• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta

Profil anak jalanan pada semua peubah di tiga wilayah penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik antara DKI Jakarta dengan Bogor, Bogor dengan Bandung dan Bandung dengan DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari angka signifikansi yang kesemua memiliki nilai di atas (α) 0.05 yang menunjukkan bahwa hasil perbandingan peubah penelitian antar wilayah penelitian tidak berbeda nyata atau menunjukkan hasil yang sama, tersaji pada Tabel 11 (hasil uji analisis ANOVA terdapat pada Lampiran 1).

Tabel 11. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian Peubah Kota Mean difference Signifikansi (α) Latar belakang keluarga (X1) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung - DKI 1.053 0.751 1.804 0.520 0.707 0.139 Latar belakang lingkungan (X2) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung - DKI 0.413 0.213 0.200 0.773 0.932 0.939 Ciri fisik anak jalanan (X3) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung - DKI 0.093 0.461 0.367 0.989 0.754 0.835 Ciri psikologik anak jalanan (X4) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung - DKI 0.453 0.250 0.703 0.780 0.925 0.539 Ciri sosiologik anak jalanan (X5) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung – DKI 0.147 0.185 0.331 0.967 0.947 0.839 Perilaku anak jalanan (Y1) • DKI – Bogor

• Bogor – Bandung • Bandung - DKI 0.053 0.048 0.101 0.985 0.988 0.947 Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01

(2)

Pada Tabel 11 terlihat perbandingan peubah latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik dan perilaku anak jalanan di antara ketiga lokasi penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta secara umum tak tampak berbeda nyata, kecuali beberapa peubah terkait dengan perbandingan jenis kelamin terlihat ada perbedaan nyata pada peubah ciri fisik dengan nilai nyata di bawah α 0.01, ciri sosiologik dengan nilai nyata di bawah α 0.1 dan latar belakang keluarga dengan nilai nyata di bawah α 0.05, tersaji pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan

Peubah F Signifikansi(α)

Latar belakang keluarga (X1) 4.427 0.036**

Latar belakang lingkungan (X2) 0.001 0.980

Ciri fisik anak jalanan (X3) 7.053 0.008***

Ciri psikologik anak jalanan (X4) 1.380 0.241

Ciri sosiologik anak jalanan (X5) 2.995 0.085*

Perilaku anak jalanan (Y1) 1.619 0.204

Keterangan : *** Sangat nyata pada α 0.01 ** Nyata pada α 0.05

* Nyata pada α 0.1

Hal di atas mengandung makna bahwa strategi pengentasan anak jalanan dengan memperhatikan profil dari anak jalanan, dapat dilakukan dengan melihat peubah-peubah yang cenderung sama di ketiga wilayah penelitian. Di samping memperhatikan peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarga yang cenderung berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin anak jalanan di ketiga wilayah penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta. Diharapkan dengan memperhatikan ketiga peubah yang berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin, strategi untuk mengubah anak jalanan dapat lebih mengenai sasaran dan tujuan yang diinginkan.

Nilai tiap sub peubah di masing-masing wilayah penelitian serta nilai rata-rata masing-masing peubah dari ketiga wilayah penelitian, termasuk di dalamnya perbedaan antara jenis kelamin, tersaji dalam penjelasan berikut :

(3)

Latar Belakang Keluarga (X1)

Secara umum latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian berada pada situasi dan kondisi yang buruk, terutama untuk kondisi fisik keluarga sebesar 85 persen dan pelaksanaan fungsi keluarga sebesar 75 persen, tersaji pada Tabel 13.

Tabel 13. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Baik Sedang Buruk

Jumlah (%)

Kondisi fisik keluarga 2 13 85 100

Perlakuan terhadap anak 39 31 30 100

Pendidikan orang tua 8 40 52 100

Pelaksanaan fungsi keluarga 3 22 75 100

Pola hubungan dengan keluarga 39 23 38 100

Profesi/pekerjaan orang tua 3 49 48 100

Secara lebih rinci kondisi masing-masing sub peubah latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian, tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14. Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian

Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Kondisi fisik keluarga

Tidak kumuh 2 2 2 2

Kumuh 13 14 13 13

Sangat kumuh 85 84 85 85

2 Perlakuan orang tua

Keinginan sendiri 39 39 40 39

Kadang dipaksa 32 31 31 31

Disuruh/dipaksa 29 30 29 30

3 Pendidikan orang tua

Berpendidikan 10 9 8 8

Kurang berpendidikan 38 39 42 40

Tidak berpendidikan 52 53 50 52

4 Pelaksanaan fungsi keluarga

Mampu laksanakan 3 2 3 3

Kurang mampu laksanakan 22 23 22 22

Tidak mampu laksanakan 75 75 75 75

5 Pola hubungan dengan keluarga

Selalu berhubungan 40 39 38 39

Sesekali berhubungan 23 23 23 23

Putus hubungan 37 38 39 38

6 Profesi/pekerjaan orang tua

Tetap 2 2 3 3

Tidak tetap 51 50 47 49

Seadanya 47 48 50 48

(4)

Tabel 13 dan 14 memperlihatkan 85 persen anak jalanan di tiga wilayah penelitian tinggal dan berasal dari daerah yang kumuh/padat/penuh sesak/daerah slum serta berhimpitan. Halaman rumah rata-rata sempit bahkan tidak ada, biasanya halaman rumah merangkap juga sebagai jalan umum. Tempat pembuangan limbah kurang terpelihara, bahkan banyak yang dibuang di tempat-tempat yang kurang terpelihara. Umumnya memanfaatkan fasilitas MCK umum sebagai sarana MCK keluarga. Sarana dan prasarana untuk menunjang lingkungan bersih dan sehat masih kurang. Sanitasi maupun kebersihan lingkungan kurang mendapat perhatian. Di samping tidak tersedianya sarana dan prasarana tempat bermain yang leluasa bagi anak di lingkungan sekitar rumahnya.

Di satu sisi kondisi fisik keluarga yang buruk dan berada pada lingkungan yang kumuh, padat dan penuh sesak sudah berpotensi untuk menimbulkan permasalahan dan ketidaknyamanan. Di sisi lain terdapat permasalahan-permasalahan dalam keluarga yang juga menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri seperti adanya konflik, kekerasan baik fisik maupun psikis dalam keluarga dan lain-lain. Akibatnya, baik anak maupun keluarga anak jalanan menanggapinya dengan perilaku yang sering kali dinilai abnormal seperti semaunya sendiri, bebas dan tidak mau ikut aturan serta liar. Terutama pada anak jalanan pria yang cenderung lebih berani mengekpresikan kekecewaan dan tekanan yang dialami dan dirasakan dalam perilakunya sehari-hari, dibandingkan dengan anak jalanan wanita.

Fakta memperlihatkan keluarga anak jalanan cenderung tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang sebesar 75 persen, baik fungsi ekonomi, perlindungan, pendidikan maupun pengawasan. Pelaksanaan fungsi keluarga anak jalanan yang buruk disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat pendidikan orang tua sebesar 52 persen berada pada kriteria lulus SD, tidak lulus SD atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, sehingga kemampuan orang tua terbatas dalam menjabarkan peranan-peranan yang seyogyanya dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Redfield (1982) yang menyatakan adanya perbedaan antara kebudayaan yang tinggi dan kebudayaan yang rendah. Oleh karena itu, pembinaan kebudayaan pada keluarga yang

(5)

berpendidikan tinggi akan berbeda dengan pembinaan kebudayaan pada keluarga yang berpendidikan rendah.

Keterbatasan pendidikan orang tua anak jalanan berpengaruh pada kemampuannya memperoleh pekerjaan seadanya (sebesar 48 persen) dan tidak tetap (sebesar 49 persen), dengan penghasilan yang kurang dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini terkait dengan pernyataan Salamun (1995) bahwa selain pendidikan, pekerjaan/profesi, dan keadaan ekonomi orang tua, pengalaman pribadi yang diterima orang tua pada masa kanak-kanak yang terkait dengan adat istiadat, berpengaruh pada cara orang tua mendidik anak-anaknya dan menjalankan fungsi dan peranannya sebagai orang tua dalam keluarga.

Akibat buruknya pelaksaan fungsi keluarga, pola hubungan antara orang tua dengan anakpun menjadi relatif kurang baik yaitu sebesar 38 persen terputus dan 23 persen sesekali (seminggu sekali, sebulan sekali atau saat dibutuhkan saja), terutama terdapat pada anak jalanan pria tetapi relatif jarang terdapat pada anak jalanan wanita. Anak jalanan yang tetap menjalin hubungan dengan orang tuanya sebesar 40 persen.

Pola hubungan antara anak jalanan dengan orang tuanya yang terputus atau dilakukan sesekali disebabkan anak cenderung kurang merasakan peranan orang tua dalam melaksanakan fungsi-fungsinya baik fungsi ekonomi, fungsi pendidikan maupun fungsi pengawasan bagi diri dan kehidupannya. Terlebih lagi orang tua banyak menghabiskan waktunya (10-14 jam sehari) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga di sektor-sektor non formal dengan penghasilan yang tidak tetap dan kadang tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga. Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut, orang tua menjadikan anak sebagai aset yang dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan mempekerjakannya dan menyerahkan hasilnya pada keluarga guna memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk anak jalanan wanita yang harus menyerahkan 75 persen penghasilannya.

Fakta memperlihatkan pola perlakuan/pola asuhan yang dilakukan orang tua anak jalanan terhadap anak cenderung otoriter dengan pemaksaan/eksploitasi, tekanan serta tindakan kekerasan berupa hukuman bila anak tidak mengikuti

(6)

kehendak orang tua (29 persen), termasuk untuk mencari uang di jalanan, atau sebaliknya membebaskan anak tanpa adanya aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat (39 persen), termasuk untuk bebas turun ke jalanan.

Pola perlakuan/pola asuhan di atas muncul disebabkan pengalaman yang diperoleh orang tua anak jalanan dalam asuhan keluarganya yang juga cenderung buruk. Perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak cenderung disebabkan adanya pola-pola yang diwariskan secara kultural dalam keluarga (Salamun,1995) termasuk dalam keluarga anak jalanan. Wallace (1996) mengemukakan bahwa pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan tempat ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi masyarakat.

Dalam kehidupan anak jalanan pengertian keluarga sebagai lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak serta sebagai dasar pertama pembentukan pribadi anak dan keluarga sebagai wadah yang secara dini para warganya dikondisikan dan disiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan sebagai orang dewasa (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan. Demikian pula pengertian keluarga sebagai unit kesatuan sosial terkecil yang paling tepat dan efektif untuk menanamkan dan membina nilai-nilai budaya (social capital), yang di dalamnya terjalin hubungan emosianal dengan baik dan intensif, serta memungkinkan berlangsungnya proses pendidikan sedini mungkin (preventif) kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus (Sudrajat, 1999 ; Departemen Sosial, 1999), umumnya juga tidak didapatkan oleh anak jalanan.

Demikian pula upaya keluarga mempersiapkan dan melatih anak untuk memasuki lingkungan yang lebih luas melalui penanaman nilai budaya pada anggota keluarga sebagai modal yang amat berharga sebelum anak dilepas ke dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan.

Penelitian tentang keluarga anak jalanan terkait dengan kondisi fisik keluarga yang buruk, menguatkan sesuatu yang dikemukakan Popenoe (1989), yakni sebagian dari mereka merupakan masyarakat urban/masyarakat minoritas yang miskin dan tinggal di daerah-daerah slums, dengan wilayah yang berada di

(7)

bawah standar, serta perumahan yang padat dan penuh sesak, serta lingkungan yang kumuh dan sanitasi lingkungan yang juga di bawah standar. Lingkungan yang “padat/penuh sesak” dan tidak kondusif, tanpa sarana dan ruang untuk bermain bagi anak, serta lingkungan yang kurang “nyaman” dan secara kondusif dapat mendukung proses tumbuh kembang anak, akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang dan perilaku seorang anak (Popenoe, 1989).

Ada pula keluarga anak jalanan yang merupakan penduduk asli di wilayah penelitian (36 persen), namun menjadi masyarakat kelas dua karena tersisih oleh keadaan. Penghasilan dan pekerjaan orang tua seadanya, tidak jelas serta tidak mencukupi kebutuhan keluarga, di tambah sikap mental yang cenderung pasrah dengan keadaan. Kondisi sosial ekonomi yang tidak jelas ini memicu orang tua menjadikan anak sebagai tumpuan untuk dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya masalah anak jalanan bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di kota kecamatan dan kota kabupaten.

Penelitian ini membuktikan pula kemunculan masalah yang terkait dengan keluarga anak jalanan, salah satunya dipicu oleh kurang mampunya orang tua melaksanakan fungsi dan peranan-peranannya dengan baik dan seimbang (75 persen). Orang tua terlalu memaksakan kehendak dengan cara melakukan kekerasan, tekanan dan hukuman yang mengarah pada pola asuhan yang sifatnya otoriter karena mengandung pemaksaan, seperti anak di paksa untuk mencari uang dan menyerahkan hasilnya pada orang tua, bahkan disiksa dengan berbagai hukuman baik yang bersifat fisik maupun psikis bila tidak dapat menyerahkan uang pada orang tua (38 persen). Di sisi lain orang tua dalam keluarga anak jalanan terlalu membebaskan anggota keluarganya tanpa ada aturan dan ketentuan yang mengikat dan menjadi pedoman bersama dalam berperilaku. Kondisi ini mengarah pada pola asuhan yang sifatnya laisses faire (39 persen).

Hasil penelitian ini sekaligus menguatkan hasil penelitian Tjahjorini (1991) bahwa pola asuhan yang paling efektif bagi seorang anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya adalah pola asuhan yang demokratis, yakni ada upaya yang seimbang dari orang tua terhadap anak untuk memberikan hadiah

(8)

dan hukuman dalam melaksanakan pola asuhannya, sehingga memunculkan perilaku positif yang ade kuat dalam diri anak.

Latar Belakang Lingkungan (X2)

Latar belakang lingkungan anak jalanan pada umumnya berada pada situasi dan kondisi yang buruk, seperti terlihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Keadaan lingkungan yang buruk ini tampaknya terkait dan menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan.

Tabel 15. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Baik Sedang Buruk

Jumlah (%) Pendidikan non formal yg diberikan lingkungan 9 20 71 100

Kondisi fisik lingkungan 22 25 63 100

Penerapan sanksi 18 20 61 100

Penanaman nilai dan norma masyarakat 21 32 45 100

Situasi lingkungan 23 30 47 100

Tabel 16. Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di masing-masing Wilayah Penelitian

Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Pendidikan non formal yg

diberikan ling

Ada 10 8 8 9

Kadang ada 20 21 20 20

Tidak ada 70 71 72 71

2 Kondisi fisik lingkungan Polusi suara Rendah 10 15 9 11 Sedang 20 20 20 20 Tinggi 70 65 71 69 Polusi udara Rendah 9 10 10 10 Sedang 23 30 20 24 Tinggi 68 60 70 66 Polusi air Rendah 10 14 5 10 Sedang 26 31 21 26 Tinggi 64 54 74 64 Tingkat kecelakaan Rendah 25 29 20 25 Sedang 32 31 30 31 Tinggi 43 40 50 44 Tingkat kemacetan Rendah 7 10 5 7 Sedang 23 28 15 22 Tinggi 70 62 80 71 3 Penerapan sanksi Tindakan memberi sanksi

(9)

Tabel 16. (lanjutan)

Ada 20 20 15 22

Kadang ada 20 21 20 20

Tidak ada 60 59 65 58

Upaya hindari pelanggaran

Ada 18 18 15 17

Kadang ada 22 23 23 23

Tidak ada 60 59 62 60

4 Penanaman nilai & norma masyarakat Aturan yang dipatuhi/disepakati

Ada 27 28 26 27

Kadang ada 35 37 34 35

Tidak ada 38 35 40 38

Ketentuan yang mengikat

Ada 32 33 31 32

Kadang ada 32 33 32 32

Tidak ada 36 34 37 36

Perilaku yg dipandang pantas/ tidak pantas Ada 3 4 3 3 Kadang ada 35 35 34 35 Tidak ada 62 61 63 62 5 Situasi lingkungan Konflik fisik Tidak ada 32 35 30 32 Kadang ada 25 25 25 25 Ada 43 40 45 43 Pertentangan Tidak ada 33 36 31 33 Kadang ada 27 24 29 27 Ada 40 40 40 40 Perbedaan pendapat Tidak ada 20 19 18 19 Kadang ada 39 39 39 39 Ada 41 42 43 42 Eksploitasi tenaga Tidak ada 22 28 18 23 Kadang ada 30 31 30 30 Ada 48 41 52 47 Eksploitasi seks Tidak ada 13 20 13 15 Kadang ada 38 40 35 38 Ada 49 40 52 47 Penindasan fisik Tidak ada 19 22 20 20 Kadang ada 36 38 34 36 Ada 45 40 46 44 Tekanan mental Tidak ada 21 25 21 23 Kadang ada 30 30 29 30 Ada 49 45 50 47

(10)

Fakta memperlihatkan kondisi fisik lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung buruk (63 persen), di mana anak jalanan berada di tempat-tempat yang memiliki tingkat polusi yang tinggi baik polusi udara, air maupun suara serta memiliki tingkat kecelakaan dan kemacetan yang cenderung tinggi pula. Kondisi ini memperlihatkan rentannya kondisi anak jalanan, bila tidak ada upaya perlindungan hukum yang kuat.

Selain perlindungan hukum yang kuat, kehidupan jalanan juga menuntut adanya penerapan sanksi bagi para anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, termasuk bagi anak jalanan. Fakta pada Tabel 15 dan Tabel 16 memperlihatkan tindakan penerapan sanksi yang jelas, tegas, nyata dan konsisten oleh lingkungan terhadap perilaku-perilaku yang melanggar dari anak jalanan cenderung lemah (61 persen), kalaupun ada biasanya berupa pengucilan. Demikian pula upaya menghindari pelanggaran, biasanya berupa penyesuaian diri dari anak jalanan sebagai salah satu pelaku. Di jalanan belum ada tindakan/sanksi yang tegas, nyata dan konsisten terutama dari pihak pemerintah terhadap individu-individu yang dipandang mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan yang dapat memunculkan efek jera bagi pelaku.

Lingkungan tidak menyediakan wadah yang kondusif bagi anak jalanan untuk berkembang dan mengembangkan perilaku-perilaku yang normal, salah satunya melalui pendidikan non formal. Fakta memperlihatkan pendidikan non formal yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung tidak ada (71 persen). Meski pendidikan non formal ada tidak diikuti oleh seluruh anak jalanan, tetapi diikuti oleh sebagian kecil anak jalanan. Pendidikan non formal yang diselenggarakan Pemerintah melalui Departemen Sosial dan Dinas Sosial maupun Lembaga Swadaya Masyarakat serta swasta pada anak jalanan, biasanya dilakukan dalam bentuk pembinaan dan penyuluhan, yang dirasakan kurang manfaatnya karena sulit untuk dapat diaplikasikan langsung guna mengubah hidup dan meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Faktanya situasi dan kondisi latar belakang lingkungan yang dialami oleh anak jalanan pria dan anak jalanan wanita di tiga wilayah penelitian tidak berbeda nyata.

(11)

Hasil penelitian tentang latar belakang lingkungan anak jalanan menguatkan hal-hal yang dikemukakan Doamekpor (Dokumen Proyek UNDP-Departemen Sosial, 1999) bahwa anak jalanan hidup dan berada dalam lingkungan/situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting. Setting pertama adalah lingkungan yang terdekat dengan diri anak jalanan (bisa keluarga, atau kaum marginal jalanan yaitu kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan). Setting kedua adalah lingkungan selanjutnya setelah lingkungan terdekat yang ada di sekitar anak jalanan. Di jalanan, melalui setting inilah anak jalanan melakukan interaksi dengan lingkungan dan memperoleh banyak pengalaman baik positif maupun negatif bagi hidup dan kehidupan selanjutnya.

Fakta memperlihatkan dalam setting seperti dikemukakan Doamekpor di atas, anak jalanan hidup dengan situasi lingkungan yang cenderung penuh dengan konflik fisik, pertentangan, perbedaan pendapat, eksploitasi tenaga, eksploitasi seks, penindasan fisik dan tekanan mental (45 persen). Pada situasi lingkungan tersebut anak jalanan bisa menjadi korban atau sebagai pelaku, baik secara sendiri, berkelompok atau diperalat preman. Hal tersebut menjadi salah satu pencetus munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan yang merupakan mekanisme pertahanan diri (ego defence mechanism) bagi anak jalanan dan kelompoknya, agar tetap survive hidup di jalanan guna menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang keras.

Munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam kehidupan anak jalanan dipicu pula oleh longgarnya upaya penerapan sanksi dan kurangnya upaya penanaman norma dan nilai (45 persen) tentang hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan/dipatuhi/disepakati bersama serta kurang adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat dalam lingkungan masyarakat. Terlebih lagi lingkungan masyarakat kurang berupaya memberikan pendidikan non formal untuk dapat mengubah pola pikir, wawasan serta mentalitas anak jalanan. Anak jalanan dibiarkan hidup dan menjadi bagian dari anggota masyarakat kelas dua yang tersisih hak-haknya. Kondisi ini dialami oleh anak jalanan dari tiga wilayah penelitian, baik anak jalanan pria maupun anak jalanan wanita.

(12)

Ciri Fisik Anak Jalanan (X3 )

Penampilan fisik anak jalanan cenderung buruk, terutama mata (76 persen), rambut (68 persen) dan kulit (52 persen), terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Hal ini disebabkan sebagian besar waktu anak jalanan (± 14 jam/hari) dihabiskan di jalanan atau fasilitas umum lainnya di luar rumah.

Tabel 17. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Fisik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Baik Sedang Buruk

Jumlah (%) Penampilan fisik : Kulit Rambut Badan Mata 0 0 0 0 48 32 54 24 52 68 46 76 100 100 100 100 Cara Berpakaian 0 23 77 100 Kondisi kesehatan 85 9 6 100

Tabel 18. Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Kulit Berseri 0 0 0 0 Agak kusam 48 50 47 48 Kusam 52 50 53 52 2 Rambut Terawat 0 0 0 0 Agak terawat 32 33 34 32 Tidak terawat 68 67 66 68 3 Badan Gemuk 0 0 0 0 Sedang 53 55 54 54 Kurus 47 45 46 46 4 Mata Bening 0 0 0 0 Agak merah 24 30 22 25 Merah 76 70 78 75 5 Pakaian Rapih 0 0 0 0 Kurang rapih 23 24 22 23 Tidak rapih 77 76 78 77 6 Kondisi kesehatan Sehat 85 85 86 85 Kadang sakit 9 8 9 9 Sering sakit 6 7 5 6 Pengobatan

Diobati dengan pentujuk medis 15 16 15 15

Diobati sekenanya 42 42 43 43 Tidak diobati 43 42 41 42 7 Umur 6-10 tahun 35 34 35 35 11-15 tahun 32 33 32 32 16-20 tahun 33 33 33 33

(13)

Penampilan anak jalanan yang buruk salah satunya disebabkan oleh kebiasaan anak jalanan untuk duduk dan tidur di sembarang tempat, termasuk di tempat yang tidak bersih, serta jarang mandi. Akibatnya penampilan fisik anak jalanan terkesan kotor. Fakta di atas memperlihatkan bahwa anak jalanan cenderung memiliki kulit yang kusam, rambut yang tidak terawat dan mata yang cenderung merah. Fakta penampilan fisik anak jalanan yang cenderung buruk ini terlihat nyata terutama pada anak jalanan pria dibanding dengan anak jalanan wanita. Akan tetapi tubuh anak jalanan cenderung dalam kondisi sedang/ proporsional (54 persen) dan kurus (46 persen).

Tabel 17 dan 18 memperlihatkan rata-rata cara berpakaian anak jalanan cenderung buruk (77 persen), karena keterbatasan kemampuan anak untuk dapat memiliki dan membeli pakaian dan memenuhi kebutuhan sandang yang layak dan pantas. Ada kebiasaan anak jalanan untuk tidak ganti pakaian selama berhari-hari dan berpakaian seadanya.

Kondisi kesehatan rata-rata anak jalanan secara fisik terkesan cenderung baik, dengan daya tahan tubuh yang relatif kuat dan sehat serta jarang terkena sakit, meski sebagian besar waktunya dipergunakan di tempat terbuka di bawah sinar matahari. Kalaupun ada yang sakit berkisar pada kondisi penyakit yang sedang atau ringan, dan cenderung tidak diobati atau diobati seadanya, tanpa petunjuk medis, karena keterbatasan biaya dan keterbatasan kemampuan untuk mengakses sistem sumber. Fakta memperlihatkan kondisi pakaian yang buruk dan kesehatan yang relatif baik ini, pada anak anak jalanan pria terlihat sangat nyata dibanding pada anak jalanan wanita.

Umur anak jalanan cenderung menyebar secara merata pada masing-masing kelompok usia antara 6-10 tahun sebesar 35 persen, 11-15 tahun sebesar 32 persen, dan 16-20 tahun sebesar 33 persen. Meski pada awal merebaknya permasalahan anak jalanan pada tahun 1997 cenderung berkisar pada usia 6-10 tahun. Hal ini disebabkan akhir-akhir ini, jalanan menjadi alternatif solusi dari sulitnya lapangan kerja serta semakin tertariknya anak usia dewasa mencari nafkah dan bekerja di sektor non formal yang tidak menghendaki keterampilan khusus dan dapat dengan mudah menghasilkan uang, baik untuk memenuhi

(14)

kebutuhannya atau untuk sekedar santai. Di samping karena adanya keterbatasan dana dan kemampuan anak usia dewasa serta keluarganya, untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta untuk bekerja di sektor formal.

Beberapa ciri fisik anak jalanan seperti yang telah dikemukakan Departemen Sosial bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999) masih sama hingga saat ini, baik penampilan fisik, cara berpakaian maupun penyakit yang diderita, kondisi ini terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria. Akan tetapi ciri fisik terkait dengan umur anak jalanan terjadi pergeseran dari yang semula cenderung berusia di bawah 10 tahun menjadi menyebar merata pada masing-masing kelompok umur.

Ciri Psikologik Anak Jalanan (X4)

Ciri psikologik anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di tiga wilayah penelitian. Hal ini tersaji salah satunya pada Tabel 19 yang memperlihatkan rata-rata mobilitas mental anak jalanan cenderung tinggi (62 persen), di mana anak jalanan sering mengalami perubahan kejiwaan.

Anak jalanan cenderung sering mengalami mobilitas mental berupa perubahan perasaan, dari rasa benci, senang, marah, sedih, susah, bahagia, sayang, tidak puas, tidak berguna, dan lain-lain. Tingginya mobilitas mental ini mengakibatkan labilnya temperamen anak jalanan. Di sisi lain kondisi ini mengakibatkan munculnya perilaku yang berubah-ubah dari anak jalanan, menyesuaikan dengan kondisi kejiwaan yang dialaminya. Hal ini memperkuat hasil penelitian Departemen Sosial (1999) yang menunjukkan tingginya sifat acuh tak acuh anak jalanan, yang salah satunya dipicu oleh situasi kejiwaan anak yang bersangkutan.

Tabel 19. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Tinggi Sedang Rendah

Jumlah (%)

Mobilitas mental 62 27 11 100

Tingkat kreativitas 17 25 58 100

(15)

Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah ciri psikologik anak jalanan di tiga wilayah penelitian terdapat pada Tabel 20.

Tabel 20. Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Daerah No Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Mobilitas mental Sering 61 60 65 62 Kadang 28 28 25 27 Tidak pernah 11 12 10 11 2 Tingkat kreativitas Tinggi 14 20 16 17 Sedang 25 25 25 25 Rendah 61 55 59 58

3 Motivasi berada di jalan

Pertemanan 18 18 18 18

Materi 64 64 65 64

Kesenagan 18 18 17 18

4 Riwayat jadi anak jalanan

Coba-coba 25 24 23 24 Terdesak 50 51 50 50 Ikut-ikutan 25 25 27 26 5 Tingkat kebutuhan Terpenuhi 57 57 59 57 Kadang terpenuhi 31 30 31 31 Tidak terpenuhi 12 13 10 12

6 Pengalaman anak jalanan

< 4 tahun 38 34 35 36

= 5-7 tahun 32 33 32 32

> 8 tahun 30 33 33 32

7 Umur pertama turun ke jalan

< 10 tahun 51 50 51 50

= 11-15 tahun 24 25 25 25

> 16 tahun 25 25 24 25

Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

Tingkat pemenuhan kebutuhan anak jalanan cenderung tinggi (58 persen), di mana dengan keberadaannya di jalanan kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik. Dibandingkan bila mereka berada dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan dasar, seperti kebutuhan pangan 3 kali sehari, sandang dengan memiliki 4-6 stel baju, dan papan untuk dapat berteduh dan berlindung di tempat-tempat yang luas dan tidak penuh sesak seperti di dalam rumahnya. Meski keberadaan anak di jalanan ini di satu sisi menyelesaikan masalah tapi di sisi lain mendatangkan masalah.

Fakta memperlihatkan tingkat kebutuhan anak jalanan cenderung terpenuhi dengan baik karena berada di jalan, dibandingkan bila mereka tinggal dan berada dalam keluarga. Terutama untuk kebutuhan dasar anak jalanan seperti

(16)

dikemukakan Maslow (1984), yaitu kebutuhan fisiologis (Faali), berkaitan dengan kebutuhan yang sifatnya fisik. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Thee Kian Wie (1981) tentang kebutuhan dasar, yakni anak jalanan baru dapat memenuhi kebutuhan dasar mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal consumption items), seperti pangan, sandang dan pemukiman (dengan tinggal di mana saja yang ia merasa nyaman). Sedangkan kebutuhan pada tingkatan selanjutnya dari Maslow (1984) dan Thee Kian Wie (1981), relatif masih harus diperjuangkan karena belum diperoleh anak dengan keberadaanya di jalanan.

Meski kebutuhan dasar di atas saat ini dapat dipenuhi dengan baik, namun upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, membutuhkan perjuangan yang relatif lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan jumlah jam berada di jalanan yang lebih lama serta lokasi mencari nafkah yang dikuasai oleh lebih banyak anak jalanan. Hal ini disebabkan semakin banyaknya jumlah anak jalanan, di samping semakin meluasnya permasalahan anak jalanan sampai ke kota kabupaten, sehingga persaingan di antara sesama anak jalanan semakin kuat.

Hasil penelitian ini, sekaligus kurang dapat membuktikan hasil penelitian Tjahjorini (2001) tentang pemenuhan kebutuhan anak jalanan, terutama untuk kebutuhan akan rasa aman dan rasa memiliki. Hal tersebut disebabkan anak jalanan harus lebih ketat menjaga wilayah tempatnya mencari nafkah bersama dengan kelompoknya dari kemungkinan masuknya anak jalanan dari kelompok lain. Kondisi ini mengakibatkan anak jalanan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (ego-defense mechanism) (Gibson dan Donnelly, 1994). Mekanisme pertahanan diri, dilakukan anak jalanan dengan mengembangkan sub-sub kultur yang dikembangkan dalam kelompoknya seperti dikemukakan Departemen Sosial (1999) yang ditujukan agar tetap dapat survive hidup di jalanan.

Tingkat kreativitas anak jalanan cenderung rendah (58 persen), karena umumnya mereka mengikuti kebiasaan dalam bekerja dan bermain dengan pola yang sudah ada dan ditemukan/dilakukan oleh anak jalanan yang telah lebih dahulu turun ke jalanan. Tingkat kreativitas yang rendah ini mengakibatkan kemampuan anak jalanan untuk melakukan dan menemukan inovasi baru relatif

(17)

rendah. Akibatnya mereka terbiasa dengan pola kegiatan dan pola perilaku yang merupakan rutinitas, kalaupun ada yang memiliki kreativitas tinggi (17 persen) cenderung sedikit jumlahnya, dibanding dengan yang menjadi pengikut.

Fakta memperlihatkan terjadi pergeseran tingkat kreativitas anak jalanan yang semula tinggi (Departemen Sosial dan Yayasan kesejahteraan Anak Indonesia, 1999 ; Tjahjorini, 2001) menjadi cenderung rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar anak jalanan saat ini cenderung mengikuti pola-pola, baik pola bermain, bekerja, berperilaku dan lain-lain mengikuti pola yang ada serta telah dilakukan oleh anak jalanan lain yang lebih dahulu turun ke jalanan. Sebagian anak jalanan cenderung kurang memiliki kreativitas karena kurang mampu menciptakan ide-ide baru, menemukan cara baru untuk memahami problem yang dihadapi dan kuranag memahami adanya peluang (Wirawan, 2003), meski tetap ada anak jalanan yang memiliki kreativitas tinggi.

Rata-rata motivasi anak berada di jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup atau memenuhi kebutuhan materi (64 persen). Dibanding karena tujuan mencari dan diajak teman (18 persen) atau mencari kesenangan (18 persen), yang bukan bertujuan untuk mempertahankan hidup dan dilakukan sewaktu-waktu sehingga lebih mudah untuk dapat diatasi.

Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mampu dan serba kekurangan. Akibatnya keberadaan anak di jalanan meski ada tujuan lain, selalu disertai oleh tujuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Hal ini memperlihatkan manakala orang tua dapat menjalankan fungsi ekonomi dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga, fenomena anak jalanan ini dapat ditekan seminim mungkin. Saat kondisi kekurangan ekonomi ini berada di perdesaan, orang tua lebih bisa menerima kehidupan apa adanya dan cenderung melindungi/mengawasi anak-anaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang mereka nilai kurang pantas, seperti meminta-minta dan turun ke jalanan.

Motivasi yang merupakan usaha yang mendorong anak jalanan untuk berbuat atau melakukan tindakan turun ke jalanan (Padmowihardjo, 1994) dan

(18)

melakukan aktivitas di jalanan, cenderung disebabkan oleh kebutuhan materi. Faktor ekonomi inilah yang cenderung menjadi motif yang kuat, sebagai penyebab turunnya anak ke jalanan, disamping adanya motif yang lemah seperti karena diajak atau mencari teman, mencari kesenangan, menghindari tekanan dan tidak adanya pengawasan dalam keluarga. Kenyataannya kekuatan motif tidak sama dalam setiap situasi (Jones, 1955), suatu saat motif ekonomi anak jalanan yang tinggi, motif lainnya rendah atau sebaliknya motif lain tinggi seperti motif mencari kesenangan dan motif ekonomi rendah.

Rata-rata riwayat anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan alasan yang menyebar merata. Penyebaran berkisar antara coba-coba (25 persen) karena adanya daya tarik jalanan, terdesak keadaan (50 persen) karena alasan ekonomi atau karena adanya tindak kekerasan dan tidak nyamannya suasana dan lingkungan rumah yang sesak dengan jumlah penghuni yang banyak. Di samping alasan ikut-ikutan (25 persen) karena diajak teman, kakak, adik atau orang tua/orang dewasa.

Riwayat anak turun ke jalanan pada dasarnya memiliki penyebab yang identik dengan motif anak turun ke jalanan, yaitu karena terdesak oleh keadaan ekonomi/faktor kemiskinan. Hal ini disebabkan keluarga dengan penghasilan yang seadanya dan diperoleh dari pekerjaan/profesi yang cenderung tidak jelas, tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Hasil penelitian ini, sekaligus menguatkan hasil penelitian Sudrajat (1996) ; Departemen Sosial (1999); Tjahjorini (2001) ; dan Sulistiati (2001). Masalah kekurangan ekonomi inilah yang kemudian berpengaruh terhadap pola pikir anak jalanan dengan keberadaannya di jalanan, yaitu agar dapat uang banyak dan dapat memenuhi keinginan serta kebutuhan-kebutuhan yang selama ini tidak dapat dipenuhinya. Riwayat anak jalanan umumnya berkaitan pula dengan pengalaman yang diperoleh oleh anak di jalanan.

Rata-rata pengalaman anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian berkisar antara 2 sampai 10 tahun. Umumnya pertama kali turun ke jalanan di usia yang relatif muda (60 persen) pada usia 5 sampai 6 tahun. Walau ada pula anak yang turun ke jalan untuk pertama kalinya pada usia yang relatif dewasa.

(19)

Rata-rata anak berada di jalanan bukan dalam waktu yang singkat. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap kemungkinan terinternalisasinya nilai dan norma jalanan dalam diri dan kehidupan anak jalanan. Terlebih bagi anak yang sudah turun ke jalan pada usia yang relatif muda. Pengalaman anak berada di jalanan yang sudah cukup lama, umumnya berpengaruh pada pola pikir (mind set) anak jalanan dengan pola pikir untuk dapat sukses dan memiliki uang banyak. Meski aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan anak jalanan di sektor non formal, tidak dapat menjanjikan hal tersebut dapat terwujud tanpa usaha dan kerja keras.

Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X5)

Ciri sosiologik anak jalanan untuk beberapa sub peubah cenderung tinggi, yaitu yang terkait dengan aktivitas sosial ekonomi (65 persen), interaksi (67 persen), Jaringan (79 persen) dan mobilitas fisik (66 persen). Beberapa sub peubah lain cenderung rendah seperti pendidikan formal anak jalanan (73 persen) dan pendidikan non formal anak jalanan (78 persen), tersaji pada Tabel 21 dan secara lebih rinci pada Tabel 22.

Tabel 21. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Tinggi Sedang Rendah

Jumlah (%)

Aktivitas Sosial Ekonomi 65 29 6 100

Interaksi 67 16 17 100

Jaringan 79 19 2 100

Mobilitas fisik 66 33 1 100

Pendidikan formal anjal 9 18 73 100

Pendidikan non formal anjal 2 20 78 100

Pendidikan formal dan non formal anak jalanan cenderung rendah, bahkan sebagian ada yang drop out pada tingkat Sekolah Dasar atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali (73 persen). Hal ini disebabkan akses anak jalanan sangat minim terhadap kedua hal tersebut, akibat terbatasnya sumber dana dan sumber daya yang mereka miliki serta kurangnya kesempatan dan adanya penyebab lain, seperti ketidakmampuan dan ketidaksiapan keluarga untuk membiarkan anaknya mengikuti program pendidikan. Kondisi ini terjadi baik pada anak jalanan pria maupun wanita, namun pada anak jalanan wanita

(20)

lebih nyata, yang menganggap anak wanita tidak memerlukan pendidikan, cukup dapat mengurus rumah tangga dan keluarga.

Tabel 22. Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian

No Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Aktivitas sosial ekonomi

Ada aktivitas sosial ekonomi 65 66 64 65 Kadang ada aktivitas sosial

ekonomi 30 29 29 29

Tidak ada aktivitas sosial

ekonomi 5 5 7 6

2 Interaksi

Berinteraksi dengan teman/

kelompoknya 68 64 69 67

Berinteraksi dengan petugas/

orang di luar kelompok 16 17 15 16

Berinteraksi dengan keluarga 16 19 16 17 3 Jaringan

Jaringan kerjasama dengan sesama

80 78 79 79

Jaringan dengan orang dewasa jalanan/orang tua

18 20 18 19

Jaringan kerjasama dengan dinas terkait

2 2 3 2

4 Mobilitas fisik

Mobilitas fisik dalam wilayah 66 65 66 66 Mobilitas fisik antar wilayah 33 34 33 33 Mobilitas fisik antar provinsi 1 1 1 1 5 Pendidikan formal anak jalanan

DO SMA/ Tamat SMA 8 9 10 9

DO SMP/ Tamat SMP 18 18 17 18

Tidak sekolah/DO SD/Tamat SD

74 73 73 73

6 Pendidikan non formal anak jalanan

Ada 2 2 2 2

Kadang ada 20 20 21 20

Tidak ada 78 78 77 78

7 Bahasa

Gunakan bahasa yang umum 8 8 9 8

Gabungkan antara yang dimengerti kelompok dan yang dipakai secara umum

90 90 90 90

Gunakan bahasa yang hanya dimengerti kelompok

2 2 1 2

8 Asal daerah

Asal dari dalam wilayah 66 65 66 66

Asal dari sekitar wilayah 33 34 33 33

Asal dari luar provinsi 1 1 1 1

9 Kelompok anak jalanan

Ada aktivitas kelompok 50 50 50 50

Kadang ada aktivitas kelompok 30 29 30 20 Tidak ada aktivitas kelompok 20 21 20 20 Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

(21)

Keberadaan anak di jalanan umumnya dilakukan dengan aktivitas sosial ekonomi yang tertentu dan tidak semata-mata untuk bersantai (65 persen). Namun demikian rendahnya pendidikan yang dimiliki anak jalanan mengakibatkan saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung pada sektor-sektor non formal yang tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu yang sifatnya khusus. Aktivitas sosial ekonomi yang biasa dilakukan di antaranya menjadi pengamen, pemulung, jual koran, semir sepatu, nyapu kereta, dan lain-lain. Di sisi lain saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung dieksploitir karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menonjol terutama pada anak jalanan wanita. Terlebih anak jalanan berinteraksi dan membentuk jaringan kerjasama dengan intensitas yang tinggi terutama dengan rekan sesama anak jalanan yang berpengetahuan dan berkemampuan cenderung sama dan terbatas, sehingga tidak ada penambahan pengetahuan dan kemampuan baru.

Mobilitas fisik anak jalanan cenderung tinggi (66 persen) terutama pada anak jalanan pria, terutama mobilitas fisik dalam satu wilayah serta antar wilayah di sekitar tempat anak jalanan berdomisili, walau ada sebagian anak yang melakukan mobilitas fisik antar provinsi, tetapi persentasenya relatif kecil. Mobilitas fisik ini dilakukan anak jalanan untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi atau sekedar bersantai.

Mobilitas fisik anak jalanan ditunjang oleh asal daerah yang memperlihatkan anak jalanan lebih banyak berasal dari daerah di mana anak jalanan berdomisili (66 persen) dan mereka cenderung melakukan mobilitas fisik sesuai dengan domisilinya, berasal dari sekitar wilayah penelitian (33 persen) dengan jumlah anak jalanan berasal dari luar provinsi yang relatif kecil (1 persen). Asal daerah anak jalanan umumnya berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam melakukan komunikasi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan cenderung merupakan penggabungan dari bahasa daerah, bahasa yang umum digunakan (bahasa Indonesia), serta bahasa yang digunakan oleh kelompoknya (90 persen). Fakta memperlihatkan jumlah anak jalanan wanita lebih tinggi dibandingkan anak jalanan pria dalam menggunakan bahasa yang merupakan

(22)

penggabungan. Penggunaan bahasa saat anak jalanan berkomunikasi dan berinteraksi, dilakukan salah satunya untuk melakukan aktivitas dalam kelompok. Aktivitas kelompok dilakukan dengan melibatkan sebagian besar anak jalanan (50 persen responden menyatakan ada aktivitas kelompok, 30 persen responden menyatakan kadang ada aktivitas kelompok) baik untuk bermain, bernyanyi atau kegiatan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi dan interaksi inilah yang kemudian menguatkan ikatan antar anak jalanan dalam komunitas kelompoknya.

Hasil penelitian ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan aktivitas sosial ekonomi, asal daerah, bahasa, interaksi, jaringan, mobilitas fisik, pendidikan formal, pendidikan non formal dan sub kultur anak jalanan secara umum menguatkan hasil-hasil penelitian terdahulu (Sudrajat, 1996 ; Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini 2001), yang meski sudah berjalan beberapa tahun situasi dan kondisinya tidak berbeda nyata. Demikian pula ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan kelompok anak jalanan.

Hasil penelitian tentang kelompok anak jalanan menguatkan pernyataan Homans (Johnson, 1988) terkait dengan Teori Pertukaran dalam Kelompok Kecil. Terkait dengan teori ini memperlihatkan sebagian besar anak jalanan melakukan aktivitas/kegiatan dalam kelompok, yang didalamnya juga terjadi interaksi serta adanya perasaan-perasaan tertentu sebagai anggota kelompok. Aktivitas/kegiatan ditujukan untuk memperkuat ikatan dalam kelompok, dilakukan dengan cara bermain, bernyanyi, melakukan aktivitas tertentu atau sekedar santai. Dalam kelompok terdapat komunikasi, rasa memiliki, kesetiaan terhadap nilai yang dibentuk, kebersamaan antar individu anak jalanan, serta ada rasa senang dan terhindar dari tekanan yang timbul dari luar kelompok.

Dalam kelompok ini berkembang pula sub kultur dengan nilai-nilai kebersamaan, saling bantu, dan saling berbagi, serta ada kebiasaan yang melembaga di lingkungan anak jalanan, di antaranya : jarang mandi, jarang ganti baju dan tidur di mana saja, sehingga dengan kebiasaan tersebut keberadaan anak jalanan mudah dikenali di manapun. Tata kelakuan yang biasa dilakukan, diantaranya : saling berbagi, waspada dan setia dengan teman kelompoknya

(23)

(Departemen Sosial, 1999). Keterikatan anak jalanan dengan kelompoknya terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria dibandingkan pada anak jalanan wanita.

Terkait dengan penjelasan tentang ciri-ciri anak jalanan Linton (1984) menyatakan bahwa tingkah laku seorang individu tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan dan oleh kontak pribadinya dengan anggota masyarakat lainnya, melainkan juga dibentuk oleh pengalaman individu tersebut. Demikian pula anak jalanan, tingkah laku dan ciri-ciri (ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik) yang dimiliki dan muncul saat ini adalah juga merupakan produk dari pengalamannya bertahun-tahun berada di jalanan. Semakin lama pengalaman anak berada di jalanan, semakin terinternalisasi ciri-ciri dan nilai-nilai jalanan pada diri dan kehidupan anak jalanan.

Perilaku Anak Jalanan (Y1)

Anak jalanan memiliki beberapa perilaku yang nampak cenderung tinggi, baik perilaku normal maupun perilaku abnormal. Perilaku normal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya keberanian menanggung resiko (67 persen), kemandirian (64 persen), semangat hidup (69 persen), tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub

Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Kondisi (%)

Sub Peubah

Tinggi Sedang Rendah

Jumlah (%)

Aspek kepekaan 32 32 36 100

Keberanian menanggung resiko 67 25 8 100

Kemandirian 64 29 7 100

Semangat hidup 69 24 7 100

Perilaku normal anak jalanan seperti keberanian menanggung resiko, diperlihatkan anak dalam bentuk perilaku yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dilakukannya, dengan tidak melempar kesalahan pada orang lain. Kemandirian, diperlihatkan dalam bentuk kemampuan mereka untuk tidak tergantung kepada orang lain dan berusaha sendiri terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Semangat hidup, ditunjukkan dalam bentuk perilaku tidak mudah menyerah pada situasi dan kondisi yang dihadapi di jalanan, dalam upaya memenuhi

(24)

kebutuhan-kebutuhannya. Ketiga kondisi sub peubah tersebut menunjukkan hasil persentase yang cenderung tinggi, sedang perilaku normal aspek kepekaan cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi.

Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku normal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 24.

Tabel 24. Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian

Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Aspek kepekaan

Peduli 32 31 31 32

Kadang peduli 32 31 33 32

Tidak peduli 36 37 36 36

2 Keberanian menanggung resiko

Bertanggung jawab 69 68 65 67

Kadang bertanggung jawab 25 25 25 25

Tidak bertanggung jawab atas

apa yang dilakukan 6 7 10 8

3 Kemandirian

Tidak tergantung 64 63 64 64

Kadang tergantung 29 30 28 29

Tergantung 7 7 8 7

4 Semangat hidup

Tidak mudah menyerah 70 69 67 69

Kadang mudah menyerah 24 24 24 24

Mudah menyerah pada keadaan 6 7 9 7

Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

Fakta memperlihatkan perilaku normal anak jalanan merupakan produk dari kehidupan jalanan, di mana mereka harus tetap survive dalam situasi dan kondisi jalanan yang cenderung keras. Perilaku normal anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian.

Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan diantaranya keberanian menanggung resiko yang diartikan juga sebagai kesediaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ini diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatu, bila hal tersebut dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan (Poerwadarminta dan Walters, 1993), dalam hal ini anak jalanan cenderung konsekuen dengan resikonya berada di jalanan.

Selain keberanian menanggung resiko, perilaku normal lain yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan adalah tingkat kemandirian yang tinggi. Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri

(25)

(Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata kemandirian dimaksudkan bahwa seseorang dapat menguasai dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri tidak tergantung atau mengandalkan bantuan orang lain. Pengertian mandiri ini bersifat relatif, tidak dapat diartikan secara kaku, tergantung pada siapa yang melakukan atau menjalankan. Pada sebagian orang perilaku mandiri dapat dimiliki atau terbentuk dalam dirinya apabila sudah dibiasakan atau dilatih sejak kecil atau sejak usia kanak-kanak. Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, sejak kecil mereka cenderung dituntut oleh situasi dan kondisinya untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa tergantung pada bantuan orang lain. Akibatnya anak menjadi terbiasa tidak tergantung pada bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannnya, terutama pada anak jalanan yang terbiasa hidup di jalanan (Children of the Street).

Hal di atas terkait dengan pendapat Koentjaraningrat (1994) yang mengatakan bahwa perbedaan antara keluarga priyayi yang tinggal dekat keraton, dengan keluarga petani yang jauh dari keraton, dalam tahun pertama anak keluarga priyayi sangat menggantungkan diri pada pembantu untuk segala keperluannya. Oleh karena itu anak priyayi biasanya kurang mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, bila dibandingkan dengan anak petani. Anak Jalanan dalam hal ini diumpamakan sebagai anak petani, yang sejak usia kanak-kanak dibiasakan untuk mandiri, sehingga setelah remaja atau dewasa mereka juga cenderung memiliki kemandirian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.

Perilaku normal yang dilakukan oleh anak jalanan merupakan perilaku yang adekuat (serasi, tepat) yang bisa diterima oleh masyarakat serta sesuai dengan norma-norma sosial tempat anak jalanan berada, seperti dikemukakan Kartono (1992). Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan di antaranya semangat hidup yang tinggi, di mana sejak usia belia sudah hidup dan berada di jalanan dan di fasilitas umum lain yang cenderung keras.

Di lingkungan yang keras anak jalanan harus tetap survive, dengan panas terik, hujan, tingkat polusi yang tinggi, serta tingkat kekerasan yang tinggi pula. Kondisi tersebut tidak mungkin bisa dilalui oleh orang-orang yang semangat

(26)

hidupnya lemah, tanpa optimisme, dan cenderung pesimis dalam memandang hidup dan kehidupan yang dijalaninya. Walau mungkin pada sebagian anak muncul rasa pesimisme, tapi karena keadaan keras jalanan menempa mereka, rasa tersebut lambat laun terkikis.

Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya bebas (63 persen), liar (70 persen), masa bodoh ( 68 persen), penuh curiga (77 persen), susah diatur ( 69 persen), tersaji pada Tabel 25.

Tabel 25. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian

Kondisi (%) Sub Peubah

Rendah Sedang Tinggi

Jumlah (%) Bebas 13 24 63 100 Liar 9 21 70 100 Masa bodoh 8 24 68 100 Penuh curiga 3 20 77 100 Reaktif 36 28 36 100 Susah diatur 10 21 69 100

Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung menonjol, di antaranya perilaku bebas dan semaunya sendiri dalam bersikap dan bertingkah laku berdasarkan pada apa yang dikehendaki/diinginkannya. Liar, semaunya sendiri, serta susah diatur terutama bagi anak yang sudah terbiasa hidup di jalanan (Children of the Street). Walau tetap ada anak yang mau ikut aturan, terutama terdapat pada anak yang rentan menjadi anak jalanan (Vulnerable to be Street Children) serta biasanya masih tinggal dan berhubungan dengan orang tua/keluarganya. Masa bodoh, terutama terhadap sesuatu yang tidak menyangkut kepentingan dan kebutuhannya. Penuh curiga, terutama terhadap orang yang baru dikenal dan bukan anggota kelompoknya. Perilaku reaktif cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi di atas. Kondisi ini tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian.

Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku abnormal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 26.

(27)

Tabel 26. Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian

Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Bebas

Tidak bebas 14 14 12 13

Kadang bebas 24 24 24 24

Bebas 62 62 64 63

2 Liar

Ikut aturan yang ada 8 10 10 9

Kadang semaunya sendiri 22 20 20 21

Semaunya sendiri 70 70 70 70

3 Masa bodoh

Tidak masa bodoh 9 8 7 8

Kadang masa bodoh 23 24 24 24

Masa bodoh 68 68 69 68 4 Penuh curiga Tidak curiga 2 4 2 3 Kadang curiga 20 20 20 20 Curiga 78 76 78 77 5 Reaktif Cepat tanggap 36 36 37 36

Kadang cepat tanggap 29 27 28 28

Tidak cepat tanggap 35 37 35 36

6 Susah diatur

Mudah diarahkan 10 11 10 10

Kadang mudah diarahkan 21 21 21 21

Tidak mudah diarahkan 69 68 69 69

Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

Perilaku abnormal/menyimpang adalah perilaku yang tidak adekuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Kartono, 1992). Pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering didera oleh konflik batin, dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental, demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan.

Sebagian anak jalanan cenderung menunjukkan perilaku abnormal yang tidak taat dan tidak patuh terhadap aturan, ketentuan dan tata tertib yang berlaku umum. Ketaatan diartikan sebagai suatu sikap kepatuhan atau kesetiaan terhadap sesuatu hal. Kata ketaatan ini berasal dari kata taat yang berarti patuh, menurut dan setia (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata taat ini identik dengan disiplin yang diartikan sebagai suatu latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib. Tata tertib diartikan sebagai peraturan-peraturan yang harus dituruti atau dilakukan (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Dapat diformulasikan tata tertib adalah suatu peraturan yang mengatur perilaku dan perbuatan manusia di dalam hidup bermasyarakat, agar

(28)

tindakan dan perilakunya tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang berlaku. Seyogyanya konsepsi taat, patuh dan disiplin berfungsi sebagai pengarah seseorang dalam menentukan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat, demikian pula untuk anak jalanan.

Upaya mendapatkan perilaku taat dan disiplin diperoleh manusia salah satunya melalui pembinaan dan pelatihan sejak dini, yaitu sejak masa kanak-kanak, agar setelah dewasa anak terbiasa hidup berdisiplin. Hal ini menjadi tugas dan kewajiban orang tua sesuai dengan peran dan fungsinya dalam keluarga untuk membina dan melatih anak-anaknya. Akan tetapi pada orang tua anak jalanan sebagian besar kurang bahkan tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan seimbang. Akibatnya pada sebagian besar anak jalanan tidak terbiasa hidup berdisiplin (indisipliner), seperti terbiasa hidup bebas, liar, dan susah diatur, di samping terdapat pula perilaku-perilaku abnormal lainnya. Perilaku tersebut cenderung menunjukkan penyimpangan dari aturan, ketentuan, tata tertib dan kebiasaan yang berlaku umum.

Sesungguhnya perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan terkait dengan proses simbolisasi diri atau penamaan-diri atau konsepsi-diri (Kartono, 1992). Hal ini terjadi saat anak-anak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan sosial yang kriminal dan a-susila. Anak jalanan mentransfer warisan-warisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial. Kontak sosial yang dilakukan menanamkan konsepsi mengenai nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku yang buruk, baik secara sadar maupun tidak sadar, sehingga anak-anak terkondisi untuk bertingkah laku serupa. Bila anak melakukan proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri dengan melambangkan dirinya, dipersamakan dengan tokoh-tokoh tertentu yang dikagumi di jalanan, maka konsep tersebut ditransfer dan terjadi proses imitasi pada dirinya.

Proses konsepsi-diri atau simbolisasi-diri umumnya berlangsung secara berangsur-angsur serta perlahan-lahan. Bersamaan dengan proses tersebut, berlangsung pula proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang dalam diri anak, sejak usia mereka masih sangat muda, sampai remaja dan dewasa. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progresif sifatnya,

(29)

yang kemudian dirasionalisasi secara sadar, untuk kemudian dikembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku umum (Kartono, 1992).

Demikian pula dengan anak jalanan, dalam dirinya terjadi proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri yang melambangkan dirinya dipersamakan dengan tokoh-tokoh jalanan seperti preman jalanan, dengan perilaku yang menyimpang dan cenderung mengarah pada kriminalitas dan a-susila. Lambat laun baik sadar maupun tidak sadar anak jalanan akan melakukan proses imitasi terhadap perilaku tokoh yang dikagumi dan merasionalisasinya, untuk kemudian mengembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku anak pada umumnya.

Proses simbolisasi dan proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang yang ada dalam lingkungan, secara berangsur-angsur membentuk pola tingkah laku yang deviatif serta progresif, kemudian berkembang dalam diri anak jalanan. Munculnya tingkah laku menyimpang pada anak jalanan juga disebabkan adanya transfer/warisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial anak jalanan dengan lingkungan, baik lingkungan terdekat dalam hal ini keluarga maupun lingkungan di luar keluarga.

Perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan dan keluarganya, mulanya merupakan respon atas situasi dan keadaan yang menghimpit. Akan tetapi disebabkan tidak adanya sarana yang kondusif untuk mereka dapat menyalurkan permasalahan yang dihadapi, yang terakumulasi dari waktu ke waktu, mengakibatkan perilaku tersebut menjadi melembaga dan terinternalisasi dalam diri anak jalanan maupun keluarganya.

Hasil penelitian tentang perilaku anak jalanan ini memperkuat hasil penelitian terdahulu (Departemen Sosial, 1999), yakni anak jalanan cenderung memiliki semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, mandiri (yang merupakan perilaku normal), di samping memiliki perilaku curiga, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, tertutup dan bebas (yang merupakan perilaku abnormal).

(30)

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan

Perilaku anak jalanan secara nyata baik langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh peubah latar belakang keluarga (22 persen) dibanding oleh peubah latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik maupun oleh ciri sosiologiknya, tersaji pada Tabel 27 dan Tabel 28.

Tabel 27. Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

Model B Std. Error Beta T Sig.

(Constant ) 14,681 3,490 4,207 ,000 X1 ,075 ,025 ,222 2,973 ,003 X2 ,036 ,038 ,069 ,989 ,324 X3 ,003 ,034 ,006 ,091 ,928 X4 ,032 ,033 ,066 ,963 ,336 1 X5 ,003 ,039 ,005 ,077 ,939 a Dependent Variable: Y1

Rumusan model efektif faktor yang mempengaruhi perilaku anak jalanan dengan menggunakan uji regresi berganda. Persamaan regresinya adalah :

Y1 = β0 + β1X1 + β1X2 + β1 X3 + β1X4 + β1X5

Hasil Uji regresi berganda diperoleh nilai koefisien regresi seperti yang disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Nilai Koefisian Regresi Berganda Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Perilaku Anak Jalanan (Y1)

Faktor-faktor Berpengaruh Koefisien Regresi

Latar Belakang Keluarga (X1) 0.075**

Latar Belakang Lingkungan (X2) 0.037

Ciri Fisik Anak Jalanan (X3) 0.003

Ciri Psikologik Anak Jalanan (X4) 0.032 Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X5) 0.003

Konstanta 14.681

R2 0,045

F hitung 2.063 Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01

(31)

Tabel 27 memperlihatkan hanya peubah bebas latar belakang keluarga yang berpengaruh nyata secara langsung relatif cukup besar terhadap peubah terikat perilaku anak jalanan (p= 0.222) dibanding peubah bebas lain terhadap perilaku anak jalanan. Hal ini dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 22 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor keluarga berperan besar pada terbentuk dan munculnya perilaku anak jalanan, baik perilaku positif maupun negatif. Di samping disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, yang berpengaruh terutama terhadap ciri psikologik dan ciri sosiologik anak jalanan.

Tabel 28 memperlihatkan F hitung sebesar 2.063 dengan taraf nyata 0.071 (di bawah α 0.1), maka model regresi ini dapat dipakai untuk memperkirakan perilaku anak jalanan. Uji regresi linear berganda yang dilakukan menghasilkan R2 sebesar 0.045 (4.5%). Koefisien ini tergolong kecil, hal ini berarti perilaku anak jalanan banyak dipengaruhi oleh faktor lain. Hal tersebut terlihat pula dari nilai kostanta model regresi di atas yang bernilai positif, dengan makna bahwa perilaku anak jalanan selain dipengaruhi oleh peubah bebas latar belakang keluarga (X1), latar belakang lingkungan (X2), ciri fisik (X3), ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik anak jalanan (X5) juga dipengaruhi oleh faktor lain di luar model.

Peubah bebas yang masuk dalam model adalah latar belakang keluarga (X1). Empat peubah lainnya : latar belakang lingkungan (X2), Ciri Fisik (X3), Ciri Psikologik (X4) dan Ciri Sosiologik (X5) dikeluarkan (excluded) dari model, sehingga persamaan regresi untuk model tersebut menjadi :

Y1 = β0 + β1X1

(32)

Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01 * Nyata pada α 0,05

Gambar 8 memperlihatkan latar belakang keluarga berhubungan nyata pada taraf nyata α 0,01 dengan latar lingkungan (p=0.262). Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang dari latar belakang keluarga yang buruk (seperti tersaji pada Tabel 13 dan Tabel 14), kecenderungannnya memiliki latar belakang lingkungan di luar keluarga yang buruk pula (seperti tersaji pada Tabel 15 dan Tabel 16). Demikian pula sebaliknya seseorang yang berada pada latar belakang lingkungan yang buruk cenderung berasal dari latar belakang keluarga yang buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang termasuk anak jalanan dan keluarganya yang berada pada suatu habitat tertentu, cenderung memilih dan memiliki habitat lain yang cenderung tidak berbeda dari habitatnya.

Ciri Fisik Anjal (X3) Latar belakang lingkungan (X2) Ciri Psikologik Anjal (X4) 0.001 Perilaku anak jalanan (Y1) 0.222** 0.182** 0.198** 0.349** 0.006

Gambar 8. Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan

Latar belakang keluarga (X1) 0.262** 0.154* 0.066 Ciri Sosiologik Anjal (X5) 0.148* 0.005 0.069* E=0.632

(33)

Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik menyumbang sebesar p = 0.182, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 18 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri fisik anak jalanan. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri psikologik menyumbang sebesar p = 0.198, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 20 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri psikologiknya. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar p = 0.349, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 35 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik anak jalanan.

Gambar 8 memperlihatkan bahwa latar belakang lingkungan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.069) terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan. Pengaruh latar belakang lingkungan terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik relatif kecil sebesar 0,01 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri psikologik menyumbang sebesar 15,4 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar 14,8 persen.

Gambar 8 memperlihatkan bahwa ciri fisik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.006), dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.06 persen dipengaruhi oleh ciri fisiknya. Ciri psikologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif lebih besar dibandingkan ciri fisik dan ciri sosiologik anak jalanan, yaitu sebesar p= 0.066. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh ciri psikologiknya. Ciri sosiologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif paling kecil dibanding dua ciri yang lain yaitu sebesar p= 0.005, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.05 persen dipengaruhi oleh ciri sosiologiknya.

Meski ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap perilaku anak jalanan, namun tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan saat akan dilakukan upaya pengentasan anak jalanan, karena model berdasarkan hasil uji statistik merupakan model yang efektif.

(34)

Diharapkan dengan memperhatikan ciri anak jalanan yang berpengaruh terhadap perilakunya ini, perubahan yang terjadi lebih bersifat komprehensif, mendasar dan menetap.

Gambar 8 memperlihatkan untuk melakukan perubahan perilaku anak jalanan (Y1) dapat dilakukan terutama dengan membenahi latar belakang keluarga (X1) baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak langsung dengan cara membenahi latar belakang keluarga (X1) agar ciri fisik (X3), ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik (X5) anak jalanan berubah. Di samping membenahi latar belakang lingkungan (X2) agar ciri psikologik (X4) dan ciri sosiologik (X5) anak jalanan berubah, dengan harapan hal tersebut dapat memberikan dampak lebih lanjut pada terjadinya perubahan perilaku anak jalanan.

Gambar 8 juga memperlihatkan secara keseluruhan peubah bebas dalam penelitian secara total menyumbang pengaruh sebesar p= 0.368 terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 36,8 persen dipengaruhi oleh peubah penelitian. Selebihnya, sebesar E= 0.632 atau sekitar 63,2 persen dipengaruhi oleh peubah lain.

Peneliti menduga pengaruh peubah lain salah satunya adalah adanya masalah kemiskinan yang dialami oleh anak jalanan dan keluarganya. Di sisi lain juga adanya struktur sosial dalam masyarakat, yang menyebabkan terjadinya differensiasi sosial sebagai dampak adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial diartikan Sorokin (Sajogyo, 1985) sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis). Manifestasi dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Sajogyo (1985) lebih lanjut menjelaskan dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat ini adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara para anggota masyarakat. Stratifikasi sosial ini memberikan gambaran mengenai adanya “ketidaksamaan” (inequality) dalam kehidupan masyarakat.

Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah “grassroots” dengan

(35)

status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004).

Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat sistem tingkatan sosial, di mana anak jalanan berada pada tingkatan sosial paling bawah, tingkatan sosial tersebut adalah :1) Tingkatan kekayaan yang menimbulkan kelas-kelas kekayaan. Kelas atas adalah orang yang hidup dari hasil kekayaannya. Kelas bawah adalah orang yang terbatas kekayaannya atau mereka sendiri mungkin menjadi milik orang lain. 2) Tingkatan menurut kekuatan ekonomi yang menimbulkan kelas-kelas pendapatan : kelas-kelas atas adalah bankir, pemodal ; kelas-kelas bawah adalah buruh. 3) Tingkatan yang tercermin menurut kekayaan dan pendidikan. 4) Tingkatan status sosial : kelas atas adalah orang yang memiliki gaya hidup yang paling dapat diterima, berpendidikan tinggi, dan memegang posisi dengan gengsi sosial yang tinggi pula, serta anak keturunan orang yang berstatus sosial tinggi.

Lebih lanjut Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat faktor yang menentukan status sosial, yaitu : 1) Gaya hidup atau cara hidup. 2) Pendidikan atau latihan formal berkenaan dengan kemampuan, sikap dan aktivitas. 3) Asal usul keturunan, dan 4) Gengsi pekerjaan. Terkait dengan status sosial inipun, anak jalanan beserta keluarganya cenderung berada pada status yang tidak jelas pula.

Peneliti menduga, di samping struktur sosial peubah lain yang turut berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan adalah adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahaan sosial merupakan perubahan pada segi struktur sosial dan hubungan sosial (Iskandar, 1995). Perubahan sosial diartikan sebagai suatu proses yang berlangsung dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial (Rogers, 1969). Diartikan pula sebagai segala yang berlaku dalam suatu jangka waktu, pada peranan institusi atau hal lainnya yang meliputi struktur sosial, termasuk kemunculan dan kemusnahannya. Perubahan sosial juga berarti perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas (Sajogyo, 1985).

Penjelasan di atas memperlihatkan perubahan sosial adalah suatu kondisi yang bisa terjadi di semua lini, sebagai akibat adanya pergeseran/perubahan dalam

(36)

masyarakat, dengan norma, sistem nilai (value system), kebiasaan (adat istiadat), pola interaksi, pola komunikasi, struktur dan hal-hal lain yang ada di dalamnya, yang turut berubah seiring dengan perubahan yang terjadi.

Peubah lain yang juga berpengaruh adalah tidak adanya perhargaan

sosial (social rewards) atau tidak adanya pengakuan sosial (social recognition)

yang mengakui eksistensi, harkat dan martabat anak jalanan sebagai manusia, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan, karena walaupun mereka sering dinilai negatif tetap ada sisi-sisi positif. Hal ini terkait dengan pernyataan Skinner (Zimbardo dan Maslach, 1977) yang secara tegas menunjuk penghargaan sosial (social rewards) sebagai faktor yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku. Termasuk perilaku anak jalanan salah satunya diduga dibentuk oleh perlakuan yang ditunjukkan dalam bentuk penghargaan dan pengakuan keluarga serta lingkungan yang diterima oleh anak jalanan.

Pada prinsipnya kehadiran anak jalanan dengan ciri-ciri serta perilakunya terkait dan tidak terlepas dari sistem yang ada di sekitarnya, serta berhubungan saling pengaruh mempengaruhi, baik dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Masing-masing sub sistem menjalani dan mengalami perubahan-perubahan serta menanggapi perubahan yang ada di dalam sistem atau di luar sistem, dalam derajat yang minimal. Sekaligus masing-masing melakukan upaya penyesuaian dari ketegangan, disfungsi serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Daya yang dapat mengintegrasikan sub sistem tersebut adalah konsensus dari semua anggota masyarakat, untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada. Termasuk mengatasi permasalahan sosial anak jalanan secara bersama-sama, sehingga tercapai stabilitas sosial di dalam masyarakat.

Hal di atas sekaligus membuktikan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988; Ritzer dan Godman, 2004) dengan skema A G I L nya, yaitu : (A) adaptation (G) goal attainment (I) integration (L) latency. Di dalamnya sekaligus terjadi upaya-upaya pemeliharan terhadap pola yang terbentuk guna menstabilisir keadaan.

Gambar

Tabel 11. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian  Peubah   Kota  Mean difference  Signifikansi (α)  Latar belakang keluarga (X 1 )  •  DKI – Bogor
Tabel 12. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan
Tabel 14. Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing  Wilayah Penelitian
Tabel 16. Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di masing-masing  Wilayah  Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan statistik tiap cluster, pelatih atau pemandu bakat dapat memprediksi statistik dan posisi di lapangan seorang pemain basket yang ditest, yang berada pada

Sedangkan pada sampel B terjadi perubahan warna menjadi jingga yang sama dengan perubahan pada kontrol positif karena kedua senyawa adalah sama memiliki amin aromatik. 

PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA Jalan Jenderal Gatot Subroto Kaveling 51, Jakarta Selatan 12950 Telepon 5255733 Pesawat 644, Faksimile (021)

Di Pemandian Wendit ini, pengunjung juga akan menjumpai puluhan kera jinak yang berkeliaran di sekitar hutan kecil di Wendit dan tentunya akan memberikan ciri khas tersediri

berikan kepada anak, bagi anak yang belum bisa, dibantu oleh orangtua/pengasuh. Gambar anak menangis dibawa anak untuk kemudian ditukar dengan stiker, pada

Beberapa faktor yang menjadikan minat berwirausaha diantaranya adalah kepemilikan modal, akses mendapatkan modal, keterampilan dalam melakukan usaha, kepercayaan diri,

Beberapa Contoh Putusan Hakim MA dalam Permohonan PK yang Diajukan oleh Pemohon Dengan Berdasarkan Adanya Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan yang Nyata dengan Menggunakan

SINKRONISASI PENDIDIKAN DAN PELAYANAN TOT dosen dan widyaiswara Pendidikan non reguler (6 bln) bagi dokter puskesmas wahana pendidikan Pendidikan non reguler (6 bln) bagi