TESIS
PENGARUH DOSIS TERHADAP RETENSI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON FASE RUMATAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM
MALIK MEDAN
OLEH
ROBIATUN RAMBE NIM 157014002
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
TESIS
PENGARUH DOSIS TERHADAP RETENSI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON FASE RUMATAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM
MALIK MEDAN
OLEH
ROBIATUN RAMBE NIM 157014002
Diajukan sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Nama Mahasiswa : Robiatun Rambe Nomor Induk Mahasiswa : 157014002
Program Studi : Magister Farmasi
Judul Tesis : Pengaruh Dosis Terhadap Retensi Pada PasienProgram Terapi Rumatan Metadon Fase Rumatan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Telah diuji dan dinyatakan LULUS didepan Komisi Penguji Tesis pada hari selasa tanggal enam bulan februari tahun dua ribu delapan belas.
Mengesahkan
Komisi Penguji Tesis
Ketua Komisi Penguji : Prof. Dr. Urip Harahap., Apt.
Sekretaris Komisi Penguji : Dr. Citra Julita Tarigan, SpKJ.
Anggota Komisi Penguji : Prof. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph. D.,Apt.
Khairunnisa, M.Pharm., Ph.D.,Apt.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Pengaruh Dosis Terhadap Retensi Pada Pasien Program Terapi Rumatan Metadon Fase Rumatan di RSUP H. Adam Malik Medan”, yang disusun sebagai syarat untuk mencapai derajat Magister Farmasi pada Fakultas Famasi Universitas Sumatera Utara.
Penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr.
Masfria, M.S., Apt., yang telah memberikan fasilitas dan dukungan.
2. Ketua Program Studi Bapak Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. dan Sekretaris Program Studi Magister Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk menyelesaikan Program Magister Farmasi.
3. Dosen pembimbing I Bapak Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. dan dosen pembimbing II dr. Citra Julita Taringan SpKJ yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
4. Orangtua tercinta, Alm ayahanda Makmur Rambe dan Alm Ibunda Aslamiah Siregar, dan juga untuk kak Darlina Rambe, kak Juliana Rambe,
kak Rosita Rambe dan abanganda Raja Rambe sebagai pengganti orang tua buat penulis untuk selalu memberikan dorongan dan motivasi.
5. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Magister Farmasi Kak Evi, Kak Tata, Bang Fikri, Ovha, Rulia, dan teman-teman Magister angkatan 2015 serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam proses pendidikan.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Medan, April 2018 Penulis
Robiatun Rambe
PENGARUH DOSIS TERHADAP RETENSI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON FASE RUMATAN DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
ABSTRAK
Penggunaan opiat secara suntik diketahui berdampak buruk kepada pasien. Untuk mengurangi dampak buruk tersebut, maka perlu dilakukannya intervensi kepada pasien. Salah satu pendekatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang dapat dilakukan adalah dengan program terapi rumatan yaitu memberikan Metadon dalam sediaan cair, yang dikenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Masalah baru yang mengganggu keberhasilan program ini adalah drop out (DO) pada pasien terapi metadon.
Retensi atau lamanya paien berada pada terapi merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan PTRM ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dosis metadon terhadap retensi pasien dalam mengikuti program.
Penelitian ini adalah penelitian klinis dengan rancangan studi potong melintang. Data yang diperoleh dari rekam medis pasien dan data primer pasien.
Penelitian dilaksanakan di Klinik Metadon RSUP H.Adam Malik Medan.
Jumlah sampel penelitian adalah pengguna napza suntik (penasun) yang mengikuti PTRM sebanyak 66 orang. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 66 pasien tersebut, diperoleh persentase pasien berjenis kelamin laki-laki (100%);
usia antara 25-35 tahun (71,2,1%); pendidikan SMA sederajat 83,3%; sudah menikah 56,1%; sudah bekerja 63,6% dan jarak rata-rata tempat tinggal dengan klinik 16,93km. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Dosis rata-rata rumatan terkecil dalam fase rumatan 47,9 mg dengan kisaran 1-165 mg; dosis rata-rata rumatan terbesar adalah 165,0 mg dengan kisaran 2-185 mg. Pengaruh dosis rumatan terbesar menunjukkan pengaruh yang bermakna terhadap retensi dengan nilai p =0,015. Terdapat pengaruh yang bermakna terhadap retensi yaitu dosis rumatan terbesar dengan nilai p = 0,015 dan dosis bawa pulang (take home dose ) dengan nilai p = 0, 027. Persentase penggunaan obat dan zat-zat lain yaitu BZO (64,1%); AMP (38,5%); MET (20,5%); dan THC (20,5%). Tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pengggunaan zat lain terhadap retensi dengan nilai BZO (p 0,389); AMP (p 0,360); MET (p 0,195); dan THC (p 0,470).
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa semakin besar dosis metadon berpengaruh terhadap besar nya retensi.
Kata kunci : Metadon, program terapi rumatan metadon (PTRM), Retensi
INFLUENCE OF DOSAGE ON RETENTION IN PATIENTS METHADONE MAINTENANCE THERAPY PROGRAM FOR MAINTENANCE PHASE OF
H. ADAM MALIK MEDAN CENTRAL GENERAL HOSPITAL
ABSTRACT
The use of injectable opiates is known to have adverse effects on the patient. To reduce the adverse effects, it is necessary to do intervention to the patient. One approach to harm reduction can be done with a maintenance therapy program that provides Methadone in a liquid preparation, known as the Methadone Maintenance Therapy (MMT). New problems that interfere with the success of this program are drop out (DO) in patients with methadone therapy.
Retention or duration of paient in therapy is one indicator to see the success of this MMT. This study aims to see the effect of methadone dose on patient retention in following the program.
This study is a clinical study with cross sectional study design. Data obtained from the patient's medical record and patient's primary data. The study was conducted at Methadone Clinic of H.Adam Malik Hospital Medan.
The number of research samples are injecting drug users (IDUs) who follow MMT as many as 66 people. From a study of 66 patients, the percentage of male patients (100%) was obtained; age between 25-35 years old (71,2,1%); high school education equal to 83.3%; married 56.1%; has worked 63.6% and the distance of the average residence with the clinic is 16.93km. The results showed that the smallest mean dose of maintenance in the maintenance phase was 47.9 mg with a range of 1-165 mg; the largest average dose of maintenance was 165.0 mg with a range of 2-185 mg. There was a significant effect on retention which is the biggest maintenance dose with p = 0,015 value and take home dose with p value = 0,027. Percentage of drug use and other substances that is BZO (64,1%) ; AMP (38.5%); MET (20.5%); and THC (20.5%). There was no significant effect between the use of other substance to retention with p value of BZO (0.389); p AMP (0.360); p MET (0.195); and p THC (0.470).
The conclusion of this study is that the greater the dose of methadone has an effect on its retention.
Keywords: Methadone, methadone maintenance therapy (MMT), Retention
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 5
1.3 Hipotesis ... 6
1.4 Tujuan Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
1.6 Kerangka Konsep ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Zat NAPZA ... 8
2.1.1 Pengertian ... 8
2.1.2 Jenis – jenis NAPZA ... 8
2.1.3 Penggunaan Napza Suntik (Penasun) ... 9
2.1.4 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Zat NAPZA ... 10
2.2 Mekanisme Ketergantungan Opioid ... 11
2.3 Terapi Ketergantungan Opioid ... 16
2.4 Detoksifikasi dan penanganan medik putus obat ... 17
2.5 Metadon ... 18
2.5.1 Pengertian ... 19
2.5.2 Fisikokimia ... 19
2.5.3 Rute pemberian ... 19
2.6 Farmakokinetika ... 20
2.6.1 Absorpsi ... 20
2.6.2 Diistribusi ... 21
2.6.3 Metabolisme ... 21
2.6.4 Eliminasi ... 22
2.7 Farmakodinamika ... 22
2.8 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ... 24
2.8.1 Prinsip Terapi Rumatan Metadon ... 24
2.8.2 Pengertian Terapi Rumatan Metadon ... 25
2.8.3 Tujuan Terapi Metadon ... 27
2.8.4 Manfaat Terapi Metadon ... 28
2.8.5 Keefektifan Terapi Rumatan Metadon ... 29
2.8.6 Resiko Terapi Rumatan Metadon ... 30
2.8.7 Fase dalam terapi rumatan metadon ... 30
2.9 Retensi ... 32
2.10 Kerangka Teori ... 36
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Rancangan Penelitian ... 37
3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian ... 37
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 37
3.4 Kriteria Inklusi ... 37
3.5 Kriteria Ekskusi ... 38
3.6 Variabel Penellitian ... 38
3.6.1 Variabel Independen ... 38
3.6.2 Variabel Dependen ... 38
3.6.3 Variabel Perancu ... 39
3.7 Definisi Operasional ... 41
3.8 Analisi Data ... 43
3.8.1 Pengumpulan Data ... 43
3.8.2 Pengolahan Data ... 43
3.8.3 Analisi Data ... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44
4.1 Karakteristik Pasien ... 44
4.1.1 Jenis Kelamin ... 44
4.1.2 Usia Pasien ... 44
4.1.3 Pendidikan... 45
4.1.4 Ras/Suku ... 45
4.1.5 Status Pernikahan ... 45
4.1.6 Pekerjaan ... 45
4.1.7 Jarak Tempat Pelayanan ... 46
4.2 Deskripsi Dosis Metadon Fase Rumatan Pada Pasien PTRM ... 47
4.2.1 Dosis Rumatan Terkecil ... 48
4.2.2 Dosis Rumatan Terbesar ... 48
4.3 Pengaruh Dosis Metadon Fase Rumatan Dengan Retensi ... 47
4.4 Retensi Pasien Program Terapi Rumatan Metadon ... 48
4.5 Pengaruh Dosis Terlewat Dengan Retensi ... 51
4.6. Pengaruh Penggunaan Obat Lain Terhadap Retensi ... 51
4.7. Pengaruh Penggunaan Zat Lain Terhadap Retensi ... 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56
5.1 Kesimpulan ... 56
5.2 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
LAMPIRAN ... 64
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kerja Reseptor Opioid ... 23
Tabel 4.1 Deskriptif Dosis Metadon Fase Rumatan ... 46
Tabel 4.2 Persentase Penggunaan Zat Lain... 50
Tabel 4.3 Jumlah penggunaan Zat Lain ... 53
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 7
Gambar 2.1 Kondisi Awal Produksi Normal Noradrenalin ... 12
Gambar 2.2 Penghambatan Akut Enzim Produksi NA Rendah Abnormal 12 Gambar 2.3 Penghambatan Opioid Kronik Menyebabkan Peningkatan Aktifitas Enzim Kadar NA Normal ... 13
Gambar 2.4 Penghentian Heroin Menyebabkan Peningkatan CAMP Akibat Hilangnya Penghambatan NA Sangat Meningkat ... 14
Gambar 2.5 Mekanisme kerja opioid di lokus ceruleus ... 16
Gambar 2.6 Gambar kerangka teori ... 36
Gambar 4.1 Grafik penggunaan zat lain pada pasien PTRM ... 52
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Lembaran Persetujuan Kode Etik ... 64
Lampiran 2. Lembaran Informed Consent ... 65
Lampiran 3. Gambar Sediaan Obat Metadon ... 66
Lampiran 4. Gambar Alat Test Pengujian Drug Urine Screen ... 67
Lampiran 5. Gambar Hasil Pengujian Drug Urine Screen ... 68
Lampiran 6. Gambar Pasien Meminum Metadon ... 69
Lampiran 7. Data Statistik ... 70
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah besar yang menjadi persoalan global dan meningkatnya secara cepat dan signifikan lonjakannya di Asia, termasuk Indonesia adalah penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aktif lainnya (Napza) dan penularan HIV/AIDS. Jumlah penggunaan Napza di Indonesia terus meningkat hingga pada tahun 2008 mencapai 3,6 juta orang (Badan Narkotika Nasional, 2009). Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) menyebutkan penularan HIV tertinggi terjadi pada penggunaan Napza suntikan (Departemen Kesehatan, 2013).
Masalah gangguan penggunaan Napza suntikan menjadi salah satu media penularan utama HIV di Indonesia sejak Tahun 1999. Berdasarkan Laporan Triwulan Situasi Perkembangan HIV/AIDS Nasional Kementerian Kesehatan, proporsi kasus AIDS Tahun 2006-2011 dari faktor risiko penggunaan Napza suntikan adalah sebanyak 34%. Jumlah kasus HIV sampai Desember 2013 yang disumbangkan oleh populasi pengguna Napza suntikan adalah sebanyak 8,028 kasus dan untuk Provinsi Sumatera Utara sebanyak 222 kasus atau 17,06%. dan sampai Juni 2010 menunjukkan bahwa provinsi dengan prevalensi pengguna Napza suntikan tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Bali (Departemen Kesehatan, 2013).
Provinsi Sumatera Utara sampai Maret 2011 terdapat sebanyak 650 pengguna narkoba suntikan (penasun) dan ditargetkan mendapat pengobatan
Utara sudah berdiri sejak 2008, dan saat ini terdapat 160 pasien di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik sebagai penampung dan Puskesmas Tanjung Morawa sebagai satelit (Duma, 2012).
Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin dan sebagian besar menggunakan suntikan yang tidak aman, baik dari segi peralatan yang cenderung digunakan berulang dan bergantian, maupun lokasi penyuntikan pada tubuh yang umumnya tidak dibersihkan terlebih dahulu. Akibatnya sangat mudah mendapat infeksi seperti infeksi tulang, sendi, endokarditis, sepsis, infeksi jaringan lunak dan tetanus, maupun virus lain yang menular melalui darah seperti Hepatitis (B, C, D) dan HIV (Permenkes, 2013). Heroin merupakan psikoaktif yang paling banyak digunakan (WHO, 2008). Di Indonesia Pevalensi penggunaan heroin berusia 15-64 tahun adalah 0,16 % atau lebih dari 300,000 orang (UNDOC, 2004).
Tingkat mortalitas penggunaan heroin dalam kisaran 1-2% per tahun akibat overdosis, penyakit akibat penggunaan obat dan kematian akibat kekerasan (ASEAN-USAIN, 2007). Kematian prematur karena masalah kriminal untuk mendukung kebiasaan menggunakan heroin, ketidakjelasan dosis, kemurnian, dan bahkan identititas heroin yang digunakan (Pahlemy, 2010).
Pengurangan dampak buruk penggunaan opiat dengan cara suntik, diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu pendekatan yaitu program terapi rumatan dengan memberikan Metadona dalam sediaan cair, yang dikenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM) (Menkes, 2016).
Terapi rumatan Metadon merupakan salah satu terapi pengganti opioid (Opiate Replacement Therapy) yang diperlukan pecandu opiat untuk mengendalikan perilaku ketergantungannya dan juga sebagai salah satu upaya pengurangan dampak buruk penularan HIV/AIDS (Permenkes, 2013). Pemberian metadon tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat. Program terapi metadon dilakukan dalam jangka panjang, karena itu disebut Program Terapi Rumatan Metadon yang bertujuan untuk menurunkan risiko karena penggunaan heroin dan memperbaiki kualitas hidup.
Pasien yang menggunakan metadon dapat merasakan gejala dan fungsi yang lebih baik dibandingkan pengguna heroin dan dapat memperbaiki hubungan dengan keluarganya, serta dapat kembali melanjutkan pendidikan dan pekerjaannya (Powers,et al., 2000; Bell, et al., 2000). Terdapat penurunan aktivitas kriminal dan yang paling penting terdapat 15 kali penurunan angka kematian pada pasien program terapi ini (Bell dan Zador, 2000). Berdasarkan hasil uji coba, PTRM memberi manfaat perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan sosial, lingkungan, penurunan angka kriminalitas, penurunan depresi dan perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat (Depkes, 2006).
PTRM memang sudah terbukti dapat membantu mengurangi ketergantungan opiat. Sayangnya, muncul masalah baru yang mengganggu keberhasilan program ini, yaitu drop out (DO) dari terapi metadon yang akan mengakibatkan keinginan pasien untuk kembali lagi mengonsumsi heroin. Selain itu, pasien akan kembali berisiko tertular penyakit HIV dan AIDS. Menurut Depkes 2006 pasien yang drop out berkisar antara 40-50%. Dari penelitian yang
dilakukan Dianawati tahun 2014 di 5 (lima) Puskesmas Kecamatan di Jakarta, pasien droup out cukup tinggi yaitu 18,6 % – 55,8%. Retensi atau lamanya pasien berada pada terapi merupakan salah satu indikator untuk Program ini. Nilai retensi (retention rate) bisa digunakan untuk mengukur keberhasilan program. Penelitian yang dilakukan oleh Liu, et al.,2008 menemukan retention rate pasien terapi metadon di Guizhou China sebesar 68,8% dalam 6 bulan pengobatan dan 57,4%
dalam 12 bulan pengobatan. Retention rate di Malaysia hanya sekitar 54,69%
dalam 6 bulan pengobatan (Mohammad, et al.,2010). Sedangkan penelitian Sarasvita (2009) menunjukkan bahwa retention rate pasien terapi metadon di Indonesia secara umum adalah 74,2% (3 bulan terapi) dan 61,3% (6 bulan terapi).
Berbagai faktor yang mempengaruhi retensi pasien pada program perawatan untuk mencapai tingkat kesehatannya adalah faktor pasien itu sendiri berupa perilaku pasien seperti pengetahuan dan sikap. Di samping itu pelayanan kesehatan terkait dosis yang diberikan kepada pasien juga merupakan faktor memungkinkan pasien untuk lebih lama bertahan dalam terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Huissod, et al., 2012 dan Bao, et al., 2009 menunjukkan ada pengaruh antara dosis dengan retensi pasien terapi metadon. Penelitian Liu, et al.,2009 dan Dilla, et al., 2014 juga menunjukkan pengaruh antara dosis dengan retensi pasien dalam terapi metadon.
Penelitian di Israel, menunjukkan bahwa dari 196 pasien yang mengikuti PTRM di antaranya pengkomsumsi benzodiazepin, kokain dan amfetamin selama dalam terapi metadon (Drake, et al.,1993).
Penelitian di RSKO Jakarta terkait prediktor retensi selama 1 tahun atau lebih pada berbagai variabel yaitu usia, dosis metadon, jenis kelamin, pendidikan,
tempat tinggal, pekerjaan dan status pernikahan. Di ketahui bahwa dosis dan usia merupakan prediktor retensi 1 tahun atau lebih pada terapi rumatan metadon (Nuryalis, 2008). Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini di maksudkan untuk menelaah pengaruh antara dosis dan retensi dan belum pernah dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian mengenai pengaruh berbagai pengukuran dosis metadon dan retensi pada pasien belum dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Informasi mengenai pengaruh antara dosis metadon retensi dan diperlukan untuk mengetahui besaran dosis yang diberikan kepada pasien yang mempengaruhi lamanya retensi serta kepuasan pasien terhadap dosis yang diterima dan apakah pemberian dosis metadon yang lebih besar akan mendapatkan retensi yang lebih lama. Secara spesifik perumusan permasalahan adalah :
a. bagaimana pengaruh dosis metadon fase rumatan terhadap retensi
b. bagaimana pengaruh antara dosis terlewat dengan retensi pada terapi rumatan metadon?
c. bagaimana pengaruh penggunaan obat dan zat-zat lain selama terapi rumatan metadon dengan retensi pada terapi rumatan metadon ?
1.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hipotesis penelitian adalah :
a. ada pengaruh dosis metadon fase rumatan terhadap retensi
b. ada pengaruh antara dosis terlewat dengan retensi pada terapi rumatan metadon
c. ada pengaruh penggunaan obat dan zat-zat lain selama terapi rumatan metadon dengan retensi pada terapi rumatan metadon
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hipotesis tersebut maka tujuan dari penelitian adalah : a. mengetahui pengaruh antara dosis metadon fase rumatan dengan retensi.
b. mengetahui pengaruh dosis terlewat terhadap retensi .
c. mengetahui penggunanan obat dan zat zat lain selama mengikuti terapi rumatan metadon.
1.5 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penetian maka diperoleh mamfaat sebagai berikut : a. Informasi mengenai pengaruh berbagai pengukuran dosis dengan
retensi menjadi pertimbangan bagi penetapan dosis yang paling mempengaruhi efektifitas terapi
b. Pengetahuan faktor lain yang mempengaruhi retensi menjadi perhatian untuk meningkatkan efektifitas terapi rumatan metadon
c. Pengaruh dengan retensi dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang tepat terutama terhadap keberlanjutan terapi rumatan metadon.
1.6 Kerangka Pikir
Dilakukan pengamatan terhadap dosis metadon yang diterima pasien pada tahap rumatan yang menjadi variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini adalah retensi, yang merupakan salah satu outcome terapi rumatan metadon yang efektif. Retensi merupakan salah satu indikator berfungsinya program terapi rumatan metadon. Penetapan dosis yang memadai merupakan faktor kritikal meningkatkan outcome terapi rumatan metadon ( National Treatment Agency for Substance Missuse, 2005).
Variabel bebas Variabel terikat Parameter
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Dosis Metadon pada fase
rumatan Retensi Terapi Hari
Riwayat dosis terlewatkan Pengunaan zat lain terlewatkan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zat NAPZA 2.1.1 Pengertian
NAPZA adalah singkatan dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yaitu setiap bahan kimia /zat yang bila masuk ke dalam tubuh mempengaruhi susunan saraf pusat yang manifestasinya berupa gejala fisik dan psikologis (Menkes, 2015). Narkoba merupakan istilah yang sering digunakan untuk narkotika dan obat berbahaya. NAPZA adalah istilah untuk zat-zat yang pemakaiannya dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang kuat dan psikologis yang lama (drug dependence).
Menurut Witarsa (2006) narkoba merupakan sebutan bahan yang tergolong narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Di samping lazim dinamakan narkoba, bahan-bahan serupa biasa juga disebut dengan nama lain, seperti NAZA (Narkotika, alkohol, dan Zat Adiktif lainnya) dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) (Depkes, 2004).
2.1.2 Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
a. Narkotika; merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009).
b. Psikotropika; Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis (Purba, 2010).
c. Zat Adiktif Lainnya; merupakan zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan.
Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar etanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar etanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar etanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky (Purba, 2010) .
2.1.3 Pengguna Napza Suntik (Penasun)
Istilah penasun berasal dari pengguna narkoba suntik yang umumnya disebut Injecting Drug User (IDU) yang berarti individu yang menggunakan obat terlarang (narkotika) dengan cara disuntikkan menggunakan alat suntik ke dalam aliran darah. Penyuntikan narkoba telah menjadi hal yang umum sejak akhir abad
20, dan melibatkan sekitar 5-10 juta orang di 125 negara. Di seluruh dunia, narkoba yang umum digunakkan melalui suntikan adalah heroin, amfetamin, dan kokain walaupun banyak narkoba yang lain yang juga disuntikkan, khususnya obat penenang (BNN, 2006).
Narkoba yang digunakan termasuk jenis narkotika pada golongan I yaitu heroin. Pada kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw dan ini adalah jenis yang paling banyak dikonsumsi oleh para pengguna narkoba suntik (BNN, 2006).
2.1.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA terjadi oleh adanya interaksi berbagai faktor, yakni faktor predisposisi, kontribusi, dan pencetus. Faktor predisposisi adalah faktor yang membuat individu cenderung menyalahgunakan NAPZA, yang tergolong faktor ini antara lain gangguan kepribadian antisosial, kecemasan, dan depresi. Sedangkan yang tergolong cukup dominan sebagai faktor kontribusi dalam terjadinya penyalahgunaan NAPZA adalah faktor keluarga, baik kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua, maupun hubungan interpersonal dalam keluarga tersebut. Kondisi keluarga yang mengalami gangguan/disfungsi merupakan faktor potensial dalam mendorong terjadinya penyalahgunaan NAPZA. Anak-anak yang bertumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami disfungsi memiliki peluang 7,9 kali untuk terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA. Sementara itu faktor pencetus adalah faktor yang mendorong sehingga penyalahgunaan NAPZA terjadi, dan yang tergolong dominan dalam hal ini adalah pengaruh teman kelompok sebaya (Hawari, 2002)
2.2 Mekanisme Ketergantungan Opioid
Menurut International Classification of Dissease(ICD)-10, ketergantungan adalah keadaan terganggunya fungsi kognitif, perilaku, dan gejala fisiologis yang menunjukkan seseorang terus menggunakan napza meski secara klinis nyata menimbulkan masalah. Hal ini ditandai dengan keinginan kuat untuk terus menggunakan, sulit mengendalikan, mengabaikan kegiatan lain yang penting dalam hidup seperti pekerjaan, hubungan sosial, rekreasi karena hampir seluruh waktu tersita kegiatan terkait penggunaan napza, toleransi dimana kadar zat perlu ditingkatkan untuk mendapatkan efek yang sama seperti sebelumnya dan gejala putus zat ketika zat dihentikan (World Health Organization, 2015).
Toleransi, ketergantungan dan adiksi opioid merupakan manifestasi perubahan otak yang timbul akibat penyalahgunaan opioid kronik. Heroin adalah salah satu zat yang termasuk dalam golongan opioid yang berasal dari bahan semisintetis. Pengguna opioid dalam proses pemulihan bekerja mengatasi efek perubahan otak tersebut. Pengobatan seperti metadon, buprenorfin bekerja pada struktur otak yang sama dan memiliki efek protektif atau perbaikan.
Meskipun obat tersebut efektif, untuk hasil optimal perlu diberikan bersamaan dengan terapi psikososial yang sesuai (Kosten, et al., 2002).
Lokus sereleus (LS) adalah kausa otak yang terlibat dalam proses ketergantungan opioid dan putus obat. Opioid mempengaruhi proses pada LS yang mengontrol pelepasan noradrenalin (NA), suatu bahan kimia yang menstimulasi kesadaran, tonus otot dan pernafasan selain fungsi lainnya.
Pada kondisi normal (Gambar 2.1) bahan opioid alami yang dihasilkan tubuh berikatan dengan reseptor opioid pada permukaan saraf. Ikatan
tersebut mengaktifasi enzim yang mengubah adenosin triposfat (ATP) menjadi siklik adenosin monoposfat (cAMP), yang selanjutnya memicu pelepasan NA.
Sebelum dimulai penyalahgunaan opioid, neuron menghasilkan yang cukup NA untuk memelihara tingkat normal kesadaran, tonus otot, dan respirasi.
Gambar 2.1 Kondisi awal: Produksi normal Noradrenalin (Kosten, et al., 2002).
Ketika heroin atau opioid lain berikatan dengan reseptor opioid µ (Gambar 2.2), terjadi penghambatan enzim yang mengubah ATP menjadi cAMP. Akibatnya semakin sedikit cAMP yang dihasilkan, semakin sedikit pada NA yang dilepaskan. Kesadaran, tonus otot, dan pernafasan menjadi tertekan, sehingga muncul efek opioid akut seperti nafas dalam.
Gambar 2.2 Penghambatan akut enzim; produksi NA rendah abnormal (Kosten, et al., 2002).
Pada penggunaan heroin berulang (Gambar 2.3 ) syaraf meningkatkan suplai enzim dan molekul ATP. Dengan bahan baku yang bertambah, syaraf dapat menghasilkan cAMP yang cukup untuk mengatasi efek penghambatan obat dan melepaskan NA dalam jumlah normal meskipun menggunakan heroin. Pada tahap ini, individu tidak lagi mengalami intensitas efek opioid yang sama dengan efek ketika pertama kali menggunakan.
Gambar 2.3 Penghambatan opioid kronik menyebabkan peningkatan aktifitas
enzim: kadar NA normal (Kosten, et al., 2002).
Ketika heroin dihentikan setelah penyalahgunaan yang kronik (Gambar 2.4) pengaruh penghambatan obat menjadi hilang. Suplai enzim dan ATP tinggi, sehingga syaraf menghasilkan kadar cAMP yang tinggi dan menyebabkan pelepasan NA dalam jumlah banyak. Pasien merasakan gejala putus obat – cemas, kramp otot, menggigil dan lainnya. Syaraf akan kembali pada kondisi dasar (gambar 2.1) dalam beberapa hari atau beberapa minggu (Kosten, et al., 2002).
Gambar 2.4 Penghentian heroin menyebabkan peningkatan cAMP akibat hilangnya penghambatan; NA sangat meningkat (Kosten, et al.,
2002).
Bagian otak lain selain LS yang berkontribusi terhadap timbulnya gejala putus obat adalah sistem reward mesolimbik. Sistem ini menghasilkan tanda pada bagian otak yang disebut ventral tegmental area (VTA) yang menyebabkan pelepasan dopamin (DA) pada nucleus akumben (NAc). Pelepasan dopamain ini ke NAc menyebabkan perasaan senang. Toleransi opioid mengurangi pelepasan dopamin VTA ke NAc dapat mencegah pasien merasakan kesenangan dari kegiatan reward yang normal seperti makan, perubahan ini pada VTA dan system reward DA merupakan system otak yang penting yang mendasari craving dan penggunaan obat yang kompulsif.
Bagian otak lain yang mengatur ingatan atau memori yang mengubungkan perasaan senang dengan kondisi lingkungan. Memori ini, disebut hubungan terkondisi, sering menyebabkan craving ketika pasien kembali berhubungan dengan orang, tempat, atau sesuatu dan hal itu akan mendorong pasien menggunakan NAPZA meskipun banyak halangan. Pada awal masa ketergantungan, stimulasi opioid pada sistem reward otak merupakan alasan utama menggunakan opioid berulang, penggunaan opioid secara kompulsif
kompulsi ini terkait dengan toleransi dan ketergantungan (Kosten, et al., 2002).
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin itu sendiri
Heroin bekerja di dua tempat utama, yaitu susunan saraf pusat dan visceral. Pada susunan saraf pusat opioid (heroin) berefek di daerah korteks, hipokampus, thalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus ceruleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis. Pada sistem saraf visceral, opioid (heroin) bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi (Jones, et al., 2008).
Heroin yang merupakan salah satu opioid, efeknya diperantarai oleh reseptor opioid yaitu reseptor mu, kappa dan delta. Reseptor mu terlibat dalam proses analgesia, depresi pernafasan, sembelit dan ketergantungan obat. Reseptor kappa terlibat dalam analgesia, diuresis dan sedasi. Reseptor delta terlibat dalam analgesia. Dalam tubuh terdapat opioid endogen sebanyak tiga jenis yaitu endorfin, dismorfin dan enkepalin. Opioid endogen berinteraksi dengan sistem neuronal seperti sistem saraf dopaminergik dan noradrenergik. Ketergantungan heroin diperantarai oleh aktivasi neuron dopaminergik di ventral tegmental area (VTA) di korteks cerebral dan di sistem limbik. Heroin bekerja di locus ceruleus (LC) dengan meningkatkan konduksi dari kanal ion K melalui coupling subtipe Gi atau G0 dengan menurunkan masuknya Na+ dan penghambatan adenylcyclase
(Gambar 2.5). Berkurangnya jumlah cAMP akan menurunkan protein kinase A (PKA) dan fosforilasi (Sadock, et al., 2015).
Gambar 2.5 Mekanisme kerja opioid di lokus ceruleus (Sadock, et al., 2015)
2.3 Terapi Ketergantungan Opioid
Terapi ketergantungan opioid merupakan serangkaian intervensi farmakologi dan psikososial yang bertujuan mengurangi atau menghentikan bahaya akibat penggunaan opioid, mencegah bahaya akibat penggunaan opioid dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahtraan pasien (WHO, 2009).
Secara umum, terdapat dua pendekatan farmakolologi terapi ketergantungan opioid yaitu berdasarkan detoksifikasi dan terapi putus obat serta terapi rumatan
Ketergantungan fisik merupakan kondisi penyesuaian pada tubuh terhadap suatu keadaan gejala putus zat atau withdrawal syndrome yang terjadi apabila penghentian obat secara tiba-tiba, penurunan dosis dengan cepat, penurunan kadar obat dalam darah, dan pemberian suatu antagonis. Adiksi merupakan penyakit primer, kronik, neurobiologi yang dipengaruhi oleh perkembangan dan manifestasinya faktor genetik, psikososial dan lingkungan (WHO, 2008).
Pada penggunaan berulang, obat adiktif menginduksi perubahan adaptif seperti toleransi (misalnya peningkatan dosis untuk memdapat kan efek seperti awal penggunaan). Ketika NAPZA tidak lagi digunakan, maka gejala putus obat muncul. Ketika terjadi sindrom putus obat, maka terjadi ketergantungan. Adiksi terjadi ketika ditemukan penggunaan obat yang kompulsif, berulang, relaps meskipun terdapat konsekuensi negatif, dipicu oleh craving yang terjadi sebagai respon pemicu (Luscher, 2007).
2.4 Detoksifikasi dan Penanganan Medik Putus Obat
Detoksifikasi meliputi proses pembersihan tubuh dari obat yang sering disertai putus obat. Tujuan detoksifikasi adalah menyediakan terapi yang mengurangi gejala putus obat dengan aman dan nyaman dari perubahan mood akibat penggunaan NAPZA (Wodak, 2001).
Detoksifikasi umumnya dianggap sebagai tahap awal terapi karena di desain untuk menangani efek psikologis yang akut dan berbahaya akibat penghentian penggunaan obat. Puncak Putus opioid terjadi pada 2-3 hari setelah penghentian penggunaan nya. Berikut adalah kriteria Diagnostik Putus Opioid
berdasarkan International Classification Desease X (ICD X), Tiga atau lebih dari yang tersebut dibawah ini :
a. Perasaan disforik b. Mual atau muntah c. Nyeri otot
d. Lakrimasi atau rinore
e. Pupil melebar, piloereksi, atau berkeringan f. Diare
g. Menguap berkali kali h. Demam
i. Insomia (WHO, 2015).
2.5 Metadon 2.5.1 Pengertian
Metadon hidroklorida adalah derivat diphenylheptane merupakan opioid analgesic yang bekerja sebagai opoid agonist μ. Dosis tunggal metadon
menghasilkan efek sedatif yang lebih rendah dibandingkan dosis tunggal morfin.
Selain digunakan pada terapi nyeri berat, metadon juga digunakan sebagai terapi pada ketergantungan opioid (Sweetman, et al., 2007).
Metadon adalah narkotika berupa obat jadi dalam bentuk sediaan tunggal termasuk jenis Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Depkes, 2009).
2.5.2 Fisikokimia
Metadon merupakan basa larut dalam lemak dengan Pka 9,0 karena terionisasi sempurna pada pH 7,4 (>90%). Diberikan dalam bentuk garam klorida yang larut baik dalam air (Pahlemy, 2010).
Metadon dikenal sebagai campuran rasemik, terdiri dari 2 enansiomer, l- metadon atau R-metadon dan d-metadon atau S-metadon. Perbedaan antara 2 enansiomer ini terlihat pada farmakokinetik dan farmakodinamiknya. R-metadon memilki afinitas 10 kali lebih tinggi terhadap reseptor μ dan δ dan memiliki 50 kali aktivitas analgesik daripada S-metadon pada uji coba model manusia dan hewan. Hanya R-metadon yang secara signifikan memiliki aktivitas terhadap reseptor agonis μ, sedangkan S-metadon tidak efektif sebagai opioid agonis. R- metadon terikat lebih rendah dengan asam α1-glikoprotein sebagai pengikat protein utama, dibandingkan dengan S-metadon (Kristensen, et., al. 1995).
2.5.3 Rute pemberian
Metadon umumnya diberikan satu kali secara oral pada terapi rumatan, dengan konsentrasi 1 mg/ml. Pemberian metadon per oral memiliki bioavailabilitas antara 80-95%, sangat berbeda bila di bandingkan dengan morfin melalui jalur yang sama hanya 30%. walaupun bioavailabilitas intravena mencapai 100%. Kemungkinan rute pemberian metadon lainnya adalah melalui rektal (dalam bentuk sediaan supositoria lepas lambat), intravena, intramuskuler, subkutan, dan transdermal (Eap, et al.,2002). Rute pemberian non-parenteral bertujuan mencegah atau secara substansial mengurangi injeksi opioid terlarang seperti heroin (WHO, 2008).
2.6 Farmakokinetika
Metadon terdapat dalam darah setelah 30 menit pemberian secara oral, serta membutuhkan waktu antara 2-4 jam untuk mencapai konsentrasi puncak dalam plasma. Metadon mencapai kondisi keadaan mantap di dalam tubuh (ketika laju eliminasi obat sebanding dengan laju pemberian) setelah 4-5 kali waktu paruh atau sekitar 3-10 hari. Ketika stabilisasi tercapai, variasi konsentrasi dalam darah relatif kecil dan terjadi penekanan gejala putus obat dengan baik.
Adanya fluktuasi konsentrasi metadon memunculkan putus obat diantara waktu pemberian metadon (Pahlemy, 2010).
2.6.1 Absorpsi
Metadon diabsorpsi dengan baik dalam saluran cerna. Setelah pemberian oral (pada terapi ketergantungan heroin) absorpsi metadon terjadi dengan cepat dan bioavailabilitas oral antara 36-100% (Pahlemy, 2010).
Laju absorbsi metadon dipengaruhi oleh P-glikoprotein intestinal (P-gp).
P-gp telah diketahui berperan dalam fenomena resistensi obat, karena P-gp akan mengeluarkan obat dari dalam sel. Fungsi fisiologis P-gp sebenarnya mencegah absorbsi bahan toksik melalui permukaan internal dan eksternal, dan membantu mengeliminasi. Pada kasus metadon, P-gp mentransferkannya ke luar epitel intestinal, dan kedalam usus besar. Pada individu yang memiliki eksporsi P-gp yang tinggi, jumlah obat yang diabsobsi menjadi rendah(Vendramin, 2009).
Penghambatan akses obat ke sirkulasi sistemik termasuk dalam melalui absorbsi dari lumen gastrointestinal via mukosa intestinal; melalui metabolisme oleh isoform di mukosa gastrointestinal (khususnya CYP3A4) dan terjadi metabolisme lintas pertama di hati. Bersihan intrinsik metadon oleh enzym
CYP3A4 di saluran gastrointestinal cukup rendah sehingga ekstraksi obat melampaui mukosa intestinal dan melewati hati sangat mudah. Secara keseluruhan, tidak terlihat kecenderungan perubahan sistemik yang bermakna dalam jumlah absorbsi metadon di saluran gastrointestinal (Vendramin, 2009).
2.6.2 Distribusi
Metadon secara luas distribusi ke seluruh tubuh dan memiliki laju distribusi yang tinggi ke jaringan, tersebar ke darah dan jaringan otak dalam jumlah sedikit,dan terdapat dalam konsentrasi tinggi di hati, ginjal dan paru- paru. Selama kehamilan, metadon tersebar ke plasenta, sehingga konsentrasi pada cairan amniotik serupa dengan plasma ibu. Volume distribusi pada kondisi k e a d a a n m a n t a p a n t a r a 1–8 L/kg. Ikatan protein plasma asam α-1 glikoprotein adalah 60-90%. Sedangkan Ikatan protein plasma asam γ- glikoprotein hanya 13,4-17,4%. (Ferrari, et al., 2004).
2.6.3 Metabolisme
Metadon dimetabolisme di hati, oleh N-demetilasi menjadi produk metabolit yang tidak stabil yang mengalami siklisasi menjadi 2-etil- 1 , 5-metil- 3,3,difenilpirolidin (EMDP) dan 2-etil-1,5-dimetil-3,3 difenilpirolidin (EDDP).
Produk metabolit lainnya metadol dan normetadon memiliki aktifitas farmakologi yang serupa dengan metadon tetapi terdapat pada konsentrasi kecil.
Ketiganya di ekskresi melalui empedu dan urin (Sweeman, et al., 2007).
Metabolisme metadon terutama dilakukan oleh enzim hati yaitu isoform sitokrom P450 (enzim CYP450). Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa beberapa isoform, CYP3A4, CYP2D6 dan sedikit CYP1A2 serta CYP2C9 dan CYP2C19 mempengaruhi metabolisme dari metadon. Perbedaan individual dari
aktivitas CYP1A2 dan CYP3A4, serta polimofisme CYP2D6 dan juga CYP2C9 dan CYP2C19, menyebabkan perbedaan yang besar pada metabolisme metadon (Eap, CB., 1999).
2.6.4 Eliminasi
Bersihan Metadon sebagian melalui ginjal dan sebagian lagi melalui hati. Sekitar 10% diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin. Karena sifatnya yang lipofilik dan basa, maka perubahan pH berpengaruh terhadap laju ekskresi metadon; pada pH > 6, maka ekskresi melalui ginjal akan menurun hingga 4% dari jumlah total. Sedangkan pH < 6, laju ekskresi meningkat hingga lebih besar 30%; pada kondisi pH tetap, variasi antar individu pada bersihan ginjal sebesar 27% (Vendramin, 2009).
Jalur metabolik utama metadon adalah demetilasi menjadi EEDP dan merupakan 40- 60% bersihan total. Ini berarti, bahwa faktor yang mengubah jumlah atau aktivitas CYP3A4, khususnya di hati, memberi pengaruh yang bermakna terhadap bersihan metadon (Ferrari, et al., 2004).
2.7 Farmakodinamika
Metadon berikatan dengan reseptor Mu (μ), Kappa (κ), and Delta (δ) dengan afinitas dan efek yang berbeda (Tabel 2.1). Reseptor opioid terdapat dalam konsentrasi yang berbeda pada berbagai kawasan di sistem saraf.
Beberapa reseptor yang terlibat menginduksi analgesia terdapat pada periaquductal gray, sedangkan reseptor yang bertanggung jawab terhadap efek penguatan terdapat pada ventral tegmental area (VTA) dan nukleus akumben. Pada lokus sereleus yang berperan penting pada pengendalian
aktivitas otonom; aktivasinya menyebabkan penghambatan firing sereleus.
Setelah putus obat terdapat peningkatan firing lokus sereleus yang menyebabkan munculnya hiperaktivitas otonom pada putus opiat (Stotts, et al., 2009).
Tabel 2.1 Kerja Reseptor Opioid
Reseptor Opioid
µ Κ Δ
Kerja Analgesia (supraspinal) Sedasi
DepresiPernafasan Hipotermia Efek penguatan Eforia
Mual dan muntah Retensi urin
Analgesia (spinal) Sedasi
Diuresis
Analgesia
DepresiPernafasan Efek penguatan Mual dan muntah
Ligan endogen
Endomorfin
β- endorfin Dinorfin
Enkefalin β- endorfin (Al-Hasani, et al., 2011)
Kemampuan opioid menginduksi analgesia dimediasikan oleh aktivasi reseptor μ pada supraspinal dan aktivasi reseptor κ pada spinal cord. Efek opioid lain yang berhubungan dengan stimulasi reseptor μ adalah eforia, miosis, depresi pernafasan dan penurunan motilitas saluran cerna. Reseptor μ opioid juga meningkatkan kadar dopamin mesolimbik, mengganggu memori, memfasilitasi potensiasi jangka panjang dan menghambat motilitas kantung kemih dan diuresis. Sebaliknya stimulasi reseptor κ sering dikaitkan dengan
disforia. Akibatnya reseptor μ dan κ. Didalam sel akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Menghambat aktivitas adenilat siklase dan produksi cAMP d i i n d u k s i k a melalui mekanisme yang dimediasi Gi protein.
b. Meningkatkan masuknya K+ yang menghipolarisasi syaraf
c. Menekan masuknya Ca2+ yang menurunkan jumlah Ca2+ intrasel dan menghambat pelepasan transmisi melalui reseptor opioid yang terdapat di ujung presinap (Sadock, et al., 2010).
Selain bekerja pada reseptor opioid, metadon juga berperan sebagai antagonis reseptor NMDA (N-Metil-D-Aspartat) non-kompetetif dan menghambat ambilan kembali serotonin. Reseptor NMDA dan sistem serotonergik berperan penting dalam mengatur pernafasan, dan terdapat potensi perubahan fungsi pernafasan akibat modulasi metadon. Pada dosis normal, kerja metadon pada pernafasan diakibatkan oleh aktifitas reseptor opioid (White, 2002).
2.8 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) 2.8.1 Prinsip Terapi Rumatan Metadon
Metadon mengurangi masalah terkait d e n g a n ketergantungan opioid karena karakteristik farmakologinya yang memungkinkan pasien beprilaku secara normal. Pemberian yang teratur metadon dengan dosis yang konsisten akan menghasilkan kondisi stabil (NSW, 2006). Metadon memiliki karakteristik farmakologi yang menguntungkan, yaitu:
a. absorbsi yang baik secara oral tanpa menimbulkan intoksikasi yang cepat
b. bersifat toleransi silang dengan heroin, menghilangkan putus heroin dan mengurangi penggunaan heroin
c. memiliki waktu paruh yang panjang dibandingkan heroin, sehingga pemberian dosis tunggal dapat memelihara kadar dalam darah.
Prinsip terapi pada PTRM adalah start low go slow aim high, artinya dimulai dosis rendah adalah aman, peningkatan dosis perlahan adalah aman, dan dosis rumatan yang tinggi adalah lebih efektif (Depkes, 2013).
2.8.2 Pengertian Terapi Rumatan Metadon
Terapi rumatan Metadon merupakan salah satu terapi pengganti opiat (Opiate Replacement Therapy) yang diperlukan bagi pecandu opiat untuk mengendalikan perilaku ketergantungannya dan juga sebagai salah satu upaya pengurangan dampak buruk penularan HIV/AIDS (Depkes, 2013).
Terapi metadon sebagai terapi substitusi pengganti adiksi opioid pengguna narkoba suntik berbentuk cair yang penggunaannya dilakukan dengan cara diminum (BNN, 2008). Metadon dipilih sebagai terapi substitusi utama karena memiliki efek menyerupai morfin dan kokain dengan masa kerja yang lebih panjang sehingga dapat diberikan satu kali sehari dan penggunaannya dengan cara diminum. Efek yang ditimbulkan metadon mirip dengan yang ditimbulkan heroin, namun efek “fly”-nya tidak senikmat biasanya pada metadon, sifat ketergantungannya tidak seburuk heroin dan gejala putus obatnya tidak seberat heroin (Depkes, 2013).
Terapi substitusi opioid merupakan bentuk intervensi yang dianggap efektif, evidence-based, sangat direkomendasikan oleh WHO dan badan persatuan bangsa–bangsa (PBB) untuk mencegah penyebaran HIV dan menangani
ketergantungan opioid. Intervensi yang dilakukan meliputi pemberian opioid dengan durasi kerja panjang pada pasien ketergantungan opioid, biasanya diberikan non-parenteral, untuk tujuan terapetik mencegah atau secara substansial mengurangi injeksi opioid terlarang seperti heroin (WHO, 2008).
Terapi rumatan adalah pendekatan jangka panjang yang memberikan kesempatan kepada pasien untuk kembali memasuki kehidupan sosial yang normal. Melalui pengontrolan craving dan penggunaan opioid, terapi ini memungkinkan terjadi pemulihan kondisi medik secara perlahan (ASEAN- USAID, 2007).
Terapi substitusi rumatan lebih efektif dibandingkan terapi putus obat atau terapi antagonis untuk menurunkan penggunaan NAPZA dan mempertahankan pasien agar tetap dalam terapi untuk menurunkan penggunaan opioid dan retensi yang lebih lama (WHO, 2008).
Terapi rumatan metadon telah diperkenalkan oleh Dole dan Nyswander untuk menghilangkan gejala putus zat heroin pada pasien ketergantungan opioid hampir 40 tahun yang lalu (Jamieson, et al., 2002). Estimasi pengguna heroin di Amerika Serikat menurut laporan IOM (Institute of Medicine) 500,000 sampai 1,000,000 orang atau lebih, tetapi hanya 18-36% dari pengguna heroin yang mengikuti terapi rumatan metadon. Terapi rumatan metadon National Institute of Health, dikenal sebagai terapi yang paling efektif pada penanganan
ketergantungan heroin (Joseph, et al., 2000).
Terapi metadon umumnya hanya diselengarakan pada rumah sakit/klinik khusus (misalnya pada klinik rumatan metadon). Program terapi khusus ini menawarkan obat opioid sintetik kerja jangka panjang yaitu metadon dengan dosis
yang cukup untuk mencegah gejala putus zat opioid sehingga memblok efek penggunaan opioid ilegal dan menurunkan kebutuhan opioid (NIH, 2009).
2.8.3 Tujuan Terapi Metadon
Penggunaan metadon bertujuan untuk mengurangi penggunaan narkoba suntik, sehingga jumlah penyebaran HIV/AIDS berkurang, selain itu metadon juga dapat meningkatkan fungsi psikologis dan sosial, mengurangi risiko kematian dini, mengurangi tindak kriminal karena tingkat kecanduan yang dapat menyebabkan seorang pengguna menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkan narkoba misalnya dengan mencuri atau merampok dapat ditekan, selain itu metadon juga bertujuan untuk mengurangi dampak buruk akibat penyalahgunaan narkoba itu sendiri (Duma, 2012).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 567 Tahun 2006 mengenai Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA) menyatakan bahwa tujuan dari Terapi Rumatan Metadon adalah :
a. menghentikan penggunaan napza
b. meningkatkan kesehatan pengguna NAPZA dengan menyediakan dan memberikan terapi ketergantungan NAPZA serta perawatan kesehatan umum.
c. memberi ruang untuk menangani berbagai masalah lain di dalam hidupnya dan menciptakan jeda waktu dari siklus harian untuk membeli dan menggunakan NAPZA.
d. meningkatkan kualitas hidup pengguna NAPZA suntik baik secara psikologis, medis, dan maupun sosial.
e. menurunkan angka kematian karena overdose dan menurunkan angka kriminalitas.
2.8.4 Manfaat Terapi Metadon
Berbagai macam manfaat terapi metadon di antaranya metadon dapat mengembalikan kehidupan pengguna agar mendekati kehidupan normal, pasien yang menggunakan metadon dapat selalu terjangkau oleh petugas karena pemakaian metadon yang digunakan secara oral atau diminum langsung di depan petugas, pasien berhenti/mengurangi menggunakan heroin, pasien berhenti/mengurangi menggunakan jarum suntik serta meningkatkan kesehatan fisik, dan status gizi karena pola hidupnya teratur; metadon juga dapat membuat hubungan antara pasien dan keluarga menjadi lebih baik dan stabil; masa kerja metadon lebih panjang dibandingkan dengan heroin atau putaw, harga metadon tidak mahal atau murah dibandingkan dengan heroin dan putaw, metadon bersifat legal sehingga pasien tidak merasa takut tertangkap oleh polisi, dan metadon juga dapat diikuti dan disertai konseling, perawatan medis, dan pertolongan lain (Duma, 2012).
Upaya mengurangi dampak buruk penggunaan narkoba (harm reduction) terdiri dari beberapa kegiatan, salah satunya adalah program terapi substitusi.
Salah satu program terapi substitusi ini adalah program terapi metadon.
Berdasarkan hasil uji coba PTRM di RS Sanglah dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), diperoleh hasil yang positif yaitu perbaikan kualitas hidup dari segi fisik, psikologi, hubungan sosial dan lingkungan, penurunan angka kriminalitas, penurunan depresi dan perbaikan kembali ke aktivitas sebagai anggota masyarakat (Depkes, 2007).
2.8.5 Keefektifan Terapi Rumatan Metadon
Keefektifan terapi rumatan metadon akan dipaparkan sebagai berikut : a. angka kematian menurun; pasien dalam terapi rumatan metadon selama 1 tahun
hanya menghasilkan 1% kematian dibandingkan dengan pasien yang tidak mengikuti terapi ini kurang dari 1 tahun sebesar 8%
b. penyebaran HIV; pasien yang tidak mengikuti terapi rumatan metadon pada pengamatan selama 18 bulan, memiliki peluang lebih besar terinfeksi HIV daripada pasien yang mengikuti terapi rumatan metadon.
c. penyebaran virus HCV; penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa penasun yang menjalani PTRM dan tidak mengkonsumsi obat-obat lain serta alkohol, dapat terhidar dari infeksi HCV.
d. angka kriminalitas menurun; angka kriminalitas pasien ketergantungan narkotik menurun dari 35% menjadi 9% setelah menjalani terapi metadon selama 30 hari.
e. penggunaan obat-obat ilegal menurun; penelitian hasil keluaran terapi ketergantungan obat pada pasien terapi rumatan metadon, memperlihatkan bahwa terjadinya penurunan penggunaan obat ilegal dari 89% menjadi 28%.
f. memperbaiki fungsi sosial dan kualitas hidup; penelitian sebelumnya menyatakan bahwa 12 dari 17 pasien yang menggunakan terapi metadon selama kurang lebih 2 tahun tidak kembali menggunakan obat lain.
Sepuluh orang diantaranya kembali bekerja dan dua orang lainnya dapat kembali melanjutkan pendidikannya. Kualitas hidup mengalami perbaikan setelah pasien 1 tahun menjalani terapi.
g. menurunkan perilaku injeksi; terapi rumatan metadon dapat menurunkan kebiasaan injeksi, sebesar 36% pada bulan pertama terapi (Bell, et al., 2000).
2.8.6 Resiko Terapi Rumatan Metadon
Berbagai risiko yang terjadi dalam terapi rumatan metadon seperti di paparkan di bawah ini:
a. overdosis pada fase induksi
Metadon diketahui dapat bersifat fatal terhadap individu yang tidak toleran terhadap dosis terapi rumatan metadon, sehingga sangat penting untuk memastikan bahwa pasien tidak mengkonsumsi dosis lebih dari yang
diresepkan, khususnya pada awal terapi.
b. kecelakaan berupa keracunan pada anak-anak
Metadon sebaiknya dijauhkan dari jangkauan anak-anak pada pemberian take home doses.
c. penyimpangan dosis yang diterima pada pemberian take home dose sebaiknya hanya diperuntukkan pada pasien-pasien yang memiliki respon baik terhadap terapi untuk menghindari penyimpangan terhadap dosis yang diterima pasien.
2.8.7 Fase dalam terapi rumatan metadon Tahapan dalam terapi rumatan metadon a. fase induksi/ tahap inisiasi
Dosis awal yang dianjurkan adalah 15-30 mg untuk tiga hari pertama.
Kematian sering terjadi bila dosis awal melebihi 40 mg. Pasien harus diobservasi 45 menit setelah pemberian dosis awal untuk memantau tanda-tanda toksisitas atau gejala putus obat. Dosis akan dimodifikasi sesuai dengan keadaan, jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat.
Estimasi yang terlalu tinggi tentang toleransi pasien terhadap opiat dapat berakibat toksik akibat dosis tunggal, serta kemungkinan pasien dalam keadaan toksik akibat akumulasi metadon karena waktu paruhnya panjang. Estimasi toleransi pasien terhadap metado yang terlalu rendah menyebabkan risiko pasien untuk menggunakan opiat ilegal lebih besar akibat kadar metadon dalam darah rendah, dan akan memperpanjang gejala obat maupun periode stabilisasi.
Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan diencerkan sampai 100cc dengan larutan sirup. Pasien harus hadir setiap hari di klinik metado sesuai resep dokter, akan diberikan oleh tenaga teknis kefarmasian atau perawat yang diberi wewenang oleh apoteker penanggung jawab. Pasien harus segera menelan metadon tersebut di hadapan petugas PTRM. Petugas PTRM akan memberikan segelas air minum. Setelah diminum, petugas akan meminta pasien menyebutkan namanya atau mengatakan sesuatu yang lain untuk memastikan bahwa metadon telah ditelan. Pasien harus menandatangani buku yang tersedia, sebagai bukti bahwa ia telah menerima dosis metadon hari itu.
b. fase stabilisasi
Fase stabilisasi bertujuan untuk menaikkan perlahan-lahan dosis dari dosis awal sehingga memasuki fase rumatan. Pada fase ini risiko intoksikasi dan overdosis cukup tinggi pada 10-14 hari pertama. Dosis yang direkomendasikan
pada fase ini adalah dosis awal dinaikkan 5-10 mg tiap 3-5 hari. Hal ini bertujuan untuk melihat efek dosis yang sedang diberikan. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih 30 mg, namun apabila pasien masih menggunakan heroin maka dosis metadon perlu ditingkatkan. Kadar metadon dalam darah akan terus meningkat selama 5 hari setelah dosis awal atau penambahan dosis. Waktu paruh
metadon cukup panjang yaitu 24 jam, sehingga bila dilakukan penambahan dosis setiap hari akan berbahaya akibat akumulasi, sehingga penambahan dosis dilakukan setiap 3-5 hari. Selama minggu pertama tahap stabilisasi pasien harus datang setiap hari ke klinik atau bilamana perlu dirawat di rumah sakit untuk diamati secara cermat oleh profesional medis terhadap efek metadon (untuk memperkecil kemungkinan overdosis dan penilaian selanjutnya) (Depkes, 2013).
c. fase rumatan
Dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur tergantung keadaan pasien.
Selain itu banyak pengaruh sosial lainnya yang menjadi pertimbangan penyesuaian dosis. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi dan kehidupan sosial (The College of Phycisians and Surgeon of Ontaria, 2005).
2.9 Retensi
Penanganan penyakit kronik dan pencegahan relaps pada terapi jangka panjang merupakan strategi yang paling efektif dan diperlukan untuk mengatasi ketergantungan obat (UNDOC, 2008). Menurut Ward, et al.,1988 terdapat dua outcome yang memiliki relevansi terhadap efektifitas terapi rumatan metadon, yaitu retensi dan penurunan penggunaan heroin. Retensi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu program rumatan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan outcome terapi yang bermakna pada pasien yang tetap dalam PTRM selama paling tidak satu tahun (yaitu
penurunan injeksi dan pengugunaan heroin) (NHS, 2004). Terapi metadon jangka panjang menunjukkan hasil yang lebih efektif dibandingkan terapi jangka pendek.
Menurut Ward, et al., 1998 terapi rumatan metadon memiliki pendekatan jangka pendek hanya sesuai untuk sebagian kecil pasien yang ketergantungan opioid, terutama pasien yang memiliki riwayat ketergantungan opioid jangka pendek dan memiliki akses terhadap sumber daya sosial dan psikologikal yang bermakna.
Rekomendasi untuk meningkatkan retensi pasien adalah, membantu pasien untuk tetap dalam terapi; membangun hubungan antara pasien dan petugas kesehatan yang baik; respon terhadap pelayanan yang diperlukan pasien;
memberikan dosis yang tepat (NTA, 2005).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin lama pasien berada dalam terapi rumatan metadon semakin besar terjadi perubahan perilaku dan gaya hidup dan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tidak kembali menggunakan opioid. Jika terapi dihentikan, penelitian menujukkan sebagian besar pasien akan mengalami relaps dalam satu tahun pertama setelah meninggalkan terapi (Ward, et.al., 1998). Dua jenis prediktor retensi yaitu karakteristik pasien dan karakteristik terapi. Berikut adalah karakteristik pasien yang mempengaruhi retensi:
a. usia ; berbagai penelitian mengkonfirmasi hubungan antara usia yang lebih tua dan waktu retensi yang lebih lama.
b. jenis kelamin; masih terdapat perbedaan antara berbagai hasil penelitian mengenai pengaruh jenis kelamin terhadap retensi, sebagian
menyebutkan jenis kelamin bukanlah prediktor retensi, sedangkan sebagian menyebutkan laki-laki cenderung meninggalkan terapi lebih cepat dibandingkan perempuan.
c. riwayat kriminal; pasien yang memiliki riwayat kriminal ekstensif memiliki persoalan untuk tetap dalam terapi.
d. riwayat penggunaan opioid; pasien dengan riwayat penggunaan opioid yang lama dan intensif sangat besar kemungkinan relaps setelah meninggalkan terapi.
e. Penyesuaian psikologikal; terdapat hubungan antara gejala psikopatologi yang parah dengan retensi
f. pekerjaan; riwayat pekerjaan sangat terkait dengan lamanya retensi dan outcome yang lebih baik setelah meninggalkan terapi
g. tinggal dengan keluarga/partner; terdapat kecenderungan bahwa pasien yang menyelesaikan terapi adalah pasien yang tinggal dengan keluarga.
h. penggunaan alkohol; penggunaan alkohol yang tinggi berhubungan dengan retensi negatif.
i. penggunaan obat-obat lain (multidrug); pasien yang hanya menggunakan opioid cenderung bertahan dalam terapi rumatan metadon.
j. motivasi dan ekspektasi terhadap terapi; motivasi untuk berubah adalah variabel penting untuk memprediksi outcome terapi.
Karakteristik terapi yang mempengaruhi retensi pasien akan dipaparkan berikut ini:
a. dosis metadon; dosis metadon merupakan prediktor retensi.
b. filosofi terapi; program rumatan jangka pendek cenderung kurang sukses dalam penyelesaian terapi, lebih banyak gagal mempertahankan pasien tetap dalam terapi sehingga mengubah perilaku pasien.
c. pelayanan tambahan; pelayanan medik, psikologis dan kondisi keuangan pasien selama terapi erat kaitannya dengan peningkatan retensi
d. aksesibilitas klinik; kemudahan mencapai lokasi terapi dan waktu layanan yang tersedia cenderung mempengaruhi retensi
e. biaya terapi; pasien pada terapi gratis memiliki retensi lebih kecil dibandingkan pasien yang harus membayar
f. dosis bawa pulang; pemberian dosis bawa pulang erat kaitannya dengan peningkatan retensi.
Menurut Ward, et al., 1998 durasi optimum rumatan metadon adalah sepanjang pasien merasakan manfaat konsumsi metadon setiap hari, dan mengingat ketergantungan heroin adalah kondisi yang kronik.
2.9 Kerangka Teori
Masalah gangguan penggunaan Napza suntikan menjadi salah satu media penularan utama HIV di Indonesia sejak Tahun 1999. Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin dan sebagian besar menggunakan suntikan yang tidak aman, (Permenkes, 2013). Pengurangan dampak buruk penggunaan opiat dengan cara suntik, diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm reduction). Salah satu pendekatan yaitu program terapi rumatan dengan memberikan Metadona dalam sediaan cair, yang dikenal dengan nama Program Terapi Rumatan Metadona (PTRM) (Menkes, 2016. Berdasarkan teori yang dipaparkan, berikut kerangka teorinya pada (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Kerangka Teori
Penyalahgunaan penggunaan NAPZA (BNN, 2009)
Golongan opioid Menyebabkan ketergantungan
Reseptor Delta (δ) Metadon (Opioid Replecement Therapy)
(Lee, et.al., 2012)
hipolarisasi sel saraf Program Terapi Rumatan Metadon (Depkes, 2013)
Penghentian heroin (opioid)
↑↑↑ATP
↑ ↑ ↑ cAMP NA↑↑↑
putus obat – cemas, kramp otot, menggigil dan lainnya.
(George, 2002).
Reseptor Kappa (κ)
Reseptor µ (mu)
Adenilat siklase
Protein Gi/Go
cAMP
↑↑K+
↓↓ Ca2+
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dan prospektif terhadap pasien yang mengikuti program terapi rumatan metadon di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Data yang diperoleh lalu dikumpulkan. Pengaruh antara dosis metadon fase rumatan dengan retensi terapi rumatan metadon selanjutnya diinvestigasi.
3.2 Tempat dan Jadwal Penelitian
Penelitian dilaksanakan di ruang Rawat Jalan Klinik Metadon Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan selama 1 (satu) bulan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang menjalani PTRM periode November 2016 –Oktober 2017 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien program terapi rumatan metadon yang memenuhi kriteria inklusi dan diamati.
3.4 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam sampel penelitian ini adalah : a. Pasien pecandu opiat yang menjalani PTRM