• Tidak ada hasil yang ditemukan

School Engagement pada Siswa SMP "Y" dan SMP "X" di Kota Bandung (Stuatu Penelitian Menggunakan Metode Riset Differensial).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "School Engagement pada Siswa SMP "Y" dan SMP "X" di Kota Bandung (Stuatu Penelitian Menggunakan Metode Riset Differensial)."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

vii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan derajat school engagement pada siswa di SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian yang mengamati dua kelompok atau lebih yang dibedakan berdasarkan variabel tertentu. Dalam penelitian ini, fokus utama terletak pada metode belajar di SMP “Y”dan SMP “X”

Komponen-komponen school engagement diukur dengan menggunakan kuesioner yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori dari Fredricks (2004). Uji validitas menggunakan jenis validitas konstruk (Ranjit Kumar, 1999) dengan teknik korelasi rank spearman. Tingkat validitas kuesioner diukur berdasarkan koefisien validitas menggunakan koefisien korelasi ítem dengan rentang 0,342-0,649 untuk behaviour engagement, 0,397-0,746 untuk emotional engagement, dan 0,246-0,709 untuk cognitive engagement. Uji reliabilitas menggunakan alpha cronbach. Reliabilitas komponen behavioral engagement sebesar 0,789; emotional engagement sebesar 0,819; cognitive engagement sebesar 0,857. Kuesioner ini telah diberikan kepada 48 siswa di SMP “Y” dan 193 di SMP "X" Bandung.

Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara masing-masing komponen school engagement antara kedua sekolah dengan behavioral engagement SMP “Y” (89,6%) lebih tinggi dari SMP “X”(87,6%), emotional engagement SMP “Y” (93,8%) lebih tinggi dari SMP “X”(85%), cognitive engagement SMP “Y” (81,3%) lebih tinggi dari SMP “X”(73,6%). School engagement siswa SMP “Y” dengan metoda holistic lebih tinggi dibandingkan dengan SMP “X” dengan metoda reguler. Faktor educational context yang memengaruhi school engagement akan menjadi data wawancara yang menjelaskan perbedaan.

(2)

viii

Universitas Kristen Maranatha

ABSTRACT

The aim of this study was to determine differences in the degree of school engagement on the students in “X” junior high school and “Y” junior high school in the city of Bandung. The research looked at two or more groups differentiated based on certain variables. In this study, the main focus lies on the method of learning in”X” junior high school and “Y” junior high school

The components of school engagement were measured using a questionnaire developed by researchers based on the theory of Fredricks (2004). Test the validity of using this type of construct validity (Ranjit Kumar, 1999) with the Spearman rank correlation techniques. The validity of the questionnaire was measured by using a validity coefficient of correlation coefficient items ranging from 0.342 to 0.649 for engagement behavior, from 0.397 to 0.746 for emotional engagement, and 0.246 to 0.709 for cognitive engagement. Reliability test using Cronbach alpha. Reliability components of behavioral engagement of 0.789; emotional engagement of 0.819; cognitive engagement at 0.857. This questionnaire has been awarded to 48 students in “Y” junior high school and 193 in "X” junior high school Bandung.

Based on the analysis performed in this study, it was concluded that there are differences between the individual components of school engagement between the two schools with behavioral engagement “Y” junior high school (89.6%) higher than "X" junior high school (87.6%), emotional engagement junior high school “Y” (93.8%) higher than the “X” junior high school (85%), cognitive engagement junior high school “Y” (81.3%) higher than the "X" junior high school(73.6%). School engagement “Y” junior high school students with a holistic method had a higher value than SMP "X" with the regular method. Factors that influence which is educatiional context of school engagement would be the interview data that explains more abou the difference.

(3)

ix

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

LEMBAR PENGESAHAN...ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN...iii

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...iv

KATA PENGANTAR...v

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR BAGAN...xiii

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Identifikasi Masalah...8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...8

1.3.1 Maksud Penelitian...8

1.3.2 Tujuan Penelitian...8

1.4 Kegunaan Penelitian...8

1.4.1 Kegunaan Teoritis...8

1.4.2 Kegunaan Praktis...8

(4)

x

2.1.1 Definisi School Engagement...17

2.1.2 Komponen-komponen dalam School Engagement……...17

(5)

xi

Universitas Kristen Maranatha

2.3 Perkembangan Remaja...29

2.3.1 Masa Remaja Menurut Hurlock...30

2.3.2 Ciri-ciri Masa Remaja...30

2.3.3 Karakteristik Remaja...31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian...34

3.2 Bagan Rancangan Penelitian...34

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...35

3.3.1 Variabel Penelitian………...35

3.3.2 Definisi Operasional...35

3.4. Alat Ukur...35

3.4.1 Gambaran Alat Ukur...36

3.4.2 Data Sosiodemografis...38

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas………...38

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur...38

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur...40

3.5 Populasi Sasaran dan Teknik Penarikan Sampel……...41

3.5.1 Populasi Sasaran………...41

3.5.2 Karakteristik Populasi………...41

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel………...41

3.6 Teknik Analisis Data…...41

(6)

xii

Universitas Kristen Maranatha

4.1 Gambaran Responden Penelitian...43

4.1.1 Jenis Kelamin...………...43

4.1.2 Usia...43

4.1.3 Kelas...44

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian...44

4.2.1 Hasil Pengukuran Komponen Behavioral Engagement...44

4.2.2 Hasil Pengukuran Komponen Emotional Engagement...45

4.2.3 Hasil Pengukuran Komponen Cognitive Engagement...45

4.3 Hasil Pengujian Hipotesis...46

4.3.1 Uji Beda School Engagement...46

4.3.2 Uji Beda Behavior Engagement...46

4.3.3 Uji Beda Emotional Engagement...47

4.3.4 Uji Beda Cognitive Engagement...47

4.4 Pembahasan...48

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...54

5.2 Saran...54

5.2.1 Saran Teoretis...55

5.2.2 Saran Praktis...55

DAFTAR PUSTAKA...56

(7)

xiii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN

(8)

xiv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel Komponen, indikator, dan no. Item komponen school engagament ... 36

Tabel Sistem penilaian kuesioner komponen school engagement ... 37

Tabel Hasil Uji Reliabilitas ... 40

Tabel Jenis Kelamin Responden ... 43

Tabel Usia Responden... 43

Tabel Kelas Responden ... 44

Tabel Behavioral Engagement pada SMP “X” dan SMP “Y” ... 44

Tabel Emotional Engagement pada SMP “X” dan SMP “Y” ... 45

Tabel Cognitive Engagement pada SMP “X” dan SMP “Y” ... 45

Tabel Perbedaan Rata-rata ranking School Engagement antara SMP “X” dan SMP “Y” 46 Tabel Perbedaan Rata-rata ranking Behavioral Engagement antara SMP “X” dan SMP “Y” ... 46

Tabel Perbedaan Rata-rata ranking Emotional Engagement antara SMP “X” dan SMP “Y” ... 47

(9)

xv

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kisi-kisi Alat ukur school engagement Lampiran 2. Kuesioner school engagement

Lampiran 3. Output SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 4. Output SPSS Tabulasi Silang

(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kondisi obyektif pembelajaran di sekolah saat ini menunjukkan permasalahan antara lain: (1) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi pelajaran yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya tidak memahaminya; (2) Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dengan metoda ceramah (Kemendiknas, 2009). Kondisi tersebut menunjukkan permasalahan, yaitu siswa di Indonesia terbiasa belajar di permukaan sehingga kesulitan menangkap konsep dari materi ajar untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

(11)

2

Universitas Kristen Maranatha elemen dari konsep serta menggabungkannya dengan konsep lain yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat secara aplikatif dimana mereka akan hidup dan bekerja.

Nana Sudjana (1998) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditentukan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya menerimanya dan aspek lainnya yang ada pada individu. Belajar yang efektif dapat dilakukan dengan bermacam cara, bukan hanya mendengarkan namun juga mencatat, membuat mind-mapping, observasi, wawancara, mengalami, bereksperimentasi dan survey ke lapangan untuk menghubungkan informasi dengan dunia nyata. Menurut Wills (2008) semakin banyak bagian otak yang menyimpan data, otak semakin ter-interkoneksi dan siswa lebih berpeluang untuk menyerap apa yang dipelajari. Selain itu, mengajarkan orang lain dan mengetahui gaya belajar yang tepat dapat memaksimalkan hasil belajar.

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kepala sekolah SMP “Y”, lembaga yang didirikan ini berawal dari kegelisahan orangtua karena merasa adanya ketidakberesan pendidikan di Indonesia. Para orangtua melihat langsung bagaimana anak-anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran. Anak-anak merasa hafalan di sekolah terlalu berat sehingga mereka stress dan mogok sekolah. Anak-anak juga bosan dan tidak nyaman dalam belajar karena materi terlalu berfokus pada teori dan tidak diberikan contoh konkrit. Hal ini berdampak pada emotional & behavioral engagement siswa. Materi yang lebih banyak disampaikan satu arah juga membuat siswa kurang terlibat yang berdampak pada cognitive engagement.. Seharusnya metoda belajar dapat mengembangkan potensi anak baik dari segi akademik, emosional maupun sosial sehingga anak memiliki motivasi untuk belajar dan mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Kepala Sekolah SMP “Y” berharap dapat menyelesaikan masalah pada sekolah reguler dengan

menyediakan metoda belajar yang membuat siswa lebih engage dalam mengikuti kegiatan akademik maupun non-akademik.

(13)

4

Universitas Kristen Maranatha menyukai mata pelajaran yang dibahas di kelas, siswa senang diajar oleh gurunya serta merasa nyaman dengan teman sekelasnya. Segi cognitive membahas tentang segi psikologis dalam pembelajaran yaitu sebuah keinginan untuk melebihi harapan dan menyukai tantangan sehingga mampu memusatkan pikirannya untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Menurut Wang & Halcombe (2010) siswa yang terlibat dengan sekolahnya akan menunjukkan performa yang lebih baik daripada siswa yang tidak terlibat dengan sekolah. Sebaliknya, siswa yang kurang terlibat dengan sekolah akan cenderung berprestasi buruk dan mengalami masalah perilaku.

Metoda belajar dirumuskan sekolah untuk meningkatkan kualitas siswa, diantaranya Metoda Holistic di SMP “Y” yang dibuat oleh sekolah dan Metoda Reguler di SMP “X”. Perbedaannya adalah Metoda Holistic di SMP “Y” : (1) Belajar mengacu pada pemahaman sehingga dalam prosesnya, anak diminta mengevaluasi pelajaran dan makna apa yang telah mereka dapatkan pada akhir kegiatan belajar; (2) Siswa diajak memilih pelajaran saat jam tambahan; (3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang; (4) Hasil belajar bukan berasal dari nilai kuantitatif, evaluasi akhir sekolah dilaporkan secara naratif; (5) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting. Sedangkan metoda di SMP “X” : (1) Ujian menekankan pada hafalan sehingga dalam prosesnya

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha Meski begitu, kedua sekolah memiliki kesamaan yaitu menggunakan Kurikulum Nasional 2006-KTSP yang sedang mengalami peralihan ke kurikulum Nasional 2013. Kurikulum Nasional 2013 dirancang agar semua mata pelajaran berkontribusi pada pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Idealnya, melalui kurikulum 2013 komponen school engagement dapat terpenuhi. Misalnya, untuk komponen behavioral kurikulum berfokus pada psikomotor siswa sehingga dapat aktif dalam pembelajaran. Dalam komponen emotional, kurikulum 2013 berfokus pada afektif, yang berarti siswa dapat tertarik, dan fokus terhadap pembelajaran yang diberikan. Selanjutnya dalam komponen cognitive, kurikulum berfokus pada kognitif, yang berarti siswa dapat memahami pembelajaran sesuai dengan apa yang diberikan.

Kedua sekolah mempunyai jam istirahat sebanyak 2 kali dalam sehari, terdapat waktu khusus untuk melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan yang dilaksanakan di kelas adalah belajar mandiri, kerja kelompok, dan keduanya merupakan sekolah formal terakreditasi. SMP “Y” dan SMP “X” sama-sama mengharuskan siswanya untuk lebih aktif di kelas terutama dalam kegiatan diskusi dan presentasi.

SMP “X” adalah sekolah negeri yang didirikan tahun 1952. SMP “X”

(15)

6

Universitas Kristen Maranatha nasional diraih sekolah ini. Menurut Jajang dalam Harian Kompas (4/3/2010), konsep sekolah berbudaya lingkungan hidup membuat prestasi para siswa SMP “X” pun meningkat. Peringkat nilai rata-rata lulusan SMP “X” naik pesat dari

posisi ke-17 pada tahun 2005 menjadi ke-4 pada tahun 2009. Dengan sistem kedisiplinan yang diterapkan serta konsep sekolah berbudaya lingkungan, sekolah ini mengharapkan hasil yang positif bagi siswa didiknya, untuk pengembangan siswa dalam berbagai aspek yaitu behavioral, emotional dan cognitive. Setiap komponen ini merupakan hal penting yang ingin dicapai oleh sekolah, menghasilkan anak didik yang berakhlak, cerdas juga memiliki sikap yang baik.

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha Tema keterlibatan siswa dalam belajar semakin menarik untuk diteliti karena keterlibatan siswa dapat meningkatkan kesadaran untuk belajar, berkorelasi positif dengan achievement, serta berkorelasi negatif terhadap tingkat dropout di sekolah. Siswa yang terlibat dengan sekolahnya membuat performanya lebih baik saat menempuh ujian. Siswa yang terlibat akan berusaha untuk mengerahkan usaha yang melebihi tuntutan yang ditetapkan oleh sekolah, menantang diri dan membuat target belajar yang lebih efektif, bertahan dalam pelajaran-pelajaran yang sulit dan berusaha untuk mencari penyelesaiannya, menikmati proses pembelajaran yang dilakukan, hubungan yang lebih baik antara guru dan siswa juga siswa akan bersikap lebih positif selama bersekolah (Fredricks, Blumenfeld, and Paris 2004; Marks 2000).

Metoda pembelajaran apapun yang diadopsi oleh sekolah seharusnya dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran sehingga membuat kegiatan belajar mengajar lebih efektif dan meningkatkan pemahaman siswa pada materi. Siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Mencermati metoda pembelajaran yang berbeda antara SMP “Y” dan SMP Reguler “X” di Kota Bandung, peneliti tertarik untuk mengetahui school

(17)

8

Universitas Kristen Maranatha 1.2 Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui sejauhmana perbedaan derajat school engagement pada siswa di SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk mengetahui school engagement pada siswa di SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perbedaan derajat school engagement antara metoda belajar SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan manfaat bagi ilmu Psikologi Pendidikan mengenai School engagement pada siswa di SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

2). Memberi sumber referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai derajat School engagement pada siswa di SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

1.4.2 Kegunaan Praktis

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha B). Memberi masukan kepada siswa dengan metoda holistic maupun reguler mengenai School engagement siswa sehingga dapat memahami serta mengoptimalkan keterlibatannya di sekolah.

1.5 Kerangka Pikir

Sekolah menengah pertama adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pelajar sekolah menengah pertama umumnya berusia 13-15 tahun.

SMP “X” adalah sekolah negeri yang didirikan tahun 1952. SMP “X” menerapkan konsep sekolah berbudaya lingkungan hidup. Siswa dilatih merawat lingkungan dan menjaga kebersihan. Setiap siswanya tidak diperbolehkan untuk keluar dari lingkungan sekolah tanpa izin. Satu mata pelajaran diberikan oleh satu guru. Kedisplinan sekolah ini merupakan hal yang diutamakan. Setiap siswa wajib menaati peraturan yang ada, seperti dilarang membawa handphone ke dalam lingkungan sekolah sehingga setiap siswa tidak memiliki alat komunikasi ke luar. Siswa juga wajib mengikuti semua kegiatan termasuk akademik dan non-akademik, Dengan sistem kedisiplinan yang diterapkan, tentu mengharapkan agar menghasilkan hasil yang positif bagi siswa didiknya, untuk pengembangan siswa dalam berbagai aspek yaitu behavioral, emotional dan cognitive. Setiap komponen ini merupakan hal penting yang ingin dicapai oleh sekolah, menghasilkan anak didik yang berakhlak, cerdas juga memiliki sikap yang baik.

(19)

10

Universitas Kristen Maranatha Menurutnya, metoda tersebut seringkali membuat anak bosan dan menerima pelajaran hanya surface-nya saja. Dampaknya, banyak anak yang malas belajar. Kepala Sekolah SMP “Y” membuat metoda belajar yang disebut metoda Holistic. Metoda Holistic adalah cara belajar Project Based Learning yang terpadu dan bermakna. Siswa SMP dengan metoda pembelajaran Holistic di SMP “Y”, belajar dengan tematik dan aktif. Dalam prakteknya, Pembelajaran dengan metoda holistic memungkinkan keterpaduan antar segala bidang keilmuan yang dipelajari di sekolah. Pengajar tiap kelas sebanyak 2 orang.

Siswa SMP dengan metoda pembelajaran Holistic di “Y” :(1) Belajar mengacu pada pemahaman sehingga dalam prosesnya, anak diminta mengevaluasi pelajaran dan makna apa yang telah mereka dapatkan pada akhir kegiatan belajar; (2) Siswa diajak memilih pelajaran saat jam tambahan; (3) Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang; (4) Hasil belajar bukan berasal dari nilai kuantitatif, evaluasi akhir sekolah dilaporkan secara naratif; (5) Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting.

Siswa SMP “X” dengan metoda pembelajaran Reguler: (1) Ujian menekankan pada hafalan sehingga dalam prosesnya siswa sering belajar dengan „sistem kebut semalam‟; (2) Pemilihan materi tambahan ditentukan oleh guru; (3)

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha Kedua sekolah sama-sama menggunakan Kurikulum 2013 dalam proses adaptasi yang dirancang agar semua mata pelajaran berkontribusi pada pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Idealnya, melalui kurikulum 2013 komponen school engagement dapat terpenuhi. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa SMP “Y” dan SMP Reguler “X” melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement.

Komponen pertama yaitu beh avioral engagement, merupakan usaha siswa SMP “Y” dan SMP Reguler “X” untuk berperilaku positif, terlibat dalam kegiatan akademik maupun ekstrakurikuler, kontribusi aktif dalam kelas. Siswa yang terlibat secara behavioral akan menunjukkan perilaku seperti tidak bolos, tidak membawa barang yang dilarang ke dalam sekolah, mengikuti setiap pelajaran yang diwajibkan, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang dipilih siswa secara teratur, mengikuti kegiatan belajar dengan baik, seperti fokus pada apa yang diajarkan guru, berkontribusi dalam kelas, aktif bertanya kepada guru dan terlibat dalam aktivitas kelas seperti diskusi. Sedangkan siswa yang kurang engaged secara behavioral, maka akan sering bolos dari sekolah, melakukan pekerjaan dari tugas akademik atau kegiatan non-akademik dengan setengah hati, pasif dan hanya diam saja di dalam kelas tanpa memerhatikan pelajaran.

(21)

12

Universitas Kristen Maranatha tuntutan akademik, menikmati keberadaannya bersama guru juga teman, antusias dalam apa yang dikerjakan dan merasa bagian dari sekolah, memiliki hubungan sosial yang baik. Sedangkan siswa yang kurang terlibat secara emosi, akan menunjukkan perilaku mudah bosan dalam belajar, kurang bersemangat, tidak antusias dalam belajar, memiliki relasi yang kurang baik dengan orang lain, cemas, takut, sedih terhadap sekolah dan merasa sekolah adalah sebagai beban.

Komponen ketiga yaitu cognitive engagement, menekankan pada pembelajaran juga literatur dan instruksi pembelajaran, tujuan pencapaian dan regulasi diri. Siswa yang terlibat secara kognisi, akan cenderung menghadapi masalah atau kegagalan dengan pikiran yang lebih positif, lebih fleksibel dalam mencari pemecahan masalah, meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, menyukai tantangan yang melebihi standar yang telah ditetapkan, berusaha menguasai lebih banyak pelajaran, mencari strategi belajar yang sesuai. apabila siswa yang kurang engaged secara cognitive, maka akan menghindari tugas yang diberikan, lebih mudah menyerah dalam menghadapi masalah, mudah terdistraksi dalam belajar, hanya memelajari apa yang diajarkan di kelas tanpa mengusahakan pengetahuan yang lebih, cenderung apatis dan menetapkan target yang rendah atau tidak membuat tujuan sama sekali.

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha engagement melalui wawancara dengan pihak guru dari segi school level factor dan classroom context. Wawancara ini ditujukan untuk menjelaskan perbedaan.

School level factor diantaranya jumlah siswa dan fleksibilitas dalam peraturan sekolah. Siswa di sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang lebih sedikit lebih berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler dan sosial. Dapat dikatakan bahwa sekolah yang lebih kecil (jumlah siswanya lebih sedikit) lebih memiliki kondisi yang mendukung engagement pada siswa yang bermasalah. Fleksibilitas dalam peraturan sekolah juga dapat mengurangi resiko dari disengagement (Finn & Voekl, 1993; Miller, Leinhart, & Zigmund, 1988; Natriello 1984). Penelitian menyimpulkan bahwa school level factor memiliki hubungan dengan behavioral engagement. Bukti yang menyebutkan keterkaitannya dengan cognitive & emotional engagement sangat sedikit.

(23)

14

Universitas Kristen Maranatha Konteks yang mendukung kemandirian diasumsikan dapat meningkatkan Engagement. Kelas yang mendukung kemandirian dikarakteristikkan dengan pilihan, pembuatan keputusan bersama, dan tidak adanya kontrol eksternal, seperti peringkat kelas atau hadiah dan hukuman, sebagai alasan untuk mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. Sekolah yang muridnya diberikan pilihan yang lebih banyak, dapat bertahan lebih lama dan menghadapi lebih baik masalah, sebagai manifestasi dari cognitive engagement. Kurangnya kesempatan untuk kemandirian siswa dapat membantu menjelaskan kurangnya minat, yang merupakan satu indikator dari emotional disengagement.

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha 1.1 Bagan kerangka pikir

1.6 Asumsi

1.) Siswa dengan metoda belajar di SMP “Y” dan SMP “X” akan memperlihatkan school engagement dengan derajat beragam.

2.) School engagement pada siswa SMP “Y” dan “X” dapat dilihat dari komponen behavioral, emotional dan cognitive.

3.) Perbedaan metoda belajar antara “Y” dan SMP Reguler “X” akan menghasilkan school engagement yang berbeda.

4.) Perbedaan dapat disebabkan educational factors antara lain : student level factor dan classroom context.

(25)

16

Universitas Kristen Maranatha 1.7 Hipotesis Penelitian

(26)

54 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil analisis dan pengolahan data 193 siswa SMP “X” & 48 siswa SMP “Y” kota Bandung beserta saran yang bernilai teoritis dan praktis yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1 SIMPULAN

Dari pembahasan mengenai school engagement pada SMP “Y” dan SMP “X” Kota Bandung maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat perbedaan school engagement antara metoda belajar SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung.

2. Perbedaan skor yang tampak ada di emotional engagement dan cognitive engagement.

3. Perbedaan dapat disebabkan educational factors antara lain : student level factor dan classroom context.

5.2 SARAN

(27)

55

Universitas Kristen Maranatha 5.2.1 Saran Teoretis

1. Bagi peneliti lain, dapat mengkhususkan observasi kelas untuk memperoleh gambaran mengenai kegiatan pembelajaran di dalam kelas.

2. Penelitian selanjutnya untuk meneliti faktor school engagement individual needs.

3. Mengukur tingkat kepuasan siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan metoda holistic untuk menyempurnakan penelitian ini agar school engagement siswa lebih optimal dan merata.

5.2.2 Saran Praktis

1. Dalam kaitannya dengan school engagement, dapat dilakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan engagement siswa dengan memberikan tambahan pengetahuan kepada staff pengajar mengenai metoda belajar yang ada pada sekolah lain untuk memaksimalkan school engagement siswa

2. Komponen emotional dan cognitive engagement lebih ditingkatkan pada siswa di sekolah yang masih menggunakan metoda belajar yang mengarah pada teacher centered learning (SMP Reguler “X” Bandung).

(28)

SCHOOL ENGAGEMENT PADA SISWA SMP

“Y"

DAN SMP

“X”

DI KOTA BANDUNG

Suatu Penelitian Menggunakan Metoda Riset Differensial

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SKRIPSI di Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha

Disusun oleh:

HILDA AYU FADILA

NRP: 1130109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(29)
(30)
(31)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT serta shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW, peneliti dapat menyelesaikan tugas untuk menyelesaikan mata kuliah Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha. Adapun judul dari penelitian ini adalah “School Engagement pada Siswa SMP “Y” dan SMP “X” di Kota Bandung

Peneliti sadar karya tulis ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan waktu dan pemahaman peneliti. Oleh karena itu, peneliti terbuka dengan kritik dan saran yang diberikan demi perbaikan karya tulis ini.

Dalam menyelesaikan skripsi, peneliti menerima banyak bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada :

1) Yth. Orangtua penulis yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

2) Dr. Iren P. Edwina M.Psi, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

3) Dr. Ria Wardani, M.Si, Psikolog selaku dosen pembimbing penulis yang selalu memberikan arahan, bimbingan, saran dan semangat pada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

(32)

vi

5) Pimpinan SMP “Y” dan SMP “X”, yang menerima penulis dengan tangan terbuka dalam memberikan informasi dalam penelitian ini. 6) Suami tersayang, Erick, yang telah memberikan semangat dan

dorongan kepada penulis.

7) Siswa SMP “Y” dan Siswa SMP “X” yang bersedia menjadi sampel dalam penelitian.

8) Ibu Dewi selaku guru di SMP “X” yang memberikan informasi kepada penulis.

9) Kak Anriani selaku guru di SMP “Y” yang selalu memberikan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis.

10)Semua pihak yang memberikan dukungan dan membantu penulis selama penyelesaian tugas ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Bandung, Juni 2016

(33)

56

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Fredericks, J.A., Blumenfeld, P.C.,& Paris A. 2004. School Engagement : Potential of the Concept, State of Evidence. Review of Educational

Research. New York: Springer

Graziano, A.M and Raulin, M.L. 2000. Research Methods: A Process of Inquiry, 4th edition, Allyn and Bacon, Boston

Kumar, Ranjit. (1999). Research Methodology. London: Sage Publication, ltd. Kaplan, R.M. dan Saccuzzo,D.P. (1993). Psychological testing: Principles,

application and issue. California:Brooks/Cole Publishing Company.

Marks, H.M. (2000), Student engagement in instructional activity: Patterns in the elementary, middle, and high school years. American Education Research Journal, 37, 1, 153-184.

Newman, F.M. (1981). Reducing Alienation in High School: Implication of Theory. Harvard Educational Review. 51,4: 546-564

Pintrich, Paul R.; de Groot, Elisabeth V. Journal of Educational Psychology, Vol 82(1), Mar 1990, 33-40. http://dx.doi.org/10.1037/0022-0663.82.1.33 Special Section: Motivation and efficacy in education: Research and new directions. (diakses 20 Oktober 2014)

Santrock, John W. Adolescence. 2003. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Shernoff, D. J., Csikszentmihalyi, M., Schneider, B., & Shernoff, E. S. (2003). Student engagement in High School classrooms from the perspective of flow theory. School Psychology Quarterly, 18, 158-176.

Siegel, Sidney. 1994. Statistik Nonparametik untuk Ilmu – Ilmu Sosial : PT. Gramedia, Jakarta.

Skinner, E. A., & Belmont, M. J. (1993). Motivation in the classroom: Reciprocal effects of teacher behavior and student engagement across the school year. Journal of Educational Psychology, 85, 571–581

Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2010), cet. ke-15, h. 22

(34)

57

Universitas Kristen Maranatha Taylor, J. & Nelms, L. (2006). School engagement and life chances 15 year olds

in transition Life Chances Study stage 7. Brotherhood of StLawrence.

Wehlage, G. G., Rutter, R. A., Smith, G. A., Lesko, N. L., & Fernandez, R. R. (1989). Reducing the risk: Schools as communities of support. Philadelphia: Farmer Press.

Wentzel, K. R. (1994). Relations of social goal pursuit to social acceptance, classroom behavior, and perceived social support. Journal of Educational Psychology, 86, 173-182.

Willis, J. (2008). Brain-based teaching strategies for improving students' memory, learning, and test-taking success. (Review of Research). Childhood Education, 83(5), 31-316.

(35)

58

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Departemen Pendidikan Nasional, Pembelajaran Berbasis Kontekstual, Materi Pelatihan KTSP 2009.

Inilah Koran. 10 Februari 2014. Gali Potensi Lewat Pembelajarn Holistik

(http://www.inilahkoran.com/read/detail/2072414/gali-potensi-lewatpembelajaran, diakses 2 Desember 2014)

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Psychology About Website

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 17 Nilai k perubahan daya iris selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE

Sebelum membuka bisnis ini, kami sudah merencanakan rencana tata letak dimana kami memilih daerah bandung timur sebagai pusat bisnis agenda furniture yang bekanngan ini

Hasil dari penelitian ini adalah sebuah Sistem Informasi Akademik di SMK Negeri 1 Pundong yang digunakan untuk membantu kinerja guru dan karyawan dalam mengelola data-data

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Menyelesaikan Pendidikan Program Strata 1 (S1) Pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro

Dalam hal kinerja modul aplikasi perangkat ajar, diperoleh tanggapan bahwa modul cukup menarik tidak membuat siswa cepat bosan dalam mempelajari materi

PENERAPAN PEMBELAJARAN SEJARAH KONTEKSTUALBERBASIS BUKU TEKS DI SMAN 1 PADALARANGKABUPATEN BANDUNG BARATB. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

(1) Akta pemisahan merupakan tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun yang meliputi bagian bersama benda bersama dan tanah bersama sebagaimana dimaksud

Terdapat kemungkinan antaraksi pada pemakaian bersama antara Rutin sebagai dietary supplement yang beredar di pasaran (berkhasiat antioksidan) dengan tolbutamid (obat