Oleh:
Ignatius Adisurya Kantus NPM. 120620120001
TESIS
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Magister Akuntansi Program Pendidikan Magister Program Studi Akuntansi
Konsentrasi Akuntansi Manajemen
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
ii
ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL
TERHADAP KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT
DAERAH (Studi Kasus di Pemerintahan Daerah
Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa Tenggara Timur)
2. Subjek : 1. Budaya Organisasi
2. Komitmen Organisasi
3. Modal Intelektual
4. Kinerja SKPD
5. Value for Money
3. N a m a : Ignatius Adisurya Kantus
4. Nomor Pokok Mahasiswa : 120620120001
5. Program Studi : Magister Akuntansi
6. Bidang Kajian Utama : Akuntansi Manajemen
7. Tim Pembimbing : 1. Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA
2. Gia Kardina P. Amrania, SE, M.Acc., Ak.
8. Tahun Kelulusan : 2016
9. Abstrak :
iii
organisasinya (SKPD) termasuk bagaimana mengalokasikan anggaran belanjanya untuk
mencapai masyarakat yang sejahtera.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, komitmen
organisasi dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang diproksikan oleh
Value for Money. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu akuntansi manajemen (pemerintahan). Termasuk
dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dengan
tata-kelola organisasi pemerintahan. Metode penelitian ini adalah eksplanasi-survei dengan
menggunakan sampel dari 44 responden pada 44 SKPD yang diteliti. Jenis data yang dipakai
adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden pada jangka waktu tertentu.
Model analisis data yang digunakan adalah PLS Path Modeling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja SKPD secara “moderat” dapat dijelaskan oleh
budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelekual dalam path models sebesar 53,9%. Sementara 46,1% dijelaskan oleh variabel lain diluar yang diteliti. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah secara parsial budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal
intelektual memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kinerja SKPD yang
diproksikan oleh Value for Money. Artinya, jika masing-masing variabel seperti budaya organisasi, komitmen organisasi ataupun modal intelektual baik, maka kinerja dari SKPD
pun akan baik.
10.Abstract :
iv
commitment and intellectual capital partially on the performance of SKPD proxied by the Value for Money. The results of this study are expected to contribute to the development of science knowledge management accounting (government). Includes can be input and consideration for the parties associated with the governance of government organizations. This research method is explanatory-survey using a sample of 44 respondents in 44 SKPD studied. The type of data used are primary data obtained directly from respondents in a given time period. Data analysis model used is PLS Path Modeling.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK TESIS ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
KATA PENGANTAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Identifikasi Masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 12
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka ... 14
2.1.1. Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ... 14
2.1.1.1. Konseptualisasi ... 14
2.1.1.2. Pengukuran ... 16
2.1.2. Value for Money ... 19
2.1.2.1. Pengantar ... 19
2.1.2.2. Pengertian ... 20
2.1.2.3. Konseptual Framework ... 22
vi
2.1.2.3.2. Efisiensi ... 25
2.1.2.3.3. Efektivitas ... 26
2.1.3. Budaya Organisasi ... 27
2.1.3.1. Pengantar ... 27
2.1.3.2. Pengertian ... 28
2.1.3.3. Konseptual Framework ... 30
2.1.3.3.1. Involvement ... 31
2.1.3.3.2. Consistency ... 31
2.1.3.3.3. Adaptability ... 32
2.1.3.3.4. Mission ... 33
2.1.4. Komitmen Organisasi ... 33
2.1.4.1. Pengantar ... 33
2.1.4.2. Pengertian ... 34
2.1.4.3. Konseptual Framework ... 36
2.1.4.3.1. Affective commitment ... 37
2.1.4.3.2. Continuance commitment ... 37
2.1.4.3.3. Normative commitment ... 39
2.1.5. Modal Intelektual ... 40
2.1.5.1. Pengantar ... 40
2.1.5.2. Pengertian ... 41
2.1.5.3. Konseptual Framework ... 43
2.1.5.3.1. Human capital ... 44
vii
2.1.5.3.3. Relational capital ... 46
2.2. Penelitian Terdahulu ... 49
2.3. Kerangka Pemikiran ... 63
2.3.1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja ... 63
2.3.2. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kinerja ... 64
2.3.3. Pengaruh Modal Intelektual terhadap Kinerja ... 65
2.3.4. Korelasi Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi ... 66
2.3.5. Korelasi Modal Intelektual dan Budaya Organisasi ... 67
2.3.6. Korelasi Modal Intelektual dan Komitmen Organisasi ... 68
2.4. Hipotesis ... 69
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Obyek Penelitian ... 71
3.2. Metode Penelitian ... 71
3.3. Operasionalisasi Variabel ... 72
3.4. Populasi dan Sampel ... 76
3.5. Jenis dan Sumber Data ... 78
3.6. Pengumpulan Data ... 78
3.6.1. Metode Pengumpulan Data ... 78
3.6.2. Skala Pengukuran Data ... 79
3.7. Analisis Data ... 80
3.7.1. Teknik Analisis ... 80
viii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ... 88
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Peneltian ... 88
4.1.2. Karakteristik Responden ... 90
4.1.3. Uji Model Estimasi ... 91
4.1.3.1. Evaluasi Model Pengukuran ... 92
4.1.3.2. Evaluasi Model Struktural ... 94
4.1.4. Pengujian Hipotesis ... 97
4.1.4.1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja SKPD ... 98
4.1.4.2. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kinerja SKPD ... 98
4.1.4.3. Pengaruh Modal Intelektual terhadap Kinerja SKPD ... 99
4.1.4.4. Korelasi Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi ... 99
4.1.4.5. Korelasi Modal Intelektual dan Budaya Organisasi . 99 4.1.4.6. Korelasi Modal Intelektual dan Komitmen Organisasi ... 100
4.2. Pembahasan ... 100
4.2.1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja SKPD ... 100
4.2.2. Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Kinerja SKPD ... 102
ix
4.2.4. Korelasi Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi ... 108
4.2.5. Korelasi Modal Intelektual dan Budaya Organisasi ... 108
4.2.6. Korelasi Modal Intelektual dan Komitmen Organisasi ... 109
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan ... 110
5.1.1. Hipotesis Utama ... 110
5.1.2. Hipotesis Tambahan ... 111
5.2. Saran ... 112
5.2.1. Saran Bagi Pengembangan Ilmu ... 112
5.2.2. Saran Bagi Operasional Kebijakan ... 113
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Perangkingan kabupaten/kota berdasarkan IPM di Provinsi
Nusa Tenggara Timur tahun 2011-2014 ... 2
Tabel 1.2. Anggaran Belanja dan Rencana Paket Pengadaan Barang/Jasa
Pada Belanja Langsung Non-Pegawai beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014 . 4
Tabel 1.3. Rincian IPM berdasarkan Indikator beberapa kabupaten/kota
di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014 ... 5
Tabel 2.1. Hasil penelitian terdahulu ... 50
Tabel 3.1. Operasionalisasi variabel untuk penelitian ……… 73
Tabel 4.1. Struktur Anggaran Belanja Pemerintahan Kabupaten
Manggarai Timur 2014-2016 ………... 89
Tabel 4.2. Perolehan nilai convergent validity dan internal consistency
reliability hasil final pemodelan PLS ………... 94 Tabel 4.3. Perolehan nilai discriminant validity hasil final pemodelan
PLS ………... 94
Tabel 4.4. Perolehan nilai R2 hasil final pemodelan PLS ……….... 95
Tabel 4.5. Perolehan nilai Q2 hasil final pemodelan PLS ………... 96
Tabel 4.6. Perolehan path coefficient hasil final pemodelan PLS ………... 96
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pertimbangan ekonomi dan efisiensi sebagai bagian dari VfM . 21
Gambar 2.2. Konseptualisasi framework Value for Money……… 23 Gambar 2.3. Konsep Kerangka Pemikiran Pengaruh Budaya Organisasi,
Komitmen Organisasi, Modal Intelektual terhdap Kinerja …... 63
Gambar 4.1. Gambaran responden berdasarkan rentang usia ………... 90
Gambar 4.2. Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan ……….. 91
Gambar 4.3. Gambaran responden berdasarkan jabatan ………... 91
Gambar 4.4. Konstruksi diagram jalur untuk hasil pemodelan PLS ………. 92
Gambar 4.5. Konstruksi diagram jalur untuk hasil final pemodelan PLS
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuisioner ... 123
Lampiran 2. Pelaksanaan Program/Kegiatan TA 2015 Kabupaten
Manggarai Timur ... 131
Lampiran 3. Daftar SKPD di Pemerintahan Kabupaten Manggarai Timur ... 133
Lampiran 4. Tabulasi Data Kuisioner ... 134
xiii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan berkat yang dilimpahkan-Nya khusunya dalam menyelesaikan tesis
ini. Adapun judul tesis ini adalah “PENGARUH BUDAYA ORGANISASI,
KOMITMEN ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL TERHADAP
KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Kasus di
Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa Tenggara Timur)”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian dari
persyaratan-persyaratan guna memperoleh derajat sarjana S-2 Magister Akuntansi pada
Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Padjadjaran.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan
tesis ini. Namun, hanya berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak pada
akhirnya tesis ini bisa diselesaikan. Dalam kesempatan ini pula penulis dengan
tulus ingin menyampaikan terimakasih khususnya kepada Ibu Dr. Hj. Tettet
Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA, (selaku ketua tim pembimbing) dan Ibu Gia
Kardina P. Amrania, SE, M.Acc., Ak., (selaku anggota tim pembimbing) yang
telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, perhatian,
dukungan dan saran yang sangat berguna selama penyusunan tesis dari awal
hingga akhir. Ibu Dr. Roebiandini Somantri, SE., M.Si., Ak.; Ibu Sri Mulyani,
xiv
yang telah memberikan kritikan, saran ataupun masukan yang sangat berguna
demi perbaikan kualitas tesis ini.
Tak lupa penulis sampaikan terimakasih secara tulus kepada Bapak Prof.
Dr. med. Tri Hanggono Achmad, dr., selaku Rektor Universitas Padjadjaran.
Bapak Dr. Nury Effendi, SE, MA., selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Padjadjaran. Ibu Dr. Hj. Tettet Fitrijanti, SE, M.Si., Ak., CA, selaku
Ketua Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran. Para staff pengajar
Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran yang telah berbagi
pengetahuan khususnya terkait dengan bidang Akuntansi Manajemen. Para staff
administrasi Program Magister Akuntansi Universitas Padjadjaran yang telah
banyak membantu dan mempermudah penulis dalam menyelesaikan studi.
Akhirnya, kepada istriku Maria Yohana Widhihastuti dan anakku
Vincentius Stanisluiz Ferrel Kantus, yang telah memberikan segala cinta dan
perhatiannya yang begitu besar sehingga penulis merasa terdorong untuk
menyelesaikan cita-cita dan memenuhi harapan keluarga.
Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang berkepentingan. Terima kasih.
Bandung, 28 Juli 2016
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan dampak yang signifikan pada sistem pemerintahan di daerah.
Termasuk pada kehidupan masyarakat diberbagai bidang. Secara konseptual,
pelaksanaannya dilandasi pada tiga tujuan utama, yaitu: politik, administratif dan
ekonomi. Yang ingin dicapai dalam hal tujuan politik adalah terwujudnya
demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam hal tujuan administratif adalah adanya pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah, termasuk pengelolaan sumberdaya keuangan dan
pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan. Sementara dalam hal tujuan
ekonomi adalah tercapainya peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM).
Dalam konteks pembangunan daerah, IPM merupakan salah satu ukuran
utama yang dicantumkan dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah. Sebagaimana
hal itu telah diatur dalam PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan
Daerah. Dengan demikian, IPM menduduki satu posisi penting dalam manajemen
pembangunan daerah. Disamping menjadi kunci bagi terlaksananya perencanaan
dan pembangunan yang lebih terarah. Jadi, IPM dapat digunakan sebagai salah
satu indikator pengukuran kinerja daerah dilihat dan sisi outcome.
Sebab indikator-indikator yang ada dalam IPM menjelaskan bagaimana
suatu pembangunan. Sebagai bagian dari haknya untuk memperoleh kesehatan,
pendidikan dan pendapatan. Sementara nilai IPM yang diperoleh mencerminkan
seberapa jauh wilayah tersebut telah mencapai sasaran dan tujuan yang sudah
ditentukan berdasarkan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana
dari tiga indeks, yaitu: indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks
standar hidup layak. Semakin mendekati angka 100 maka dapat dikatakan akan
semakin dekat pula jalan menuju tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik.
Tabel 1.1.
Perangkingan kabupaten/kota berdasarkan IPM di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011-2014
Sumber: diolah oleh peneliti (http://ntt.bps.go.id/ , diakses 28/3/2016)
Berdasarkan IPM tahun 2014 (lihat Tabel 1.1.), jika ditinjau dari aspek
berada pada tingkatan menengah-bawah. Kecuali kota Kupang yang memiliki
tingkatan IPM menengah-atas. Hal ini mengacu pada ketentuan United Nations Development Programme (UNDP) dimana termasuk kategori menengah-bawah jika 50 IPM 66 (http://www.undp.org/, diakses 28/3/2016). Fakta menarik
tersaji ketika melihat fenomena yang ada pada kabupaten/kota yang berada pada
tiga urutan terbawah. Capaian IPM kabupaten Malaka pada tahun 2013 mampu
berada di atas kabupaten Manggarai Timur dan Sabu Raijua. Padahal pada tahun
sebelumnya kabupaten Malaka belum terbentuk sebagai bagian dari pemerintahan
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam hal ini, jika dikaji pada aspek tingkat
pertumbuhan maka berdasarkan posisi relatif suatu wilayah terhadap wilayah
lainnya. Menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 posisi dari kabupaten Manggarai
Timur dan Sabu Raijua tidak begitu baik. Bahkan jika dibandingkan dengan
kabupaten Malaka sekalipun.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, kinerja pemerintah daerah juga
dapat diukur melalui kemampuan pemerintah daerah mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Termasuk dalam bidang keuangan. Oleh karena aspek
pengelolaan keuangan merupakan faktor yang esensial dalam mengukur sejauh
mana tingkat kemampuan suatu daerah untuk melaksanakan otonominya. Maka
pemerintah daerah harus mampu membelanjakan uang publik secara ekonomis,
efisien dan efektif (Mardiasmo, 2009). Sementara menurut Hernita Nur Fadjrina
(2014) bahwa pemerintah daerah yang mampu mengalokasikan uang publik untuk
kepentingan belanja fungsi ekonomi, belanja fungsi pendidikan dan belanja fungsi
pada hasil penelitian dengan menggunakan data cross section terhadap 192 kabupaten/kota di Indonesia dan data time series periode 2010-2012.
Tabel 1.2.
Anggaran Belanja dan Rencana Paket Pengadaan Barang/Jasa Pada Belanja Langsung Non-Pegawai
beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014
Sumber: diolah oleh peneliti (http://monev.lkpp.go.id/ , diakses 28/3/2016)
Artinya, capaian IPM yang rendah tidak serta merta menunjukkan bahwa
kabupaten/kota tersebut tidak memiliki kemampuan dalam hal keuangan. Atau
sebaliknya IPM tinggi karena kabupaten/kota memiliki kemampuan lebih dalam
hal keuangan. Ini semata lebih pada permasalahan upaya yang akan dilakukan
untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat (outcome), dan penyesuaian alokasi biaya (input) berdasarkan pada skala prioritas dan preferensi daerah untuk mencapai tujuan dimaksud. Sebagai contoh kabupaten Manggarai Timur dan Sabu
Raijua yang berada pada posisi dua terbawah dalam hal capaian IPM. Kabupaten
Sabu Raijua dengan proporsi sebesar 33,06% menempati urutan kedua setelah
kabupaten Manggarai Barat yaitu 34,47%. Sementara Kabupaten Manggarai
Timur mampu mengalokasikan paket pengadaan barang/jasa dan modal sebesar
26,44%, dimana proporsinya lebih tinggi dibandingkan kabupaten Kupang,
masih berada di bawah kabupaten Malaka yang memiliki total anggaran belanja
sebesar Rp. 358,28 miliar dengan proporsi barang/jasa dan modal sebesar 13,84%.
Tabel 1.3.
Rincian IPM berdasarkan Indikator beberapa kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2014
Sumber: diolah oleh peneliti (http://ntt.bps.go.id/ , diakses 28/3/2016)
Dengan proporsi yang lebih besar tentu diharapkan dapat memberikan
keleluasaan bagi masing-masing daerah untuk melaksanakan program/kegiatan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila dilakukan dengan
tepat sasaran hal ini akan memberikan kontribusi lebih dan mempermudah akses
bagi masyarakat dalam perekonomian, sehingga akan terjadi efisiensi dan pada
waktunya akan berpengaruh pada daya beli masyarakat yang semakin tinggi
(Delavallade, 2006). Misalnya, dalam hal alokasi belanja dibidang infrastruktur
(konstruksi) jalan. Dengan bertambahnya sejumlah jaringan jalanan baru dapat
memudahkan mobilitas masyarakat atau mengurangi biaya transportasi. Atau
anggaran untuk infrastruktur memang dialokasikan besar akan tetapi lebih banyak
diperuntukan bagi pembangunan fasilitas kesehatan seperti yang dilakukan oleh
lebih fokus pada bidang pendidikan. Sementara kabupaten Malaka melakukannya
secara merata.
Menurut Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Program
merupakan penjabaran kebijakan SKPD dalam bentuk upaya yang berisi satu atau
lebih kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai
hasil yang terukur sesuai dengan misi SKPD. Kegiatan adalah bagian dari
program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai
bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri dari
sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber
daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau
kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai
masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Sementara sasaran (target) adalah hasil yang diharapkan dari suatu
program atau keluaran yang diharapkan dari suatu kegiatan. Dalam hal ini,
sistematika penganggarannya haruslah berbasis kinerja yang diartikan sebagai
suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan
hasil/outcome. Dengan kata lain, anggaran ini tidak hanya didasarkan pada apa yang dibelanjakan saja tetapi juga didasarkan pada sasaran dan tujuan tertentu
yang pelaksanaannya perlu disusun atau didukung oleh suatu anggaran biaya yang
Pertama, maksud dan tujuan permintaan dana. Kedua, biaya dari
program-program yang diusulkan dalam mencapai sasaran dan tujuan dimaksud. Dan yang
ketiga, data kuantitatif yang dapat mengukur pencapaian serta pekerjaan yang
dilaksanakan untuk tiap-tiap program.
Menurut Mardiasmo (2009), kinerja tersebut harus mencerminkan
efisiensi dan efektivitas pada pelayanan publik yang berarti berorientasi pada
kepentingan publik. Sementara untuk mengetahui apakah penggunaan biaya-biaya
tersebut sudah efisien dan efektif tentunya diperlukan suatu pengukuran. Sistem
pengukuran ini harus dapat mengintegrasikan proses peningkatan kinerja melalui
beberapa tahap mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi capaiannya.
Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk
atau hasil kerja tertentu dicapai melalui penggunaan sumberdaya (biaya) yang
serendah-rendahnya (spending well). Misalnya, dengan alokasi biaya (input) untuk anggaran belanja barang/jasa dan modal yang terbatas tetapi kabupaten
Malaka mampu menyediakan sejumlah: (1) akses kesehatan berupa pertolongan
persalinan bagi ibu dan bayinya; (2) akses untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam mengenyam pendidikan yang layak sampai pada jenjang
SD/SMP/SMA; dan (3) akses untuk menggerakkan roda perekonomian. Hal mana
berbeda dengan hasil yang sudah dicapai oleh kabupaten Manggarai Timur dan
Sabu Raijua. Padahal dari aspek kemampuan keuangan terlihat pula bahwa posisi
kabupaten Malaka berada di bawah kedua kabupaten tersebut (lihat Tabel 1.2.).
Sementara dikatakan efektif, apabila proses dari suatu program/kegiatan
Dengan mengambil kabupaten Manggarai Timur sebagai bahan studi kasusnya.
Terlihat bahwa upaya yang dilakukan oleh kabupaten Manggarai Timur untuk
mencapai kesejahteraan bagi masyarakatnya kurang berhasil guna. Hal ini jika
dibandingkan dengan capaian—berdasarkan perolehan output sebelumnya—yang sudah dihasilkan oleh kabupaten Malaka (lihat Tabel 1.1.). Dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa kabupaten Manggarai Timur belum mampu menggunakan
uang pubik dengan bijak. Hal ini terlihat dari belum tercapaianya tingkat: (1)
angka harapan hidup pada saat lahir; (2) kombinasi antara rata-rata angka melek
huruf pada penduduk dewasa dan rata-rata lama sekolah; dan (3) standar hidup
layak yang diukur dengan tingkat pengeluaran per-kapita yang telah disesuaikan
atau paritas daya-beli.
Dalam setiap budaya organisasi mengandung nilai-nilai inti organisasi
yang dipegang kuat dan menyebar secara luas (Martins & Martins, 2003). Selain
itu, anggota organisasi yang berada dalam suatu budaya organisasi harus memiliki
keyakinan bersama (O’Reilly et al., 1991). Dengan demikian, keberadaan suatu budaya organisasi ditandai dengan adanya berbagi nilai dan keyakinan yang sama
dengan seluruh anggota organisasi. Kuatnya budaya organisasi yang sudah
terinternalisasi dan dipegang teguh oleh setiap anggotanya dapat berpengaruh
pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh Ahmed & Shafiq
(2012) dan Ting (2011) yang menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan yang
terjadi antara budaya organisasi dan kinerja ataupun efektivitas organsasi. Namun,
Lo (2012) dan Olughor (2014) menemukan hal sebaliknya dimana budaya
Komitmen organisasi merupakan suatu sikap (pendirian) atau perilaku
(reaksi terhadap suatu stimulus/lingkungan) yang merefleksikan perasaan atau
perhatian seorang anggota terhadap organisasinya. Menurut Porter et al. (1974) sikap mengacu pada ikatan psikologis (psychological attachment) yang dibentuk oleh individu terkait identifikasi dan keterlibatan mereka dengan organisasinya.
Sedangkan perilaku berkaitan dengan proses dimana individu menjadi terkunci
dalam organisasi tertentu dan bagaimana mereka menangani masalah yang ada
(Mowday et al., 1982). Kuatnya komitmen dari setiap anggotanya dapat berpengaruh pada kinerja organisasi itu sendiri. Hal senada disimpulkan oleh
Berberoglu & Secim (2015), Muthuveloo & Rose (2005), dan Andry Arifian
Rachman (2014) yang menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan yang terjadi
antara komitmen organisasi dan kinerja ataupun outcome organisasi. Namun, Lee & Huang (2012) menemukan hal sebaliknya dimana komitmen organisasi tidak
berdampak pada kinerja organisasi.
Modal intelektual merupakan suatu proses perpindahan dari sekedar
memiliki pengetahuan dan keterampilan ke bagaimana menggunakan pengetahuan
dan keterampilan tersebut dalam rangka menciptakan nilai bagi organisasi (Swart,
2006). Dalam konteks organisasi publik dan non-profit, keuntungan strategis
melalui pengetahuan yang tercipta dapat dimanfaatkan untuk tujuan meningkatkan
efisiensi operasi (Helm-Stevens et al., 2011). Oleh karena itu, Stewart (1999) menyebutnya modal intelektual sebagai emas yang tersembunyi. Organisasi yang
dapat mengelola dan menggunakan modal intelektual secara efektif maka akan
et al. (2015) dan Dadashinasab et al. (2012) yang menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan yang terjadi antara modal intelektual dan kinerja organisasi.
Namun, Akbari et al. (2013), Shakina & Barajas (2012), dan Asiaei & Jusoh (2015) menemukan bahwa meskipun signifikan tetapi pengaruhnya rendah
(modest). Selain itu, mereka menemukan bahwa tidak semua komponen modal intelektual dapat memberikan pengaruh pada kinerja organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengkaji lebih mendalam
melalui penelitian dengan judul: “PENGARUH BUDAYA ORGANISASI,
KOMITMEN ORGANISASI DAN MODAL INTELEKTUAL TERHADAP
KINERJA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH (Studi Kasus di
Pemerintahan Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Provinsi Nusa Tenggara Timur)”. Sementara dari uraian di atas terlihat pula masih adanya
perbedaan-perbedaan hasil penelitian dari para peneliti sebelumnya (research
gap). Dengan demikian, penggunaan variabel predictor budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual dalam penelitian ini dianggap masih
relevan.
1.2. Identifikasi Masalah
Perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah dalam
membuat ataupun mengambil kebijakan perlu melihat pencapaian kinerja SKPD
dari perspektif atau pendekatan: (1) birokrasi itu sendiri; dan (2) kelompok
sasaran atau pengguna jasa suatu SKPD. Kedua perspektif tersebut pada dasarnya
bukan merupakan cermin dari pendekatan yang sifatnya mutually exclusive—
pendekatan yang saling berinteraksi diantara keduanya. Dalam konteks birokrasi,
terkait bagaimana organisasi dikelola atau birokrasi ditata secara efisien dan
efektif sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah. Sementara
untuk memenuhi kepuasan masyarakat (public satisfaction) sebagai kelompok sasaran atau pengguna jasa maka harus ditanamkan pola pikir pada para
pengelolanya tentang bagaimana meningkatkan outcome.
Outcome (hasil) menyangkut bagaimana tingkat pencapaian kinerja yang diharapkan terwujud, berdasarkan output dari suatu program/kegiatan yang sudah dilaksanakan. Atau dalam pengertian lainnya, outcome merupakan segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output suatu program/kegiatan. Sementara
output (keluaran) menunjukkan bagaimana barang/jasa dihasilkan secara langsung dari suatu program/kegiatan menggunakan sejumlah input (masukan) yang diberikan. Jika mengacu pada capaian IPM 2011-2014 maka outcome kabupaten Manggarai Timur belum mengalami kemajuan yang signifikan. Meskipun
kemampuan keuangan mereka (misalnya ditahun 2014) lebih baik dibandingkan
dengan kabupaten Malaka. Dengan kata lain, pemerintah kabupaten Manggarai
Timur belum efisien dan efektif dalam mengelola organisasinya (SKPD) termasuk
bagaimana mengalokasikan anggaran belanjanya untuk mencapai masyarakat
yang sejahtera.
Sebagai langkah awal dalam upaya merumuskan wujud pola
tata-hubungan dalam kinerja SKPD yang telah disinggung terdahulu, dilakukan kajian
1) Bagaimana pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi dan modal
intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang diproksikan oleh
VfM.
2) Apakah ada hubungan (korelasi) antara budaya organisasi dan komitmen
organisasi, modal intelektual dan budaya organisasi, serta modal
intelektual dan komitmen organisasi.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1) Untuk menganalisis pengaruh budaya organisasi, komitmen organisasi
dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja SKPD yang
diproksikan oleh VfM.
2) Untuk mengetahui ada tidaknya saling ketergantungan antara budaya
organisasi dan komitmen organisasi, modal intelektual dan budaya
organisasi, serta modal intelektual dan komitmen organisasi.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1) Manfaat Akademis
Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pengembangan ilmu
akuntansi manajemen khususnya menyangkut pengaruh budaya
organisasi, komitmen organisasi dan modal intelektual terhadap kinerja
2) Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan bagi pihak-pihak yang terkait dengan tata-kelola organisasi
pemerintahan. Lebih khusus bagi SKPD dalam lingkup Pemerintahan
Daerah Kabupaten Manggarai Timur – Propinsi Nusa Tenggara Timur
dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Dengan informasi yang ada kemudian dapat dicarikan langkah-langkah
strategisnya dalam rangka pencapaian kinerja SKPD yang lebih baik.
14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
Untuk memberikan landasan ilmiah yang kuat, maka pada bagian ini
dipaparkan beberapa landasan teori baik yang berasal dari literatur perpustakaan,
jurnal maupun hasil penelitian yang sejenis.
2.1.1. Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
2.1.1.1. Konseptualisasi
Secara etimologis/kebahasaan kinerja merupakan terjemahan dari
performance (Inggris). Selain bermakna kinerja, performance juga diterjemahkan secara beragam. Menurut Sedarmayanti (2001), performance dapat juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk
kerja/penampilan kerja. Hal senada dikemukakan oleh Yeremias T. Keban (2004),
istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa istilah kinerja digunakan apabila seseorang
menjalankan suatu proses dengan terampil sesuai dengan prosedur dan ketentuan
yang ada.
Secara konseptual Gibson et al. (1996) mendefenisikan kinerja sebagai tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, Bernardin & Russel (1998) memberikan
definisi tentang kinerja sebagai catatan dari hasil-hasil yang diperoleh melalui
kedua definisi dapat dipahami bahwa kinerja lebih menekankan pada perspektif
“hasil/outcome” dari suatu proses pekerjaan atau yang diperoleh dari suatu
pekerjaan sebagai kontribusi pada organisasi.
Menurut Indra Bastian (2006), pemerintah daerah adalah kepala daerah
beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Hal
senada dikemukakan oleh Abdul Halim (2007), pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah, sedangkan
pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dari kedua definisi tersebut
dapat dipahami bahwa pemerintah daerah memiliki kedudukan sebagai
administrator penuh pada masing-masing daerah. Mereka memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengelola daerahnya masing-masing. Namun, setiap
kebijakan atau tindakannya harus efisien dan efektif agar pengelolaan daerahnya
lebih terfokus dan mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditentukan.
Sementara perangkat daerah kabupaten/kota merupakan unsur pembantu
dari seorang kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan didaerahnya.
Terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis
daerah, kecamatan dan kelurahan. Kedudukan perangkat daerah (satuan kerja
perangkat daerah atau SKPD)—termasuk didalamnya Unit Kerja Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD)—selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
pemerintahan di daerah seperti: merumuskan kebijakan, mengadakan bimtek, dan
memonitor dan mengevaluasi penerapan kebijakan tersebut. Mereka pun berfungsi
kesehatan, pendidikan, dan perijinan. Sebagai entitas akuntansi dimana hal ini
merupakan ekses dari adanya proses akuntansi mulai dari melakukan pencatatan
atas transaksi-transaksi pendapatan, belanja, aset dan selain kas yang terjadi
sampai pada penyusunan laporan keuangan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: “kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD) adalah ukuran tingkat keberhasilan program/kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan publik untuk mencapai sasaran dan tujuan dengan menciptakan suatu organisasi yang lebih efisien dan efektif”. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Recardo & Wade (2001), kinerja organisasi sebagai kemampuan organisasi untuk mencapai sasaran dan
tujuan. Selain itu, kinerja organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk
mencapai tujuannya dengan menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif
(Daft, 2013).
2.1.1.2. Pengukuran
Tercapainya baik itu visi dan misi maupun sasaran dan tujuan
program/kegiatan yang terkandung dalam suatu kebijakan harus didasarkan pada
tingkat ukuran kepuasan masyarakat. Sementara ketika membicarakan kinerja
SKPD dalam kerangka good management paling tidak meliputi tiga komponen, yaitu: tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari masing-masing
satuan/unit organisasi pemerintah merupakan strategi untuk meningkatkan kinerja.
Tujuan ini akan memberi arah dan mempengaruhi bagaimana seharusnya perilaku
kerja yang diharapkan organisasi pemerintah terhadap setiap personel. Walaupun
ukuran yang dapat mendeskripsikan apakah seseorang/lembaga telah mencapai
kinerja yang diharapkan atau tidak. Ukuran kuantitatif dan kualitatif standar
kinerja untuk setiap tugas dan jabatan tersebut memegang peranan penting dalam
penilaian kinerja.
Menurut Indra Bastian (2006), pengukuran kinerja merupakan “proses”
mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian
misi melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun proses.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh LAN & BPKP (2000) dimana pengukuran
kinerja merupakan suatu “alat” untuk meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dan akuntabilitas. Begitu pula dengan Malayu S.P. Hasibuan (2001)
yang mengatakan bahwa pengukuran kinerja merupakan “wahana” untuk
mengevaluasi terhadap perilaku, prestasi kerja dan potensi pengembangan yang
telah dilakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “pengukuran kinerja adalah suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk menilai tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu program/kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi”.
Fungsi dari pengukuran kinerja adalah sebagai alat bagi manajemen
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Selain itu,
merupakan jembatan antara perencanaan strategik dengan akuntabilitas.
Sedangkan tujuannya adalah: (Mahmudi, 2009)
1) Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
3) Memperbaiki kinerja periode berikutnya
4) Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan
pemberian reward dan punishment 5) Memotivasi pegawai
6) Menciptakan akuntabilitas publik
Beberapa penelitian internasional menunjukkan ada beberapa struktur
dan teknik yang digunakan untuk tujuan pengukuran kinerja sektor publik. Pada
umumnya dari beberapa framework yang ada memiliki fitur-fitur seperti menggambarkan bagaimana hubungan antara tujuan, sumberdaya, strategi dan
hasil; menjelaskan maksud publik harus dilayani; dan menunjukkan bagaimana
melakukan pengukuran dan pelaporan yang hanya berfokus pada aspek-aspek
penting dari kinerja (Mackie, 2008). Selain itu, Boyne (2002) mencatat bahwa
indikator dari sebagian kerangka pengukuran dapat berdasarkan pada model
pengukuran kinerja economy-efficiency-effectiveness model (disebut model 3E's). Penggunaan VfM sebagai alat ukur kinerja pun sudah lazim dilakukan
oleh beberapa peneliti di Indonesia. Diantaranya Tri Siwi Nugrahani (2007) yang
menganalisis penerapan konsep VfM pada pemerintah DI Yogyakarta. Demi
Aulia Arfan (2014) yang mengukur kinerja dinas pertanian DI Yogyakarta periode
2011-2012 menggunakan VfM. Avib Subastian (2013) yang menilai laporan
akuntabilitas kinerja dinas pendidikan kota Surabaya melalui pendekatan VfM.
Sementara praktek terhadap keharusan menggunakan prinsip-prinsip dalam VfM
sendiri sudah diterapkan oleh pemerintah sejak lama. Mulai dari pusat sampai
melalui Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. 13/2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di
Desa. Sebagaimana dalam lampiran bab I huruf D nomor 1 yang mengatur bahwa
pengadaan barang/jasa menerapkan prinsip-prinsip diantaranya efisiensi dan
efektivitas.
2.1.2. Value for Money
2.1.2.1. Pengantar
Saat ini, ada harapan yang ditunjukkan pada lembaga pemerintahan
bahwa VfM terbaik tercapai ketika uang publik dihabiskan. Di sisi lain, semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya VfM membawa implikasi
yang kompleks baik secara konsep maupun penerapannya. Misalnya, menekankan
defenisi “nilai” sebagai kontribusi untuk mencapai outcome dan impact tidaklah mudah. Defenisi ini memiliki implikasi ketika perubahan sosial yang diharapkan
sulit tecapai, sehingga menjadi sulit pula ketika membuat identifikasi faktor-fakor
penentu—selain faktor intervensi—dan hubungan kausalitasnya.
Pengenalan filosofi managerialis mengharuskan peningkatan tekanan
pada efisiensi, efektivitas dan operasi nilai uang. Meskipun defenisi VfM untuk
masing-masing stakeholder berbeda, akan tetapi kombinasi dari 3E's tampaknya sebagai intinya dan melengkapi praktek bisnis yang baik. Menurut Kleine (2009),
oleh karena indikator-indikator yang ada diasumsikan dapat diterapkan secara
universal maka pada tingkat yang lebih luas dapat digunakan pula sebagai
indikator dalam kerangka pembangunan internasional. Hal senada dikemukakan
satu dekade terakhir ini secara eksplisit sudah digunakan dalam konteks
pembangunan internasional.
2.1.2.2. Pengertian
National Audit Office atau NAO (2015) mendefenisikan bahwa VfM
terbaik adalah penggunaan sumberdaya yang optimal untuk mencapai outcome
yang dimaksudkan. Hal senada dikemukakan oleh Organisation for Economic
Co-operation and Development atau OECD (2012), VfM merupakan kombinasi
optimal dari biaya keseluruhan hidup dan kualitas (atau kesesuaian tujuan) untuk
memenuhi kebutuhan penggunanya. Optimal dalam perspektif VfM “kontras”
dengan rasio produktivitas maksimum, dimana baru dikatakan optimal apabila
minimal rasio produktivitas yang harus dicapai adalah 100%. Dengan kata lain,
output (barang/jasa) yang dihasilkan melalui suatu proses haruslah sama dengan
input (sumberdaya: manusia, modal, material, waktu, dsb.) yang dipakai (Werther & Davis, 1993). Atau dapat juga dikatakan bahwa antara output dan input harus mencapai break even point.
Sementara dalam VFM dikatakan optimal jika output dari suatu hasil produksi dicapai menggunakan input (biaya) yang minimum atau serendah-rendahnya (SCRGSP, 2006). Pada hakekatnya VfM haruslah mengacu pada
keseimbangan optimal antara seluruh tiga elemen yang ada; dimana ketika biaya
relatif rendah (ekonomi), produktivitas tinggi (efisiensi), dan outcome pun sukses tercapai (efektivitas). Dalam situasi ini VfM tidak dapat serta-merta diidentikkan
dengan harga termurah (OGC, 2002). Namun, disisi lain mengurangi biaya input
melemahkan VfM itu sendiri. Gambar 2.1. di bawah ini menunjukkan bagaimana
pertimbangan ekonomi dan efisiensi ketika menentukan efektivitas.
Gambar 2.1.
Pertimbangan ekonomi dan efisiensi sebagai bagian dari VfM
Sumber: Organisation for Economic Co-operation and Development (2012)
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: “VfM adalah penggunaan sumberdaya secara optimum dengan memperhatikan total biaya dan manfaat dari pengaturannya, dan kontribusinya terhadap outcome suatu entitas yang ingin dicapai”. Dalam hal ini, VfM dapat terkait dengan hal-hal seperti:
human resources, finance, information and communication technology dan
procurement (NAO, 2015). Namun, prinsip VfM pada saat (misalnya) pengadaan barang/jasa tidak selalu berarti memilih harga terendah. Melainkan berdasarkan
pada kemungkinan outcome terbaik dari total biaya yang dimiliki (atau seluruh biaya hidup). Dalam hal ini, pemilihan metode pengadaan barang/jasa selain harus
yang paling tepat juga mempertimbangkan aspek risiko dan nilai pengadaannya,
Secara umum VfM digunakan untuk menggambarkan suatu komitmen
eksplisit untuk memastikan hasil terbaik yang mungkin diperoleh dari uang yang
dihabiskan. Hal ini tentang bagaimana mendapatkan manfaat maksimal dari waktu
ke waktu terhadap sumberdaya yang tersedia. Selain itu, tentang bagaimana
mencapai keseimbangan yang tepat antara menghabiskan lebih sedikit,
menghabiskan dengan baik dan menghabiskan secara bijak untuk mencapai
berbagai prioritas yang ada. Sebab pada prinsipnya bahwa dana publik harus
ditempatkan pada kemungkinan penggunaan terbaik, dan mereka yang melakukan
urusan publik harus bertanggung-jawab pada manajemen yang ekonomis, efisien
dan efektif dari sumberdaya yang dipercayakan kepada mereka (OAG, 2000).
2.1.2.3. Konseptual Framework
Untuk mencapai sasaran dan tujuan yang sesuai maka pencapaiannya
harus dapat diukur berdasarkan variabel-variabel indikator kinerja yang telah
ditentukan. Ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk tujuan pengukuran
maupun pelaporan capaian kinerja, seperti: (1) cost, yaitu: berapa besarnya nilai rupiah (direpresentasikan dalam bentuk prices) yang harus kita keluarkan untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan; (2) input, yaitu: apa yang kita gunakan (staf, bahan, alat, tempat, finansial, dsb.) untuk melakukan suatu pekerjaan; (3)
tujuan strategis organisasi (Roos, 2009). Sasaran dan tujuan itu sendiri selalu
mencerminkan prioritas suatu kebijakan.
Variabel-variabel indikator kinerja tersebut dapat dimasukkan dalam satu
dimensi 3E's (SCRGSP, 2006). Hal ini tidak terlepas dari berbagai definisi VfM
yang sejauh ini tidak hanya memberikan penilaian dari nilai uang yang melibatkan
3E's. Tetapi juga mencoba untuk menguji setiap variabel indikator kinerja yang
mengidentifikasi hubungan antara indikator dan panduan tentang
kesimpulan-kesimpulan yang ada berdasarkan bukti: (1) terkait seberapa baik mereka tampil
bersama; (2) hubungannya dengan keseimbangan optimal; (3) pembandingan
dengan rasio produktivitas maksimum; (4) pilihan yang paling murah tidak selalu
mewakili VfM yang lebih baik; atau (5) konversi ke input, output dan output-outcome sebagai subyek untuk kepentingan penilaian VfM.
Gambar 2.2.
Konseptualisasi frameworkValue for Money
Sumber: diolah oleh peneliti (2016)
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model Value for Money
2.1.2.3.1 Ekonomi
Dalam konteks pengadaan alokasi sumberdaya (baik manusia maupun
material) berarti meminimalkan “biaya”input dengan mempertimbangkan ukuran dan kualitas yang sesuai pada kemungkinan tingkat harga yang terbaik. Sementara
dalam konteks kegiatan operasional berarti menghilangkan atau mengurangi
biaya-biaya yang tidak perlu ada dan/atau tidak produktif secara hati-hati dan
cermat.
Dalam hal ini, pertanyaan ukuran ekonomi terkait: apakah layanan yang
diberikan berdasarkan pada biaya yang mungkin terendah. Atau apakah layanan
yang diberikan melebihi biaya layanan yang sebanding di tempat lain (Shall,
2000). Sementara indikator ekonomi merupakan rasio antara input dengan nilai
dollar untuk memperoleh input tersebut (Boyle, 2000). Dalam hal ini, indikator ekonomi mengeksplor apakah input tertentu diperoleh pada biaya terendah dan pada saat yang tepat. Dan apakah metode untuk memproduksi output yang diperlukan ekonomis. Namun, indikatornya hanya memiliki makna dalam arti
relatif sehingga untuk mengevaluasi apakah organisasi bertindak ekonomis, maka
dari waktu ke waktu perlu membandingkannya dengan organisasi lain pada
langkah-langkah dan sektor yang sama.
Dengan demikian, prinsip dasar ekonomi adalah spending less (Brown & Jackson, 2008). Contoh: program pengadaan buku baru untuk perpustakaan
ditentukan sesuai dengan tingkat harga terbaik (murah), pemenang tender untuk
membangun jaringan jalanan baru berdasarkan pada penawaran harga terendah
2.1.2.3.2 Efisiensi
Dalam konteks kinerja terkait dengan penggunaan sumberdaya yang
minimum untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Dalam konteks kegiatan
operasional berarti output dari suatu hasil produksi dicapai menggunakan input
(biaya) yang minimum atau serendah-rendahnya. Sementara secara teknis,
efisiensi terjadi apabila ada potensi untuk dapat meningkatkan kuantitas output
yang dihasilkan dari jumlah yang diberikan oleh input. Atau dengan kata lain ada potensi mengurangi jumlah input yang digunakan untuk memproduksi sejumlah kuantitas output yang diharapkan. Jadi, dalam situasi ini seharusnya membayar untuk kualitas yang sesuai.
Dalam hal ini, pertanyaan ukuran efisiensi terkait: apakah kita melakukan
pekerjaan tanpa membuang-buang sumberdaya. Atau apakah kita melakukannya
dengan benar (Shall, 2000). Sementara indikator efisiensi biasanya diukur dengan
output banding rasio input dimana semakin besar output dibanding input maka semakin tinggi tingkat efisiensinya (Boyle, 2000). Oleh karena itu, indikatornya
mengeksplor bagaimana input yang produktif diterjemahkan ke dalam output. Namun, sama halnya dengan indikator ekonomi dimana indikator efisiensi juga
memiliki makna dalam arti relatif. Oleh karena itu, untuk mengevaluasi apakah
organisasi bertindak efisien maka dari waktu ke waktu perlu membandingkannya
dengan organisasi lain pada langkah-langkah dan sektor yang sama. Selain itu,
efisiensi dapat juga diukur relatif terhadap target efisiensi yang telah ditentukan.
memperbanyak jumlah koleksi buku perpustakaan, kebijakan penurunan biaya
pengadaan jalan per mil ditentukan berdasarkan kategori jalan sementara
meningkatkan jumlah jaringan jalanan baru yang dibangun, dsb..
2.1.2.3.3 Efektivitas
Menurut Brown & Jackson (2008), penilaian terhadap efektivitas dapat
dilakukan pertama dengan memutuskan dan menentukan sasarannya. Kedua,
menilai kinerja terhadap sasaran yang akan dicapai sehingga penyesuaian yang
tepat atau tindakan perbaikan dapat diambil. Sementara untuk mengevaluasi
efektivitas salah satunya dengan menentukan “tujuan” yang sudah disetujui atau
diinginkan untuk dicapai. Tujuan didefinisikan sebagai ekspresi konkret dari
sasaran kebijakan. Dengan demikian, konsep efektivitas terkait sejauh mana
kegiatan yang direncanakan terealisasi (output) dan hasil (outcome) yang direncanakan tercapai. Atau dapat dikatakan pula bahwa efektivitas merefleksikan
seberapa baik outcome dari layanan yang tercapai dinyatakan sebagai sasaran dan tujuan yang diinginkan—kemudian lebih dikenal sebagai efektivitas program
(SCRGSP, 2006).
Dalam hal ini, pertanyaan ukuran efektivitas terkait: apakah pekerjaan
yang dilakukan mencapai hasil yang diinginkan. Atau apakah kita melakukan hal
yang benar (Shall, 2000). Drucker (2006) menyatakan bahwa dalam suatu
organisasi dimana efisiensi cenderung mencerminkan “doing things right”
sedangkan efektivitas pada “doing the right thing”. Artinya, setiap pekerjaan yang efektif belum tentu efisien. Sebab hasil yang dikehendaki dapat saja tercapai tetapi
juga suatu tindakan penghematan. Sementara indikator efektivitas biasanya diukur
dengan outcome dibanding rasio output dimana semakin besar kontribusi output
terhadap pencapaian sasaran dan tujuan yang diinginkan maka semakin tinggi
tingkat efektivitasnya (Boyle, 2000). Sedangkan ukuran indikatornya berdasarkan
pada akses, kesesuaian dan kualitas (SCRGSP, 2006).
Dengan demikian, prinsip dasar efektivitas adalah spending wisely
(Brown & Jackson, 2008). Contoh: dengan memperbanyak jumlah koleksi buku
perpustakaan memberikan kemudahan dalam menemukan buku yang dicari oleh
pengunjung, atau meningkatkan “minat baca masyarakat”; bertambahnya
sejumlah jaringan jalanan baru memudahkan mobilitas masyarakat, atau
mengurangi biaya transportasi yang pada akhirnya meningkatkan “pertumbuhan
ekonomi”; dsb..
2.1.3. Budaya Organisasi
2.1.3.1. Pengantar
Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan
dalam memahami konsep dan pengertian “budaya” itu sendiri, yaitu: simbol,
nilai-nilai dan norma-norma. Semua budaya termasuk simbol yang memberikan makna
terhadap suatu hal dan peristiwa tertentu. Simbol-simbol ini diekspresikan melalui
apa yang disebut sebagai bahasa. Bahasa menyampaikan tentang keyakinan dan
nilai-nilai budaya. Nilai adalah ide. Ide-ide ini dijabarkan dalam norma-norma
yang akan memberikan secara konkret tentang bagaimana kita seharusnya
bersikap. Contoh, nilai budaya “jangan membunuh”. Nilai-nilai ini yang akan
euthanasia, aborsi, genosida atau berbahaya mengemudi. Dengan demikian, gagasan seperti ini yang akan menjadi panduan bagi kita bagaimana berperilaku
dalam sejumlah keadaan yang berbeda.
Definisi dari konseptualisasi budaya organisasi sendiri telah diberikan
dalam berbagai konteks seperti antropologi, psikologi organisasi dan teori
manajemen. Akan tetapi dalam perkembangannya banyak penelitian sudah mulai
menekankan makna bersama sebagai benang merah. Menurut Davidson (2003),
sebagian besar penulis mungkin akan setuju pada karakteristik berikut dari
konstruk budaya organisasi:
1) Budaya organisasi adalah holistik, inter-subyektif dan emosional daripada
rasional dan analitis ketat.
2) Budaya organisasi secara historis ditentukan.
3) Budaya organisasi terkait dengan konsep antropologi.
4) Budaya organisasi dibangun secara sosial.
5) Fenomena budaya organisasi sifatnya kolektif dan dibagi oleh anggota
kelompok.
6) Fenomena budaya organisasi terutama ideasional dalam karakter, yang
berkaitan dengan makna, pemahaman, keyakinan, pengetahuan dan
berwujud lainnya.
7) Budaya organisasi sulit untuk berubah.
2.1.3.2. Pengertian
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri. Hal senada dikemukakan oleh
Robbins (2002), budaya organisasi adalah suatu bidang studi untuk menyelidiki
dampak perorangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi
dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki
keefektifan organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi mengontrol
baik itu cara setiap anggota berperilaku diantara mereka sendiri maupun
orang-orang yang berada di luar organisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “budaya organisasi adalah reaksi yang sama yang ditunjukkan oleh setiap anggota organisasi melalui cara berpikir, berperilaku, berinteraksi maupun bertindak terhadap nilai-nilai pokok (yaitu: prinsip, norma dan keyakinan) organisasi untuk mencapai sasaran dan tujuan”. Prinsip terkait dengan kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, bertindak dan sebagainya terhadap suatu nilai (visi dan misi). Norma
merupakan aturan/ketentuan yang akan mengikat setiap anggota organisasi,
dipakai sabagai panduan dan sebagai pengendali tingkah laku setiap anggota
organisasi. Sedangkan keyakinan yang akan memberikan kepastian atas suatu
sikap atau tindakan bersama. Akhirnya, asumsi “dasar” dari keyakinan bersama
tersebut dalam suatu budaya organisasi harus meliputi pula shared things, shared saying, shared doing dan shared feelings (Sathe, 1985)
Seperangkat nilai-nilai pokok tersebut dibentuk untuk membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi lain dan mengikat setiap anggotanya tanpa
merasa terpaksa. Dengan demikian, segala tingkah-laku dari setiap anggotanya
dimiliki oleh setiap anggota organisasi pada akhirnya akan mengarah pada suatu
budaya. Namun, goal congruence (keselarasan tujuan) akan tercapai hanya jika setiap anggota berpikir bahwa: (1) organisasi adalah seperti ketika mereka berada
dalam lingkungan keluarga; dan (2) mereka akan memberikan kontribusi
sebanyak yang mereka bisa untuk organisasi. Dengan kata lain, personal goal
haruslah sejalan dengan management goal.
2.1.3.3. Konseptual Framework
Budaya organisasi dapat dilihat dari tiga tingkat kognitif, yaitu: artefacts
(menyangkut: struktur organisasi dan proses-proses yang kelihatan), values
(menyangkut: strategi, tujuan, filosofi/filsafat) dan basic underlying assumptions
(menyangkut: kesadaran, keyakinan yang diambil untuk diberikan, persepsi,
pikiran dan perasaan). Ketiga tingkatan kognitif ini menyediakan suatu framework
bagi para peneliti lainnya untuk mengidentifikasi budaya organisasi berdasarkan
karakteristik tertentu. Menurut Schein (2004), fundamental dari “asumsi” terdiri
dari inti dan aspek yang paling penting dalam budaya organisasi. Artinya, asumsi
menjadi kunci tentang bagaimana memahami dan menentukan fenomena budaya
organisasi didua tingkat kognitif lainnya.
Asumsi sendiri dapat dilihat sebagai suatu pandangan yang secara luas
dipegang, melekat, unik dan berakar; dimana masing-masing individu dapat
mengambilnya untuk kemudian diakui dan diyakini kebenarannya. Seperti
bagaimana seorang anggota dalam organisasi dapat memahami hubungan antara
mereka dengan anggota lainnya dan sifat organisasi itu sendiri. Bagaimana
Bagaimana merasakan tentang masalah-masalah yang ada dalam organisasi. Dan
bagaimana bereaksi secara emosional terhadap berbagai masalah yang mungkin
ada. Oleh karena itu, asumsi merupakan esensi budaya (apa itu budaya) atau
tingkat terdalam dari budaya organisasi itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model budaya organisasi
Denison & Fey (2003) yang didasarkan pada empat komponen.
2.1.3.3.1 Involvement
Hakekatnya setiap organisasi harus mampu memberdayakan anggotanya,
membangun organisasinya melalui tim, serta mengembangkan kemampuan dan
kreativitas setiap anggotanya disemua tingkatan. Selain itu, organisasi senantiasa
mendorong setiap anggotanya untuk turut serta memberikan masukan-masukan
dalam setiap keputusan terutama yang akan berpengaruh pada pekerjaan mereka
dan melihat koneksi langsung ke tujuan organisasi (Spreitzer, 1995). Membangun
organisasi dengan lingkungan yang lebih terbuka seperti itu akan menciptakan
loyalitas bagi anggotanya dan rasa memiliki yang kuat terhadap organisasinya.
Hal senada disampaikan Denison & Mishra (1989), terbentuknya sifat budaya
dalam satu kesatuan bangunan sense of ownership, responsibility dan loyalty
dapat menciptakan tingkat keterlibatan yang tinggi dari setiap anggota organisasi.
Jadi, involvement terkait dengan apakah setiap anggota organisasi yang ada memiliki keselarasan, ketertarikan dan kemampuan.
2.1.3.3.2 Consistency
Organisasi yang efektif cenderung memiliki budaya yang kuat sehingga
(Saffold, 1988). Sementara organisasi dengan budaya intern yang kuat dan kohesif
cenderung lebih efisien (Denison & Mishra, 1989). Kedua pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa kesepakatan-kesepakatan diantara anggota organisasi akan
lebih mudah tercapai apabila organisasi tersebut memiliki tingkat konsistensi,
kesesuaian dan konsensus yang tinggi. Terutama ketika setiap anggota memiliki
sudut pandang yang berbeda terhadap berbagi pertanyaan sulit dalam suatu proses
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsistensi yang dihasilkan dari pola
pikir umum dan tingkat kesesuaian yang tinggi yang mengacu pada nilai-nilai
bersama dapat menjadi sumber stabilitas dan integrasi internal.
Jadi, consistency terkait dengan apakah organisasi memiliki nilai-nilai, sistem dan proses untuk dieksekusi.
2.1.3.3.3 Adaptability
Ironisnya organisasi yang paling sulit berubah umumnya berasal dari
organisasi-organisasi yang sudah terintegrasi dengan baik. Sementara organisasi
dengan kemampuan beradaptasi yang kuat dapat menerjemahkan sinyal (seperti:
tuntutan pelanggan dan pasar) ke perubahan perilaku intern mereka, dimana
mereka dapat meningkatkan peluang untuk keberlangsungan hidup dan menjadi
lebih berkembang (Denison & Mishra, 1989). Dalam hal ini, organisasi harus
berani mengambil risiko dan mau belajar dari kesalahan mereka, serta memiliki
kemampuan dan pengalaman untuk menciptakan suatu perubahan (Nadler, 1998).
Termasuk didalamnya secara berkelanjutan melakukan perubahan sistem sehingga
dapat meningkatkan kemampuan kolektif mereka. Pada gilirannya mereka dapat
Jadi, adaptability terkait dengan apakah organisasi mau mendengarkan tuntutan lingkungan eksternal.
2.1.3.3.4 Mission
Visi merupakan suatu ekspresi tentang bagaimana suatu organisasi akan
terlihat dimasa depan. Sementara pernyataan tentang visi, arah strategis, sasaran
dan tujuan haruslah mudah dipahami dan dibagi kesemua anggota organisasi
(Denison & Mishra, 1989). Selain itu, harus ada kejelasan arah-tujuan yang
mendefinisikan baik itu terkait dengan tujuan maupun strategik organisasi
(Mintzberg, 1994). Dengan begitu setiap pernyataan-pernyataan dalam misi
organisasi dapat dijadikan acuan bagi setiap anggotanya. Termasuk ketika misi
organisasi yang mendasarinya berubah. Dalam hal ini, aspek-aspek lain dari
organisasi seperti budaya pun turut mengalami perubahan.
Jadi, mission terkait dengan sejauh mana organisasi dan anggotanya tahu ke mana mereka akan pergi, dan bagaimana mereka berniat untuk sampai di sana.
2.1.4. Komitmen Organisasi
2.1.4.1. Pengantar
Pada hakekatnya terdapat beberapa karakteristik umum sebagai acuan
untuk menggambarkan keberadaan suatu “komitmen”. Pertama, komitmen pribadi
yang menggambarkan aspek-aspek positif suatu komitmen yang dirasakan oleh
seseorang terhadap rekan atau relasinya. Kedua, komitmen moral yang muncul
dari nilai-nilai (values) dan keyakinan (beliefs) seseorang terhadap keseriusan dari suatu hubungan. Terakhir, komitmen struktural dimana menunjukkan
hubungan (seperti: emotional costs atau financial costs, dan penolakan dari teman-teman atau masyarakat). Dalam hal ini, komitmen pribadi menunjukkan keinginan
seseorang untuk mempertahankan suatu hubungan. Sebaliknya komitmen moral
dan struktural menunjukkan adanya keinginan yang timbul dari seseorang untuk
dapat meninggalkan suatu hubungan.
Definisi dari konseptualisasi komitmen organisasi sendiri telah diberikan
dalam berbagai konteks yang salah satunya adalah psychological approaches—
dikenal juga sebagai konsep multi-dimensional. Pendekatan ini menggambarkan
dengan jelas sebuah sikap yang lebih aktif dan positif terhadap organisasi. Selain
itu, menggambarkan orientasi intensitas tinggi hubungan atau kedekatan
emosional seseorang terhadap organisasinya (Buchanan, 1974). Menurut Porter et al. (1974) dan Steers (1977), gambaran orientasi tersebut meliputi komponen: (1) identifikasi dengan tujuan dan nilai-nilai organisasi; (2) keterlibatan tinggi dalam
aktivitas kerja; dan (3) keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi. Oleh karena itu, sudut pandang pendekatan ini lebih kompleks
dan tidak semata hanya dipengaruhi oleh aspek ikatan emosional, investasi atau
kewajiban moral.
2.1.4.2. Pengertian
Menurut Robbins & Judge (2008), komitmen organisasi sebagai suatu
keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta
tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi
tersebut. Hal senada dikemukakan oleh Mathis & Jackson (2006), komitmen
organisasi dan berkeinginan untuk tetap tinggal bersama organisasi tersebut. Hal
ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi menghubungkan identitas orang ke
organisasi, dan sangat percaya dan menerima tujuan dan nilai-nilai organisasi
adalah cara lain dimana “identifikasi” telah dinyatakan sebagai makna komitmen
organisasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa: “komitmen organisasi adalah keyakinan dalam menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, dan proses berkelanjutan dimana individu mengekspresikan perhatiannya pada organisasi melalui keterlibatan yang tinggi, loyalitas aktif dan rasa memiliki organisasi”.
Keyakinan akan memberikan kepastian pada sikap atau perilaku masing-masing
anggota organisasi. Bersedia menerima nilai-nilai dan tujuan mencerminkan
sejauh mana seorang anggota mampu mengenal dan terikat secara psikologis pada
organisasinya, dimana pada akhirnya mereka pun bersedia untuk mempertahankan
keanggotaannya. Sedangkan proses berkelanjutan menunjukkan bentuk perhatian
seorang anggota pada organisasinya untuk mencapai keberhasilan dan kemajuan
yang berkelanjutan, dan bagi kesejahteraan mereka. Akhirnya, agar tercipta suatu
komitmen organisasi maka suatu organisasi harus memiliki nilai-nilai, respek
serta adil terhadap anggotanya (McKinnon et al., 2003).
Organisasi merupakan suatu bentuk kelompok sosial yang terdiri dari
beberapa anggota yang mempunyai kesatuan persepsi bersama. Oleh karena itu,
komitmen organisasi merupakan sifat hubungan yang ada antara anggota dengan
organisasinya. Atau komitmen organisasi berdasarkan premis dimana individu