BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Bank
Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit, dan atau bentuk bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, menurut
Kashmir (undang-undang RI nomor 10 tahun 1998 tanggal 10
november tentang perbankan).
Menurut Kashmir (2002 : 24), “aktivitas perbankan yang
utama adalah menghimpun dana dari masyarakat luas yang biasa
dikenal dalam dunia perbankan dengan istilah funding”.
Menghimpun dana yang dimaksud adalah mengumpulkan atau
mencari dana dengan cara membeli dari masyarakat luas. Pembelian
dana dari masyarakat dilakukan oleh bank dengan cara memasang
berbagai strategi agar masyarakat dapat menanamkan dananya dalam
bentuk simpanan. Beberapa jenis simpanan yang dapat dipilih oleh
masyarakat seperti giro, tabungan, serifikat deposito, dan deposito
2.1.2 Saham
2.1.2.1 Definisi Saham
Saham adalah surat bukti kepemilikan atas suatu
perusahaan. Dengan memiliki saham suatu perusahaan,
maka manfaat yang diperoleh berupa dividen, capital gain,
dan manfaat non financial. Sedangkan kalau para pemodal
membeli saham, berarti mereka (investor) membeli prospek
perusahaan. Bila prospek perusahaan baik maka harga
saham tersebut akan meningkat.
Menurut Robbert Ang (1997), “saham adalah surat
berharga sebagai bukti penyertaan atau pemilikan individu
maupun institusi dalam suatu perusahaan”. Nilai suatu
saham berdasarkan fungsinya dapat dibagi menjadi tiga,
yaitu :
1. Par Value (Nilai Nominal)
2. Base Price (Harga Pasar)
2.1.2.2Harga Saham
Harga saham adalah harga per lembar saham yang
berlaku di pasar modal. Menurut Darmadji & Fakhruddin
(2006), “Harga saham di pasar modal terdiri atas tiga
kategori, yaitu harga tertinggi (high price), harga terendah
(low price) dan harga penutupan (close price)”. Harga
tertinggi atau terendah merupakan harga yang paling tinggi
atau paling rendah yang terjadi pada satu hari bursa. Harga
penutupan merupakan harga yang terjadi terakhir pada saat
akhir jam bursa. Berdasarkan ketiga kategori tersebut dapat
dilihat bahwa perubahan harga saham yang terjadi, seperti
masing-masing investor sering mempunyai persepsi yang
berbeda, sehingga kerapkali salah dalam mengambil
keputusan investasi. Dampaknya investor sering
tergesa-gesa untuk menjual sahamnya tanpa terlebih dahulu
memperhitungkan apakah saham tersebut memiliki prospek
yang bagus atau tidak.
Penilaian harga saham dapat dilakukan melalui
pendekatan fundamental dan teknikal. Pendekatan
fundamental dengan cara memperhatikan faktor-faktor
fundamental dari setiap perusahaan yang telah tercatat di
bursa. Sedangkan pendekatan teknikal dilakukan melalui
kecenderungan harga saham. Penilaian kewajaran harga
saham yang terbentuk di pasar modal oleh investor sering
kali dilakukan melalui pendekatan fundamental.
Pendekatan fundamental berititik-tolak dari pemikiran
bahwa harga saham yang wajar ditentukan oleh ekspektasi
atas dividen, pertumbuhan keuntungan modal dan tingkat
bunga diskon di masa depan.
2.1.2.3 Jenis – Jenis Saham
Jenis saham terbagi atas 3 yaitu :
1. Saham Preferen
Menurut Jogiyanto (2000), “Saham preferen
memiliki sifat gabungan (hybrid) antara obligasi (bond)
dan saham biasa”. Seperti bond yang membayarkan
bunga atas pinjaman, saham preferen juga memberikan
hasil yang tetap berupa dividen preferen. Seperti saham
biasa, dalam hal likuidasi, klaim pemegang saham
preferen di bawah klaim pemegang bond. Dibandingkan
dengan saham biasa, saham preferen mempunyai
beberapa hak, yaitu hak atas dividen tetap dan hak
pembayaran terlebih dahulu jika terjadi likuidasi. Oleh
karena itu, saham preferen dianggap mempunyai
karakteristik di tengah-tengah antara bond dan saham
Pemilik saham preferen mempunyai preferensi
atas pemegang saham biasa dalam distribusi
pendapatan. Jika dividen saham preferen tidak
dibayarkan oleh dewan direksi, pembayaran dividen
kepada pemegang saham biasa tidak diperkenankan.
Pemegang saham preferen juga biasanya mempunyai
preferensi di atas pemegang saham biasa dalam
likuidasi aktiva (jika perusahaan bangkrut), walaupaun
mereka harus menunggu sampai pembayaran kepada
semua kreditur. Jumlah yang dituntut oleh pemegang
saham preferen dalam likuidasi adalah sama dengan
nilai nominal dari saham preferen.
Saham preferen seringkali diterbitkan oleh
perusahaan publik, oleh perusahaan yang melakukan
transaksi merger atau oleh perusahaan yang merugi dan
membutuhkan tambahan pembiayaan. Perusahaan
publik menerbitkan saham preferen untuk
meningkatkan “pengaruh keuangan” sambil
meningkatkan ekuitas dan menghindari resiko yang
tinggi berkaitan dengan pembiayaan pinjaman. Saham
preferen digunakan dalam merger agar pemegang
saham yang diperoleh perusahaan mendapat jaminan
menghasilkan keuntungan pajak tertentu. Sebagai
tambahan saham preferen sering digunakan oleh
perusahaan yang merugi untuk mendapatkan tambahan
dana. Perusahaan dapat lebih mudah menjual saham
preferen daripada saham biasa sebab pemegang saham
preferen kedudukannya lebih tinggi daripada saham
biasa dan karenanya kurang berisiko daripada saham
biasa. Maka dari itu, perusahaan biasanya tidak
menerbitkan saham preferen dalam jumlah banyak.
Saham preferen umumnya dapat ditarik yang
berarti penerbit dapat menghentikan saham yang
beredar dalam periode waktu tertentu pada harga
tertentu. Opsi beli umumnya tidak dapat dilaksanakan
sampai beberapa tahun lewat sejak penerbitan saham.
Harga beli secara normal ditetapkan di atas harga
penerbitan awal tetapi mungkin menurun sesuai dengan
jadwal yang ditentukan lebih dulu. Dengan membuat
saham preferen dapat melengkapi penerbit dengan
metode yang membawa komitmen pada pembayaran
tetap dari penerbitan saham preferen menjadi berakhir.
Keistimewaan yang dimiliki oleh pemegang
saham preferen salah satunya yaitu memperbolehkan
sahamnya menjadi sejumlah lembar saham biasa.
Kadang-kadang rasio konversi atau jumlah lembar
saham berubah sesuai dengan formula tertentu.
Keuntungan Saham Preferen:
1. Fleksibel. Karena saham preferen memperbolehkan
penerbit untuk tetap pada posisi menunda tanpa
mengambil resiko untuk memaksakan jika usaha
sedang lesu, yaitu dengan tidak membagikan bunga
atau dividen.
2. Dapat digunakan dalam restrukturisasi perusahaan,
merger, pembelian saham perusahaan dengan
pembayaran melalui hutang baru dan divestasi.
Kerugian Saham Preferen:
1. Adanya prioritas terhadap pemegang saham preferen.
Pemegang saham preferen diberi keistimewaan
daripada pemegang saham biasa yaitu hasil yang
dibagikan berupa pendapatan dan kekayaan, adanya
saham preferen membahayakan pengembalian
terhadap pemegang saham biasa. Jika perusahaan
membayar pengembalian terhadap pemegang saham
berubah-ubah, maka kemampuan membayar dividen untuk
pemegang saham biasa menjadi terganggu.
2. Pembiayaan saham preferen umumnya lebih tinggi
dari pembiayaan dengan utang. Alasannya karena
tidak seperti pembayaran bunga untuk pemegang
obligasi, pembayaran dividen untuk pemegang
saham preferen tidak dijamin. Sebab pemegang
saham preferen bersedia menerima tambahan risiko
pembelian saham preferen daripada utang jangka
panjang, mereka harus mendapat penggantian
dengan pengembalian yang lebih tinggi.
2. Saham biasa
Menurut Jogianyo (2000), “Jika perusahaan
hanya mengeluarkan satu jenis saham saja, saham ini
biasanya dalam bentuk saham biasa (common stock)”.
Pemegang saham ini adalah pemilik dari perusahaan
yang mewakilkan kepada manajemen untuk
menjalankan operasi perusahaan. Pemegang saham
biasa kadang-kadang disebut pemilik residual, sebab
mereka hanya menerima sisa setelah seluruh tuntutan
atas pendapatan dan aktiva telah terpenuhi. Karena itu,
seperti dividen yang menguntungkan dan terakhir laba
modal / capital. Kepemilikan saham biasa pada suatu
perusahaan dapat berbentuk :
1) Kepemilikan saham pribadi (privately owned stock),
semua saham biasa dari perusahaan yang dimiliki
secara pribadi / individual.
2) Kepemilikan saham tertutup (closely owned stock),
semua saham biasa dari perusahaan yang dimiliki
sebuah grup kecil investor seperti keluarga.
3) Kepemilikan saham publik (publicy owned stock),
saham biasa perusahaan yang telah dimiliki oleh
publik. Kepemilikannya bisa oleh sebuah grup besar
yang tidak ada hubungan antar individu dan (atau)
suatu lembaga investasi.
Walaupun para pemegang saham biasa ini selalu
mendapatkan prioritas terakhir, namun mereka
memiliki keistimewaan, yaitu Hak Suara dalam Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pemilik saham biasa tidak mempunyai jaminan
dari penerimaan dalam bentuk dividen setiap
periodenya maupun pada saat likuidasi, tetapi satu hal
atas apa yang mereka investasikan dalam perusahaan.
Bahkan pemegang saham biasa memperoleh
pengembalian yang tidak terbatas melalui dividen dan
melalui penilaian saham miliknya. Dengan kata lain,
walaupun tidak ada jaminan, kemungkinan imbalan
untuk risiko modal risiko (risk capital) dapat
dipertimbangkan.
Di samping penjualan saham biasa yang baru
melalui penawaran “hak”, banyak perusahaan menjual
saham biasa baru melalui beberapa jenis dari opsi
saham atau rencana pembelian saham. Opsi saham pada
umumnya ditujukan bagi manajemen dan mengijinkan
untuk membeli sejumlah saham biasa perusahaan
dengan harga khusus untuk suatu periode tertentu.
Menurut Ridwan & Inge (2002), “Rencana pembelian
saham merupakan tunjangan tambahan yang
kadang-kadang ditawarkan kepada perusahaan karyawan yang
mengijinkan mereka untuk membeli saham perusahaan
dengan potongan atau dengan dasar biaya yang
dikeluarkan”. Penerbitan saham biasa baru sama seperti
obligasi dapat dijual ke publik melalui bankir investasi.
Keuntungan Saham Biasa:
1. Tidak ada biaya (ada laba bayar dividen, tidak ada
laba tidak bayar dividen).
2. Saham biasa tidak mempunyai jatuh tempo.
3. Karena saham biasa memberikan perlindungan
terhadap kerugian kreditur, maka penjualan saham
biasa meningkatkan kepercayaan orang kepada
perusahaan.
4. Saham biasa kadang-kadang dapat dijual lebih
mudah dari hutang karena :
a. Memberikan pendapatan yang lebih dari saham
prioritas / hutang.
b. Menunjukkan pemilikan atas perusahaan.
Kerugian saham biasa:
1. Penjualan saham biasa memperluas hak suara.
2. Saham biasa memberi hak kepada pemegangnya
untuk mendapatkan bagian atas penghasilan
perusahaan.
3. Biaya pertanggungan dan distribusi saham biasa
lebih besar dari saham prioritas/hutang. Biaya
penerbitan sekuritas untuk menjual saham biasa
a. Biaya penelitian investasi saham biasa selalu lebih
tinggi dari pada biaya penelitian kelayakan
hutang yang sebanding.
b. Saham mempunyai risiko lebih besar yang berarti
kepemilikannya harus didiversivikasikan,
pembelinya harus lebih banyak daripada hutang.
4. Jika penerbitan saham baru lebih besar dari jumlah
yang dibutuhkan, biaya rata-rata modal akan lebih
tinggi dari biaya yang dibutuhkan.
5. Dividen saham biasa tidak dapat dianggap sebagai
biaya karena tidak bisa dikurangkan dalam
perhitungan pendapatan perusahaan.
6. Pembiayaan dengan saham biasa merupakan sinyal
negatif (negative signal) di mana peserta pasar
merasa bahwa penjualan saham biasa oleh
perusahaan mencerminkan kepercayaan manajemen
bahwa saham dinilai lebih tinggi (overvalued),
3. Saham Treasury
Menurut Jogiyanto (2000), “Saham treasuri
(treasury stock) adalah saham milik perusahaan yang
sudah pernah dikeluarkan dan beredar yang kemudian
dibeli kembali oleh perusahaan untuk tidak
dipensiunkan tetapi disimpan sebagai treasuri”.
2.1.3 Analisis Rasio Keuangan
Menurut Munawir (2000:54), “Rasio adalah alat yang dapat
digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data
finansial”. Rasio menggambarkan suatu hubungan atau
perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah tert
entu dengan jumlah yang lain”. Rasio sebenarnya hanyalah alat
yang dinyatakan dalam aritmathical terms yang dapat digunakan
untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansial.
Rasio keuangan merupakan suatu informasi yang menggambarkan
hubungan antara berbagai macam akun (accounts) dari laporan
keuangan yang mencerminkan keadaan keuangan serta hasil
Menurut Robert Ang (1997), rasio keuangan dapat
dikelompokkan menjadi lima jenis berdasarkan ruang lingkup atau
tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1) Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)
Rasio ini menyatakan kemampuan perusahaan jangka pendek untuk memenuhi obligasi (kewajiban) yang jatuh tempo. Rasio likuiditas ini t erdiri dari: current ratio (rasio lancar), quick ratio, dan net working capital.
2) Rasio Aktivitas (Activity Ratios)
Rasio ini menunjukkan kemampuan serta efisiensi perusahaan didalam memanfaatkan harta-harta yang dimilikinya. Rasio aktivitas ini terdiri dari : total asset
turnover, fixed asset turnover, accounts receivable
turnover, inventory turnover, average collection period
(day’s sales inaccounts receivable) dan day’s sales in
inventory.
3) Rasio Rentabilitas/Profitabilitas (Profitability Ratios)
Rasio ini menunjukkan keberhasilan perusahaan didalam menghasilkan keuntungan. Rasio rentabilitas ini terdiri dari: gross profit margin, net profit margin, operating return on assets, return on assets, return on equity, dan operating ratio.
4) Rasio Solvabi litas (Solvency Ratios)
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Rasio ini juga disebut leverage ratios, karena merupakan rasio pengungkit yaitu menggunakan uang pinjaman (debt) untuk memperoleh keuntungan. Ras io leverage ini terdiri dari:
debt ratio, debt to equity ratio, long -term debt to equity ratio, long –termdebt to capitalization ratio, times interest
earned, cash flow interest coverage, cash flow to net
income, dan cash return on sales.
5) Rasio Pasar (Market Ratios)
Rasio ini menunjukkan informasi penting perusahaan yang diungkapkan dalam basis per saham. Rasio pasar ini terdiri dari: dividend yield, dividend per
share, earning per share, dividend payout ratio, price
earning ratio, book value per share, dan price to book
2.1.4 Pengertian Earning Per Share (EPS), Price Earnings Ratio (PER), Return On Asset (ROA), Net Profit Margin (NPM) dan Debt To Equity Ratio (DER)
2.1.4.1 Earning Per Share (EPS)
Earning Per Share (EPS) merupakan ukuran
penting yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan. Earning Per Share (EPS) adalah keuntungan
perusahaan yang bisa dibagikan kepada pemegang saham.
Tapi dalam prakteknya, tidak semua keuntungan ini dapat
dibagikan, ada sebagian yang ditahan sebagai laba ditahan.
Menurut Ang (1997), “Earning Per Share (EPS)
merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak
pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang
diterbitkan”.
Biasanya rasio ini digunakan untuk mengukur
seberapa besar tiap lembar saham dapat menghasilkan
keuntungan untuk pemiliknya. Earning per share
dirumuskan dengan perbandingan antara laba siap bagi
dengan total lembar saham sebagaimana tercantum dalam
laporan keuangan per Desember atau Earning Per Share
manajemen dalam mencapai keuntungan bagi para pemilik
perusahaan.
Menurut Darmadji dan Fakhrudin (2006), EPS
dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸= 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝐿𝐿ℎ𝑏𝑏𝐿𝐿ℎ𝐿𝐿𝑗𝑗𝑦𝑦𝐿𝐿𝑦𝑦𝑦𝑦𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝐿𝐿𝑏𝑏
Dan jika perusahaan tersebut terdapat saham
preferen maka rumusnya sedikit berbeda, yaitu:
𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸 = 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ − 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑑𝑑𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑦𝑦𝑏𝑏𝐿𝐿ℎ𝐿𝐿𝑗𝑗𝑝𝑝𝑏𝑏𝑏𝑏𝑝𝑝𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑦𝑦
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝐿𝐿ℎ𝑏𝑏𝐿𝐿ℎ𝐿𝐿𝑗𝑗𝐿𝐿𝑏𝑏𝐿𝐿𝑏𝑏𝐿𝐿𝑦𝑦𝐿𝐿𝑦𝑦𝑦𝑦𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝐿𝐿𝑏𝑏
Kemampuan sebuah perusahaan dalam
menghasilkan laba bersih dalam per lembar saham
merupakan indikator fundamental keuangan perusahaan
yang nantinya menjadi acuan para investor dalam memilih
saham. Oleh karena penilaian yang akurat dan cermat bisa
meminimalkan resiko sekaligus membantu investor dalam
Ekspektasi pendapatan yang akan diperoleh
merupakan faktor penentu harga saham. Saham dengan
return tertinggi pada umunya memiliki pendapatan yang
lebih besar daripada yang diperkirakan, sedangkan saham
dengan return terendah memiliki pendapatan di bawah
perkiraan. Harga saham cenderung mengantisipasi dengan
cepat pengumumn pendapatan (earning) dengan bergerak
tepat sebelum pengunguman dilakukan. Jadi earning per
share memiliki hubungan positif dengan harga saham,
sehingga apabila jumlah earning per share meningkat maka
harga saham akan naik begitu juga tingkat pengembalian
investasi, dan sebaliknya.
H1 = EPS berpengaruh positif terhadap harga saham
2.1.4.2 Price Earnings Ratio (PER)
Price Earning Ratio (PER) merupakan rasio antara
harga saham dengan pendapatan setiap lembar saham, dan
merupakan indikator perkembangan atau pertumbuhan
perusahaan di masa yang akan datang (prospects of the
firm). Semakin tinggi rasio PER, semakin tinggi
Husnan dan Pudjiastuti (2004) rasio PER dapat
diformulasikan sebagai berikut:
𝐸𝐸𝐸𝐸𝑃𝑃= 𝐻𝐻𝐿𝐿𝑏𝑏𝑦𝑦𝐿𝐿 𝐸𝐸𝐿𝐿ℎ𝐿𝐿𝑗𝑗 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑝𝑝𝑏𝑏𝑏𝑏𝑗𝑗𝑏𝑏𝑗𝑗𝐿𝐿𝐿𝐿𝑏𝑏 𝑏𝑏𝐿𝐿ℎ𝐿𝐿𝑗𝑗
Menurut Sartono (1996), “Rasio ini dapat dijadikan
sebagai indikator untuk mengetahui kepercayaan pasar
terhadap prospek pertumbuhan perusahaan”, rasio ini
menunjukkan seberapa besar investor bersedia membeli
saham yang tercermin dari kelipatan earning yang
dihasilkan oleh perusahaan.
suatu perusahaan yang memiliki PER yang tinggi,
berarti perusahaan tersebut mempunyai tingkat
pertumbuhan yang tinggi hal ini menunjukan bahwa pasar
mengharapkan pertumbuhan laba dimasa mendatang,
sebaliknya perusahaan dengan PER rendah akan
mempunyai tingkat pertumbuhan yang rendah, semakin
rendah PER suatu saham maka semakin baik atau murah
harga untuk diinvestasikan. PER menjadi rendah nilainya
bisa karena harga saham cendrung semakin menurun atau
karena meningkatnya laba bersih perusahaan. Jadi, semakin
rendah nilai PER maka semkin murah saham tersebut untuk
dalam menghasilkan laba bersih perusahaan, semakin baik
kinerja perlembar saham akan mempengaruhi banyak
investor untuk membeli saham tersebut.
Kesediaan investor untuk menerima kenaikan PER
sangat bergantung kepada prospek perusahaan. Perusahaan
dengan peluang tingkat pertumbuhan tinggi biasanya
mempunyai tingkat PER yang tinggi pula, sebaliknya
perusahaan dengan peluang tingkat pertumbuhan rendah
biasanya memiliki tingkat PER yang rendah pula. Price
earning ratio memiliki hubungan positif dengan harga
saham, sehingga jika price earning ratio meningkat maka
harga saham juga akan semakin besar, begitu juga tingkat
pengembalian investasi saham, dan sebaliknya.
H2 = PER berpengaruh positif terhadap harga saham
2.1.4.3 Return On Asset (ROA)
Menurut Mardiyanto (2009: 196), “ROA adalah
rasio digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas
Menurut Dendawijaya (2003: 120) Return On
Assets digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen
dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan”.
Semakin besar ROA, semakin besar pula tingkat
keuntungan yang dicapai oleh perusahaan tersebut dan
semakin baik pula posisi perusahaan tersebut dari segi
penggunaan asset.
Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196), “ROA
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur keuntungan
bersih yang diperoleh dari penggunaan aktiva”. Dengan
kata lain, semakin tinggi rasio ini maka semakin baik
produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih.
Hal ini selanjutnya akan meningkatkan daya tarik
perusahaan kepada investor. Peningkatan daya tarik
perusahaan menjadikan perusahaan tersebut makin diminati
investor, karena tingkat pengembalian akan semakin besar.
Hal ini juga akan berdampak bahwa harga saham dari
perusahaan tersebut di Pasar Modal juga akan semakin
meningkat sehingga ROA akan berpengaruh terhadap harga
saham perusahaan.
Menurut Lestari dan Sugiharto (2007: 196), “angka
ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%”. Return On Assets
diperoleh dari seluruh kekayaan yang dimiliki perusahaan,
karena itu dipergunakan angka laba setelah pajak dan
(rata-rata) kekayaan perusahaan.
tingkat pengembalian aktiva (ROA) dapat diukur
dengan formula sebagai berikut:
𝑃𝑃𝑏𝑏𝑅𝑅𝑗𝑗𝑏𝑏𝑦𝑦𝑂𝑂𝑦𝑦𝐴𝐴𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑅𝑅 = 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑅𝑅𝐿𝐿𝑗𝑗𝐴𝐴𝐴𝐴𝑅𝑅𝑏𝑏𝑑𝑑𝐿𝐿× 100%
Tinggi rendahnya Return On Asset tergantung pada
pengelolaan asset perusahaan oleh manajemen yang
menggambarkan efisiensi dari operasional perusahaan.
Semakin tinggi ROA semakin efisien operasional
perusahaan dan sebaliknya, rendahnya ROA dapat
disebabkan oleh banyaknya asset perusahaan yang
menganggur, investasi dalam persediaan terlalu banyak,
kelebihan uang kertas, aktiva tetap beroperasi dibawah
normal dan lain-lain.
Indikator ROA merupakan salah satu indikator
keuangan yang sering digunakan dalam menilai kinerja
perusahaan. Semakin besar ROA, maka kinerja perusahaan
tersebut semakin baik, karena tingkat kembalian (return)
akan meningkatkan return saham. ROA mempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap harga saham.
H3 = ROA berpengaruh positif terhadap harga saham
2.1.4.4 Net Profit Margin (NPM)
Menurut Alexandri (2008: 200), “Net Profit Margin
(NPM) adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan
bersih setelah dipotong pajak”.
Menurut Bastian dan Suhardjono (2006: 299), “Net
Profit Margin adalah perbandingan antara laba bersih
dengan penjualan”. Semakin besar NPM, maka kinerja
perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan
meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan
modalnya pada perusahaan tersebut. Rasio ini menunjukkan
berapa besar persentase laba bersih yang diperoleh dari
setiap penjualan. Semakin besar rasio ini, maka dianggap
semakin baik kemampuan perusahaan untuk mendapatkan
laba yang tinggi. Hubungan antara laba bersih sesudah
pajak dan penjualan bersih menunjukkan kemampuan
manajemen dalam mengemudikan perusahaan secara cukup
kompensasi yang wajar bagi pemilik yang telah
menyediakan modalnya untuk suatu resiko. Hasil dari
perhitungan mencerminkan keuntungan netto per rupiah
penjualan. Para investor pasar modal perlu mengetahui
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Dengan
mengetahui hal tersebut investor dapat menilai apakah
perusahaan itu profitable atau tidak. Menurut Sulistyanto
(tanpa tahun: 7) angka NPM dapat dikatakan baik apabila >
5 %.
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑁𝑁𝑏𝑏𝑅𝑅𝐸𝐸𝑏𝑏𝑇𝑇𝑝𝑝𝑏𝑏𝑅𝑅𝑀𝑀𝐿𝐿𝑏𝑏𝑦𝑦𝑏𝑏𝑦𝑦= 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ
𝐸𝐸𝑏𝑏𝑦𝑦𝑗𝑗𝑗𝑗𝐿𝐿𝑗𝑗𝐿𝐿𝑦𝑦 × 100%
Dengan semakin meningkatnya keuntungan (laba
bersih setelah pajak) akan mencerminkan bagian laba
dalam bentuk capital gain maupun dividend gain yang
diterima oleh pemegang saham semakin besar. Dengan
demikian para investor atau calon investor lain akan tertarik
untuk menanamkan dananya ke dalam perusahaan tersebut.
Berdasarkan konsep tersebut maka NPM berpengaruh
positif terhadap saham. NPM berpengaruh positif dan
H4 = NPM berpengaruh positif terhadap Harga saham
2.1.4.5 Debt To Equity Ratio (DER)
Debt to Equity Ratio merupakan indikator struktur
modal dan risiko finansial, yang merupakan perbandingan
antara hutang dan modal sendiri. Menurut Purwanto dan
Haryanto (2004), “Bertambah besarnya Debt to Equity
Ratio suatu perusahaan menunjukkan risiko distribusi laba
usaha perusahaan akan semakin besar terserap untuk
melunasi kewajiban perusahaan”.
Debt to Equity Ratio adalah rasio yang
menunjukkan persentase penyedia dana oleh pemegang
saham terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio,
semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan
oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan
membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio
akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka panjangnya.
Secara matematis Debt to Equity ratio dapat
dirumuskan sebagai berikut :
𝐷𝐷𝐸𝐸𝑃𝑃 = 𝐾𝐾𝑏𝑏𝐾𝐾𝐿𝐿𝑗𝑗𝑏𝑏𝐿𝐿𝐿𝐿𝑦𝑦
Debt to Equity Ratio digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam menutup sebagian atau
seluruh hutang-hutangnya baik jangka panjang maupun
jangka pendek dengan dana yang berasal dari total modal
dibandingkan besarnya hutang. Oleh karena itu, semakin
rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan
untuk membayar seluruh kewajibannya. Semakin besar
proporsi hutang yang digunakan untuk struktur modal suatu
perusahaan, maka akan semakin besar pula jumlah
kewajibannya. semakin tinggi DER menunjukan tingginya
ketergantungan permodalan perusahaan terhadap pihak luar
sehingga beban perusahaan juga semakin berat, tentunya
hal ini akan mengurangi hak pemegang saham dalam
bentuk deviden. Sehingga investor kurang tertarik terhadap
perusahaan yang memiliki nilai DER yang tinggi yang
mengakibatkan turunnya penawaran investor dan turunnya
harga saham perusahaan tersebut.
2.2 Penelitian Terdahulu
Ringkasan tinjauan penelitian terdahulu :
Nama Peneliti Judul Penelitian
Lenny Kielsan 2010
2.3 Kerangka Konseptual
Berdasarkan uraian diatas kerangka yang menjadi dasar penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Pengaruh EPS, PER, ROA, NPM dan DER terhadap Harga Saham Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk
diuji secara empiris. Proposisi merupakan ungkapan atau pernyataan yang
dapat dipercaya, disangkal atau diuji kebenarannya mengenai konsep atau
konstruk yang menjelaskan atau memprediksi fenomena-fenomena.
Dengan demikian, hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang Harga
Saham
(Y) Earning Per share (EPS)
X1
Price Earnings Ratio (PER)
X2
Net Profit Margin (NPM)
X4
Debt to Equity Rasio (DER)
X5
Return On Asset (ROA)
perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan
terjadi.
2.4 Pengembangan Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
H1 Earning Per Share (EPS) berpengaruh positif terhadap harga
saham perusahaan perbankan.
H2 Price Earning Ratio (PER) berpengaruh positif terhadap harga
saham perusahaan perbankan.
H3 Return On Asset (ROA) berpengaruh positif terhadap harga saham
perusahaan perbankan.
H4 Net Profit Margin (NPM) berpengaruh positif terhadap harga
saham perusahaan perbankan.
H5 Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap harga
saham perusahaan perbankan.
H6 Earning Per Share (EPS), Price Earning Ratio (PER), Return On
Asset (ROA), Net Profit Margin (NPM) dan Debt to Equity Ratio
(DER) secara bersama-sama berpengaruh terhadap harga saham