• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEGIATAN LAPANGAN DI MEDAN

TIM KAJIAN PERENCANAAN PARTISIPATIF (PJM PRONANGKIS)

A. RINGKASAN HASIL SANGAT SEMENTARA

(1) Gambaran Umum Wilayah Studi

Kota Medan memiliki luas 26.510 Ha (3,6% dari luas Provinsi Sumatera Utara).

Secara administrative hampir seluruh wilayah Kota Medan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, hanya bagian utara yang berbatasan dengan Selat Malaka.

Secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, khususnya dibidang perkebunan dan kehutanan. DIsamping itu kota Medan mempunyai posisi yang strategis dimana berfungsi sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa baik perdagangan domestic maupun luar negeri (ekspor-impor). Kondisi ini mendorong perkembangan kota Medan dalam 2 (dua) kutub pertumbuhan yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat kota Medan saat ini.

Secara demografis jumlah penduduk kota Medan saat ini sudah melebihi 2 juta jiwa (salah satu kota Metropolitan di luar pulau Jawa). Sebagai pusat perdagangan sejak awal Kota Medan sudah memiliki keragaman suku (etnis) dan agama. Oleh karenanya budaya masyarakat yang ada sangat pluralis yang berdampak bergamnya nilai-nilai budaya. Adanya pluralisme ini juga ternyata merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial.

Kelurahan yang menjadi fokus kajian dari Tim PJM Pronangkis dan Tim Peran Pemerintah adalah Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli dan Kelurahan Lau Cih Kecamatan Medan Tuntungan. Lokasi dari kedua kelurahan itu dapat dilihat pada gambar berikut.

a. Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Mulia Hilir

Kelurahan ini berada di Kecamatan Medan Deli dimana merupakan daerah yang mengalami perkembangan yang pesat dan sebagai kawasan industri dan pergudangan. Kelurahan ini diapit oleh dua jalan utama kota yaitu Toll Belmera disebelah timur dan jalan Alumunium di sebelah barat.

Kelurahan ini mempunyai jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu hampir mencapai 35.000 jiwa dengan pembagian 22 Lingkungan (seperti unit RW di pulau Jawa). Rata-rata penduduk per Lingkungan berkisar antara 300-600 KK.

Mayoritas penduduk di kelurahan ini bermata pencaharian buruh (industri) dari perusahaan yang ada disekitarnya. Sedangkan dilihat dari segi etnis, terdapat beberapa etnis dengan didominasi oleh etnis Jawa. Meskipun demikian faktor keragaman etnis dan agama tidak menjadi faktor penghambat bagi interaksi sosial dari masyarakat kelurahan ini.

(2)

b. Gambaran Umum Kelurahan Lau Cih

Kelurahan Lau Cih berada di Kecamatan Medan Tuntungan suatu wilayah pinggiran kota Medan menuju Kabupaten Karo (Kota Berastagi). Kelurahan ini berada dipinggir jalan regional penghubung Kota Medan ke wilayah Kabupaten Karo dan Dairi (daerah pegunungan). Dengan lokasi ini maka pola kehidupan penduduk Kelurahan Lau Cih berada pada dua pola kehidupan yaitu kehidupan perkotaan (sektor non pertanian) dan kehidupan perdesaan (pertanian) yang saling berinteraksi. Bagian kelurahan yang berada dipinggir jalan menuju Medan cenderung mempunyai pola kehidupan perkotaan, sedangkan yang berada di dalam (menjauhi jalan raya) mempunyai kehidupan bertani.

Jumlah penduduk Kelurahan Lau Cih relatif sedikit yaitu sekitar 2000 jiwa yang dibagi kedalam 3 Lingkungan. Secara etnis cukup beragam dengan dominasi etnis Karo yang mempunyai karakter petani maupun sebagai pedagang. Penduduk miskin yang terdapat di kelurahan ini umumnya yang hidup dari sektor pertanian.

(2) Hasil Temuan Lapangan

1. Sejauh mana masyarakat peduli pada tujuan PJM Pronangkis?

• Pada umumnya masyarakat pertama kali mengetahui tentang PNPM / P2KP dari publikasi pada media televisi, sehingga perhatiannya belum tertuju pada maksud dan tujuan penyelenggaraan P2KP (sebatas menonton iklan layanan masyarakat);

• Sebagian masyarakat memperoleh informasi lebih lengkap tentang PNPM / P2KP dari sosialisasi di tingkat lingkungan / kelurahan yang dilakukan Fasilitator Kelurahan;

• Cakupan wilayah kelurahan cukup luas dan jumlah masyarakat sasaran sosialisasi cukup banyak (sekitar 15-20 lingkungan per-kelurahan, dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 500-700 KK atau sekitar 2.000-3.000 jiwa per-lingkungan atau sekitar 30.000-40.000 jiwa per- kelurahan), sementara rentang waktu dan jumlah tenaga Fasilitator Kelurahan terbatas. Hal tersebut menjadi kendala dalam menuntaskan target capaian sosialisasi dalam jumlah yang cukup;

• Kegiatan sosialisasi hanya menjadi formalitas kegiatan PNPM / P2KP, sehingga maksud dan tujuan sosialisasi tidak berdampak maksimal.

Implikasi dari kondisi tersebut antara lain banyak relawan yang tidak memahami apa tujuan mendasar dari PNPM / P2KP;

• Minat menjadi relawan pada umumnya dilatarbelakangi pertimbangan ingin membantu sesama warga yang tergolong tidak mampu;

• Informasi tentang PNPM / P2KP yang masih terbatas, terutama pengertian dasar tentang pemberdayaan masyarakat, menimbulkan

(3)

tanggapan bahwa PNPM / P2KP sama dengan program-program lainnya yang bersifat charity (serupa Jaring Pengaman Sosial / JPS);

• Kemauan sebagian besar masyarakat untuk turut serta dalam proses kegiatan PNPM / P2KP masih dilatarbelakangi oleh adanya bantuan (BLM) berupa ‘uang’(kegiatan bidang ekonomi);

• Proses penyusunan Refleksi Kemiskinan (RK) dan Pemetaan Swadaya (PS) dilaksanakan oleh masyarakat umum maupun relawan dengan pendampingan oleh Fasilitator Kelurahan;

• Pada umumnya proses penyusunan Refleksi Kemiskinan (RK) dan Pemetaan Swadaya (PS) didasarkan pada cakupan wilayah Lingkungan, sesuai metode sosialisasi (oleh Fasilitator Kelurahan) yang dilakukan per-lingkungan di tingkat Kelurahan;

• Pemilihan anggota Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dilaksanakan berdasarkan seleksi terhadap perwakilan per-lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat secara demokrasi;

• Perbandingan komposisi antara relawan dan tokoh masyarakat dalam BKM lebih didominasi oleh unsur relawan, akan tetapi kapasitas dan kualitas SDM para relawan masih relatif sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan tingkat pemahaman anggota BKM akan maksud dan tujuan PNPM / P2KP masih relatif kurang / rendah;

• Proses penyusunan PJM Pronangkis umumnya hanya dihadiri sebagian kecil masyarakat, terutama oleh BKM dan Fasilitator Kelurahan;

• Penyusunan usulan Rencana Kegiatan dalam PJM Pronangkis didasarkan pada konsep TRIDAYA, yang mencakup berbagai kegiatan sektor sosial (pelatihan, santunan janda, beasiswa, peningkatan gizi balita, dll), sektor ekonomi (dana bergulir yang pelaksanaannya akan menggunakan BLM 2), dan peningkatan kualitas lingkungan (perbaikan drainase / selokan, jalan lingkungan, dll);

• Masyarakat belum dapat menyusun anggaran biaya untuk masing- masing jenis kegiatan, sehingga beberapa usulan kegiatan maupun anggarannya tidak sesuai dengan kebutuhan seperti dituangkan dalam Refleksi Kemiskinan dan hasil kegiatan Pemetaan Swadaya;

• Keterlambatan realisasi BLM 2 (seharusnya TA 2008) sangat mempengaruhi kamauan dan minat masyarakat untuk terus berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan PNPM / P2KP;.

2. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh elit lokal, berdasarkan tingkat keterlibatannya ?

• Kelompok yang menjadi ‘elite’ (yang mempunyai pengaruh / kekuasaan) dalam lingkup wilayah sasaran kegiatan PNPM / P2KP antara lain Kepala Lingkungan, Tokoh Masyarakat, Lurah, PJOK / Camat, dan Fasilitator Kelurahan;

• Pengaruh ‘elite’ dalam proses penyusunan PJM Pronangkis pada tingkat masyarakat cukup besar / dominan, terutama dari Fasilitator Kelurahan

(4)

dan PJOK. Kondisi tersebut terjadi selama periode 2008 karena keterbatasan waktu yang dimiliki BKM untuk menyelesaikan penyusunan dokumen PJM Pronangkis, sedangkan jadwal penyerahan dokumen untuk persyaratan pencairan BLM 1 sudah mendesak (Desember 2008);

• Persepsi aparatur Kelurahan menempatkan PNPM / P2KP berada diluar struktur / dinamika kegiatan pembangunan Kelurahan, sehingga Lurah memberikan arahan bahwa substansi PJM Pronangkis adalah kegiatan diluar materi usulan kegiatan pembangunan yang disusun oleh Kelurahan dalam rangka Musrenbang di tingkat Kecamatan dan tingkat Kota;

• Lurah tidak banyak berperan pada awal pelaksanaan kegiatan PNPM / P2KP dikarenakan kurangnya informasi / sosialisasi aparatur, adanya persepsi bahwa urusan kegiatan P2KP berada diluar lingkup tugas kelurahan, serta BKM bukan sebagai mitra Kelurahan. Kondisi dan pandangan tersebut mulai berubah setelah Korkot menyelenggarakan Pelatihan Dasar Lurah pada bulan Maret 2009, yang mendorong tumbuhnya kesadaran bahwa BKM merupakan salah satu wadah masyarakat yang merupakan mitra pembangunan bagi Kelurahan;

• Permasalahan kemelut kepemimpinan daerah sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan PNPM / P2KP di Kota Medan, antara lain adalah keterlambatan pencairan dana BLM 2 yang merupakan dana sharing Pemerintah Kota Medan;

• Belum diperoleh indikasi nyata adanya peran (strategis) anggota legislatif (DPRD) dalam upaya mengakomodir usulan kegiatan masyarakat yang bersumber dari dokumen PJM Pronangkis, kondisi yang ada adalah peran fungsional dalam menyeleksi dan meloloskan daftar rencana kegiatan pembangunan untuk tahun anggaran berjalan / tahun anggaran selanjutnya;

3. Sejauh mana rencana PJM Pronangkis dipengaruhi oleh maksud proyek (“daftar harapan” proyek) dan oleh batasan volume alokasi anggaran (orientasi BLM) ?

• Usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis pada dasarnya mengacu pada kebutuhan masyarakat sebagaimana tercatat dari hasil Pemetaan Swadaya (PS) yang mencakup kegiatan peningkatan kualitas lingkungan, kegiatan ekonomi, dan kegiatan sosial (prinsip TRIDAYA);

• Kurangnya informasi berpengaruh terhadap pemahaman tentang proses penyusunan PJM Pronangkis, sehingga berpengaruh pula terhadap kualitas substansi PJM Pronangkis;

• Substansi PJM Pronangkis seyogianya didasarkan pada hasil Pemetaan Swadaya (PS) yang mengindikasikan kebutuhan kegiatan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, akan tetapi dalam kenyataannya usulan yang disusun mengikuti format kegiatan TRIDAYA yang ada dalam buku panduan dan juga “formula anggaran dan besaran Dana BLM” yang akan

(5)

dikucurkan untuk pelaksanaan P2KP;

• Proses perumusan dan penyusunan dokumen PJM Pronangkis lebih menjadi beban Fasilitator Kelurahan karena keterbatasan kapasitas para anggota BKM untuk merumuskannya;

• Keterlambatan realisasi Dana BLM 2 yang merupakan Dana APBD sangat mempengaruhi keberlanjutan kegiatan PNPM / P2KP. Secara umum dampak dari keterlambatan / belum turunnya dana BLM 2 membuat kegiatan BKM mati suri. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat pada ketersediaan Dana BLM dalam melaksanakan kegiatannya cenderung masih sangat tinggi.

4. Sejauh mana rencana pembangunan masyarakat (PJM Pronangkis) menggambarkan orientasi yang diharapkan ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan seperti di-indikasikan oleh HDI/MDG?

• Masyarakat pada umumnya belum mengerti tentang kegiatan-kegiatan dalam konteks Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / MDG, namun demikian dalam susunan usulan program substansinya telah memberikan indikasi kebutuhan unsur-unsur IPM / MDG;

5. Apa sajakah kebutuhan peningkatan kapasitas dan advokasi di tingkat masyarakat untuk memastikan pemahaman dan orientasi ke arah pembangunan sosial dan manusia yang berkelanjutan sebagai dasar untuk perencanaan masyarakat yang bersifat partisipatif ?

• Masyarakat pada umumnya baru pada tahap tahu adanya P2KP, tetapi belum memahami secara mendalam tentang hakekat dari P2KP yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pemberdayaan agar bisa mandiri;

• Sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat masih diperlukan dengan tahapan pemberian pemahaman yang benar kepada pihak-pihak yang terkait dengan PNPM / P2KP seperti relawan, Fasilitator Kelurahan, aparat Kelurahan, Kecamatan, SKPD dan anggota DPRD khususnya yang terkait dengan program pengentasan kemiskinan;

• Pelatihan Lurah yang dilaksanakan pada bulan Maret 2009 memberikan cukup perubahan yang berarti bagi pemahaman aparat Kelurahan tentang PNPM / P2KP. Keterlambatan penyelenggaraan pelatihan ini menyebabkan proses penyusunan PJM Pronangkis belum sesuai dengan prosedur yang seharusnya ditempuh, dimana dukungan Kelurahan masih relatif rendah;

• Rasio pembebanan faskel yang ada saat ini 5 faskel untuk 9 kelurahan sudah tidak memadai mengingat besaran dari kelurahan dengan jumlah lingkungan yang banyak menuntut pelayanan “1 faskel untuk 1 kelurahan”. Kurangnya tenaga dan waktu faskel dalam melakukan sosialisasi PNPM / P2KP di masyarakat dapat menyebabkan tingkat pemahaman masyarakat rendah;

• Proses rekrutmen dan seleksi fasilitator kelurahan perlu dilakukan

(6)

secara lebih ketat (terutama terkait dengan kesesuaian latar belakang pendidikan / pengalaman fasilitator), dan pelatihan kepada fasilitator terseleksi dalam konteks proses dan prosedur pemberdayaan masyarakat;

• Perlu dilakukan sosialisasi untuk meluruskan informasi dan pandangan pada pengertian sebenarnya bahwa “PJM Pronangkis adalah kegiatan perencanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat yang perlu diakomodir oleh Pemerintah Daerah”, terutama untuk lingkungan SKPD yang terkait erat dengan kegiatan penanggulangan kemiskinan khususnya maupun kegiatan pembangunan pada umumnya;

6. Faktor-faktor apa yang menghadang partisipasi berbasis luas secara umum, dan termasuk partisipasi perempuan (dicirikan oleh jelasnya rasa kepemilikan), dan pembagian tanggung jawab dalam proses perencanaan di lokasi penelitian ?

• Pada umumnya masyarakat masih mengalami kesulitan untuk mengerti dan memahami prosedur administrasi maupun teknis BLM PNPM (penyusunan proposal dan kelengkapannya);

• Beberapa format yang diberikan (contoh) dalam buku panduan dan / atau yang disampaikan oleh fasilitator masih sulit dilaksanakan oleh masyarakat dalam waktu yang cepat;

• Batasan waktu proses penyusunan usulan kegiatan dirasakan terlalu pendek dan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi batasan waktu yang ditetapkan;

• Penyampaian usulan melalui kegiatan musrenbang tingkat kelurahan belum dapat mengakomodir usulan kegiatan dalam PJM Pronangkis demikian pula pada tingkat Kecamatan. Hal ini erat kaitannya dengan pemahaman yang rendah tentang P2KP.

• Besarnya ukuran kelurahan yang dicermikan dengan banyaknya lingkungan dan penduduk membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat mensosialisasi P2KP secara memadai dan menghimpun potensi dan partisipasi masyarakat. Akan tetapi batasan waktu yang ada menjadi penghambat partisipasi masyarakat.

7. Apakah strategi advokasi yang tepat yang harus dijalankan P2KP untuk mengurangi tantangan-tantangan tersebut ?

• Tahapan sosialisasi P2KP/PNPM seharusnya dimulai dari tingkat Pemprov, Pemko (Bappeda, SKPD terkait dengan program penanggulangan kemiskinan), aparat kecamatan, aparat kelurahan dan baru ke masyarakat. Hal ini penting karena kenyataan yang ada dukungan terhadap BKM sangat terbatas karena pemahaman aparat pemerintah dengan berbagai tingkatan masih terbatas/rendah.

• Adanya anggota BKM yang sekarang terpilih menjadi anggota legislatif sebaiknya mendapat pembekalan yang baik dalam rangka memberikan advokasi tentang program P2KP/PNPM dilingkungan legislatif Kota

(7)

Medan.

• Meningkatkan rasio beban Fasilitator Kelurahan dari 5:9 menjadi 5:5 artinya untuk kelurahan yang mempunyai jumlah lingkungan dan penduduk besar difasilitasi dengan satu fasilitator kelurahan yang tetap;

• Rotasi faskel perlu memperhatikan proses pelaksanaan P2KP yang sedang berjalan. Rotasi faskel yang tidak tepat waktu dan tepat personel menyebabkan proses sosialisasi P2KP menjadi terhambat.

8. Apakah persyaratan mendasar pada kedua belah pihak (dalam kemampuan, pengetahuan dan dalam penjadwalan) untuk meningkatkan pengintegrasi yang lebih baik ke dalam proses perencanaan pemerintah formal di berbagai tingkatan dan mekanisme?

• Kunci dari proses integrasi PJM Pronangkis dengan PJM Kota Medan terletak pada kesamaan pandang / persepsi dari semua stakeholder mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat kelurahan. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan adalah “sosialisasi secara terstruktur”;

• Upaya yang dilakukan Pemko Medan dengan mengalokasikan dana untuk menyusun PJM Pronangkis Kota merupakan langkah awal yang baik untuk mengintegrasikan PJM Pronangkis yang disusun oleh BKM dari masing-masing kelurahan menjadi materi PJM Pronangkis Kota Medan;

• Menyesuaikan jadwal pelaksanaan penyusunan usulan program / kegiatan masyarakat sesuai jadwal proses musyawarah perencanaan pembangunan pada setiap tingkatan (Kelurahan / Kecamatan / Kota);

• Meningkatkan peran serta BKM dan LPM dalam melakukan perencanaan di tingkat kelurahan;

• Meningkatkan kerja sama / koordinasi antar lembaga kemasyarakatan pada tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota, antara lain BKM dengan LPM, BKM dan LPM dengan Kelurahan, BKM dengan Kelompok Peduli, dan lain-lain;

• Meningkatkan peluang bagi BKM dan LPM untuk secara bersama-sama turut aktif dalam forum Musrenbang tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota;

• Membuka peluang bagi BKM dan LPM untuk secara bersama-sama melakukan konsultasi dengan SKPD terkait maupun Legislatif;

• Pelatihan aparat kelurahan, aparat kecamatan, pengurus LPM, dan BKM dalam menyusun usulan program / kegiatan berbasis masyarakat;

Pendampingan masyarakat / aparat dalam pelaksanaan program / kegiatan yang berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat);

Penetapan arah kebijakan pengalokasian anggaran pembangunan daerah untuk kegiatan berbasis masyarakat (pemberdayaan masyarakat) dan menyajikannya secara jelas dalam dokumen Rencana Kegiatan

(8)

Pembangunan Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan penjabarannya dalam Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).

9. Peraturan pemerintah apakah yang perlu direvisi untuk mendukung integrasi yang lebih baik lagi di tingkat lokal dari aspirasi masyarakat ke dalam proses perencanaan pembangunan formal.

• Diperlukan adanya Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KEPMEN), Peraturan Gubernur / Keputusan Gubernur (PERGUB / KEPGUB), Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (PERWAL / KEPWAL) yang mengatur proses dan prosedur penyampaian usulan kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat agar dapat masuk kedalam daftar rencana kegiatan pada dokumen Rencana Pembangunan Daerah di tingkat Kota;

• Diperlukan tinjauan atas Kebijakan Penyelenggaraan PNPM / P2KP agar dapat disesuaikan dengan Kebijakan Pemerintah Kota Medan;

• Diperlukan adanya Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Medan yang menjabarkan Mekanisme Teknis Penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan, yang mencakup mekanisme pelaksanaan (i) identifikasi dan inventarisasi kegiatan yang dilakukan Eksekutif maupun Legislatif; (ii) musyawarah rencana pembangunan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota); dan (iii) sinkronisasi usulan program / kegiatan pada setiap jenjang struktural (Kelurahan / Kecamatan / Kota);

• Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Medan tentang Pembagian Peran, Tugas Pokok dan Fungsi antara LPM dan BKM secara definitif dalam rangka penyusunan Rencana Pembangunan Kelurahan / Kecamatan;

• Diperlukan Peraturan Walikota / Keputusan Walikota (Perwal / Kepwal) Medan tentang Penetapan Jadwal Musrenbang Tingkat Kelurahan / Kecamatan / Kota dalam kaitannya dengan penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Penetapan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) setiap tahunnya, serta Dokumen Penjabaran Pelaksanaan APBD Kota setiap tahunnya agar dapat mengakomodir usulan kegiatan yang berbasis masyarakat;

• Diperlukan Peraturan Walikota (Perwal) / Keputusan Walikota (Kepwal) / Peraturan Daerah (Perda) yang menetapkan definisi kemiskinan di Kota Medan, terutama terkait dengan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Kota Medan yang sedang dalam proses persiapan penyusunannya;

B. KEJADIAN / HAMBATAN TAK TERDUGA

(9)

1. Tidak ada hambatan atau kejadian tak terduga yang dianggap mengganggu kontinyuitas pelaksanaan kegiatan Tim secara signifikan;

2. Pelaksanaan FGD PJOK dan Kelurahan sempat tertunda sehari karena indikasi ketakutan / kekhawatiran PJOK yang mengira bahwa kegiatan Tim Kajian adalah memeriksa kegiatan yang dilaksanakan. Wawancara PJOK akhirnya dilakukan secara semi-struktur (PJOK tidak melalui FGD);

3. Kegiatan FGD Komunitas Belajar Perkotaan (KBP) tidak dapat dilakukan karena lembaga tersebut tidak aktif / mati suri;

C. KOMENTAR LAIN-LAIN (1) Umum

1. Kegiatan re-sosialisasi yang diperuntukkan bagi unsur aparatur tingkat Kelurahan baru dilaksanakan pada Maret 2009 yang diprakarsai Korkot Medan atas dukungan Pemerintah Kota Medan, memberi dampak dan manfaat cukup signifikan terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman para Lurah dan aparat Kelurahan tentang PNPM P2KP;

2. Keterlambatan proses pencairan Dana BLM 2 yang bersumber dari APBD Kota Medan dikarenakan proses administratif teknis mengenai pembagian beban (sharing dana) antara Pusat dan Daerah (yang semula 50:50 menjadi 80:20) yang belum tertuang dalam kebijakan anggaran di daerah;

3. Hampir keseluruhan proses kegiatan PNPM P2KP berada dalam kewenangan Bappeda Kota Medan, baik secara kebijakan maupun pengendalian teknis program. Pelaksanaan yang terdistribusi adalah Teknis Pelaksanaan Lapangan yang berada di bawah Dinas Perumahan dan Permukiman (baru mulai TA 2009);

4. Kapasitas kewenangan Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kota Medan tidak sampai pada penanganan strategis Penanggulangan Masalah Kemiskinan, bahkan koordinasi kegiatan Pronangkis Kota Medan ditangani oleh Bidang Sosial Budaya pada Bappeda Kota Medan.

(2) Kelurahan Tanjung Mulia Hilir Kec. Medan Deli

1. BKM tidak mempunyai Sekretariat tetap di Kantor Kelurahan maupun di tempat lainnya, sehingga kadang-kadang menjadi kendala dalam melakukan koordinasi dan pelaksanaan kegiatan;

2. Didapati indikasi bahwa proses penyusunan PJM Pronangkis hanya melibatkan unsure BKM maupun masyarakat secara pasif, pengerjaan dan penyelesaian dokumen sepenuhnya dilakukan oleh Fasilitator

(10)

Kelurahan. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh indikasi sedikitnya relawan / unsure BKM yang mengetahui atau mengerti isi dari dokumen PJM Pronangkis, bahkan ada yang tidak tahu mengenai PJM Pronangkis.

Hal ini menjadi penghambat dalam proses FGD maupun Wawancara Biografi beberapa nara sumber;

3. Keterlambatan pencairan BLM 2 berpengaruh terhadap hubungan baik antara warga masyarakat sasaran P2KP dengan para relawan maupun unsur BKM P2KP, demikian pula halnya dengan Fasilitator (lama) yang ditugaskan;

4. Hubungan interaksi di tingkat komunitas juga berpengaruh terhadap kinerja tugas Fasilitator Kelurahan yang sudah mengalami 2 (dua) kali pergantian personil. Kehadiran Fasilitator Kelurahan di lokasi pendampingan terhitung sangat rendah dikarenakan tanggapan masyarakat yang selalu mengarah pada kondisi ‘menagih janji pencairan dana BLM 2’ yang secara teknis sulit dijawab oleh Fasilitator;

(3) Kelurahan Lau Cih Kec. Medan Tuntungan

1. Didapati indikasi bahwa proses penyusunan PJM Pronangkis hanya melibatkan unsur BKM maupun masyarakat secara pasif, pengerjaan dan penyelesaian dokumen sepenuhnya dilakukan oleh Fasilitator Kelurahan.

Kondisi tersebut ditunjukkan oleh indikasi sedikitnya relawan / unsur BKM yang mengetahui atau mengerti isi dari dokumen PJM Pronangkis, bahkan ada yang tidak tahu mengenai PJM Pronangkis. Hal ini menjadi penghambat dalam proses FGD maupun Wawancara Biografi beberapa nara sumber;

2. Keterlambatan pencairan BLM 2 berpengaruh terhadap hubungan baik antara warga masyarakat sasaran P2KP dengan para relawan maupun unsur BKM P2KP, demikian pula halnya dengan Fasilitator (lama) yang ditugaskan;

3. Hubungan interaksi di tingkat komunitas juga berpengaruh terhadap kinerja tugas Fasilitator Kelurahan yang sudah mengalami 2 (dua) kali pergantian personil. Kehadiran Fasilitator Kelurahan di lokasi pendampingan terhitung sangat rendah dikarenakan tanggapan masyarakat yang selalu mengarah pada kondisi ‘menagih janji pencairan dana BLM 2’ yang secara teknis sulit dijawab oleh Fasilitator;

Medan, 16 Juni 2009

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kaitannya dengan responsivitas ini merupakan kemampuan organisasi Kelurahan Polonia, Kecamatan Medan Polonia dalam mengenali kebutuhan masyarakat dalam memberikan

Peran Pemerintahan Kelurahan Dalam Pembinaan Generasi Muda (Studi Kasus Di Kelurahan Sei Kera Hilir I Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan).. Fakultas Ilmu

The findings of the study showed that: (1) there were thirteen sources of name were found in Kelurahan Tanjung Mulia, Medan namely names of motherland,

Jenis-jenis Larva Nyamuk di Kelurahan Karang Berombak, Kecamatan Medan Barat, Kotamadya Medan..

Tujuan dari wawancara pada penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun

Setelah dilakukan penelitian terhadap 30 responden di Klinik Umum dan Bersalin Bina Medika Pasar IV Lingkungan V Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2012

Persepsi masyarakat kelurahan Sidorejo Hilir Kecamatan Medan Tembung Kotaa Medan terhadap kepemimpinan wanita cukup baik selama wanita yang menjadi pemimpin tersebut

Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59