• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID SKRIPSI Disusun Oleh: DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2022

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID SKRIPSI Disusun Oleh: DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2022"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Disusun Oleh:

DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2022

(2)

i

HALAMAN JUDUL

LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kedokteran Pada Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Disusun Oleh:

DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

2022

(3)

ii

PERSETUJUAN SKRIPSI

LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID

Disusun oleh:

DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088

Telah disetujui oleh pembimbing skripsi pada Desember 2022

Disetujui

Pembimbing Substansi

Dr. dr. Fairuz, Sp.PA., M.Kes NIP: 197509142005012012

Pembimbing Metodologi

dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S NIP: 198508292010122003

(4)

iii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID yang disusun oleh Della Lusnita Milioni NIM G1A119088 telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal 27 Desember 2022 dan dinyatakan lulus.

Susunan Tim Penguji

Ketua : dr. Erisca Ayu Utami, Sp.PA Sekretaris : dr. Esa Indah Ayudia, M.Biomed Anggota : 1. Dr. dr. Fairuz, Sp.PA., M.Kes

2. dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S

Disetujui:

Pembimbing Substansi Pembimbing Metodologi

Dr. dr. Fairuz, Sp.PA., M.Kes dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S NIP. 197509142005012012 NIP. 198568292010122003

Skripsi Ini Telah Diterima Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Diketahui:

Dekan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Ketua Jurusan Kedokteran

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Dr. dr. Humaryanto, Sp.OT., M.Kes dr. Raihanah Suzan, M.Gizi, Sp.GK NIP. 197302092005011001 NIP. 198304012008122004

(5)

iv

LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID

Disusun Oleh:

DELLA LUSNITA MILIONI G1A119088

Telah dipertahankan dan dinyatakan lulus dihadapan tim penguji pada:

Hari / Tanggal : Selasa, 27 Desember 2022 Pukul : 09.30 WIB

Tempat : Ruang Sidang FKIK UNJA

Penguji I : dr. Erisca Ayu Utami, Sp.PA Penguji II : dr. Esa Indah Ayudia, M.Biomed Pembimbing I : Dr. dr. Fairuz, Sp.PA., M.Kes Pembimbing II : dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S

(6)

v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Della Lusnita Milioni NIM : G1A119088

Jurusan : Program Studi Kedokteran FKIK

Judul Skripsi : Literature Review: Patomekanisme, Penatalaksanaan, dan Prognosis Pada Keloid

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Tugas Akhir Skripsi yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir Skripsi ini adalah jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Jambi, Desember 2022 Yang membuat pernyataan

Della Lusnita Milioni G1A119088

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“LITERATURE REVIEW: PATOMEKANISME, PENATALAKSANAAN, DAN PROGNOSIS PADA KELOID”.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan hormat dan penghargaan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc., Ph.D selaku Rektor Universitas Jambi

2. Dr. dr. Humaryanto, Sp.OT., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

3. dr. Esa Indah Ayudia, M.Biomed selaku Ketua Program Studi Kedokteran Universitas Jambi

4. Dr. dr. Fairuz, Sp.PA., M.Kes dan dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S selaku pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran serta motivasi kepada peneliti.

5. dr. An Aldia Asrial, Sp.JP dan dr. Erny Kusdiyah, M.Kes selaku dosen pembimbing akademik, seluruh Dosen dan Staf Akademik Program Studi Kedokteran Universitas Jambi yang telah yang telah memberikan ilmu dan dukungannya.

6. Keluarga tercinta dan tersayang, Ibu, Bapak, Mbak Giga, dan kembaran yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan semangat sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

7. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang telah memberikan saran, dukungan, dan semangat untuk penulis menyelesaikan skripsi ini.

Jambi, Desember 2022

Della Lusnita Milioni G1A119088

(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... xiv

ABSTRACT ... xv

ABSTRAK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 3

1.4.2 Manfaat Praktis ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Telaah Pustaka ... 5

2.1.1 Definisi Keloid ... 5

2.1.2 Epidemiologi Keloid ... 5

2.1.3 Etiologi ... 6

2.1.4 Faktor Risiko Keloid ... 7

2.1.5 Patomekanisme Keloid... 11

2.1.6 Diagnosis ... 14

(9)

viii

2.1.7 Tatalaksana ... 16

2.1.8 Prognosis Keloid ... 21

2.2 Kerangka Teori ... 22

2.3 Kerangka Konsep ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 24

3.1 Rancangan Strategi Pencarian Studi Literatur ... 24

3.2 Kriteria Literatur ... 25

3.2.1 Kriteria Inklusi ... 25

3.2.2 Kriteria Eksklusi... 25

3.3 Tahapan Studi Literatur ... 26

3.4 Peta Studi Literatur ... 27

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 28

4.1 Hasil Kajian Studi Literatur ... 28

4.2 Pembahasan... 75

4.2.1 Patomekanisme Pada Pasien Keloid ... 75

4.2.2 Penatalaksanaan Pada Pasien Keloid ... 76

4.2.3 Prognosis Pada Pasien Keloid ... 78

4.3 Keterbatasan Penelitian ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 80

5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 85

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Hasil Temuan Literatur ... 25 Tabel 4.1 Hasil Kajian Studi Literatur ... 29

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Keloid Pedunculated Pada Telinga ... 15 Bagan 2.1 Kerangka Teori ... 22 Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 23 Bagan 3.1 Diagram Tahapan Studi Literatur dengan Berbagai Search Engine .... 26 Bagan 3.2 Peta Studi Literatur ... 27

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Etik Penelitian Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Kartu Bimbingan Mahasiswa Lampiran 4 Jurnal

(13)

xii

DAFTAR SINGKATAN

ARG-1 : Arginase 1 ARG-2 : Arginase 2

BCG : Bacillus Calmette-Guerin CCL : Chemokine (C-C) Ligand Cd-Kscar : Central Deep Keloid Scar Cs-Kscar : Central Superficial Keloid Scar CTGF : Connective Tissue Growth Factor CXCL : Chemokine (C-X-C) Ligand

ECM : Extracellular Matrix

ELISA : Enzyme-linked Immunosorbent Assay FGF : Fibroblast Growth Factor

FU : Flourouracil

HBOT : Hyperbaric Oxygen Theraphy HGF : Hepatocyte Growth Factor HIF : Hipoksia Inducible Factor HLA : Human Leukocyte Antigen-

IGF-IR : Insuline-like Growth Factor Receptor IL : Interleukin

iNOS : Inducible Nitric Oxide Synthase IU : International Unit

JSW : Japan Scar Workshop Scar Scale LOD : Logarithm of the Odds

MMP : Matrix Metaloproteinase NF-kB : Nuclear Factor Kappa B Nskin : Normal Skin

PCR : Polymerase Chain Reaction Real Time

PCR-RFLP : Polymerase Chain Reaction Restriction Fragment Length Polimorfism

(14)

xiii PDGF : Platelet Derived Growth Factor pH : Power of Hydrogen

PORT : Post Operative Radio Theraphy RFR : Reccurent Free Rate

RNA : Ribonucleic Acid

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah RSUP : Rumah Sakit Umum Provinsi SMA : Smooth Muscle Actin

SNP : Single Nucleotide Polymorphism sNskin : Superficial Normal Skin

TA : Triamcinolone Acetonide TAC : Tricholoroacetic Acid

TAC-R1 : Tricholoroacetic Acid Reseptor 1 TGF : Transformating Growth Factor

TIMP : Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinase TNF : Tumor Necrosis Factor

VAD : Visual Analog Score-Doctor VAP : Visual Analog Score-Patient VDR : Vitamin D Receptor

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor VIP : Vasoactive Intestinal Peptide

VIP-R1 : Vasoactive Intestinal Peptide Receptor 1 VSS : Vancouver Scar Score

(15)

xiv

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Della Lusnita Milioni, dengan nama panggilan Della. Lahir pada 12 Mei 2000 di Sumberejo, Lampung. Merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara dari Bapak Tulus dan Ibu Kartini. Penulis memiliki satu kakak, yaitu Giga Lusnita Pratami, dan saudara kembar bernama Dhea Lusnita Miliona. Masa kecil hingga sekolah menenang atas sebagian besar dihabiskan di tanah kelahiran. Penulis pernah bersekolah di TK Pertiwi Sumberejo, lalu melanjutkan sekolah dasar di SDIT Baitul Muslim, SMPN 1 Labuhan Ratu, dan akhirnya sekolah menengah atas di SMAN 1Way Jepara dan lulus pada tahun 2018. Kemudian pada tahun berikutnya, penulis lulus di Kedokteran Universitas Jambi melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) di 2019, setelah menunda kuliah dengan mengikuti bimbingan belajar khusus di Sony Sugema Collage di Bandung selama satu tahun.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti beberapa organisasi sembari mengenyam pendidikan perkuliahan, seperti LDF Ath-Thobib, TBM ASET FK Unja, dan DPM FKIK Unja.

(16)

xv ABSTRACT

Background: Keloids are a benign fibroproliferative disorder characterized by abnormal collagen deposition in the wound. Keloid recurrence rates range from 20% to 100% depending on the various treatment modalities given. This is also complicated because the factors influencing keloid recurrence have not been determined and the pathophysiology of keloids is also unclear. Understanding the pathomechanism of keloid formation is very important in determining appropriate management, thereby reducing or preventing keloid formation or reducing its recurrence rate.

Objective: This study aims to determine the pathomechanism, management, and prognosis of keloids based on a literature study.

Method: The method used in this research is the scoping review method. The literature sources used in this study are journals published on the internet that were searched through the search engines Google Scholar, Springer Link, ScienceDirect, CambridgeCore, and PubMed.

Conclusion: There are increased levels of inflammatory cytokines in keloid scars compared to normal scars, combination therapy is better than monotherapy alone, and pathomechanism and management are factors that influence the prognosis in keloids.

Keywords: Keloids, pathomechanism, management, prognosis, recurrence

(17)

xvi ABSTRAK

Latar Belakang: Keloid adalah gangguan fibroproliferatif jinak yang ditandai dengan pengendapan kolagen abnormal pada luka. Tingkat rekurensi keloid berkisar antara 20% sampai 100% tergantung pada berbagai modalitas tatalaksana yang diberikan. Hal ini juga dipersulit karena faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi keloid belum ditentukan dan patofisiologi keloid juga masih belum jelas.

Memahami patomekanisme terbentuknya keloid sangat penting dalam menentukan tatalaksana yang tepat, dengan demikian dapat mengurangi atau mencegah terbentuknya keloid atau menurunkan tingkat rekurensinya.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis dari keloid berdasarkan studi literatur.

Metode: Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode scoping review dengan sumber literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal yang dipublikasi di internet yang ditelusuri melalui search engine Google scholar, Spinger Link, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed.

Kesimpulan: Terdapat peningkatan kadar sitokin inflamasi pada bekas luka keloid dibandingkan dengan bekas luka normal, terapi kombinasi lebih baik dibandingkan dengan monoterapi saja, dan patomekanisme dan penatalaksanaan adalah faktor yang mempengaruhi prognosis pada keloid.

Kata Kunci: Keloid, patomekanisme, tatalaksana, prognosis, rekurensi

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keloid adalah gangguan fibroproliferatif jinak yang ditandai dengan pengendapan kolagen abnormal pada luka. Keloid berasal dari kata Yunani yang berarti cakar kepiting karena penampilan klinis yang menyerupai seperti cakar kepiting. Keloid tumbuh di luar batas luka dan mungkin disebabkan karena cedera kulit atau bahkan spontan. Pembentukan keloid dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lingkungan (proses inflamasi), topologi (tempat rawan keloid), dan faktor- faktor yang berhubungan dengan pasien (secara genetik).1,2

Prevalensi Keloid di seluruh dunia bervariasi berdasarkan etnis, misalnya, bervariasi dari 4,5% - 16% pada orang Afrika, Asia, dan Hispanik. Penyebarannya berkisar antara 0,09% di Inggris hingga 16% di Kongo. Di negara berpenghasilan tinggi, sekitar 11 juta pasien dengan keloid dilaporkan pada tahun 2000. Di negara berkembang terdapat 100 juta kasus setiap tahunnya dengan 55 juta kasus merupakan akibat dari pembedahan dan 25 juta kasus akibat trauma. Di Indonesia sendiri, pada penelitian di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP. Prof. Dr. Kandou Manado pada periode Januari 2011-Desember 2015 didapatkan kasus keloid sebanyak 93 kasus (1,68%). Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terjadinya keloid, meskipun insidennya sedikit meningkat pada perempuan, kemungkinan disebabkan karena pada perempuan memiliki lebih banyak prosedur kosmetik seperti tindik telinga.3–5

Insiden keloid lebih tinggi selama pubertas dan kehamilan. Faktor risiko keloid juga dapat mencakup orang dengan golongan darah A yang memiliki hubungan dengan keloid spontan, orang dengan hipertensi karena hipertensi dapat merusak pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan peradangan di jaringan sekitar keloid, dan tingkat pigmen melanin dalam sel yang secara langsung proporsional dengan insiden pembentukan keloid. Onset usia muda sekitar 10-30 tahun, orang dengan hiper IgE, lokasi anatomi cedera juga dianggap sebagai faktor risiko pembentukan keloid.6,7

(19)

Patogenesis keloid terutama disebabkan oleh penyembuhan luka yang abnormal baik karena respon abnormal terhadap peradangan atau fase proliferatif fibroblast dermal yang berlebihan dan akumulasi matriks dermal yang menyimpang. Banyak teori tentang pembentukan keloid, yang paling disetujui adalah ketidakseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi bersamaan dengan proliferasi fibroblasts, apoptosis dan inhibisi. Namun masih belum ada konsensus yang menjelaskan apa sel utama yang memerankan peran penting pada pembentukan keloid. Ada kemungkinan besar bahwa pembentukan keloid adalah multifaktorial alami, dengan sel inflamasi, makrofag, limfosit, dan sel mast memainkan peran yang lebih penting daripada yang diperkirakan sebelumnya. Pada individu yang memiliki predisposisi, sel-sel ini tampaknya menghasilkan sitokin dalam jumlah besar seperti interleukin-6, -17, dan TGF-1 dan -22, yang dapat merangsang fibroblasts untuk mensintesis kolagen secara berlebihan. Selanjutnya, sintesis yang berlebihan pada fibroblasts akan menyebabkan pelepasan sitokin lainnya melalui parakrin dan akhirnya menghasilkan siklus ganas sintesis kolagen dan terjadi deposit kolagen, sesuai dengan karakteristik dari keloid.1,4,8,9

Kebanyakan keloid terjadi tiga bulan setelah cedera dan beberapa kasus terjadi pada jarak satu tahun atau lebih. Keloid muncul sebagai tumor, agak lembut, dengan permukaan mengkilap. Keloid sering disertai dengan gejala pruritis dan menyakitkan, selain efek signifikan pada kualitas hidup pasien, baik secara fisik maupun psikologis, terutama pada bekas luka yang berlebihan. Operasi eksisi adalah salah satu modalitas dalam pengobatan keloid. Namun, operasi eksisi saja memiliki tingkat rekurensi 45-100%.10–13

Tingkat rekurensi keloid berkisar antara 20% sampai 100% tergantung pada berbagai modalitas tatalaksana yang diberikan. Hal ini juga dipersulit karena faktor- faktor yang mempengaruhi rekurensi keloid belum ditentukan dan patofisiologi keloid juga masih belum jelas. Memahami patomekanisme terbentuknya keloid sangat penting dalam menentukan tatalaksana yang tepat, dengan demikian dapat mengurangi atau mencegah terbentuknya keloid atau menurunkan tingkat rekurensinya.1

(20)

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan studi literatur yang bersumber dari jurnal nasional dan internasional yang membahas tentang patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis dari keloid.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana patomekanisme pada keloid berdasarkan studi literatur?

2. Bagaimana penatalaksanaan pada keloid berdasarkan studi literatur?

3. Bagaimana prognosis pada keloid berdasarkan studi literatur?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis dari keloid berdasarkan studi literatur.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat rekurensi dan progresifitas pada keloid berdasarkan studi literatur

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat untuk:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis pada keloid, serta diharapkan dapat dijadikan referensi dan bahan kajian lebih lanjut untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

(21)

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Manfaat Bagi Peneliti

Peneliti dapat menambah wawasan tentang faktor patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis pada keloid.

b. Manfaat Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bagaimana patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis pada keloid.

c. Manfaat Bagi Peneliti Lain

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan referensi bagi peneliti selanjutnya.

(22)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Definisi Keloid

Keloid adalah gangguan fibroproliferatif jinak pada kulit tanpa berpotensi menjadi ganas yang ditandai dengan pengendapan kolagen yang abnormal pada luka. Istilah keloid berasal dari bahasa Yunani yang berarti

"cakar kepiting," pertama kali diciptakan oleh Alibert pada tahun 1806, karena penampilan klinis menyerupai seperti cakar kepiting dan menggambarkan cara lesi berkembang secara lateral dari bekas luka asli ke jaringan normal.1,14

Keloid berupa jaringan parut yang terbentuk di lokasi cedera kulit (misalnya, di lokasi sayatan bedah atau trauma), tidak dapat sembuh dengan seiring berjalannya waktu, dan tumbuh di luar batas asli bekas luka. Terdapat perbedaan antara keloid dengan bekas luka hipertrofik, yang merupakan bekas luka yang tidak tumbuh melampaui batas luka aslinya dan dapat sembuh dari waktu ke waktu.14–16

2.1.2 Epidemiologi Keloid

Prevalensi Keloid di seluruh dunia bervariasi dipengaruhi oleh geografi dan etnis, bervariasi dari 4,5% - 16% pada orang Afrika, Asia, dan Hispanik.

Dalam hal distribusi geografis, insiden keloid berkisar antara 0,09% di Inggris sampai 16% di Zaire. Rata-rata insiden keloid hanya dapat diperkirakan 5-10%

di Afrika, 0-0,1% di Asia, dan 00,1% di negara lain.3,11

Diduga bahwa variasi geografis yang mempengaruhi terjadinya keloid disebabkan karna perbedaan ras dalam pigmentasi kulit. Pada penelitian Louw menyatakan bahwa orang kulit hitam dan Asia lebih rentan terhadap terbentuknya keloid daripada orang Kaukasus. Hal ini berbanding lurus dengan rasio orang kulit hitam banding orang kauskasus yang dilaporkan bervariasi dari 14:1 sampai 2:1. Akan tetapi, laporan tersebut mungkin memperlihatkan

(23)

bahwa orang Asia dapat memiliki kecenderungan yang sama rendah dengan orang Kaukasus (0,1% di Jepang versus 0,09% di Inggris).11

Pada penelitian lintas bagian dari desa-desa yang dipilih secara acak di Kenya dan orang-orang dengan albinisme yang direkrut melalui asosiasi albino di Kenya dan klinik pusat pelatihan dermatologi dan sekolah khusus di Tanzania. Dari 1416 orang Afrika yang direkrut, 1185 memiliki kulit berpigmen, dan 231 memiliki albinisme. Dan 954 di antara 1416 orang memiliki bekas luka di tubuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa total prevalensi keloidnya adalah 8,3%.11

Penelitian selanjutnya menggambarkan 175 pasien keloid yang mengunjungi Rumah Sakit Umum di Kuala Lumpur di Malaysia Barat dari tahun 1959-1967. Malaysia Barat memiliki populasi multiras. Analisis etnis dari kelompok pasien keloid menunjukkan bahwa keloid lebih umum pada orang Cina berkulit putih. Sebanyak 56% pasien keloid adalah orang Cina, etnis ini hanya 47,47% dari populasi. Sebaliknya, masing-masing 22,86% dan 17,14% pasien keloid berkulit gelap India dan Malaysia dengan etnis ini masing-masing 19,52% dan 29,58% dari populasi.11

Di negara berpenghasilan tinggi, sekitar 11 juta pasien dengan keloid dilaporkan pada tahun 2000. Di negara berkembang terdapat 100 juta kasus setiap tahunnya dengan 55 juta kasus merupakan akibat dari pembedahan dan 25 juta kasus akibat trauma. Di Indonesia sendiri, pada penelitian di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP. Prof. Dr. Kandou Manado pada periode Januari 2011-Desember 2015 didapatkan kasus keloid sebanyak 93 kasus (1,68%).4,5

2.1.3 Etiologi

Baik faktor genetik dan lingkungan memainkan peran dalam perkembangan keloid. Kecenderungan mengalami keloid terjadi setelah adanya trauma kulit apa pun baik trauma non inflamasi ataupun trauma inflamasi, termasuk pembedahan, tindik, jerawat, tato, gigitan serangga, luka bakar, luka bakar, lecet, vaksinasi, dan proses lain yang mengakibatkan peradangan pada kulit. Peningkatan ketegangan pada luka juga dapat turut

(24)

menyebabkan pembentukan keloid. Menurut hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan di RSUD DR. Soetomo Surabaya pada periode 2017-2018 dididapatkan hasil penyebab keloid terbanyak adalah akibat trauma non inflamasi.11,17

2.1.4 Faktor Risiko Keloid

Banyak faktor yang memainkan peran signifikan pada terbentuknya keloid. Predisposisi genetik merupakan faktor paling penting, selain itu juga terdapat faktor golongan darah, melanin, letak anatomis keloid, tipe kerusakan kulit, onset usia, dan jenis kelamin.18,19

a. Predisposisi Genetik

Komponen genetik memiliki korelasi dengan riwayat keluarga, yang didukung oleh beberapa fenomena berikut. Beberapa pasien keloid melaporkan terdapat riwayat keluarga yang positif. Terdapat 19,3% pasien Suriah yang memiliki riwayat keluarga dengan keloid, 50% pada pasien Afro Karibia, dan 36,4% pada pasien Nigeria.

Kejadian keloid juga tinggi pada kembar identik. Terdapat kecenderungan yang lebih tinggi pada orang kulit hitam, Hispanik dan Asia, namun kurang sering pada orang Kaukasus. Peningkatan insiden keloid juga dapat dilihat pada pasien dengan beberapa sindrom genetik seperti Sindrom Turner, Sindrom Opitz-Kaveggia, Rubinstein Taybi Sindrom dan Ehlers Danlos Sindrom.18,20

Pola warisan pada keloid merupakan resesif autosomal, dominan autosomal dengan penetrasi tidak lengkap, dan ekspresi variabel.

Beberapa gen dianggap bertanggung jawab atas penyakit keloid, tetapi sejauh ini belum ada mutasi gen tunggal yang bertanggung jawab. Studi asosiasi genom luas dalam populasi Jepang telah menunjukkan bahwa empat SNP (Single Nucleotide Polymorphism) lokus di tiga daerah kromosom (1q41, 3q22,3-23 dan 15q21,3) menunjukkan asosiasi yang signifikan dengan keloid.18

(25)

Marneros dan rekan-rekannya melakukan penelitian dengan mempelajari dua keluarga dengan pola warisan autosomal dominan keloid (keluarga Jepang dan keluarga Amerika-Afrika). Mereka mengidentifikasi hubungan ke kromosom 2q23 (maksimal dua poin skor LOD 3.01) untuk keluarga Jepang. Keluarga Afrika-Amerika menunjukkan bukti lokasi kerentanan keloid ada pada kromosom 7p11 (maksimal dua poin skor LOD 3.16). Pada penelitian Brown dan rekan- rekan menemukan hubungan genetik antara status HLA-DRB1*15 dan risiko mengembangkan bekas luka keloid pada individu kulit putih.

Juga, karier HLA-DQA1*0104, DQB1*0501, dan DQB1*0503 dilaporkan memiliki peningkatan risiko terkena keloid.21–23

b. Golongan Darah

Orang dengan golongan darah A memiliki kemungkinan tinggi untuk terbentuknya keloid dibandingkan dengan golongan darah lainnya, yang sebagian dapat dijelaskan oleh hubungan antara efek antigen sel merah A (yang ada pada permukaan membran sel darah merah dan sel epitel tertentu) dan faktor - faktor lain pada pasien.

Sebuah penelitian oleh Shaheen menyingkapkan hubungan antara keloid spontan dan golongan darah A, yang meneguhkan pengaruh antigen sel merah A dalam perkembangan keloid, namun temuan ini belum dilaporkan sebelumnya.18

c. Melanin

Hal ini berhubungan dengan pembentukan keloid dan warna kulit, yang didukung oleh fenomena berikut:18

a) Orang kulit berwarna seperti ras Negroid dan Mongoloid memiliki kecenderungan lebih besar untuk menderita keloid dibandingkan dengan ras Kaukasia. Rasio perbandingan antara orang kulit hitam dan orang kulit putih yang menderita keloid sangat bervariasi, berkisar antara 5-18,7:1. Di sisi lain, jelas keloid tidak ditemukan di antara albino yang merupakan kondisi di mana tidak ada atau minimalnya pigmen melanin.

(26)

b) Insiden keloid bervariasi di berbagai bagian tubuh bahkan pada individu yang sama; misalnya, keloid lebih sedikit berkembang di telapak tangan karena kadar melanosit yang sedikit.

c) Remaja dan wanita hamil mengalami peningkatan sekresi hormon dan pigmentasi kulit maka akan lebih rentan terhadap keloid.

Berdasarkan fakta-fakta ini, menjadi jelas bahwa insiden keloid sangat terkait dengan warna kulit. Melanin adalah pigmen yang paling penting yang menentukan variasi warna kulit dari berbagai ras di dunia.

Hubungan antara melanin dan perkembangan keloid telah diasumsikan oleh beberapa teori:18

a) Selama penyembuhan luka, melanosit dari stratum basale akan berinteraksi dengan fibroblasts dari lapisan kulit, setelah membran basale rusak, yang pada gilirannya memudahkan proliferasi fibroblast dan sekresi dan pengendapan kolagen.

b) Kadar melanin yang tinggi menyebabkan penurunan histologi PH, yang mana akan menghambat kolagenase dan berakibat terganggunya proses degradasi kolagen.

d. Letak Anatomis

Terdapat 76% pasien keloid memiliki riwayat keluarga dengan keloid yang terletak di lokasi anatomi yang sama, dan 66% dari mereka memiliki keloid yang disebabkan oleh penyebab yang sama. Selain itu, riwayat keluarga sangat terkait dengan pembentukan keloid di beberapa lokasi dibandingkan dengan satu lokasi anatomi saja.18

Anterior dada, bahu, cuping telinga, lengan atas dan pipi memiliki predileksi yang lebih tinggi untuk terbentuknya keloid. Kelopak mata, kornea, telapak tangan, membran mukosa, alat kelamin dan telapak kaki umumnya kurang terpengaruh. Anatomi yang paling umum terjadinya keloid berbeda menurut ras. Shaneen menunjukkan bahwa anggota tubuh bagian atas 20% diikuti oleh sternum 19,17% adalah situs yang

(27)

paling umum untuk mengembangkan keloid pada pasien di Suriah.

Demikian pula, Abas Mouhari Toure mencatat bahwa sternum 28,95%, anggota tubuh bagian atas 15,8% dan kepala 16,7% adalah tempat yang paling umum pada pasien kulit gelap. Sebaliknya, telinga 23% adalah yang paling umum pada penelitian Bayat. Di sisi lain, kebanyakan penelitian menyetujui bahwa alat kelamin, bokong, telapak tangan, merupakan tempat yang paling langka untuk terjadinya keloid.18 e. Tipe Kerusakan Kulit (Penyebab)

Keloid dapat berkembang setelah cedera kulit apa pun seperti kondisi noninflamasi seperti luka bakar, trauma, pembedahan, tindikan, atau kondisi kulit inflamasi seperti jerawat vulgaris, folikulitis, infeksi varicella, atau vaksinasi (terutama vaksinasi BCG), tetapi tidak semua penyebab tersebut dapat menyebabkan keloid bahkan pada orang yang rentan. Hal ini berarti semua jenis cedera kulit bisa menyebabkan keloid, tapi setiap pasien dipengaruhi oleh jenis cedera tertentu. Sangat sedikit pasien yang memiliki keloid yang disebabkan oleh dua penyebab yang berbeda.18

f. Onset Usia

Meskipun keloid dapat terjadi pada usia berapa pun, keloid jarang terjadi pada dekade pertama, karena orang dalam dekade ini tidak dirangsang oleh hormon seksual (insiden lebih tinggi pembentukan keloid selama pubertas). Kemungkinan besar terjadi pada dekade kedua dan ketiga dan cenderung menurun pada usia lanjut, yang didukung oleh fenomena berikut:18

a) Individu muda mungkin memiliki frekuensi trauma yang lebih tinggi, kulit yang lebih elastis daripada kulit individu tua.

b) Individu muda memiliki tingkat hormon seksual yang lebih tinggi daripada individu tua (pertumbuhan keloid juga dapat dirangsang oleh berbagai hormon, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian di mana menunjukkan pembentukan keloid memiliki insiden yang lebih tinggi selama pubertas dan

(28)

kehamilan, dengan penurunan ukuran setelah menopause, yang berhubungan dengan metabolisme hiperandrogen lokal yang mungkin memainkan peran sebab akibat atau setidaknya berkontributif dalam patogenesis keloid). Luka bakar adalah penyebab paling umum untuk mengembangkan keloid dalam dekade pertama dibandingkan dengan dekade lainnya, terutama pada anggota tubuh atas dan bawah.

g. Jenis Kelamin

Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama untuk terjadinya keloid, meskipun insidennya sedikit meningkat pada perempuan, kemungkinan disebabkan karena pada perempuan memiliki lebih banyak prosedur kosmetik seperti tindik telinga.21 h. Hipertensi

Terdapat hubungan antara hipertensi dan keparahan perkembangan keloid. Tekanan darah berhubungan secara signifikan dan positif dengan kedua ukuran dan jumlah keloid. Hubungan ini mungkin mencerminkan fakta bahwa hipertensi merusak pembuluh darah sehingga meningkatkan peradangan pada jaringan lokal.18

2.1.5 Patomekanisme Keloid

Penyembuhan luka terjadi dalam 3 tahap:4,8

1. Fase Hemostasis dan Inflamasi: dimulai setelah cedera dan berlanjut selama 4-6 hari.

2. Fase Proliferatif: Mulai dari hari ketiga setelah cedera dan berakhir setelah 2-3 minggu.

3. Fase Maturasi dan Remodeling: Di mana maturasi bekas luka dan pengurangan ukuran bekas luka terjadi pada 42 hari dan selesai sepenuhnya setelah 1 tahun.

Patogenesis keloid terutama disebabkan oleh penyembuhan luka yang abnormal baik karena respon abnormal terhadap peradangan atau fase proliferatif yang berkepanjangan. Banyak teori tentang pembentukan keloid,

(29)

yang paling disetujui adalah ketidakseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi bersamaan dengan proliferasi fibroblasts, apoptosis dan inhibisi.4,8

Peningkatan sintesis kolagen berhubungan dengan stimulasi fibroblasts keloid melalui mediator inflamasi terutama mengubah faktor pertumbuhan beta-1 (TGF-beta 1). TGF-beta 1 isoforms seharusnya bertanggung jawab dalam overproduksi kolagen oleh fibroblasts di bekas luka patologis. Karena TGF-beta 1 dan TGF-beta 2 terlalu ditekan, sebaliknya TGF-beta 3 kurang diekspresikan yang berakibat terangsangnya aktivitas fibroblast dan produksi kolagen matriks ekstraseluler. Peran lain dari TGF-beta 1 dalam pembentukan keloid adalah dengan meningkatkan inhibitor jaringan metalloproteinase (TIMP) dan menurunkan metalloproteinase matriks (MMP) yang merupakan mediator kunci yang bertanggung jawab atas degradasi matriks ekstraseluler.4,8,24

Teori lain memperlihatkan bahwa kekurangan bentuk aktif vitamin D bersama dengan lebih sedikit reseptor vitamin D (VDR) dalam jaringan parut keloid dibandingkan pada kulit normal, berperan dalam pembentukan keloid.

Teori itu, yaitu:4,8

1. Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) dan faktor pertumbuhan jaringan ikat (CTGF) yang meningkat membantu produksi keloid. Selain itu, beberapa penelitian menyatakan ketidakseimbangan antara VEGF yang meningkat dan endostatin (kolagen XVIII) yang tidak diatur pada pasien keloid.

2. Periostin yang merupakan protein yang disekresikan oleh matriks ekstraseluler yang terlibat dalam angiogenesis. Ditemukan bahwa kadar periostin meningkat dalam jaringan keloid dengan kepadatan pembuluh darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan normal.

3. Decorin adalah komponen proteoglikan dari jaringan ikat yang memiliki peran dalam penghambat sintesis kolagen dan fibronektin dan juga memiliki tindakan penghambat pada angiogenesis.

Penelitian menemukan bahwa dekorin tidak diatur dalam keloid.

(30)

4. Reseptor faktor pertumbuhan turunan platelet (PDGF) bersama dengan reseptor faktor pertumbuhan insulin 1 (IGF-IR) yang berlebihan memiliki peran dalam patogenesis keloid.

5. Hilangnya komunikasi antar sel di persimpangan celah dapat mengganggu keseimbangan apoptosis dan proliferasi pada fibroblasts.

6. Adanya ketidakseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi akibat berkurangnya apoptosis fibroblasts.

7. Sinyal abnormal dikirim oleh sel tetangga, yaitu keratinosit, sel mast, sel T-helper 2, IL 4, 5, 10 dan 13 dapat menginduksi fibrogenesis dan meningkatkan pembentukan keloid.

8. Hipoksia, karena oksigen dikenal memiliki peran dalam perbaikan luka, sehingga lingkungan hipoksia berhubungan dengan pembentukan keloid sebagaimana dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa daerah pusat keloid sangat iskemik dibandingkan dengan bekas luka hipertrofik dan kulit normal, di mana para peneliti menemukan kepadatan vaskular lebih sedikit bersama dengan ekspresi berlebihan hipoksia-induksi faktor-1 α (HIF-1) di bagian tengah keloid daripada bagian perifer.

9. MikroRNA yang kecil non-kode RNA memiliki peran dalam regulasi ekspresi gen.

10. Teori upregulasi gen dari fibroblasts, di mana gen-gen ini diatur untuk menanggapi respon inflamasi di lingkungan mikro.

11. Faktor nutrisi yang mempengaruhi pembentukan keloid khususnya peran komposisi lipid. Trigliserida ditemukan 60% lebih banyak dalam jaringan keloid dibandingkan dengan kulit normal, maka diperkirakan bahwa metabolisme lipid berperan dalam merangsang reaksi inflamasi pada keloid.

12. Keloid didefinisikan sebagai tumor jinak karena perilaku seperti tumor dalam beberapa aspek sebagai sinyal proliferatif, induksi angiogenesis, menahan kematian sel, invasi tetapi tanpa metastasis

(31)

dan responsif terhadap pengobatan kanker sebagai kemoterapi, radioterapi, 5-fluorouracil, bleomycin, mitomycin C, doxorubicin, tamoxifen dan lainnya.

Namun masih belum ada konsensus yang menjelaskan apa sel utama yang memerankan peran penting pada pembentukan keloid. Ada kemungkinan besar bahwa pembentukan keloid adalah multifaktorial alami, dengan sel inflamasi, makrofag, limfosit, dan sel mast memainkan peran yang lebih penting daripada yang diperkirakan sebelumnya. Pada individu yang memiliki predisposisi, sel-sel ini tampaknya menghasilkan sitokin dalam jumlah besar seperti interleukin-6, -17, dan TGF-1 dan - 22, yang dapat merangsang fibroblasts untuk mensintesis kolagen secara berlebihan. Selanjutnya, sintesis yang berlebihan pada fibroblasts akan menyebabkan pelepasan sitokin lainnya melalui parakrin dan akhirnya menghasilkan siklus ganas sintesis kolagen dan terjadi deposit kolagen, sesuai dengan karakteristik dari keloid.1,4,8

2.1.6 Diagnosis

Hal ini didasarkan pada fitur klinis, tapi tak jarang perlu melihat hasil dari histopatologi.21

Keloid menunjukkan pertumbuhan jaringan parut yang berlebihan, biasanya di daerah trauma sebelumnya. Keloid meluas melewati daerah trauma, memproyeksikan di atas tingkat kulit sekitarnya, tapi jarang meluas ke jaringan subkutan dasar.21

Keloid adalah tumor nodular yang berkisar dalam konsistensi dari lembut, elastis seperti karet, keras dan memiliki permukaan mengkilap. Lesi biasanya tanpa folikel rambut dan kelenjar adneksa lainnya. Pada pasien Kaukasia, keloid cenderung eritematik dan telangiektasis, namun sering hiperpigmentasi pada individu berkulit gelap. Lesi awal sering eritematus, kemudian berubah menjadi merah kecoklatan dan kemudian pucat seiring bertambahnya usia. Kebanyakan lesi terus tumbuh selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan bahkan dapat tumbuh selama bertahun-tahun.

Pertumbuhan biasanya lambat, tetapi keloid kadang-kadang membesar dengan

(32)

cepat, tiga kali lipat dalam beberapa bulan. Keloid pada telinga, leher, dan perut cenderung pedunculated. Keloid di bagian tengah dada dan ekstremitas biasanya timbul dengan permukaan datar dan dasarnya sering lebih lebar dari permukaan. Kebanyakan keloid berbentuk bulat, oval, atau lonjong dengan margin teratur, akan tetapi, ada yang memiliki konfigurasi seperti cakar dengan batas yang tidak teratur.21

Gambar 2. 1 Keloid Pedunculated Pada Telinga21

Keloid mungkin tidak memiliki gejala atau asimptomatis, tetapi sering disertai pruritis, hiperestesia dan\atau menyakitkan. Keloid juga memiliki efek signifikan terhadap kualitas hidup pasien, baik secara fisik maupun psikologis, terutama dalam bekas luka yang berlebihan. Setelah keloid berhenti tumbuh, keloid tidak menyebabkan gejala.21

Gambaran histopatologi pada keloid dapat berupa perubahan lapisan epidermis, seperti hiperkeratosis, hipergranulosis, spongiosis, vakuola sel basal yang menonjol. Perubahan lapisan dermis berupa distribusi kolagen sampai ke stratum papilaris, serat kolagen yang abnormal, padat, lebar, eosinofilik, dan terlihat seperti kaca. Pembuluh darah pada keloid terlihat menumpuk di bawah lapisan epidermis dengan kecenderungan tumbuh ke arah epidermis. Pada keloid juga dapat ditemukan adanya infiltrat akibat kronik inflamasi dan adanya sel mast.21

(33)

2.1.7 Tatalaksana

Tidak ada terapi tunggal untuk semua jenis keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman lesi, usia pasien, dan respons terhadap riwayat terapi sebelumnya menentukan jenis terapi apa yang akan digunakan. Sejauh ini, strategi preventif dan pengobatan terutama masih berfokus pada mengurangi peradangan pada keloid. Diperlukan terapi lain yang menargetkan gen atau molekul yang menjadi penyebab dari keloid. Berikut adalah beberapa modalitas terapi yang sudah dipublikasi dan terbukti memberikan hasil yang baik.21,25

Tatalaksana Non Invasif 1. Terapi Tekan

Terapi kompresi terutama digunakan sebagai terapi pembantu setalah eksisi bedah untuk mencegah terulangnya keloid telinga.

Mekanisme terapi tekan diperkirakan termasuk mechanoreceptor- induced apoptosis sel dalam ECM dan/atau pressure-induced iskemia

yang mengubah aktivitas fibroblast dan menstimulasi degradasi kolagen.26

Terapi tekan dapat menggunakan perban elastis, cetakan penekan teling kustom, anting-anting, dan magnet. Penelitian telah menunjukkan bahwa keloid telinga yang diobati dengan terapi tekan pasca eksisi memiliki tingkat non-rekurensi 70,5 sampai 95 persen.

Terapi tekan memiliki hasil terbaik jika alat tekanan ditempelkan setidaknya 12 jam per hari setidaknya selama enam bulan dengan tekanan setidaknya 24mmHg. Jika tekanan melebihi 30mmHg, kompresi berpotensi menyebabkan nekrosis pada jaringan.26

2. Silicone Gel Sheeting

Digunakan untuk menghindari bekas luka menjadi berlebihan.

Silicone Gel Sheeting bekerja melalui oklusi luka dan menghidrasi sehingga dapat mengurangi aktivitas fibroblast dan produksi kolagen.

Metode ini lebih efektif sebagai metode pencegahan daripada pengobatan, tetapi penggunaannya perlu dibatasi setidaknya 12 jam sehari selama 12 bulan.4

(34)

3. Flavonoid (Heparin Gel 12 dan Onion Extract)

Heparin memiliki efek penghambat pada peradangan dan produksi fibroblasts. Flavonoid seperti quercetin dan kaempferol yang terdapat dalam ekstrak bawang diyakini dapat merangsang ekspresi metalloproteinase matriks yang merangsang degradasi kolagen tipe I.

Flavonoid harus digunakan 2 minggu setelah perawatan luka primer, dua kali sehari selama 4-6 bulan.4

Tatalaksana Invasif

4. Kortikosteroid Intralesional

Kortikosteroid intralesional merupakan lini pertama untuk pengobatan dan pencegahan pada keloid. Obat ini bertindak melalui penekanan produksi fibroblast dengan menurunkan ekspresi TGF-beta dan sintesis kolagen dan juga menekan peradangan dan mitosis.

Triamcinolone asetonide (TAC) banyak digunakan dalam injeksi keloid dalam konsentrasi 10-40 mg/ml pada interval 4-6 minggu untuk menghindari tekanan adrenal. Pada penggunaan TAC sebagai monoterapi, berarti tingkat pengulangan 33% dan 50% pada 1 dan 5 tahun masing-masing. Efek samping umum dari suntikan kortikosteroid adalah rasa sakit, atrofi, dan hipopigmentasi. Gabungan TAC intra- lesional dan cryotherapy sekarang dianggap pengobatan lini pertama pada keloid non-auricular.4

5. Krioterapi

Krioterapi menggunakan media nitrogen cair yang mempengaruhi mikrovaskular penyebab kerusakan sel dan anoksia jaringan. Krioterapi telah digunakan secara luas dalam pengobatan keloid yang dikombinasikan dengan kortikosteroid intralesional. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan terapkan 1, 2, atau 3, siklus freeze thaw, masing-masing berlangsung 10-30 detik. Sesi mungkin dibutuhkan setiap 3 minggu sampai interval bulan. Tingkat keberhasilan 30- 75% baik dengan semprotan atau kontak dengan

(35)

nitrogen cair. Efek samping utamanya adalah hipopigmentasi permanen dan rasa sakit. Direkomendasikan melakukan sesi lebih sedikit untuk penyembuhan luka yang lebih baik. Pendekatan baru dalam krioterapi adalah dengan menerapkan nitrogen cair menggunakan jarum tusukan lumbar melalui sumbu panjang keloid untuk memberikan nitrogen cair melalui infus set selama 2 siklus freeze thaw masing-masing 20-30 detik, sesi perlu diulang 5-10 kali.4

6. 5-Flourouracil (5-FU)

Zat antineoplastik yang memiliki kemampuan untuk mengganggu sintesis DNA dan proliferasi sel penghambat proliferasi fibroblast dan juga meningkatkan apoptosis fibroblasts tanpa nekrosis jaringan.

Disuntikkan secara intralesional dengan dosis 50 mg/ml, setiap minggu selama 12 minggu. Untuk menghindari efek samping 5-FU seperti eritema dan ulkus, lebih baik menambahkan sedikit TAC.4

7. Bleomycin

Agen antikanker yang menyebabkan nekrosis keratinosit. Hal ini membantu pada pasien dengan bekas luka lama yang resisten terhadap suntikan kortikosteroid intralesional di mana disarankan untuk diberikan dari 2-6 sesi selama 2 minggu atau bulan sesuai dengan tingkat keparahannya. Untuk menghindari efek samping seperti nyeri, pembengkakan, kemerahan, atau hematoma, pemberian dosis harus mulai dengan dosis maksimal 1,5 IU/ml.4

8. Interferon Injection

Interferon injection dapat mengurangi produksi kolagen I dan III.

Hal ini diberikan secara intralesional pada dosis 1,5 * 106 IU dua kali sehari selama 4 hari, dan didapatkan 50% pengurangan keloid tercapai.

Efek samping seperti gejala flu dan rasa sakit adalah umum dengan pengobatan. Interferon injection mungkin digunakan sebagai pengobatan profilaksis setelah operasi dan lokasi eksisi dengan menyuntikkan ke dalam garis jahitan.4

9. Calcium Channel Blocker

(36)

Verapamil telah menunjukkan efek pada sintesis kolagen karena dapat menurunkan produksi matriks ekstraseluler dan meningkatkan fibrinase dan procollagenase, juga menghambat interleukin-6 dan VEGF, sehingga digunakan dalam pengobatan keloid dengan dosis 2,5 mg/ml. Dibandingkan dengan suntikan kortikosteroid intralesional, verapamil intralesional sangat efektif dan memiliki insiden efek buruk yang lebih rendah dengan memperbaiki penampilan keloid, tapi kortikosteroid intralesional memberikan hasil lebih cepat dalam pengobatan.4

10. Imiquimod 5%

Digunakan sebagai profilaksis imunomediator yang merangsang interferon alfa yang meningkatkan degradasi kolagen sehingga digunakan setelah eksisi bedah dengan tingkat pengulangan lebih sedikit. Efek samping seperti iritasi, erosi dangkal, dan hipopigmentasi (terutama jika digunakan setelah operasi eksisi) mungkin terjadi.4 11. Tricholoroacetic Acid (TCA)

TCA adalah chemical peeling yang menyebabkan denaturasi protein pada kedalaman yang berbeda sesuai dengan konsentrasi yang diterapkan di mana sangat dangkal pada 10-20%, dangkal pada 25-30%, sedang sampai ke dermis papilaris pada 35-50%, dan dalam sampai ke dermis retikular pada >50%. Efek buruk seperti bekas luka atau pasca- inflamasi hipo- atau hiperpigmentasi mungkin terjadi dengan konsentrasi >35%. Akan tetapi, TCA dalam konsentrasi tinggi menginduksi sintesis kolagen dan merangsang pertumbuhan epidermis baru sehingga dapat digunakan dalam pengobatan keloid. Hal ini karena interleukin-10 ekspresi yang mengatur metabolisme kolagen tipe I.4 12. Laser Ablatif

Terapi ini tergolong baru dengan laser ablatif yang paling sering digunakan adalah laser dengan erbiumdoped yttrium aluminium garnet (Er: YAG) dan karbondioksida (CO2). Rekurensi keloid setelah perawatan menggunakan laser CO2 dapat muncul dari 2 minggu hingga

(37)

3 tahun pasca perawatan. Studi lain menemukan bahwa kombinasi laser CO2 dengan injeksi interferon alfa-2b yang diberikan pada 30 pasien dengan keloid aurikula didapatkan hasil tidak terjadi rekurensi pada 66% dari pasien pada 3 tahun pasca perawatan.27

13. Microneedle Physical Contact

Microneedle Physical Contact telah dipelajari oleh banyak peneliti selama decade terakhir terutama untuk pengobatan transdermal.

Berbeda dengan jarum konvensional yang memiliki lebar setidakknya 1 mm atau memiliki dimensi yang lebih besar, perangkat jarum mikro terdiri dari jarum dengan ukuran mikron. Microneedle mampu menembus stratum korneum tanpa menstimulasi saraf dermis, sehingga menyebabkan lebih sedikit rasa sakit, infeksi, dan cedera dibandingkan dengan injeksi konvensional.28

14. Terapi Invansif Lain

Metode bedah: lebih baik digunakan sebagai terapi gabungan dengan kortikosteroid karena tingkat rekurensi lebih tinggi >50% ketika digunakan sebagai monoterapi. Beberapa teknik digunakan dalam pembedahan penghapusan keloid sebagai pencangkokan kulit setelah eksisi sederhana atau cryosurgery intralesional yang digunakan untuk mengangkat jaringan keloid dengan cedera kulit minimal, bagaimanapun, tingkat rekurensi hingga 45-100%. Modal gabungan pasca operasi lainnya seperti radioterapi, imiquimod 5%, dan interferon dapat digunakan.4

Terapi brachytherapy dosis tinggi dapat dilakukan terutama pada pasien yang resisten terhadap terapi radiasi sinar beam atau kortikosteroid. Terapi ini menghasilkan tingkat rekurensi sekitar 4,7%

sampai 21%. Sebagai perawatan pengobatan keloid resisten, terapi brachytherapy dosis tinggi yang dikombinasikan dengan terapi eksisi berulang secara signifikan menunjukkan tingkat rekurensi lebih rendah dengan hasil kosmetik yang sangat baik dengan tingkat kepuasan 86,9%.29

(38)

Di Indonesia, terapi keloid yang paling dipilih adalah injeksi kortikosteroid dan terapi kombinasi, sedangkan operasi eksisi jarang dipilih karena tingkat rekurensinya yang tinggi. Namun, pada penelitian di Poliklinik Bedah Plastik di RSUD Dr. Soetomo pada periode Desember 2008-2009, terapi yang paling banyak dipilih adalah operasi eksisi. Sedangkan pada penelitian di Departement Dermatologi dan Veneologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Manado, terapi yang paling banyak dipilih adalah injeksi kortikosteroid.30

2.1.8 Prognosis Keloid

Tingkat rekurensi keloid berkisar antara 20% sampai 100% tergantung pada berbagai modalitas tatalaksana yang diberikan. Hal ini juga dipersulit karena faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi keloid belum ditentukan dan patofisiologi keloid juga masih belum jelas.1

(39)

2.2 Kerangka Teori

Tatalaksana:

1. Terapi Noninvansif 2. Terapi Invansif 3. Terapi Invansif Lain

Patomekanisme

Fase inflamasi yang memanjang

Peningkatan aktivitas fibroblast

Terbentuknya matriks ekstraseluler

Faktor Risiko:

1. Predisposisi Genetik 2. Golongan Darah 3. Melanin

4. Letak Anatomis 5. Tipe Kerusakan Kulit

(Penyabab) 6. Onset Usia 7. Jenis Kelamin 8. Hipertensi Etiologi:

1. Trauma Kulit Non Inflamasi 2. Trauma Kulit

Inflamasi

Keloid

Diagnosis

Prognosis

Bagan 2. 1 Kerangka Teori

(40)

2.3 Kerangka Konsep

Prognosis Patomekanisme

Keloid Tatalaksana

Bagan 2. 2 Kerangka Teori

= Faktor yang diteliti

(41)

24 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Strategi Pencarian Studi Literatur

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur yang bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif semua literatur yang relevan dengan topik atau variabel penelitian. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode scoping review. Metode scoping review adalah metode penelitian yang dilakukan dengan menelusuri, membaca berbagai sumber, seperti buku, jurnal, dan terbitan- terbitan lain yang berkaitan dengan topik penelitian untuk menjawab topik atau permasalahan terkait secara sistematis tanpa harus melakukan critical appraisal dan sintesis sistematis. Tujuan dari scoping review ini adalah untuk menjawab pertanyaan secara spesifik, terfokus pada topik yang akan ditelaah, serta relevan.

Tahapan yang dilakukan pada metode ini dimulai dari mengidentifikasi pertanyaan penelitian, mengidentifikasi penelitian yang relevan, pemilihan penelitian, mencatat data, dan meringkas serta melaporkan hasil.

Sumber literatur yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal yang dipublikasi di internet yang ditelusuri melalui search engine Google scholar, Spinger Link, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed. Penilaian jurnal dilihat dari abstrak apakah relevan dengan tujuan penelitian. Penelusuran literatur menggunakan kata kunci: “Patomekanisme, Tatalaksana, dan Prognosisi Keloid”

untuk search engine Google Scholar, sedangkan untuk search engine Spinger Link, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed menggunakan kata kunci:

(“pathomechanism” OR “pathophysiology” OR “pathogenesis”) AND (“treatment” OR “management”) AND (“prognosis” OR “recurrence” OR

“progression”) AND (“keloid”). Penelusuran literatur dilakukan sejak akhir bulan Mei 2022 hingga akhir bulan Agustus 2022.

(42)

3.2 Kriteria Literatur 3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada bahan kajian yang digunakan pada penelitian ini antara lain:

1. Literatur nasional maupun internasional yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang diteliti

2. Literatur merupakan full paper dan tidak terbatas pada metode penelitian tertentu

3. Literatur dengan rentang waktu penerbitan jurnal minilam 5 tahun (2017-2022)

4. Literatur yang menggunakan Bahasa Inggris dan/atau Bahasa Indonesia

3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada bahan kajian yang digunakan pada penelitian ini antara lain:

1. Literatur yang hanya berupa abstrak

2. Literatur yang merupakan review journal bukan original research journal

Tabel 3. 1 Hasil Temuan Literatur

Data Based Temuan Literatur Terpilih

Google Scholar 206 1

Springer Link 771 2

ScienceDirect 927 2

CambridgeCore 16 1

PubMed 1.330 4

JUMLAH 3.250 10

(43)

3.3 Tahapan Studi Literatur

Bagan 3. 1 Diagram Tahapan Studi Literatur dengan Berbagai Search Engine Pencarian Literatur Basic Data:

Google Scholar, Springer Link, ScienceDirect, CambridgeCore, dan

Pubmed

Hasil Pencarian (n=3.250)

Jurnal atau literatur disaring atas dasar judul, abstrak, dan kata kunci

Hasil pencarian yang akan diproses kembali (n=460)

Jurnal atau literatur disaring kembali dengan melihat keseluruhan teks

Hasil pencarian yang akan diproses kembali (n=10)

Hasil pencarian yang akan tidak diproses kembali (ketidaksesuaian

metode, duplikasi, kriteria) (n=2.790)

Hasil pencarian yang akan tidak diproses kembali (ketidaksesuaian

dengan topik yang akan diteliti) (n=450)

Literatur atau jurnal yang relevan dengan penelitian (n=10)

(44)

3.4 Peta Studi Literatur

Bagan 3. 2 Peta Studi Literatur

High In Situ M-RNA Levels of IL-22, TFG-Beta, and ARG-I in Keloid Scars (Luciana, 2018)

Patomekanisme, Penatalaksanaan,

dan Prognosis Pada Keloid

The Outcome of Postoperative Radiation Therapy Following Plastic Surgical Resection od Reccurent Ear Keloid: a Single Institution

Experience (Reham, 2022)

Use of a Smartphone for Imaging, Modeling, and Evaluation of Keloids (Weiqian, 2020)

Corellation Between Serum IL-37 Levels with Keloid Severity (Fathia, 2019)

Hyperbaric Oxygen Therapy Improves the Effect of Keloid Surgery and Radiotheraphy by Reducing

the Reccurence Rate (Ke-xin, 2018)

Combined Therapeutic Strategies for Keloid Treatment (Young, 2019)

Reconstructed Human Keloid Models Show Heterogeneity within Keloids Scars (Grace, 2018)

A Comparative Study of Various Modalities in the Treatment of Keloids (Archit, 2018)

Association of Interleukin-6 Gene Polymorphisms and Circulating Levels with Keloids Scar in a

Chinese Han Population (Zhu, 2017)

Postoperative Single Versus Multiple Fractionals High-Dose Rate Iridium-192 Surface Mould

Brachytherapy for Keloid Treatment: A Comparative Study (Misbah, 2017)

(45)

28 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan pada penelitian merupakan hasil telaah pada literatur yang bersumber dari jurnal-jurnal internasional maupun nasional yang sebelumnya telah dilakukan pencarian oleh peneliti dengan menggunakan search engine berupa Google Scholar, SpingerLink, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed. Melalui proses kajian tersebut, peneliti dapat mengetahui bagaimana patomekanisme, penatalaksanaan, dan prognosis pada keloid.

4.1 Hasil Kajian Studi Literatur

Berdasarkan hasil pencarian literatur yang bersumber pada search engine berupa Google Scholar, SpingerLink, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed, didapatkan sebanyak 3.250 literatur berdasarkan kata kunci yang telah ditetapkan peneliti. Proses pengumpulan literatur dilakukan dengan cara melakukan pemilihan berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh peneliti sehingga didapatkan literatur terpilih sebanyak 10 literatur. Proses pencarian berdasarkan search engine yang terpercaya dengan rincian seperti Google Scholar (n=1), SpingerLink (n=2), ScienceDirect (n=2), CambridgeCore (n=1), dan PubMed (n=4).

Berdasarkan tahapan dalam pencarian literatur dari search engine berupa Google Scholar, SpingerLink, ScienceDirect, CambridgeCore, dan PubMed, didapatkan hasil temuan literatur yang dianalisis akan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

(46)

29 No Pengarang-

Tahun Judul Jurnal Nama Jurnal Bahasa Jurnal

Tujuan

Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian 1. Lucina

Rodrigues da Cunha Colombo Tiveron, Isabela Rios da Silva, Marcos Vinicius da Silva, Alberto Borges Peixoto, Denise

Bertulucci Rocha Rodrigues, Virmondes Rodrigues Jr.

2018.

High in Situ MRNA Levels of IL-22, TFG- B, and ARG-1 in Keloid Scars

Journal of Immunobiolog y

Inggris Untuk menganalisis ekspresi in situ mRNA dari transformasi faktor

pertumbuhan beta (TGF-B), faktor

pertumbuhan fibroblast (FGF),

interleukin 33 (IL-33), interleukin 22 (IL-22), arginase 1 (ARG-1),

1. Menganalisis 98 biopsi yang diperoleh dari 53 pasien keloid dan 45 pasien dengan bekas luka normal. Biopsi dilakukan di Klinik Rawat Jalan Universitas Federal Triangulo Mineiro (UFTM), Brazil. Pasien dengan bekas luka hipertropik atau bekas luka second-intention healing tidak

Patomekanisme:

1. Ekspresi TGF-B, IL-22, dan ARG- 1 secara

signifikan lebih besar pada keloid

dibandingkan dengan bekas luka normal.

2. Adapun IL-33 ARG-2, dan VIP-R1,

meskipun jumlah salinan mRNA yang ditemukan pada keloid lebih tinggi, namun

(47)

30 arginase 2

(ARG-2), (iNOS), peptida vasoaktif intestinal (VIP), reseptor peptida

vasoaktif intestinal (VIP-R1), takikinin (TAC), dan reseptor takikinin (TAC-R1) pada keloid dan bekas luka normal.

termasuk. Pasien dengan penyakit imunosupresif, autoimun, dan defisiensi imun sistemik juga dikecualikan.

2. Ekspresi mRNA kuantitatif dari TGF-B, FGF, IL- 33, IL-22, ARG- 1, ARG-2, iNOS, VIP, and VIP-R1 dianalisis

menggunakan PCR sewaktu, dengan menggunakan cDNA dari fragmen kulit

perbedaan ini tidak signifikan.

3. Selain itu, level mRNA FGF, iNOS, VIP, TAC, dan TAC- R1 tidak

terdeteksi kadar dalam sampel.

Tatalaksana:

4. Hampir 90%

pasien dengan lesi keloid aktif diobati dengan kortikoid intralesional sebelum eksisi bedah dan profilaksis setelah operasi.

(48)

31 keloid dan kontrol

bekas luka.

3. Analisis statistik menggunakan software

StatView, dengan asumsi normalitas variabel

kuantitatif yang diuji

menggunakan tes Kolmogorov- Smirnov dan uji non parametrik menggunakan uji Mann-Whitney.

Prognosis:

5. Hampir 90%

dari sampel jaringan menunjukkan deposit triamcinolone pra operasi.

2. Reham Mohamed, Abosaleh Abosaleh

The Outcome of Postperative Radiation Therapy

Journal of The Egyptian National

Inggris Menyajikan pengalaman peneliti menggunakan

1. Pasien dengan keloid pada telinga berulang dan telah dirawat

Patomekanisme:

1. Enam puluh tujuh persen kasus

(49)

32 Elwadi, Reham

Al-Gendi, Safa Al-Mohsen, Shabeer Wani, Ahmed Wafa.

2022

Following Plastic Surgical Resection of Recurrent Ear Keloid: a Single Institution Experience

Cancer Institute

eksisi bedah dengan PORT (postoperative radiotherapy) untuk

pengobatan keloid pada telinga yang berulang. Juga, mempelajari variabel yang berbeda terutama dosis dan ukuran keloid yang mempengaruhi tingkat

rekurensi.

Komplikasi akibat

dengan reseksi bedah dan PORT (postoperative radiotherapy) dari tahun 2006-2021 di rumah sakit secara

retrospektif.

2. 55 pasien dengan keloid di telinga dari 83 kasus yang menerima radioterapi setelah eksisi bedah termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini.

3. Terapi radiasi menggunakan terapi sinar

berkembang menjadi reaksi kulit akut G1 dan hanya 9%

kasus berkembang menjadi reaksi akut G2.

Tatalaksana:

2. 49 pasien mengalami bebas dari kekambuhan lokal dengan tingkat

rekurensi bebas 2 tahun (2y- RFR) 88 ± 5%.

Regimen dosis yang digunakan

(50)

33 radioterapi

juga

dilaporkan dan dinilai.

elektron atau sinar x-ray ortovoltage.

Regimen diberikan dosis yang berbeda- beda, termasuk 13 Gy/1 fx, 8 Gy/1 fx, 10 Gy/2 fx, 15 Gy/3 fx, dan regimen fraksional lainnya. Pasien ditindak lanjuti dengan dengan radiasi setiap 3-6 bulan, dengan median 35 bulan.

Tingkat pengulangan bebas (RFR), efek

berbeda tidak mempengaruhi RFR secara signifikan dengan nilai p = 0,44.

3. Pasien dengan ukuran keloid

>2 cm,

menerima dosis 13 Gy/1fx menunjukkan RFR 2 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang menerima 8 Gy/1fx dengan nilai p = 0.05.

(51)

34 samping, dan

faktor prognostik dinilai.

4. Analisis statistik menggunakan uji Kaplan Meier untuk

memperikaran tingkat rekurensi- bebas. Tes log- rank digunakan untuk

membandingkan tingkat rekurensi antar kelompok.

4. Terapi orthovoltage menunjukkan RFR 2 tahun yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan berkas elektron; 92 ± 4%

dibandingkan dengan 72 ± 14%.

Prognosis:

5. Dosis yang lebih tinggi

digunakan untuk keloid dengan ukuran >2cm secara

(52)

35 signifikan

meningkatkan RFR.

3. Weiqian Jiang, Lingli Guo, Huan Wu, Jun Ying, Zheng Yang, Baohua Wei, Feng Pan, Yan Han. 2020

Use

Smartphone for Imaging, Modelling, and Evaluation of Keloids

Journal of The International Society for Burn Injuries

Inggris Menggunakan smartphone untuk membentuk model tiga dimensi pada keloid yang kemudian secara kuantitatif menstimulasik an dan

mengevaluasi jaringan keloid.

Pencitraan menggunakan

1. Penelitian ini mempelajari 33 lesi pada 28 pasien yang dirawat di Departemen Bedah Plastik, Pusat Medis Pertama, Rumah Sakit Umum PLA Cina, dari

Februari 2019 hingga Mei 2019.

2. Kaliper Vernier (GuangLu) digunakan untuk mengukur

Patomekanisme:

-

Tatalaksana:

1. Pasien wanita 26 tahun dengan keloid di dada diukur sebelum dan 18 hari sesudah injeksi triamcinolone acetonide 40 mg. Volume keloid menurun dari 1,1 menjadi 0,5 mL (dengan metode water flooding,

(53)

36 smartphone

memungkinka n evaluasi keloid dengan lebih nyaman, yang dapat memfasilitasi tindak lanjut jarak jauh jangka panjang dan akurat.

diameter terpanjang dan alat ultrasound genggam (Sonostar) digunakan untuk mengukur

ketebalan. Sebuah bahan kesan elastometrik (HuGe) digunakan untuk mencetak setiap keloid.

3. Foto keloid diambil menggunakan Huawei atau iPhone smartphone dengan setiap

volume menurun dari 1,3 menjadi 0,6 mL). Luas permukaan menurun menjadi 5,47 menjadi 4,38 cm2. Ketebalan maksimal menurun dari 3.9 menjadi 2,2 mm (dengan metode ultrasonik, ketebalan menurun dari 4,5 menjadi 2,5 mm). Lebar maksimum tidak

(54)

37 sudut set foto

skitar 15 derajat.

Sekitar 20 foto dikumpulkan untuk setiap lesi yang kemudian akan dibuat hasil model 3Dnya.

Perangkat lunak analisis bekas luka (CaiJing

Technology) digunakan untuk mengeksplorasi model yang menghasilkan diameter terpanjang, ketebalan dan volume.

berubah dari 36,6 mm

(dengan metode Caliper, lebar menurun dari 37,2 menjadi 36,6 mm).

2. Hasil uji reabilitas untuk pengukuran diameter, ketebalan, dan volume terpanjang menunjukkan data yang sangat mirip dengan semua nilai p >

0,05, kesalahan sistematis

(55)

38 4. IBM SPSS

Statistic versi 23 digunakan untuk membandingkan pengukuran manual dengan dua set data smartphone dalam diameter

terpanjang, ketebalan, dan volume dari keloid.

dengan

demikian kecil dan konsisten.

3. Hasil uji validitas menunjukkan bahwa data keloid

berdiameter dan volume

terpanjang yang diperoleh menggunakan smartphone adalah konsisten dengan data ketebalannya sangat mirip.

Prognosis:

-

Referensi

Dokumen terkait

LMA atau Leukemia Nonlimfositik Akut (LNLA) lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3

Berdasarkan gambar 4.3 bahwa pertanyaan atribut 3 yaitu daya tarik harga, dapat kita lihat smartphone merek Oppo dan Xiaomi terletak pada kuadran yang sama hal

Kewirausahaan sebagai mata kuliah, telah dimasukkan dalam kurikulum di semua Perguruan Tinggi di Kota Semarang, dengan kisaran bobot 2 sampai 3 SKS. Namun demikian,

Hanya Koh Cayadi pemilik toko Cahaya yang menjual TV karena Televisi dianggap barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang tertentu.koh Cayadi tahu bahwa

bergambar dengan balon percakapan. Balon percakapan dalam komik merupakan bagian penting dari komik yang akan memberi petunjuk kepada pembacanya untuk menarik

Hasil: Hasil penelitian didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara lama waktu bermain game online pada smartphone dengan keluhan subjektif carpal tunnel

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Kadar High- Sensitive Troponin

KESATU : Mengangkat Pembimbing dan Penguji dalam Kegiatan Disertasi pada Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran/Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro