• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP TRADISI JUAL BELI BENIH DI JORONG SARUASO BARAT, NAGARI SARUASO KECAMATAN TANJUNG EMAS, KABUPATEN TANAH DATAR SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP TRADISI JUAL BELI BENIH DI JORONG SARUASO BARAT, NAGARI SARUASO KECAMATAN TANJUNG EMAS, KABUPATEN TANAH DATAR SKRIPSI"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP TRADISI JUAL BELI BENIH DI JORONG SARUASO BARAT, NAGARI SARUASO KECAMATAN TANJUNG EMAS, KABUPATEN TANAH DATAR

SKRIPSI

Ditulis Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh

Yovi Hendrixon NIM. 15301300072

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

2019

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Yovi Hendrixon

NIM : 15301300072

Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syariah

Dengan ini menyatakan bahwa SKRIPSI yang berjudul: ” Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Tradisi Jual Beli Benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar” adalah hasil karya sendiri, bukan plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti sebagai plagiat, maka bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(5)

BIODATA PENULIS

Nama : Yovi Hendrixon

Nim : 15301300072

Tempat, Tanggal Lahir : 24 September 1995

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat

: Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas

Gelar Keserjanaan : Sarjana Hukum (S.H)

Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah (HES)

Fakultas : Syariah

Tahun Masuk/Keluar : 2015/2019

Nomor Handphone : 085356053443

Judul Skripsi

:

Tinjauan Fiqh Muamalah terhadap jual beli benih.

(Studi Kasus Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas.)

Latar Belakang Pendidikan :

SD/MI : SDN 17 Saruaso (2009)

SMP/MTS : MTsN TAnjung Emas (2012)

SMA/MAN : MAN 2BAtusangkar (2015

Perguruan Tinggi : IAIN Batusangkar (2019)

Pengalaman Organisasi : 1. Kooordinator Agama HES HMJ Hukum

Ekonomi Syariah IAIN Batusangkar (2017) 2. Koordinator Agama Dewan Eksekutif

Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah IAIN Batusangkar (2018)

Pengalaman Kerja : 1. Magang BAnk Syariah Mandiri di

Batusangkar (Januari-Maret 2018) 2. Magang Pengadilan Agama Pariaman

(Agustus-Oktober 2018)

3. Magang Pengadilan Negeri Pariaman (Oktober-November 2018)

Motto : MAnjaddah wa Jaddah

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, Yang mengajar manusia dengan pena, Dia mengajarkan manusia

apa yang tidak diketahuinya”

(QS. Al-„Alaq: 1-5)

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya. Dan siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberikebijakan yang banyak. Tak ada yang

dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”

(Al-Baqarah :256)

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, Maka apabila engkau telah selesai dari sesuatu urusan, tetaplah bekerja keras untuk urusan yang lain”

(QS. Al Insyirah: 6-7)

Alhamdulillah wasyukurillah

Dengan segenap kekuatan yang begitu terbatas, dengan segala suka dan duka yang telah kulalui, akhirnya kau izinkan aku untuk menyelesaikan karya kecil ini.

Kau izinkan aku untuk tatap masa depanku yang jauh lebih berat. Untuk itu . . . tunjukilah & bimbinglah aku ya Allah demi masa depan yang lebih gemilang.

Sujud syukurku untukMu ya rabb. . .

Kini. . . setitik terang telah hamba temui, sepenggal perjuangan telah hamba tempuh, sejuta penantian telah hamba raih, dengan izinmu telah hamba gapai suatu asa, dan telah hamba raih sepenggal cita-cita. Namun . . . keberhasilan ini

bukanlah sebuah akhir, tapi sebuah awal dari perjuangan hidup hamba yang masih panjang, semoga suatu titik keberhasilan ini mengiringi dan menjadi bekal

dalam hidup hambaMu ini, Ya . . . Allah

(7)

Seiring rasa syukurku dengan segala kerendahan hati dan mengharapkan ridho- Mu ya Allah. Ku persembahkan karya kecil ini untuk yang tercinta dan ku

sayangi:

Ayah dan mama yang tersayang (Asril dan Safini), motivator yang terbesar dalam hidupku yang tak pernah jenuh mendoakan dan menyayangiku, atas semua

pengorbanan dankesabaran mengantarkanku sampai kini. Tak cukup ku membalas rasa sayangmu padaku.

Yah....Maa.... izinkan anakmu ini membuatmu tersenyum bangga. Mohon doa dan restumu selalu untuk setiap langkah yang akan ku tempuh dan setiap cita-cita

yang ingin ku raih. Terimakasih atas dukungan yang telah Ayah dan Mama berikan. Tanpa kehadiranmu tidak mungkin ku menjadi seperti sekarang.

Hari-hari berlalu, siangpun berganti malam Berabad-abad sudah berlalu

Namun Namamu masih melekat di hatiku Tak pernah aku bertemu atau berjumpa dengan Mu

Tak pernah aku melihat langsung diriMu Ya Nabi Muhammad SAW, Ya Rasulullah Bergetar hati ini, menangis, rindu bertemu dengan Mu

Rindu pada Suri tauladan yang kau berikan Rindu pada kesederhana dan kepedulianMu Rindu pada kedamaain yang kau ciptakan

Rindu kami kepadaMu sepanjang waktu EngkauLah cermin bagi Hidup Kami

Yovi Hendrixon, -Man Jaddah Waa Jaddah-

2 November 2019

(8)

i ABSTRAK

YOVI HENDRIXON , NIM 15301300072, Judul SKRIPSI Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Tradisi Jual Beli Benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar tahun 2019.

Pokok permasalahan skripsi ini adalah Bagaimana praktek jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas dan Bagaimana Tinjauan Fiqh muamalah terhadap jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas. Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan praktek jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas dan Tinjuan fiqh muamalah terhadap jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas.

Metode penelitian yang penulis lakukan adalah jenis penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (fiel research), dengan teknik pengumpulan data adalah wawancara dan dokumentasi. Sumber data primer diantaranya penjual benih (3 orang), Pembeli (3 orang) dan sumber data sekunder yaitu dokumen- dokumen terkait seperti dokumentasi, buku-buku fiqih muamalah serta Karya Ilmiah lainnya yang mendukung penulisan skripsi penulis, adapun teknik analisis data yang dilakukan dengan cara menghimpun sumber-sumber data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, membaca sumber-sumber data yang telah dikumpulkan, membahas masalah-masalah yang diajukan, kemudian mengambil kesimpulan akhir terhadap pelaksanaan Jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa praktek Jual beli benih yang sudah biasa dilakukan di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas dilaksanakan dengan cara benih penjual yang telah berlebih di cabut oleh penjual lalu diikat dan diletakkan di ditepi sawah kemudian orang yang membutuhkan benih mengambil benih ini untuk ditanam di sawahnya karena adanya kekurangan benih. Mengambil benih yang sudah diletakkan di tepi sawah yang sudah berlebih tersebut tanpa didahului oleh akad antara penjual dengan orang yang membutuhkan benih. Akad jual beli baru dilaksanakan setelah benih ditanam di sawah pembeli. Sedangkan tinjauan Fiqh muamalah terhadap pelaksanaan tradisi jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas bahwasanya akad jual beli seharusnya disebutkan di awal, namun dalam praktek yang terjadi akad dalam jual beli itu disebutkan diakhir. Berdasarkan fikih muamalah akad jual beli seperti itu tergolong fasid, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jorong Saruaso maka kebiasaan tersebut dianggap sah, yang dapat disebut dengan urf shahih.karena terdapat unsur kemaslahatan,berupa tolong menolong, dan menghindari terjadinya mubazir.

(9)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul”Tinjaun fiqh muamalah terhadap jual beli benih (Studi Kasus Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar) Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi Strata Satu (S1) pada Jurusan Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar.

Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada Baginda Rasulullah SAW yang telah mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu pengetahuan dan meninggalkan dua pedoman hidup yakni Al-Qur‟an dan Sunnah untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Selesainya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih terutama kepada Ibunda tersayang Safini dan Ayahanda tercinta Asril serta kepada saudara saya Jonedi, Riki Indra Putra, Fitra Yanto, Roni Pasla, Agusrimanda S.Sy MH atas segala kasih sayang yang diberikan dan pengorbanan yang tak terhingga serta memberikan doa, motivasi semangat yang tiada henti dan dukungan moril maupun materil untuk selesainya penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H.Kasmuri MA, selaku rektor Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

2. Bapak Dr. H. Zainuddin M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

(10)

iii

3. Ibu Yustiloviani, S.Ag, M,Ag selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar.

4. Bapak Inong Satriadi,S.Ag.M.Ag selaku Penasehat Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di IAIN Batusangkar.

5. Ibu Yustiloviani,S.Ag.M.Ag selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan tenaga untuk mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Bapak Zulkifli, M.HI selaku penguji I dalam skripsi ini, yang telah menguji dan memberikan masukan serta arahan demi kesempurnaan skripsi penulis.

7. Ibu Dr. Elsy Renie, M.Ag selaku penguji II dalam skripsi ini, yang telah menguji dan memberikan masukan serta arahan demi kesempurnaan skripsi penulis.

8. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang telah memberikan pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan di IAIN Batusangakar.

9. Kepala Perpustakaan IAIN Batusangkar dan karyawan yang telah memberikan bantuan dalam peminjaman buku dan literatur yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2015 khususnya untuk lokal beserta teman-teman lainnya yang saling mendukung dan membantu selesainya skripsi ini, Senior dan Sahabat terkhusunya pada, Rahma Doni, Ridwan Hidayat, Rinsri Dwi Gumelar, Nurul Azmi, Rani Agustin, Rika Susanti, Tiara Nofrida, Selfitri deli, Vikra Adliya, Nayla aura jovani, Olintya Jovani, Hanif Dirma yang selalu memberikan dukungan, support dan motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik secara moril maupun materil dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Penulis berharap kiranya karya tulis ini dapat memberikan sumbangsih bagi pembaca dan pemerhati serta menjadi amal saleh bagi penulis hendaknya.Aamiin.

(11)

iv

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna baik materi, penganalisaan, dan pembahasannya. Semua ini dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang ada pada penulis, seperti kata pepatah Tak Ada Gading Yang Tak Retak, dan hal itu membuat penulis sadar akan hal itu ,bahwa manusia memiliki sifat khilaf dan tak luput dari kesalahan.

Penulis meyadari masih bayak kekurangan yang terdapat di dalam Skripsi ini.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan skripsi ini, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas semuanya.

Batusangkar, 15 Oktober 2019

YOVI HENDRIXON NIM. 15301300072

(12)

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI BIODATA PENULIS

ABSTRAK. ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ..1

B. Fokus Penelitian ... ..6

C. Rumusan Masalah ... ..6

D. Tujuan Penelitian ... ..6

E. Manfaat dan Luaran Penelitian ... ..7

F. Defenisi Operasional ... . 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Landasan Teori 1. Akad ... . 9

a. Pengertian Akad ... ..9

b. Dasar Hukum Akad...10

c. Rukun Akad dan syarat akad ... 12

d. Macam-macam Akad ... 19

e. Akad-akad Terlarang ... 22

(13)

vi

f. Berakhirnya Akad... ... 25

2. Jual Beli ... 26

1. Pengertian Jual Beli ... 26

2. Dasar Hukum Jual Beli ... 29

3. Rukun dan Syarat Jual Beli ... 33

4. Macam-Macam Jual Beli ... 42

5. Etika Jual Beli ... 45

3. urf ... 47

1. Pengertian urf ... 47

2. Macam-macam urf ... 50

3. Hukum urf...51

4. Kehujjahan urf...53

B. PenelitianRelevan ... 54

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 57

B. Latar dan Waktu Penelitian ... 57

C. Instrumen Penelitian ... 58

D. Sumber Data... 59

E. Teknik Pengumpulan Data ... 59

F. Teknik Analisis Data... 60

G. Teknik Penjamin Keabsahan Data ... 60

BABIVTEMUAN/HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kondisi dan Potensi Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar. ... 61

B. Pelaksanaan Jual beli benih di Jorong Saruaso Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah datar ... 66

C. Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar ... 70

(14)

vii BABV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(15)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Time Schedule Penelitian ... 57 Tabel 4.1 Luas Lahan Nagari Saruaso Menurut Penggunaanya Tahun 2017 ... 63 Tabel 4.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk berdasarkan Jorong Tahun

2017 ... 64 Tabel 4.3 Pekerjaan Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Nagari Saruaso

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2017 ... 65 Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Nagari Saruaso Menurut Kepadatannya

Tahun 2013-2017 ... 65 Tabel 4.5 Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan Tahun

2017 ... 66

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Syariat Islam telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan muamalah,agar senantiasa mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah swt.Ada tata krama dalam berinteraksi sesama manusia agar seseorang tidak sampai mengambil apa yang bukan haknya. Mereka dapat hidup beriringan dalam memenuhi kebutuhan hidup, hingga keadilan dapat dirasakan oleh seluruh manusia. Segala aktifitas manusia akan mempunyai akibat di akhirat kelak, nilai-nilai agama dalam bidang muamalah itu dicerminkan oleh adanya Hukum Halal dan Haram yang harus diperhatikan.

Di dalam Islam perjanjian dinamakan juga dengan akad, yang dimaksud dengan akad itu sendiri adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan Hukum tertentu. Akad di kalangan fuqaha mempunyai dua pengertian pertama, akad adalah ikatan yang dihasilkan oleh dua ucapan seperti isyarat atau tulisan yang melahirkan ketentuan Hukum Syar‟i (sah secara syariah) (Ka'bah, 2013, hal. 123-124)

Akad menurut bahasa Arab adalah perikatan, perjanjian, dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai kehendak syari‟at yang berpengaruh pada objek perikatan. (Hasan, 2004, hal. 101)

Setiap seseorang yang melakukan akad harus terpenuhinya rukun maupun syarat-syarat dari sebuah akad. Adapun yang menjadi dasar dalam akad adalah firman Allah dalam al-Qur‟an Surat al-Maidah ayat 1 yang bebunyi:













“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu

(17)

Menurut ayat di atas adalah setiap orang yang berakad wajib memenuhi akad tersebut dan menunaikan syarat yang mengikatnya sepanjang masih tidak melanggar syara‟. Akad terbentuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun. Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Menurut ahli-ahli Hukum Islam Kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat, yaitu para pihak yang membuat akad (al-

„aqidan), pernyataan kehendak para pihak (shigatul-„aqd), objek akad (mahallul-„aqd), dan tujuan akad (maudhu‟ al-„aqd). (Sahrani, 2011, hal. 43) dan syarat dari keabsahan suatu akad harus terbebas dari empat faktor yaitu penyerahan yang menimbulkan kerugian, mengandung unsur gharar, syarat- syarat tersebut fasid dan menimbulkan riba. (Anwar, 2007, hal. 100-101)

Akad-akad yang dilakukan oleh umat manusia yang digunakan untuk mengikatkan diri antara satu sama lain, diantara akad-akad yang digunakan oleh umat manusia untuk melanjutkan kehidupannya diantaranya yaitu jual beli, utang piutang bahkan melakukan kegiatan pinjam meminjam sekalipun demi mencukupi dan memelengkapai rantai kehidupan setiap manusia.

Dalam transaksi jual beli antara seseorang dengan orang lain harus didahului dengan akad baru dilaksanakan apa yang diakadkan seperti akad jual beli, dimana didahului oleh akad jual beli baru penyerahan barang yang diperjual belikan.

Jual beli secara bahasa, menurut M. Ali Hasan dapat diartikan bahwa jual beli adalah عيبلا artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata, عيبلا dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: ءارشلا (beli). Dengan demikian kata:

عيبلا berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”. (Hasan, 2004, hal. 113). Secara istilah jual beli adalah proses tukar menukar barang yang dilakukan dengan cara tertentu dengan menggunakan lafaz ijab dan qabul.

(Zuhaili, 2011, hal, 25)

(18)

3

Dalam kehidupan manusia, jual beli merupakan kebutuhan dharuri, yaitu kebutuhan yang tidak mungkin di tinggalkan dimana manusia tidak dapat hidup tanpa kegiatan jual beli. (Hasan, 2004, hal. 115) Jual beli juga merupakan sarana tolong menolong antara sesama manusia yang telah di tetapkan kebolehannya oleh Islam sebagaimana di jelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275 yaitu:













Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat ini menjelaskan kebolehan dalam transaksi jual beli adalah halal jadi tidak semua akad jual beli adalah Haram. (Abdul Aziz, 2014, hal. 26) Pada dasarnya Jual beli itu dihalalkan dan dibolehkan. dengan syarat harus ada kejujuran, kebenaran dan kejelasan didalam transaksi jual beli tersebut.

Transaksi jual beli harus terhindar dari ketidak jelasan (jahalah) dan penipuan (gharar). Ketidak jelasan (jahalah) dalam transaksi jual beli bisa berupa ketidak jelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya atau jumlahnya menurut pandangan pembeli. (Muslich, 2015, hal. 191)

Menurut Hendi Suhendi bahwa perdagangan atau jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempuyai nilai secara sukarela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang tela dibenarkan syara‟ dan disepakati. (Suhendi, 2008, hal. 68-69).

Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang digunakan oleh ulama sebagai dasar Hukum dibenarkannya praktek jual beli. Antara lain dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ (4) ayat 29:

(19)

















































“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya, allah adalah maha penyayang kepadamu.”

Ayat diatas menekankan juga keharusan mengindahkan peraturan- peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan “al-bathil”, yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. (Shihab, 2007, hal. 413).

Menurut jumhur ulama rukun jual beli ada empat yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli). Sighat (lafal ijab dan kabul). Ada barang yang dibeli dan ada nilai tukar pengganti barang. Adapun syarat jual beli adalah penjual dan pembeli, benda yang di perjual belikan, lafaz ijab dan kabul.

(Sahrani, 2011, hal. 65)

Berdasarkan survei awal yang penulis lakukan di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas ada salah satu bentuk kegiatan di masyarakat yaitu jual beli benih padi. Kegiatan masyarakat pada Jual beli benih padi antara petani yang kekurangan benih dengan petani yang kelebihan benih merupakan kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat setempat. Hal tersebut dilakukan karena adanya kebutuhan yang mendesak dalam persediaan benih.

Praktek Jual beli benih yang sudah biasa dilakukan di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas dilaksanakan dengan cara benih penjual yang telah berlebih di cabut oleh penjual lalu diikat dan diletakkan di ditepi sawah kemudian orang yang membutuhkan benih mengambil benih ini untuk ditanam di sawahnya karena adanya kekurangan benih.

(20)

5

Mengambil benih yang sudah diletakkan di tepi sawah yang sudah berlebih tersebut tanpa didahului oleh akad antara penjual dengan orang yang membutuhkan benih. Akad Jual beli baru dilaksanakan setelah benih ditanam di sawah pembeli. Kemudian pembeli mengambil benih tanpa akad karena pembeli sangat membutuhkan benih tersebut disaat itu. karena orang sedang bekerja disawahnya dan benih yang akan ditanam tidak ada, pada hal waktu untuk bekerja masih ada. Jika dilaksanakan akad dahulu maka pekerjaan ini akan tertunda dan kembali mengupahkannya.

Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Manik sebagai pemilik benih, bahwa pembeli benih tidak mengatakan kepada pemilik benih. Pembeli langsung mengambilnya di persemaian sawah dengan cara perkepalan tangan dan mengatakannya keesokan harinya bahwa benih yang dia ambil sudah di tanamnya padahal benih yang diletakan disawah masih dipergunakan untuk sawah berikutnya. Adapun wawancara dengan Bapak Hartono sebagai pembeli benih bahwa pembeli mengambil benih di persemaian sawah untuk sawah yang ia tanam di karenakan sawah yang dia tanam mengalami kekurangan benih dengan cara perkepal (genggaman), apabila benih yang di tanam dinantikan keesokan harinya maka upah yang di bayar untuk orang menanam benih untuk disawahnya akan bertambah. Maka dari itu pembeli mengambil terlebih dahulu benih di persemaian sawah tersebut tanpa di ketahui oleh orang yang mempunyai benih, dan benih yang ia ambil akan dibayar ke esokan harinya.

Wawancara dengan Ibuk Nelli sebagai penjual benih, bahwa pembeli mengambil benih dari persemaian dengan cara kepalan (genggaman) dikarenakan benih yang disawahnya mengalami kekurangan sehingga pembeli mengambil benih tersebut dengan cara kepalan tangan. Pembeli mengatakan kepada penjual bahwa benih yang dia ambil sudah ditanamnya sehingga penjual benih mengalami komplen terhadap benih yang dia ambil bahwa benih yang dia letakan di persemaian sawah masih dipergunakan untuk sawah berikutnya dan takaran yang digunakan oleh pembeli tidak

(21)

diketahui karena petani yang kekurangan benih mengambil benih dengan cara perkepalan tangan.

Berdasarkan uraian penulis diatas pelaksanaan Jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas sudah menjadi kebiasaan, yang mana dalam fikih muamalah disebut dengan urf. Urf adalah sesuatu yang sudah dimengerti oleh sekelompok manusia yang dipandang baik dan diterima oleh akal manusia dan telah berlaku konsisten dimasyarakat dan selalu diikuti oleh kelompok manusia tersebut baik berupa perbuatan dan ucapan.

Dilihat dari segi keabsahannya, urf terbagi dua yaitu kebiasaan yang dianggap sah dan kebiasaan dianggap rusak. Kebiasaan yang dianggap sah (al-urf al-sahih) adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits) tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak membawa mudharat. Sedangkan urf fasid kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaedah-kaedah dasar yang ada dalam syara‟

Bahwa salah satu bentuk jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas benih diambil dari persemaian sawah kemudian pembeli baru mengatakan kepada penjual benih berdasarkan dalam fiqh muamalah akad terlebih dahulu setelah itu barang diserahkan.

Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti menjadi sebuah kajian penelitian dengan judul “Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Tradisi Jual Beli Benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas”

B. Fokus masalah

Berdasarkan latar belakang diatas penulis lebih memfokuskan kepada tinjauan Fiqh muamalah terhadap tradisi („urf) akad yang digunakan dalam jual beli benih.

C. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian diatas adapun yang menjadi rumusan masalah diantaranya adalah:

(22)

7

1. Bagaimana praktek jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas?

2. Bagaimana tinjauan fiqh muamalah terhadap tradisi („urf) jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas?

D. Tujuan penelitian

Sebagaimana dipaparkan dalam rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan praktek jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan fiqh muamalah terhadap tradisi („urf) jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas.

E. Manfaat dan Luaran penelitian

Adapun manfaat penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai:

1. Sebagai pembinaan dan pengembangan ilmu Syariat Islam.

2. Sebagai informasi tentang Jual beli benih di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas.

3. Bermanfaat sebagai bacaan di perpustakaan IAIN Batusangkar.

4. Memper tanggung jawabkan akademik penulis terhadap ilmu yang telah dipelajari.

Adapun luaran penelitian yang penulis harapkan adalah, agar karya ilmiah penulis bisa diterbitkan dijurnal kampus IAIN Batusangkar.

F. Defenisi operasional

Fiqh muamalah adalah terbagi dua aspek yaitu fiqh dan muamalah.

Fiqh adalah bidang ilmu yang membahas tentang Hukum-Hukum amaliyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Muamalat yaitu Hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain, atau individu dengan Negara Islam, atau Hubungan Negara Islam dengan Negara-Negara lain. Fiqh muamalah adalah suatu aturan yang mengatur Hubungan antara individu dengan individu lain, atau individu

(23)

dengan Negara Islam, atau Hubungan Negara Islam dengan Negara lain.Terkait tentang Fiqh Muamalah penulis maksud adalah akad yang digunakan dalam Jual beli nenih padi yang akan ditanam

Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempuyai nilai secara sukarela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara‟ dan disepakati.

(Suhendi, 2008, hal. 68-69). Terkait tentang Jual beli adalah suatu akad yang dilakukan oleh seorang penjual dan pembeli yang membutuhkan benih yang akan ditanam yang mana penjual benih menjual benihnya dengan cara dikepal.

Benih adalah biji tanaman padi yang akan di tanam oleh para petani untuk menabur benih pada waktu musim Hujan maupun musim Panas, benih yang baik yang memenuhi standar atau catatan hasil pengujian yang baik. (Salim, 1991, hal. 181)

Urf adalah sesuatu yang sudah dimengerti oleh sekelompok manusia yang dipandang baik dan diterima oleh akal manusia dan telah berlaku konsisten dimasyarakat dan selalu diikuti oleh kelompok manusia tersebut baik berupa perbuatan dan ucapan

Maksud dari judul setelah di operasionalkan adalah Tradisi Jual beli benih yang dilakukan oleh petani di Jorong Saruaso Barat Nagari Saruaso Kecamatan Tanjung Emas dalam jual beli benih yang disemai dan siap ditanam sudah sesuai dengan ketentuan dalam fiqh muamalah

(24)

9 BAB II KAJIAN TEORI A. Akad

1. Pengertian Akad

Menurut bahasa, akad berarti mengikat (ﻄﺑرﻠا), sambungan (ﺓﺪﻗﻋ) dan janji (ﺪﻬﻌﻠا). Sedangkan menurut istilah, akad adalah perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara‟yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak (Suhendi, 2008, hal. 46)

Secara terminologi akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada objek perikatan.

Maksud dari kalimat yang sesuai dengan kehendak syariat adalah bahwa seluruh perikatan (akad) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dikatakan tidak sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara‟, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain atau merampok kekayaan orang lain. Sedangkan, yang dimaksud dengan kalimat berpengaruh pada objek perikatan dalam defenisi di atas adalah terjadinya perpindahan pemilikan atau manfaat dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul) (Elimartati, 2010, hal. 13)

Wabah Zuhaili juga mendefenisikan bahwa akad dalam bahasa Arab adalah suatu ikatan ( atau penguat dan ikatan) antara ujung- ujung suatu, baik ikatan nyata maupun maknawi, dari satu segi maupun segi yang lain sebagainya.

Muhammad Abu Zahrah Juga Mengemukakan pengertian akad menurut bahasa atau Etimologi adalah suatu cara untuk menggabungkan dua ujung sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah

“al-hillu“ (melepaskan), juga diartikan mengokohkan sesuatu dan memperkuatkannya. Dan beliau juga memberikan sebuah komentar terhadap arti bahasa tersebut bahwa dari pengertian “Ikatan yang

(25)

nyata antara ujung sesuatu (tali misalnya,” diambilah kata akad untuk ikatan maknawi antara satu pembicara atau dua pembicara.

Sedangkan dari pengertian “Mengokohkan dan memperkuat” diambil kata akad untuk arti “Ahd” janji. Dari gabungan dua pengertian tersebut maka akad dapat diartikan “janji yang kuat (al‟ahd al- mutsaq), dan tanggungan (dhaman), serta segala sesuatu yang menimbulkan ketetapan.”

Sedangkan Syamsul Anwar dalam bukunya Hukum Perjanjian Syariah menyatakan bahwa akad merupakan tindakan Hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. (Anwar, 2007, hal 69)

Sedangkan Chairuma Pasaribu di dalam bukunya Hukum Perjanjian dalam Islam memberikan defenisi bahwa dalam Hukum Islam akad dimengerti sebagai suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melaksanakan suatu perbuatan tertentu.(Pasaribu, 1994, hal. 1)

Jadi dapat disimpulkan bahwa akad adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh dua belah pihak yang mana pada akhirnya menimbulkan akibat Hukum, baik itu merupakan suatu kewajiban dari salah satu pihak maupun memindahkan bahkan mengalihkan sesutu.

2. Dasar Hukum Akad

Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:

















































(26)

11

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan Hukum-Hukum menurut yang dikehendaki-Nya”

Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan atau akadkan, baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal (Suhendi, 2008, hal. 45)

Dasar kedua adalah firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat an-Nisa‟

ayat 29 yang berbunyi:

















































“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.

Ayat di atas, menegaskan bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkan dengan „an taradhin minkum. Kendati kerelaan itu sesuatu yang abstrak, namun indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Indikator dan tanda- tanda tersebut dapat berupa ijab qabul dan adanya serah terima di antara kedua belah pihak

Hadis Rasulullah

لله ا يض ر رمع نب لله ا دبع نع, عف ان نع ,كل ام ان ربخا ,فس وي نب لله ا دبعانث دح لله ا ىلص لله ا ل وس ر نا امهنع ر ايحل اب امهنم لح ا و لع ن اعي ابنمل ا :ل اق ملس و هيلع

)ملسم و ى ر اخبلا ا هج رخ ا ( ر ايجل ا عيب لاا اق رفتي مل ام هبح اص ىلع.

“Hadis dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadis dari Malik dan beliau mendapatkan Hadis dari Nafi‟ dari Abdullah bin Umar

(27)

Radiyallahu‟anhuma sesungguhnya Rasulullah Shalallahua‟alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang yang jual beli, masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selam keduanya belum berpisah kecuali jual beli Khiyar”(H.R Bukhari dan Muslim)

3. Keabsahan suatu akad menurut Hukum Islam

Untuk sahnya suatu akad atau perjanjian dalam ajaran Islam, harus memenuhi rukun dan syarat dari akad tersebut. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa atau tindakan.

Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa, dan tindakan tersebut (Anshori, 2006, hal. 21)

a. Rukun akad

Rukun akad yang terpenting adalah ijab dan qabul.

Menurut ahli-ahli Hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu:

1) Para pihak yang membuat akad („aqid).

2) Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-„aqd).

3) Benda yang diakadkan atau objek akad (ma‟qud „alaih).

4) Tujuan atau maksud dari mengadakan akad (maudhu‟al-„aqd) (Sahrani, 2011, hal.43)

Menurut para ahli Hukum Islam bahwa rukun adalah unsur yang membentuk substansi tertentu. Sedangkan bagi Mazhab Hanafi yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu diungkapkan melalui pernyataan kehendak masing- masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah suatu unsur luar, tidak merupakan esensi akad dan karena itu bukan rukun akad. Namun mazhab ini mengakui bahwa unsur para pihak dan objek itu harus ada terbentuknya akad. Rukun hanyalah substansi internal yang membentuk akad, yaitu ijab dan kabul saja. (Anwar, 2007, hal. 97-105)

(28)

13

b. Syarat akad

Secara khusus, syarat-syarat suatu akad antara lain:

1) Pihak–pihak yang berakad harus mempunyai kecakapan melakukan tindakan Hukum, dalam artian bahwa pihak yang ber akad itu sudah dewasa dan sehat akalnya. Sedangkan, jika perjanjian dibuat oleh orang yang tidak mempunyai kecakapan, maka ia harus diwakili oleh walinya. Dan untuk menjadi wali harus memenuhi persyaratan dalam hal kecakapan untuk menjalankan tugas secara sempurna, persamaan pandangan (agama) antara wali dan yang diwakilinya, adil, amanah, dan mampu menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya (Anshori, 2006, hal.22)

2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh ma‟qud „alaih adalah:

a) Benda yang diakadkan atau yang menjadi objek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.

b) Objek transaksi harus berupa harta yang diperbolehkan syara‟untuk ditransaksikan (mal mutaqawwim) dan milik penuh orang yang melakukan akad.

c) Objek transaksi dapat diserah terimakan saat terjadinya akad, atau dapat diserahkan dikemudian hari.

d) Objek transaksi harus jelas.

e) Objek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.

Syarat tujuan dari suatu akad menurut ulama fikih harus sesuai dengan syara‟, apabila tujuan dari mengadakan akad tersebut bertentangan dengan syara‟ maka dapat menimbulkan ketidak absahan dari perjanjian yang dibuat.

Syarat dari ijab dan qabul, menurut ulama fikih, yaitu:

1) Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.

2) Antara ijab dan kabul harus berkesesuaian.

(29)

3) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukan penolakan dan pembatalan dari keduanya.

4) Dalam ijab dan kabul harus menggambarkan kesungguhan dan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan (Djuwaili, 2010, hal.51)

Salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad ialah mengucapkan dengan lidah atau secara lisan. Selain itu, para ulama fikih menerangkan bahwa disamping cara lisan ada beberapa cara yang ditempuh dalam akad diantaranya yaitu:

1) Dengan cara tulisan (kitabah), misalnya dua „aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengan kitabah atau secara tulisan. Atas dasar inilah para ulama membuat kaidah: “Tulisan itu sama dengan ucapan”.

2) Dengan isyarat. Bagi orang-orang tertentu akad tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan atau tulisan. Misalnya, seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijab kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. Maka dibuatkan kaidah sebagai berikut: “Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah”(Shiddieqy, 1997, hal.30)

Secara umum, syarat akad dibedakan menjadi empat macam yaitu:

1) Syarat terbentuknya akad (syuruth al-in‟iqad).

Ada delapan macam syarat dalam terbentuknya akad (syuruth al-in‟iqad),yaitu:

(30)

15

a) Tamyiz (berakal);

b) Berbilang pihak (at-ta‟adud);

c) Persesuaian ijab dan qabul (kesepakatan);

d) Kesatuan majlis akad;

e) Objek akad dapat diserahkan;

f) Objek akad tertentu atau dapat ditentukan;

g) Objek akad dapat ditransaksikan (berupa benda bernilai dan dimiliki mutaqawwin dan mamluk);

h) Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara‟. (Anwar, 2007, hal.98)

Kedelapan syarat akad tersebut dinamakan pokok (al-ashl).

Apabila pokok ini tidak terpenuhi, bahwa tidak terjadi akad, dalam pengertian bahwa akad tidak memiliki wujud yuridis syar‟i apapun. Akad semacam ini disebut akad batil. Ahli-ahli Hukum Hanafi mendefenisikan akad batil sebagai akad yang menurut syarak yang tidak syah pokoknya, yaitu tidak terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya.

2) Syarat-syarat keabsahan akad (syuruth ash-sihhah)

Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurnaan yang menjadi suatu akad sah. unsur-unsur penyempurnaan ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan ini dibedakan menjadi dua macam yaitu: syarat-syarat keabsahan umum berlaku yang berlaku terhadap semua akad atau paling tidak berlaku terhadap kebanyakan akad, dan syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi masing-masing akad khusus.

Syarat-syarat keabsahan suatu akad yaitu apabila terbebas dari empat faktor, yakni:

a) Penyerahan yang menimbulkan kerugian.

b) Mengandung unsure gharar.

c) Syarat-syarat fasid.

(31)

d) Riba (Anwar,2007, hal. 100-101)

Menurut ahli-ahli Hukum Hanafi, akad fasid adalah akad yang menurut syarat sah pokoknya, tetapi sifatnya. Maksudnya adalah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, tetapi belum memenuhi syarat keabsahannya.

3) Syarat berlakunya akibat Hukum (syuruthan-nafadz)

Apabila telah memenuhi rukun dan syarat keabsahan dan rukun terbentuknya maka suatu akad dinyatakan sah. Akan tetapi, meskipun sudah sah ada kemungkinan bahwa akibat Hukum tersebut belum dapat dilaksanakan. Akad yang belum dapat dilaksanakan akibat Hukumnya itu disebut akad maukuf (terhenti atau tergantung).

Untuk dapat dilaksanakan akibat Hukumnya, akad yang sudah sah itu harus memenuhi dua syarat berlakunya akibat Hukum yaitu adanya kewenangan sempurna terhadap objek akad, dan adanya kewenangan atas tindakan Hukum yang dilakukan.

Kewenangan sempurna atas objek akad terpenuhi dengan para pihak mempunyai kepemilikan atas objek bersangkutan atau mendapat kuasa dari pemilik dan pada objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain, seperti objek yang sedang digadaikan atau disewakan.

Kewenangan atas tindakan Hukum terpenuhi dengan para pihak apabila telah mencapai tingkat kecakapan bertindak Hukum yang dilakukanya.(Anwar, 2007, hal.102)

4) Syarat mengikatnya akad (syuruth al-luzum)

Pada asasnya, akad yang telah memenuhi rukun serta syarat terbentuknya, syarat keabsahannya, dan syarat berlakunya akibat hokum dapat dikatakan sah dan dapat dilaksanakan akibat Hukumnya apabila mengikat para pihak yang membuatnya.

(32)

17

Dalam hal ini tidak boleh salah satu pihak menarik kembali persetujuan secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain.

Sedangkan menurut Sohari Sahrani dalam bukunya Fiqh Muamalah menyebutkan rukun dan syarat akad sebagai berikut:

1) „Aqid ialah orang yang berakad

2) Mau‟qud „alaih benda-benda yang di akadkan

3) Maudhu „al‟aqad ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.

4) Shighat al‟aqad ialah ijab dan kabul ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengedakan akad, sedangkan kabul adalah perkataan yang keluar dari pihak berakad, di ucapkan setelah adanya ijab.

(Sahrani,2011, hal. 43-44)

Adapun yang menjadi syarat sahnya suatu akad, adalah sebagai berikut:

1) Tidak menyalahi Hukum syari‟ah. Maksudnya bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan Hukum syara‟, sebab perjanjian yang bertentangan dengan Hukum syara‟ adalah tidak sah.

2) Harus ada kerelaan dari kedua belah pihak.

3) Harus ada kejelasan. Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak harus jelas tentang apa yang menjadi isi perjanjian sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalah pahaman diantara para pihak tentang apa yang telah disepakati bersama. (Pasaribu.1994, hal.3- 4)

Hendi Suhendi dalam bukunya yang berjudul Fiqh Muamalah menyatakan setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara‟ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad itu ada dua macam yaitu:

(33)

1) Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.

2) Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini disebut juga idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum seperti adanya syarat- syarat saksi dalam pernikahan.

Syarat-syarat umum yag harus dipenuhi dalam berbagai macam akad yaitu:

1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli).

Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros atau yang lainnya.

2) Yang dijadikan objek akad dapat menerima Hukumnya.

3) Akad itu di izinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.

4) Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟, seperti jual beli mulamasah

5) Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap timbangan amanah.

6) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila orang yang ber ijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya.

7) Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berhijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.

4. Macam-macam Akad

Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan di jelaskan macam-macam akad. (Suhendi h, 2008, hal. 52-55)

(34)

19

a. Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang tidak disertai dengan syarat- syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.

b. Aqad Mu‟alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.

c. Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat Hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan. (Suhendi, 2008, hal. 50-51)

Selain akad munjiz, mu‟alaq, dan mudhaf, macam-macam akad beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauannya. Karena ada perbedaan-perbedaan tinjauan, akad akan ditinjau dari segi-segi berikut:

1) Ada dan tidaknya qismah pada akad, maka akan terbagi dua bagian:

a. Akad musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara‟

dan telah ada Hukum-Hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.

b. Akad ghairu musammah ialah akad yang belum ditetapkan oleh syara‟ dan belum ditetapkan Hukum-Hukumnya.

2) Disyari‟atkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi dua bagian:

a. Akad musyara‟ah ialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara‟ seperti gadai dan jual beli.

b. Akad mamnu‟ah ialah akad-akad yang dilarang syara‟

seperti menjual anak binatang dalam perut induknya.

(35)

Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini akad terbagi menjadi dua:

1) Akad shahihah, yaitu akad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat yang khusus maupun syarat yang umum.

2) Akad fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat-syaratnya.

Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini benda akad terbagi dua:

1) Akad „aniyah, yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.

2) Akad ghair‟aniyah, yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang- barang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.

Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua:

1) Akad yang harus dilaksanakan denga ucapan tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.

2) Akad ridha‟iyah, yaitu akad-akad yang dilakukan tanpa ucapan tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.

Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akan dibagi menjadi dua bagian:

1) Akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.

2) Akad mauqufah, yaitu akad-akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan, seperti akad fudhuli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta).

Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi tiga bagian:

1) Akad mu‟awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal-balik seperti jual beli.

(36)

21

2) Akad tabarru‟at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan, seperti hibah.

3) Akad yang tabarru‟at pada awalnya dan menjadi akad mu‟awadlah pada akhirnya seperi qaradh dan kafalah.

Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akan dibagi menjadi tiga bagian:

1) Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua sesudah benda-benda itu diterima seperti qaradh.

2) Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh yang memegang barang, seperti titipan (ida‟).

3) Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan dhaman, menurut segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn (gadai).

Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima golongan:

1) Bertujuan tamlik, seperti jual beli.

2) Bertujuan untuk menggadakan usaha bersama (perkongsian) seperti syirkah dan mudharabah.

3) Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan) saja, seperti rahn dan kafalah.

4) Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.

5) Bertujuan menggadakan pemeliharaan, seperti ida‟ atau titipan.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah membagi lagi akad yang tidak sah menjadi dua macam, yaitu:

a. Akad batil ialah akad yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat pembentukan akad serta tidak memenuhi ketentuan syara‟.

Misalnya, objek gadai itu tidak jelas, atau terdapat unsur tipuan, seperti menggadaikan hewan yang masih dalam perut induknya,

(37)

atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak Hukum.

(Anwar, 2007, hal. 245)

b. Akad fasid ialah akad yang telah memenuhi rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi syarat keabsahan akad. (Anwar, 2007, hal.248)

Ulama Maliki, Syafi‟i, dan Hambali menyatakan bahwa akad batil dan akad fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan Hukum apapun.

Jika dilihat dari sisi mengikat atau tidaknya suatu akad, para ulama fikih membaginya kepada dua macam, yaitu:

a. Akad yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual beli dan sewa-menyewa.

b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, seperti akad ar-rahn (gadai), al-wakalah (perwakilan), al-ariyah (pinjam-meminjam), dan al-wadhi‟ah (barang titipan).

5. Akad-akad yang Terlarang

Adapun akad-akad yang terlarang dalam Islam yaitu : a. Maisir

Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Maisir sangat dilarang agama, karena agama menyuruh kita untuk bekerja keras dalam memperoleh keuntungan.

Dalam al-Qur‟an surat Ak-maidah: 90

































“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib

(38)

23

dengan panahadalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

b. Gharar

Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Gharar menurut ulama fiqih adalah : 1) Imam Al-qarafi, gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui

dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air atau dalam tambak.

2) Ibnu Qayyim Al-jauziyah, gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada maupun tidak, seperti menjual sapi yang lepas. (Hasan, 2003, hal.147)

















































“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

c. Riba

Secara etimologi riba berarti bertambah, berkembang dan berlebihan. Sedangkan secara istilah adalah :

1) Al-Mali, riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang tertentu yang diketahui perimbangannya menurut ukuran syara‟, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua pihak atau salah satu keduanya.

(39)

2) Abdurrahman Al-jaiziri, riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara‟ atau terlambat salah satunya.

3) Syaikh Muhammad Abduh, riba adalah penambahan- penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji dari waktu kewaktu yang telah ditentukan.

Dari beberapa definisi diatas, secara umum riba adalah suatu penambahan yang diminta oleh debitur kepada kreditur, karena kreditur tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. (Suhendi, 2008, hal. 57)









































































 



















orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

6. Berakhirnya Akad

Akad dapat berakhir apabila:

(40)

25

a. Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.

b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.

c. Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:

1) Jual beli itu fasid, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.

2) Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.

3) Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak 4) Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.

5) Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia. (Ghazaly, 2010, hal. 58-59)

d. Menurut Mardani dalam bukunya Hukum Perikatan Syariah indonesia berakhirnya akad jika ada kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan), Jika dalam suatu perjanjian terbukti adanya penipuan, maka akad tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tetipu. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah swt QS.Al- Anfal (7): 58. (Mardani, 2013, hal. 73)





































Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhiana”.

7. Hikmah akad

Hikmah diadakannya akad dalam muamalah antar sesama manusia antara lain:

a. Terdapatnya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi.

(41)

b. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian, karena telah diatur dalam Hukum syara‟.

c. Akad merupakan ”payung Hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya.

(Ghazaly, 2010, hal. 20) B. Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli secara bahasa, menurut M. Ali Hasan dapat diartikan bahwa jual beli adalah عيبلا artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata, عيبلا dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata: ءارشلا (beli).

Dengan demikian kata:عيبلا berarti kata “jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”. (Hasan, 2003, hal. 113)

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al- tijarah dan al-mubadalah, sebagai Allah Swt berfirman dalam Surat Fathir ayat 29:



































“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan k epada mereka dengan diam-diam dan terang- terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”

Secara istilah, jual beli adalah proses tukar menukar barang yang dilakukan dengan cara tertentu dengan menggunakan lafaz ijab qabul.

(Zuhaili, 2011, hal. 25) Agar pengertian jual beli tersebut dapat dipahami lebih mendalam, maka dibawah ini akan penulis kemukakan beberapa defenisi yang telah dikemukakan ulama.

Pengertian jual beli menurut ulama Hanafiah mendefenisikan dengan:

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa pemilik tanah dapat dipahami bahwa pihak pemilik tanah pada dasarnya ingin harga jual beli tanah lebih tinggi

Penulis melihat bahwa jual beli durian di Nagari Sungayang Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar termasuk kedalam jual beli buah yang masih pada batangnya

Dalam skripsi ini subyek penelitian adalah pembeli dan penjual sedangkan obyeknya adalah jual beli ikan dalam kolam sedangkan subyek penulis pembeli dan penjual

Dalam skripsi ini subyek penelitian adalah pembeli dan penjual sedangkan obyeknya adalah jual beli ikan dalam kolam sedangkan subyek penulis pembeli dan penjual

Jadi menurut analisa penulis dari penelitian ini adalah lafadz yang dipratekkan masyarakat Jorong Kinawai Nagari Balimbing dalam perjanjian antara pemilik

Karena adanya perbedaan presepsi penjual dan pembeli yang dapat mempengaruhi dan merubah maksud dan tujuan sighat aqad jual beli dalam melakukan transaksi jual beli pehiasan

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Aswadi di atas, kalau Aswadi menekankan penelitiannya pada praktek jual beli ikan dengan memancing sedangkan penelitian

Berdasarkan pengamatan penulis, hasil penelitian serta wawancara kepada sumber informan praktik jual beli dengan sistem cashback di Tokopedia diperbolehkan karena cashback berupa hadiah