• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIGH-LEVEL ROUNDTABLE DISCUSSION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIGH-LEVEL ROUNDTABLE DISCUSSION"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

HIGH-LEVEL ROUNDTABLE DISCUSSION

“Pentingnya Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan

Mekanisme Pencegahan Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

Dalam rangka Memperingati Lima Tahun Pemberlakuan OPCAT (22 Juni 2011) dan

Hari Anti-Penyiksaan Internasional (26 Juni 2011)

(2)

High-Level Meeting: “Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia” ... 1

Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan: Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan ... 7

Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan: Apa Nilai Tambah dari Pencegahan? ... 10

Definisi Tempat-tempat Penahanan berdasarkan OPCAT ... 13

Monitoring Tempat-tempat Penahanan melalui Kunjungan-kunjungan ... 14

Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh Lembaga-lembaga Negara ... 16

Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional ... 18

(3)

High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan

Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

ADVOKASI OPCAT

LEMBAGA STUDI DAN

ADVOKASI

MASYARAKAT(ELSAM)

Hotel Borobudur 23 Juni 2011

(4)

High-Level Meeting:

“Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia”

Jakarta, 12 November 2007

RINGKASAN DISKUSI

Pada tanggal 12 November 2007, di tengah kehadiran Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, Manfred Nowak, dan anggota Sub-komite PBB untuk Pencegahan Penyiksaan, Wilder Tayler, para perwakilan dari beberapa lembaga negara yang memiliki relevansi terhadap upaya pencegahan penyiksaan (Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Komnas Perempuan) berkumpul di Jakarta untuk mendiskusikan tantangan-tantangan penting terkait dengan implementasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (Konvensi) dan kemungkinan ratifikasi atas Protokol Opsional untuk Konvensi (OPCAT).

A. SEKILAS MENGENAI OPCAT

OPCAT adalah sebuah alat praktis yang dimaksudkan untuk membantu Negara-Negara Pihak pada Konvensi di dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari tindakan sewenang-wenang, yakni melalui pembentuk-bentukan sebuah sistem kunjungan rutin dan independen ke semua tempat penahanan oleh badan-badan nasional dan internasional. Dalam menjalankan tugasnya, mekanisme-mekanisme kunjungan nasional dan internasional ini akan saling melengkapi dan akan berfungsi sebagai sebuah sistem.

Berangkat dari fakta bahwa badan internasional ini dibentuk berdasarkan OPCAT, Sub-komite untuk Pencegahan Penyiksaan (SPT) sangatlah mustahil untuk dapat mengunjungi setiap Negara Pihak lebih dari sekali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, bagian terbesar dari tugas kunjungan akan dilakukan oleh Mekanisme-mekanisme Pencegahan Nasional (NPMs). Sangat jelas, kedudukan NPMs yang permanen di Negara Pihak akan memungkinkan mereka untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan pejabat-pejabat yang relevan atas dasar rasa saling percaya dan hasrat bersama untuk menciptakan situasi dan kondisi yang menghormati hak-hak mereka yang terampas kemerdekaannya, yang tersebar luas di seluruh negeri.

SPT dan NPMs akan diberikan kewenangan untuk melakukan kunjungan-kunjungan tanpa pemberitahuan ke semua tempat di mana orang dirampas kemerdekaannya termasuk, tetapi tidak terbatas pada, penjara, kantor-kantor polisi, lembaga-lembaga psikiatris, dan pusat-pusat rehabilitasi untuk anak-anak. Badan-badan kunjungan ini dapat melakukan wawancara secara tertutup dengan para tahanan dan staf yang bekerja di fasilitas-fasilitas tersebut. Sebagai tindak lanjut dari kunjungan yang dilakukan, kedua mekanisme diharapkan membuat rekomendasi-rekomendasi praktis yang ditujukan bagi para pejabat yang berwenang.

Pada saat diskusi ini dilakukan, SPT baru saja melakukan misi lapangannya yang pertama ke Mauritius pada Oktober 2007, dan sedang mempersiapkan kunjungan keduanya ke Maldives. Empat kunjungan yang dijadwalkan untuk tahun 2008, sebagai tambahan terhadap sejumlah kunjungan awal, dimaksudkan untuk memberikan SPT kesempatan untuk menghargai proses pembentukan NPMs di Negara-Negara Pihak, dan untuk lebih mengenal kerangka hukum dan kelembagaan mereka.

(5)

Meskipun pekerjaan yang dilakukan oleh SPT dan NPMs baru akan terasa pengaruhnya dalam jangka panjang, namun kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh kedua mekanisme tersebut memiliki konsekuensi positif yang bersifat segera, sebagaimana yang terjadi di Mauritius, di mana kunjungan SPT menyebabkan ditutupnya penjara yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi oleh karena kondisi di dalam penjara dipercaya tidak memenuhi standard-standard internasional yang berlaku.

B. RATIFIKASI OPCAT OLEH INDONESIA

Departemen Luar Negeri menekankan bahwa Indonesia mendukung sepenuhnya sistem pencegahan yang ditetapkan di dalam Protokol Opsional, dan bahwa Indonesia berkeinginan untuk menjadi pihak pada OPCAT tahun 2008 mendatang, sebagaimana ditetapkan di dalam Rencana Aksi Nasional untuk Hak Asasi Manusia 2004-2009 (RANHAM). Namun, Departemen Luar Negeri mengakui bahwa sejumlah lembaga kunci belum memperoleh pemahaman yang jelas mengenai OPCAT.

Para peserta diskusi mendapat informasi bahwa Pemerintah berinisiatif untuk melakukan studi akademis mengenai implikasi ratifikasi OPCAT bagi Indonesia, yakni sebuah proses penting bagi Parlemen untuk mempertimbangkan sebuah ratifikasi.

Implementasi OPCAT di Indonesia

Di satu sisi, OPCAT secara jelas menetapkan mandat, kewenangan, dan jaminan-jaminan yang diberikan kepada NPMs. Di sisi lain, OPCAT memberikan fleksibilitas kepada Negara-Negara Pihak untuk memutuskan bentuk kelembagaan yang paling cocok bagi mereka (badan tunggal atau ganda; penunjukan mekanisme yang ada atau membentuk sebuah struktur baru).

Sebagian besar peserta berpendapat bahwa Indonesia sudah memiliki cukup banyak lembaga negara, dan bahwa membentuk sebuah badan baru yang berfungsi sebagai NPMs akan sedikit tidak praktis dan ekonomis. Komnas HAM dinilai sebagai badan yang cukup potensial untuk mengambil peran NPMs, baik sendiri atau pun bersama-sama dengan lembaga negara yang lain.

Negara-Negara Pihak pada OPCAT, yang berkeinginan untuk membentuk atau menunjuk pelbagai badan sebagai NPMs, perlu menggarisbawahi isu koordinasi kerja dan hubungan dengan SPT dan pemangku-pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya di tingkat nasional, regional dan/atau internasional. Tanggung jawab ini dapat diberikan kepada satu komponen dari mekanisme, seperti halnya di New Zealand, di mana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diberikan kepercayaan untuk menjalankan peran ini, atau jika diperlukan, membentuk sebuah sekretariat.

Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan mengambil contoh Austria, di mana pemangku kepentingan di tingkat nasional menolak ide untuk membentuk mekanisme ganda karena mereka merasa bahwa akan lebih baik apabila badan-badan kunjungan tidak membatasi diri mereka pada satu jenis fasilitas penahanan. Di Austria, NPMs mengambil bentuk badan tunggal dengan kantor-kantor cabang di berbagai negara bagian (Länder). Model seperti ini dinilai lebih murah ketimbang bentuk satu tim tunggal yang berkedudukan di ibukota negara yang nantinya akan berpergian ke seluruh wilayah negeri.

(6)

Departemen Luar Negeri mengingatkan para peserta bahwa Indonesia memiliki badan-badan hak asasi manusia di sebagian besar propinsi, misalnya kantor-kantor perwakilan daerah Komnas HAM dan Komite untuk Implementasi Rencana Aksi Nasional, yang dibentuk di tingkat Kabupaten untuk menampung pengaduan-pengaduan individu terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Namun, penilaian secara seksama mengenai tingkat kesesuaian antara mekanisme-mekanisme yang ada tersebut dengan syarat-syarat yang ditetapkan dalam OPCAT sampai saat ini belum dilakukan.

Departemen Hukum dan HAM menyoroti beberapa tantangan penting di dalam menjamin bahwa kondisi penahanan telah sesuai dengan standard-standard internasional. Lebih lanjut, Departemen Hukum dan HAM menginformasikan kepada para peserta bahwa saat ini sebuah draf undang-undang sedang dikerjakan. Undang-Undang yang baru ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan untuk memonitor, secara rutin, semua fasilitas yang berada di bawah jurisdiksinya. Tampaknya Direktorat Hak Asasi Manusia sedang mengerjakan sebuah buku panduan yang akan digunakan oleh semua petugas lembaga pemasyarakatan. Ada optimisme yang kuat bahwa ratifikasi OPCAT oleh Indonesia akan memperkuat usaha-usaha untuk memperbaiki kondisi penahanan di seluruh negeri dan untuk mencegah praktik penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang.

C. PRAKTIK MONITORING TEMPAT-TEMPAT PENAHANAN DI INDONESIA

Selain Komite Palang Merah Internasional, yang telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan di Indonesia selama bertahun-tahun, dan kunjungan prosedur-prosedur khusus hak asasi manusia PBB, seperti misalnya Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, beberapa badan nasional juga telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan, sekalipun tidak secara sistematis:

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Meskipun Komnas HAM memiliki kewenangan untuk memonitor tempat-tempat penahanan, ia tidak memiliki kapasitas untuk melakukan kunjungan-kunjungan tersebut secara rutin. Kunjungan-kunjungan yang telah dilakukan bersifat sporadis, dan kebanyakan didasarkan atas pengaduan yang spesifik. Pada tahun 2005, Komnas HAM menandatangani sebuah MoU dengan POLRI. Namun, Komnas HAM belum dapat menyepakati MoU serupa dengan pejabat-pejabat lain yang memiliki kewenangan penahanan, termasuk dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Hal ini membuat Komnas HAM menahan diri untuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan di luar kantor-kantor polisi.

Sampai saat ini, kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum pernah dilakukan tanpa pemberitahuan (mendadak). Lebih lanjut, waktu kapan kunjungan akan dilakukan harus selalu dinegosiasikan terlebih dahulu dengan pejabat yang berwenang. Selama kunjungan, Komnas HAM dapat melakukan wawancara dengan orang-orang yang terampas kemerdekaannya, namun wawancara biasanya dilakukan di hadapan sipir penjara. Tim kunjungan terdiri dari penasihat-penasihat hukum, namun tidak mencakup kriminolog atau dokter forensik. Akibatnya, temuan-temuan yang diperoleh dari kunjungan sebagian besar menyangkut proses-proses hukum.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)

Komnas Perempuan dibentuk melalui Keputusan Presiden yang disahkan pada tahun 2005. Salah satu mandatnya adalah untuk melakukan monitoring terhadap implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan.

(7)

Komnas Perempuan telah melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan, khususnya dalam kerangka program yang ditujukan untuk memonitor kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Kunjungan-kunjungan ini umumnya dilakukan bersama dengan organisasi-organisasi di tingkat akar rumput, yang membantu di dalam mengumpulkan informasi dan menganalisa data. Di Aceh, Komnas Perempuan tidak akan mendapatkan akses ke pusat-pusat penahanan jika tanpa persetujuan dari pemerintah lokal dan hanya diizinkan untuk bertemu dengan tahanan perempuan.

Sejauh ini, Komnas Perempuan belum mengunjungi tempat-tempat penahanan di luar Aceh. Komnas Perempuan tidak dapat memprediksi perkembangan yang akan terjadi dan tidak berambisi untuk menjalankan program monitoring dalam waktu dekat, mengingat kendala-kendala sumber daya yang dihadapi.

Monitoring yang dilakukan oleh LSM: Pengalaman LBH Jakarta

Tahun 2005, LBH Jakarta melakukan sebuah studi mengenai kondisi penjara di ibukota Jakarta. Untuk tujuan tersebut, LBH Jakarta memperoleh izin dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk masuk ke pusat-pusat penahanan. Selain contoh tersebut di atas, akses LSM untuk masuk ke tempat-tempat penahanan sangat dibatasi.

LBH Jakarta mengungkapkan keinginannya agar peran LSM diperkuat dan diberikan akses ke tempat-tempat penahanan. Pada saat OPCAT diratifikasi, penting untuk dipertimbangkan bagaimana NPMs nantinya akan melibatkan LSM dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

D. LANGKAH-LANGKAH DAN STRATEGI KE DEPAN UNTUK RATIFIKASI OPCAT

Perlunya peningkatan kesadaran lebih lanjut mengenai OPCAT:

1. Meskipun telah disahkan pada tahun 2002, kebanyakan orang masih belum mengenal betul tentang OPCAT, termasuk pejabat-pejabat pemerintah. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyadarkan berbagai pihak mengenai pentingnya OPCAT, baik melalui acara-acara publik atau sesi-sesi briefing khusus. Kampanye harus menjangkau semua pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki aktivitas yang bersinggungan dengan OPCAT, seperti misalnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Polri, dan TNI.

2. Materi-materi mengenai OPCAT (dalam Bahasa Indonesia) yang baru-baru ini diterbitkan oleh ELSAM dan APT harus didiseminasikan untuk kampanye ratifikasi.

3. Pentingnya kerja sama antar departemen untuk mengangkat isu ini telah dilakukan oleh Departemen Hukum dan HAM, dalam rangka koordinasi untuk segera meratifikasi OPCAT. Departemen Luar Negeri mengusulkan agar organisasi-organisasi seperti APT dan ELSAM turut andil di dalam konsultasi-konsultasi antar departemen.

4. Rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan agar Indonesia meratifikasi OPCAT dan memperkuat kapasitas badan-badan independen seperti Komnas HAM untuk melakukan kunjungan-kunjungan yang lebih sistematis, dapat digunakan untuk mendesak para pemangku kepentingan untuk melakukan terobosan.

5. Diskusi-diskusi lanjutan mengenai ratifikasi OPCAT akan sangat terkait erat dengan isu-isu seperti kriminalisasi penyiksaan dan bentuk-bentuk lain dari tindakan sewenang-wenang.

(8)

Studi akademis dan proses legislasi:

1. Departemen Luar Negeri menyambut baik tawaran ini dan mengusulkan agar partner lokal APT di Indonesia, yakni ELSAM, dilibatkan di dalam proses tersebut.

2. Terdapat usulan agar ratifikasi OPCAT dimasukkan ke dalam agenda legislatif sebagai prioritas utama.

Memperkuat kapasitas NPMs yang potensial:

1. Hal serupa, penting untuk mulai melakukan penilaian terhadap kapasitas dari sistem-sistem monitoring yang ada terkait dengan syarat-syarat yang ditetapkan di dalam OPCAT.

2. Pentingnya melatih lembaga-lembaga yang ada – yang pada suatu kondisi tertentu dapat ditunjuk sebagai NPMs – mengenai bagaimana cara melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan, disoroti sebagai sebuah prioritas. Badan-badan pengawas ini pada akhirnya harus memperluas cakupan kerja mereka dan mempertimbangkan tempat-tempat penahanan yang tidak konvensional, seperti misalnya lembaga-lembaga psikiatris. APT menegaskan kembali komitmennya untuk terlibat di dalam kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas pada tahun 2008 mendatang, dengan menggunakan Pedoman APT yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tentang monitoring tempat-tempat penahanan.

3. Perlu diingat bahwa proses ratifikasi OPCAT akan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, sambil menunggu ratifikasi dilakukan, akan lebih baik apabila kita mulai memikirkan bentuk seperti apa yang paling tepat untuk NPMs di Indonesia.

E. LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN LAIN YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN

Masih terdapat cara lain untuk mencegah penyiksaan selain daripada kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh pakar-pakar independen, sebagaimana telah disampaikan oleh Komite PBB Menentang Penyiksaan di dalam Komentar Umum tentang Pasal 2 Konvensi.

Memiliki kerangka legislatif yang secara efektif memungkinkan dilakukannya investigasi dan penuntutan terhadap kasus-kasus penyiksaan merupakan salah satu cara yang paling efektif dari skema pencegahan yang komprehensif. Namun, seperti halnya Negara-Negara Pihak lainnya pada Konvensi, Indonesia belum mengkriminalisasi penyiksaan di dalam peraturan hukum pidananya. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan rencananya untuk mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru dan menjamin bahwa kejahatan penyiksaan akan diatur secara terpisah.

Beberapa peserta menggarisbawahi fakta bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak memberikan kesempatan untuk dilakukannya penuntutan yang efektif terhadap tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. KUHP yang berlaku saat ini tidak memberikan sanksi yang memadai kepada mereka yang terbukti bersalah melakukan tindakan-tindakan semacam itu dan tidak secara jelas melarang penggunaan bukti-bukti yang diperoleh melalui penyiksaan.

Rancangan KUHP dan KUHAP harus segera diserahkan kepada Parlemen. APT menegaskan kembali keinginannya untuk memberikan dukungan dalam bentuk nasihat-nasihat hukum atau bantuan teknis, apabila dirasa perlu oleh Pemerintah Indonesia.

(9)

F. KESIMPULAN

Tahun 2008 mendatang menjanjikan peristiwa-peristiwa penting bagi Indonesia di dalam forum hak asasi manusia internasional. Selain akan diuji pada bulan April 2008 terkait dengan Universal Periodic Review (UPR), laporan berkala kedua Indonesia juga akan didiskusikan di dalam sesi Komite Menentang Penyiksaan pada bulan Mei 2008.

Meskipun Indonesia telah mengambil beberapa langkah penting pada bulan-bulan terakhir, khususnya dengan menjadi pihak pada dua kovenan internasional (ICCPR dan ICESCR), penilaian awal yang dibuat oleh Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan setelah selesai melakukan kunjungan lapangannya1 memperlihatkan masalah-masalah yang serius. Oleh karena itu, ia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyikapi masalah-masalah tersebut dengan segera. Menariknya, terkait dengan fokus kita, yakni pencegahan penyiksaan, Pelapor menyatakan bahwa:

“Tidak ada badan nasional independen yang secara rutin memonitor tempat-tempat penahanan. Menurut pengalaman, mekanisme-mekanisme monitoring semacam itu, yang memiliki kewenangan untuk melakukan kunjungan-kunjungan tanpa pemberitahuan (mendadak), merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penyiksaan. Pelapor Khusus memberikan pujian terhadap Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia (2004-2009), yang pada tahun 2008, menetapkan ratifikasi OPCAT yang mensyaratkan pembentukan

mekanisme semacam itu. Ia beranggapan bahwa aksesi pada instrumen penting ini dan

implementasinya yang efektif, akan mendasari langkah-langkah ke depan yang sangat penting di dalam mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang di masa yang akan datang.”

Pelapor Khusus juga bersemangat untuk melihat Komnas HAM meningkatkan kapasitasnya untuk melakukan kunjungan-kunjungan secara rutin, dan secara formal mengusulkan agar Indonesia “mendukung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menjadi pemain yang efektif di dalam perjuangan melawan penyiksaan, terkait dengan peran mereka di dalam melakukan monitoring dan menghapus impunitas”.

APT dan ELSAM menyadari bahwa Indonesia menghadapi pelbagai tantangan yang luar biasa, dan bahwa transformasi struktural yang mungkin diperlukan, akan memakan waktu dan usaha yang berkelanjutan. Namun demikian, kami tetap berkomitmen pada proses ini, sebagaimana dapat dilihat dari niat kami untuk terlibat di dalam upaya melakukan pengembangan kapasitas mengenai metodologi kunjungan dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan pemangku kepentingan yang relevan lainnya.

Meskipun ratifikasi OPCAT akan memakan waktu yang lebih lama dari yang dijadwalkan, APT dan ELSAM tetap ingin menyarankan agar instrumen ini ditandatangani sebelum proses Universal Periodic Review (UPR) dan sesi Komite Menentang Penyiksaan berlangsung. Hal ini akan memberikan gambaran yang jelas bahwa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk mencegah penyiksaan.

1

Lihat siaran pers, 23 November 2007: http://www.unhchr.ch/huricane/huricane.nsf/view01/1AA22BE858AA5 DA9C125739C00342359?opendocument.

(10)

High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan

Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

MENGENAL PROTOKOL

OPSIONAL UNTUK

KONVENSI PBB

MENENTANG PENYIKSAAN

(OPCAT)

Hotel Borobudur 23 Juni 2011

(11)

Protokol Opsional untuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan:

Pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan

Apakah Protokol Opsional?

Pada tanggal 18 Desember 2002, Sidang Umum PBB mengesahkan Protokol Opsional untuk Konvensi PBB menentang Penyiksaan (OPCAT). Tujuan dari OPCAT adalah untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya dengan membentuk suatu sistem kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan yang dilakukan oleh badan-badan independen internasional dan nasional.

Siapa yang dapat meratifikasi?

Hanya negara yang telah meratifikasi atau menerima Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dapat meratifikasi atau menerima OPCAT.

Apa yang diperlukan?

Meskipun penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan tidak manusiawi lainnya dilarang berdasarkan hukum internasional, tindakan-tindakan kejam ini masih terus dilakukan secara meluas. Orang yang dirampas kebebasannya adalah mereka yang paling berisiko karena mereka diputuskan dari dunia luar dan sepenuhnya tergantung pada yang berwenang dalam pemenuhan kebutuhan dan hak mereka yang paling dasar. OPCAT menawarkan pendekatan baru karena tidak satu pun perjanjian internasional yang menawarkan langkah-langkah konkrit untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran ini di tempat-tempat penahanan di seluruh dunia.

Bagaimana kunjungan-kunjungan regular tersebut dapat mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk tindakan sewenang-wenang lainnya?

Pengalaman praktis menunjukkan bahwa kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat penahanan merupakan salah satu sarana yang paling efektif untuk mencegah penyiksaan dan memperbaiki kondisi penahanan. Kunjungan-kunjungan tersebut tidak hanya memiliki efek jera namun juga memungkinkan para ahli untuk memeriksa secara langsung perlakuan terhadap orang yang dirampas kebebasannya dan kondisi penahanan mereka.

Banyak persoalan bermula dari tidak memadainya sistem yang dapat diperbaiki melalui monitoring regular.

Para ahli pelaksana kunjungan dapat membuat rekomendasi untuk perbaikan dan membentuk dialog yang konstruktif dengan pejabat berwenang yang terkait untuk membantu mereka mengatasi persoalan yang mereka ketahui atau cermati.

(12)

Bagaimana Protokol Opsional bekerja?

OPCAT akan membentuk suatu sistem kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan yang dilakukan oleh badan ahli independen di tingkat nasional maupun internasional yang saling melengkapi. Setelah ratifikasi atau penerimaan OPCAT, Negara-negara Pihak akan memperoleh kunjungan-kunjungan yang tidak diumumkan dari badan-badan ini ke tempat-tempat penahanan.

Sub-komite Internasional

Badan pertama dalam sistem kunjungan ini berupa suatu badan internasional baru, ‘Sub-komite’ dari Komite PBB Menentang Penyiksaan. Badan ini pada awalnya terdiri dari 10 ahli independen dari berbagai disiplin yang akan melakukan kunjungan-kunjungan regular ke tempat-tempat penahanan di seluruh Negara Pihak.

Mekanisme Pencegahan Nasional

Bagian kedua dari sistem ini akan berupa kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh badan-badan nasional. Saat OPCAT mulai berlaku, dalam satu tahun setelah ratifikasi, atau penerimaannya, Negara-negara Pihak harus memiliki satu atau lebih Mekanisme Pencegahan Nasional. Tidak ada satu tipe mekanisme nasional khusus yang diatur, oleh karenanya, Komisi Hak Asasi, Ombudsman, Komisi Parlemen, atau NGO dapat ditunjuk untuk menjalankan fungsi ini. Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa badan-badan nasional ini berfungsi tanpa campur tangan dari pejabat-pejabat negara.

Apa yang dilakukan oleh badan-badan pelaksana kunjungan?

Baik badan internasional maupun nasional akan melakukan kunjungan secara regular ke tempat-tempat penahanan dan dapat melakukan wawancara pribadi dengan orang-orang yang mereka tentukan atau pilih. Segera sesudah kunjungan, badan-badan ini akan merumuskan rekomendasi-rekomendasi perbaikan mengenai perlakuan dan kondisi penahanan dari orang-orang yang dirampas kebebasannya. Untuk membentuk suasana kerja sama laporan Sub-komite akan bersifat rahasia, kecuali apabila Negara Pihak yang terkait memberikan persetujuan atas publikasi laporan tersebut, atau gagal bekerja sama dengan ahli-ahli pelaksana kunjungan. Kerahasiaan bukanlah suatu keharusan bagi badan pelaksana kunjungan di tingkat nasional.

Badan-badan ini kemudian akan melanjutkan kerja dengan pejabat-pejabat yang relevan mengenai implementasi rekomendasi mereka. Mereka juga akan bekerja bersama, bertukar informasi dan saran.

Tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi?

Tempat-tempat penahanan secara umum didefinisikan oleh OPCAT dan seharusnya mencakup: kantor-kantor polisi, markas-markas angkatan bersenjata, seluruh pusat-pusat penahanan sebelum persidangan, penjara selama masa persidangan, penjara untuk mereka yang telah dijatuhi pidana, pusat rehabilitasi anak-anak muda, pusat-pusat imigrasi, zona-zona transit di bandara-bandara internasional, pusat penahanan para pencari suaka, institusi-institusi psikiatris, dan tempat-tempat penahanan administratif.

(13)

Apa yang perlu dilakukan saat ini?

OPCAT membutuhkan ratifikasi 20 negara untuk dapat berlaku. Sampai dengan Juni 2011, terdapat 68 Negara Penandatangan dan 59 Negara Pihak pada OPCAT.

Negara Pihak pada Konvensi PBB Menentang Penyiksaan harus secara serius mempertimbangkan untuk meratifikasi OPCAT sesegera mungkin. Institusi nasional dan lainnya yang mempromosikan hak asasi manusia dari orang yang dirampas kebebasananya perlu mengetahui peran potensialnya sebagai Mekanisme Pencegahan Nasional berdasar OPCAT.

Perdebatan nasional mengenai pencegahan penyiksaan seharusnya didorong dengan pertimbangan pengadopsian OPCAT. Masyarakat sipil seharusnya aktif mempromosikan dan terlibat dalam proses ratifikasi dan implementasi OPCAT.

(14)

Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan:

Apa Nilai Tambah dari Pencegahan?

2

Protokol Opsional (OPCAT) mulai berlaku pada bulan Juni 2006. Hal ini terbuka untuk diratifikasi oleh Negara-negara Pihak pada Konvensi PBB Menentang Penyiksaan. OPCAT menciptakan sebuah sistem kunjungan pencegahan ke tempat-tempat penahanan oleh para ahli dari Sub-komite internasional untuk Pencegahan Penyiksaan (SPT) dan Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM). Negara-negara Pihak sepakat untuk memungkinkan para ahli dari SPT dan NPM, tanpa hambatan, untuk mengakses tempat-tempat penahanan yang tidak terbatas pada penjara, tetapi juga semua tempat di mana orang dirampas kebebasannya. Sub-komite dapat mengeluarkan rekomendasi konkrit yang dimaksudkan untuk mencegah penyiksaan.

Berdasarkan OPCAT, Negara diwajibkan untuk mengangkat atau memebentuk sebuah mekanisme pencegahan penyiksaan di tingkat nasional. Fitur inovatif ini yang membedakan OPCAT dari semua perjanjian hak asasi manusia PBB lainnya yang memberikan mandat monitoring atas pelaksanaan perjanjian hanya kepada badan-badan internasional saja.

OPCAT juga menetapkan Dana Khusus untuk membantu membiayai implementasi rekomendasi Sub-komite serta untuk mendukung program-program pendidikan Mekanisme Pencegahan Nasional. Pelaksanaan mandat Sub-komite berikut dipandu oleh prinsip-prinsip kerahasiaan, kenetralan, universalitas non-selektivitas, dan objektivitas:

1. Untuk mengunjungi tempat-tempat di mana individu dirampas kebebasannya secara teratur, termasuk kunjungan-kunjungan tindak lanjut;

2. Untuk bekerja dengan dan membantu mengembangkan Mekanisme Pencegahan Nasional; 3. Untuk bekerja sama, dalam hal pencegahan penyiksaan secara umum, dengan badan-badan

dan mekanisme-mekanisme yang relevan, serta dengan badan-badan internasional, regional dan nasional yang bekerja untuk memperkuat perlindungan bagi semua orang terhadap penyiksaan.

Nilai Tambah dari Pencegahan Penyiksaan

OPCAT menambahkan lapisan baru pada perlindungan yang telah ditawarkan oleh Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia lainnya melalui mekanisme pemantauan internasional (Sub-komite) dan nasional (NPM). Sub-komite, sebagai badan kunjungan internasional, dan Mekanisme Pencegahan Nasional, masing-masing adalah komponen dari sistem pemantauan yang baru. Kedua mekanisme ini akan bekerja secara simultan dan dengan cara yang saling melengkapi dalam upaya untuk memastikan pencegahan terhadap penyiksaan dan perlakuan buruk sewenang-wenang lainnya.

2

Disarikan dari makalah Wilder Tayler, Anggota Sub-Komite Internasional untuk Pencegahan Penyiksaan yang disampaikan dalam High-Level Meeting “Mencegah Penyiksaan: Langkah ke depan bagi Indonesia”, November 2007.

(15)

Sistem kunjungan yang diatur dalam OPCAT memiliki fitur khusus yang membedakannya dari mekanisme-mekanisme perlindungan lain, yakni bahwa sistem kunjungan OPCAT didasarkan pada

prinsip-prinsip kerjasama, keteraturan, tindakan pencegahan dan segera. Terdapat 3 nilai tambah

dari pencegahan penyiksaan yang ditawarkan oleh OPCAT.

Pertama, sistem kunjungan pencegahan yang baru ini sangat penting mengingat bahwa sistem ini melengkapi dan memperkuat sistem perlindungan yang tersedia yang pada umumnya efisien dalam hal reaktif, tetapi tidak selalu dapat mengatasi penyebab langsung dari penyiksaan dan mencegah terjadinya penyiksaan.

Kedua, Negara Pihak dapat menunjuk, membentuk atau mempertahankan mekanisme-mekanisme pencegahan penyiksaan di tingkat nasional. Mekanisme-mekanisme ini pada dasarnya melaksanakan fungsi yang sama seperti Sub-komite Pencegahan. Namun, mereka memiliki nilai lebih ketimbang Sub-komite: selain dari kesiapan mereka untuk melakukan kunjungan ke tempat-tempat penahanan - yang juga merupakan fungsi Sub-komite - mereka juga dapat melakukan tugas ini secara permanen dan dengan demikian menjamin kelangsungan fungsi pemantauan.

Mekanisme Pencegahan Nasional dapat menjalankan fungsi pencegahan yang diamanatkan oleh OPCAT secara rutin dan berkelanjutan. Sedangkan mekanisme pemantauan hak asasi manusia internasional hanya dapat menjalankan fungsi tersebut secara berkala: misalnya melalui laporan-laporan Negara Pihak mengenai implementasi perjanjian hak asasi manusia yang telah diratifikasi di tingkat nasional.

Kehadiran mekanisme pemantauan nasional memiliki fitur penting lainnya yang tidak ditawarkan oleh mekanisme pemantauan hak asasi manusia internasional. Kedekatan dengan Pemerintah dan masyarakat sipil meningkatkan kemampuan NPM untuk mengusulkan, membahas dan menerapkan langkah-langkah pencegahan bersama. Dari sudut pandang operasional, akses cepat terhadap informasi yang relevan (yang disediakan oleh LSM lokal atau kerabat dari orang-orang yang dirampas kebebasannya), serta terhadap para pengambil keputusan, memungkinkan NPM untuk bereaksi terhadap situasi mendesak atau krisis dan dengan demikian membantu mencegah risiko kekerasan. Akhirnya, kehadiran NPM yang berkelanjutan di lapangan seharusnya dapat membangun rasa percaya antara mekanisme pencegahan domestik dan otoritas terkait.

NPM dan Sub-komite akan bekerja secara komplementer dan terkoordinasi. Mereka adalah bagian dari sistem yang sama, berbagi tujuan bersama dan akan memiliki metode kerja yang sama. Sebagai mitra alami, mereka akan perlu menetapkan garis-garis komunikasi dan sistem pertukaran informasi yang koheren, permanen dan efisien. Hal ini akan memungkinkan badan-badan internasional dan nasional untuk menyelaraskan rekomendasi, berkoordinasi secara reguler dan melakukan kunjungan tindak lanjut dan bekerjasama dalam pelaksanaan inisiatif-inisiatif pencegahan lainnya.

Ketiga, maksimalisasi upaya perlindungan yang ditawarkan oleh sistem kunjungan. Dalam rangka melaksanakan mandat mereka, NPM dan Sub-komite perlu memeriksa dan membuat rekomendasi tentang situasi-situasi yang mempengaruhi hak asasi manusia dari orang-orang yang dirampas kebebasannya. Dalam menganalisis kelemahan-kelemahan sistem penjara atau peradilan yang memfasilitasi penyiksaan atau perlakuan buruk, aspek-aspek berikut harus diperhatikan:

(16)

1. Dasar dan prosedur yang sah berdasarkan hukum untuk merampas kebebasan seseorang, serta upay-upaya perlindungan yang disyaratkan pada saat penangkapan dilakukan. Banyak kasus perlakuan buruk atau penyiksaan terjadi di tahap awal penahanan, dan praktik telah menunjukkan bahwa hal ini memang benar ketika penangkapan dan penahanan dilakukan secara sewenang-wenang.

2. Bagaimana informasi tentang hak-hak tahanan diberikan, termasuk hak untuk mengetahui alasan penahanan seseorang. Orang yang tidak mengetahui alasan penahanan mereka atau hak-hak mereka tidak dapat melakukan apapun untuk membela hak-hak tersebut.

3. Akses terhadap pengacara pilihannya sendiri atau terhadap bantuan hukum merupakan upaya perlindungan yang penting terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Berdasarkan standar internasional, seseorang yang ditangkap harus memiliki akses terhadap pengacara sesegera mungkin, dan pengacara tersebut harus hadir pada saat pemeriksaan pertama.

4. Hak habeas corpus dan upaya-upaya hukum lainnya untuk melindungi tahanan merupakan

upaya perlindungan lain yang sangat penting terhadap penyiksaan, seperti halnya hak tahanan untuk memiliki akses terhadap dokter, perawatan medis dan berkomunikasi dengan keluarga mereka. Dipahami secara luas bahwa kondisi incommunicado atau penahanan rahasia adalah situasi yang paling kondusif untuk penyiksaan.

5. Kondisi penahanan juga dapat dipersamakan dengan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia dan masuk dalam lingkup mekanisme pencegahan OPCAT. Kondisi tersebut meliputi keadaan fisik dari fasilitas penahanan, makanan dan air, kebersihan, rekreasi, kontak tahanan dengan dunia luar, dan lain-lain.

6. Kelompok-kelompok tertentu, seperti perempuan, anak-anak, orang asing atau penyandang cacat sangat rentan dan oleh karenanya berhak atas langkah-langkah perlindungan khusus ketika dirampas kebebasannya.

7. Masalah pembuktian juga perlu dipertimbangkan. Penting bahwa mekanisme pencegahan memeriksa bobot pembuktian sistem hukum tertentu yang bersandar pada pengakuan. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika sebuah sistem hukum menetapkan pengakuan sebagai satu-satunya dasar penghukuman tanpa memerlukan bukti yang menguatkan, kejadian penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang lainnya meningkat.

8. Pendekatan komprehensif pencegahan penyiksaan perlu memperhatikan langkah-langkah melawan impunitas dan mekanisme pengaduan yang berlaku.

(17)

Definisi Tempat-tempat Penahanan berdasarkan OPCAT

Tempat di mana orang-orang mengalami pengurangan atau perampasan kebebasan dirumuskan secara umum dalam OPCAT, yang mencakup:

Kantor-kantor Polisi

Kantor-kantor satuan keamanan

Pusat-pusat penahanan sebelum persidangan

Tempat penahanan dalam masa persidangan

Penjara bagi terpidana yang telah dijatuhi hukuman

Pusat rehabilitasi anak-anak

Pusat-pusat imigrasi

Area transit di bandara-bandara internasional

Kantor untuk pencari suaka

Institusi rehabilitasi mental

Tempat penahanan administratif

(18)

High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan

Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

PENTINGNYA

PEMANTAUAN TERHADAP

TEMPAT-TEMPAT

PENAHANAN

Hotel Borobudur 23 Juni 2011

(19)

Monitoring Tempat-tempat Penahanan melalui Kunjungan-kunjungan

3

Apa yang dimaksud dengan Monitoring Tempat-tempat Penahanan?

Monitoring menggambarkan proses, sepanjang waktu, dari pemeriksaan regular atas semua aspek dari penahanan. Pemeriksaan dapat melibatkan semua atau beberapa kategori orang yang dirampas kebebasannya dalam satu atau lebih tempat penahanan.

Seluruh aspek penahanan saling tergantung satu dengan yang lain dan harus diperiksa dalam kaitannya antara satu dengan yang lainnya.

Kondisi hidup selama masa penahanan

Sistem penahanan (aktivitas, kontak dengan dunia luar)

Akses pada perawatan kesehatan

Pengorganisasian dan pengelolaan tahanan dan personel, juga relasi antara tahanan yang satu dengan lainnya, dan antara tahanan dengan pejabat yang berwenang atas penahanan. Monitoring mencakup pengiriman hasil pemeriksaan secara lisan maupun tertulis kepada otoritas yang terkait, dan dalam beberapa kasus, ke pihak lain yang terlibat dalam perlindungan atas orang-orang yang dirampas kebebasannya di tingkat nasional maupun internasional, dan kepada media. Hal ini juga mencakup tindak lanjut berkaitan dengan implementasi dari rekomendasi yang diberikan kepada pejabat yang berwenang.

Arti Penting Monitoring

Monitoring kondisi tempat penahanan secara mutlak penting untuk berbagai alasan:

Perampasan kebebasan seseorang merupakan suatu tindakan “coersive” (kekerasan) yang serius oleh negara, dengan risiko yang inheren terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

Dengan hilangnya kebebasan, orang yang ditahan menjadi tergantung hampir seluruhnya kepada otoritas dan pejabat publik untuk menjamin perlindungannya, hak dan sarana untuk keberadaannya.

Kesempatan bagi orang yang dirampas kebebasannya untuk mempengaruhi nasib mereka sendiri sangat terbatas, bila tidak dikatakan tidak ada.

Tempat-tempat penahanan yang menurut definisinya tertutup dan menjaga orang yang ditahan jauh dari penglihatan masyarakat.

Di sepanjang waktu dan semua tempat, orang yang dirampas kebebasannya merupakan orang yang rentan dan berada dalam risiko untuk diperlakukan tidak semestinya dan bahkan disiksa. Hal ini berarti bahwa mereka harus menerima perlindungan yang lebih melalui monitoring kondisi mereka di tempat penahanan.

3

(20)

Harus dicatat bahwa fakta yang menunjukkan mekanisme monitoring telah diintegrasikan ke dalam sistem perlindungan yang permanen bagi orang-orang yang dirampas kebebasannya tidak selalu berarti terdapat persoalan serius di tempat-tempat penahanan, atau kurangnya rasa percaya diri yang luas terhadap pejabat yang bertanggung-jawab atas tempat penahanan.

Ini lebih merupakan suatu hal yang mendudukkan kesenjangan kewenangan yang besar dalam hubungan antara yang ditahan dan yang menahan pada pemeriksaan eksternal oleh suatu badan yang diberikan kekuasan untuk melakukan intervensi dalam kasus penyalahgunaan kewenangan ini. Mekanisme kontrol ini mempromosikan hak asasi manusia, membantu membatasi risiko dari tindakan yang sewenang-wenang dan mengatur tindakan-tindakan yang berlebihan terhadap mereka yang dirampas kebebasannya.

Mereka juga berkontribusi terhadap transparansi dan akuntabilitas dari tempat-tempat perampasan kebebasan, dengan demikian meningkatkan legitimasi manajemen tempat-tempat tersebut dan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.

Kunjungan ke Tempat-tempat Penahanan - Perangkat Utama untuk Monitoring

Tempat-tempat penahanan pada dasarnya dimonitor melalui kunjungan-kunjungan ke tempat orang ditahan. Kunjungan-kunjungan ini memiliki fungsi yang bervariasi:

ƒ

Fungsi preventif: Fakta sederhana bahwa seseorang dari luar secara regular memasuki

suatu tempat penahanan dengan sendirinya berkontribusi atas perlindungan bagi mereka yang ditahan di sana.

Perlindungan langsung: Kunjungan lapangan memungkinkan untuk bereaksi secepatnya

terhadap persoalan yang menimpa tahanan yang belum ditangani oleh pegawai yang sedang bertugas.

Dokumentasi: Selama kunjungan, aspek-aspek yang berbeda dari tempat penahanan dapat

diperiksa dan kelayakannya dapat dinilai; informasi yang dikumpulkan menyediakan suatu landasan untuk menyusun suatu penilaian dan mendokumentasikannya, dan untuk melakukan pembenaran atas tindakan pembenahan yang diusulkan. Kunjungan juga memberikan kesempatan untuk mendokumentasikan aspek-aspek tertentu dari tempat penahanan, yang dapat ditanggapi dalam studi tematik.

Landasan untuk berdialog dengan pejabat penahanan yang berwenang: Kunjungan

memungkinkan untuk membuat dialog langsung dengan pejabat dan petugas yang sedang bertugas di fasilitas tempat penahanan. Dialog ini, sejauh mungkin, karena didasarkan kepada rasa saling menghormati, mengarah ke pengembangan suatu relasi kerja yang konstruktif di mana dapat diperoleh sudut pandang petugas mengenai kondisi kerja mereka, dan persoalan-persoalan yang mungkin telah mereka identifikasi. Selain itu, patut dicatat bahwa orang yang dirampas kebebasannnya memiliki kontak langsung dengan orang di luar yang menaruh perhatian pada kondisi mereka merupakan suatu yang penting dan merupakan suatu bentuk perlindungan sebagaimana juga suatu dukungan moral.

(21)

Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh Lembaga-lembaga Negara

4 Di Indonesia, terdapat sejumlah lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pemantauan, termasuk di dalamnya pemantauan dan kunjungan terhadap tempat-tempat tahanan. Hal ini tentunya dengan tetap mengefektifkan kinerja lembaga pengawas internal yang berada di masing-masing lembaga atau institusi atau departemen terkait, misalnya hakim pengawas pemasyarakatan (Wasmat) dan Inspektorat Jenderal Pemasyarakatan (Itjenpas) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan atau Bidang Profesi dan Pengamanan di tingkat Polda dan Divisi Profesi dan Pengamanan di tingkat Mabes POLRI.

Lembaga-lembaga negara yang memiliki potensi untuk ditunjuk sebagai Mekanisme Nasional Pencegahan Penyiksaan di bawah ketentuan OPCAT, dengan mengupayakan sejumlah penyesuaian melalui lembaga legislatif menyangkut mandat, sumber daya manusia dan sumber daya keuangan, dan penyesuaian praktik-praktik kerja biasanya akan diperlukan. Lembaga-lembaga tersebut antara lain:

Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tujuan berdirinya Komnas HAM adalah untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Komnas HAM juga diharapkan mampu meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM diberi tugas dan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia

Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan lembaga independen yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperbaharui melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Tujuan berdirinya Komnas Perempuan adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak asasi perempuan dan meningkatkan upaya pencegahan serta penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas Perempuan memiliki wewenang dan tugas, yaitu menyebarluaskan pemahaman dan upaya penghapusan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan, pengkajian dan penelitian, pemantauan, memberikan saran kepada pemerintah, eksekutif dan yudikatif serta organisasi masyarakat, serta mengembangkan kerja sama regional dan internasional.

4

Disarikan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, “Kertas Kerja: Standar tentang Mekanisme Nasional untuk Pencegahan Penyiksaan di Indonesia”, Februari 2009.

(22)

Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI memiliki tugas: a) melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; serta b) memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Ombudsman Republik Indonesia (ORI)

Ombudsman Republik Indonesia (ORI) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi pemerintahan lainnya, dan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. ORI dibentuk berdasarkan UU No. 37 tahun 2008 dan berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Hukum Negara, serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan layanan publik tertentu. ORI memiliki tugas antara lain: menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melalukan pemeriksaan substansi atas laporan, melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan mal-administrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya, serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, ORI tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Selain lembaga-lembaga di atas, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat membantu efektifitas kerja mekanisme nasional pencegahan penyiksaan, terutama dalam kaitan dengan perlindungan saksi dan korban. LPSK adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan bertanggung jawab kepada Presiden. LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan, bantuan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK harus mempertimbangkan syarat-syarat, seperti sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban, tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban, hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban, dan rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban. LPSK berkewajiban memberikan perlindungan sepenuhnya kepada saksi dan/atau korban, termasuk keluarganya.

(23)

Monitoring Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional

5

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan oleh LSM Nasional

Di beberapa negara, badan monitoring khusus telah dibentuk di bawah satu kementerian tertentu. Badan-badan ini kerap memiliki mandat ganda, baik untuk mengawasi kondisi tempat penahanan yang berada dalam kontrol kementerian tersebut, maupun untuk emmberika saran perbaikan yang diperlukan kepada menteri yang bersangkutan. Badan-badan semacam ini dapat beranggotakan pejabat pemerintahan, perwakilan LSM, anggota-anggota independen yang berasal dari kelompok masyarakat sipil (orang biasa) atau merupakan kombinasi dari unsur-unsur tersebut. Badan ini biasanya mengeluarkan rekomendasi yang tidak mengikat. terkadang rekomendasi ini dipublikasikan dalam bentuk laporan-laporan.

LSM-LSM hak asasi manusia nasional dan organisasi-organisasi masyarakat sipil telah berhasil memperoleh otoritas dan kesepakatan untuk secara reguler memantau tempat-tempat penahanan. Pemantauan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil biasanya ditandai oleh tingginya tingkat independensi dari otoritas yang berwenang, dan publisitas atas temuan-temuan serta laporan-laporan, lebih sering khususnya hal tersebut disebabkan oleh kemandirian atau independensi dan persepsi bahwa hal tersebut membuat temuan-temuan mereka menjadi lebih jujur dan terbuka. Meskipun demikian, landasan hukum dari pemantauan itu sendiri terkadang lemah, yaitu hanya didasarkan pada kesepakatan tertulis dengan menteri-menteri yang berbeda, atau dengan kementerian yang bersangkutan. Ini menyebabkan pemantau-pemantau tersebut bergantung pada kemauan politik dari pejabat yang berwenang. Di beberapa negara, kurangnya pendanaan bahkan untuk membiayai transportasi perjalanan menyebabkan pemantauan yang konsisten hampir tidak mungkin dijalankan oleh kelompok-kelompok independen tersebut.

Perlunya Pelibatan LSM nasional dalam Pemantauan Kondisi Tempat-tempat Penahanan

Mengapa LSM perlu didorong untuk terlibat dalam pemantauan tempat-tempat penahanan, mengingat telah ada berbagai bentuk kontrol baik secara teori maupun praktik di tataran nasional? Ada beberapa alasan mengapa LSM harus dilibatkan dalam fungsi ini, yaitu:

Inspeksi atau pemantauan oleh organ lembaga pemerintahan itu sendiri itu penting, tetapi, secara definisi, tidak independen.

Sistem kontrol eksternal tidak selalu efektif atau tidak cukup sering untuk memenuhi peran dasar mereka sebagai suatu mekanisme pengatur.

Inspeksi terkadang bersifat superficial; lebih kepada aspek-aspek formal dan birokratis, bukannya hal-hal yang terkait organisasi atau bagaimana menangani orang-orang yang ditahan, yang mana hal tersebut lebih sulit diperiksa dan lebih sensitif;

Pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional, meskipun penting, tapi tidak karakter “kebereadaan yang permanen” yang sangat penting.

5

(24)

Kekuatan LSM Nasional

Sejauh tindakan-tindakan mereka terikat pada prinsip-prinsip independensi, kompeten, dan etika serta instansi yang berwenang menjamin diberikannya standar minimum untuk melaksanakan kerja-kerja mereka secara memadai, LSM nasional memiliki kekuatan yang besar untuk memberikan kontribusi yang membangun bagi perlindungan orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Secara singkat, kekuatan utama mereka adalah sebagai berikut:

1. Keberadaan yang permanen

Perlindungan orang-orang yang diramaps kemerdekaannya merupakan suatu proses yang berlanjut, yangmana harus dijalani tanpa melihat situasi sosial dan politik dari suatu negara.

LSM Nasional berada di posisi terbaik untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bersifat berkelanjutan.

Mereka potensial untuk memiliki kapasitas untuk bertindak dan merespon secara cepat- misalnya, jika ada insiden serius terjadi di tempat-tempat penahanan.

2. Pengetahuan mengenai lingkungan

Mereka memiliki, atau setidaknya mempunyai akses terhadap pengetahuan mendalam soal sosial, politis dan hukum untuk membentuk dan menjalankan program pemantauan di tempat-tempat penahanan.

Mereka mempunyai, atau setidaknya bisa membangun, jejaring kontak sosial yang kuat, yang akan memungkinkan mereka untuk secara dekat mengikuti evolusi dari permasalahan-permasalah terkait tempat-tempat penahanan.

Mereka berada di posisi yang memungkinkan untuk mengidentifikasi strategi-strategi komunikasi terbaik untuk mengingatkan instansi-instansi yang berwenang, media nasional, serta masyarakat secara umum terkait pemasalahan-permasalahan yang terkait dengan atau yang dihasilkan oleh perampasan kemerdekaan.

Oleh karena itu, LSM nasional dapat memainkan peran ganda: mereka bertindak sebagai pengawas fungsi-fungsi organiasi negara, atas nama masyarakat sipil, dan mereka berkontribusi secara aktif untuk memelihara atau menciptakan kondisi tempat penahanan yang manusiawi dan layak yang menghormati hak asasi manusia. LSM nasional juga dapat memberikan dukungan lokal untuk kegiatan-kegiatan dan kampanye kampanye untuk peningkatan kesadaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional dan intergovernmental yang bekerja untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia.

(25)

High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan

Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

INDONESIA & OPCAT:

KOMITMEN DAN

REKOMENDASI UNTUK

RATIFIKASI

Hotel Borobudur 23 Juni 2011

(26)

INDONESIA & OPCAT: KOMITMEN DAN REKOMENDASI UNTUK RATIFIKASI

RANHAM 2004-2009 & 2011-2014

Tujuan/ sasaran Program/ kegiatan Jadwal Pelaksana Indikator keberhasilan (output)

RANHAM 2004-2009

Persiapan ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional yang dianggap penting dalam upaya pemajuan HAM di Indonesia.

Persiapan ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional dengan skala prioritas, termasuk Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan.

2008 Depkeham, Deplu

dan instansi terkait

Tersusunnya draft RUU ratifikasi sejumlah Instrumen HAM Internasional. RANHAM 2011-2014 Persiapan pengesahan Instrumen HAM Internasional. 1. Membentuk mekanisme persiapan pengesahan instrumen internasional HAM.

2. Membentuk Pokja Tetap

persiapan pengesahan instrumen internasional HAM.

3. Menyusun Naskah Akademik

dan RUU oleh Pokja Persiapan Pengesahan Instrumen Internasional HAM

4. Sosialisasi muatan instrumen Internasional HAM yang akan disahkan. Tahun ke-3 (2013) Kemenlu, Kemenkumham, Kepolisian, Kejaksaan, Kemenhan 1. Terbentuknya mekanisme persiapan pengesahan instrumen internasional HAM. 2. Terbentuknya Pokja Tetap

Persiapan Pengesahan Instrumen Internasional HAM.

3. Tersusunnya Naskah Akademik

dan RUU persiapan pengesahan instrumen HAM internasional. 4. Tersosialisasinya instrumen

HAM internasional yang akan disahkan.

REKOMENDASI KOMITE PBB MENENTANG PENYIKSAAN (CAT) TAHUN 20086

39. Berkenaan dengan komitmen Indonesia untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi sebelum tahun 2009, sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Kedua, Komite mendorong Negara Pihak untuk secara aktif mempertimbangkan pembentukan Mekanisme Pencegahan Nasional.

6

Komite PBB Menentang Penyiksaan, “Pembahasan terhadap Laporan-laporan yang Disampaikan oleh Negara-negara Pihak berdasarkan Pasal 19 Konvensi: Kesimpulan Observasi Komite Menentang Penyiksaan: Indonesia”, Sesi ke-40, CAT/C/IDN/CO/2, 16 Mei 2008.

(27)

REKOMENDASI UPR TAHUN 20087

77. Rekomendasi-rekomendasi yang dirumuskan dalam dialog interaktif ini telah diperiksa oleh Indonesia dan rekomendasi-rekomendasi yang tercantum di bawah diterima oleh Indonesia:

2. Indonesia, sejalan dengan Rencana Aksi Nasional, didorong untuk menindaklanjuti niatnya untuk mengaksesi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, Protokol Opsional untuk Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata, Protokol Opsional untuk Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak dan Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Indonesia lebih lanjut didorong

untuk mempertimbangkan penandatanganan Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

REKOMENDASI PELAPOR KHUSUS PBB TENTANG PENYIKSAAN TAHUN 20088

ISU SITUASI YANG DIAMATI REKOMENDASI

Monitoring Tidak ada badan monitoring yang

independen dan efektif

Kunjungan-kunjungan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diumumkan dan tidak mencakup seluruh negeri.

Mengaksesi OPCAT dan membentuk

NPM yang benar-benar independen yang

melakukan kunjungan-kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan. Memperkuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk dapat bekerja secara efektif dan independen dalam hal pertarungan melawan penyiksaan.

PENGAMATAN

Sehubungan dengan kerangka hukum Negara, Pelapor Khusus menyayangkan bahwa Indonesia belum melarang penyiksaan di bawah hukum pidananya. Hukum Indonesia tidak mengandung larangan yang eksplisit mengenai penyiksaan. Hal ini, dikombinasikan dengan ketiadaan perlindungan prosedural terhadap penyiksaan, kurangnya mekanisme pengawasan independen dan mekanisme pengaduan yang efektif, akan berakibat pada sistem impunitas.

7

Dewan HAM PBB, “Universal Periodic Review: Report of the Working Group on the Universal Periodic Review Indonesia”, A/HRC/8/23, 14 Mei 2008.

8

Dewan HAM PBB, “Laporan Pelapor Khusus tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, Manfred Nowak”, Lampiran: Kunjungan ke Indonesia, A/HRC/7/3/Add.7, 10 Maret 2008.

(28)

Berkenaan dengan hal di atas, Pelapor Khusus merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia sepenuhnya melaksanakan kewajibannya berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional. Secara khusus, ia mendesak Pemerintah untuk mengkriminalisasi penyiksaan, secara terbuka mengutuk dan melawan impunitas, untuk mencegah penggunaan kekerasan yang berlebihan dalam kaitan dengan tindakan polisi dan militer, dan untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana bersifat non-diskriminatif, antara lain melalui pemberantasan korupsi. Selanjutnya, ia menyerukan kepada Pemerintah untuk meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan (OPCAT) dan untuk membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang dimandatkan untuk

melakukan pemantauan terhadap tempat-tempat penahanan secara independen dan mendadak,

dan memasukkan perlindungan terhadap penyiksaan ke dalam peraturan perundang-undangan dan memastikan bahwa perlindungan tersebut dilaksanakan. Pelapor Khusus mendorong Pemerintah untuk melanjutkan upaya untuk memperbaiki kondisi penahanan, khususnya dengan tujuan untuk menyediakan perawatan kesehatan. Selain itu, ia merekomendasikan bahwa perhatian khusus harus dberikan untuk memerangi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak dan bahwa usia pertanggungjawaban pidana anak dinaikkan.

60. Pelapor Khusus mengamati bahwa tidak ada mekanisme pemantauan yang berfungsi di Indonesia. ICRC memiliki akses ke beberapa tahanan, LSM dapat melakukan kunjungan ke penjara, dan Komnas HAM telah melakukan kunjungan yang diumumkan ke kantor-kantor polisi. Namun, tidak ada mekanisme independen dan efektif yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan kunjungan mendadak ke semua tempat penahanan di seluruh negeri. Dalam hal ini Pelapor Khusus menghargai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (2004-2009) yang menjadwalkan ratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan pada tahun 2008. Instrumen ini (OPCAT) mensyaratkan pembentukan Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang diberikan mandat untuk melakukan pemantauan independen yang didasarkan pada kunjungan-kunjungan mendadak ke semua tempat di mana orang dirampas kebebasannya. Ia menganggap bahwa aksesi pada instrumen penting ini dan penerapannya yang efektif akan menjadi sebuah langkah besar ke arah pencegahan penyiksaan dan perlakuan buruk di masa depan.

REKOMENDASI

84. Pemerintah Indonesia harus secara bijaksana mengaksesi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) yang

(29)
(30)

High-Level Roundtable Discussion: “Pentingnya

Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan

Nasional yang sesuai dengan OPCAT”

LAMPIRAN:

KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI KOMITE

PBB MENENTANG

PENYIKSAAN

Hotel Borobudur 23 Juni 2011

(31)

Distribusi: UMUM CAT/C/IDN/CO/2 16 Mei 2008

Bahasa asli: INGGRIS

KOMITE MENENTANG PENYIKSAAN

SESI KE-40

28 April-16 Mei 2008

PEMBAHASAN TERHADAP LAPORAN-LAPORAN

YANG DISAMPAIKAN OLEH NEGARA-NEGARA PIHAK

BERDASARKAN PASAL 19 KONVENSI

Kesimpulan Observasi Komite Menentang Penyiksaan

INDONESIA

1. Komite mempertimbangkan laporan berkala kedua Indonesia (CAT/C/72/Add.1) dalam pertemuannya yang ke-819 dan ke-822, yang diselenggarakan pada tanggal 6 dan 7 Mei 2008 (CAT/C/SR.819 dan CAT/C/SR.822), dan mengadopsi, dalam pertemuannya yang ke-832 pada tanggal 15 Mei 2008 (CAT/C/SR.832), kesimpulan observasi berikut.

A. Pendahuluan

2. Komite menyambut baik laporan berkala kedua Indonesia, yang, walaupun secara umum mengikuti pedoman-pedoman pelaporan Komite, kekurangan data statistik dan informasi praktis mengenai implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan peraturan perundang-undangan domestik yang relevan.

3. Komite menyampaikan apresiasinya untuk tanggapan tertulis yang luas terhadap daftar permasalahan (CAT/C/IDN/Q/2). Komite juga menghargai keahlian, jumlah dan jabatan tingkat tinggi para delegasi Negara Pihak dan dialog yang komprehensif dan membuahkan hasil yang dilakukan serta informasi tambahan yang disampaikan secara lisan oleh para perwakilan Negara Pihak atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan keprihatinan-keprihatinan yang disampaikan pada saat pembahasan laporan.

B. Aspek-aspek positif

4. Komite menyambut baik upaya-upaya berkelanjutan dari Negara Pihak untuk memperkuat institusi-institusi dan peraturan perundang-undangannya untuk melindungi hak asasi manusia universal, termasuk pembentukan Mahkamah Konstitusi, Komisi Hukum Nasional, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut pasal 2 dan pasal 10 Undang-Undang No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

(32)

5. Komite selanjutnya menyambut baik pembaharuan yang sedang berjalan terhadap kerangka hukum Negara Pihak dengan pengesahan undang-undang berikut:

a) UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; b) UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

c) UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

d) UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; e) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak;

f) Keputusan Presiden No. 40/2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Kedua (2004-2009); dan

g) Keputusan Presiden No. 87/2003 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual terhadap Perempuan dan Anak, No. 88/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, No. 87/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan No. 59/2002 tentang Rencana Aksi Nasional tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, serta Peraturan Pemerintah No. 9/2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.

6. Komite menyambut baik aksesi yang dilakukan Indonesia terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pada tahun 2006.

7. Komite juga mencatat dengan penghargaan bahwa Indonesia menanggapi secara positif rekomendasi Komite untuk menerima Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia dan bahwa kunjungan ke Negara Pihak berlangsung pada bulan November 2007. Komite lebih lanjut mencatat bahwa Pemerintah Indonesia juga telah menerima Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia lainnya, termasuk Pelapor Khusus tentang Hak Asasi Para Buruh Migran, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB tentang Situasi Para Pembela Hak Asasi Manusia, dan Pelapor Khusus tentang Independensi Hakim dan Pengacara.

8. Komite lebih lanjut mencatat dengan penghargaan bahwa laporan-laporan yang khusus disampaikan kepada Komite oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan menyesalkan bahwa Komnas HAM tidak dapat menghadiri pertemuan-pertemuan Komite.

9. Komite juga menyambut baik upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi-organisasi non-pemerintah, khususnya organisasi-organisasi nasional dan lokal, untuk memberikan Komite laporan-laporan dan informasi yang relevan, dan mendorong Negara Pihak untuk lebih memperkuat kerjasamanya dengan organisasi-organisasi tersebut terkait dengan implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi.

(33)

C. Pokok-pokok perhatian dan rekomendasi

Penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang meluas dan perlindungan yang tidak memadai selama penahanan di kepolisian

10. Komite sangat prihatin mengenai banyaknya dugaan berkelanjutan yang kredibel dan konsisten, yang dipertegas oleh laporan dari Pelapor Khusus tentang Penyiksaan (A/HRC/7/3/Add.7) dan sumber-sumber lainnya, mengenai penggunaan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang secara rutin dan meluas terhadap para tersangka yang berada dalam penahanan di kepolisian, khususnya untuk memperoleh pengakuan atau informasi yang akan digunakan dalam proses persidangan pidana. Lebih lanjut, terdapat perlindungan hukum yang tidak memadai bagi para tahanan, termasuk:

a) Kegagalan untuk dengan segera membawa para tahanan ke hadapan hakim, yang dengan demikian membuat mereka berada dalam penahanan yang berkepanjangan di kepolisian sampai dengan 61 hari;

b) Ketiadaan pendaftaran yang sistematis terhadap semua tahanan, termasuk tahanan anak-anak dan kegagalan untuk menyimpan catatan-catatan semua periode penahanan pra-persidangan; dan

c) Akses yang terbatas bagi para pengacara dan dokter yang independen dan kegagalan untuk memberitahu para tahanan mengenai hak mereka pada saat penahanan, termasuk hak mereka untuk menghubungi anggota keluarga. (pasal 2, 10 dan 11)

Sebagai suatu keadaan yang mendesak, Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah segera untuk mencegah tindakan-tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang di seluruh negeri, dan untuk mengumumkan kebijakan tanpa toleransi mengenai setiap perlakuan sewenang-wenang atau penyiksaan oleh pejabat-pejabat Negara.

Sebagai bagian dari hal ini, Negara Pihak harus dengan segera menerapkan langkah-langkah yang efektif untuk menjamin bahwa semua tersangka yang ditahan diberikan, dalam praktiknya, semua perlindungan hukum yang fundamental selama penahanan mereka. Perlindungan-perlindungan ini meliputi, khususnya, hak untuk mengakses seorang pengacara, pemeriksaan kesehatan yang independen, untuk memberitahu anggota keluarga, dan untuk diberitahu mengenai hak-hak mereka pada saat penahanan, termasuk mengenai tuduhan-tuduhan yang dihadapkan terhadap mereka, dan juga untuk disajikan di hadapan hakim dalam batas waktu yang sesuai dengan standard-standard internasional. Negara Pihak juga harus menjamin bahwa semua tersangka yang berada di bawah penyelidikan pidana didaftarkan, khususnya anak-anak.

Negara Pihak juga harus memperkuat program-program pelatihan untuk semua personil penegak hukum, termasuk semua anggota pengadilan dan jaksa mengenai pelarangan mutlak terhadap penyiksaan, sebagaimana Negara Pihak diwajibkan untuk melaksanakan pelatihan tersebut menurut Konvensi. Lebih lanjut, Negara Pihak harus menekan aturan-aturan, instruksi-instruksi, metode-metode, dan praktik-praktik interogasi yang sistematis dengan maksud untuk mencegah kasus-kasus penyiksaan.

Referensi

Dokumen terkait

Susunan Terjejal Lapisan ketiga: Jika menempati posisi tipe A, urutan lapisan menjadi A-B-A-B dan membentuk susunan terjejal heksagonal atau hexagonal closest packed structure

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Apakah motivasi kualitas, motivasi karir, motivasi

Bahan Baku Cek Identitas Bahan Baku Terima Bon Permintaan Bahan Baku Supplier Persetujuan Manager Produksi Proses Produksi Kode Bahan Perencanaan Produksi Menerima Bahan

Penelitian ini merupakan uji diagnos- tik untuk menentukan validitas foto polos sinus paranasal 3 posisi dan CT scan potongan koronal sebagai alat diagnosis pada pasien dengan

Oleh karena itu RKPD dan Renja SKPD berfungsi menjabarkan rencana strategis kedalam rencana tahunan dengan memuat arah kebijakan pembangunan, prioritas

Sebagai contoh penerapan energi nuklir sebagai sumber tenaga dan keamanan indonesia, jika dilihat sumber tenaga nuklir mampu menjadi tenaga alternatif yang memiliki

Untuk mekanisme reaksi elektrokimia yang reversibel (Er) dan reaksi kimia yang reversibel (Cr) atau tak-reversibel (Ci) dapat ditentukan dengan melihat hubungan perbandingan

Pengguna wajib menyampaikan laporan pelaksanaan penghapusan barang di SKPD kepada Pengelola dengan dilampiri keputusan penghapusan, berita acara penghapusan, dan/atau