• Tidak ada hasil yang ditemukan

S K R I P S I. Disusun dan Diajukan Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. oleh: FANDI ADITYA X

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "S K R I P S I. Disusun dan Diajukan Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. oleh: FANDI ADITYA X"

Copied!
213
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Cipta Dalam Dunia Digital:

Tinjauan Hukum Internasional Terhadap

Rights of Reproduction dan Rights of Distribution di Empat Negara

(Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

oleh:

FANDI ADITYA 050300112X

PROGRAM KEKHUSUSAN VI

(HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

2008

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah rabbal alamin akhirnya penulis dapat menyelesaikan dengan baik skripsi yang berjudul “Hak Cipta Dalam Dunia Digital: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Rights of Reproduction dan Rights of Distribution di Empat Negara (Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia)”.

Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan orang-orang di sekitar penulis yang terus memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis. Oleh karena itu penulis hendak berterima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Allah S.W.T., atas izin-Nya skripsi ini dapat selesai dengan baik;

2. Orangtua dan adik tercinta: Idayati, Gaguk Fauzi Santosa, dan Biondi Firmansyah serta keluarga besar di Surabaya. Terima kasih atas dukungannya kepada penulis selama ini. Semoga dukungan tersebut tidak akan pernah luntur sedikit pun;

3. Alvinia Nadini, wanita hebat yang selalu siap sedia di belakang penulis;

(3)

4. Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M., selaku pembimbing satu yang telah banyak meluangkan waktu untuk penulis;

5. Dr. Adijaya Yusuf, S.H., LL.M., selaku pembimbing dua yang telah meluangkan waktu untuk memberikan usulan di sana-sini demi kesempurnaan skripsi penulis;

6. Ibu Surini Mangundihardjo, S.H., M.H., selaku pembimbing akademis yang telah banyak membimbing penulis selama lima tahun menuntut ilmu di FHUI;

7. Tim dosen PK VI: Prof. Dr. Sidik Suraputra, S.H., Prof.

Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., Emmy Juhassarie, S.H., LL.M, Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki, S.H., M.H., Hadi Rahmat Purnama, S.H.,LL.M., Arie Afriansyah, S.H.

(Untuk sarannya tentang judul skripsi di menit-menit terakhir), M.I.L., Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M, Lita Aryati, S.H., LL.M., Mutiara Hikmah, S.H.,M.H., yang telah memberikan saran, masukan, dan inspirasi bagi penulis;

8. Rizky Priyadi Utama dan Rahmat Hendrawan Akbari; teman seperjuangan penulis dalam penulisan skripsi, namun karena satu dan lain hal berkesempatan untuk maju sidang tepat waktu sedangkan waktu sidang penulis diundur seminggu;

(4)

9. Teman-teman sepermainan penulis selama di FHUI: Fano (untuk diskusi yang tak terhitung jumlahnya), Herdy (untuk bantuan koreksi tata bahasa inggrisnya di menit terakhir), Dewina (atas gangguan yang penulis berikan di tengah-tengah kesibukan kantornya) Anjar, Daruli, Donny, Kreshna, Dimpy, Emil, Pasha, Hafez, , Indra, Gembong, Apat, Abraham, Handa, Miranda, Dewina, Idhy, Tio, Tuning, Vika, Nisa Umar, Uchie, Nisa RR;

10. Teman-teman PK VI: Batar (untuk saran-saran dan skripsinya yang oleh penulis banyak dijadikan acuan), Asih (untuk bantuannya terkait dengan kedutaan Thailand), Ijoel (untuk bantuannya terkait dengan Pengadilan Niaga), Aisy, Reggy, Arsy, Anita, Feitty, Ayu, Saiful, Anthony, Nathalie, Awo, Fano, Iyon, Yudha, Josephine, Hadyu, Dessy, Ferdien, Tephi, Anna. (mohon maaf jika ada yang tertinggal. Karena sudah banyak ditinggal lulus oleh kalian, penulis lupa siapa saja anggota PK VI angkatan 2003. Namun yang pasti penulis sangat berterima kasih kepada kalian semua.);

11. Teman-teman lainnya dari angkatan 2003: Danang (untuk bantuan daruratnya ketika komputer penulis bermasalah), Andini (untuk contoh abstrak skripsinya), Kenny (bersama dengan Lidya atas bantuannya perihal cover

(5)

skripsi di menit terakhir) Ervan, Joshua, Ewe, Adib, Ade Tero, Anom, Kima, Richard, Nadya, Achimi, Aini, Cupari, Dimcab, Emir, Wina, Ocka, Mahe, Deki, Dio;

12. Teman-teman penulis selain angkatan 2003: Lidya (bersama dengan Kenny atas bantuannya perihal cover skripsi), Aji, Dwy, Mine, Tia, Adya, Gordon, Mario, Mine, Rama, Ana, Ichsan, Titis, Mayo, Nelson, Suar, Chinmi;

13. Teman-teman di LPHI: Anita, Feitty, Ayu, Mbak Indri;

14. Mbak Ayusta, untuk saran-sarannya dan ijin-ijin yang diberikan ketika penulis harus mengurus penulisan skripsi ini;

15. Pak Sukiman, Pak Mul, Pak Arief, Pak Rifai dan seluruh jajaran Biro Pendidikan Mahasiswa FHUI;

16. Jajaran pengurus Perpustakaan Soediman Kartohadiprodjo.

17. Jajaran pengurus kantin;

18. Dan semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun secara tidak langsung;

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu Penulis mohon maaf atas segala kekurangan tersebut.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

(6)

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Depok, Juni 2008

Penulis

(7)

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS HUKUM

PROGRAM KEKHUSUSAN VI

(HUKUM TENTANG HUBUNGAN TRANSNASIONAL)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI

Nama : Fandi Aditya

NPM : 050300112X

Program Pendidikan : S-1 Judul Skripsi :

Hak Cipta Dalam Dunia Digital: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Rights of Reproduction dan Rights of Distribution di Empat Negara (Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia)

Menyetujui,

Ketua Bidang Studi Hukum Tentang Hubungan Transnasional

(Lita Arijati, S.H., LL.M.)

Pembimbing I,

(Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M.) Pembimbing II,

(Dr. Adijaya Yusuf, S.H., LL.M.)

(8)

ABSTRAK

Fandi Aditya, NPM: 050300112X, Hukum tentang Hubungan Transnasional (Program Kekhususan VI), Judul: Hak Cipta Dalam Dunia Digital: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Rights of Reproduction dan Rights of Distribution di Empat Negara (Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia)

Kemajuan teknologi memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat, namun di sisi lain juga memunculkan masalah-masalah yang sebelumnya tidak pernah ada.

Teknologi digital memberikan kemudahan untuk menggandakan berkas digital dengan sifat dan kualitas yang seratus persen identik dengan aslinya. Kemudian melalui internet berkas digital dapat dengan mudah disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Kemudahan tersebut membuat praktek saling berbagi berkas di antara para pengguna internet menjadi hal yang jamak, terutama berkas-berkas yang dilindungi oleh hak cipta seperti lagu dan program komputer. Dalam konteks aktivitas saling berbagi berkas yang dilindungi hak cipta, kemudahan-kemudahan ini merupakan ancaman bagi hak cipta, karena sejatinya hak untuk mereproduksi (rights of reproduction) dan hak untuk mendistribusikan (rights of distribution) suatu karya ciptaan merupakan hak eksklusif dari seorang pemegang hak cipta. Namun berkat kemudahan yang diberikan oleh dunia digital, kedua hak tersebut seringkali dilanggar. Masalah ini telah mengemuka di kalangan masyarakat internasional karena seringkali pelanggaran hak cipta terjadi dengan melintasi batas negara dengan cara mendistribusikannya melalui internet tanpa seizin pemegang hak ciptanya. Skripsi ini menganalisa keberlakuan pengaturan dalam hukum internasional di beberapa traktat dan konvensi serta di empat negara peserta konvensi hak cipta, yaitu Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia terkait dengan pengaturan hak cipta di dunia digital. Amerika Serikat dan Australia telah berhasil mengembangkan sistem perlindungan hak cipta yang spesifik di dunia digital, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai phak penyedia layanan internet, sedangkan sistem perlindungan hak cipta di Thailand dan Indonesia masih belum sespesifik itu.

(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH………1

B. POKOK PERMASALAHAN………12

C. TUJUAN PENELITIAN………13

D. KERANGKA KONSEPSIONAL………14

E. METODE PENELITIAN………16

F. SISTEMATIKA PENULISAN………18

BAB II TINJAUAN UMUM HAK CIPTA DALAM DUNIA DIGITAL A. KONSEP HAK CIPTA………21

B. SEJARAH HAK CIPTA………30

C. HAK CIPTA DALAM DUNIA DIGITAL………36

1. PELANGGARAN TERHADAP RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM KONTEKS HAK CIPTA DI DUNIA DIGITAL………37

2. BEBERAPA ALASAN MASYARAKAT UNTUK MENJUSTIFIKASI PELANGGARAN HAK CIPTA DI DUNIA DIGITAL………44

(10)

BAB III INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENJADI DASAR PERLINDUNGAN RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM DUNIA DIGITAL

A. BERNE CONVENTION FOR THE PROTECTION OF

LITERARY AND ARTISTIC WORKS………52 1. RIGHTS OF REPRODUCTION DALAM BERNE CONVENTION FOR THE PROTECTION OF

LITERARY AND ARTISTIC WORKS………58 2. RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM

BERNE CONVENTION FOR THE PROTECTION OF LITERARY AND ARTISTIC WORKS………60 B. UNIVERSAL COPYRIGHT CONVENTION………61

1. RIGHTS OF REPRODUCTION DALAM

UNIVERSAL COPYRIGHT CONVENTION………64 2. RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM

UNIVERSAL COPYRIGHTCONVENTION………65 C. AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS

OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS………69 D. WIPO COPYRIGHT TREATY………76

1. RIGHTS OF REPRODUCTION DALAM

WIPO COPYRIGHT TREATY………80 2. RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM

WIPO COPYRIGHT TREATY………81

(11)

BAB IV INSTRUMEN HUKUM NASIONAL YANG MENJADI DASAR PERLINDUNGAN RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM DUNIA DIGITAL DI EMPAT NEGARA

DENGAN DISERTAI STUDI KASUS BEBERAPA PUTUSAN PERKARA A. AMERIKA SERIKAT………86

1. 1976 COPYRIGHT LAW OF THE UNITED STATES

OF AMERICA………92 1.1 RIGHTS OF REPRODUCTION DALAM

1976 COPYRIGHT LAW OF THE

UNITED STATES OF AMERICA ………96 1.2 RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM

1976 COPYRIGHT LAW OF THE

UNITED STATES OF AMERICA ………100 1.3. FAIR USE SEBAGAI DALIL UNTUK

MENJUSTIFIKASI PELANGGARAN HAK

CIPTA DI DUNIA DIGITAL………108 2. ANALISA KASUS:

NAPSTER INC. VS RECORDING INDUSTRY

ASSOCIATION OF AMERICA (RIAA) ………112 B. AUSTRALIA………127 1. AUSTRALIAN COPYRIGHT ACT 1968………129

1.1 RIGHTS OF REPRODUCTION DALAM

AUSTRALIAN COPYRIGHT ACT 1968………130 1.2 RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pada aspek tertentu dalam kehidupan, terdapat banyak kesempatan di mana mudah sekali untuk melanggar hukum dengan sanksi yang tampaknya sangat kecil.1 Keberadaan kesempatan yang besar dan ketiadaan sanksi yang serius membuat pelanggaran hukum tersebut menjadi terasa seperti hal yang biasa saja.2 Orang-orang yang sebelumnya tidak terpikir untuk melakukan pelanggaran hukum tersebut kemudian menjadi terdorong untuk melakukannya. Mereka tidak melihat halangan moral apapun dan mereka melihat bahwa

1Yuval Feldman and Janice Nadler, “The Law And The Norms Of File Sharing”, San Diego Law Review, vol. 43, 2006, hlm. 579.

2Ibid.

(13)

sebagian besar orang di sekitar mereka juga tidak segan- segan untuk melakukan pelanggaran tersebut.3

Hak cipta adalah salah satunya yang dapat dengan mudah dilanggar dengan sanksi yang sangat minimal.

Perkembangan teknologi digital saat ini telah begitu pesatnya hingga peralatan elektronik digital sudah menjadi barang kebutuhan wajib di sebagian besar rumah masyarakat terutama di perkotaan. Konsumen melakukan perubahan besar- besaran pada cara mereka menikmati musik, film, dan jenis hiburan lainnya.4 Mereka beramai-ramai meninggalkan peralatan analog dan berpindah ke peralatan digital. Mereka meningkatkan kemampuan komputer, pemutar musik, dan televisi mereka untuk meningkatkan kualitas hiburan pribadi mereka.5

Pendek kata, dunia digital telah menjadi pusat hiburan baru. Hal ini banyak terbantu oleh harga komponen komputer yang semakin lama semakin murah, sehingga memungkinkan untuk membangun komputer canggih sebagai pusat hiburan

3Ibid.

4Mark H. Lyon, “Technical Protection Measures For Digital Audio And Video: Learning From The Failure Of Audio Compact Disc”, Santa Clara Computer and High Technology Law Journal, vol. 23, 2007, hlm.

644.

5Ibid.

(14)

digital dengan harga yang relatif murah. Mereka mulai mengubah koleksi musik dan film menjadi berkas digital yang kemudian disimpan di dalam komputer dan dinikmati melalui komputer. Ini merupakan kepraktisan tersendiri dibanding menikmati musik dan film melalui cakram padat. Dengan cukup beberapa kali menekan tombol mereka telah dapat menikmati koleksi musik dan video. Pemeliharaannya pun jauh lebih mudah karena berkas digital tidak memerlukan banyak perawatan.

Namun di balik kemudahan ini juga terdapat berbagai masalah. Berkas digital sangat rentan terhadap pelanggaran hak karena sifatnya yang mudah dipindahtangankan. Tidak seperti teknologi analog, dalam teknologi digital tidak terjadi penurunan kualitas yang berarti dalam penggandaan.6 Ketika suatu informasi disimpan dalam bentuk digital, pekerjaan penggandaan menjadi jauh lebih mudah.7 Hasil penggandaan tersebut akan sama dalam hal kualitas dengan

6Ibid.

7Nicola Lucchi, “The Supremacy of Techno-Governance:

Privatization of Digital Content and Consumer Protection in the Globalized Iinformation Society”, International Journal of Law and Information Technology, vol. 15, 2007, hlm. 193.

(15)

yang aslinya karena merupakan salinan identik dalam format kode binari yang dapat dibaca oleh mesin.8

Dengan kata lain, dalam waktu singkat seseorang dapat dengan mudah menggandakan berkas digital dengan kualitas yang identik dengan aslinya.

Kemudian dengan menggunakan media penyimpanan flashdisk seseorang dengan dapat mudah memindahkan sebuah berkas digital dari satu komputer ke komputer yang lain.

Aktivitas ini sekilas tidak tampak seperti aktivitas yang melanggar hukum karena selama ini pencitraan terhadap perbuatan melanggar hukum selalu identik dengan perbuatan yang nyata sifat jahatnya seperti misalnya membunuh.

Padahal jika ditilik lebih jauh ternyata perbuatan penggandaan berkas digital tersebut juga merupakan perbuatan melanggar hukum. Pasal 9 (1) Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works menyatakan bahwa hak untuk menggandakan suatu karya cipta in any manner or form berada di tangan penciptanya. Maka jika berkas digital yang digandakan tersebut merupakan karya yang dilindungi oleh hak cipta maka penggandaan sederhana

8Ibid.

(16)

seperti itu sudah dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum.

Hal ini seringkali tidak disadari banyak orang. Dewasa ini praktek tukar-menukar berkas berkas lagu digital sudah menjadi hal yang sangat awam. Kemajuan teknologi telah melahirkan pemutar berkas lagu digital dengan kapasitas 160 Gigabita yang mampu menyimpan hingga 40.000 lagu. Dengan ukuran segenggaman tangan, siapapun dapat dengan mudah membawa semua koleksi berkas lagu digitalnya kemanapun ia pergi.

Produk Ipod dari Apple misalnya, merupakan produk pemutar media digital portabel paling atas di kelasnya.9 Pada tahun 2001, dengan berat hanya sekitar enam setengah ons dan kemampuan menyimpan hingga seribu lagu Ipod diluncurkan.10 Awalnya produk tersebut hanya dapat memutar musik, namun dengan berbagai penambahan produk tersebut kemudian dapat digunakan untuk foto digital dan podcast.11

9Kelly Leong, “Itunes: Have They Created a System for International Copyright Enforcement?”, New England Journal of International and Comparative Law, vol. 13, 2007, hlm. 365.

10Stephen M. Jacobson, “Now Playing on an Ipod Near You: Rip, Mix, Burn. It’s Your Music. But is it Your Video?”, Tulane Journal of Technology and Intellectual Property, vol. 9, 2007, hlm. 348.

(17)

Kini produk tersebut dapat memainkan musik, film, video, acara televisi dan audiobook.12

Contoh lainnya, seseorang bisa dengan mudah menggunakan scanner menciptakan bentuk digital dari sebuah buku. Salinan buku yang berbentuk digital tersebut kemudian menjadi dapat dibaca di komputer dan tentu saja dapat dengan mudah berpindah tangan.

Kemudahan berkas digital untuk dipindahtangankan menjadikan banyak orang lupa bahwa berkas digital juga dilindungi oleh hak cipta. Selain itu kesempatan untuk melanggar hak cipta di dunia digital sangat besar dan resikonya juga sangat kecil mengingat sangat sulit untuk melacak siapa saja yang telah melakukan pelanggaran tersebut. Sangat sulit untuk memeriksa isi setiap komputer

11Podcast adalah “An audio broadcast that has been converted to an MP3 file or other audio file format for playback in a digital music player or computer. The "pod" in podcast was coined from "iPod," the predominant portable, digital music player, and although podcasts are mostly verbal, they may contain music.”, terjemahan bebasnya adalah

“rekaman siaran audio yang telah diubah formatnya menjadi format MP3 atau format lainnya yang dapat diputar di pemutar berkas musik digital atau di computer. Istilah “pod” berasal dari kata “iPod”, sebuah pemutar berkas musik digital portabel yang paling populer, dan meskipun podcast sebagian besar berisi kata-kata, ada juga yang berisi musik, PCMAG.COM, <http://www.pcmag.com/encyclopedia_term/0,2542,t=podcast&i=

49433,00.asp>, diakses tanggal 29 November 2007.

12Stephen M. jacobson, op. cit.

(18)

di dunia dan memastikan tidak terdapat hasil penggandaan karya secara ilegal di dalamnya.

Pembicaraan mengenai dunia digital tentu juga tidak bisa terlepas dari internet sebagai dunia maya tempat dimana komputer yang satu dapat berinteraksi dengan komputer lainnya. Hal yang paling pokok dari internet adalah ketiadaan batasan.13 Sejak kemunculannya di tahun enampuluhan, internet telah berkembang begitu pesat menjadi sumber utama tempat mencari informasi bagi lebih dari lima ratus juta orang di seluruh dunia.14 Perkembangan internet merupakan salah satu akibat dari perkembangan teknologi jaringan di dunia dan kemudahan masyarakat untuk mengaksesnya, sehingga memungkinkan setiap orang di seluruh dunia untuk berkomunikasi dan bertukar informasi dengan satu sama lainnya secara cepat dan efisien.15

Saat ini banyak sekali terjadi perpindahan informasi secara digital melalui internet. Dalam kurun waktu beberapa dekade ini saja misalnya, tidak ada yang lebih mengejutkan

13Christian A. Camarce, “Harmonization of International Copyright Protection In the Internet Age”, Pacific McGeorge Global Business &

Development Law Journal, vol. 19, 2007, hlm. 436.

14Ibid.

15Ibid.

(19)

industri musik dunia daripada perpindahan paradigma ke arah internet.16

Secara tradisional, industri musik menjual produknya dalam bentuk fisik, seperti piringan hitam, kaset atau CD dan menjualnya ke toko-toko.17 Konsumen membelinya dan mendengarkannya melalui alat yang dijual terpisah (seperti gramofon, cassette player dan CD Player) dan sesekali menggandakannya (misalnya dengan merekam ke dalam kaset kosong)untuk kebutuhan penyimpanan pribadi.18

Namun seiring perkembangan teknologi digital, karya musik dapat dengan mudah diubah ke dalam bentuk digital dan dapat dengan mudah disebarkan melalui internet. Oleh karena itu, seseorang, tanpa perlu membeli bentuk fisik (piringan hitam, kaset, atau CD) dari lagu-lagu tersebut, dapat dengan mudah menikmati lagu-lagu tersebut melalui internet tanpa membayar sepeser pun.

16Marcy Rauer Wagman, “The Digital Revolution Is Being Downloaded: Why and How The Copyright Act Must Change to Accomodate an Ever-evolving Music Industry”, Villanova Sports and Entertainment Law Journal, vol. 13, 2006, hlm. 271.

17Gerald R. Faulhaber, “File Sharing, Copyright, and The Optimal Production of Music”, Michigan Telecommunication Technology Law Review, vol. 13, 2006, hlm. 80.

18Ibid.

(20)

Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan internet memunculkan masalah hak cipta dalam skala internasional yang lebih besar dari yang pernah ada sebelumnya.19 Keberadaan berkas digital, seperti MP3 misalnya, memungkinkan bagi pengguna internet untuk dapat dengan cepat dan mudah mengunduh20 banyak sekali berkas-berkas karya ciptaan dari internet.21 Perlu diingat bahwa pengguna internet berasal dari berbagai negara di berbagai belahan dunia sehingga pelanggaran hak cipta di dunia digital kini telah menjadi permasalahan hukum di dunia internasional.

Misalnya seorang pengguna internet meletakkan berkas digital seperti musik dan gambar di situs miliknya untuk kemudian dapat diunduh oleh pengguna internet lainnya.22 Ini menimbulkan permasalahan yang baru bagi dunia hukum.

Seringkali berupa berkas digital yang dilindungi oleh hak cipta. Dalam hal ini sangat besar kemungkinan musik dan gambar yang diletakkan di situs tersebut dilindungi oleh

19Kelly Leong, op. cit., hlm. 367.

20”Unduh” adalah alihbahasa Indonesia dari istilah asing

“download”, <http://www.wikiwords.org/dictionary/mengunduh,_mengunggah/

35770/71352>, diakses tanggal 16 Juni 2008.

21Kelly Leong, Ibid.

22Christian A. Camarce, op. cit.

(21)

hak cipta sementara orang yang meletakkannya tidak memiliki izin untuk meletakkannya di situs tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tindakan orang tersebut merupakan tindakan pelanggaran terhadap hak cipta.

Selanjutnya siapa pun dari negara mana pun dapat dengan mudah mengunduh dan menikmati atau menggunakan berkas tersebut sehingga seandainya orang yang meletakkan berkas digital tersebut di internet dan orang yang mengunduhnya berasal dari negara yang berbeda, berarti telah terjadi pelanggaran hak cipta dalam ruang lingkup internasional.

Hal ini merupakan ancaman yang serius bagi hak cipta karena pelanggaran atas hak cipta menjadi amat mudah untuk dilakukan. Sangat memungkinkan bagi siapapun untuk meletakkan apapun dalam bentuk digital ke dalam internet.

Hal ini membuat banyak orang yang melakukannya karena sangat mudah untuk melakukannya. Cukup dengan pengetahuan komputer yang minimal seseorang dapat melakukan pelanggaran hak cipta. Perkembangan alat komunikasi portabel seperti komputer jinjing, PDA (Personal Digital Assistant), dan telepon seluler juga turut membantu terjadinya pelanggaran hak cipta. Alat-alat tersebut memungkinkan setiap orang

(22)

untuk melakukan perpindahan informasi digital dimanapun di seluruh dunia.23

Dari pemaparan di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan teknologi menimbulkan isu-isu hukum baru di dunia internasional yang harus segera diantisipasi. Hukum harus dapat beradaptasi dengan perkembangan terbaru yang terjadi di dunia agar dapat berjalan selaras dengan masyarakat.

Untuk itu sangat tepat kiranya untuk membahas peraturan-peraturan dalam hukum internasional mengenai hak cipta, khususnya hak cipta dalam dunia digital, dalam penulisan skripsi ini. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah konvensi-konvensi internsional, yaitu Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, Universal Copyright Convention, Agreement on Trade- Related Aspects of Intellectual Property Rights, dan WIPO Copyright Treaty.

Selain itu tepat juga kiranya untuk membahas peraturan-peraturan nasional mengenai hak cipta, khususnya hak cipta dalam dunia digital, dalam hukum nasional

23Ibid.

(23)

beberapa negara. Untuk ini contoh negara yang diambil adalah Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia.

Amerika Serikat dan Australia dipilih karena keduanya merupakan negara maju. Sedangkan Thailand dan Indonesia dipilih karena mewakili negara berkembang.

Selain itu alasan lain dipilihnya Indonesia adalah agar kita tidak menjadi kacang yang lupa pada kulitnya karena terpaku pada hukum internasional dan melupakan hukum nasional kita sendiri.

B. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka di dalam skripsi ini akan dibahas beberapa pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah aspek Rights of Reproduction dan Rights of Distribution dari hak cipta dilanggar dalam dunia digital?

2. Bagaimanakah pengaturan dalam instrumen hukum internasional mengenai Rights of Reproduction dan Rights Of Distribution dalam dunia digital?

3. Bagaimanakah pengaturan dalam instrumen hukum nasional mengenai Rights of Reproduction dan Rights

(24)

Of Distribution dalam dunia digital di beberapa negara peserta konvensi dan traktat mengenai hak cipta?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Tujuan Umum

Skripsi ini dibuat dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi masyarakat umum, para profesi hukum, dan mahasiswa hukum.

Selain itu, diharapkan skripsi ini dapat berperan dalam menambah literatur ilmu hukum khususnya hukum dalam dunia internet dan dunia digital, mengingat masih sangat sedikit literatur mengenai bidang hukum tersebut di Indonesia.

b. Tujuan Khusus

1. menjelaskan pelanggaran terhadap Rights of Reproduction dan Rights of Distribution dalam konteks hak cipta di dunia digital

2. menjelaskan tentang pengaturan dalam instrumen hukum internasional mengenai Rights

(25)

of Reproduction dan Rights of Distribution dalam konteks hak cipta di dunia digital

3. menjelaskan tentang pengaturan dalam instrumen hukum nasional beberapa negara peserta konvensi dan traktat hak cipta mengenai Rights of Reproduction dan Rights of Distribution dalam konteks hak cipta di dunia digital

D. KERANGKA KONSEPSIONAL

Untuk memudahkan dalam membaca skripsi ini, di bawah ini akan diuraikan beberapa istilah yang akan sering dipergunakan:

1. Digital

Istilah “digital” menunjuk pada sistem penggunaan deretan bilangan angka untuk merepresentasikan sebuah informasi.24 Dalam konteks skripsi ini, istilah ini digunakan untuk menunjuk sistem yang digunakan oleh komputer untuk mengolah data. Sistem komputer adalah sistem yang digital karena hanya dapat membaca nilai

24Digital, <http://en.wikipedia.org/wiki/Digital>, diakses tanggal 4 Juli 2008.

(26)

bilangan angka, tepatnya hanya dua jenis bilangan angka yaitu angka 1 (satu) dan 0 (nol). Sistem ini dinamakan sistem bilangan biner.

Istilah ini akan banyak dipergunakan di berbagai kesempatan dalam skripsi ini dalam berbagai variasi bentuk termasuk tetapi tidak terbatas pada “format digital” (menunjuk pada format data yang dapat terbaca dan diolah menggunakan komputer), “teknologi digital”

(menunjuk pada segala macam teknologi di bidang komputer termasuk dan tidak terbatas pada perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software)), dan ”dunia digital” (dunia maya tempat komputer yang satu berkomunikasi dengan komputer lainnya, termasuk tetapi tidak terbatas pada internet).

2.Hak Cipta

Hak Cipta adalah :

“The exclusive right of the author or creator of a literary or artistic property (such as a book, movie, or musical composition) to print, copy, sell, license, distribute, transform to another medium, translate, record or perform or otherwise use (or not use) and to give it to another by will”25

25Copyright, <http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/copy right>, diakses tanggal 28 November 2007.

(27)

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:

”Hak eksklusif dari seorang pengarang atau pencipta karya tulisan atau karya artistik (seperti buku, film, atau komposisi musikal) untuk mencetak, menggandakan, menjualm melisensikan, mendistribusikan, mengubah ke medium lain, menerjemahkan, merekam, atau mendemonstrasikan di depan umum, atau menggunakan (atau tidak menggunakan) dan memberikannya kepada orang lain berdasarkan surat wasiat.”

3.Rights of Reproduction

Rights of Reproduction adalah hak seorang pemegang hak cipta untuk memperbanyak atau menggandakan jumlah karya ciptaannya, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.26

4.Rights of Distribution

Rights of Distribution adalah hak seorang pemegang hak cipta untuk menyebarkan karya ciptaannya dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga karya

26Pasal 1 ayat 6 UU no. 19/2002 tentang Hak Cipta.

(28)

ciptaannya tersebut dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.27

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan, yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data sekunder.

Dalam teori penulisan penelitian terdapat dua tipe data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh langsung dari masyarakat, baik melalui wawancara maupun diskusi terhadap informan yang diperkirakan dapat dan bersedia memberikan data. Sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.

Dalam penelitian ini data sekunder didapatkan melalui studi dokumen. Namun jika dirasa masih belum cukup, maka peneliti dapat menambah data dan informasi untuk penelitiannya melalui wawancara dengan informan.

Data-data sekunder yang dipergunakan dalam penulisan ini antara lain adalah:

27Pasal 1 ayat 5.UU no. 19/2002 tentang Hak Cipta.

(29)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang memiliki keberlakuan yang mengikat. Bahan hukum ini Terdiri dari berbagai konvensi internasional seperti Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, Universal Copyright Convention, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, dan WIPO Copyright Treaty; serta peraturan perundang- undangan nasional di berbagai negara mengenai hak cipta seperti 1976 Copyright Law of United States of America, Australian Copyright Act 1968, Thailand Copyright Act B.E. 2537 (1994), dan UU no. 19 tahun 2002 di Indonesia.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

Bahan hukum ini terdiri dari buku, skripsi, tesis, jurnal internasional, makalah seminar, hasil penelitian, dan artikel internet.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan pejelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini terdiri dari kamus dan ensiklopedia.

(30)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdapat penjelasan mengenai latar belakang masalah yang akan dibahas, pokok permasalahan yang akan dibahas, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II. TINJAUAN UMUM HAK CIPTA DALAM DUNIA DIGITAL

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai konsepsi umum dari hak cipta dan bagaimana penerapannya dalam dunia digital.

BAB III. INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENJADI DASAR PERLINDUNGAN RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM DUNIA DIGITAL

Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai bagaimana instrumen hukum internasional mengatur mengenai rights of reproduction dan rights of distribution dalam dunia digital. Instrumen hukum yang digunakan antara lain adalah Berne Convention for the Protection of Literary and

(31)

Artistic Works, Universal Copyright Convention, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights dan WIPO Copyright Treaty.

BAB IV. INSTRUMEN HUKUM NASIONAL YANG MENJADI DASAR PERLINDUNGAN RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM DUNIA DIGITAL DI EMPAT NEGARA DENGAN DISERTAI STUDI KASUS BEBERAPA PUTUSAN PERKARA

Dalam bab ini akan diberikan penjelasan mengenai bagaimana instrumen hukum nasional di empat negara mengatur mengenai rights of reproduction dan rights of distribution dalam dunia digital. Keempat negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Australia, Thailand, dan Indonesia. Selain itu juga akan disajikan studi kasus atas beberapa putusan perkara yang terkait dengan permasalahan rights of reproduction dan rights of distribution dalam dunia digital.

BAB V. PENUTUP

Dalam bab ini akan diberikan simpulan atas penulisan penelitian ini dan saran terhadap masalah hukum yang dibahas.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM HAK CIPTA DALAM DUNIA DIGITAL

A. KONSEP HAK CIPTA

Masyarakat menghargai buah kreatif pikiran manusia, dengan kepercayaan bahwa buah kreatif tersebut memperkaya kehidupan anggota masyarakat.28 Buah pikiran tersebut dapat berkontribusi besar dalam perkembangan kebudayaan masyarakat. Oleh karena itu, seperangkat hukum dikembangkan untuk memberikan perlindungan terhadap orang-orang yang membuat buah-buah pikiran tersebut. Buah-buah pikiran ini adalah karya-karya ciptaan yang merupakan hasil dari pemikiran seorang pencipta. Oleh karena itu perangkat hukumnya dinamakan hak cipta.

28Michael Edenborough, Intellectual Property Law, (London:

Cavendish Publishing Limited, 1994 ), hlm. 1.

(33)

Buah-buah pikiran dalam bentuk hasil karya ciptaan yang dimaksud di sini dapat berupa berbagai macam jenis benda. Pada masa lampau, hasil karya ini umumnya menunjuk pada karya cipta literatur atau karya tulisan seperti buku.

Namun kini konsepsi dari hak cipta telah berkembang. Hak cipta yang pada awalnya diformulasikan dengan tujuan untuk melindungi karya tulisan kini telah memperluas cakupannya, melingkupi semua metode produksi, mulai dari tabel waktu sampai ke program komputer.29 Hak cipta yang awalnya bertujuan untuk mencegah penggandaan karya-karya cetak secara melawan hukum, selama berabad-abad berevolusi untuk tetap menjaga agar tetap dapat mengikuti perkembangan teknologi.30

Industri-industri besar dan penting seperti percetakan, perfilman, rekaman, dan perangkat lunak komputer, hanya beberapa di antaranya, mendasarkan kegiatannya pada hukum hak cipta, dan isu-isu di bidang hak cipta telah menjadi perdebatan publik di tahun-tahun

29Sam Ricketson, Intellectual Property Cases, Materials and Commentary, (Sidney: Butterworths, 1994), hlm. 65.

30Michael Edenborough, op. cit., hlm. 11.

(34)

belakangan ini.31 Hak cipta kini telah digunakan untuk melindungi berbagai macam konsep mulai dari reproduksi karakter kartun di T-shirt hingga penyiaran materi audio/visual melalui satelit.32

Perlindungan terhadap hak cipta timbul secara otomatis terhadap sebuah karya; tanpa perlu ada metode ataupun formalitas.33 Berbeda dengan sistem perlindungan kekayaan intelektual lainnya seperti paten dan merek, perlindungan hak cipta terhadap suatu karya tidak memerlukan pendaftaran terlabih dahulu.34 Karya-karya yang dapat mendapatkan perlindungan hak cipta antara lain karya tulis yang orisinal, karya-karya drama, musik, dan artistik.

Hukum hak cipta pada hakikatnya merupakan sistem kepemilikan.35 Seperti halnya hak kepemilikan tanah, hak cipta dapat dijual, diwariskan, disumbangkan, atau disewakan dengan syarat-syarat tertentu; dibagi menjadi

31Sam Ricketson, op. cit., hlm. 65.

32Michael Edenborough, op. cit., hlm. 11.

33Catherine Colston, Principles of Intellectual Property Law, (London: Cavendish Publishing Limited, 1999), hlm. 4.

34Sam Ricketson, op. cit., hlm. 96.

35William S. Strong, The Copyright Book: A Practical Guide, (London: The MIT Press, 1982), hlm. 1.

(35)

beberapa bagian, dan dapat dilindungi dari hampir segala macam pelanggaran.36 Namun meskipun nilai kebendaannya telah dialihkan kepada orang lain, nilai moralnya akan tetap melekat pada diri penciptanya.

Misalnya, seorang pencipta meninggal dan hak cipta atas sebuah buku karyanya diwariskan ke anaknya sehingga kini anaknya menjadi pemegang hak cipta atas buku tersebut.

Si anak memang dapat mengizinkan penerbit untuk mencetak dan menerbitkan buku itu kembali di kemudian hari, namun tetap saja buku tersebut akan memiliki hubungan yang erat dengan penciptanya. Dalam terbitan ulangnya misalnya, nama pengarangnya akan masih sama, tidak diganti atas nama anaknya meskipun hak ciptanya sudah menjadi milik anaknya.

Nilai inilah yang disebut sebagai nilai moral

Pemikiran awal mengenai alasan perlunya perlindungan terhadap hak cipta membawa kita ke empat alasan sebagai berikut:37

36Ibid.

37Gillian Davies, Copyright and The Public Interest 2nd Ed, (London: Sweet & Maxwell,2002), hlm. 13.

(36)

1. Hukum Alamiah

Konsepsi ini menyatakan bahwa hak dari seorang pencipta terhadap karyanya adalah hak yang menyatu dalam diri pribadi seorang pencipta. Suatu karya dianggap sebagai ekspresi dan buah pikiran dari penciptanya sehingga sudah seharusnya hak tersebut tidak terpisahkan dari seorang pencipta.

Konsep hukum alamiah ini diajukan oleh John Locke. John Locke memulai dengan premis bahwa setiap manusia adalah pemilik hak secara alamiah terhadap tiap properti (bagian tubuh) yang ada di tubuhnya, dan kemudian dilanjutkan dengan argumen bahwa tiap manusia adalah pemilik hak secara alamiah dari hasil pekerjaan yang dilakukan oleh properti tubuhnya itu.

Dalam konteks hak cipta, sebuah karya ciptaan merupakan hasil dari kerja otak. Ia melanjutkan lebih jauh bahwa seorang pencipta memiliki hak untuk mengendalikan publikasi dari karyanya dan berhak untuk melarang orang lain melakukan perubahan tanpa izin ataupun melakukan serangan lain terhadap integritas karyanya.

(37)

Karena itu adalah adil, bahwa seorang pencipta berhak atas keuntungan finansial dari hasil kecerdasannya dan hasil kerjanya. Adalah adil pula, bahwa orang lain tidak boleh menggunakan nama seorang pencipta tanpa seizin pencipta yang bersangkutan. Dan adalah tepat, bahwa hanya penciptanya sendiri yang berhak menentukan kapan untuk menerbitkan karyanya, atau menentukan apakah ia akan menerbitkannya.

2. Imbalan yang adil atas hasil pekerjaan

Jika disepakati bahwa pekerjaan mencipta suatu karya (baik itu karya seni, musik, literatur, ataupun karya lainnya) merupakan suatu pekerjaan yang berharga dan bahwa buah dari pekerjaan pikiran merupakan sesuatu yang dapat memperkaya kehidupan kita, maka seorang pencipta harus diberikan suatu imbalan ketika karyanya dieksploitasi. Pemberian imbalan ini memungkinkan pencipta tersebut untuk terus bekerja, karena berdasarkan prinsip keadilan alamiah seorang pekerja berhak atas upahnya.

(38)

Lebih jauh, pada masa sekarang ini hak cipta menyediakan lahan ekonomi bagi investasi di bidang penciptaan, produksi, dan penyebaran hasil karya.

Tidak dapat dielakkan bahwa industri di bidang ini adalah industri yang mahal. Dalam industri buku misalnya, ongkos untuk memproduksi dan mendistribusikan suatu buku sangatlah mahal. Oleh karena itu keberadaan investor sangatlah dibutuhkan.

Konsekuensi logisnya adalah, investor, sebagai pelaku bisnis, tidak akan menanamkan modalnya jika tidak ada keuntungan finansial yang memadai.

3. Rangsangan terhadap kreativitas

Seorang pencipta tentu tidak ingin karya ciptaannya digunakan oleh orang lain tanpa hak. Oleh karena itu perlu diberikan perlindungan terhadap sebuah karya ciptaan. Perlindungan ini memberikan jaminan bahwa jika ia berkarya, maka karyanya akan dihargai dengan sepatutnya. Tanpa jaminan ini, pencipta akan enggan dan merasa sia-sia saja usahanya untuk menciptakan karya karena orang lain bisa dengan seenaknya menggunakan karya ciptaannya.

(39)

Hal ini dengan sendirinya akan mematikan kreativitas.

Dengan adanya jaminan pencipta akan merasa dihargai dan membuatnya tidak merasa sia-sia untuk menciptakan suatu karya. Jaminan ini menjadi perangsang bagi pencipta untuk terus bekarya. Dengan rangsangan tersebut diharapkan selanjutnya di masa yang akan datang dapat dihasilkan karya-kaya lainnya yang lebih baik.

4. Suatu kewajiban sosial

Perlindungan terhadap karya ciptaan dianggap sebagai suatu kewajiban bagi masyarakat. Seperti kita ketahui, sebuah karya ciptaan dapat berkontribusi besar untuk perkembangan kekayaan budaya suatu masyarakat. Oleh karena itu penciptanya dianggap telah berjasa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Maka sebaliknya, sudah sepatutnya bagi masyarakat untuk memberikan imbalan bagi orang-orang yang berjasa bagi masyarakat. Dalan konteks hak cipta, imbalan bagi pencipta sebagai orang yang

(40)

berjasa tersebut adalah berupa perlindungan terhadap hasil karyanya.

Berkaitan dengan keempat alasan ini, perbedaan pendapat di bidang hak cipta sudah ada sejak jauh di masa lalu. Pendapat yang menginginkan hak cipta dengan cakupan yang luas berlandaskan pada rasa keadilan: “tidak adil jika pencipta tidak mendapat imbalan bagi jerih payahnya, dan tidak adil jika orang lain yang memetik buah dari pohon ditanamnya.”38 Akan tetapi pendapat kelompok proteksionis rendah juga berlandaskan rasa keadilan: “mengapa seorang pencipta harus mendapat imbalan uang yang lebih besar dari yang diperlukan untuk merangsangnya mencipta karya?

Membayarnya lebih berarti laba belaka, dan laba sebaiknya dibagikan kepada pembaca dalam bentuk harga yang lebih rendah. Lagipula dalam berkarya setiap pencipta menggunakan karya dan tradisi pencipta-pencipta sebelum mereka. Karena semua pencipta meminjam dari pencipta, penghasilan mereka

38Paul Goldstein, Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok, diterjemahkan oleh Masri Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), hlm. 42.

(41)

hendaknya disisihkan sebagian untuk generasi-generasi berikut.”39

B. SEJARAH HAK CIPTA

Sejarah awal mula hak cipta membawa kita mundur ke masa Romawi. Saat itu telah muncul Desakan moral untuk melindungi pencipta. Desakan ini sudah jauh lebih tua dari undang-undang hak cipta. Martial misalnya, seorang penyair Romawi, mengecam keras ketika sajak-sajaknya dibacakan di depan umum tanpa izinnya. Dari sini tercermin ide ikatan antara pencipta dengan karyanya.40

Terdapat suatu pepatah kuno dari Raja Diarmed, seorang raja di Irlandia sekitar tahun 550, bahwa analogi hak cipta adalah sama halnya dengan “to every cow its calf”.41 Terjemahan bebasnya adalah “setiap anak sapi adalah kepunyaan induknya”. Dalam konteks hak cipta, anak sapi dianalogikan sebagai karya ciptaan dan induk sapi dianalogikan sebagai penciptanya. Pepatah ini menggambarkan betapa eratnya hubungan antara seorang pencipta dengan

39Ibid.

40Ibid.

41Sam Ricketson, op. cit., hlm. 78.

(42)

karya ciptaannya sebagaimana eratnya hubungan antara induk sapi dengan anak sapi.

Alkisah, saat itu seorang biarawan bernama Columba diam-diam menyalin kitab mazmur milik kepala biaranya, Finian. Raja Diarmed kemudian memerintahkan Columba menyerahkan salinan yang dibuat secara tanpa izin tersebut kepada Finian. Disini dapat juga kita lihat ide mengenai adanya ikatan antara pencipta dengan karyanya.42

Pengaturan hak cipta menjadi sangat penting ketika pada abad kelimabelas ditemukan mesin cetak. Penemuan mesin cetak memungkinkan bagi manusia untuk menggandakan tulisan dan memudahkan pekerjaan untuk mempublikasikan sebuah tulisan kepada masyarakat yang lebih luas.43 Sebelumnya, pekerjaan penggandaan sebuah tulisan memerlukan banyak tenaga kerja karena sebelum ditemukan mesin cetak sebuah buku harus ditulis tangan. Jumlah salinannya juga tidak diproduksi terlalu banyak sehingga hanya sedikit saja yang memiliki akses untuk membacanya, yaitu terutama orang-orang dari golongan terpelajar. Dengan mesin cetak suatu tulisan dapat diproduksi secara massal.

42Ibid.

43Ibid., hlm. 66.

(43)

Namun kemudahan ini dilihat sebagai ancaman bagi pihak yang berkuasa. Kemudahan untuk mencetak karya tulisan juga dapat digunakan untuk menyebarkan ide-ide yang dianggap bertentangan dengan ideologi mereka yang berkuasa. Contoh yang paling mencolok adalah di Inggris, saat itu pihak gereja sebagai pihak yang berkuasa melarang tiap penerbitan karya tulisan yang bersifat reformasi anti gereja.44 Saat itu gereja memeriksa setiap karya yang akan diterbitkan.

Inilah awal mula sejarah perusahaan penerbitan yang pada awalnya bertujuan untuk mengontrol isi dari karya yang akan diterbitkan.

Pada akhir abad ketujuhbelas, muncul wacana di antara para pengarang untuk menuntut imbalan finansial dari pihak penerbit terhadap karya-karya mereka yang diterbitkan dan dipublikasikan.45 Saat itu perhatian terhadap hak cipta beralih dari masalah “publikasi yang tidak terkontrol dari karya-karya yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi” ke

44Arthur R. Miller dan Michael H. Davis, Intellectual Property Patents, Trademarks, and Copyright In a Nutshell, (St Paul, Minnesota:

West Publishing co., 1990), hlm. 280.

45Ibid., hlm. 281.

(44)

masalah “individu seorang pencipta dengan salinan karyanya”.46

Untuk mengatur hal ini pada tahun 1710 pemerintah Inggris memberlakukan Statute of Anne, sebuah aturan yang membolehkan pengarang untuk melarang orang lain untuk menggandakan buku mereka.47 Ini merupakan aturan pertama di dunia menyangkut tentang hak cipta. Pemberlakuan aturan ini menggoreskan momen sejarah di dalam perkembangan hak cipta.

Judul asli aturan ini adalah An Act for the Encouragement of Learning, by vesting the Copies of Printed Books in the Authors or purchasers of such Copies, during the Times therein mentioned.

Sebagai statuta hak cipta yang pertama di dunia, aturan ini memberikan perlindungan hukum selama 14 tahun untuk karya-karya yang diterbitkan setelah diberlakukannya aturan tersebut48 dan 21 tahun untuk karya-karya yang telah

46Sam Ricketson, op. cit.

47Richard Stim, Copyright Law, (Albany: N.Y. Delmar Health Care Publishing, 2000), hlm. 1.

48An act for the Encouragement of Learning by Vesting the Copies of Printed Books in the Authors or Purchasers of such copies, during the Times therein mentioned 1709, 8 Anne. c. 19. s. 1 (Statute of Anne); if the Author of the work in question was still alive 14 years after the first publication of his work, then he was entitled to the benefit of an additional 14-year period, ibid., s. 11. The Act was

(45)

dicetak.49 Khusus bagi karya yang diterbitkan setelah aturan ini diberlakukan, jika setelah masa perlindungannya habis dan pengarangnya masih hidup, maka diberikan lagi perlindungan hukum terhadap karya tulisannya tersebut selama maksimal 14 tahun lagi.50

Dalam pelaksanaannya, perlindungan hak cipta ini ternyata mengalami beberapa masalah. Isu mengenai pemberlakuan Statute of Anne atas asas resiprositas bagi pengarang asing selalu menjadi perhatian, terutama di Inggris sendiri.51 Hingga pada masa itu, hak cipta tidak timbul atas sebuah karya kecuali karya tersebut diterbitkan di Inggris.52

Kemudian pada perkembangannya, negara-negara lain mulai menyadari pentingnya perlindungan terhadap hak cipta

passed in April 1710 but, as was the convention at the time, was considered to have effects as if it had been passed at the start of the regnal year, that is in September 1709, sebagaimana dikutip oleh Ronan Deazley, Rethinking Copyright: History, Theory, Language, (Cheltenham:

Edward Elgar Publishing, 2006) hlm. 13.

49Ibid., s. 1. sebagaimana dikutip oleh Ibid.

50Pasal XI Statute of Anne, “Provided always, That after the expiration of the said term of fourteen years, the sole right of printing or disposing of copies shall return to the authors thereof, if they are then living, for another term of fourteen years”.

51Michael Edenborough, op. cit., hlm. 14.

52Ibid.

(46)

dan kemudian turut mengembangkan aturan mengenai hak cipta di negara masing-masing.

Namun meskipun telah ada aturan-aturan di tiap negara, masih terdapat masalah yang cukup signifikan. Hukum hak cipta nasional saat itu hanya berlaku bagi karya-karya yang berasal dari negara itu sendiri. Konsekuensinya, karya seorang warga negara Inggris yang diterbitkan di Inggris akan mendapatkan perlindungan hak cipta di Inggris, namun tetap dapat digandakan dan dijual oleh siapapun di Prancis;

begitu juga sebaliknya, karya seorang warga negara Prancis yang diterbitkan di Prancis akan mendapatkan perlindungan hak cipta di Prancis, namun juga dapat digandakan dan dijual oleh siapapun di Inggris. 53

Inggris sebagai negara pengekspor terbesar materi hak cipta yang berharga ingin mengamankan perlindungan hak cipta karya-karya tersebut berdasarkan asas resiprositas dari negara lain.54 Hal ini dicapai dengan membuat perjanjian bilateral dengan beberapa negara lain.55 Pada

53Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works, <http://en.wikipedia.org/wiki/Berne_convention>, diakses tanggal 26 November 2007.

54Michael Edenborough, op. cit., hlm. 14.

(47)

perkembangan selanjutnya banyak negara yang mengikuti langkah Inggris ini.

Namun lama-kelamaan akhirnya perjanjian bilateral itu dianggap sudah tidak mencukupi kebutuhan untuk perlindungan hak cipta lagi. Berangkat dari kenyataan tersebut, banyak pihak yang menyuarakan pentingnya perlindungan hak cipta dengan ruang lingkup yang lebih besar, tidak hanya bilateral antara dua negara saja.

C. HAK CIPTA DALAM DUNIA DIGITAL

Dari uraian sejarah hak cipta dapat kita lihat bahwa setiap kali hak cipta bertemu muka dengan teknologi baru, pembuat undang-undang harus menetapkan satu pilihan yang muskil: memperluas cakupan hak cipta, agar pencipta dan penerbit mendapat bagian jika karya mereka diperdagangkan di pasar; atau membekukan hak cipta, yang berarti siapa saja dapat dengan bebas dan cuma-cuma menikmati suatu karya?56

Dari pemaparan sejarah di atas pula dapat kita lihat bahwa hak untuk membuat salinan atau melakukan penggandaan

55Ibid.

56Paul Goldstein, op. cit., hlm. 41.

(48)

atas suatu karya (Rights of reproduction) dan hak untuk membuat suatu karya dapat dinikmati oleh masyarakat (Rights of Distribution) adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang hak cipta.

1. PELANGGARAN TERHADAP RIGHTS OF REPRODUCTION DAN RIGHTS OF DISTRIBUTION DALAM KONTEKS HAK CIPTA DI DUNIA

DIGITAL

Di masa sekarang ini, dalam konteks perkembangan dunia digital, hak cipta dihadapkan pada tantangan besar yaitu kemudahan hak cipta untuk dilanggar di dunia digital.

Teknologi digital menjadikan reproduction dan distribution sangat mudah untuk dilakukan dengan biaya yang sangat kecil.57 Dan yang lebih penting lagi adalah tidak terjadi pengurangan kualitas sama sekali.58

Kemudahan berkas digital untuk dipindahtangankan memegang peranan sangat besar dalam membantu terjadinya pelanggaran terhadap rights of reproduction dan rights of

57Paul Torremans, “Moral Rights in the Digital Age”, Copyright in the New Digital Environment: The Need to Redesign Copyright editor Irini Stamatoudi and Paul L.C. Torremans, (London: Sweet & maxwell, 2000), hlm. 99.

58Ibid.

(49)

distribution. Misalnya, seseorang dapat dengan mudah melakukan penggandaan berkas digital suatu karya yang dilindungi dari satu komputer ke komputer lainnya dengan memindahkannya menggunakan flashdisk.

Selain itu, masalah lain yang muncul adalah berkas- berkas yang berbentuk digital dapat digandakan dan didistribusikan ke tempat yang sangat jauh sekalipun dari tempat aslinya pada saat yang bersamaan.

Misalnya, Budi di Indonesia mengirimkan sebuah lagu dari komputernya melalui E-Mail kepada Tono, teman Budi yang berada di Belanda. Tono kemudian mengunduh dan menyimpan lagu tersebut ke dalam komputernya. Berkas lagu yang tadinya hanya ada satu dan terdapat di komputer Budi di Indonesia juga menjadi dapat ditemukan di komputer Tono di Belanda. Berkas yang ada di komputer Tono tersebut merupakan berkas yang benar-benar identik dengan yang ada di komputer Budi.

Disini telah terjadi penggandaan yang disertai dengan pendistribusian. Berkas lagu yang awalnya hanya ada satu tersebut, melalui proses pengiriman melalui E-Mail dan pengunduhan, menjadi tergandakan dan menjadi ada dua.

Melalui proses pengiriman melalui E-Mail dan pengunduhan

(50)

yang sama pula berkas tersebut yang tadinya hanya ada satu di komputer Budi di Indonesia menjadi terdistribusikan ke komputer Tono di Belanda.

Contoh lainnya adalah Taufik yang berada di Indonesia meletakkan sebuah buku yang telah diubah ke format digital dengan menggunakan scanner di alamat situs internet pribadinya untuk dapat diunduh oleh siapapun di internet.

Kemudian tiga orang tak dikenal dari Jerman, Brazil, dan Jepang mengunduh buku dalam bentuk digital tersebut dan menyimpannya di komputer mereka masing-masing.

Dalam hal ini terjadi tiga kali penggandaan yang disertai oleh pendistribusian. Berkas buku digital yang tadinya hanya ada satu dan berada di komputer Taufik menjadi tergandakan dan sekaligus terdistribusikan ke ketiga negara tersebut. Kedua contoh ini merupakan salah satu contoh pelanggaran hak cipta dengan fasilitator pihak ketiga, yaitu penyedia jasa E-Mail dan penyedia jasa situs internet.

Berkas lagu dan buku yang terdapat di kedua contoh tersebut tentu merupakan obyek yang dilindungi oleh hak cipta. Oleh karena itu penggandaan dan pendistribusian yang

(51)

terjadi, jika tanpa sepengetahuan dan seizin penciptanya, merupakan pelanggaran terhadap hak cipta.

Selain itu, dari contoh tersebut dapat kita lihat bahwa pelanggaran hak cipta di dunia digital telah memasuki tahap yang lebih serius dari sebelumnya. Dengan bantuan internet sebuah karya ciptaan dapat terdistribusi hingga ke berbagai belahan dunia dengan sangat mudah. Para pengunduhnya tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli buku agar dapat membacanya atau membeli kaset atau cakram padat dari sebuah album untuk menikmatinya. Hal ini, terutama oleh pihak industri rekaman, dipersalahkan sebagai penyebab utama menurunnya angka pejualan album musik.59 Para pendengar musik akan lebih memilih untuk mengunduhnya saja secara gratis melalui internet daripada harus mengeluarkan uang untuk membayar.

Pelanggaran semacam ini menimbulkan permasalahan hak cipta di dunia internasional karena, seperti yang telah kita lihat pada contoh di atas, pelaku pelanggaran hak cipta di dunia digital kini telah melintasi batas negara.

59Yuval Feldman and Janice Nadler, op. cit., hlm. 583.

(52)

Perbedaan yang signifikan terdapat pada teknologi analog, dimana penggandaan yang terjadi sangat kecil kemungkinannya untuk sekaligus menjadi aksi pendistribusian. Misalnya, seseorang dengan mesin fotokopi menggandakan sebuah buku. Hasil penggandaannya tidak serta merta terdistribusikan ke pihak-pihak lainnya. Misalnya jika kemudian ia menjualnya sebagai buku bajakan, agar buku bajakan tersebut dapat terdistribusikan ke tangan pembeli dibutuhkan dua kali kerja. Yaitu pertama penggandaannya dengan mesin fotokopi dan kedua proses penjualannya.

Dalam hal proses kerja, tentu jauh lebih melelahkan pada sistem analog dibandingkan dengan sistem digital yang tinggal klik melalui komputer saja. Hal ini menunjukkan bahwa betapa kemajuan teknologi dapat dengan mudah digunakan untuk melanggar hak cipta.

Namun dewasa ini di antara orang-orang yang beraktivitas dunia digital muncul kecenderungan dari pihak pemegang hak cipta untuk mengesampingkan hak-hak eksklusifnya. Hal ini dapat kita lihat dari munculnya rezim baru yaitu copyleft.

Copyleft merupakan permainan kata dari copyright (istilah inggris untuk hak cipta), yaitu kebalikan dari

(53)

copyright.60 Istilah ini digunakan untuk menunjuk aktivitas pembebasan sebagian atau seluruh hak eksklusif dalam konteks hak cipta atas suatu karya oleh penciptanya sendiri dengan syarat hasil adaptasi dan modifikasi dari karya tersebut oleh orang lain juga dibebani lisensi yang identik dengan lisensi yang dibebankan pada karya aslinya.61 Hal ini karena lisensi copyleft dapat berbeda-beda antara satu dengan yang lain, tergantung pada kehendak pemegang hak cipta atas karya tersebut akan mengsampingkan hak eksklusif yang mana saja.

Selain itu di dunia digital juga umum ditemui apa yang disebut dengan shareware dan freeware. Shareware adalah versi minimalis dari sebuah program komputer lengkap (full version) yang dilindugi oleh hak cipta.62 Versi minimalis ini memiliki beberapa pembatasan dibandingkan dengan versi lengkapnya (full version) yang mana untuk menggunakan versi lengkapnya seseorang harus membayar atau membelinya terlebih dahulu. Pembatasan yang dimaksud misalnya antara

60Dalam bahasa Inggris, Right = kanan, left = kiri.

61Copyleft, <http://en.wikipedia.org/wiki/Copyleft>, paragaraf 1, diakses tanggal 22 Juni 2008.

62Shareware, <http://en.wikipedia.org/wiki/Shareware>, paragraf 1, diakses tanggal 2 Juni 2008.

(54)

lain adalah fitur yang kurang lengkap atau hanya dapat digunakan untuk jangka waktu beberapa hari saja. Walaupun begitu program komputer tersebut masih tetap dapat berfungsi dengan baik minus fitur-fitur yang tidak lengkap tersebut dan selama jangka waktu yang ditentukan tersebut.

Selanjutnya jika seseorang ingin menggunakan seluruh fitur yang ada di dalam program tersebut atau jangka waktu penggunaannya habis63 maka ia harus membeli versi lengkapnya (full version). Dengan kata lain, melalui shareware calon konsumen dapat ”mencoba sebelum membeli”. Dengan mencoba terlebih dahulu program komputer tersebut, konsumen dapat mempertimbangkan baik-buruknya kinerja program tersebut dan apakah program tersebut sesuai dengan kebutuhannya atau tidak.

Program komputer shareware dapat dengan mudah didapatkan baik dengan melalui internet atau terkadang diberikan sebagai bonus di berbagai majalah tentang komputer. Siapa pun boleh menggandakan dan mendistribusikannya kepada siapa pun juga.

63Jika jangka waktu program komputer shareware habis maka sistem dari program tersebut akan dengan sendirinya mengunci diri sehingga tidak dapat digunakan lagi pengguna komputer.

(55)

Sedangkan freeware adalah program komputer yang benar- benar sepenuhnya gratis64 dan berfungsi penuh tanpa adanya pembatasan apa pun seperti halnya shareware. Program freeware juga dapat dengan mudah didappatkan melalui cara yang sama dengan shareware dan juga diperbolehkan untuk menggandakan dan mendistribusikannya oleh siapa pun dan kepada siapa pun juga.

Penulis menganggap bahwa copyleft, shareware, dan freeware tidak termasuk dalam konteks hak cipta, karena hak eksklusif dalam konteks hak cipta pada ketiga macam aktivitas tersebut telah dikesampingkan oleh penciptanya sendiri. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis tidak membahas ketiga macam aktivitas tersebut terlalu detil.

2. BEBERAPA ALASAN MASYARAKAT UNTUK MENJUSTIFIKASI PELANGGARAN HAK CIPTA DI DUNIA DIGITAL

Terlepas dari fakta bahwa aturan hak cipta bertujuan untuk melindungi kepentingan seniman dan memberikan kontribusi terhadap ekspresi kreatif, aturan hak cipta tidak populer dalam konteks praktek saling berbagi berkas

64Freeware, <http://en.wikipedia.org/wiki/Freeware>, paragraf 1, diakses tanggal 22 Juni 2008.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan ini yang menjadi kesimpulan adalah mengenai pengaturan nasional mengenai batas wilayah laut di Indonesia yang merupakan sebagai negara kepulauan

Skripsi yang berjudul “Perbandingan Pengaturan Human Trafficking ditinjau dari KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perbuatan hukum tidak lagi didasarkan pada tindakan yang konkret, melainkan dilakukan dalam dunia maya (tidak konkret) secara tidak kontan dan bersifat

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui mengenai apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah melindungi kepentingan konsumen

Sedangkan pengertian pekerja atau buruh adalah ”setiap orang yang berkerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain” (Pasal 1 angka 3 Undang–Undang No.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Lahirnya United Nations Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs an Psychotropic Substances atau lebih dikenal United Nations Drugs convention (Vienna Convention

Dari surat kuasa khusus Kejaksaan dapat mengajukan gugatan perdata dengan dasar hukum Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Perbuatan Melawan Hukum)