• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI modul 3"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGIFARMAKOLOGI Obat Sistem Syaraf

Obat Sistem Syaraf Otonom (Antikolinergik)Otonom (Antikolinergik)

KELOMPOK 4 KELOMPOK 4 Selasa, 22 Maret 2011 Selasa, 22 Maret 2011 Aldila Indah R260110090029 Aldila Indah R260110090029 Natur

Natur YasinkaYasinka 260110090032601100900300 Silviana D. A.

Silviana D. A. 260110090032601100900311 Di

Diananti ti NNofofririanani i 226060111100009900003232 No

Novivita ta ChChanandrdra a 262601011010090900003333 H

Haarrnna a LL. . PP. . 226600111100009900003344 R

Riiddhha a TTrriia a 226600111100009900003366 Pr

Pramamujuja a ArAria ia M. M. 262601011010090900003939

LABORATORIUM FARMAKOLOGI LABORATORIUM FARMAKOLOGI FAKULTAS FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011 2011

OBAT SISTEM SYARAF OTONOM

OBAT SISTEM SYARAF OTONOM (ANTIKOLINERGIK(ANTIKOLINERGIK))

I. TUJUAN

I. TUJUAN

1.

1. MenghMenghayati sayati secara lecara lebih ebih baik baik pengapengaruh bruh berbagerbagai sisai sistem stem syaraf yaraf  otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.

(2)

2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus.

II. PRINSIP 1. Inhibisi

Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.

III. TEORI

Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik  utam SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).

Secara anatomi sususnan saraf otonom terdiri atas saraf praganglion, gangl;ion dan pasca ganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis (Torakolumbal segmen susunan saraf otonom) disalurkan melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf eferennya kemudian berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom) disalurkan

(3)

melalui beberapa saraf kranial yaitu N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang berasal dari sakral 3 dan 4 (Moveamura, 2008).

Didalam sistem saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf  otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).

Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :

a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai berikut :

· Simpatomimetik atau adrenergik, yaitu obat yang meniru efek  perangsangan dari saraf simpatik (oleh noradrenalin). Contohnya, efedrin, isoprenalin, dan lain-lain.

· Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf  parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.

b. Obat yang berkhasiat terhadap saraf parasimpatik, yang diantaranya sebagai berikut :

· Parasimpatomimetik atau kolinergik, yaitu obat yang meniru perangsangan dari saraf parasimpatik oleh asetilkolin, contohnya pilokarpin dan phisostigmin (Pearce, 2002).

Parasimpatolitik atau antikolinergik, yaitu obat yang meniru bila saraf  parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik, contohnya alkaloida belladonna (Pearce, 2002).

(4)

Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama SP adalah mengumpulkan energi darimakanan dan menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron SPdirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah,memperlambat pernafasan, antara lain dengan menciutkan bronchi, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekananintraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter denganefek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka, menekanSSP setelah pada permulaan menstimulasinya, dan lain-lain. (Tan dan Rahardja, 2002).

Antikolinergik adalah ester dari asam aromatik dikombinasikan dengan basa organik.Ikatan ester adalah esensial dalam ikatan yang efektif antara antikolinergik dengan reseptor asetilkolin. Obat ini berikatan secara blokade kompetitif dengan asetilkolin dan mencegahaktivasi reseptor. Efek selular dari asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dicegah.Reseptor jaringan bervariasisensitivitasnya terhadap blokade. Faktanya : reseptor muskarinik tidak homogen dan subgrupreseptor telah dapat diidentifikasikan : reseptor neuronal (M1),cardiak  (M2) dan kelenjar (M3) (Askep, 2009).

Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik, penghambat parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk 

(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik  (2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum

(5)

Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona, oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk  merangsang susunan saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem kardiovaskular  (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah), saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan menghambat sekresi asam lambung) (Moveamura, 2008).

Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat antikolinergik misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik, propantelin bromida dipakai untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen digunakan untuk penyakit parkinson (Moveamura, 2008).

Pilokarpin juga merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat pada kelenjar keringat, air mata, dan saliva, tetapi obat ini tidak digunakan untuk maksud demikian.Pilokarpin adalah obat terpilih dalam keadaan gawat yang dapat menurunkan tekanan bolamata baik glaukoma bersudut sempit maupun bersudut lebar. Obat ini sangat efektif untuk membuka anyaman trabekular di sekitar kanal Schlemm, sehingga tekanan bola mata turundengan segera akibat cairan humor keluar dengan lancar. Kerjanya ini dapat berlangsungsekitar sehari dan dapat diulang kembali. Obat penyekat kolinesterase, seperti isoflurofatdan ekotiofat, bekerja lebih lama lagi. Disamping kemampuannya dalam mengobatiglaukoma, pilokarpin juga mempunyai efek samping. Dimana pilokarpin dapat mencapaiotak dan menimbulkan gangguan SSP. Obat ini merangsang keringat dan salivasi yangberlebihan (Mycek, 2001).

IV. ALAT DAN BAHAN IV.1 Alat

- Kertas koran - Syringe

(6)

- Kandang - Kapas - Kertas saring - Needle No. 24 - Papan berukuran 40x30 cm - Sonde oral - Timbangan IV.2 Bahan

Alkohol

Atropin 0,04% ( 1 mg/kgBB)

Methylen blue

Pilokarpin 0,02% (2 mg / kgBB)

Uretan (1,8 g / kgBB) V. PROSEDUR 

Pada praktikum kali ini, akan diujikan berbagai obat sistem syaraf  otonom dalam pengendalian fungsi- fungsi vegetatif tubuh untuk mengetahui efek  apa yang akan terjadi pada tubuh mencit. Hal yang pertama kali dilakukan oleh praktikan adalah mempersiapkan larutan obat dan larutan gom. Kemudian, dipilih tiga ekor mencit yang diambil secara acak, kemudian ditimbang satu persatu. Berat masing-masing mencit dicatat dan diberi tanda pengenalnya. Setelah itu, mencit pertama diambil, lalu diberi uretan sebanyak 0,5 mililiter secara per oral menggunakan sonde, kemudian atropin sebanyak 0, 5 ml langsung diberikan secara intra peritoneal segera setelah pemberian uretan. Untuk setia prosedur  penginjeksian, mencit harus dioleskan kapas berisi alkohol terlebih dahulu. Setelah 45 menit, mencit tersebut diberi pilokarpin secara injeksi subkutan sebanyak 0,5 mililiter. Mencit tersebut lagsung dipindahkan ke papan yang telah dibungkus kertas saring dan mengandung methylen blue. Lima menit pertama

(7)

mencit ditempatkan di petak paling bawah. Lalu lima menit kemudian mencit tersebut dipindahkan ke petak yang letaknya lebih atas dari petak yang pertama. Setiap lima menit berikutnya mencit dipindahkan ke petak yang letaknya di atas petak yang sebelumnya telah ditempati sampai ke menit dua puluh lima. Noda salivasi diberi tanda dan diukur diameternya.

Mencit kedua diambil dan diberi uretan secara per oral menggunakan sonde sebanyak 0,5 mililiter di menit ke nol. Setelah itu mencit didiamkan hingga menit ke 15. Pada saat menit ke 15, mencit diinjeksikan atropin sebanyak 0,5 mililiter secara intra peritoneal. Kemudian tiga puluh menit kemudian mencit tersebut diinjeksikan pilokarpin sebanyak 0,5 mililiter secara subkutan. Waktu dihitung sejak pemberian pilokarpin dan mencit langsung ditempatkan di atas petak paling bawah pada papan yang sudah dilapisi kertas saring dan diberi methylen blue. Setiap lima menit berikutnya mencit dipindahkan ke petak yang letaknya di atas petak yang sebelumnya telah ditempati sampai ke menit dua puluh lima. Noda salivasi yang timbul diberi tanda dan diukur diameternya.

Mencit ketiga diambil lalu diberi uretan pada menit ke nol lalu dibiarkan hingga menit ke 45. Setelah itu mencit diinjeksikan pilokarpin sebanyak 0,5 mililiter secara subkutan. Mencit ketiga dijadikan kontrol negatif. Oleh karena itu mencit tidak diberikan atropin. Waktu dihitung sejak pemberian pilokarpin dan mencit langsung ditempatkan di atas petak paling bawah pada papan yang sudah dilapisi kertas saring dan diberi methylen blue. Setiap lima menit berikutnya mencit dipindahkan ke petak yang letaknya di atas petak yang sebelumnya telah ditempati hingga waktu menunjukkan menit ke dua puluh lima. Noda salivasi diberi tanda dan diukur diameternya. Setelah diameter salivasi dari ketiga mencit dihitung, maka akan didapatkan persen inhibisi dari pemberian atropin pada masing-masing mencit.

(8)

VI. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

VI. Data Pengamatan

Kelompok No

Diameter Salivasi

5 menit 10 menit 15 menit 20 menit 25 menit

I

1 4,3 4,6 5,1 6 5,6

2 2,4 2 1,9 2,1 1,9

3 0 0,6 2,05 1,5 1,3

4 2,7 4 3,4 3,8 3,8

Rata - rata diameter 2,4 2,8 3,1 3,4 3,2

II

1 0 0 1,4 1,7 1,9

2 0 2,1 2,7 3 3,2

3 0 4 3,5 3,175 3,5

4 0 0 1 1,8 1,9

Rata - rata diameter 0 1,5 2,2 2,4 2,6

III

1 2,4 4,4 4,8 4,6 4

2 3,4 4,3 3,6 3,1 3,7

3 4 4,25 3,7 4,2 2,7

(9)

Rata - rata diameter 3,2 4,3 4 3,8 3,5 VI.2. Perhitungan 1. Perhitungan Dosis • Mencit 1 Dosis = 21,85 x 0,5 ml 20 = 0,55 ml • Mencit 2 Dosis = 20,5 x 0,5 ml 20 = 0,51 ml • Mencit 3 Dosis = 16,2 x 0,5 ml 20 = 0,4 ml • Mencit 4 Dosis = 16,5 x 0,5 ml 20 = 0,41 ml • Mencit 5 Dosis = 14,5 x 0,5 ml 20 = 0,36 ml • Mencit 6 Dosis = 17,8 x 0,5 ml

(10)

20 = 0,44 ml • Mencit 7 Dosis = 13,7 x 0,5 ml 20 = 0,34 ml • Mencit 8 Dosis = 14,8 x 0,5 ml 20 = 0,37 ml • Mencit 9 Dosis = 19,2 x 0,5 ml 20 = 0,48 ml • Mencit 10 Dosis = 18,3 x 0,5 ml 20 = 0,46 ml • Mencit 11 Dosis = 21,7 x 0,5 ml 20 = 0,54 ml • Mencit 12 Dosis = 18,1 x 0,5 ml 20 = 0,45 ml

(11)

1. Perhitungan % Inhibisi Salivasi Diameter Uji I = 2,4 + 2,8 + 3,1 + 3,4 + 3,2

= 14,8

Diameter Uji II = 0 + 1,5 + 2,2 + 2,4 + 2,6 = 8,7

Diameter Kontrol Negatif = 3,2 + 4,3 + 4 + 3,8 + 3,5 = 18,8

• Kelompok I

% Inhibisi Salivasi =

( d kontrol negatif ) - ( d uji I )

x 100% d kontrol negatif  = 18,8 – 14,8 x 100% 18,8 = 21,28 % • Kelompok II % Inhibisi Salivasi =

( d kontrol negatif ) - ( d uji II )

x 100% d kontrol negatif  = 18,8 – 8,7 x 100% 18,8 = 53,72 %

(12)

VI.3. GRAFIK 

Grafik Diameter Salivasi Terhadap Waktu

(13)

Pada praktikum farmakologi kali ini praktikan melakukan uji pada obat-obat sistem syaraf otonom. Syaraf otonom merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara otomatis. Percobaan kali ini bertujuan agar  praktikan dapat menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan agar  praktikan dapat mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus.

Percobaan kali ini diawali dengan mempersiapkan semua alat untuk  percobaan dan bahan yaitu obat-obat yang akan digunakan pada percobaan. Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu mencit lalu diamati kesehatannya dan ditimbang lalu diberi tanda pengenal untuk membedakan. Penimbangan hewan percobaan dimaksudkan untuk perhitungan dosis yang tepat pada percobaan, karena salah satu faktor penting yang dapat memberikan dosis yang berbeda tiap individu adalah berat badan. Tanda pengenal pun sangat penting agar hewan percobaan tidak tertukan saat pengamatan. Kemudian mencit dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok diberi uretan secara intraperitonial menggunakan jarum suntik. Uretan diberikan dengan tujuan untuk  membuat mencit tidur atau paling tidak menurunkan aktivitasnya sehingga tidak  menyulitkan praktikan dalam melakukan tindakan selanjutnya. Selain itu pembiusan mencit dilakukan karena dalam keadaan tidur biasanya terjadi salivasi dimana salivasi ini dimanfaatkan dalam pengujian obat-obat sistem saraf otonom. Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik yang dapat menghambat aliran ludah dan sistem syaraf parasimpatik yang dapat menstimulasi aliran ludah.

Setelah pemberian uretan, mencit kelompok 1 diberi atropin secara peroral menggunakan sonde. Setelah 15 menit dari pemberian uretan, mencit kelompok 2 diberi atropin secara subkutan menggunakan jarum suntik. Mencit kelompok 3 digunakan sebagai kelompok kontrol dimana tidak diberikan atropin. Atropin merupakan obat antikolinergik yang akan diuji pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, secara kompetitif  dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor 

(14)

parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi.

Setelah 45 menit dari pemberian uretan, semua kelompok mencit diberiakan pilocarpin menggunakan jarum suntik secara subkutan agar efek yang ditimbulkan cepat. Policarpin adalah obat kolinergik yang merangsang saraf  parasimpatik yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar air liur. Hal tersebut dapat memicu terjadinya hipersalivasi sehingga air liur yang dikeluarkan mencit lebih banyak.

Setelah semua bahan (obat) sudah diberikan pada mencit, masing-masing mencit diletakan pada kertas saring yang sudah diberi metilen blue di bawahnya sehingga air liur yang dikeluarkan mencit merubah kertas saring menjadi berwarna biru. Masing-masing mencit ditempatkan pada satu kotak dan setiap 5 menit mencit tersebut dipindahkan pada kotak diatasnya. Kemudian diameter  salivasi yang terjadi diukur lalu dicatat datanya untuk dilakukan pengolahan.

Setelah diamati mencit kelompok 3 rata-rata membuat diameter salivasi paling besar yang berarti air liur yang dikeluarkan lebih banyak, dan warna biru yang dihasilkan pada kertas saring paling pekat diantara kelompok yang lain.Hal ini terjadi karena mencit kelompok 3 yang merupakan kontrol negatif tidak diberi atropin sehingga tidak ada penghambat salivasi karena tidak ada obat antikolinergik yang diberikan pada mencit kelompok ini.

Mencit kelompok 1 rata-rata mebuat diameter salivasi lebih kecil dari pada kelompok 3. Hal ini terjadi karena pemberian atropin secara peroral pada mencit sehingga menghambat proses hipersalivasi pada mencit yang disebabkan oleh pilokarpin.

Mencit kelompok 2 rata-rata membuat diameter salivasi lebih kecil dari kelompok lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya pemberian atropin secara subkutan pada menit ke 15 sehingga proses salivasi lebih terhambat dibanding

(15)

kelompok lainnya. Pemberian obat secara subkutan memberikan efek yang lebih cepat jika dibandingkan dengan pemberian secara peroral.

Perbedaan diameter salivasi disebabkan oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal pada percobaan kali ini adalah karena ada tidaknya pemberian obat antikolinergik pada hewan percobaan dan cara pemberian obat antikolinergik tersebut. Pemberian obat secara subkutan akan memberikan efek  obat yang lebih cepat dan lebih kuat. Hal ini terbukti dengan kecilnya diameter  salivasi pada mencit kelompok 2 yang pemberian atropinnya secara subkutan walaupun pemberiannya lebih lama dari mencit kelompok 1. Pemberian obat secara subkutan pun akan mengurangi degradasi obat karena obat tidak melalui sistem pencernaan. Sedangkan pada mencit kelompok 1, atropin diberikan secara peroral sehingga degradasi obat lebih besar dan dosis obat akan menurun sehingga efek yang ditimbulkan akan melemah.

Setelah data diamati dan diolah dengan menggunakan perhitungan persen inhibisi dengan rumus :

% Inhibisi Salivasi =

( d kontrol negatif ) - ( d uji )

x 100% d kontrol negatif 

Data inhibisi dari mencit kelompok 1 dan 2 dimana mencit kelompok 1 meberikan rata-rata inhibisi sebesar 21,28 % sedangkan mencit kelompok 2 memberikan rata-rata inhibisi sebesar 53,72 %. Perhitungan inhibisi ini dilakukan dengan membandingkan diameter rata-rata kelompok 1 dan 2 dengan kelompok kontrol 3 dimana selisih antara rata-rata diameternya merupakan inhibisi yang ditimbulkan dari obat antikolinergik yang pada praktikum ini adalah atropin.

(16)

1. Sistem syaraf otonom dapat mempengaruhi pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh, contohnya mempengaruhi salivasi.

2. Aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus dapat diketahui dengan cara menghitung diameter salivasi hewan percobaan yang telah diberi obat antikolinergik dan obat kolinergik.

DAFTAR PUSTAKA

Askep. 2009. Obat-Obat Antikolinergik. Available online at

(17)

Moveamura. 2008. Drug Affecting Nervous System. Available online at http://moveamura.wordpress.com/farmakologi/ [Diakses tanggal 27 Maret 2011]

Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11th edition. Elsevier Inc.

Philadelphia.

Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting . Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Jika warna kertas lakmus merah & biru jika di celupkan pada suatu cairan dan warnanya tetap atau tidak berubah berarti celupkan pada suatu cairan dan warnanya tetap

Hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa pada 24 jam setelah inkubasi, diukur diameter zona bening tiga kali kemudian di rata-rata kan, pada E.coli dengan kertas

Sehingga memiliki temperatur transisi yang lebih rendah yang berarti lebih aplikatif (makin tinggi temperatur transisi, makin jelek suatu materialk karena pada

(c) Bahan beralkali ialah bahan yang menukarkan warna kertas litmus merah kepada biru. (d) Ubat gigi yang beralkali dapat meneutralkan asid yang dihasilkan oleh bakteria

a) Pada uji protein : Pengujian protein menggunakan larutan indikator biuret, jika warna bahan makanan setelah dikocok berubah menjadi hijau toska atau biru muda berarti

Ini berarti bahwa kita akan membuat method hapusmhs pada Models Mahasiswa_model.php Selanjutnya kita akan mencoba menjalankan sistem penghapusan data yang telah dibuat sebelumnya..

pada sampel pertama volume larutan EDTA yang dihasilkan dari titrasi ini untuk membentuk perubahan warna dari merah anggur ke biru yang konstan yaitu 37 ml.. Lalu, pada sampel kedua

Bahan makanan yang mengandung amilum karbohidrat bila ditetesi lugol akan berubah warna menjadi biru hitam.. Semakin gelap warnyanya berarti makanan tersebut banyak kandungan