7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan
yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan
anak kerena keterbatasan fisik maupun mental (Ilahi, 2013: 23). Menurut Kustawan (2012: 7) pendidikan inklusi
adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua
individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Konsep inklusi
memberikan pemahaman mengenai pentingnya
penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam
kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (Smith, 2006: 45).
Mengutip dari Permendiknas nomor 70 tahun 2009
pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik
pada umumnya. Pendidikan inklusi merupakan suatu
pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak
berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat.
8
dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan
persamaan hak dan kesempatan, keadilan dan perluasan
akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib
belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat
terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013: 25). Pendidikan inklusi dinilai dapat menjadi jembatan
untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (education
for all), tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari layanan
pendidikan (Kemendikbud, 2012: 70). Tujuan dari pendidikan inklusi adalah agar semua anak memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuanya serta untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan
diskriminatif bagi semua anak (Kustawan, 2012: 9).
Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem pendidikan yang terbuka yang tidak membeda-bedakan
latar belakang kehidupan anak sesuai dengan kondisi
individu. Sistem pendidikan inklusi memberikan
pemahaman tentang pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun metal. Konsep
pendidikan inklusi memberi kesempatan kepada peserta
didik tanpa diskriminasi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dari uraian diatas pendidikan inklusi merujuk pada
9
kepada semua anak tanpa membeda-bedakan latar belakang anak karena keterbatasan fisik ataupun mental
untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam
lingkungan pendidikan pada umumnya. Jadi, pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang mengakomodasi
semua anak berkebutuhan khusus untuk belajar di
sekolah-sekolah umum agar dapat belajar bersama teman seusianya. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud
dalam penelitian ini yaitu anak-anak yang mengalami
kekurangan atau ketunaan dalam fisik ataupun mental
pada kategori ringan, bukan anak yang berkebutuhan khusus yang cerdas istimewa.
Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu
proses belajar mengajar, sementara itu mutu proses belajar mengajar sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor
(komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
a. Kurikulum (Bahan Ajar)
Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan
tujuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku
di sekolah umum (kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum
pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah regular (Kurikulum Nasional) yang dimodifikasi
(diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak
10
karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya (Ilahi, 2013; 171).
Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan
kebutuhan anak, yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu hendaknya
memberikan kesempatan untuk menyesuaikan
kurikulum dengan anak. Menurut Tarmansyah (2007: 154) untuk modifikasi kurikulum merupakan model
kurikulum dalam sekolah inklusi. Modifikasi pertama
adalah mengenai pemahaman bahwa teori model itu
selalu merupakan representasi yang disederhanakan dari realitas yang kompleks. Modifikasi kedua adalah
mengenai aspek kurikulum yang secara khusus
difokuskan dalam pembelajaran yang akan dibahas lebih banyak dalam praktek pembelajaran.
Modifikasi kurikulum dilakukan oleh tim
pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari; kepala sekolah, guru
kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus,
konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait
(Kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (regular)
yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa. b. Tenaga Pendidik (Guru)
Setiap sekolah penyelengara pendidikan inklusi
11
yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang diisyaratkan (Kustawan, 2012: 73).
Menurut kemendikbud (2012: 43) Secara umum tenaga
pendidik (guru) di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif meliputi guru kelas, guru mata
pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani
dan Kesehatan), dan Guru Pendidikan Khusus (GPK). 1) Guru Kelas
Guru kelas adalah pendidik atau pengajar pada
suatu kelas tertentu di sekolah dasar yang sesuai
dengan kualifikasi yang dipersyaratkan, bertanggung jawab atas pengelolaan pembelajaran dan administrasi
kelasnya. Guru kelas berkedudukan disekolah dasar
yang ditetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah
(Kemendikbud, 2012: 45).
2) Guru Mata Pelajaran
Guru mata pelajaran atau bidang studi adalah
Guru yang mengajar mata pelajaran tertentu sesuai
kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah
(Kemendikbud, 2012: 45). Di sekolah dasar biasanya untuk mata pelajaran Pendidikan Agama serta mata
pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan diajarkan
12 3) Guru Pembimbing Khusus
Guru pembimbing khusus adalah guru yang
mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau
yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa. Tugas guru pembimbing khusus
antara lain:
a) Menyusun instrumen assessment pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata
pelajaran.
b) Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak
sekolah dengan orang tua siswa.
c) Memberikan bimbingan kepada anak berkelainan,
sehingga anak mampu mengatasi
hambatan/kesulitannya dalam belajar.
d) Memberi bantuan kepada guru kelas dan guru
mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan
pendidikan khusus kepada anak luar biasa yang membutuhkan.
c. Peserta Didik
Sasaran pendidikan inklusi secara umum adalah
semua peserta didik yang ada di sekolah regular. Secara khusus sasaran pendidikan inklusi adalah setiap peserta
didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
social, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Kemendikbud, 2012: 40). Maka tentulah
13
berkelainan atau anak berkebutuhan khusus yang mana anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi:
1) Anak tunanetra 2) Anak tunarungu 3) Anak tunagrahita 4) Anak tunadaksa 5) Anak tunalaras
6) Anak berkesulitan belajar 7) Anak lamban belajar 8) Anak autis
9) Anak yang memiliki gangguan motorik
10) Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya
11) Anak tunaganda
12) Anak yang memiliki kelainan lainnya (Kustawan, 2012: 31).
d. Sarana-Prasarana
Sekolah inklusi menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan menjamin
kelancaran program pendidikan. Sarana dan prasarana
di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik khususnya peserta
didik berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).
e. Keuangan/Dana
Komponen keuangan sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya
kegiatan belajar mengajar bersama
komponen-komponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya. Dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dialokasikan
14
1) Kegiatan identifikasi input siswa. 2) Modifikasi kurikulum.
3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat. 4) Pengadaan sarana-prasarana.
5) Pemberdayaan peran serta masyarakat. 6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
f. Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan Masyarakat)
Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan
partisipasi anggota masyarakat dan pihak ketiga yang tidak mengikat. Masyarakat selaku mitra sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi memiliki peran yang
strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dan
pembangunan pendidikan, baik sebagai pelaku, penyelenggara, pengelola, penyandang dana, pengawas,
maupun tenaga kependidikan (Kustawan, 2012: 100).
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan sekolah. Sehingga
bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru tetapi
masyarakat setempat terlibat pula.
Pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan
yang tidak membeda-bedakan dan memberikan
kesempatan kepada anak yang memiliki kelainan untuk mengikuti pembelajaran pada umumnya. Pendidikan
inklusi menempatkan siswa berkelainan kedalam kelas
regular untuk belajar dalam lingkungan belajar siswa
normal. Konsep pendidikan ini untuk menjangkau semua individu agar dapat belajar tanpa kecuali.
Pendidikan inklusi diharapkan dapat menjadi
15
bersekolah dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendidikan inklusi diharapkan
dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat
berkaitan dengan pemenuhan hak warga negara dalam bidang pendidikan. Semua anak mendapat kesempatan
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu
sesuai dengan kebutuhanya sehingga dapat mengembangkan potensinya secara maksimal.
Dalam sekolah inklusi terdapat banyak komponen
yang perlu dimodifikasi untuk mengimplementasikan
pendidikan inklusi. Kurikulum pada pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar
nasional yang berlaku disekolah umum. Namun karena
keragaman peserta didik maka dilakukan modifikasi terhadap kurikulum tersebut. Modifikasi dilakukan
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan
peserta didik.
Pada sekolah yang melaksanakan pendidkan
inklusi harus memiliki tenaga pendidik yang
berkompetensi dalam melaksanakan pembelajaran bagi
peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus. Penerimaan peserta didik pada sekolah inklusi harus
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah.
Dimana peserta didik yang diterima harus disesuaikan dengan guru yang mempunyai kompetensi khusus.
Sekolah inklusi harus menyediakan sarana dan
16
program sekolah inklusi. Sarana dan prasarana di sekolah inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik
terutama yang berkebutuhan khusus. Dalam hal
pendanaan sekolah inklusi memerlukan biaya yang dialokasikan untuk kegiatan khusus demi kelancaran
penyelenggaraan pendidikan inklusi.
Pendidikan inklusi menjadi tangung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Pelaksana pendidikan inklusi diharapkan mampu
memberdayakan masyarakat dalam penyelengaraan
pendidikan inklusi agar berjalan secara optimal. Masyarakat selaku mitra sekolah memiliki peran yang
strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi.
B. Evaluasi Program
a.Pengertian evaluasi program
Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang
sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas
(nilai dan arti) dari sesuatau, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan
(Arifin, 2012: 2). Sukardi (2008: 1) menambahkan
evaluasi merupakan proses memahami, member arti, mendapatkan, dan mengomunikasikan suatu informasi
bagi keperluan pengambilan keputusan.
Menurut Arikunto (2010: 2) Evaluasi adalah
17
digunakan untuk menentukan alternatif yang tetap dalam mengambil sebuah keputusan.
Evaluasi merupakan proses yang sistematis dan
berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajkan informasi tentang
suatu program untuk dapat digunakan sebagai dasar
membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya (Widoyoko, 2014: 6).
Menurut Stufflebeam (2007: 326), evaluasi merupakan
proses untuk menggambarkan, mendapatkan,
melaporkan dan menerapkan informasi deskriptif dan pertimbangan mengenai nilai/manfaat beberapa obyek,
nilai, sifat penting dan kejujuran beberapa obyek guna
memandu proses pengambilan keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarluaskan praktek-praktek yang
efektif, dan meningkatkan pemahaman mengenai
fenomena yang ada. Informasi dari program yang dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi
sebenarnya sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai
tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal.
Evaluasi merupakan proses sistemtis yang bekelanjutan untuk mengumpulkan informasi yang
digunakan dalam menentukan alternatif untuk
mengambil keputusan. Evaluasi dilakukan untuk menggambarkan serta menerapkan informasi deskriptif
18
evaluasi harus sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan cara sistematis dan berkelanjutan.
Dari uraian diatas bahwa evaluasi merujuk pada
suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menyajikan informasi yang dapat digunakan untuk
mengambil keputusan, menyusun kebijakan program
selanjutnya. Kegiatan evaluasi harus dilakukan berdasarkan kondisi sebenarnya sehingga evaluasi dapat
berjalan sesuai tujuan dan mendapatkan hasil yang
maksimal.
Widoyoko (2014:8) program diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan seksama
dan dalam pelaksanaanya berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan bnyak orang. Arikunto (2010: 4) program
adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program
merupakan suatu sistem yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi
berkesinambungan. Wirawan (2012: 17) program adalah
kegiatan atau aktifitas yang dirancang untuk
melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas.
Program merupakan suatu kegiatan atau aktifitas
yang direncanakan dan pelaksanaanya berlangsung secara berkesinambungan. Kegiatan ini bukan hanya satu
kali namun dilakukan untuk waktu yang tidak terbatas.
19
pelaksanaannya terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang.
Menurut Widoyoko (2014: 10) evaluasi program
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat
keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program dengan
cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun
program yang telah berlalu. Selanjutnya Suharsimi
Arikunto (2004: 14) menambahkan evaluasi program
adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, efektivitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan
kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan secara
cermat dengan cara mengetahui efektivitas
masing-masing komponennya (Arikunto, 2010: 18). Evaluasi program dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh
tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum
tercapai serta apa penyebabnya.
Menurut Wirawan (2012: 15), mengungkapkan evaluasi program adalah evaluasi dengan objeknya
program pendidikan, yaitu aktivitas yang dilaksanakan
untuk waktu yang tidak terbatas. Evaluasi dilakukan untuk mengevaluasi berbagai aspek pendidikan misalnya,
kurikulum, proses dan metode pembelajaran mata
20
sebagainya. Tayibnapis (2008) menjelaskan suatu evaluasi program harus mengumpulkan informasi yang valid,
informasi yang dapat dipercaya, informasi yang berguna
untuk program yang dievaluasi. Informasi dari program yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan
kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai
dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal. Evaluasi program adalah proses penetapan secara
sistematis tentang nilai, tujuan, yang dilakukan secara
sengaja dan cermat untuk mengetahui tingkat
keberhasilan suatu program. Proses evaluasi dilakukan dengan mencari informasi yang valid sesuai fakta
dilapangan. Evaluasi program berguna untuk meneliti,
menilai, dan menentukan apakah program telah berjalan sesuai dengan tujuan.
Dari uraian diatas bahwa evaluasi program merujuk
pada suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi terhadap jalannya suatu
program guna mengetahui efektivitas masing-masing
komponennya. Evaluasi program berguna untuk
mengetahui tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya. Dari
hasil evaluasi dapat sebagi bahan pertimbangan untuk
21 b. Tujuan evaluasi program
Arikunto (2010: 18) menjelaskan bahwa tujuan
diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui
keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen
dan subkomponen program yang belum terlaksana dan
apa sebabnya. Secara umum penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan, dan
menguji pelaksanaan suatu praktik pendidikan
(Sukmadinata, 2010: 121). Secara lebih rinci tujuan
evaluasi program adalah:
1) Membantu perencanaan untuk melaksanakan program.
2) Membantu dalam penentuan keputusan penyempurnaan atau perubahan program.
3) Membantu dalam penentuan keputusan keberlanjutan atau penghentian program.
4) Menemukan fakta-fakta dukungan dan penolakan terhadap program.
5) Memberikan sumbangan dalam pemahaman proses psikologis, sosial, politik, dalam pelaksanaan program serta faktor yang mempengaruhi program.
Sudjana (2006: 48), tujuan khusus Evaluasi Program terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk:
1) Memberikan masukan bagi perencanaan program.
2) Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program.
22
4) Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program. 5) Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan
pembinaan (pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program.
6) Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan luar sekolah.
Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: 114-115),
evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Menunjukkan sumbangan program terhadap
pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
2) Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan
Evaluasi program mempunyai tujuan membantu
memberikan masukan bagi perencanan dan pelaksanaan
suatu program. Evaluasi program dilakukan untuk penyempurnaan suatu program, perubahan program atau
penghentian program. Selain itu evaluasi program juga
memberikan masukan untuk memodifikasi perbaikan program, menemukan pendukung dan penghambat
program. Evaluasi program juga dapat memberikan
masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan bagi
penyelengara dan pelaksana program.
Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa tujuan
evaluasi program adalah untuk membantu menemukan
23
Maka dari itu evaluasi program sangat penting dilakukan dalam rangka menilai keterlaksanaan program.
c. Faktor pendukung dan penghambat evaluasi program Evaluasi program memerlukan pemahaman bagaimana sebuah program dijalankan, serta apa saja
yang menjadi faktor pendukung dan penghambat program
tersebut. Menurut Muh. Mujab (2005: 40) beberapa faktor pendukung dan penghambat evaluasi program yaitu
1) faktor pendukung
a) Adanya dukungan dana dari pemerintah b) Adanya dukungan manajemen umum
c) Adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
d) Adanya dukungan dari masyarakat 2) faktor penghambat
a) Pemahaman program masih kurang
b) Kurangnya sumberdaya manusia yang betul-betul mengetahui program
c) Adanya dominasi pemerintah dalam penentuan lokasi dan alokasi penerima program
d) Petunjuk teksnis dan petunjuk pelaksana kadang kurang sesuai dengan kondisi realita
e) Masih besarnya dominasi aparat untuk memutuskan kebijakan
Donald P.Warwieck, (1988;17) mengatakan bahwa dalam tahap implemetasi program terdapat dua faktor
yang mempengaruhi keberhasilan suatu proyek yaitu :
Faktor pendorong (Facilitating conditions), dan Faktor penghambat (Impeding conditions). Adapun faktor-faktor
pendorong adalah:
1) Faktor pendorong (Facilitating conditions) a. Komitmen pimpinan politik
24
c. Komitmen para pelaksana (Implementer) d. Dukungan dari kelompok kepentingan 2) Faktor penghambat (Impeding conditions)
a. Banyaknya pemain (actor) yang terlibat b. Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda c. Kerumitan yang melekat pada program itu
sendiri
d. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak
e. Faktor lain: Waktu dan perubahan kepemimpinan
Dari uraian diatas dapat didefinisikan bahwa dalam
pelaksanaan suatu program pasti ada faktor pendukung dan
faktor penghambat. Untuk itu dalam melaksanakan suatu
program tentu harus dapat mengelola sumber daya yang ada
secara maksimal. Selain itu juga harus dapat meminimalisir
faktor penghambat yang ada.
d. Manfaat evaluasi program
Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat
terutama bagi pengambil keputusan. Alasannya adalah dengan masukan hasil evaluasi program itulah para
pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut
dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Arifin (2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program yaitu
dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif
bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan.
Keputusan yang diambil yaitu: 1) menghentikan program, 2) merevisi program, 3) melanjutkan program, 4)
menyebarluaskan program. Pendapat senada juga
25
kegiatan evaluasi program dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari
program yang telah dilaksanakan. Manfaat dari evaluasi
program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan
program.
Evaluasi program sangat bermanfaat untuk memberikan berbagai informasi tetang keterlaksanaan
suatu program. Hasil evaluasi program dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Keputusan tersebut dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan
program, dan menyebarluaskan program.
Dari uraian diatas evaluasi program bermanfaat untuk memberikan informasi yang akurat dan obyektif
dalam mengambil sebuah keputusan. Hasil evaluasi
program dapat digunakan untuk penghentian, merevisi,
melanjutkan, dan menyebarluaskan program.
Ada beberapa model evaluasi yang dikenal dan
digunakan untuk mengevaluasi di bidang pendidikan.
Model evaluasi muncul karena adanya usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan dari perkembangan
pengukuran dan keinginan manusia untuk berusaha
menerapkan prinsip-prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan
seni (Sukardi, 2010). Model model evaluasi menurut
26
Oriented Model dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif Evaluation Model dikembangkan oleh Michael Schiven, Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh Stake, CSE-UNCLA Evaluation Model, CIPP Evaluation Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy Evaluation Model dikembangkan oleh Prevus.
C. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, dan Product)
Arikunto dan Cepi (2010) model CIPP adalah model
evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim elevator sudah
menentukan model CIPP sebagai model yang akan
digunakan untuk mengevaluasi program maka harus dianalisis terlebih dahulu berdasarkan
komponen-komponennya.
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai
bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan, dan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek,
program maupun institusi. Model CIPP yang dikenalkan
oleh Stufflebeam ini meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation),
27
kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.
b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation), membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Informasi yang terkumpul selama tahap penilaian hendaknya digunakan untuk menentukan sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada.
c) Evaluasi Proses (Process Evaluation) digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki.
d) Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation), merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dari hasil evaluasi proses diharapkan dapat membantu untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program, karena data yang dihasilkan akan sangat menentukan apakah program diteruskan, dimodifikasi, atau dihentikan (Widoyoko, 2011: 181-183).
Arikunto (2008: 47) menjelaskan secara rinci terkait
evaluasi model CIPP, evaluasi context adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani,
28
menentukan bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi
process menunjuk pada apa kegiatan yang dilakukan dalam program, siapa orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, kapan kegiatan akan selesai
dilksanakan. Evaluasi product merupakan kumpulan deskripsi dan “jugement outcomes” dalam hubungannya dengan context, input, dan process, terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan program
sekolah inklusi.
Berikut ini akan dibahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product. Berikut adalah indikator yang akan dievaluasi dalam
penelitian ini: a. Context
Evaluasi conteks pada penelitian ini menyajikan keadaaan lingkungan pembelajaran yang dilihat dari
karakteristik peserta didik yang dilayani di SD Negeri Klero 02.
b. Input
Evaluasi input berfokus pada pengumpulan informasi tentang kebijakan program sekolah inklusi terkait
sarana prasarana dan sumber daya manusia di SD
29
Evaluasi process terkait dengan ketrampilan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi di SD
Negeri Klero 02.
d. Product
Evaluasi product yakni evaluasi keluaran (output). Evaluasi keluaran terarah pada prestasi akademik dan
non akademik peserta didik dari pelaksanaan program
sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02.
Penelitian ini merupakan studi evaluatif dengan
menggunakan model CIPP (Conteks, Input, Process dan
Product). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan program sekolah inklusi di
SDN Klero 02. Dengan demikian evaluasi mencakup
evaluasi konteks dan evaluasi input pada tahap perencanaan program, evaluasi proses pada tahap
implementasi program, evaluasi produk yang mencakup
evaluasi keluaran pada tahap akhir pelaksanaan program.
Pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternative keputusan kegiatan selanjutnya.
D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian evaluasi program
pelaksanaan sekolah inklusi, antara lain:
1. Penelitian Sunardi (2011) dengan judul “The
30
mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara
sah mengangkat para koordinator, melibatkan
beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin. Namun, masih
banyak sekolah yang belum merestrukturisasi
organisasi mereka.
2. Hartanti Sulihandari (2013), penelitiannya yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Berbasis Inklusi Bagi Siswa Tunanetra Di SMA Negeri 1 sewon Bantul“ menghasilkan (1)Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak melakukan
berbagai modifikasi atau penyesuaian, baik alam hal
kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem pembelajaran serta sistem
penilaiannya. Pelaksanaan pendidikan agama Islam
berbasis inklusi tidak terlepas dari komponen-komponen pembelajaran, yaitu kurikulum, pendidik,
anak didik, materi, metode, media dan evaluasi.
Kurikulum yang dipakai di SMA Negeri 1 Sewon
adalah KTSP dengan modifikasi. (2) Kendala guru PAI alam menerapkan PAI berbasis inklusi bagi siswa
tunanetra yaitu kurangnya ketrampilan guru dalam
mengajar kelas inklusi, perhatian guru yang terbagi menjadi dua, keterbatasan waktu, dan keterbatasan
hati-31
hati dalam menyampaikan materi pelajaran untuk menjaga perasaan tunanetra.
3. Winda (2012), dalam penelitiannya yang berjudul “Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh”. Penelitiannya
menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14
Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dalam mengidentifikasi, asesmen,
RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana
dan prasarana. Padahal hal itu tersebut penting
dilakukan serta menjadi penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri 14 pakan Sinayan
Payakumbuh.
4. Mohammed (2014) dalam penelitiannya yang berjudul
“Implementation of Inclusive Education in Ghanaian
Primary Schools: A Look at Teachers’ Attitudes”, menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang
praktek inklusi. Hal ini terbukti dalam pengunaan
adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk
memenuhi kebutuhan individu. Oleh karena itu SD di Ghana yang mengimplementasikan program inklusi
menitikberatkan pada perilaku/sikap guru yang
berbeda dalam memperlakukan ABK.
5. Mitiku et all. (2014) dengan judul “Challenges and
Opportunities to Implement Inclusive Education”,
32
mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran,
komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata
yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusi. Secara umum dapat disimpulkan
bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan
pada implementasi penuh dari pendidikan inklusi dan harus ada kerjasama yang kuat diantara pemangku
kepentingan, LSM, dan badan-badan yang
bersangkutan dalam rangka mewujudkan perjalanan
menuju pendidikan inklusi.
Berdasarkan penelitian Sunardi (2011)
menunjukkan dalam hal manajemen institusi, mayoritas
sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat
para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait,
dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi
rutin. Sulihandari (2013), penelitian ini menghasilkan Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan
inklusi berhak melakukan berbagai modifikasi atau
penyesuaian, baik dalam hal kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem pembelajaran serta
sistem penilaiannya. Kemudian Winda (2012), dalam
penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan
33
Mohammed (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi
tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek
inklusi. Mitiku et all. (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada beberapa peluang yang
mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil
sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang
menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusi
Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah yang
menyelenggaraan pendidikan inklusi telah mengembangkan rencana strategis untuk program inklusi
dengan memodifikasi berbagai komponen seperti
kurikulum dan pembelajaran. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Sekolah
tidak mampu menyediakan tenaga pendidik yang trampil
sesuai dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana sekolah tidak dapat menyediakan pelayanan kepada semua siswa
yang memiliki kebutuhan khusus.
Dari penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk
meneliti tentang pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dengan
penelitian yang terdapat di atas. Penelitian yang
dilakukan oleh peneliti menggunakan model evaluasi. Dimana penelitian ini menggunakan menggunakan suatu
34
Model CIPP memiliki kelebihan lebih komprehensif karena mencakup konteks, input, proses dan produk.
Model CIPP memiliki langkah-langkah yang jelas dalam
mengungkapkan setiap urutan program. Selain itu model ini telah dikenal dan diterapkan oleh para evaluator.
Akhir dari evaluasi ini bermanfaat untuk memberikan
rekomendasi terhadap keberadaan program. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan inklusi di SD Negeri
Klero 02 dievaluasi dengan menggunakan model CIPP.
E. Kerangka berfikir
Evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02, bertujuan untuk
mengevaluasi program tersebut. Model evaluasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP (context, input, process dan product).
Kegiatan evaluasi terhadap komponen konteks dalam
pelaksanaan program sekolah inklusi terkait karakteristik peserta didik yang ada. komponen input meliputi sarana
dan prasarana dan sumberdaya manusia. Komponen
proses meliputi pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dalam pelaksanaan program ini. Komponen produk adalah prestasi akademik dan non akademik peserta didik
dari pelaksanaan program sekolah inklusi.
Berdasarkan tujuan penelitian ini, bahwa kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi
berupaya untuk menganalisis program layanan tersebut
35
analisis keempat komponen tersebut, nantinya akan menghasilkan sebuah kesimpulan terhadap hasil evaluasi
pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero
02. Pada akhirnya kesimpulan tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk keberlanjutan program.