• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752015011 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752015011 BAB III"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

MORITARI: POLA HIDUP MASYARAKAT WOTAY TETAP BERTAHAN DI

TENGAH ARUS PERUBAHAN

3.1. Pengantar.

Bab ini membahas empat topik utama yang diangkat oleh penulis yaitu profil makro masyarakat Wotay, moritari: cermin hidup masyarakat Wotay, moritari: perjumpaan dengan Injil, serta perubahan sosial masyarakat Wotay. Pokok-pokok tersebut diangkat guna menelusuri dan menemukan unsur-unsur penting moritari dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat setempat. Di samping itu, pokok-pokok pembahasan di atas mengarah pada eksistensi moritari yang tetap bertahan di tengah arus perubahan masyarakat Wotay.

3.2. Profil Makro Masyarakat Wotay.

Sebelum mengkaji lebih dalam sistem moritari yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Wotay, penting untuk memperkenalkan profil makro masyarakat Wotay sebagai pemangku moritari. Pemaparan ini bermanfaat bagi para pembaca untuk mengetahui realitas hidup masyarakat setempat sebelum melihat lebih jauh unsur-unsur penting yang terkandung dalam budaya yang dianut masyarakat dimaksud. Terkait dengan profil makro masyarakat Wotay penulis memaparkan tentang asal mula terbentuknya masyarakat Wotay, letak geografis Desa Wotay, sistem pemerintahan, mata pencaharian penduduk, sistem kekerabatan, dan sistem kepercayaan masyarakat Wotay.

3.2.1. Asal Mula Terbentuknya Masyarakat Wotay

(2)

37 Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Mereka merupakan para pengungsi dari Pulau Banda yang mengungsi ke Pulau Teon, Nila, dan Serua akibat serbuan Belanda pada tahun 1621. Para pengungsi ini lalu mendirikan kampung-kampung di TNS dan bermukim di sana.1 Karena kurangnya informasi dan bukti ilmiah, salah satu cara yang ditempuh oleh penulis untuk mengetahui asal mula masyarakat Wotay adalah melalui penelusuran atas tradisi lisan dan tulisan masyarakat setempat seperti yang tergambar dalam kisah leluhur marga Karesina sebagai tuan tanah di Wotay sekaligus pemimpin soa Fotayten’na maupun dalam kisah leluhur marga Purmiasa sebagai pemimpin soa Sereral”na. Penjelasan tentang asal usul kedua soa tersebut telah dikemukakan oleh penulis pada bagian pendahuluan.2

Berdasarkan cerita rakyat setempat diketahui bahwa terbentuknya masyarakat Wotay tidak lain karena keinginan dari para leluhur untuk saling menolong dan melindungi dalam realitas hidup yang sulit di masa itu. Sumber tradisi lisan masyarakat setempat menyebutkan bahwa pada zaman para leluhur terdapat sebuah negeri (desa) bernama Rumday yang suka berperang dan membinasakan satu sama lain. Sebagai bentuk perlindungan diri, para leluhur dari kedua soa/matarumah (kelompok orang yang terdiri dari beberapa marga) mengikat janji untuk saling menolong apabila salah satu pihak mengalami bahaya. Terdorong atas keinginan tersebut, leluhur dari kedua soa besar yang ada di Wotay ini bersepakat untuk membangun kehidupan bersama dan membentuk kampung-kampung. Dimulai dari realitas inilah cikal bakal lahirnya budaya moritari.3

Desa Wotay merupakan satu dari sejumlah desa dalam wilayah kecamatan TNS yang memiliki keunikan. Dikatakan unik, sebab jika menyoroti asal mula terbentuknya Desa Wotay, maka harus disoroti dari dimensi tempat dan waktu yang berbeda yaitu ketika

1

Materi kuliah kebudayaan Maluku oleh A.Relmasira pada Fakultas Teologi Kristen, Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, pada Rabu, 1 Juni, 2011.

2

Lih.hlm 5.

3

(3)

38 masyarakat Wotay masih tinggal dalam wilayah asalnya di Pulau Nila, dan ketika masyarakat setempat telah berpindah ke Pulau Seram, Kecamatan TNS sekarang.

Desa Wotay mula-mula dikenal dengan nama Letwori Rei’syara yang berarti negeri yang menarik; mengumpulkan dan menghidupkan. Atau dengan kata lain Letwori Rei’syara berarti negeri yang menarik; mengumpulkan dan menghidupkan masyarakatnya berdasarkan kehendak Tuhan pencipta langit dan bumi (Upler’Lapna manyapi). Filosofi dibalik nama Desa Wotay didasari atas ikatan persekutuan leluhur masyarakat setempat yang hidup saling tolong-menolong satu dengan yang lain (moritari). Leluhur masyarakat Wotay bersepakat membangun kehidupan bersama di sebuah tempat yang bernama osi (sebutan untuk kampung dalam bahasa Wotay). Seiring dengan berbagai petualangan para leluhur masyarakat Wotay, nama Desa Wotay yang konon berasal dari nama salah satu desa di Timor-Timur; Sinvotay, kemudian dipakai sebagai nama pemukiman mereka di Pulau Nila, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Desa Wotay.4

Terbentuknya Desa Wotay di Kecamatan TNS, Pulau Seram turut dipengaruhi oleh kondisi alam Pulau Nila. Pada tahun 1968 terjadi bencana alam berupa tanda-tanda letusan gunung api Lawarkawra di Pulau Nila yang menyebabkan masyarakat setempat harus meninggalkan pulau TNS menuju lokasi yang lebih aman. Dalam rangka penyelamatan, pada bulan Februari tahun 1978 sebuah rombongan yang terdiri atas Tim Penanggulangan Bencana Alam (TPBA) Provinsi Maluku, unsur sipil dan militer (TNI-Angkatan Laut) mendatangi wilayah tiga pulau ini dengan maksud menggerakkan masyarakat untuk berpindah. Tindakan ini merupakan langkah evakuasi guna menyelamatkan para penduduk dari dampak letusan gunung berapi. Setelah tercapai kesepakatan antara TPBA dengan seluruh jajaran

4

(4)

39 pemerintahan desa beserta seluruh perangkat pelayan jemaat GPM Wotay, diadakanlah ibadah pemindahan pada 25 Februari 1978.5

Pada tanggal 8 Maret 1978 masyarakat Wotay dan seluruh masyarakat TNS mendiami barak-barak penampungan di Desa Makariki, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah sambil menunggu selesainya pembangunan perumahan penduduk di Kecamatan TNS, Pulau Seram. Selang beberapa waktu, masyarakat Wotay akhirnya menempati pemukiman baru yang dikenal dengan wilayah Kecamatan TNS sekarang.6

Dalam pergaulan hidup masyarakat Wotay pascaevakuasi ke Pulau Seram, terjadilah kontak dengan masyarakat lain karena adanya ikatan dinas maupun perkawinan campur. Bahkan pada tahun 1999-2002 ketika terjadi konflik sosial di Maluku, mulailah berdatangan para pengungsi dari berbagai daerah konflik di Maluku ke Desa Wotay. Para pengungsi tersebut diterima dengan baik serta hidup menyatu dengan masyarakat Wotay dalam waktu yang cukup lama. Seiring meredanya konflik sosial dan proses relokasi para pengungsi korban konflik ke daerah asalnya, sebagian dari mereka memutuskan untuk menetap di Desa Wotay dan menjadi bagian dari masyarakat setempat. Berdasarkan data kependudukan Negeri Wotay tahun 2015, jumlah kepala keluarga di Desa Wotay adalah sebanyak 156 kepala keluarga dengan keanekaragaman penduduknya. Jumlah penduduk Desa Wotay yang heterogen terdiri dari penduduk asli Wotay, penduduk yang melakukan perkawinan campur, penduduk korban konflik Maluku tahun 1999-2002, dan penduduk pendatang karena ikatan dinas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

5

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

6

(5)

40

3. Pengungsi konflik Maluku 1999-2002 43 36 4. Pendatang karena

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin 332 jiwa 366 jiwa Total Penduduk Wotay Tahun 2015 698 Jiwa (P+L)

Sumber: Data Negeri Wotay Tahun 2015.

3.2.2. Letak Geografis.

Secara umum masyarakat TNS terbagi atas 17 desa yang mendiami tiga pulau kecil yang berada dalam gugusan Pulau Babar, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya yakni Pulau Teon, Nila, dan Serua. Karena kepentingan penginjilan dan pembentukan Klasis atau wilayah pelayanan jemaat Kristiani sehingga ketiga pulau tersebut dikategorikan ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.7 Desa-desa yang terintegrasi dalam ketiga pulau membentuk Kecamatan TNS hingga saat ini. Pulau Teon terdiri dari 5 desa yaitu Watludan, Isu, Yafila, Layeni, dan Mesa. Pulau Nila terdiri dari delapan desa yaitu Ameth, Kokroman, Kuralele, Usliapan, Nakupia, Bumei, Sifluru, dan Wotay. Sedangkan pulau Serua terdiri dari empat desa yaitu Waru, Jerili, Lesluru, dan Trana. Nama desa-desa di atas merupakan nama desa-desa asal dari masing-masing pulau yang tetap dipertahankan oleh pemerintah dan masyarakat setempat pascaperpindahan ke Pulau Seram.8

Topografi Pulau Teon, Nila, dan Serua adalah berbatu-batu dan memiliki gunung api vulkanik yang masih aktif. Perkampungan masyarakat biasanya dibangun pada ketinggian sekitar 50 meter sampai 300 meter dari permukaan laut. Jalan menuju perkampungan

7“hariva Alaidrus, Kebudayaa Teo

-Nila-“erua Ha pir Pu ah , Antaranews.com, Selasa, 22 April 2014, http://www.antaranews.com/berita/430415/kebudayaan-teon-nila-serua-hampir-punah (diakses pada Rabu, 24 Agustus 2016, pkl 08:12 WIB).

8

(6)

41 masyarakat cukup sulit. Oleh karena itu, atas kerja keras para leluhur dibuatlah jalan setapak yang terdiri atas batuan yang disusun. Kondisi seperti ini disebabkan pada zaman dahulu banyak bajak laut (dalam istilah setempat disebut kadatua) yang merampok desa-desa pesisir pantai sehingga pemilihan pemukiman seperti itu merupakan strategi perlindungan masyarakat setempat.9

Desa Wotay adalah salah satu desa yang terdapat di sebelah selatan Pulau Nila, bersebelahan dengan Desa Sifluru dan Desa Bumei. Letak geografis Desa Wotay yang berada di Kecamatan TNS, Pulau Seram adalah sebagai berikut; sebelah utara berbatasan dengan Desa Sifluru, sebelah selatan dengan Desa Isu, sebelah barat dengan sungai Tone (Desa Mesa), dan sebelah timur dengan Desa Layeni. Relasi masyarakat Wotay dengan masyarakat desa-desa tetangga pada umumnya terjalin dengan baik.10

3.2.3. Sistem Pemerintahan

Masyarakat Wotay menganut sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja negeri (sama dengan kepala desa di Jawa), dan dibantu oleh suatu dewan desa (saniri negeri). Menurut Soekandar Wiraatmadja, sistem pemerintahan jenis ini banyak ditemukan di seluruh pedesaan di Indonesia termasuk di Maluku, khususnya desa-desa di pulau Ambon dan sekitarnya.11 Dewan saniri negeri terdiri dari kepala-kepala soa/matarumah dan para utusan dari masing-masing soa/matarumah. Kekuasaan mereka dikuatkan dengan tanda-tanda pimpinan seperti pusaka-pusaka. Dewan saniri ini diawasi oleh berbagai badan atau pranata-pranata lain, misalnya dewan orang-orang tua, tokoh-tokoh pemimpin tambahan yang mempunyai kekuasaan legislatif, maupun hak protes dari warga desa. Dewan saniri negeri

9

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

10

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015

11

(7)

42 bertugas menyuarakan berbagai aspirasi dari kelompok masing-masing soa, termasuk dalam penentuan raja negeri (mata rumah parintah) dan berbagai musyawarah negeri.12

Terdapat dua soa/matarumah dalam sistem pemerintahan adat masyarakat Wotay yang juga dikenal dalam bahasa setempat dengan istilah mutu13yaitu mutu Fotayten’na dan mutu Sereral’na. Keberadaan mutu memainkan peran besar dalam kehidupan masyarakat

Wotay. Tujuan pembentukan mutu adalah untuk ketertiban hidup masyarakat. Dengan kata lain mutu berfungsi mengatur hidup kekeluargaan masyarakat Wotay. Mutu dipimpin oleh seorang kepala soa/matarumah yang ditentukan berdasarkan garis keturunan. Marga-marga yang terdapat di Wotay kemudian terintegrasi dalam soa-soa tersebut berdasarkan garis keturunan atau ketentuan adat. Dalam perkembangannya, marga-marga pendatang juga terintegrasi dalam kedua soa di atas sebagai wujud penerimaan masyarakat Wotay terhadap orang-orang pendatang. Dalam sistem pemerintahan adat masyarakat Wotay, jabatan-jabatan kepala adat (kepala soa/matarumah dan raja negeri) merupakan suatu jabatan istimewa. Hanya marga-marga tertentu saja yang memiliki hak istimewa sebagai pemegang jabatan kepala soa/matarumah. Dalam soa Fotayten’na yang berhak menjabat kepala soa/matarumah sekaligus pemimpin mutu adalah marga Karesina. Sedangkan untuk soa Sereral’na yang berhak menduduki jabatan kepala soa/matarumah sekaligus pemimpin mutu adalah marga Purmiasa. Tidak hanya jabatan kepala soa/matarumah, tetapi juga jabatan raja Negeri Wotay ditentukan berdasarkan garis keturunan dari leluhur asli masyarakat setempat. Walaupun sekarang raja harus dipilih secara demokratis oleh rakyat, tetapi dalam kenyataannya masih ada juga yang mendapat jabatannya karena garis keturunan. Dengan demikian jabatan raja memang masih sering merupakan suatu jabatan adat.14

12

Pemerintah Negeri Wotay, Sejarah Negeri dan Data Kependudukan Negeri Wotay Tahun 2015.

13Istilah mutu berasal dari bahasa Wotay artinya kelompok orang-orang yang masuk dalam

soa/matarumah.

14

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala

(8)

43 Seiring dengan makin berkembangnya zaman, pola pemerintahan desa juga mengalami perkembangan. Pemerintahan yang dimaksud disini ialah organisasi atau lembaga pemberi pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan sumber sejarah negeri dan data kependudukan masyarakat Wotay tahun 2015, secara umum pemerintahan Desa Wotay mengenal adanya Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (KEPRES), Peraturan Daerah (PERDA), Keputusan Pimpinan Daerah, Peraturan Negeri (PERNEG), dan Keputusan Kepala Pemerintah Negeri sebagai aturan-aturan yang memberi gerak berjalannya organisasi atau lembaga dimaksud. Adapun lembaga-lembaga dan organisasi masyarakat Wotay terdiri atas tujuh orang anggota badan perwakilan negeri

(saniri), perangkat pemerintahan negeri, lembaga pemberdayaan masyarakat negeri, lembaga

pemberdayaan perempuan yaitu dasa wisma dan organisasi pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), lembaga pemuda dan olahraga, pengurus rukun tetangga, pengurus pos pelayanan terpadu (POSYANDU), pengurus kelompok lanjut usia (LANSIA), lembaga keagamaan, lembaga adat, kelompok tani solid, kelompok simpan pinjam perempuan, pengurus muhabet,15serta kelompok pelajar dan mahasiswa.16

3.2.4. Mata Pencaharian Penduduk.

Mata pencaharian masyarakat Wotay sebelum pindah ke Pulau Seram adalah nelayan dan pekebun. Sistem mata pencaharian masyarakat setempat diatur dalam pembagian kerja yang didasari budaya moritari. Jika mempertimbangkan kondisi masyarakat Wotay di tempat asal yang terisolasi, maka sangat sulit untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat setempat guna membangun ekonomi yang lebih layak. Hal ini dapat dimengerti sebab pola

15

Organisasi muhabet ialah organisasi masyarakat yang mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan kematian. Anggota-anggotanya ialah para kerabat dan warga desa setempat.

16

(9)

44 perekonomian masyarakat sulit dijangkau oleh pasar, sehingga umumnya masyarakat hanya menekuni mata pencahariannya untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga.17

Dalam perkembangan ketika sarana-sarana transportasi mulai tersedia, beberapa hasil alam berupa cengkih, pala, kopra, serta hasil-hasil laut dapat dipasarkan ke daerah lain. Setelah berpindah ke wilayah yang baru, mata pencaharian masyarakat Wotay mengalami keberagaman. Lahan yang tersedia selain banyak ditanami pohon kelapa dan kakao, juga ditanami tanaman-tanaman palawija seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, pisang, jeruk, dan bermacam sayuran untuk keperluan konsumsi rumah tangga maupun untuk dipasarkan.

Merujuk pada data kependudukan Negeri Wotay tahun 2015, ditemukan adanya keragaman jenis mata pencaharian masyarakat Wotay saat ini yang ditunjukan oleh tabel berikut:

Tabel. 3.2.4. Mata Pencaharian Penduduk No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah

1. Petani 182 orang

2. Wirausaha 6 orang

3. Pedagang 4 orang

4. PNS 17 orang

5. Buruh bangunan 2 orang

6. Wiraswasta 1 orang

7. Pensiunan 2 orang

Sumber: Data Negeri Wotay Tahun 2015.

3.2.5. Sistem Kepercayaan

Sebagian besar masyarakat Wotay menganut agama Kristen Protestan. Wilayah pelayanannya disebut Jemaat Pniel-Wotay yang berada di bawah naungan Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM). Di samping itu, terdapat penganut Kristen Katolik, dan aliran denominasi Kristen. Sebelum masuknya agama Kristen dalam kehidupan religius masyarakat Wotay, masyarakat setempat menganut agama lokal. Masyarakat setempat percaya terhadap

17

(10)

45 keberadaan Uplera sebagai sosok penguasa alam semesta dan manusia. Sebutan Uplera berasal dari bahasa setempat upu yang berarti bapak, dan lera yang berarti matahari. Secara etimologis Uplera berarti bapak matahari (dewa matahari).18 Dalam upaya mengembangkan teologi kontekstual, saat ini sebutan Uplera digunakan untuk menyebut nama Tuhan, Pencipta Langit dan Bumi.

Masyarakat Wotay baru menerima agama Kristen pada tahun 1896. Masuknya agama Kristen dalam kehidupan masyarakat ini awalnya tidak berjalan mulus. Terdapat penolakan dari masyarakat setempat terhadap agama Kristen yang pada waktu itu hendak disebarkan oleh seorang penginjil. Demikian juga dengan salah satu desa tetangga yaitu Desa Sifluru yang menolak keberadaan penginjil tersebut.19

Sejarah terbentuknya Jemaat Wotay tidak terlepas dari perjalanan Jemaat Bumei-Sifluru. Sekitar tahun 1894 seorang pekabar Injil bernama Tuan Pelupessy datang ke Pulau Nila dengan menggunakan perahu dan merapat di pantai Wesolta, nama sebuah pantai di Desa Wotay. Pada kunjungan itu, ia tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat Wotay karena terdapat luka-luka di mulutnya. Tuan Pelupessy diusir dari Wotay, namun ia tetap melanjutkan misinya ke Negeri Bumei, salah satu desa yang bertetangga dengan Desa Wotay. Kehadiran Tuan Pelupessy mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Bumei.Seiring berjalannya waktu masyarakat Wotay dan Sifluru yang tadinya menolak kehadiran Tuan Pelupessy, bersedia menerima Injil di wilayah tersebut.20

Mengingat letak ketiga desa ini bertetangga, dibentuklah Jemaat Bumei, Sifluru, dan Wotay. Anggota jemaat dari ketiga desa dibaptis oleh penginjil Oktulseja pada tahun 1896. Tahun 1945 Jemaat Wotay resmi menjadi jemaat mandiri, terpisah dari jemaat Bumei-Sifluru. Pemisahan ini turut ditopang oleh usaha para pelayan asal Wotay, yaitu Penatua

18Materi kuliah kebudayaan Maluku oleh A. Relmasira pada Fakultas Teologi Kristen, Universitas

Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon pada Rabu, 1 Juni, 2011, disesuaikan hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh Adat Negeri Wotay pada Sabtu, 9 April 2016.

19

Rencana Strategis Pelayanan Jemaat GPM Wotay tahun 2016-2020.

20

(11)

46 Natanel Purmiasa dan Syamas David Lunmisay. Tanggal 10 Juli 1896 akhirnya ditetapkan sebagai hari masuknya Injil ke Desa Wotay yang diperingati setiap tahunnya.21

3.2.6. Sistem Kekerabatan.

Masyarakat Wotay menganut sistem kekerabatan patrilineal yang diiringi dengan pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah soa/matarumah sebagai suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal.

Matarumah penting dalam mengatur perkawinan masyarakat secara eksogami yaitu

seseorang harus menikah dengan orang luar dari klennya. Di samping itu, berlaku juga sistem kekerabatan matrilineal yang diiringi pola menetap matrilokal. Kondisi ini biasanya terjadi apabila pihak laki-laki tidak dapat membayar tuntutan harta kawin dari pihak perempuan. Ketika kedua pasangan menikah anak pertama dari pasangan tersebut harus diserahkan kepada orang tua atau keluarga pihak perempuan sebagai bentuk pelunasan harta kawin. Anak pertama sebagai bentuk pelunasan harta kawin oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan anak harta.22

Ikatan persaudaraan yang terbentuk antar sesama anggota masyarakat Wotay maupun antar masyarakat Wotay dengan masyarakat lainnya dikenal dalam empat istilah yaitu oi,

pela, panamali, dan inanyolta. Oi adalah ikatan persaudaraan yang terbentuk karena

pihak-pihak terkait telah lama saling mengenal satu dengan lainnya. Pela adalah ikatan persaudaraan antara marga-marga yang menjadi bagian dari komunitas adat TNS. Ikatan pela berdasar atas perjanjian para leluhur masyarakat setempat. Sedangkan panamali adalah ikatan persaudaraan yang dibentuk karena adanya perkawinan, baik yang terjadi antar sesama anggota masyarakat Wotay, maupun antar anggota masyarakat Wotay dengan masyarakat

21

Rencana Strategis Pelayanan Jemaat GPM Wotay Tahun 2016-2020.

22

(12)

47 lain. Ikatan persaudaraan berupa oi, pela, dan panamali terangkum dalam satu istilah umum masyarakat Wotay; inanyolta yang artinya saudara-bersaudara.23

3.3. Moritari: Cermin Hidup Masyarakat Wotay.

Bagian ini membahas pengertian moritari, munculnya moritari, bentuk-bentuk

moritari, dinamika pelaksanaan moritari, serta nilai-nilai penting moritari.

3.3.1. Pengertian Moritari.

Secara etimologis istilah moritari berasal dari bahasa asli TNS yang terdiri dari kata mori artinya hidup atau kehidupan, dan tari yang berarti cara atau daya upaya. Secara umum

moritari diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan daya upaya atau cara

hidup yang rukun dalam bingkai persekutuan dan kekeluargaan. Dalam pergaulan masyarakat TNS secara umum moritari memiliki padanan dengan kata solilakta. Istilah solilakta berasal dari kata soli yang berarti sikap atau perilaku, dan lakta yang berarti langkah. Jadi Solilakta adalah sikap/perilaku/langkah hidup seseorang. Kedua istilah di atas saling berkaitan satu dengan lainnya. Jika moritari adalah suatu konsep pola hidup bersama dalam masyarakat, maka solilakta merupakan bentuk konkrit dari pola hidup tersebut.24

Merujuk pada padanan kata moritari-solilakta dapat disebutkan bahwa

moritari-solilakta pada hakikatnya merupakan pendidikan moral yang mengatur, mengontrol, dan

membentuk watak dan karakter setiap anak atau generasi TNS, temasuk di dalamnya komunitas masyarakat Wotay. Budaya ini menjadi sifat dasar dari setiap anggota masyarakat

23

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala

Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April 2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016.

24

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala

(13)

48 TNS yang membedakan komunitas ini dengan komunitas lainnya. Dengan kata lain

moritari-solilakta adalah ciri khas masyarakat TNS.25 Masyarakat Wotay sebagai bagian integral dari

komunitas penghuni Pulau Nila lebih mengenal budaya ini dengan sebutan moritari saja, sebab menurut pemahaman mereka di dalam istilah moritari telah tercermin konsep hidup persekutuan dan kekeluargaan sekaligus perwujudan dari konsep hidup tersebut. Di samping itu, penggunaan istilah moritari-solilakta lebih dikenal oleh komunitas masyarakat penghuni Pulau Serua.26

Untuk menyatakan bahwa hidup bermasyarakat tidak individual, masyarakat setempat sering memakai beberapa kata dalam bahasa TNS untuk memperjelas arti kata tersebut, misalnya penggunaan istilah ora (saya), nora (dia), dan mora (kami). Sehingga muncul pernyataan seperti ora mi (saya bersama kalian), nora mi (dia bersama kalian), dan mora mi (kami bersama kalian). Jika kata-kata ini ditempatkan di depan kata tari (cara/daya upaya), maka bunyinya seperti berikut; or tari (saya ada bersama dia), nor tari (dia ada bersama kita),

mor tari (kami ada bersama dia).27

3.3.2. Munculnya Moritari.

Munculnya moritari dapat ditelusuri melalui sejarah dan mitos yang mengisahkan tentang kehidupan nenek-moyang masyarakat Wotay di zaman dahulu. Dari penelusuran tersebut diketahui bahwa sejak dahulu kala leluhur masyarakat Wotay telah meletakkan dasar bagi pola hidup kekeluargaan dan persekutuan yang terkandung dalam moritari.

25

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala

Soa/matarumah Fotaytenna), dan L. Remiasa (mantan Raja Negeri Wotay), masing-masing pada Sabtu 9 April 2016, Jumat, 15 April 2016, dan Selasa, 19 April 2016

26

Berdasarkan wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota

Saniri Negeri Wotay, dan H. Purmiasa, Tokoh Pemuda Negeri Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri Wotay,

pada Minggu, 17 April 2016, serta hasil wawancara dengan L. Remiasa, mantan Raja Negeri Wotay pada Selasa, 19 April 2016.

27

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala

(14)

49 Sebelum terbentuknya desa, nenek moyang masyarakat setempat hidup berpindah-pindah tempat (nomaden). Kehidupan nomaden mengharuskan mereka untuk membangun sebuah ikatan yang saling menjaga dan menolong, mengingat pada masa itu sering terjadi peperangan. Dari sinilah benih-benihmoritari mulai tumbuh dan terus dipupuk oleh nenek moyang masyarakat Wotay hingga berlanjut pada generasi masyarakat Wotay di masa kini.28

Secara umum munculnya moritari dilatarbelakangi suatu realitas sosial yang digumuli oleh para leluhur masyarakat TNS khususnya dalam mengusahakan kehidupan bersama. Realitas ini terlihat dari cara mereka berekspresi dan beraktivitas. Misalnya dalam hal mengolah lahan perkebunan, membangun rumah, mengadakan inisiasi atau syukuran, mengalami kedukacitaan, dan berbagai aktivitas lainnya. Solidaritas yang tumbuh itu turut dipengaruhi oleh kondisi geografis ketiga pulau. Pulau Teon-Nila-Serua adalah pulau-pulau yang terpencil dan terisolir, dengan kondisi alam yang berbatu, dibentangi oleh gunung-gunung diantaranya adalah gunung-gunung api vulkanik aktif. Kondisi alam yang menantang itu ditaklukan oleh masyarakat zaman dulu demi berlangsungnya kerja, misalnya berburu, melaut, bercocok tanam, dan melakukan penyulingan sari kelapa untuk menghasilkan tuak

(sopi/sageru).29

Sebagian besar pekerjaan dilakukan pada waktu pagi hingga menjelang siang, dilanjutkan dengan berkumpul di sebuah rumah (lakpona)30sambil membawa hasil-hasil usaha mereka untuk dimakan dan diminum bersama. Selain berfungsi sebagai tempat

28

Informasi ini diperoleh dari profil marga Purmiasa tahun 1880-an yang dibuat oleh generasi marga Purmiasa sebagai pimpinan soa/ ataru ah Sereral’ a, dan sejarah marga Karesina yang dibuat tahun 2013 oleh tetua marga Karesina yang merupakan pimpinan soa/ ataru ah Fotayte ’ a.

29

Dalam bahasa setempat proses ini disebut tipar sopi dan tipar sageru. Sopi dan Sageru merupakan minuman tuak tradisional masyarakat Wotay yang terbuat dari sari kelapa.

30

(15)

50 berkumpul untuk makan bersama, lakpona juga menjadi tempat berdiskusi tentang apa saja yang harus dikerjakan dan terjadinya pembagian kerja di antara masyarakat.31

Sejak masuknya agama Kristen, lakpona tidak sekedar dipakai sebagai wadah pertemuan masyarakat tetapi juga wadah persekutuan orang-orang Kristen. Biasanya pada malam hari masyarakat setempat berkumpul di lakpona untuk beribadah yang dipimpin oleh orang tua yang diberi tanggung jawab untuk memimpin ibadah atau disebut patusopa

(patusopa; patua=orang tua; sopa/somba=sembah). Kebiasaan-kebiasaan tersebut dilakukan

secara terus-menerus dan makin kental hingga menyentuh seluruh eksistensi hidup generasi masyarakat TNS. Apalagi setelah terjadi perkawinan antar anggota tiga komunitas ini sekaligus menciptakan hubungan kekerabatan serta kekeluargaan diantara mereka. Lahirlah istilah rumah Temu (Teon), rumah Nila (Nila), dan rumah S’rua (Serua). Sebutan-sebutan ini merujuk pada sebuah sistem kekerabatan dan kekeluargaan sekaligus menunjukan ikatan persaudaraan yang terus terbina sekalipun masyarakat-masyarakat tersebut hidup di lokasinya masing-masing yang dipisahkan oleh laut dan pulau. Perikehidupan masyarakat TNS pada masa itu dikenal dalam bahasa Teon-Nila-Serua dengan nama moritari-solilakta. Dalam konteks masyarakat Pulau Nila termasuk di dalamnya komunitas masyarakat Desa Wotay, perikehidupan itu dikenal dengan moritari.32

3.3.3. Bentuk-bentuk Moritari.

Bentuk-bentuk moritari sangat erat dengan pergaulan sehari-hari masyarakat Wotay dan cara mereka berekspresi. Relasi mereka dengan sesama juga selalu diwarnai oleh nuansa persekutuan dan kekeluargaan seperti yang tampak dari hubungan pela, oi, panamali, atau

31

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota

Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.

32

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat NegeriWotay), O. Karesina (Kepala

(16)

51

inanyolta. Hal ini menandakan bahwa keberadaan masyarakat Wotay dan relasi mereka

dengan sesama pada berbagai taraf hidup selalu dilihat dalam bingkai moritari. Berdasarkan penggalian informasi dari para narasumber,33serta pengalaman hidup penulis sebagai bagian dari komunitas masyarakat Wotay, berikut ini penulis akan memaparkan bentuk-bentuk

moritari yang dapat ditemukan dalam situasi sukacita maupun dukacita.

3.3.3.1. Moritari dalam Situasi Sukacita.

Moritari dalam situasi sukacita meliputi moritari dalam perkawinan adat, moritari

dalam pembangunan, moritari dalam pembukaan lahan pertanian, moritari dalam acara syukuran, serta moritari dalam pengukuhan kepala adat dan saniri negeri.

3.3.3.1.1. Moritari dalam Perkawinan Adat.

Dalam perkawinan adat masyarakat Wotay soa/matarumah (mutu) memainkan peran yang sangat penting. Sebelum rencana perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan sampai ke tingkat pembicaraan dalam soa/matarumah (mutu), calon mempelai laki-laki bersama dengan orang tua kandungnya melakukan pertemuan dengan orang tua dari calon mempelai perempuan untuk memberitahukan niat baiknya melamar anak perempuan mereka. Jika niat baik calon mempelai laki-laki diterima oleh keluarga perempuan, barulah berita tentang lamaran tersebut disampaikan kedua calon mempelai kepada kepala soa masing-masing. Dalam soa perempuan, diadakanlah pertemuan guna menentukan waktu yang tepat bagi anggota soa/matarumah (mutu) untuk mengenal secara dekat calon mempelai laki-laki yang akan meminang salah satu anggota soa mereka. Sedangkan dari soa/matarumah (mutu)

33

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney (Tokoh Adat Negeri Wotay), O. Karesina (Kepala

(17)

52 pihak laki-laki diadakan pertemuan guna membicarakan persiapan menuju proses perjumpaan dengan anggota soa pihak perempuan.

Biasanya pihak laki-laki menyiapkan hewan/daging babi, sirih dan pinang(tampa

sirih), serta minuman tuak (sopi) untuk kepentingan tersebut. Sampai hari diadakannya

pertemuan antara kedua soa/matarumah (mutu), salah seorang anggota dari masing-masing

soa/matarumah (mutu) ditunjuk sebagai juru bicara untuk membahas perihal lamaran.

Biasanya juru bicara dari kedua soa saling berbalas pantun dengan menggunakan bahasa setempat. Setelah semua proses pembicaraan selesai, kedua pihak makan sirih-pinang dan minum sopi bersama sebagai bentuk saling menerima di antara mereka.

Jika perkawinan terjadi antara anggota masyarakat Wotay dengan anggota di luar komunitas, maka soa/matarumah seberang dari soa/matarumah calon mempelai akan mengklaim calon mempelai yang bukan berasal dari komunitas masyarakat Wotay sebagai anggota dari soa/matarumah tersebut. Misalnya, jika seorang laki-laki yang berasal dari soa/matarumah Sereral’na hendak memperistri seorang perempuan di luar komunitas

masyarakat Wotay, maka sang perempuan akan diklaim sebagai anggota soa/matarumah seberang yakni soa/matarumah Fotayten’na. Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan asal Wotay yang akan dipersunting oleh laki-laki dari luar komunitas masyarakat Wotay.

(18)

53 mereka yang akan menjalani rumah tangga baru.34 Pendapat tersebut juga dibenarkan oleh H. Purmiasa yang mengemukakan bahwa media-media di atas sangat penting dalam proses perkawinan adat masyarakat Wotay sebagai wujud penerimaan dari anggota soa/matarumah terhadap kedua mempelai menjadi satu kesatuan keluarga.35

Tidak hanya dalam proses lamaran, pola hidup moritari makin kental saat persiapan menuju pesta perkawinan adat. Biasanya, menjelang hari perkawinan seluruh anggota

soa/matarumah dari kedua pihak akan mengumpulkan puli (tanggungan adat) berupa uang,

tenaga, bahan makanan serta sumbangan lainnya demi kelangsungan acara tersebut. Suasana pesta juga diwarnai dengan nuansa kekeluargaan, di mana kedua belah pihak makan dan minum bersama, serta bersukacita atas kebahagiaan anggota keluarga mereka.

Selama berlangsungnya pesta perkawinan adat, biasanya terjadi proses tukar menukar atau dalam bahasa setempat disebut yetpula. Hal ini dilakukan dengan cara menukarkan barang yang dimiliki dengan kerabat, atau dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan dan sebaliknya. Barang yang ditukarkan juga beraneka ragam mulai dari pakaian, perhiasan yang sedang dipakai, hewan peliharaan, hasil kebun, barang elektronik, barang keperluan rumah tangga, bahkan lahan pertanian/tanah. Menurut O. Karesina, melalui media yetpula masyarakat setempat dapat saling berbagi dari apa yang mereka miliki dengan saudara-saudara mereka.36

3.3.3.1.2. Moritari dalam Pembangunan.

Moritari dalam pembangunan menyangkut dengan kegiatan pembangunan rumah

tinggal, pembangunan gedung ibadah, dan pembangunan infrastruktur desa. Dalam proses

34

Hasil wawancara dengan A.Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.

35

Hasil wawancara dengan H. Purmiasa Tokoh Pemuda masyarakat Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April 2016.

36

(19)

54 pembangunan rumah tinggal, dukungan kerabat atau anggota masyarakat sangat efektif untuk menyelesaikan pekerjaan. Biasanya seseorang yang membangun rumah tinggal akan dibantu oleh para kerabat atau inanyolta (pela, oi, dan panamali). Kerabat maupun anggota masyarakat lainnya berpartisipasi dalam menyumbangkan tenaga, bahan bangunan yang diperlukan, serta kebutuhan konsumsi. Partisipasi masyarakat setempat dalam proses pembangunan biasanya terjadi secara spontan tanpa diminta oleh pihak yang melakukan pembangunan rumah. Mulai dari membangun dasar rumah, mengangkat dan menimbun tanah, hingga mendirikan kerangka rumah dikerjakan secara gotong-royong. Terdapat pembagian tugas antara golongan laki-laki dan golongan perempuan. Biasanya kaum laki-laki lebih berperan dalam proses pendirian kerangka rumah, sedangkan kaum perempuan banyak mengurus bagian konsumsi. Kaum perempuan akan membawa hasil masakan mereka yang disiapkan dari rumah masing-masing (dalam istilah setempat disebut fra’u) untuk digabungkan dengan konsumsi yang telah disediakan oleh orang yang melangsungkan pembangunan guna mencukupi kebutuhan konsumsi bersama.

(20)

55

3.3.3.1.3. Moritari dalam Pembukaan Lahan Pertanian.

Berdasarkan tabel mata pencaharian masyarakat Wotay,37diketahui bahwa sebagian besar anggota masyarakat bekerja sebagai petani. Dalam proses pembukaan lahan pertanian baru, masyarakat Wotay mempunyai cara pengerjaan yang unik. Cara ini dikenal dalam bahasa setempat dengan sebutan pautu. Pautu adalah proses pembukaan lahan pertanian baru dengan cara menebang pohon di hutan, membabat rerumputan liar dengan sabit, setelah itu dibiarkan kering selama beberapa hari barulah dibakar dengan menggunakan daun kelapa atau ranting dan dahan pohon kering. Biasanya beberapa orang ditempatkan pada titik-titik tertentu untuk mengontrol menjalarnya api supaya tidak terjadi kebakaran. Lahan pertanian yang sudah dibersihkan melalui proses pautu nantinya ditanami umbi-umbian, pisang, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan lain-lain tanpa irigasi.

Tidak berbeda dengan gotong-royong dalam prosoes pembangunan rumah tinggal, pembukaan lahan pertanian baru juga dikerjakan secara spontan tanpa diminta oleh orang yang memiliki kepentingan tersebut. Kerabat dan anggota masyarakat lainnya bahkan berpartisipasi dengan menyumbangkan hal-hal yang diperlukan dalam pekerjaan. Uniknya, jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat anggota laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan kebun, maka kerabat mereka (inanyolta) baik itu pela, oi, dan panamali akan membantu mengolah lahan pertanian mulai dari pembersihan lahan, proses penanaman, hingga panen.

3.3.3.1.4. Moritari dalam Acara Syukuran.

Acara-acara syukuran misalnya baptisan, sidi gereja, dan hari ulang tahun tidak lepas dari warna moritari. Hal ini terlihat dari adanya partisipasi para kerabat dan anggota masyarakat dalam sukacita saudara mereka yang melangsungkan syukuran. Biasanya

37

(21)

56 masyarakat sekitar akan menyumbangkan tenaga, bahan makanan, dan lain-lain untuk memenuhi keperluan acara.

Sementara itu, kaum laki-laki pergi berburu hewan babi di hutan, kaum muda sibuk mendirikan tenda untuk proses syukuran (masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah

sabua), sedangkan kaum perempuan mempersiapkan menu konsumsi. Acara syukuran

berlangsung dalam nuansa persaudaraan di mana masyarakat setempat makan dan minum bersama.

3.3.3.1.5. Moritari dalam Pengukuhan Kepala Adat dan Saniri Negeri.

Dalam proses musyawarah untuk menentukan jabatan kepala adat (raja negeri dan kepala soa) serta dewan saniri negeri, sejarah masyarakat Wotay menjadi dasar pijak bagi proses penentuan tersebut. Menurut para narasumber sejarah dianggap penting sebab melaluinya masyarakat Wotay terbentuk dan mengenal identitasnya sebagai orang Wotay. Para narasumber menegaskan bahwa bagi masyarakat Wotay sejarah adalah pedoman yang benar untuk mengarahkan kehidupan komunitas adat agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan.38

Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis pada bagian yang membahas tentang asal mula masyarakat Wotay, diketahui bahwa penerus jabatan kepala adat ditentukan berdasarkan garis keturunan. Untuk jabatan raja negeri hanya boleh ditempati oleh generasi penerus dari marga Purmiasa dan marga Karesina, sedangkan saniri negeri biasanya merupakan perwakilan masing-masing soa yang dianggap memiliki kecakapan. Musyawarah untuk menentukan jabatan kepala soa diikuti oleh tetua adat atau sesepuh negeri, dan perwakilan dari masing-masing soa. Proses musyawarah berlangsung dalam bingkai

38

Berdasarkan hasil wawancara dengan L. Remiasa, mantan Raja Negeri Wotay, pada Selasa, 19 April 2016, serta hasil diskusi dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota Saniri Negeri,

(22)

57 kekeluargaan. Hal itu tercermin dari tidak adanya sikap saling membantah dan menolak ketentuan adat sebab segala sesuatu yang ditentukan adat berdasar pada sejarah.

Setelah mencapai kata sepakat dalam menentukan calon kepala adat, selanjutnya diadakan prosesi pelantikan atau pewarisan jabatan adat dari pimpinan yang lama kepada pimpinan yang baru. Prosesi tersebut biasanya diakhiri dengan pesta adat. Dalam pesta pelantikan kepala adat dan saniri negeri seluruh anggota masyarakat sama-sama bersukacita mendendangkan nyanyian adat dan menari bersama diiringi alat musik tifa. Dalam suasana pesta pelantikan kepala adat ini juga terjadi proses yetpula.

3.3.3.2. Moritari dalam Situasi Dukacita.

Bentuk moritari dalam situasi dukacita menyangkut dengan kematian anggota kerabat atau anggota masyarakat Wotay. Jika seseorang mengalami kematian, maka para kerabat akan berkumpul dan menunjukan rasa belasungkawa atas dukacita yang dialami kerabatnya. Dalam kondisi tersebut para kerabat serta masyarakat setempat bahu-membahu mengurusi keperluan yang berkaitan dengan proses pemakaman. Mulai dari mendirikan tenda dan menyiapkan konsumsi untuk orang yang melayat, menyiapkan peti jenazah, hingga menggali kubur, maupun mengumpulkan tanggungan atau puli bagi pihak yang berduka. Menurut Th. Lewaney, jika orang yang meninggal itu tidak memiliki hak tanah karena bukan termasuk masyarakat asli Wotay, maka masyarakat asli yang memiliki tanah akan menyumbangkan sebagian lahan mereka untuk digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir.39

3.4. Dinamika Pelaksanaan Moritari.

Pembahasan ini merujuk pada pergeseran yang terjadi saat dilangsungkannya aktivitas hidup moritari. Dewasa ini pelaksanaan moritari dalam pesta adat, syukuran, kegiatan

39

(23)

58 pembangunan, maupun dalam situasi kedukaan banyak mengalami pergeseran seiring dengan keterbukaan masyarakat Wotay terhadap perkembangan zaman.

Perkawinan adat masyarakat Wotay, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya memang masih tetap dipertahankan hanya saja terdapat pergeseran terhadap makna minuman

sopi yang sering dikonsumsi pada saat berlangsungnya pesta adat. Menurut Th.Lewaney,

tradisi masyarakat Wotay masa lalu menjadikan sopi sebagai sarana mempererat ikatan persaudaraan. Artinya sopi dikonsumsi dalam batasan yang wajar. Kondisi ini dianggap berbeda dengan tradisi minum sopi di dalam pesta adat masa kini.40

Hal tersebut dibenarkan oleh H. Purmiasa yang menyatakan bahwa generasi masyarakat Wotay tempo dulu mengonsumsi sopi demi kepentingan moritari. Situasi di atas berbeda dengan generasi sekarang yang mengonsumsi sopi untuk kepentingan hura-hura. Akibatnya sering terjadi segregasi saat berlangsungnya aktivitas moritari karena pihak-pihak yang bertikai berada di bawah pengaruh minuman keras.41

Sedangkan dalam syukuran yang berkaitan dengan baptisan, sidi gereja, dan hari ulang tahun terjadi pergeseran yang cukup berarti. Idealnya pelaksanaan syukuran tersebut berlangsung secara sederhana dalam suasana tenang dan penuh ucapan syukur. Di dalamnya hadir para kerabat dan anggota masyarakat setempat. Mereka makan bersama, setelah itu masing-masing orang kembali ke rumah dan beristirahat. Tidak ada pesta maupun bunyi musik yang keras sepanjang malam pelaksanaan syukuran. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan acara syukuran masa kini yang banyak diwarnai dengan pesta dan hura-hura oleh generasi muda.

Fenomena di atas memunculkan tanggapan berbagai narasumber dari latar belakang usia dan kedudukan dalam adat. Menurut A. Purmiasa, pelaksanaan moritari di kalangan

40

Hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh adat Negeri Wotay, pada Sabtu, 9 April, 2016.

41

(24)

59 generasi muda sekarang ini telah mengalami pergeseran yang cukup berarti. Misalnya dalam aktivitas moritari yang berkaitan dengan situasi sukacita, seringkali diwarnai sukacita yang terlalu berlebihan sehingga aspek-aspek solidaritas dalam persekutuan menjadi kurang nampak.42Yang terlihat hanya hura-hura, atau dalam bahasa narasumber lainnya, O. Karesina, solidaritas tersebut telah dirusak oleh konsumerisme yang berlebihan. Konsumerisme yang dimaksudkan adalah penggunaan minuman keras (sopi) secara berlebih yang mendatangkan dampak negatif bagi masyarakat setempat.43

Sikap generasi muda yang memandang aktivitas moritari sebagai ajang hura-hura dan pesta pora sangat berkaitan dengan cara mereka memahami dan memaknai budaya ini. Umumnya generasi muda masyarakat Wotay yang hidup di Pulau Seram tidak lagi mengetahui sejarah moritari. Hal tersebut mempengaruhi cara mereka menyikapi budaya tersebut. Berdasarkan penggalian informasi terhadap salah seorang tokoh pemuda Wotay, O. Tuknuru diketahui bahwa generasi muda masyarakat Wotay sekarang sudah kurang memahami moritari, salah satu penyebabnya karena pengaruh perkembangan zaman. Narasumber di atas melanjutkan bahwa berkembangnya IPTEK dan makin meluasnya jaringan transportasi menyebabkan masyarakat Wotay telah tersentuh dengan kemajuan. Apalagi memperhatikan letak Kecamatan TNS yang strategis sebagai jalur transit, berada di pinggiran Ibu Kota Kabupaten Maluku Tengah (Kota Masohi), serta jalur darat utama yang menghubungkan Pulau Seram dengan Pulau Ambon dan Ibu Kota Provinsi Maluku (Kota Ambon) menyebabkan masyarakat setempat khususnya generasi muda telah tersentuh dengan perkembangan. Situasi ini makin diperkeruh dengan kurangnya pewarisan dan penanaman

42

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota

Saniri Negeri, pada Minggu, 17 April, 2016.

43

(25)

60 nilai-nilai moritari dari orang tua kepada anak-anak dalam keluarga. Akibatnya, konsep

moritari sudah tidak lagi dimaknai oleh generasi sekarang sebagai falsafah hidup mereka.44

Bahkan narasumber lainnya menyatakan dengan tegas betapa kurangnya pemahaman generasi muda Wotay tentang moritari. Beliau menuturkan:” dari lima puluh orang pemuda

negeri, mangkali cuma sepuluh orang saja yang paham moritari” (dari limapuluh orang

pemuda negeri, mungkin hanya sepuluh orang saja yang memahami moritari).45

Mengacu kepada berbagai tanggapan di atas, dapat diketahui bahwa minimnya pewarisan moritari dalam lingkungan keluarga, termasuk teladan orang tua yang berkaitan dengan sikap hidup moritari menjadi salah satu faktor terkikisnya pemahaman generasi muda terhadap budaya ini.Pernyataan tersebut didukung oleh keterangan narasumber, E. Batlajeri bahwa dalam keluarga masyarakat Wotay masa kini teladan orang tua sebagai bentuk pewarisan moritari hampir tidak terlihat lagi.46

Kurangnya pemahaman generasi muda masyarakat Wotay tentang moritari seringkali memicu konflik pada saat dilangsungkannya bentuk-bentuk moritari. Menurut L. Remiasa, penyebab munculnya konflik dalam aktivitas hidup moritari disebabkan oleh faktor internal berupa emosi yang tidak terkontrol untuk mengonsumsi miras secara berlebih. Sedangkan narasumber lainnya, H. Purmiasa menuturkan: “kadang konflik terjadi karena generasi sekarang kurang paham soal konsep dan nilai moritari”.47

Keterangan ini telah menyatakan akibat yang timbul dari kurangnya pemaknaan terhadap moritari yaitu merebaknya konflik. Selain faktor-faktor di atas, penyebab dari sering terjadinya konflik dalam aktivitas moritari dipicu adanya komunikasi yang tidak lancar, serta berbagai kepentingan pribadi yang ingin

44

Berdasarkan hasil wawancara dengan O.Tuknuru, Tokoh Pemuda Wotay, pada Rabu, 20 April, 2016.

45

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Liptiay, mantan Ketua Organisasi Kepemudaan Jemaat GPM Wotay, pada Rabu, 20 April 2016.

46Berdasarkan hasil wawancara dengan E. Batlajeri, Ketua Panitia Pembangunan Fisik Jemaat GPM

Wotay, sekaligus tokoh pendatang yang aktif dalam pembangunan masyarakat Wotay, pada Minggu, 24 April 2016.

47

(26)

61 dicapai hingga melanggar ketentuan adat dan sejarah masyarakat yang dibangun atas dasar

moritari. Di samping itu, hadirnya orang luar yang tidak memahami dengan benar falsafah

moritari juga dipandang sebagai faktor lain pemicu konflik.

Terkait dengan keterlibatan para pendatang dalam aktivitas moritari, penulis menemukan dua pendapat berbeda melalui penggalian informasi dari para narasumber. Pertama, kehadiran para pendatang membawa pengaruh positif karena para pendatang turut berpartispasi dalam pembangunan masyarakat dan merasa tidak dibedakan dari masyarakat asli Wotay. Para pendatang merasa senasib dan sepenanggungan dengan masyarakat setempat, serta memiliki tanggung jawab yang sama dengan masyarakat asli dalam rangka memajukan Desa Wotay. Kedua, keberadaan para pendatang turut membawa pengaruh negatif karena dianggap menjadi pemicu konflik. Para pendatang dinilai tidak memahami secara benar hakikat moritari sehingga keterlibatan mereka dalam aktivitas moritari hanya sebagai bentuk partisipasi semata tanpa pemaknaan yang mendalam.48

Pelaksanaan moritari dalam proses pembangunan khususnya pembangunan rumah tinggal dewasa ini juga ikut mengalami pergeseran. Kondisi ini dipengaruhi oleh semakin berkembangnya tingkat perekonomian masyarakat setempat, dan adanya berbagai spesialisasi pekerjaaan masyarakat yang tidak hanya bertumpu di bidang pertanian. Pekerjaan pembangunan rumah tinggal di masa kini banyak dilakukan melalui sistem sewa. Anggota masyarakat yang melakukan pembangunan menyewa tenaga kerja untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai harga yang telah dinegosiasikan. Selain itu, masyarakat Wotay juga mengenal sistem jual jasa yang biasanya diselenggarakan oleh organisasi-organisasi di desa misalnya organisasi kepemudaan, organisasi perempuan, dan lain-lain. Dalam sistem ini, kelompok penyedia jasa menawarkan jasa kepada orang-orang yang melakukan

48

(27)

62 pembangunan untuk membantu proses pembangunan rumah dengan bayaran yang telah disepakati. Hal serupa juga berlaku dalam proses pembukaan lahan pertanian baru. Sebaliknya, dalam situasi dukacita bentuk pelaksanaan moritari juga turut mengalami pergeseran. Pascamasuknya kekristenan ke wilayah ini, peran kerabat dalam mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan kematian anggota kerabatnya telah digantikan oleh peran organisasi muhabet. Meskipun demikian kehadiran kerabat dalam proses penguburan anggota keluarga yang meninggal merupakan hal yang penting sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kerabatnya yang berduka.49

3.5. Nilai-nilai Penting Moritari.

Sebelum memaparkan nilai-nilai penting moritari, penulis akan mengemukakan pemahaman para narasumber tentang moritari. Menurut Th. Lewaney, moritari adalah sebuah falsafah hidup warisan para leluhur dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi hidup masyarakat Wotay.50 Narasumber lainnya, O. Karesina mempertegas pernyataan dari narasumber pertama dengan menyatakan bahwa moritari adalah tatanan hidup dan kepribadian masyarakat Wotay yang harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku masyarakat Wotay dimanapun berada. Perilaku tersebut tergambar melalui sikap hidup yang ramah, rendah hati, saling tolong-menolong, dan saling menjaga persekutuan.51

Pernyataan para narasumber di atas memperlihatkan masih kentalnya pemahaman mereka tentang moritari sebagai falsafah masyarakat Wotay yang termanifestasi dalam pergaulan sehari-hari. Falsafah hidup tersebut merupakan warisan para leluhur yang membentuk identitas serta eksistensi diri setiap generasi masyarakat Wotay. Adapun muatan

49

Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Liptiay, mantan Ketua Organisasi Kepemudaan Jemaat GPM Wotay, pada Rabu, 20 April 2016.

50

Berdasarkan hasil wawancara dengan Th. Lewaney, Tokoh Adat Negeri Wotay, pada Sabtu, 9 April, 2016.

51

(28)

63 utama moritari adalah hidup persekutuaan yang menghimpun dan menghidupkan masyarakat setempat.

Sebagai sebuah falsafah hidup, moritari memiliki banyak manfaat. Menurut Th.Lewaney, moritari berfungsi mengatur ketertiban hidup masyarakat Wotay. Hal ini nyata dari keberadaan mutu yang di dalamnya mengatur sistem perkawinan masyarakat setempat. Melalui mutu masyarakat Wotay mengenal batasan-batasan dalam memilih pasangan untuk menikah, sebab mutu mengatur masyarakat untuk tidak menikah dengan sesama anggota

mutu yang dianggap saudara sekandung. Selain fungsi tersebut, moritari juga berperan dalam

penyelesaian konflik. Menurut penuturan narasumber di atas, pada zaman dulu perselisihan atau perkelahian masyarakat Wotay selalu diselesaikan secara kekeluargaan tanpa melibatkan pihak penegak hukum. Moritari juga memainkan fungsi menghimpun kerjasama antar anggota masyarakat. Jika ada anggota masyarakat yang melangsungkan hajatan, membangun rumah atau membuka lahan pertanian barumaka para kerabat dan anggota masyarakat sekitar akan siap membantu tanpa diminta.52

Narasumber lainnya, O. Karesina mengemukakan bahwa fungsi moritari sebagai budaya persekutuan terwujud dari adanya perhimpuan-perhimpunan masyarakat Wotay di berbagai jenjang usia pada berbagai lokasi. Misalnya, guna memupuk ikatan kekeluargaan antar sesama kaum muda, dibentuklah persekutuan pemuda yang dinamai LIRANI (Limasea

Rara Nila) yaitu persekutuan pemuda dan pemudi asal Pulau Nila yang mana masyarakat

Wotay terintegrasi di dalamnya. Selain itu dibentuk persekutuan pelajar Reisyara (P2R) yaitu persekutuan pelajar asal Wotay baik yang bermukim di Desa Wotay maupun yang merantau di Kota Ambon. Moritari juga sangat memainkan perannya sebagai media tolong-menolong. Narasumber di atas menuturkan” moritari biking orang Wotay par saling baku bantu, satu par samua, samua par satu” (moritari membuat masyarakat Wotay saling

52

(29)

64 membantu, satu untuk semua, semua untuk satu). Fungsi tolong-menolong tersebut paling menonjol saat dilangsungkannya perkawinan adat. Dalam sistem perkawinan adat masyarakat Wotay puli atau tanggungan sukarela dari para kerabat merupakan simbol solidaritas mereka. Hal ini didasari atas pemahaman bahwa sebagai satu keluarga sudah sepatutnya saling tolong-menolong untuk memenuhi keperluan-keperluan dalam acara perkawinan, sehingga beban tersebut bisa dipikul secara bersama-sama.53

Selain fungsi-fungsi di atas, moritari juga menjadi dasar kebenaran sejarah masyarakat Wotay. Menurut L. Remiasa, sebagai suatu sistem nilai dan norma hidup,

moritari memainkan perannya untuk menata kehidupan masyarakat Wotay sesuai dengan

hukum adat dan kebenaran sejarah masyarakat setempat. Setiap generasi masyarakat Wotay sebagai pemegang moritari ditandai dengan ciri khas tingkah laku yang saling menghormati, patuh kepada pemimpin dan taat kepada hukum adat serta aturan-aturan yang berlaku. Narasumber di atas juga menyatakan bahwa setiap anak Negeri Wotay yang tidak hidup menurut pola moritari (misalnya tidak melibatkan diri dalam gotong-royong, maupun pesta adat, dan syukuran-syukuran. Atau, jika seorang laki-laki menghamili seorang anak gadis di luar ikatan pernikahan), maka mereka dianggap tidak tahu adat dan akan dikenakan sanksi sosial berupa denda adat atau akan ditimpa oleh berbagai kemalangan dan kegagalan dalam usaha sehari-hari. Lebih lanjut lagi beliau menerangkan bahwa eksistensi moritari sangat bermanfaat membangun kehidupan masyarakat Wotay menjadi lebih baik dan lebih maju dalam berbagai segi.54

Pada kesempatan yang sama, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa tokoh pendatang di Desa Wotay untuk mengetahui pemahaman mereka tentang moritari dan bagaimana mereka memandang pola hidup moritari masyarakat Wotay. Narasumber

53

Berdasarkan hasil wawancara dengan O. Karesina, Kepala Soa/ ataru ah Fotayte ’ a, pada Sabtu, 9 April 2016.

54

(30)

65 E.Batlajeri yang sudah sejak lama menetap di Wotay karena ikatan dinas, mengemukakan bahwa moritari adalah budaya hidup persekutuan. Menurut narasumber di atas, pola hidup

moritari masyarakat Wotay merupakan suatu ikatan yang sangat baik karena tidak

membedakan orang, sekalipun itu pendatang di Negeri Wotay. Selanjutnya narasumber menerangkan bahwa dengan adanya moritari beliau merasa telah menjadi bagian dari masyarakat asli Wotay, meskipun ia berasal dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda dengan masyarakat setempat.55

Dari segi pendatang, pola hidup moritari sangat nyata dalam kesediaan masyarakat Wotay untuk menolong saudara-saudara mereka yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika memperhatikan kondisi alam Desa Wotay yang masih asri dengan ditumbuhi berbagai macam tanaman, maka salah satu bentuk kepedulian masyarakat setempat terhadap para pendatang adalah dengan berbagi dari hasil alam yang mereka miliki. Keadaan seperti ini tergambar dari pengakuan seorang ibu rumah tangga yang menyatakan bahwa kepedulian masyarakat Wotay sangat besar bagi kaum pendatang khususnya bagi mereka yang tidak memiliki tanah di Wotay. Masyarakat Wotay dengan rela hati meminjamkan lahan kosong untuk bercocok tanam maupun berbagi dari hasil alam yang mereka miliki baik itu berupa cengkih, kelapa, maupun umbi-umbian kepada masyarakat pendatang.56

Mengacu pada pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa moritari tidak hanya bermanfaat secara internal meliputi sesama anggota masyarakat asli Wotay, tetapi juga bermanfaat secara eksternal mencakup komunitas lain di luar masyarakat asli Wotay. Hal ini disebabkan karena moritari memiliki kekayaan nilai yang penting bagi eksistensi masyarakat

55

Hasil wawancara dengan E.Batlajeri, Ketua Panitia Pembangunan Fisik Jemaat GPM Wotay, sekaligus tokoh pendatang yang aktif dalam pembangunan masyarakat Wotay, pada Minggu, 24 April, 2016.

56

(31)

66 yang mencakup nilai solidaritas, nilai persatuan dan kesatuan, nilai ekonomi, dan nilai religius.

3.5.1.Nilai Solidaritas.

Nilai solidaritas membentuk kepribadian, pemahaman, dan sikap anggota masyarakat Wotay terhadap eksistensi sesamanya. Setiap anggota masyarakat dengan pekerjaan dan kepemilikannya selalu dilihat dalam bingkai totalitas masyarakat. Melalui masyarakat, individu dan kepentingannya mendapat tempat dan pemaknaan yang baik. Nilai solidaritas juga turut mewarnai dan mencirikan pola relasi yang unik dengan sesama. Artinya hubungan masyarakat Wotay dengan masyarakat pendatang selalu dilihat dalam kaitan dengan moritari. Nilai ini menjadi kekuatan untuk merekatkan, melanggengkan, memelihara, dan memupuk pola-pola relasi kemanusiaan masyarakat setempat menjadi suatu pola hubungan yang baik dan harmonis. Nilai tersebut tampak jelas melalui sikap yang ditunjukan masyarakat Wotay dalam memberi pertolongan kepada anggota masyarakat lain. Tidak hanya membantu menyelesaikan pekerjan, tetapi juga lebih dari itu, solidaritas masyarakat Wotay nampak dalam kesediaan dan kerendahan hati untuk memberi pertolongan kepada siapa saja yang memerlukan.

3.5.2.Nilai Persatuan dan Kesatuan.

(32)

67 ini memberi peluang yang sangat besar bagi upaya kerjasama dari seluruh anggota masyarakat Wotay yang saat ini berbaur dengan masyarakat lain guna menata kehidupan bersama secara lebih baik.

3.5.3.Nilai Ekonomi.

Praktik moritari memperlihatkan bahwa dari segi ekonomi terdapat peluang dan kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk membangun kehidupan bersama melalui sistem kerjasama kelompok. Pola kerjasama tersebut secara tidak langsung berpengaruh positif bagi sistem pengorganisasian pekerjaan di dalam masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan seperti yang diharapakan dapat berjalan lancar. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, praktik moritari tidak hanya terlihat pada saat berlangsungnya acara-acara adat (perkawinan, pelantikan raja negeri, dan lain-lain), tetapi juga ditemukan dalam bentuk saling membantu menyelesaikan pekerjaan ataupun meminimalisir pekerjaan individu. Sistem kerjasama yang diperlihatkan oleh komunitas masyarakat Wotay dalam pola hidup moritari dapat menjadi unsur penggerak sehingga kemungkinan kesuksesan dalam sebuah pekerjaan semakin besar.

3.5.4.Nilai Religius

Nilai Religius moritari terlihat jelas dalam realitas hidup masyarakat setempat di

lakpona. Sebagai tempat pertemuan, wadah lakpona selain memiliki dimensi sosial, juga

(33)

68

3.6.Moritari: Perjumpaan dengan Injil.

Dalam konteks hidup kekinian masyarakat Wotay, heterogenitas menjadi sebuah keniscayaan yang perlu disikapi dengan bijak oleh komunitas ini. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat budaya lain yang saat ini hidup berdampingan dengan budaya moritari seirama dengan makin terbukanya kehidupan masyarakat setempat. Salah satu budaya yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Wotay adalah Kekristenan yang datang bersamaan dengan masuknya Injil dalam kehidupan religius masyarakat Wotay. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai Injil juga memberikan pengaruh terhadap eksistensi moritari.

Awal mula penyebaran Injil di Wotay, sempat terjadi penolakan masyarakat sekitar terhadap kehadiran Injil dalam kehidupan religius mereka. Namun Injil akhirnya dapat diterima oleh komunitas ini, di samping adanya usaha keras dari para penginjil, juga dipengaruhi kesadaran masyarakat setempat bahwa di dalam Injil telah termanifestasi berbagai nilai kebaikan yang tergambar di dalam adat-istiadat seperti yang nyata dalam budaya moritari.

Menurut L. Remiasa, di dalam moritari dapat ditemukan nilai kasih kepada sesama seperti yang nyata dalam tindakan masyarakat Wotay untuk saling menolong satu dengan yang lain dalam kondisi apapun. Selain nilai kasih, nilai penghargaan juga dapat ditemukan dalam moritari seperti terlihat dari adanya kesediaan untuk melibatkan orang luar dalam penyelesaian konflik secara kekeluargaan.57

Narasumber lainnya, O. Karesina mengemukakan bahwa nilai Injil yang dapat ditemukan dalam moritari adalah nilai persekutuan yang terjalin erat dalam berbagai situasi hidup masyarakat Wotay. Beliau menambahkan bahwa nilai persekutuan yang dimiliki masyarakat Wotay misalnya yang tampak dalam realitas hidup di lakpona mirip dengan pola

57

(34)

69 hidup Jemaat mula-mula. Di mana melalui persekutuan itu anggota jemaat makan dan minum dari apa yang diusahakan bersama dan berdoa bersama.58

Meskipun moritari mengandung nilai-nilai kebaikan, namun pelaksanaannya di masa kini yang banyak mengalami pergeseran menimbulkan tanggapan dari masyarakat Wotay sebagai anggota gereja. F.Watimenna menyatakan bahwa partisipasi masyarakat Wotay yang lebih banyak tercurah pada aktivitas moritari (misalnya dalam pesta adat) seringkali menyebabkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan lainnya menjadi tidak seimbang.59 Meskipun demikian gereja tidak menentang eksistensi moritari. Hal tersebut dikemukakan oleh A. Purmiasa yang mengatakan bahwa gereja tidak melarang pelaksanaan moritari hanya saja gereja memberikan teguran agar sebisa mungkin pola konsumerisme yang berlebih dipangkas atau dikurangi.60

Narasumber lainnya, E. Batlajeri mempertegas pernyataan narasumber sebelumnya dengan menyatakan bahwa gereja sangat mendukung aktivitas moritari selama hal itu mengarah pada kebaikan bersama. Beliau mengemukakan wujud dukungan gereja terhadap

moritari terlihat dari sikap gereja yang selalu melibatkan peran sesepuh negeri dan tetua adat

dalam proses pembangunan moral-spiritual, dan fisik Jemaat GPM Wotay. Beliau melanjutkan bahwa biasanya akan diadakan pertemuan antara tiga batu tungku negeri yang terdiri dari pihak gereja, tokoh-tokoh adat/sesepuh negeri, dan pemerintah desa untuk membahas berbagai perkembangan desa serta rencana-rencana pembangunan masyarakat Wotay.61

58

Berdasarkan hasil wawancara dengan O. Karesina, Kepala Soa/ ataru ah Fotayte ’ a, pada Jumat, 15 April 2016.

59

Berdasarkan percakapan dengan Pdt. F.Watimenna, Ketua Majelis Jemaat GPM Pniel Wotay, pada Sabtu, 30 April 2016.

60Berdasarkan hasil wawancara dengan A. Purmiasa, mantan Sekretaris Desa Wotay sekaligus anggota

Saniri Negeri Wotay, pada Minggu, 17 April 2016.

61

(35)

70

3.7. Perubahan Sosial Masyarakat Wotay.

Seperti yang telah dipaparkan dalam profil makro masyarakat Wotay, diketahui bahwa masyarakat Wotay awalnya mendiami pulau kecil yang terisolasi. Leluhur masyarakat setempat adalah petani dan pelaut tradisional yang handal dan tangguh. Meskipun begitu keberadaan masyarakat setempat yang jauh dari pusat-pusat perdagangan, pendidikan, dan pemerintahan membuat masyarakat setempat cukup sulit membangun kehidupan yang layak sama seperti masyarakat lain.

Sama seperti masyarakat tradisional pada umumnya, leluhur masyarakat Wotay hidup secara alami dari hasil-hasil yang disediakan alam secara melimpah. Masyarakat belum mengenal pasar serta sistem manajemen yang baik. Perdagangan dilakukan secara barter dengan komunitas sekitar guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Situasi hidup masyarakat setempat kemudian berubah pascaperpindahan ke lokasi pemukiman baru di Pulau Seram. Wilayah pemukiman baru tersebut banyak memberi akses yang besar bagi perkembangan masyarakat sekitar mulai dari bidang pendidikan maupun ekonomi. Perubahan ini dipandang sebagai salah satu bentuk kemajuan atau dampak modernisasi yang turut mempengaruhi tatanan sosial masyarakat Wotay dewasa ini. Tidak hanya itu, perubahan sosial yang dialami masyarakat Wotay dapat ditemukan pada beberapa bidang kehidupan yaitu bidang penididikan, bidang ekonomi, dan bidang pemerintahan.

3.7.1. Bidang Pendidikan

(36)

71 dipahami jika tidak banyak generasi muda Wotay yang pada masa itu melanjutkan studi sampai tingkat universitas.

Berbeda dengan kondisi di Pulau Nila, saat masyarakat Wotay dievakuasi ke pemukiman baru akses untuk memperoleh pendidikan lanjutan semakin baik. Apalagi letak strategis wilayah Kecamatan TNS yang berada di pinggiran Kota Kabupaten Maluku Tengah, sehingga perhatian pemerintah semakin besar tertuju pada daerah ini. Bahkan wilayah Kecamatan TNS yang mana masyarakat Wotay terintegrasi di dalamnya telah mempunyai beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Pertama (SMP), sejumlah Sekolah Dasar (SD), dan PAUD (pendidikan anak usia dini) yang ada di setiap desa.

3.7.2. Bidang Ekonomi.

Mempertimbangkan kondisi keterisolasian masyarakat Wotay sebelum bermukim di wilayah yang baru, dapat dipastikan bahwa dari segi ekonomi masyarakat setempat belum mampu membangun ekonomi yang layak seperti komunitas lainnya atau sama seperti kondisi ekonomi masyarakat Wotay sekarang ini. Situasi tersebut dapat dipahami karena sulitnya jangkauan pasar terhadap hasil-hasil alam masyarakat setempat sehingga umumnya masyarakat hanya mengonsumsi apa yang diolah dan diusahakan sendiri. Dalam perkembangannya, setelah jalur transportasi terbuka dan akses antar pulau menjadi mudah, masyarakat setempat sudah dapat memasarkan hasil-hasil alam mereka ke kota.

(37)

72 yang menghubungkan pusat kota kabupaten dan wilayah-wilayah terpencil. Sejak saat itu juga mulai dibangun berbagai infrastruktur yang mendukung aktivitas perekonomian masyarakat setempat.

Jika mengingat kedudukan wilayah Kecamatan TNS di Pulau Seram sekarang ini sebagai wilayah transit dari berbagai tempat bila hendak ke ibu kota kabupaten, serta telah memadainya fasilitas perekonomian, maka secara ekonomis terdapat perubahan yang berarti dalam masyarakat. Dampak positif dari perubahan ini merupakan kekuatan atau peluang bagi masyarakat setempat untuk membangun perekonomiannya.

3.7.3. Bidang Pemerintahan.

(38)

73

3.8. Kesimpulan

Moritari lahir dari realitas leluhur masyarakat Wotay yang hidup terisolasi di Pulau

Nila dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Pada hakikatnya moritari merupakan pendidikan moral yang mengatur, mengontrol, dan membentuk watak serta karakter setiap anak Negeri Wotay, dan telah menjadi ciri khas serta identitas dari seluruh anggota komunitas masyarakat setempat.

Moritari memiliki kekayaan nilai yang dapat menjadi kekuatan bagi masyarakat

Wotay dalam membangun kehidupan bersama dengan layak. Nilai-nilai tersebut adalah nilai solidaritas, nilai persatuan dan kesatuan, nilai ekonomi, dan nilai religius yang berlaku secara universal, tidak hanya mencakup masyarakat asli Wotay, tetapi juga masyarakat pendatang. Dalam perjumpaannya dengan Injil, moritari mendapat tempat yang baik dalam kehidupan keagamaan masyarakat Wotay. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai positif moritari juga terdapat di dalam Injil yang termanifestasi dalam kasih, persekutuan, dan penghargaan kepada sesama.

Gambar

Tabel 3.2.1.Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.
Tabel. 3.2.4. Mata Pencaharian Penduduk

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Tanpa mengurangi aspek teknis, tulisan ini menyoroti pengurangan kandungan semen di dalam adukan beton dalam jumlah yang cukup besar sampai mencapai 55 %

Supaya pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah yang telah ditetapkan dalam kurikulum 2013, maka sebaiknya kegiatan pembelajaran lebih

SB Tampilan huruf pada website petunjuk praktikum sangat jelas untuk dibaca B Tampilan huruf pada website petunjuk praktikum jelas untuk dibaca C Tampilan huruf pada

Adapun pokok permasalahan yang yang akan dirumuskan dalam penulisan Tugas Akhir (TA) ini adalah apakah sistem akuntansi pemberian kredit pada PT Permodalan

Padahal, jika kita jujur, banyak hal yang mempengaruhi kebebasan berekspresi: konvensi bahasa, konvensi sastra, nilai-nilai, pemilik modal, selera pasar,

Hasil ini semakin memperkuat kesimpulan sementara yang telah diperoleh berdasarkan data pada Gambar 1 di atas, bahwa kinerja penyelenggaraan diklat berbasis kompetensi

Salah satunya adalah untuk menyampaikan Informasi seputar pembuatan KTP, Pada Pekon Sridadi, masyarakat yang hendak membuat KTP harus datang ke Balai Pekon untuk