• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi Dengan Kesehatan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2004-2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Analisis Hubungan Variabel Makro Ekonomi Dengan Kesehatan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi di Bursa Efek Indonesia Tahun 2004-2013)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Variabel Makro Ekonomi

Menurut Mankiw (2004:4) ilmu ekonomi makro (macroeconomics) merupakan ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena dalam perekonomian secara luas, seperti inflasi, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi. Titik berat analisis makro ekonomi terletak pada bagaimana segi permintaan dan penawaran menentukan tingkat kegiatan dalam perekonomian, masalah utama yang selalu dihadapi setiap perekonomian dan peranan kebijakan dan campur tangan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi (Sukirno, 2008).

Menurut Tandelilin (2010:343-344) terdapat beberapa variabel makro ekonomi yang memperlihatkan hubungan dan dampaknya terhadap profitabilitas perusahaan yaitu:

1. PDB (Produk Domestik Bruto) 2. Inflasi

3. Tingkat suku bunga 4. Kurs Rupiah

5. Anggaran defisit 6. Investasi swasta

(2)

2.1.2 Nilai Tukar (Kurs USD/IDR)

Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang asing negara lainnya (Sukirno 2004:397).

2.1.2.1 Teori Nilai Tukar

Berikut ini adalah beberapa teori yang berkaitan dengan nilai tukar valuta asing (Berlianta, 2004:18-21):

1. Balance of Payment Approach

Pendekatan ini didasarkan pada pendapat bahwa nilai tukar valuta ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan terhadap valuta tersebut. Adapun alat yang digunakan untuk mengukur kekuatan penawaran dan permintaan adalah balance of payment.

2. Teori Purchasing Power Parity

Teori ini berusaha untuk menghubungkan nilai tukar dengan daya beli valuta tersebut terhadap barang dan jasa. Pendekatan ini menggunakan apa yang disebut law of one price sebagai dasar. Dalam Law of one price disebutkan bahwa dengan asumsi tertentu, dua barang yang identik haruslah mempunyai harga yang sama.

Ada dua versi teori ini yaitu:

(3)

digunakan adalah rata-rata tertimbang dari seluruh barang yang ada di negara tersebut.

b. Versi relatif yang mengatakan bahwa pergerakan nilai tukar valuta dua negara adalah sama dengan selisih kenaikan harga barang di kedua negara tersebut pada periode tertentu.

3. Fisher Effect

Teori Fisher Effect diperkenalkan oleh Irving Fisher. Teori ini mengatakan bahwa tingkat suku bunga nominal suatu negara akan sama dengan tingkat suku bunga riil ditambah tingkat inflasi di negara itu.

4. International Fisher Effect

Pendapat ini didasari oleh Fisher Effect bahwa pergerakan nilai mata uang suatu negara dibanding negara lain (pergerakan kurs) disebabkan oleh perbedaan suku bunga nominal yang ada di kedua negara tersebut.

2.1.2.2 Sistem Nilai Tukar

Menurut Triyono (2008) terdapat lima jenis sistem kurs utama yang berlaku, yaitu:

1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate)

(4)

maka sistem ini termasuk mengambang terkendali (managed floating exchange rate).

2. Sistem kurs terlambat (pegged exchange rate)

Suatu negara menambatkan nilai mata uangnya dengan sesuatu atau sekelompok mata uang negara lainnya yang merupakan negara mitra dagang utama dari negara yang bersangkutan, ini berarti mata uang negara tersebut bergerak mengikuti mata uang dari negara yang menjadi tambatannya.

3. Sistem kurs terlambat merangkak (crawling pegs)

Dimana negara melakukan sedikit perubahan terhadap mata uangnya secara periodik dengan tujuan untuk bergerak ke arah suatu nilai tertentu dalam rentang waktu tertentu. Keuntungan utama dari sistem ini adalah negara dapat mengukur penyelesaian kursnya dalam periode yang lebih lama jika dibanding dengan kurs terlambat.

4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies)

(5)

5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate)

Dimana negara menetapkan dan mengumumkan sesuatu kurs tertentu atas mata uangnya dan menjaga kurs dengan cara membeli atau menjual valas dalam jumlah yang tidak terbatas dalam kurs tersebut. Bagi negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sektor luar negeri maupun gangguan seperti sering mengalami gangguan alam, menetapkan kurs tetap merupakan suatu kebijakan yang beresiko tinggi.

2.1.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar

Perubahan dalam permintaan dan penawaran sesuatu valuta, yang selanjutnya menyebabkan perubahan dalam kurs valuta, disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diuraikan dibawah ini (Sukirno, 2004:402):

1. Perubahan dalam citarasa masyarakat, perubahan citarasa masyarakat merupakan perubahan corak konsumsi mereka ke atas barang-barang yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor.

(6)

3. Kenaikan harga umum (inflasi), berpengaruh sangat besar kepada kurs pertukaran valuta asing.

4. Perubahan suku bunga dan tingkat pengembalian investasi, sangat penting peranannya dalam mempengaruhi aliran modal. 5. Pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kurs tergantung corak pertumbuhan ekonomi yang berlaku.

2.1.3 Suku Bunga

Suku bunga merupakan sebuah pembayaran di masa yang akan datang atas perpindahan uang di masa lampau. Akibatnya, suku bunga selalu melibatkan perbandingan jumlah uang pada waktu yang berbeda (Mankiw, 2004:42). Suku bunga yang dibayarkan oleh bank disebut suku bunga nominal (nominal interest rate), dan suku bunga yang telah dikoreksi terhadap inflasi disebut suku bunga riil (real interest rate) (Mankiw, 2004:43).

(7)

mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005. BI menggunakan mekanisme ”BI rate” (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan. (www.wikipedia.sertifikat-bank-indonesia.com)

2.1.3.1 Teori Tentang Tingkat Bunga

Menurut Sunariyah (2006:81-93) ada beberapa teori dalam penentuan tingkat suku bunga yaitu:

1. Teori Klasik

Menurut teori klasik, permintaan dan penawaran investasi pada pasar modal menentukan tingkat bunga.

2. Teori Preferensi Likuiditas Tingkat Tabungan

Menurut Keynes, teori klasik hanya untuk tingkat bunga jangka panjang, Keynes mengembangkan teori preferensi likuiditas untuk menjelaskan tingkat suku bunga jangka pendek. Tingkat suku bunga diartikan sebagai harga yang dikeluarkan debitur untuk mendorong kreditur memindahkan uang tersebut. Tetapi uang yang dikeluarkan oleh debitur tersebut mempunyai resiko berupa tidak diterimanya tingkat suku bunga tertentu.

3. Teori Dana Pinjaman

(8)

mempengaruhi permintaan dana pinjaman dalam perekonomian antara lain:

a. Permintaan pinjaman untuk konsumsi. b. Permintaan pinjaman oleh unit bisnis. c. Permintaan pinjaman untuk pemerintah.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dana pinjaman adalah:

a. Tabungan domestik yang dilakukan baik oleh perusahaan, masyarakat dan pemerintah.

b. Pengeluaran kelebihan uang oleh masyarakat.

c. Dana dari sistem perbankan domestik: pengeluaran kartu kredit dari bank menciptakan rekening kredit pada bank dan meningkatkan penawaran untuk dana pinjaman.

d. Meminjam dana luar negeri.

Perpotongan antara permintaan dan penawaran dana pinjaman akan menentukan tingkat bunga di pasar dan kuantitas dana pinjaman.

2.1.3.2 Fungsi Suku Bunga

Menurut Sunariyah (2006:80-81) suku bunga memiliki beberapa fungsi dalam perekonomian antara lain sebagai berikut:

(9)

2. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat kontrol bagi pemerintah terhadap dana langsung atau investasi pada sektor-sektor ekonomi.

3. Tingkat suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian.

4. Pemerintah dapat memanipulasi tingkat bunga untuk meningkatkan produksi, sebagai akibatnya tingkat suku bunga dapat digunakan untuk mengontrol tingkat inflasi.

2.1.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suku Bunga

Brigham dan Houston (2006:191), menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat bunga yaitu:

1. Kebijakan Bank Sentral

(10)

2. Surplus atau Defisit Anggaran Negara

Surplus atau defisitnya anggaran negara mempengaruhi suku bunga. Jika suatu negara membelanjakan uang lebih banyak daripada yang diperoleh melalui pajak, maka akan terjadi defisit, dan defisit tersebut harus ditutupi dengan cara melakukan pinjaman atau mencetak uang. Jika pemerintah melakukan pinjaman, maka hal ini akan menambah permintaan dari sumber dana untuk mendorong naik tingkat suku bunga. Jika pemerintah mencetak uang, maka hal ini akan meningkatkan ekspektasi tingkat inflasi dimasa depan yang juga akan mendorong naiknya tingkat suku bunga.

3. Faktor-faktor Internasional

(11)

4. Tingkat Aktivitas Bisnis

Ketika perekonomian suatu negara berkembang, perusahaan akan membutuhkan modal dan negara cenderung akan meningkatkan jumlah uang yang beredar sebagai usaha untuk merangsang perekonomian. Dengan demikian permintaan modal akan menambah jumlah uang yang beredar yang akan mendorong naiknya tingkat suku bunga.

2.1.4 Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk-produk secara keseluruhan. Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money) (Tandelilin, 2010:342).

2.1.4.1 Komponen Inflasi

Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan telah terjadi inflasi, Prathama dan Mandala (2004:203):

1. Kenaikan harga

Harga suatu komoditas dikatakan naik jika menjadi lebih tinggi daripada harga periode sebelumnya.

(12)

Kenaikan harga suatu komoditas belum dapat dikatakan inflasi jika kenaikan tersebut tidak menyebabkan harga secara umum naik.

3. Berlangsung secara terus menerus

Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan memunculkan inflasi, jika terjadi sesaat, karena itu perhitungan inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan.

2.1.4.2 Tingkat Inflasi

Kondisi inflasi di tinjau dari parah tidaknya inflasi menurut Waluyo (2007:172) yaitu:

1. Inflasi ringan

Inflasi yang besarnya < 10 persen /tahun. 2. Inflasi sedang

Inflasi yang besarnya 10-30 persen/tahun. 3. Inflasi berat

Inflasi yang besarnya 30-100 persen /tahun.

4. Hyper inflation

Inflasi yang besarnya > 100 persen/tahun. 2.1.4.3 Metode Pengukuran Inflasi

(13)

1. Consumer Price Index (CPI)

Suatu ukuran atas keseluruhan biaya pembeliaan barang dan jasa oleh rata-rata konsumen.

2. ProduserPrice Index (PPI)

Ukuran biaya barang dan jasa keseluruhan yang dibeli oleh perusahaan.

3. GNP Deflator

GNP deflator merupakan ukuran tingkat harga yang dihitung sebagai perbandingan PDB nominal terhadap PDB riil dikalikan 100.

2.1.4.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi

Menurut Sukirno (2004:333-338), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi:

1. Demand Pull Inflation (Inflasi Tarikan Permintaan)

Timbul apabila permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan dengan potensi produktif perekonomian, menarik harga ke atas untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan agregat.

2. Cost Push Inflation (Inflasi Desakan Biaya)

(14)

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh Demand Pull Inflation dan Cost Push Inflation tetapi juga dipengaruhi oleh:

1. Domestic Inflation

Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga barang secara umum di dalam negeri.

2. Imported Inflation

Tingkat inflasi yang terjadi karena disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang import secara umum.

2.1.5 Produk Domestik Bruto (PDB)

(15)

Adapun komponen-komponen PDB, Mankiw (2004:11-13): 1. Konsumsi (consumption)

Konsumsi (consumption) adalah pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga, dengan perkecualian membeli rumah baru.

2. Investasi (investment)

Investasi (investment) adalah pembelian barang yang nantinya akan digunakan untuk memproduksi lebih banyak barang dan jasa. Investasi adalah jumlah dari pembelian peralatan modal, persediaan, dan bangunan atau struktur. Investasi pada bangunan mencakup pengeluaran untuk mendapatkan tempat tinggak baru.

3. Belanja Pemerintah (government purchases)

Belanja pemerintah (government purchases) mencakup pembelanjaan barang dan jasa oleh pemerintah daerah, negara bagian, dan pusat (federal). Belanja pemerintah mencakup upah pekerja pemerintah dan pembelanjaan untuk kepentingan umum. 4. Ekspor Neto (net exports)

Ekspor neto (net exports) sama dengan pembeliaan produk dalam negeri oleh orang asing (ekspor) dikurangi pembeliaan produk luar negeri oleh warga negara (impor).

(16)

menentukan nilai produksi barang dan jasa dalam perekonomian (Mankiw, 2004:15).

2.1.6 Tingkat Pengangguran

Tingkat pengangguran ditunjukan oleh persentase dari total jumlah tenaga kerja yang masih belum bekerja (meliputi pula pengangguran tak kentara maupun pengangguran kentara). Tingkat pengangguran ini mencerminkan sejauhmana kapasitas operasi ekonomi sutau negara bisa dijalankan. Semakin besar tingkat pengangguran di suatu negara, berarti semakin besar kapasitas operasi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara penuh. Jika hal ini terjadi maka tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi utama tidak termanfaatkan secara penuh (Tandelilin, 2010:342).

Adapun jenis-jenis pengangguran menurut Mankiw (2004:135-141): 1. Pengangguran siklis (cyclical unemployment)

Tingkat pengangguran normal, yang di sekitarnya jumlah pengangguran berfluktuasi, disebut tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployment), dan deviasi dari tingkat alamiahnya disebut pengangguran siklis (cyclical unemployment).

2. Pengangguran friksional (frictional unemployment)

(17)

3. Pengangguran struktural (structural unemployment)

Pengangguran yang terjadi karena banyaknya pekerjaan yang tersedia di berbagai pasar tenaga kerja tidak cukup bagi semua orang yang ingin bekerja.

2.1.7 Kesehatan Perusahaan

Tingkat kesehatan keuangan perusahaan dapat dilihat dari prediksi kebangkrutan yang berfungsi untuk memberikan panduan bagi pihak-pihak tentang kinerja keuangan perusahaan apakah akan mengalami kesulitan keuangan atau tidak dimasa mendatang. Menurut Brigham dan Daves (2003) dalam Fachrudin (2008:2) kesulitan keuangan dimulai ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya. Menurut Brigham dan Gapenski (1997) dalam Fachrudin (2008:2-3) ada beberapa definisi kesulitan keuangan, sesuai tipenya, yaitu:

1. Economic failure

(18)

2. Business failure

Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi dengan akibat kerugian kepada kreditur.

3. Technical insolvency

Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency

jika tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan membayar hutang secara teknis menunjukan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar hutangnya dan survive. Di sisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana keuangan (financial disaster).

4. Insolvent in bankruptcy

Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan insolvent in bankruptcy

jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency karena umumnya, ini adalah tanda economic failure, dan bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara hukum.

5. Legal bankruptcy

(19)

2.1.7.1 Penyebab Kesulitan Keuangan Perusahaan

Lizal (2002) dalam Fachrudin (2008:6-7) mengelompokkan penyebab-penyebab kesulitan dan menamainya dengan Model Dasar Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab Kesulitan Keuangan. Menurut beliau, ada tiga alasan yang mungkin mengapa perusahaan menjadi bangkrut, yaitu:

1. Neoclassical model

Pada kasus ini kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Kasus restrukturisasi ini terjadi ketika kebangkrutan mempunyai campuran aset yang salah. Mengetimasi kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan laba rugi. Misalnya

profit/assets (untuk mengukur profitabiltas), dan

liabilities/assets. 2. Financial model

Campuran aset benar tapi struktur keuangan salah dengan

(20)

ROE, profit margin, stock turnover, receivables turnover, cash flow/total equity, debt ratio, cash flow/(liabilities-reserves),

current ratio, acid test, current liquidity, short term assets/daily

operating expenses, gearing ratio, turnover per employee,

coverage of fixed assets, working capital, total equity per share,

EPS ratio, dan sebagainya. 3. Corporate governance model

Disini, kebangkrutan mempunyai campuran asset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan menjadi out of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola perusahaan yang tidak terpecahkan. Model ini mengestimasi kesulitan dengan informasi kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola perusahaan dan goodwill

perusahaan.

Penyebab umum keggalan juga dikemukakan oleh Dylan (1996) dalam Fachrudin (2008:11). Penyebab-penyebab tersebut diuraikan berikut ini:

1. Pasar

a. Penurunan pasar (atau terlalu optimis) b. Peningkatan persaingan

(21)

2. Keuangan

a. Overtrading (perdagangan berlebih) atau satu proyek besar b. Banyak hutang

c. Kurang modal

d. Pengurusan kas yang tidak memadai e. Pengawasan tidak memadai

f. Pengambilan uang berlebihan 3. Operasional

a. Lokasi bisnis

b. Terlalu ambisi dalam memulai bisnis c. Estimasi biaya terlalu optimis

4. Manusia

a. Bidang pengurusan tidak seimbang atau tidak memadai b. Kurang perhatian atau dorongan dari pemilik-manajer c. Rekruitmen tidak memadai atau tidak tepat

2.1.7.2 Prediksi Kesulitan Keuangan Perusahaan

(22)

dengan rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah aset yang memberikan ketepatan prediksi sebesar 93,1% pada penelitian tersebut dapat bermanfaat bagi manajer perusahaan sebagai pedoman untuk menaksir kondisi perusahaannya. Pedoman tersebut bukan sesuatu yang mutlak karena model prediksi ini dibuat sehubungan dengan kondisi akibat krisis 1997 yang mungkin berbeda dengan kondisi perusahaan yang ditaksir, selain itu jenis industri, lingkungan, dan masa penelitian ini dibuat juga tidak sama. Model yang dapat dijadikan pedoman tersebut adalah:

= 1 / [1 + exp (-4,254 + 15,272xa1i - 35,828xa2i)], dan = 1 / [1 + exp (-5,472 + 9,555xa8i – 32,347xa2i)]

Fungsi distribusi logistik tersebut dapat lebih disederhanakan menjadi: = 1 / [1 + 2,71828 – (-4,254 + 15,272xa1i – 35,828xa2i)], dan

= 1 / [1 + 2,71828 – (-5,472 + 9,555xa8i – 32,347xa2i)] Dimana:

= probabilitas kesulitan keuangan, nilainya terletak antara 1 dan 0. Ekstrim 1 menunjukan kesulitan keuangan, sedangkan ekstrim 0 menunjukan tidak kesulitan keuangan.

xa1i = rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah aset

(23)

Bila probabilitas mencapai angka 1 berarti perusahaan sudah memasuki status kesulitan keuangan yang paling parah, sedangkan bila mencapai angka 0 berarti perusahaan tidak kesulitan keuangan.

2.2 Penelitian Tardahulu

Beaver (1966) yang melakukan studi tentang financial ratios as predictors of failure. Dalam studinya ini menggunakan analisis univariat yaitu rasio keuangan untuk memprediksi kebangkrutan suatu perusahaan. Pemilihan rasio didasarkan pada kepopuleran rasionya dalam berbagai literature, kinerja rasio-rasio tersebut dalam penelitian sebelumnya dan kedekatannya dengan konsep arus kas (cash flow). Menggunakan 30 rasio keuangan, yang dikelompokkan dalam 6 kelompok besar (cash flow ratio, net income ratio, debt to total asset ratio, liquid asset to total asset ratio, liquid assets to current debt ratio, turnover ratio). Hasil penelitian terdapat lima rasio keuangan yang memiliki tingkat kesalahan dibawah 24% yaitu: arus kas/total hutang, asset bersih/total asset, total hutang/total asset, modal kerja/total asset dan rasio lancer.

(24)

yaitu dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio tersebut adalah working capital/total assets

(WC/TA), retained earning/total assets (RE/TA), earning before interst and taxes/total assets (EBIT/TA), market value equity/book value of total debt

(MVE/BVD), dan sales/total assets (S/TA).

Luciana (2004) tujuan dari penelitiannya adalah untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi financial distress. Faktor-faktor yang diteliti tersebut adalah rasio keuangan, rasio relatif industri, sensitivitas perusahaan terhadap variabel makro ekonomi, reputasi auditor dan underwriter. Sampel terdiri dari 19 perusahaan dalam kondisi financial distress sebagai kondisi perusahaan yang delisted pada tahun 1999-2002 dan 41 perusahaan listed. Sampel dipilih berdasarkan purposive sampling approach. Menggunakan analisis regresi logistic untuk menguji hipotesis yang dirumuskan. Hasil empiris menunjukkan bahwa rasio relatif industri memiliki klasifikasi lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa sensitivitas perusahaan terhadap variabel ekonomi makro dan reputasi auditor adalah variabel yang signifikan dalam memprediksi kondisi kesulitan keuangan perusahaan.

Fachrudin (2007) melakukan studi tentang kesulitan perusahaan secara

(25)

kualitatif. Observasi dilakukan terhadap 30 perusahaan kesulitan keuangan dan 28 perusahaan tidak kesulitan keuangan sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan. Dalam penelitian yang menggunakan regresi logistik tersebut tidak dilakukan pengambilan sampel, seluruh populasi sasaran (target population) yang diobservasi. Untuk prediksi digunakan uji regresi logistik prosedur stepwise. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perusahaan kesulitan keuangan yang tetap kesulitan keuangan sampai tahun 2005 (46,67%), namun ada yang dapat survive

sebagai perusahaan independent (53,33%). Kesulitan keuangan perusahaan tidak selalu berakhir dengan kebangkrutan. Penelitian juga menemukan bahwa model prediksi terbaik adalah model prediksi dengan rasio hutang bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap jumlah asset. Prediktornya adalah rasio hutang tersebut dan rasio profitabilitas berupa pendapatan bersih terhadap jumlah asset. Model ini menghasilkan ketepatan prediksi sebesar 94,8% dan mampu menjelaskan peluang terjadinya kesulitan keuangan dengan baik.

(26)

bank, kesehatan perusahaan dan inflasi, dan kesehatan perusahaan dan trade openness. Efek tanda mengungkapkan tanda positif untuk semua panel untuk

lambda pearson test. Adapun penelitian lainnya juga yang mengaitkan variabel makro ekonomi dengan kondisi keuangan perusahaan yang disajikan pada tabel berikut:

Variabel makro ekonomi yang terdiri dari nilai tukar, suku bunga, dan inflasi memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap risiko kebangkrutan perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia

(1) Pada tahun 1999 sampai tahun 2000 kinerja keuangan mengalami peningkatan sebesar 48%. Pada tahun 2003 sampai tahun 2008 kinerja keuangan mulai mengalami peningkatan yang cukup baik. (2) pertambangan batu bara pada tahun 1999 sampai tahun 2000 mengalami posisi ambang kebangkrutan. Sedangkan pada tahun 2001

(27)

besar dari Ftabel sebesar 6,256 dengan probabilitas 0,044. Hasil tersebut membuktikan bahwa variabel bebas secara bersama-sama

berpengaruh terhadap antisipasi resiko kebangkrutan

PT. Bumi Resources Tbk. (4) Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dominan terhadap antisipasi risiko kebangkrutan yaitu suku bunga SBI. Dengan nilai probabilitasnya 0,03 hampir mendekati 0,05.

Hasil uji F menunjukkan bahwa variabel independen kurs, tingkat suku bunga,

return on asset (ROA), debt to total asset (DTA), dan free cash flow (FCF) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap financial

distress dan non financial distress. Sedangkan hasil uji t pada kategori non distress

menunjukkan bahwa hanya variabel return on asset

(ROA), debt to total asset

(DTA), dan free cash flow

(FCF) yang berpengaruh secara parsial terhadap non financial distress.

2.3 Kerangka Konseptual

(28)

karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor-faktor makro yang dapat mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Misalnya perubahan tingkat suku bunga, kurs valuta asing, kebijakan pemerintah, dan sebagainya.

Lingkungan ekonomi makro adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro di masa datang, akan sangat berguna dalam pembuatan keputusan investasi yang menguntungkannya. Untuk itu, seorang investor harus memperhatikan beberapa indikator ekonomi makro yang bisa membantu mereka dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro (Tandelilin, 2010:341-342).

Menurut Tandelilin (2010:343) Faktor-faktor ekonomi makro secara empiris telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap perkembangan investasi di beberapa negara. Tandelilin (1998) dalam Tandelilin (2010:343) merangkum beberapa faktor ekonomi makro yang berpengaruh terhadap investasi di suatu negara, sebagai: tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), laju pertumbuhan inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar mata uang (exchange rate).

(29)

Suku Bunga SBI

Inflasi

PDB

Tingkat Pengangguran

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan teoritis, penelitian terdahulu, dan kerangka konseptual yang telah diuraikan maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara suku bunga SBI dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai inflasi dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai tukar dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

Nilai Tukar

Kesehatan Perusahaan

Kesehatan Perusahaan

Kesehatan Perusahaan

Kesehatan Perusahaan

(30)

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara PDB dengan kesehatan perusahaan pada perusahaan sektor industri barang konsumsi di Bursa Efek Indonesia.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan variabel makro ekonomi yaitu nilai tukar, suku bunga dan inflasi dengan Resiko

Penelitian ini menganalisis pengaruh faktor fundamental makro (suku bunga, inflasi dan nilai tukar Rp/USD) terhadap kinerja Bursa Efek Indonesia (return indeks saham

Apakah terdapat pengaruh variabel makro secara parsial dan simultan yang terdiri dari suku bunga, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah terhadap return saham non

PENGARUH INFLASI, NILAI TUKAR RUPIAH, PERTUMBUHAN PDB RIIL, TINGKAT SUKU BUNGA SBI, EPS DAN EVA TERHADAP HARGA SAHAM Studi pada Perusahaan Sektor Pertanian di Bursa Efek Indonesia

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kausalitas yang ingin menemukan ada tidaknya pengaruh hubungan indikator makroekonomi yaitu inflasi, suku bunga, nilai

Pengaruh Tingkat Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham Perusahaan Bank BUMN Di Bursa Efek Indonesia Variabel Independen: Tingkat Inflasi, Suku

Mengetahui pengaruh secara simultan dari tingkat suku bunga, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar terhadap return saham perusahaan LQ45 sektor barang konsumsi

Hasil dari penelitian ini menunjukkan secara bersama-sama variabelinflasi, kurs, suku bunga BI rate dan PDB berpengaruh signifikan terhadap pergerakan harga saham sektor industri barang