para stroke survivor antara lain :
1) Dukungan informasional
Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi munculnya suatu
yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat,
saran, petunjuk dan pemberian informasi. Untuk pasien stroke diberikan
informasi oleh keluarganya tentang: penyakit stroke serta pengelolaannya.
2) Dukungan penilaian
Keluarga memberikan support, penghargaan, perhatian kepada anggota keluarga
yang pernah mengalami stroke. Menurut Cohen dan Mc Kay dalam Niven
(2000), dukungan ini merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi
penilaian yang positif terhadap individu. Pasien mempunyai seseorang yang
dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi melalui ekspresi penghargaan
positif keluarga kepada pasien, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau
perasaan pasien. Dukungan keluarga ini dapat membantu meningkatkan strategi
koping pasien dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan pengalaman yang
berfokus pada aspek-aspek positif. Dalam dukungan pengharapan, kelompok
dukungan dapat mempengaruhi persepsi pasien akan ancaman. Dukungan
keluarga dapat membantu pasien mengatasi masalah dan mendefinisikan kembali
situasi tersebut sebagai ancaman kecil dan keluarga bertindak sebagai
pembimbing dengan memberikan umpan balik dan mampu membangun harga
diri pasien.
3) Dukungan instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya
keteraturan menjalani terapi, kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan
juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,
modifikasi lingkungan maupun menolong pekerjaan pada saat penderita
mengalami stress. Sheridan & Radmacher, dkk (1992) juga menambahkan bahwa
keluarga juga bisa memberikan pertolongan langsung seperti pemberian uang,
pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk ini dapat mengurangi stres
karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang behubungan
dengan materi.
4) Dukungan emosional
Keluarga memberikan dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya
kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan sehingga penderita
pasca stroke merasa nyaman dan aman, perasaan dimiliki dan dicintai dalam
situasi-situasi stress. Arief (2008) mengatakan dalam situs online
healthyguidenews bahwa penderita pasca serangan stroke lebih cenderung sensitif dan mudah tersinggung atau bahkan mengalami depresi akibat merasa
tidak berguna bagi keluarga atau lingkungannya. Peran keluarga dalam kaitan
ikatan persaudaraan dan ikatan emosional biasanya memiliki peranan yang
sangat besar dalam membantu proses penyembuhan. Seluruh anggota keluarga
tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang membuat perasaan tersinggung bagi
penderita pasca stroke untuk menciptakan suasana keakraban dan kebahagiaan.
Berdasarkan hasil penelitian Widayati (2010) tentang pengalaman keluarga
adanya motivasi keluarga sebagai caregiver untuk kesembuhan penderita dan kecacatan penderita pasca stroke yang membutuhkan bantuan. Upaya yang dilakukan
keluarga untuk mencapai perbaikan penderita pasca stroke adalah dengan pengobatan
medis, herbal, alternatif dan perawatan di rumah. Hasil perawatan dan pengobatan
menunjukkan perkembangan yang menuju perbaikan kondisi penderita pasca stroke.
Kendala yang dialami keluarga dalam merawat penderita pasca stroke adalah
kesulitan ekonomi, kesulitan mencari pengobatan dan kurangnya dukungan dari pihak
lain. Meskipun demikian, keluarga tetap berusaha merawat dan menghadapi berbagai
kendala tersebut. Untuk itu diharapkan kepada tenaga kesehatan memberikan
penyuluhan dan dukungan kepada keluarga sebagai caregiver pada penderita pasca
stroke.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan keluarga terhadap
pasien stroke baik fase akut maupun pasca stroke sangat dibutuhkan untuk mencapai
proses penyembuhan/pemulihan. Dukungan keluarga memainkan peran penting
dalam mengintensifkan perasaan sejahtera, orang yang hidup dalam lingkungan yang
supportif kondisinya jauh lebih baik daripada mereka yang tidak memilikinya.
Dukungan tersebut akan tercipta bila hubungan interpersonal diantara mereka baik.
Ikatan kekeluargaan yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi
masalah, karena keluarga adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan
2.4. Landasan Teori
Pinzon & Asanti (2010) mengungkap bahwa faktor risiko stroke dibagi
menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat
diubah. Faktor risiko stroke yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras,
riwayat keluarga dan riwayat stroke sebelumnya, sedangkan faktor risiko stroke yang
dapat diubah yaitu hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, merokok dan obesitas.
Faktor risiko stroke yang dapat diubah tersebut dapat dikendalikan melalui perilaku
kesehatan dalam mencegah terjadinya stroke berulang.
Berdasarkan teori Snehandu B. Kar perilaku kesehatan seseorang dapat
dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial (social support) dari masyarakat sekitarnya.
Sumber-sumber dukungan sosial tersebut banyak diperoleh individu dari lingkungan
terdekat yaitu keluarga.
Menurut Friedman (1998), keluarga adalah dua orang atau lebih yang
disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Friedman dalam Setiadi & Dermawan (2005) mengungkapkan bahwa
keluarga memiliki beberapa fungsi salah satunya adalah fungsi perawatan kesehatan.
Keluarga bertanggung jawab untuk melindungi keamanan dan kesehatan seluruh
anggota keluarga serta menjamin pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental,
dan spiritual, dengan cara memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali
Selanjutnya, Keliat (1996) mengungkapkan bahwa dalam keadaan sehat-sakit
tersebut, keluarga memiliki peran sistem pendukung utama bagi anggota keluarganya.
Caplan dalam Friedman (1998) membagi bentuk-bentuk dukungan sosial tersebut
dalam bentuk :
1) Dukungan informasional keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan
diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang
pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan
suatu masalah.
2) Dukungan penilaian keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan
balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan
validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian.
3) Dukungan instrumental keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan
praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan
makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan.
4) Dukungan emosional keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam
bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan
2.5. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Antara Variabel Dependent
Gambar 2.1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep di atas menggambarkan bahwa dukungan sosial yang
diberikan keluarga yang terdiri dari dukungan informasional, dukungan penilaian,
dukungan instrumental dan dukungan emosional dapat mempengaruhi terjadinya
stroke berulang melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh penderita stroke. Kasus
Pencegahan Stroke Berulang
Kontrol Dukungan Sosial Keluarga