KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Penyusun :
Tim Pokja Lemdiklat Polri T.A. 2018
Editor:
1. Kombes Pol Dr. S.M Handayani, M.Si.
2. AKBP Noffan Widyayoko, S.IK., M.A.
3. AKBP Henny Wuryandari, S.H.
4. AKBP Yani Nuryani, S.IK., M.KRIM 5. Pengatur I Fitria Yuli Hapsari, A.Md.
Hanjar Pendidikan Polri
Pendidikan Pembentukan Bintara Polri (Perbatasan)
Diterbitkan oleh:
Bagian Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Pembentukan Biro Kurikulum
Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Tahun 2018
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang menggandakan sebagian atau seluruh isi Bahan Ajar (Hanjar) Pendidikan Polri ini, tanpa izin tertulis dari Kalemdiklat Polri.
DAFTAR ISI
Cover ... i
Sambutan Kalemdiklat Polri ... ii
Keputusan Kalemdiklat Polri ... iv
Identitas Buku ... vi
Daftar Isi ... vii
Pendahuluan ... 1
Standar Kompetensi ... 2
MODUL 1 KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA (PBB) TENTANG HUKUM LAUT (UU NOMOR 17 TAHUN 1985) ...3
Pengantar ... 3
Kompetensi Dasar ... 3
Materi Pelajaran ... 4
Metode Pembelajaran ... 4
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 5
Kegiatan Pembelajaran ... 5
Tagihan/tugas ... 6
Lembar Kegiatan ... 6
Bahan Bacaan ... 7
1. Pengertian tentang hukum laut Internasional ... 7
2. Kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958 ... 7
3. Isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut ... 7
4. Rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB ... 10
Rangkuman ... 20
viii KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Latihan ... 21
MODUL 2 PERAIRAN INDONESIA (UU NOMOR 6 TAHUN 1996) ...22
Pengantar ... 22
Kompetensi Dasar ... 22
Materi Pelajaran ... 23
Metode Pembelajaran ... 23
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 24
Kegiatan Pembelajaran ... 24
Tagihan/tugas ... 25
Lembar Kegiatan ... 25
Bahan Bacaan ... 26
1. Pengertian yang berkaitan dengan perairan Indonesia ... 26
2. Wilayah perairan Indonesia ... 27
3. Hak lintas bagi kapal-kapal asing ... 30
4. Hak akses dan komunikasi dua negara (bilateral) ... 32
5. Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia ... 33
6. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia ... 33
Rangkuman ... 34
Latihan ... 35
MODUL 3 PELAYARAN (UU NOMOR 17 TAHUN 2008) ... 36
Pengantar ... 36
Kompetensi Dasar ... 36
Materi Pelajaran ... 37
Metode Pembelajaran ... 37
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 38
Kegiatan Pembelajaran ... 38
Tagihan/tugas ... 39
Lembar Kegiatan ... 39
Bahan Bacaan ... 40
1. Pengertian yang berkaitan dengan pelayaran ... 40
2. Asas dan Tujuan dalam pelayaran ... 40
3. Tujuan Pelayaran ... 41
4. Ruang Lingkup berlakunya Undang-Undang ... 41
5. Pembinaan dalam pelayaran ... 42
6. Jenis-jenis angkutan di perairan ... 43
7. Keselamatan dan keamanan pelayaran ... 48
8. Peran serta masyarakat dalam kegaiatan pelayaran ... 50
9. Penyidikan terkait tentang pelayaran ... 51
10. Ketentuan Pidana yang berkaitan dengan pelayaran ... 53
Rangkuman ... 64
Latihan ... 66
MODUL 4 KETENAGAKERJAAN (UU NOMOR 13 TAHUN 2003) ...67
Pengantar ... 67
Kompetensi Dasar ... 67
Materi Pelajaran ... 67
Metode Pembelajaran ... 68
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 68
Kegiatan Pembelajaran ... 69
Tagihan/tugas ... 70
Lembar Kegiatan ... 70
Bahan Bacaan ... 70
x KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
1. Pengertian yang berkaitan dengan ketenagakerjaan ... 70
2. Landasan, Asas, dan Tujuan ... 71
3. Penggunaan tenaga kerja asing ... 72
4. Penyidikan terkait tentang ketenagakerjaan ... 73
5. Ketentuan pidana dan sanksi administrative ... 74
Rangkuman ... 76
Latihan ... 77
MODUL 5 PEMILIHAN UMUM (PEMILU) (UU NOMOR 7 TAHUN 2017) ...78
Pengantar ... 78
Kompetensi Dasar ... 78
Materi Pelajaran ... 79
Metode Pembelajaran ... 79
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 80
Kegiatan Pembelajaran ... 80
Tagihan/tugas ... 81
Lembar Kegiatan ... 81
Bahan Bacaan ... 82
1. Pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Pemilu ... 82
2. Asas Pemilu ... 84
3. Prinsip Pemilu ... 84
4. Tujuan Pemilu ... 85
5. Penyelenggara Pemilu ... 85
6. Pengawas Pemilu ... 86
7. Pelaksanaan Pemilu ... 87
8. Larangan dalam kegiatan kampanye ... 88
9. Sanksi atas Pelanggaran Larangan Kampanye ... 89
10. Klasifikasi Pelanggaran Pemilu ... 89
11. Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana Pemilu ... 89
Rangkuman ... 91
Latihan ... 93
MODUL 6 WILAYAH NEGARA (UU NOMOR 43 TAHUN 2008) ...94
Pengantar ... 94
Kompetensi Dasar ... 94
Materi Pelajaran ... 95
Metode Pembelajaran ... 95
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 96
Kegiatan Pembelajaran ... 96
Tagihan/tugas ... 97
Lembar Kegiatan ... 97
Bahan Bacaan ... 98
1. Pengertian-pengertian yang berkaitan dengan wilayah negara ... 98
2. Azas dan tujuan pengaturan wilayah negara ... 99
3. Ruang lingkup wilayah negara ... 100
4. Hak-hak berdaulat di wilayah yuridiksi ... 100
5. Kewenangan dalam pengaturan wilayah negara ... 101
6. Kelembagaan ... 103
7. Peran serta masyarakat dalam pengaturan wilayah sistem ... 103 8. Larangan berkaitan dengan wilayah negara ... 103
9. Ketentuan Pidana ... 104
Rangkuman ... 104
Latihan ... 106
xii KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
MODUL 7 SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA
(UU NOMOR 5 TAHUN 1990) ...107
Pengantar ... 107
Kompetensi Dasar ... 107
Materi Pelajaran ... 108
Metode Pembelajaran ... 109
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 109
Kegiatan Pembelajaran ... 110
Tagihan/tugas ... 111
Lembar Kegiatan ... 111
Bahan Bacaan ... 111
1. Pengertian-pengertian, asas dan tujuan Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ... 111
2. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ... 113
3. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya ... 113
4. Kawasan suaka alam ... 114
5. Jenis tumbuhan dan satwa ... 114
6. Larangan terhadap tumbuhan dan satwa ... 115
7. Pemanfaatan kawasan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ... 116
8. Kawasan pelestarian alam ... 116
9. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ... 117
10. Peran serta masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ... 117
11. Penyidikan dan ketentuan pidana dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ... 117
Rangkuman ... 119
Latihan ... 121
MODUL 8 KEPABEANAN (UU NOMOR 17 TAHUN 2006) ...122
Pengantar ... 122
Kompetensi Dasar ... 122
Materi Pelajaran ... 123
Metode Pembelajaran ... 123
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 124
Kegiatan Pembelajaran ... 124
Tagihan/tugas ... 125
Lembar Kegiatan ... 125
Bahan Bacaan ... 126
1. Pengertian yang berkaitan dengan Kepabeanan ... 126
2. Ketentuan tentang Free Trade Zone (tidak dipungut), pembebasan, keringanan, dan pengembalian bea masuk .. 127
3. Pemberitahuan pabean dan tanggung jawab atas bea masuk ... 129
4. Wewenang kepabeanan ... 130
Rangkuman ... 130
Latihan ... 131
MODUL 9 KEIMIGRASIAN (UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011) ...132
Pengantar ... 132
Kompetensi Dasar ... 132
Materi Pelajaran ... 132
Metode Pembelajaran ... 133
Alat/media, Bahan, dan Sumber Belajar ... 133
Kegiatan Pembelajaran ... 134
xiv KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Tagihan/tugas ... 135
Lembar Kegiatan ... 135
Bahan Bacaan ... 136
1. Pengertian yang berkaitan dengan keimigrasian ... 136
2. Persyaratan masuk dan keluar wilayah indonesia ... 136
3. Dokumen perjalanan republik indonesia ... 138
4. Penanganan terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia ... 139 5. Pencegahan dan penangkalan dalam keimigrasian ... 140
6. Penyidikan dalam keimigrasian ... 142
Rangkuman ... 143
Latihan ... 144
1 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
MODUL
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
38 JP (1710 Menit)
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bersama setelah Reformasi bergulir, begitu banyak produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pembuat Undang-Undang, diantara produk Undang-undang tersebut ada yang mencantumkan sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut, oleh karena itu Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokoknya yang tercantum dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Menegakkan hukum disini terutama dalam bidang hukum pidana.
Modul Kapita Selekta Perundang-undangan ini disusun untuk melengkapi pengetahuan peserta didik Pendidikan Pembentukan Bintara Polri (Perbatasan) dalam memahami perundang-undangan tertentu di luar KUHP dan KUHAP, mengingat lulusan peserta didik Pendidikan Pembentukan Bintara Polri (Perbatasan) adalah sebagai pelaksana utama tugas Kepolisian di wilayah perbatasan.
Idealnya semakin banyak pemahaman hukum di luar KUHP dan KUHAP, semakin baik tetapi karena terbatasnya alokasi waktu yang diberikan untuk mata pelajaran Kapita Selekta Perundang-undangan ini hanya 38 JP, maka yang disajikan dalam mata pelajaran ini hanya 9 (sembilan) Undang-undang yang dipilih dengan pertimbangan sering dihadapi Polri dalam melaksanakan tugas sehari-hari, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
3. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerja-an;
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu);
6. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara;
2 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
9. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Standar Kompetensi
Memahami Kapita Selekta Perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri.
3 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
MODUL
01
KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-
BANGSA (PBB) TENTANG HUKUM LAUT (UU NOMOR 17 TAHUN 1985)
4 JP (180 Menit)
Pengantar
Dalam modul ini akan dibahas materi tentang pengertian tentang hukum laut Internasional, kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958, isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut, rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB.
Tujuan diberikanya materi ini adalah agar peserta didik memahami pokok-pokok Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
Kompetensi
Dasar
Memahami pokok-pokok Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
Indikator hasil belajar:
1. Menjelaskan pengertian tentang hukum laut Internasional;
2. Menjelaskan kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958;
3. Menjelaskan isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut;
4. Menjelaskan rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB.
4 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Materi Pelajaran
Pokok bahasan:
pokok-pokok Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
Subpokok bahasan:
1. Pengertian tentang hukum laut Internasional;
2. Kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958;
3. Isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut;
4. Rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB.
Metode Pembelajaran
1. Metode ceramah
Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi tentang pokok- pokok Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
2. Metode Brain Storming/Curah Pendapat
Metode ini digunakan pendidik untuk mengeksplor pendapat peserta didik tentang Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
3. Metode tanya jawab
Metode ini digunakan untuk tanya jawab tentang materi yang telah disampaikan.
4. Metode Penugasan
Metode ini digunakan untuk menugaskan peserta didik meresume materi yang telah diberikan.
5 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Alat/Media, Bahan dan Sumber Belajar
1. Alat/media:a. Laptop;
b. Flip chart;
c. LCD.
2. Bahan:
a. Alat tulis sesuai dengan kebutuhan;
b. Kertas HVS/flipchart.
3. Sumber Belajar:
a. Modul Kapita Selekta Perundang-undangan;
b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut.
Kegiatan Pembelajaran
1. Tahap Awal : 10 Menit Pendidik melaksanakan:
a. Membuka kelas dan memberikan salam;
b. Perkenalan;
c. Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran dan materi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran.
2. Tahap Inti : 160 Menit
a. Pendidik menyampaikan materi tentang pokok-pokok Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut;
b. Pendidik menggali pendapat tentang materi yang telah disampaikan;
c. Peserta didik memperhatikan dan mencatat hal-hal yang penting;
d. Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya materi yang belum dipahami;
e. Peserta didik bertanya kepada pendidik tentang materi yang
6 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN) belum dimengerti;
f. Pendidik menjawab pertanyaan peserta didik;
g. Pendidik menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan kepada peserta didik.
3. Tahap akhir : 10 Menit a. Cek penguatan materi.
Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum.
b. Cek penguasaan materi.
Pendidik mengecek penguasaan materi pendidik dengan bertanya secara lisan dan acak kepada peserta didik.
c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas.
Pendidik menggali manfaat yang bisa diambil dari materi pelajaran.
d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk meresume materi yang telah disampaikan.
Tagihan / Tugas
Peserta didik mengumpulkan resume materi pelajaran yang telah disampaikan.
Lembar Kegiatan
Peserta didik membuat resume materi pelajaran yang telah disampaikan.
7 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Bahan Bacaan
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 1985 TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN
BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)
1. Pengertian tentang hukum laut Internasional
Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982.
2. Kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958 Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi.
Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut.
3. Isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut
Dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut:
a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;
8 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen.
c. Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.
Bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional.
Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa:
a. Di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu (1:1) dan sembilan berbanding satu (9:1);
b. Panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah seluruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan
9 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut;
c. penarikan garis dasar/pangkal demikian tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum Negara Kepulauan.
Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garis-garis dasar/
pangkal kepulauan pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat geografi demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar demikian harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari Laut Lepas kini menjadi "perairan kepulauan" yang berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia. Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksudkan di muka, syarat-syarat yang penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara Kepulauan adalah ketentuan- ketentuan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Dalam "perairan kepulauan" berlaku hak lintas damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian-bagian tertentu dari
"perairan kepulauannya" apabila di anggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya.
Negara Kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur laut tersebut. Kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut kepulauan dan rute penerbangan tersebut ditetapkan dengan menarik garis poros.
Kapal dan pesawat udara asing yang melakukan lintas transit melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan garis poros tersebut.
Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun hal ini di bidang lain daripada pelayaran dan penerbangan tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute penerbangan yang diatur dalam Konvensi ini hanyalah mencakup
10 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
hak lintas penerbangan melewati udara di atas alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil ataupun kedaulatan negara kepulauan atas wilayah udara lainnya di atas perairan Nusantara.
Sesuai dengan ketentuan Konvensi, disamping harus menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah ada, Negara Kepulauan berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya.
4. Rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini mengatur pula rejim-rejim hukum sebagai berikut:
a. Laut Teritorial dan Zona Tambahan 1) Laut Teritorial
Konperensi-konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang pertama (1958) dan kedua (1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar Laut Teritorial karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman dalam masalah lebar Laut Teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.
Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga pada akhirnya berhasil menentukan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari keseluruhan paket rejim-rejim hukum laut, khususnya:
a) Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut dihitung dari garis dasar/pangkal darimana lebar Laut Teritorial diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran;
b) Kebebasan transit kapal-kapal asing melalui Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
c) Hak akses negara tanpa pantai ke dan dari laut
11 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
dan kebebasan transit;
d) Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui Laut Teritorial.
Rejim Laut Teritorial memuat ketentuan sebagai berikut:
a) Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
b) Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa (force majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
c) Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
2) Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar Zona Tambahan pada lebar Laut Teritorial diukur, maka
12 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 kini menentukan bahwa, dengan ditentukannya lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut Teritorial. Di Zona Tambahan negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan pengendalian yang perlu, untuk:
a) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya di bidang bea cukai, fiskal, keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai;
b) Menindak pelanggaran-pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan Laut Teritorial negara pantai.
b. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
Penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat bahwa perairan dalam Selat yang semula merupakan bagian dari Laut Lepas berubah menjadi bagian dari Laut Teritorial negara-negara selat yang mengelilinginya.
Berhubungan dengan itu, tetap terjaminnya fungsi Selat sebagai jalur pelayaran internasional merupakan syarat bagi diterimanya penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan kedaulatan dan yurisdiksi negara-negara pantai dibidang lain daripada lintas laut dan lintas udara, kendaraan air asing dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas laut/udara melalui suatu selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan- ketentuan Konvensi, dapat membuat peraturan perundang- undangan mengenai lintas laut transit melalui selat tersebut yang bertalian dengan:
1) Keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut;
2) Pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran;
3) Pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat penangkapan ikan dalam palka;
4) Memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang-orang, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan
13 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
kesehatan.
c. Zona Ekonomi Eksklusif
Di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai mempunyai:
1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati di ruang air dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
2) Yurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut;
3) Kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif;
4) Kewajiban untuk memberikan kesempatan terutama kepada negara tidak berpantai atau negara yang secara geografis tidak beruntung untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan.
Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut tersebut erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut, karena:
1) Beberapa negara pantai, yang menganut lebar Laut Teritorial 200 mil laut, baru dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dengan adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut;
2) Pada sisi lain:
a) negara-negara tanpa pantai dan negara-negara yang secara geografis tidak beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan.
b) Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut
14 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN) melalui wilayah negara pantai/negara transit.
3) Negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi Eksklusif jika negara pantai tetap menghormati kebebasan palayaran/penerbangan melalui Zona Ekonomi Eksklusif.
d. Landas Kontinen
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan lebar Landas Kontinen berdasarkan pada kriteria kedalaman atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini mendasarkannya pada berbagai kriteria:
1) Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
2) Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atau 3) Tidak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman
(isobath) 2500 meter.
Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang ditentukan dalam Konvensi ini pada akhirnya dapat diterima negara- negara bukan negara pantai, khususnya negara-negara tanpa pantai atau negara-negara yang geografis tidak beruntung setelah Konvensi juga menentukan bahwa negara pantai mempunyai kewajiban untuk memberikan pembayaran atau kontribusi dalam natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan non- hayati Landas Kontinen di luar 200 mil laut.
Pembayaran atau kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut Internasional yang akan membagikannya kepada negara peserta Konvensi didasarkan pada kriteria pembagian yang adil dengan memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara- negara berkembang, khususnya negara-negara yang perkembangannya masih paling rendah dan negara- negara tanpa pantai.
Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona Ekonomi Eksklusif, namun dalam
15 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Konvensi ini Landas Kontinen diatur dalam Bab tersendiri. Hal ini berkaitan dengan diterimanya kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepian kontinen, yang memungkinkan lebar landas Kontinen melebihi lebar Zona Ekonomi Eksklusif.
e. Laut Lepas
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang menetapkan Laut Lepas dimulai dari batas terluar Laut Teritorial, Konvensi ini menetapkan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
Kecuali perbedaan-perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas dan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan di Laut Lepas.
Kebebasan-kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan kebebasan di Laut Lepas. Di samping mengatur hak-hak kebebasan-kebebasan di Laut Lepas, Konvensi ini juga mengatur masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di Laut Lepas yang dahulu diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati di Laut Lepas.
f. Rejim Pulau
Rejim Pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam Konvensi ini yang dihubungkan dengan masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Konvensi menentukan bahwa pulau/karang mempunyai Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dengan ketentuan bahwa pulau/karang yang tidak dapat mendukung habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen sendiri dan hanya berhak mempunyai Laut Teritorial saja.
g. Rejim Laut tertutup/setengah tertutup
Penetapan lebar Laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil diukur dari garis dasar Laut Teritorial, mengakibatkan bahwa
16 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
perairan Laut tertutup/setengah tertutup yang dahulunya merupakan Laut Lepas menjadi Laut Teritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara di sekitar atau berbatasan dengan laut tertutup/setengah tertutup tersebut. Rejim laut tertutup/setengah tertutup diatur dalam satu Bab tersendiri dalam Konvensi ini.
Konvensi menganjurkan antara lain agar negara-negara yang berbatasan dengan Laut tertutup/setengah tertutup mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut.
h. Rejim akses negara tidak berpantai ke dan dari laut serta kebebasan transit
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses negara tanpa pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini mengatur masalah rejim akses negara tanpa pantai ke dan dari laut serta kebebasan transit melalui negara transit secara lebih terperinci dalam satu Bab tersendiri.
Rejim ini berkaitan dengan hak negara-negara tersebut untuk ikut memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut internasional.
Sesuai ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, pelaksanaan hak akses negara tidak berpantai serta kebebasan transit melalui wilayah negara transit dan di Zona Ekonomi Eksklusif perlu diatur denganperjanjian bilateral subregional dan regional.
i. Kawasan Dasar laut Internasional
Kawasan Dasar Laut Internasional adalah dasar laut/samudera yang terletak di luar Landas Kontinen dan berada di bawah Laut Lepas (lihat juga uraian dalam butir 4 dan butir 5).
Konvensi menetapkan bahwa Kawasan Dasar Laut Internasional dan kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah dibawahnya merupakan warisan bersama umat manusia.
Tidak ada satu negarapun boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dari Kawasan Dasar Laut Internasional atau kekayaan alam
17 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN) yang terdapat di dalamnya.
Demikian pula tidak satu negarapun atau badan hukum atau orang boleh melaksanakan pemilikan atas salah satu bagian dari kawasan tersebut semua kegiatan di Kawasan Dasar Laut Internasional dilaksanakan untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh suatu badan internasional, yaitu Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority).
Adapun pengelolaannya didasarkan pada suatu sistem, yaitu sistem paralel, yakni selama Perusahaan (Enterprise) sebagai wahana otorita belum dapat beroperasi secara penuh, negara-negara peserta Konvensi termasuk perusahaan negara dan swastanya dapat melakukan penambangan di Kawasan Dasar Laut Internasional tersebut berdasarkan suatu hubungan kerja atau asosiasi dengan Otorita. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ketiga dengan suatu resolusi yaitu Resolusi I, menetapkan pula pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory Commission) yang tugasnya adalah untuk mempersiapkan antara lain pembentukan Otorita Dasar Laut Internasional dan Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut.
j. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan Laut
Walaupun perlahan-lahan akan tetapi pada akhirnya tumbuh kesadaran bahwa, sekalipun laut itu sangat luas tetapi sumber-sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak tanpa batas kelestarian. Penangkapan hidup jenis ikan selalu mengandung sesuatu resiko bahwa kelangsungan hidup jenis ikan tersebut dapat terancam dengan kepunahan.
Pengembangan teknologi di bidang perikanan, yang memungkinkan penangkapan ikan dalam skala besar, dapat mengakibatkan tidak hanya kepunahan jenis-jenis ikan akan tetapi juga kemunduran besar bagi perusahaan-perusahaan yang tergantung dari penangkapan jenis-jenis ikan tersebut.
Di samping itu tumbuh kesadaran, dalam arti keresahan, mengenai kelestarian lingkungan hidup, yang pada akhirnya menggerakkan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelenggarakan Koperensi mengenai Lingkungan Hidup di Stockholm dalam tahun 1972 Pembuangan limbah secara tidak terkendali ke dalam lautan membawa akibat kerusakan yang parah pada lingkungan laut.
Demikian pula, pencemaran yang diakibatkan oleh
18 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
kecelakaan tangker-tangker raksasa, seperti Torrey Canyon dalam tahun 1967 dan Amoco Caditz dalam tahun 1978, membawa kerusakan yang sangat parah pada lingkungan hidup.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan sebagaimana tersebut di atas, Konvensi menentukan bahwa setiap negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Disamping itu Konvensi juga menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
k. Penelitian ilmiah kelautan
Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut Teritorial atau Perairan Kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanakan dalam Laut Teritorial/Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Penelitian ilmiah oleh negara asing atau organisasi internasional sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Konvensi supaya diizinkan oleh negara pantai. Untuk penelitian ilmiah kelautan yang dilakukan di Laut Lepas berlaku kebebasan penelitian dengan ketentuan bahwa penelitian ilmiah yang dilakukan di Landas Kontinen tunduk pada rejim penelitian Landas Kontinen.
Demikian juga bagi penelitian ilmiah di Kawasan Dasar Laut Internasional berlaku prinsip kebebasan penelitian ilmiah yang tunduk pada rejim Kawasan Dasar Laut Internasional.
l. Pengembangan dan Alih Teknologi
1) Negara-negara, secara langsung atau melalui organisasi internasional yang berwenang, harus mengadakan kerjasama sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk secara aktif memajukan pengembangan dan pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan;
2) Semua negara wajib memajukan pengembangan
19 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
kemampuan ilmiah dan teknologi kelautan negara- negara yang memerlukan bantuan teknik dalam bidang tersebut, khususnya negara-negara berkembang, termasuk negara-negara tanpa pantai dan yang secara geografis tidak beruntung, yang memerlukan bantuan dibidang eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan laut, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penelitian ilmiah kelautan, dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara berkembang.
m. Penyelesaian Sengketa
Konvensi menentukan bahwa setiap Negara Peserta Konvensi harus menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi melalui jalan damai Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian sengketa, dimana negara-negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut:
Mahkamah Internasional (I.C.J.), Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus.
Konvensi 1982 ini membentuk Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut sebagai mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi Umum serta Arbitrasi Khusus sebagai mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal). Setiap sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke empat macam lembaga penyelesaian sengketa tersebut di atas, kecuali sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Bab XI Konvensi mengenai Kawasan Dasar Laut Internasional beserta lampiran-lampiran Konvensi yang bertalian dengan masalah Kawasan Dasar Laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi mutlak Kamar Sengketa Dasar Laut.
Sejalan dengan masalah persiapan pembentukan organ- organ Otorita Dasar Laut Internasional, maka pembentukan Pengadilan-Internasional untuk Hukum Laut beserta Kamar- kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi Persiapan sesuai dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh Konperensi PBB tentang Hukum Laut Ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai berlaku.
20 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN)
Rangkuman
1. Pengertian tentang hukum laut Internasional
Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982.
2. Kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958
Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut kriteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi.
Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut.
3. Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut:
a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen.
c. Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional.
4. Rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB a. Laut Teritorial dan Zona Tambahan;
b. Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
c. Zona Ekonomi Eksklusif;
21 -
KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN PENDIDIKAN PEMBENTUKAN BINTARA POLRI (PERBATASAN) d. Landas Kontinen;
e. Laut Lepas;
f. Rejim Pulau;
g. Rejim Laut tertutup/setengah tertutup;
h. Rejim akses negara tidak berpantai ke dan dari laut serta kebebasan transit;
i. Kawasan Dasar laut Internasional;
j. Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan Laut;
k. Penelitian ilmiah kelautan;
l. Pengembangan dan Alih Teknologi;
m. Penyelesaian Sengketa.
Latihan
1. Jelaskan pengertian tentang hukum laut Internasional!
2. Jelaskan kriteria hukum laut menurut Konvensi Jenewa Tahun 1958!
3. Jelaskan isi Konvesi PBB tentang Hukum Laut!
4. Jelaskan rejim-rejim hukum tentang hukum laut menurut konvensi PBB!
22 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
MODUL
02
PERAIRAN INDONESIA (UU NOMOR 6 TAHUN 1996)
4 JP (180 Menit)
Pengantar
Dalam modul ini akan dibahas tentang pengertian yang berkaitan dengan perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia, hak lintas bagi kapal-kapal asing, hak akses dan komunikasi dua negara (bilateral), pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia, penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Tujuan diberikanya materi ini adalah agar peserta didik memahami pokok-pokok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Kompetensi Dasar
Memahami pokok-pokok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Indikator Hasil Belajar:
1. Menjelaskan pengertian yang berkaitan dengan perairan Indonesia;
2. Menjelaskan wilayah perairan Indonesia;
3. Menjelaskan hak lintas bagi kapal-kapal asing;
4. Menjelaskan hak akses dan komunikasi dua negara (bilateral);
5. Menjelaskan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia;
6. Menjelaskan penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Materi Pelajaran
Pokok Bahasan:
Pokok-pokok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Subpokok Bahasan:
1. Pengertian yang berkaitan dengan perairan Indonesia;
2. Wilayah perairan Indonesia;
3. Hak lintas bagi kapal-kapal asing;
4. Hak akses dan komunikasi dua negara (bilateral);
5. Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia;
6. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia.
Metode Pembelajaran
1. Metode Ceramah
Metode ini digunakan untuk menjelaskan materi tentang pokok- pokok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
2. Metode Brainstorming/curah pendapat
Metode ini digunakan pendidik untuk mengeksplor pendapat peserta didik tentang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
3. Metode Tanya jawab
Metode ini digunakan untuk tanya jawab tentang materi yang telah disampaikan.
4. Metode penugasan
Metode ini digunakan untuk menugaskan peserta didik meresume materi yang telah diberikan.
24 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Alat/Media, Bahan dan Sumber Belajar
1. Alat/Media:
a. Komputer/ Laptop;
b. LCD/ proyektor;
c. Whiteboard;
d. Papan Flipchart;
e. Slide.
2. Bahan:
a. Kertas Flipchart;
b. Penghapus;
c. Alat Tulis.
3. Sumber Belajar:
a. Modul Kapita Selekta Perundang-undangan;
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Kegiatan Pembelajaran
1. Tahap awal : 10 Menit
Pendidik melaksanakan apersepsi dengan kegiatan:
a. Pendidik menugaskan kepada peserta didik untuk melakukan refleksi materi sebelumnya;
b. Pendidik mengaitkan materi yang telah disampaikan dengan materi yang akan disampaikan;
c. Menyampaikan tujuan pembelajaran pada modul ini.
2. Tahap inti : 160 Menit
a. Pendidik menjelaskan materi tentang pengertian pokok- pokok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
b. Peserta didik menyimak, mencatat hal-hal yang dianggap penting;
c. Pendidik memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya materi yang belum dipahami;
d. Peserta didik bertanya kepada pendidik tentang materi yang belum dimengerti;
e. Pendidik menjawab pertanyaan peserta didik;
f. Pendidik menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan kepada peserta didik.
3. Tahap akhir : 10 Menit a. Cek penguatan materi.
Pendidik memberikan ulasan dan penguatan materi secara umum
b. Cek penguasaan materi.
Pendidik mengecek penguasaan materi pendidik dengan bertanta secara lisan dan acak kepada peserta didik.
c. Keterkaitan mata pelajaran dengan pelaksanaan tugas.
Pendidik menggali manfaat yang bisa diambil dari materi pelajaran.
d. Pendidik menugaskan peserta didik untuk meresume materi yang telah disampaikan.
Tagihan/Tugas
Peserta didik mengumpulkan resume materi pelajaran yang telah disampaikan.
Lembar Kegiatan
Peserta didik membuat resume materi pelajaran yang telah disampaikan.
26 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Bahan Bacaan
PERAIRAN INDONESIA (UU NOMOR 6 TAHUN 1996)
1. Pengertian yang berkaitan dengan perairan Indonesia
a. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau- pulau lain;
b. Pulau adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah dikelilingi oleh air dan yang berada di atas permukaan air pada waktu air pasang;
c. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain- lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan keamanan, dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian;
d. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya;
e. Garis air rendah adalah garis air yang bersifat tetap di suatu tempat tertentu yang menggambarkan kedudukan permukaan air laut pada surut yang terendah;
f. Elevasi surut adalah daerah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang;
g. Teluk adalah suatu lekukan jelas yang penetrasinya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan tertutup yang lebih dari sekedar suatu lengungan pantai semata-mata, tetapi suatu lekukan tidak merupakan suatu teluk kecuali apabila luasnya adalah seluas atau lebih luas daripada luas setengah lingkaran yang garis tengahnya ditarik melintasi mulut lekukan tersebut;
h. Alur laut kepulauan adalah alur laut yang dilalui oleh kapal atau pesawat udara asing di atas alur laut tersebut, untuk melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang melalui
atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya;
i. Konvensi adalah United Nations Convention on the Law of the Sea Tahun 1982, sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
2. Wilayah perairan Indonesia
a. Wilayah perairan Indonesia meliputi:
1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman;
2) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia;
3) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai;
4) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Garispangkal kepulauan Indonesia
1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan;
2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus;
3) Garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air
28 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia;
4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut;
5) Garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat;
6) Garis pangkal biasa adalah garis air rendah sepanjang pantai;
7) Garis pangkal lurus adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
Garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya, atau dapat pula dibuat daftar titik-titik koordinat geografis yang secara jelas memerinci datum geodetik.
Peta dengan skala atau skala-skala yang memadai yang menggambarkan wilayah perairan Indonesia atau daftar titik- titik koordinat geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengumumkan sebagaimana mestinya peta dengan skala atau skala-skala yang memadai atau daftar titik-titik koordinat geografis serta mendepositkan salinan daftar titik-titik koordinat geografis tersebut pada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b. Perairanindonesia
Perairan Indonesia meliputi:
1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup pada mulut sungai, kuala,
teluk, anak laut, dan pelabuhan.
2) Perairan pedalaman terdiri atas:
a) Laut pedalaman
Laut pedalaman adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dari garis air rendah.
b) Perairan darat
Perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
3) Batas luar laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan.
Pemerintah Indonesia menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan Kepulauannya.
Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah berlakunya hak dan kegiatan tersebut, atas permintaan dari salah satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan persetujuan bilateral. Hak tidak boleh dialihkan atau dibagi kepada negara ketiga atau warga negaranya.
Kabel telekomunikasi bawah laut yang telah dipasang oleh negara atau badan hukum asing yang melintasi perairan Indonesia tanpa memasuki daratan tetap dihormati.
Pemerintah Indonesia mengizinkan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel setelah diterimanya pemberitahuan sebagaimana mestinya mengenai letak dan maksud untuk memperbaiki dan mengganti kabel-kabel tersebut.
Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
Ketentuan tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan
30 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
batas laut teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
3. Hak lintas bagi kapal-kapal asing a. Hak Lintas Damai
1) Kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia;
2) Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial dan perairan ke-pulauan Indonesia untuk keperluan:
a) Melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman;
b) Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut.
3) Lintas damai harus terus-menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Lintas dianggap damai apabila tidak merugikan kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, dan dilakukan sesuai dengan ke-tentuan Konvensi dan hukum internasional lainnya.
Lintas oleh kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan Indonesia, apabila kapal tersebut sewaktu berada di laut teritorial dan atau di perairan kepulauan melakukan salah satu kegiatan yang dilarang oleh Konvensi dan atau hukum internasional lainnya.
Pemerintah Indonesia dapat menangguhkan sementara lintas damai segala jenis kapal asing dalam daerah tertentu di laut teritorial atau perairan kepulauan, apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamanannya, termasuk keperluan latihan senjata.
Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku hanya setelah dilakukan pengumuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan alur laut dan skema pemisah lalu lintas di laut teritorial dan perairan kepulauan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam melaksanakan hak lintas damai di laut teritorial dan perairan kepulauan, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan bendera Kebangsaan.
Kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun, apabila melaksanakan hak lintas damai harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional.
b. Hak Lintas alur laut Kepulauan
Hak Lintas Alur Laut Kepulauan yaitu:
1) Lintas alur laut kepulauan dalam alur-alur laut yang khusus ditetapkan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi dengan cara normal hanya untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, dan secepat mungkin serta tidak terhalang;
2) Segala jenis kapal dan pesawat udara negara asing, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia, antara satu bagian dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya;
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara negara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Indonesia menentukan alur laut, termasuk rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan oleh kapal dan pesawat udara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan juga dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui alur laut.
32 KAPITA SELEKTA PERUNDANG-UNDANGAN
Alur laut dan rute penerbangan ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga tempat ke luar melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berhimpitan dengannya.
Apabila diperlukan, setelah diadakan pengumuman sebagaimana mestinya, alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya dapat diganti dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas lainnya.
Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas, Pemerintah Indonesia harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai kesepakatan bersama. Pemerintah menentukan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas dan menetapkannya pada peta-peta yang diumumkan.
Kapal asing yang melakukan lintas alur laut kepulauan harus mematuhi alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai alur laut dan skema pemisah lalu lintas diatur dengan Peraturan Pemerintah.
c. Hak lintas transit
a. Semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan semata- mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia lainnya;
b. Hak lintas transit dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila diperlukan dengan memperhatikan keselamatan navigasi, Pemerintah Indonesia dapat menetapkan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran di lintas transit.
4. Hak akses dan komunikasi dua negara (bilateral) Hak Akses dan Komunikasi
a. Apabila suatu bagian dari perairan kepulauan Indonesia terletak di antara dua bagian wilayah suatu negara tetangga yang langsung berdampingan, Indonesia menghormati hak- hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang