Bentuk Ulang Sama Bentuk tetapi Berbeda Makna
dalam Kalimat Bahasa Indonesia
Disusun oleh
Irena Wahyu Tri Muncarwati 024114009
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Penget ahuan adalah cint a cahaya dan visi
Hellen kelle
r
Orang selalu menyala hkan keadaan. Aku tak percaya akan keadaan. Orang yang berhasil di dunia adalah orang yang bangkit dan mencari
keadaan yang mereka inginkan, dan kalau mereka tak menemukan, mereka akan menciptakannya.
George Bernard Shaw
Pertama-tama, katakan pada dirimu apa yang akan kau raih; lalu lakukan apa yang perlu kau lakukan.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 19 Januari 2007
Penulis
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang MahaKuasa atas segala rahmat
dan berkat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan serta
bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk
itu pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Hery Antono, M. Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan memberikan
dukungan, masukan, semangat dan saran yang sangat berguna demi
penyempurnaan skripsi ini.
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah
dengan sabar berkenan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
3. Staf dosen Jurusan Sastra Indonesia. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., Drs. P. Ari
Subagyo, M. Hum., Peni Adji, S.S., M.Hum., Drs. Yoseph Yapi Taum, M.
Hum., Drs. F.X. Santosa, M. S., dan Dra. Fr. Tjandrasih, M. Hum., terima
kasih atas bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan
Sastra Indonesia.
4. Staf sekretariat fakultas Sastra yang sudah dengan sabar membantu
5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang sudah menyediakan
jasanya saat penulis memb utuhkan bantuan.
6. Kedua orang tuaku Bapak M. Sudaryanto dan Ibu Yohana, kakak-kakakku
Antonius Cipto Tri W., Marselina Lilies D.Y., M. Ika Widyanigrum, dan
keponakanku Cecilia Meika Putri S atas doa dan dukungannya.
7. Anastasia Ratna atas bantuannya dalam pembuatan abstrak terutama
terjemahannya dalam bahasa Inggris, serta Cecilia Meiriana Puspa atas
kesediannya meminjamkan laptopnya sampai penulis menyelesaikan skripsi
ini.
8. Sahabatku Muntaza, Ari Khusrini, Puput Sekar Kustanti, dan FX. Totok
Widiyantoro atas dorongan semangat, kebersamaan dan persahabatan yang
menyenangkan.
9. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Angkatan 2002, terima
kasih atas dukungan dan semangatnya.
10.Teman-teman kos Pringgondani 13 terima kasih atas dukungan semangat
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan juga atas
kebersamaannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Rumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan Penelitian... 2
1.4 Manfaat Penelitian... 3
1.5 Tinjauan Pustaka ... 3
1.6 Landasan Teori... 6
1.6.1 Reduplikasi... 6
1.6.2 Makna ... 7
1.6.4 Semantik ... 11
1.6.5 Konteks... 11
1.7 Metode Penelitian... 12
1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 12
1.7.2 Metode Analisis Data ... 12
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data... 14
1.8 Sistematika Penyajian ... 14
BAB II MAKNA BENTUK ULANG SAMA BENTUK DALAM KALIMAT YANG BERBEDA KONTEKS... 15
2.1 Pengantar ... 15
2.2 Faktor Internal... 15
2.2.1 Bentuk Ulang Sama Bentuk, Berbeda Makna Bentuk Dasar... 16
2.2.2 Bentuk Ulang Sama Bentuk Berbeda Bentuk Dasar ... 22
2.2.3 Bentuk Ulang Sama Bentuk Dasar, Berbeda Jenis Makna Bentuk Ulang ... 26
2.2.4 Bentuk Ulang Sama Bentuk Dasar, Berbeda Maksud Tuturan... 30
2.2.5 Bentuk Ulang Sama Bentuk, Berbeda Pembentukan Kata ... 34
2.2.6 Bentuk Ulang Sama Bentuk, Leksikalisasi dan Gramatikalisasi ... 36
2.3 Faktor Eksternal ... 42
2.3.1 Perkembangan Sosial dan Budaya ... 42
2.3.2 Perbedaan Bidang Pemakaian... 44
BAB III PENUTUP ... 51
3.1 Kesimpulan... 51
3.2 Saran... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
DAFTAR SUMBER DATA ... 55
ABSTRAK
Muncarwati, Irena Wahyu Tri. 2006. “Bentuk Ulang Sama Bentuk tetapi Berbeda Makna dalam Kalimat Bahasa Indonesia”. Skripsi Strata I (S-I). Program studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan menelaah keberagaman makna yang ditimbulkan dari bentuk ulang sama bentuk yang digunakan dalam kalimat berbeda. Perbedaan makna yang ditimbulkan bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat berbeda dapat dilihat dari tipe dan jenis bentuk ulang yang membentuknya. Di samping itu, dilihat juga sebab-sebab apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan makna bentuk ulang sama bentuk.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis, yaitu (i) tahap pengumpulan data, (ii) tahap analisis data, (iii) tahap penyajian analisis data. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak, yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak pemakaian atau penggunaan bentuk ulang sama bentuk dalam kalimat bahasa Indonesia. Teknik yang digunakan adalah teknik sadap, yaitu mencermati bentuk ulang sama bentuk dan teknik catat, yaitu mencatat data ke dalam kartu data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode agih dan metode padan. Metode padan, yaitu metode penelitian yang menggunakan bahasa itu sendiri sebagai penentunya. Teknik yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung dilanjutkan dengan dengan teknik ganti yaitu teknik yang mengganti unsur satuan lingual yang bersangkutan dengan sinonimnya, teknik lesap yaitu teknik melesapkan atau menghilangkan unsur satuan lingual yang bersangkutan, dan teknik perluas yaitu teknik yang dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang bersangkutan kekanan atau kekiri dan perluasan itu menggunakan unsur-unsur tertentu. Metode berikutnya adalah metode padan dengan teknik referensial. Metode yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data adalah metode informal yaitu penyajian hasil analisis data dengan perumusan kata-kata biasa.
ABSTRACT
Muncarwati, Irena Wahyu Tri. 2006. “The Same Form of Reduplication but Different Meaning in Sentence of Bahasa Indonesia”. Thesis Strata I. Indonesian Letter Study Program. Letter Departement, Sanata Dharma University.
The purpose of this research is to find out the variety of meaning that occurs in the same form of reduplication form in different sentence. The difference of meaning created by the same form of reduplication form that occur in different sentences can be seen from the type and variety of reduplication form that formed it, and the factors that can support the difference of meaning in the same form of reduplication form.
The type of the research is a descriptive research, which is a research that described the research object based on the existing fact. This research held through three strategic levels, they are (i) data gathering, (ii) data analysis, (iii) data presentation. The method used in data gathering is menyimak method, which is data gathering method that is done by listening to the usage of the same form of reduplication form in Bahasa Indonesia sentence. The technique used in the research is sadap, a technique of paying attention to the same form of reduplication form and record technique, which is take a note of data inside the data card. The method used in data analysis is agih method and padan method. Agih method which is a method which used the language it self as the decision. The used technique is a technique for all direct element continued by repeated technique which is a technique that repeated the lingual single element which connected with the synonym, lesap technique, a technique to vanish the lingual single element which connected to each other, and perluas technique, a technique that is done by widening connected single lingual element to the left or to the right and the technique uses specific elements. The next method is padan method with referential techiques. The method used in the presentation of data analysis result is informal method, which is the presentation of data analysis result with the formulation of regular language
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dilatarbelakangi bentuk
ulang yang sama bentuknya dalam beberapa kalimat, tetapi memiliki makna yang
berbeda. Hal ini dapat dilihat dalam contoh di bawah ini:
(1) Kami berfoto di antara pilar-pilar gedung pusat UGM.
(2) Hal ini memang sebagai pilar-pilar penyangga pelestari budaya Jawa
yang berkedudukan di Yogya. (KR, 20 Mei 2006)
Bentuk ulang pilar-pilar pada kalimat (1) berbeda maknanya dengan bentuk
ulang pilar-pilar pada kalimat (2). Pada kalimat (1) bentuk ulang pilar-pilar bermakna
seperti makna leksikalnya yaitu bermakna ‘tiang penguat’. Hal itu dapat dibuktikan
dengan teknik ganti. Bentuk ulang pilar-pilarpada kalimat (1) dapat diganti dengan
sinonimnya yaitu tiang-tiang. Seperti dapat dilihat dalam kalimat (1a) berikut:
(1a) kami berfoto di antara tiang-tiang gedung pusat UGM.
Teknik ganti seperti yang diterapkan dalam kalimat (1a) semakin memperjelas
makna yang ingin dituju oleh bentuk ulang pilar-pilar dalam kalimat (1) yaitu
bermakna ‘tiang penguat’.
Lain halnya dengan bentuk ulang pilar-pilar yang terdapat dalam kalimat (2).
tetapi menjadi bermakna ‘dasar (yang pokok)’ karena digunakan dalam bahasa
kiasan. Pembuktian yang dapat dilakukan Pada kalimat (2) adalah dengan teknik
ganti seperti yang diterapkan dalam kalimat (1). Bentuk ulang pilar-pilar dalam
kalimat (2) diganti dengan sinonimnya yaitu dasar-dasar, sehingga perbedaan makna
yang dihasilkan bentuk ulang pilar-pilar dalam kalimat (1) dan (2) menjadi semakin
jelas.
(2a) hal ini memang sebagai dasar-dasar penyangga pelestari budaya
jawa yang berkedudukan di yogya.
Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa bentuk ulang sama bentuk, apabila
digunakan dalam kalimat berbeda akan mempunyai makna yang berbeda.
Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik menelaah lebih dalam tentang
penggunaan bentuk ulang sama bentuk yang jika digunakan dalam kalimat berbeda
akan membentuk makna yang berbeda.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini adalah faktor penyebab apa saja yang muncul dari penggunaan bentuk
1.3Tujuan Penelitian
Dengan melihat pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah
Mendeskripsikan hal- hal apa saja yang mendasari terjadinya perbedaan makna bentuk
ulang sama bentuk tersebut.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada proses pengajaran
bahasa Indonesia bagi orang asing. Penelitian ini dapat membantu para pengajar
dalam menjelaskan keberagaman penggunaan bentuk ulang yang sama bentuknya
dalam kalimat bahasa Indonesia yang memiliki makna berbeda apabila digunakan
dalam kalimat berbeda. Melalui penelitian ini para pengajar diharap dapat
memberikan informasi kepada para penutur asing tentang hal-hal apa saja yang
menyebabkan perbedaan makna bentuk ulang sama bentuk.
1.5Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, sejauh pengamatan yang dilakukan oleh peneliti,
terdapat penelitian terdahulu yang membahas tentang bentuk ulang. Penelitian
tersebut dilakukan oleh Simatupang (1983), Ada (2003), Darjowidjojo (melalui Ada,
2003:11), Winarti, dkk (2000), dan Setianingrum (2004). Simatupang (1983) mendeskripsikan reduplikasi morfemis dalam bahasa Indonesia untuk melihat
bentuknya. Bentuk kata ulang yang dimaksud adalah kata ulang yang derivasional
dan makna kata ulang yang bebas konteks dan terikat konteks.
Ada (2003: 118) melakukan penelitian tentang pemerolehan morfologi bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama pada Ngaisia, anak usia tiga tahun. Bidang
morfologi meliputi afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Salah satu hal yang berkaitan
dengan penelitian ini adalah reduplikasi. Salah satu masalah yang dibahas ialah
seberapa tinggi frekuensi kemunculan reduplikasi dan urutan waktu pemerolehannya.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa reduplikasi
mempunyai presentase sebanyak 26% dari keseluruhan pemakaian afiksasi.
Pemerolehan reduplikasi tersebut didominasi oleh reduplikasi seluruh atau utuh
sebanyak 84%, reduplikasi sebagian sebanyak 11% dan redup likasi salin suara
sebanyak 5%. Dalam penelitian tersebut, pemerolehan yang berkombinasi dengan
pembubuhan afiks tidak ditemui.
Dardjowidjoyo (melalui Ada, 2003:11) meneliti pemerolehan bahasa Echa
sejak usia dua belas bulan pertama hingga dua belas bulan kelima. Komponen
kebahasaan yang diteliti mencangkup semua tataran linguistik. Dalam hal ini
pemerolehan reduplikasi, dardjowidjoyo mengakui bahwa bentuk yang paling sering
muncul adalah bentuk yang merupakan reduplikasi total seperti terlihat pada kata
lihat- lihat.
Winarti, dkk (2000) melakukan penelitian yang berkaitan dengan kata ulang.
Penelitian tersebut membicarakan tentang kata ulang dalam bahasa Indonesia yang
segi kategori. Kata ulang dalam bahasa Indonesia terdiri atas beberapa kategori yaitu
kata ulang yang berkategori verba, adjektiva, adverbial, dan nomina. Pada tataran
frasa, kata ulang yang berkategori verba, adjektiva, adverbial, dan nomina dapat
berfungsi sebagai induk dan pewatas. Pada tataran klausa, kata ulang yang
berkategori verba dapat berfungsi sebagai subjek dan predikat. Kata ulang yang
berkategori adjektiva, dapat berfungsi sebagai predikat dan pelengkap atau
keterangan. Kata ulang yang berkategori adverbial, dapat berfungsi sebagai atribut
atau keterangan. Kata ulang yang berkategori nomina, dapat berfungsi sebagai subjek,
predikat, objek, maupun pelengkap. Pada tataran kalimat, predikat verba ulang dapat
mempengaruhi konstituen yang berada di sebelah kiri dan berfungsi sebagai subjek.
Dari pemaparan mengenai penelitian yang dilakukan oleh winarti, dapat
diketahui bahwa penelitian tersebut lebih difokuskan pada struktur kata ulang yang
berkategori verba, adjektiva, adverbia, dan nomina pada tataran frasa dan kalimat.
Setianingrum (2004) dalam skripsinya yang berjudul Penggunaan Kata Ulang
dalam Karangan Siswa Kelas I SMU Kristen Wonosobo Tahun Ajaran 2003/2004
melakukan penelitian tentang jenis-jenis kata ulang apa saja yang digunakan siswa
kelas I SMU Kristen Wonosobo, dan dalam kaitannya dengan kata ulang adalah
frekuensi tiap jenis kata ulang yang terdapat dalam karangan. Hasil yang didapat
dalam penelitian tersebut adalah bahwa jenis kata ulang yang digunakan siswa dalam
karangan adalah (1) pengulangan seluruhnya, ((2) pengulangan sebagian, (3)
pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks, dan (4)
dalam karangan dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) frekuensi penggunaan tiap
jenis kata ulang dan (2) frekuensi kebenaran tiap jenis kata ulang dalam karangan.
Pertama, frekuensi penggunaan tiap jenis kata ulang adalah sebagai berikut: (1)
pengulangan seluruh sebesar 70,03%, (2) pengulangan sebagian sebesar 23,08%, (3)
pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks sebesar 5,99%,
dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem sebesar 0,9%. Kedua, frekuensi tiap
jenis kata ulang yang benar penggunaannya dalam karangan adalah sebagai berikut:
(1) pengulangan yang berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks sebesar 100%,
(2) pengulangan sebagian sebesar 93,51%, (3) pengulangan seluruh sebesar 86,73%,
dan (4) pengulangan dengan perubahan fonem sebesar 77,78%.
Berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah disebutkan sebelumnya,
penelitian ini lebih difokuskan pada keberagaman makna yang muncul dari
penggunaan bentuk ulang yang sama bentuk, yang dapat memiliki makna berbeda
jika digunakan dalam kalimat yang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga akan
menelaah tentang sebab-sebab apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya
perbedaan makna bentuk ulang yang sama bentuk dalam kalimat-kalimat bahasa
Indonesia.
1.6Landasan Teori
Beberapa hal yang perlu digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan
masalah- masalah yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah
1.6.1 Reduplikasi
Pengulangan atau reduplikasi merupakan suatu proses morfologis yang
banyak sekali terdapat pada bahasa-bahasa di dunia ini (Samsuri 1987:191). Proses
pengulangan atau reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatikal, seluruhnya
maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan
itu di sini disebut kata ulang, sedangkan satuan yang diulang merupakan bentuk dasar
(Ramlan 1997:63). Misalnya, kata ulang rumah-rumah berasal dari bentuk dasar
rumah. Kata ulang berjalan-jalan berasal dari bentuk dasar berjalan. Definisi tentang
kata ulang juga dikemukakan oleh Chaer (1988: 332) sebagai kata yang terbentuk
sebagai hasil dari proses pengulangan. Pengulangan tersebut dapat dilakukan dengan
kata dasar maupun kata berimbuhan. Kedua definisi tersebut menyebutkan bahwa
kata ulang merupakan kata yang mengalami proses pengulangan, tetapi Chaer belum
menyinggung bentuk dasar seperti yang diungkapkan oleh Ramlan. Alisjahbana
(1974: 65) menyebutkan bahwa kata ulang ialah kata yang terjadi karena pengulangan
kata dasar.
1.6.2 Makna
Makna adalah pertautan yang ada antara satuan bahasa yang dapat
dihubungkan dengan makna gramatikal (Djajasudarma, 1993:13). Sedangkan
menurut pendapat plato dalam suatu percakapan yang berjudul “Cratylos”
menyatakan bahwa makna adalah objek yang dihayati di dunia nyata berupa rujukan,
bahasa tradisional makna kata adalah “konsep” yang berkaitan dengan bentuk kata
dalam pikiran penutur-penutur bahasa. (Lyons, 1995:397)
1.6.3 Jenis-jenis Makna
Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia. Pada halaman 61-80 membedakan jenis atau tipe makna berdasarkan
beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya dibedakan
antara makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal dapat diartikan sebagai
makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem atau bersifat kata. Dapat pula dikatakan
makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Kalau makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka
makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal
seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Makna gramatikal
sering pula disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu, bisa juga
disebut makna struktural karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu
berkenaan dengan struktur ketatabahasaan.
Berbeda dengan Abdul Chaer, Djajasudarma (1993:13) dalam bukunya yang
berjudul Semantik II Pemahaman Ilmu Makna mengungkapkan bahwa makna
gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang
muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Pengertian lain
mengenai makna gramatikal adalah makna yang terjadi karena adanya pertemuan
bentuk tuturan yang ada dalam kamus. Ada pula yang mengatakan makna leksikal
adalah makna kata-kata pada waktu berdiri sendiri, baik dalam bentuk turunan
maupun dalam bentuk dasar. Demikian pula pertemuan unsur- unsur dalam suatu frase
dapat menimbulkan hubungan makna (Ramlan 1987:163).
Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata atau leksem dapat
dibedakan atas makna referensial dan makna non referensial. Perbedaan makna
referensial dan makna non referensial berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata
itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu
oleh kata itu, maka kata tersebut bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak
mempunyai referen, maka kata-kata itu disebut bermakna nonreferensial.
Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem dapat
dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif. Bertolak dari kutipan istilah
yang digunakan Slametmoeljana dalam bukunya, Abdul Chaer mendefinisikan
perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai
rasa” pada sebuah kata. Setiap kata, terutama kata penuh, mempunyai makna
denotatif, tetapi tidak setiap kata mempunya i makna konotatif. Sebuah kata disebut
mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif
maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki
konotasi, tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna denotatif pada dasarnya
sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Makna denotatif ini menyangkut
informasi- informasi faktual objektif.
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna
istilah atau makna umum dan makna khusus. Makna kata adalah makna yang baru
menjadi jelas apabila digunakan dalam kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat,
maka makna katanya menjadi kabur atau tidak jelas. berbeda dengan makna istilah
yang memiliki makna tetap atau pasti. Kepastian dan ketetapan makna istilah itu
disebabkan karena istilah itu hanya digunakan dalam kegiatan atau keilmuan tertentu.
Sehingga apabila tidak ada konteks kalimatnya pun, makna istilah itu sudah pasti.
Lalu berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebut adanya
makna-makna asosiatif, kolokatif, idiomatik dan peribahasa, serta makna kias. Makna
asosia tif sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh
suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Makna asosiatif dapat
juga didefinisikan sebagai makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan
adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya kata melati yang
digunakan sebagai lambang ‘kesucian’. Makna kolokatif berkenaan dengan makna
kata dalam kaitannya dengan kata lain yang mempunyai “tempat” yang sama dalam
sebuah frase.
Makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frase, atau
kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal makna gramatikal unsur-unsur
pembentuknya. Berbeda dengan makna idiomatik yang dapat diramalkan baik secara
adanya asosiasi atau urutan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur
pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Makna kias
adalah makna dimiliki semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang
tidak merujuk pada makna sebenarnya (makna leksikal, makna konseptual, makna
denotatif). Dalam penelitian ini akan dibahas hubungan makna yang terjadi karena
perpaduan komponen kata ulang dengan kalimat secara keseluruhan.
1.6.4 Semantik
Semantik menurut Chaer (1990:2) adalah bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Dalam pengertian umum, semantik
menurut wijana (melalui Sobur, 2001:78) adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah
makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Makna
leksikal adalah makna unit semantik yang terkecil yang disebut leksem, sedangkan
makna gramatikal adalah makna yang terbentuk dari penggabungan satuan-satuan
kebahasaan. Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal
(local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan
antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks (Sobur,
2001:78).
1.6.5 Konteks
Latar yang berupa gejala-gejala sosial-situasional. Dalam hal ini, konteks bisa
amat luas, menyangkut gejala- gejala sosial-situasional (Subagyo,__:36).
Sedangkan menurut Rahardi (2003:20) konteks tuturan dapat pula diartikan
diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur,
serta yang didukung oleh interpretasi mitra tutur atas apa yang di maksudkan oleh si
penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan tiga tahap strategi, yaitu pengumpulan data,
analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Setiap tahap menggunakan metode
tertentu dan teknik tertentu.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah metode simak, yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
menyimak pemakaian atau penggunaan bahasa (Sudaryanto 1988:2-5). Teknik yang
digunakan adalah teknik catat. Maksudnya adalah penulis melakukan pencatatan
terhadap suatu data yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik
pengumpulan data ini diawali dengan mencari dan mengumpulkan data-data tertulis
dan lisan dari berbagai sumber yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan
penelitian. Data yang sudah terkumpul kemudian dicatat pada kartu data agar
nantinya dapat memudahkan proses analisis data.
1.7.2 Metode Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dan dicatat pada kartu data, tahap selanjutnya
adalah tahap analisis data. Tahap analisis data ini dilakukan dengan menggunakan
dalam bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Teknik dasar dari metode agih adalah
teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). BUL adalah teknik yang membagi satuan
lingual datanya menjadi beberapa bagian (Sudaryanto, 1993:31). Teknik ini
digunakan untuk memperjelas bagian yang nantinya akan diteliti.
Setelah teknik BUL, data dianalisis dengan teknik lanjutan, yaitu teknik ganti,
teknik lesap, dan teknik perluas. Teknik ganti adalah teknik yang digunakan dengan
cara mengantikan unsur lingual yang sedang dianalisis dengan sinonimnya. Teknik
ini digunakan untuk membuktikan kesamaan kelas makna unsur terganti dengan
unsur penganti (Sudaryanto, 1993:48). Teknik lesap adalah teknik analisis yang
berupa penghilangan atau pelesapan uns ur satuan lingual. Teknik lesap digunakan
untuk membuktikan bahwa pelesapan yang terjadi pada bentuk ulang sama bentuk
dapat menyebabkan perbedaan makna katanya. Teknik perluas adalah teknik yang
dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang bersangkutan ke kanan atau ke
kiri dengan menggunakan unsur-unsur tertentu. Teknik ini dimaksudkan untuk
membuktikan atau memperjelas makna yang sebenarnya dituju bentuk ulang sama
bentuk yang digunakan dalam kalimat berbeda.
Metode kedua yang digunakan dalam pene litian ini adalah metode padan.
Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa
(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Teknik dasar yang digunakan
dalam metode padan adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Adapun alat yang
digunakan teknik dasar PUP ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh
menggunakan daya pilah sebagai pembeda referent untuk menganalisis keberagaman
makna yang disebabkan bentuk ulang sama bentuk. Teknik lanjutan yang digunakan
adalah teknik hubung banding memperbedakan (HBB).
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data yang sudah selesai dilakukan harus dilaporkan dalam suatu
laporan. Oleh karena itu diperlukan suatu cara yaitu teknik penyajian hasil analisis
data. Setelah penulis menganalisis data, hasil analisis tersebut selanjutnya disajikan
dalam bentuk laporan. Penulis menggunakan kata-kata biasa untuk melaporkan hasil
analisis data.
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam empat bab. Bab I berupa
pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik
penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II merupakan uraian tentang
makna-makna apa saja yang timbul dari penggunaan bentuk ulang sama bentuk dalam
kalimat bahasa Indonesia. Bab III berisi uraian tentang sebab-sebab yang mendasari
perbedaan makna pada bentuk ulang sama bentuk. Bab IV berisi kesimpulan dan
BAB II
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERBEDAAN
MAKNA BENTUK ULANG SAMA BENTUK.
2.1 Pengantar
Bab ini memaparkan faktor penyebab terjadinya perbedaan makna
bentuk ulang sama bentuk ya ng digunakan dalam kalimat yang berbeda. Perbedaan
makna yang dihasilkan bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat
berbeda dapat disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor ekstenal bentuk
ulang sama bentuk.
2.2 Faktor Internal
Faktor internal adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan makna bentuk ulang sama bentuk yang digunakan dalam kalimat
berbeda. Faktor internal ini dapat dilihat melalui tipe atau jenis bentuk ulang
sama bentuk yang membentuknya. Tipe atau jenis bentuk ulang tersebut meliputi
bentuk ulang sama bentuk berbeda makna bentuk dasar, bentuk ulang sama
bentuk berbeda bentuk dasar, bentuk ulang sama bentuk berbeda jenis makna
bentuk ulang, bentuk ulang sama bentuk berbeda maksud tuturan, bentuk ulang
sama bentuk berbeda pembentukan kata, dan bentuk ulang sama bentuk
2.2.1 Bentuk Ulang Sama Bentuk, Berbeda Makna Bentuk Dasar
Bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat yang berbeda
konteksnya pasti memiliki perbedaan makna. Salah satu hal yang
menyebabkan perbedaan makna bentuk ulang sama bentuk yang ditemui
dalam kalimat berbeda konteks disebabkan bentuk ulang tersebut berasal dari
bentuk dasar yang berbeda. Perbedaan bentuk dasar tersebut secara langsung
mempengaruhi makna yang dihasilkan. Perbedaan makna yang dihasilkan dari
bentuk ulang sama bentuk yang berasal dari bentuk dasar berbeda dapat
dilihat dalam contoh kalimat dibawah ini.
(3) Romo Daru, pastor agak tua yang suaranya selalu didengar dalam
rapat-rapat keuskupan. (Saman: 41)
(4) Setiap kali pergi kerja kamar itu tertutup rapat-rapat. (CPTCC: 89)
Pada contoh (3) dan (4) bentuk ulang rapat-rapat yang terdapat dalam
contoh kalimat di atas berasal dari bentuk dasar yang berbeda. Perbedaan
bentuk dasar tersebut mengakibatkan makna yang dihasilkan menjadi berbeda.
Pada kalimat (3) bentuk ulang rapat-rapat (untuk selanjutnya disebut bentuk
ulang rapat-rapat1) berasal dari bentuk dasar rapat yang bermakna ‘kegiatan
yang dilakukan untuk membicarakan sesuatu’. Berbeda dengan bentuk ulang
rapat-rapat (untuk selanjutnya disebut bentuk ulang rapat-rapat2) dalam
kalimat (4) yang berasal dari bentuk dasar rapat yang bermakna ‘hampir tidak
Perbedaan makna yang terjadi dalam kalimat (3) dan (4) semakin
diperjelas dengan adanya proses perulangan dan penggunaanya dalam kalimat
berbeda. Perbedaan makna yang terjadi dalam kalimat (3) dan (4) dapat
dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti yang diterapkan langsung
dalam kalimat (3) dan (4). Pembuktian dengan menggunakan teknik ganti
dimaksudkan agar perbedaan makna bentuk ulang rapat-rapat yang digunakan
dalam kalimat (3) dan kalimat (4) dapat diketahui dengan jelas. Penggantian
yang diterapkan adalah dengan menggunakan sinonim dari bentuk ulang.
Seperti dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini.
(3a) Romo Daru, pastor agak tua yang suaranya selalu didengar dalam
pertemuan-pertemuan keuskupan.
(4a) Setiap kali pergi kerja kamar itu tertutup tanpa bercelah.
Dari kalimat di atas dapat diketahui bahwa dalam kalimat (3a) bentuk
ulang rapat-rapat1 setelah diganti dengan sinonim kata pertemuan-pertemuan
menjadi jelas diketahui bermakna ‘kegiatan yang dilakukan untuk
membicarakan sesuatu’. Sama halnya dengan bentuk ulang rapat-rapat2 dalam
kalimat (4a). Bentuk ulang rapat-rapat2 setelah diganti dengan sinonimnya
yaitu tanpa bercelah, maknanya juga menjadi semakin jelas yaitu bermakna
‘hampir tidak berantara’. Teknik ganti yang diterapkan untuk membuktikan
perbedaan makna bentuk ulang rapat-rapat dalam kalimat (3) dan (4) memang
sudah dilakukan, tetapi untuk dapat meyakinkan perbedaan makna itu, perlu
pertukaran kata ganti ini juga dimaksudkan untuk membuktikan bahwa
perbedaan kalimat yang digunakan juga merupakan salah satu hal penting
yang dapat mempengaruhi pembentukan makna sebuah kata. Seperti dalam
kalimat berikut ini.
(3b) *Romo Daru, pastor agak tua yang suaranya selalu didengar dalam
tanpa celah keuskupan.
(4b) *Setiap kali pergi kerja kamar itu tertutup pertemuan-pertemuan.
Pertukaran sinonim bentuk ulang rapat-rapat seperti yang diterapkan
kalimat (3b) dan (4b) tidak dapat berterima dalam bahasa Indonesia, karena
kalimat yang dihasilkan dari proses pertukaran tersebut tidaklah mengandung
suatu informasi. Dalam kalimat (3b) kata tanpa celah yang merupakan
sinonim dari bentuk rapat-rapat2 tidak dapat menjelaskan informasi yang ingin
dituju oleh penutur. Sama halnya dengan yang terdapat dalam kalimat (4b).
Kata ulang pertemuan-pertemuan yang merupakan sinonim dari bentuk ulang
rapat-rapat1 jika diletakkan dalam kalimat (4b) tidak dapat diterima dalam
bahasa Indonesia karena tidak memiliki kesatuan makna.
Contoh lain mengenai bentuk ulang sama bentuk tetapi berasal dari
bentuk dasar yang memiliki makna dasar berbeda, dapat diperhatikan dalam
contoh dibawah ini.
(5) Telah sering aku curiga bahwa kebanyakan raksasa bukan berasal dari
India, melainkan menumpang kapal-kapal Eropa yang mencari
(6) Kapal-kapal kasar itu terbentuk dengan sendirinya karena mata
pencariannya sebagai seorang petani yang mengharuskan ia
mencangkul setiap hari.
Pada kalimat (5) dan (6) bentuk ulang kapal-kapal memiliki makna
berbeda. Perbedaan makna tersebut dikarenakan bentuk dasar dari bentuk
ulang kapal-kapal dalam kalimat (5) dan (6) berbeda. Pada kalimat (5), bentuk
ulang kapal-kapal berasal dari bentuk dasar kapal yang bermakna ‘kendaraan
pengangkut penumpang dan barang di laut’. Berbeda dengan bentuk ulang
kapal-kapal yang terdapat dalam kalimat (6). Bentuk ulang kapal-kapal yang
terdapat dalam kalimat (6) berasal dari bentuk dasar kapal yang bermakna
‘kulit yang menebal dan mengeras’. Perbedaan bentuk dasar tersebut
mengakibatkan makna yang dihasilkan menjadi berbeda, sehingga referen
yang dirujuk juga berbeda.
Perbedaan makna bentuk ulang kapal-kapal seperti yang terdapat
dalam kalimat (5) dan (6) memang diketahui berasal dari bentuk dasar yang
berbeda, tetapi hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan makna
adalah konteks kalimat. Konteks kalimat (5) dan (6) memang mendukung
perbedaan makna. Pembuktian yang dapat dilakukan untuk memperjelas
makna yang dituju bentuk ulang kapal-kapal dalam kalimat (5) dan (6) adalah
dengan menggunakan teknik perluas. Pembuktian dengan menggunakan
teknik perluas dimaksudkan untuk memperjelas bahwa bentuk ulang
kapal-kapal dalam kalimat (6). Pembuktian dengan teknik perluas ini juga
dimaksudkan untuk menganalisis apakah setelah mengalami proses perluasan,
bentuk ulang kapal-kapal dalam kalimat (5) dan (6) tetap memiliki suatu
kesatuan informasi dan dapat diterima dalam bahasa Indonesia. Perluasan
bentuk ulang kapal-kapal dapat dilihat seperti dalam kalimat di bawah ini.
(5a) Telah sering aku curiga bahwa kebanyakan raksasa bukan berasal
dari India, melainkan menumpang kapal-kapal laut milik orang
Eropa yang mencari rempah-rempah ke Hindia.
(6a) Kapal-kapal tangan yang terasa kasar itu terbentuk dengan
sendirinya karena mata pencariannya sebagai seorang petani yang
mengharuskan ia mencangkul setiap hari.
Perluasan bentuk ulang kapal-kapal seperti yang terdapat dalam
kalimat (5a) dan (6a) berbeda satu dengan lainnya. Pada kalimat (5a) bentuk
ulang kapal-kapal diperluas ke kanan dengan menambahkan frase laut milik
orang. Setelah mengalami proses perluasan, informasi yang ingin
disampaikan bentuk ulang kapal-kapal dalam kalimat (5a) menjadi lebih jelas
bermakna ‘kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut’. Dalam
kalimat (6a) bentuk ulang kapal-kapal mengalami perluasan ke kanan, yaitu
dengan menambahkan fungsi keterangan tangan yang terasa kasar. Perluasan
ke kanan bentuk ulang kapal-kapal yang dilakukan dalam kalimat (6a)
semakin memperjelas makna yang ingin dituju bentuk ulang kapal-kapal yang
Perbedaan makna bentuk ulang sama bentuk yang muncul karena
perbedaan makna bentuk dasar dan digunakan dalam kalimat yang berbeda
konteks dapat juga dilihat dalam kalimat dibawah ini:
(7) Biasanya buku-buku pinjaman sudah dibacanya berulang-ulang.
(Rumah Bambu: 34)
(8) Si gadis menjawab sambil tersenyum, lalu mengelus buku-buku jari
Wis yang berada di sisi kandang. (Saman: 76)
Bentuk ulang buku-buku yang terdapat dalam kalimat (7) dan (8)
memiliki perbedaan makna. Sama halnya dengan bentuk ulang rapat-rapat
dalam kalimat (3) dan (4) dan bentuk ulang kapal-kapal dalam kalimat (5) dan
(6). Bentuk ulang buku-buku pada kalimat (7) dan (8) memiliki makna
berbeda dikarenakan bentuk dasar pembentuk bentuk ulang berbeda.
Bentuk ulang buku-buku (untuk selanjutnya disebut bentuk ulang
buku-buku1) yang terdapat dalam kalimat (7) berasal dari bentuk dasar buku
yang bermakna ‘lembar kertas yang berjilid yang berisi tulisan atau kosong’.
Berbeda dengan bentuk ulang buku-buku (untuk selanjutnya disebut bentuk
ulang buku-buku2) yang terdapat dalam kalimat (8). Bentuk ulang buku-buku2
yang terdapat dalam kalimat (8) berasal dari bentuk buku yang bermakna
‘tempat pertemuan dua ruas’. Perbedaan makna yang dihasilkan dari bentuk
ulang buku-buku1 dan bentuk ulang buku-buku2 dapat dibuktikan dengan
menggunakan teknik ganti. Seperti dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(8a) Si gadis menjawab sambil tersenyum, lalu mengelus bagian antara
ruas jari Wis yang berada di sisi kandang.
Bentuk ulang buku-buku1 dalam kalimat (7a) diganti dengan
sinonimnya yaitu pustaka. Berbeda dengan bentuk ulang buku-buku2 yang
diganti dengan sinonimnya yaitu bagian antara ruas. Perbedaan sinonim
pengganti seperti yang dapat dilihat dalam kalimat (7a) dan (8a) semakin
memperjelas perbedaan makna yang ingin disampaikan bentuk ulang
buku-buku dalam tuturan (7) dan (8). Pembuktian perbedaan makna bentuk ulang
dalam kalimat (3), (4), (5), (6), (7), dan (8) di atas, semakin memperjelas
bahwa bentuk dasar pembentuk bentuk ulang sangat menentukan makna yang
ingin dituju bentuk ulang. Karena apabila bentuk dasar pembentuk bentuk
ulang berbeda, maka makna yang ingin dituju akan menjadi berbeda pula. Hal
ini juga didukung oleh konteks kalimat, sehingga perbedaan makna yang
dihasilkan bentuk ulang dapat diketahui dengan jelas.
2.2.2 Bentuk Ulang Sama Bentuk Berbeda Bentuk Dasar
Bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat berbeda akan
memiliki makna berbeda apabila kata tersebut berasal dari bentuk dasar yang
berbeda. Perbedaan bentuk dasar sebuah kata dapat disebabkan karena adanya
proses morfologis. Proses morfologis ini dapat berupa proses afiksasi. Proses
ini juga terjadi dalam reduplikasi. Bentuk ulang sama bentuk yang kadang kita
sudah mengalami proses morfologis. Tetapi kadang proses morfologis yang
menyertainya dilesapkan, dikarenakan untuk me mudahkan penggunaanya
dalam kalimat. Seperti dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(9) Proyek pembangunan busway membuat jalan-jalan di Jakarta
menjadi bertambah macet.
(10) Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar. Sebelum
kembali ke alam kehidupan yang abadi di mana aku belum tahu bisa
berbuat apa. (Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta: 55)
Pada kalimat (9) dan (10) bentuk ulang jalan-jalan berasal dari bentuk
dasar yang berbeda. Pada kalimat (9) bentuk ulang jalan-jalan berasal dari
bentuk dasar jalan yang bermakna ‘tempat untuk lalu lintas’. Berbeda dengan
bentuk ulang jalan-jalan yang terdapat dalam kalimat (10). Bentuk ulang
jalan-jalan yang terdapat dalam kalimat (10) berasal dari bentuk dasar berjalan
yang bermakna ‘pergi dengan berjalan kaki’. Dalam komunikasi sehari- hari,
bentuk ulang yang sering digunakan adalah bentuk ulang jalan-jalan, bukanlah
bentuk ulang berjalan-jalan. Seperti yang dapat dilihat dalam kalimat (10).
Bentuk ulang jalan-jalan yang terdapat dalam kalimat (10) mengalami proses
pelesapan afiks ber-. Pelesapan afiks di sini dilakukan karena konteks kalimat
(10) sudah mewakili informasi yang ingin disampaikan bentuk ulang
jalan-jalan. Oleh karena itu, makna bentuk ulang jalan-jalan pada kalimat (10)
sangat ditentukan oleh konteks kalimatnya. Apabila konteks kalimatnya tidak
berjalan-jalan tidak akan dapat tersampaikan. Perbedaan bentuk dasar dari
bentuk ulang jalan-jalan yang terdapat dalam kalimat (9) dan (10) dapat
dibuktikan dengan mengembalikan afiks yang dilesapkan ke dalam kalimat,
sehingga perbedaannya dapat dilihat dengan jelas.
(9a) Proyek pembangunan busway membuat jalan-jalan di Jakarta
menjadi bertambah macet.
(10a) Baiklah, aku akan minum, lantas berjalan-jalan sebentar. Sebelum
kembali ke alam kehidupan yang abadi dimana aku belum tahu
bisa berbuat apa.
Pengembalian bagian yang dilesapkan seperti yang dapat dilihat dalam
kalimat (10a) tidak mengubah makna bentuk ulang jalan-jalan yang ingin
dituju dalam kalimat (10). Pengembalian bagian yang melesapkan diri dalam
kalimat (10a) malah semakin memperjelas perbedaan bentuk dasar yang
membentuk bentuk ulang jalan-jalan pada kalimat (9) dan (10), dan semakin
memperjelas perbedaan makna bentuk ulang jalan-jalan.
Contoh lain mengenai bentuk ulang yang sama bentuk tetapi berasal
dari bentuk dasar berbeda dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini.
(11) Penutup wadahnya telah hengkang entah kemana, suatu kali dipakai
orang untuk kipas-kipas dan lupa dikembalikan, membuat
kabel-kabelnya menjuntai tak karuan. (Lelaki Harimau: 28)
(12) Kipas-kipas biasa yang selama ini di pasang di langit- langit Gereja,
Bentuk ulang kipas-kipas yang terdapat dalam kalimat (11) dan (12) di
atas sekilas memang terlihat seperti berasal dari bentuk dasar yang sama.
Akan tetapi jika diperhatikan dengan lebih seksama, bentuk ulang kipas-kipas
yang terdapat dalam kalimat (11) dan (12) pada dasarnya berasal dari bentuk
dasar yang berbeda. Seperti sudah dijelaskan di atas, perbedaan bentuk dasar
pembentuk bentuk ulang sangat mempengaruhi makna yang dihasilkan.
Bentuk ulang kipas-kipas yang terdapat dalam kalimat (11) bukanlah berasal
dari bentuk dasar kipas, melainkan berasal dari bentuk dasar mengipas yang
bermakna ‘bergerak-gerak’. Bentuk dasar mengipas ini kemudian mengalami
proses reduplikasi menjadi bentuk ulang mengipas-ngipas yang bermakna
‘mengerak- gerakkan sesuatu untuk mendapatkan hembusan angin’. Berbeda
dengan bentuk ulang kipas-kipas yang terdapat dalam kalimat (12). Dalam
kalimat (12), bentuk ulang kipas-kipas yang terdapat dalam kalimat tersebut
memang berasal dari bentuk ulang kipas yang bermakna ‘alat untuk
mengibas- ngibas (supaya mendapat angin sejuk)’.
Sama halnya dengan yang terjadi dalam kalimat (10), dalam kalimat
(11) juga terjadi proses pelesapan afiks tetapi dalam kalimat (11), afiks yang
melesapkan diri adalah afiks meN-. Pelesapan afiks pada kalimat (11)
dilakukan karena konteks kalimat (11) sudah dianggap mewakili keseluruhan
makna yang ingin disampaikan, walaupun bentuk ulang yang digunakan
dalam kalimat adalah bentuk ulang kipas-kipas. Untuk dapat membuktikan
bentuk ulang mengipas-ngipas, maka yang harus dilakukan adalah
mengembalikan bagian yang melesapkan diri dalam kalimat. Pengembalian
ini juga dimaksudkan untuk membuktikan bahwa setelah dikembalikan,
makna yang ingin dituju tidak mengalami perubahan, dan kalimat tersebut
tetap dapat diterima sebagai sebua h kesatuan kalimat yang mengandung
informasi.
(11a) Penutup wadahnya telah hengkang entah kemana, suatu kali
dipakai orang untuk mengipas-ngipas dan lupa dikembalikan,
membuat kabel-kabelnya menjuntai tak karuan.
2.2.3 Bentuk Ulang Sama Bentuk Dasar, Berbeda Jenis Makna Bentuk Ulang Bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat berbeda ada
juga yang berasal dari bentuk dasar yang sama, tetapi tetap memiliki makna
yang beragam. Keberagaman makna tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis
bentuk ulangnya. Seperti dapat dilihat dalam contoh kalimat dibawah ini.
(13) Hal ini berbeda dengan margio yang berkali-kali membujuk untuk
tetap di sana, dan tak mau mendengarkan satu penjelasan jernih
bahwa pemilik baru rumah gedong tak berniat menyewakan gudang
kelapa itu pada mereka, dan sebaliknya hendak menjadikannya
sebagai toko kelontong yang menjual sikat gigi dan sabun dan
(14) “Saya yakin benar kini Mas Harto itu punya gula-gula!” Katanya
pada suatu hari. (Kuli Kontrak: 17)
Bentuk ulang gula- gula yang terdapat dalam kalimat (13) dan (14)
pada dasarnya berasal dari bentuk dasar yang sama yaitu gula yang bermakna
‘bahan pemanis biasanya berbentuk kristal (butir-butir kecil) yang dibuat dari
air tebu, aren (enau), atau nyiur’.
Bentuk ulang gula- gula yang terdapat dalam kalimat (13) dan (14)
walaupun berasal dari bentuk dasar yang sama, tetap tidak memiliki kesamaan
makna. Ketidaksamaan makna yang dihasilkan oleh bentuk ulang gula-gula
disebabkan perbedaan jenis bentuk ulangnya. Bentuk ulang gula-gula1 dalam
kalimat (13) termasuk bentuk ulang yang maknanya berjenis makna denotatif
yaitu gula yang bermakna ‘panganan yang dibuat dari gula’. Berbeda dengan
bentuk ulang gula- gula2 yang terdapat dalam kalimat (14). Bentuk ulang
gula-gula2 merupakan bentuk ulang yang berjenis makna kiasan. Oleh karena itu
informasi yang dihasilkan bentuk ulang gula-gula dalam kalimat (13) dan (14)
menjadi berbeda. Perbedaan informasi itu membuat makna bentuk ulang
gula-gula2 menjadi ‘perempuan yang diperlakukan untuk bersenang-senang atau
gundik’.
Perbedaan makna yang dihasilkan bentuk ulang gula- gula1 dan
gula-gula2 dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti. Penggantiannya
(13a) Hal ini berbeda dengan margio yang berkali-kali membujuk untuk
tetap di sana, dan tak mau mendengarkan satu penjelasan jernih
bahwa pemilik baru rumah gedong tak berniat menyewakan
gudang kelapa itu pada mereka, dan sebaliknya hendak
menjadikannya sebagai toko kelontong yang menjual sikat gigi dan
sabun dan permen.
(14a) “saya yakin benar kini Mas Harto itu punya wanita simpanan!”
Katanya pada suatu hari.
Bentuk lain mengenai bentuk ulang sama bentuk dasar, tetapi memiliki
makna berbeda karena berasal dari bentuk ulang yang berbeda jenis makna
bentuk ulangnya dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(15) Keriuhan sejenak berhenti, kepala-kepala menoleh, Margio berjalan
ke arah mereka menghentikan mobil dan motor yang terpukul
cakram rem dan para pengemudi menatapnya serasa jumpa setan
kepagian. (Lelaki Harimau: 37)
(16) Rapat rutin perusahaan yang biasa dilaksanakan pada minggu kedua
hanya dihadiri kepala-kepala kantor cabang.
Bentuk ulang kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat (15) dan (16)
sama dengan bentuk ulang gula- gula dalam kalimat (13) dan (14). Bentuk
ulang kepala-kepala dalam kalimat (15) dan (16) berasal dari bentuk dasar
jenis hewan merupakan tempat otak, pusat jaringan saraf, dan beberapa pusat
indera)’
Bentuk ulang kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat (15) dan (16)
memang berasal dari bentuk dasar yang sama, tetapi memiliki makna berbeda.
Perbedaan ini disebabkan karena bentuk ulang kepala-kepala digunakan
dalam konteks kalimat berbeda. Pada kalimat (15) bentuk ulang kepala-kepala
berasal dari bentuk ulang yang berjenis makna leksikalnya. Bentuk ulang
kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat (15) dikatakan bermakna leksikal
karena merujuk pada referen yang sebenarnya. Berbeda dengan bentuk ulang
kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat (16). Bentuk ulang kepala-kepala
yang terdapat dalam kalimat (16), tidak lagi berjenis makna leksikal, karena
bentuk ulang kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat (16) berasal dari
bentuk ulang yang berjenis makna kiasan. Bentuk ulang kepala-kepala yang
terdapat dalam kalimat (16) digunakan secara metaforis, yaitu digunakan
untuk mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna bentuk
dasar kepala dengan yang ada pada kata kantor. Dalam kalimat (16) bentuk
ulang kepala-kepala yang berasal dari jenis makna kiasan menjadi bermakna
‘pemimpin’.
Perbedaan makna bentuk ulang kepala-kepala yang terdapat dalam kalimat
(15) dan (16) dapat dibuktikan dengan menggunakan teknik ganti. Teknik
ganti yang dilakukan untuk membuktikan perbedaan makna tersebut tidak
kepala-kepala dalam kalimat (15) sudah merupakan makna leksikal, sehingga
referen yang dimaksud sudah jelas. berbeda dengan kalimat (16). Dalam
kalimat (16) teknik ganti dapat diterapkan untuk membuktikan makna yang
dimaksud. Teknik ganti ini dilakukan dengan cara mengganti bentuk ulang
kepala-kepala dalam kalimat (16) dengan sinonim atau maknanya. Seperti
dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(16a) Rapat rutin perusahaan yang biasa dilaksanakan pada minggu kedua
hanya dihadiri pemimpin kantor cabang.
2.2.4 Bentuk Ulang Sama Bentuk Dasar, Berbeda Maksud Tuturan
Maksud tuturan yang ingin diungkapkan dalam sebuah kalimat sangat
menentukan proses pembentukan makna sebuah kata. Seperti yang terjadi
pada kata ulang. Kata ulang walaupun memiliki kesamaan bentuk dasar dan
bunyi akan memiliki makna yang berbeda jika digunakan dalam kalimat yang
memiliki maksud tuturan yang berbeda. Seperti dapat dilihat dalam contoh
kalimat di bawah ini:
(17) Ia sudah sedemikian bosan dengan sarden saos, sehingga harus
pintar-pintar memasak untuk menghidangkan menu di tengah hutan.
(kapak: 69)
(18) Kalian memang anak yang pintar-pintar, sampai-sampai tidak ada
Pada kalimat (17) dan (18), bentuk ulang pintar-pintar yang terdapat
dalam kalimat diatas memang berasal dari bentuk dasar yang sama yang
bermakna ‘pandai, cakap, atau mahir’. Akan tetapi, walaupun berasal dari
bentuk dasar yang sama, bentuk ulang pintar-pintar yang terdapat dalam
kalimat (17) dan (18) tidak memiliki kesamaan makna. Perbedaan makna
bentuk ulang pintar-pintar disebabkan perbedaan maksud tuturan. Pada
kalimat (17) bentuk ulang pintar-pintar bermakna sesuai dengan makna
dasarnya yaitu ‘pandai, cakap, atau mahir’ karena bentuk ulang pintar-pintar
digunakan dengan maksud tuturan seperti dengan maknanya. Berbeda dengan
bentuk ulang pintar-pintar yang terdapat dalam kalimat (18). Bentuk ulang
pintar-pintar yang terdapat dalam kalimat (18) tidak bermakna sesuai dengan
makna dasarnya, karena bentuk ulang pintar-pintar yang terdapat dalam
kalimat (18) dimaksudkan untuk menyindir, sehingga maknanya menjadi
bermakna terbalik dengan makna asalnya, yaitu menjadi bermakna ‘tidak
pandai’.
Contoh lain mengenai bentuk ulang sama bentuk dasar tetapi memiliki
makna berbeda karena maksud tuturan yang dituju penutur berbeda dapat
dilihat seperti dibawah ini.
(19) Di ruangan yang remang-remang itu terdengar sesuatu seperti
gumam dari televisi. (Sebuah Pertanyaan untuk Cinta: 32)
(20) Remang-remang kasus Marsinah di pengadilan. (Tempo, 19 Maret
Pada kalimat (19) dan (20) bentuk ulang remang-remang yang terdapat
dalam contoh kalimat di atas berasal dari bentuk dasar yang sama, tetapi
menjadi memiliki makna berbeda karena maksud tuturan yang ingin dituju
penutur melalui kalimat (19) dan (20) berbeda-beda. Pada kalimat (19) bentuk
ulang remang (untuk selanjutnya disebut bentuk ulang
remang-remang1) menjadi bermakna sesuai dengan makna bentuk dasarnya yaitu
‘keadaan agak gelap’ karena maksud tuturan yang ingin disampaikan dalam
kalimat (19) dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan atau situasi saat
tuturan itu disampaikan oleh penutur. Berbeda dengan kalimat (20), bentuk
ulang remang (untuk selanjutnya disebut bentuk ulang
remang-remang2) memiliki arti berbeda dari kalimat (19). Pada kalimat (20) bentuk
ulang remang-remang menjadi bermakna ‘kurang atau tidak jelas’. perbedaan
makna bentuk ulang remang-remang pada kalimat (20) disebabkan karena
tuturan tersebut dimaksudkan untuk memperhalus maksud yang sebenarnya
ingin disampaikan penutur. Hal ini biasanya dilakukan agar tidak
menyinggung orang atau golongan yang ingin dituju penutur saat tuturan itu
disampaikan.
Bentuk ulang dalam kalimat (19) dan (20) dikatakan memiliki makna
berbeda karena maksud tuturannya berbeda. Perbedaan makna yang
ditimbulkan bentuk ulang remang-remang dalam kalimat (19) dan (20) dapat
menggunakan sinonim katanya, digunakan untuk membuktikan bahwa
maksud tuturan memang dapat mempengaruhi terbentuknya sebuah makna.
(19a) Di ruangan yang kelam itu terdengar sesuatu seperti gumam dari
televisi.
(20a) samar-samar kasus Marsinah di pengadilan.
Dalam kalimat (19a) bentuk ulang remang-remang1 diganti dengan kata
kelam, sehingga maknanya menjadi semakin jelas bermakna ‘keadaan agak
gelap’. Sama halnya dengan bentuk ulang remang-remang2 dalam kalimat
(20a) diganti dengan kata samar-samar, pengantian tersebut semakin
memperjelas maksud yang ingin dituju yaitu untuk memperhalus agar tuturan
tersebut tidak menyinggung kelompok atau golongan tertentu yang berkaitan
dengan kasus pembunuhan Marsinah. Analisis bentuk ulang remang-remang
dengan teknik ganti seperti yang terdapat dalam kalimat (19a) dan (20a)
semakin jelas memperlihatkan bahwa maksud tuturan sangat menentukan
makna sebuah kata. Karenanya apabila unsur penganti yang diterapkan bentuk
ulang remang-remang1 dan bentuk ulang remang-remang2 saling ditukarkan,
kalimat yang dihasilkan menjadi tidak berterima dalam bahasa Indonesia
karena informasi yang ingin disampaikan penutur menjadi tidak memiliki
kesatuan makna. Seperti dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(19b)* Di ruangan yang samar-samar itu terdengar sesuatu seperti gumam
dari televisi.
Bentuk ulang lain yang memiliki keberagaman makna disebabkan karena
bentuk ulang sama bentuk tersebut digunakan dalam kalimat yang berbeda
maksud adalah bentuk ulang langkah- langkah, mengaduk-aduk, potret-potret,
dsb.
2.2.5 Bentuk Ulang Sama Bentuk, Berbeda Pembentukan Kata
Seperti sudah dijelaskan diatas, bentuk ulang sama bentuk dapat
menghasilkan makna berbeda jika makna bentuk dasarnya berbeda, berbeda
bentuk dasar, berbeda jenis makna pembentuknya, dan berbeda maksud
tuturan. Selain yang sudah disebutkan di atas, ada satu hal lagi yang dapat
menyebabkan makna bentuk ulang sama bentuk menjadi berbeda, yaitu
perbedaan pembentukan kata bentuk ulang yang digunakan dalam kalimat
berbeda. Perbedaan makna yang ditimbulkan karena perbedaan pembentukan
makna bentuk ulang sama bentuk, dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(21) Bintang-bintang yang membentuk gumpalan rasi-rasi. (Dejavu: 7)
(22) Dan gambar bintang-bintang film Jepang dan Indonesia juga mudah
dijual. (Kuli Kontrak: 102)
Bentuk ulang bintang-bintang yang terdapat dalam kalimat (21) berbeda
maknanya dengan bentuk ulang bintang-bintang yang terdapat dalam kalimat
(22). Bentuk ulang bintang-bintang pada kalimat (21) berasal dari perulangan
murni bentuk dasar bintang yang bermakna ‘benda langit terdiri atas gas
bentuk ulang bintang-bintang yang terdapat dalam kalimat (22). Bentuk ulang
bintang-bintang yang terdapat dalam kalimat (22) bukan berasal dari bentuk
dasar bintang, melainkan berasal dari frase bintang film yang bermakna
‘pemain yang terkemuka dalam film’mengalami proses perulangan tidak
baku. Seperti dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(22a) Dan gambar bintang film-bintang film Jepang dan Indonesia juga
mudah dijual.
Contoh lain mengenai bentuk ulang sama bentuk yang memiliki dapat
makna berbeda apabila berbeda pembentukan kata dapat dilihat dalam kalimat
dibawah ini.
(23) Adik kuliah di hukum. Adik-adikku ngganteng, perawakannya
tinggi, gagah merbawani, banyak perempuan naksir dia, surat-surat
dari perempuan yang naksir padanya banyak, dan beberapa
diantaranya sempat aku baca. (Dejavu: 98)
(24) Nama si Jamal segera juga terkenal diseluruh pelosok negeri, dan
hampir setiap hari orang dapat membaca pidato-pidatonya di
surat-surat kabar. (Kuli Kontrak: 158)
Sama halnya dengan bentuk ulang bintang-bintang yang terdapat dalam
kalimat (21) dan (22) di atas. bentuk ulang surat-surat dalam kalimat (23) dan
(24) juga memiliki perbedaan makna karena dihasilkan dari pembentukan kata
yang berbeda. Bentuk ulang surat-surat dalam kalimat (23) berasal dari bentuk
maksudnya)’. Berbeda dengan bentuk ulang surat-surat yang terdapat dalam
kalimat (24). Bentuk ulang surat-surat yang terdapat dalam kalimat (24)
berasal dari frase surat kabar yang bermakna ‘lembaran- lembaran kertas
bertuliskan berita-berita’ yang setelah digunakan dalam kalimat (24)
mengalami proses perulanga n yang tidak baku. Seperti dapat dilihat dalam
kalimat di bawah ini.
(24a) Nama si Jamal segera juga terkenal diseluruh pelosok negeri, dan
hampir setiap hari orang dapat membaca pidato-pidatonya di surat
kabar-surat kabar.
2.2.6 Bentuk Ulang Sama Bentuk Leksikalisasi dan Gramatikalisasi
Faktor internal lain yang juga dapat menyebabkan perbedaan makna
bentuk ulang sama bentuk adalah proses pembentukan kata yaitu proses
leksikalisasi dan gramatikalisasi. Proses leksikalisasi dan gramatikalisasi yang
diterapkan pada sebuah kata dapat menyebabkan terbentuknya makna baru
yang bisa berbeda dan bahkan tidak ada kaitan dengan makna asalnya..
Seperti dapat dilihat dalam contoh kalimat dibawah ini.
(25) Mata- mata dingin yang terlihat celong tidak sehat dalam kepalanya
yang merupakan tatapan penghuni padanya dari kegelapan yang
(26) Tapi untuk lelap di pelataran sungai hanya seperempat jam sesudah
merebut senjata dari seorang mata- mata Belanda, sungguh tak
mungkin kulakukan. (Lingkar Tanah Lingkar Air: 39)
Bentuk ulang mata- mata dalam kalimat (25) dan (26) memiliki makna
berbeda dikarenakan perbedaan proses pembentukan bentuk ulangnya. Dalam
kalimat (25), bentuk ulang mata- mata berasal dari bentuk dasar mata yang
bermakna ‘indera penglihatan’. Berbeda dengan bentuk ulang mata- mata
dalam kalimat (26). Dalam kalimat (26), bentuk ulang mata- mata tidak berasal
dari bentuk dasar mata melainkan berasal dari bentuk dasar yang sudah
mengalami proses perulangan leksem (dapat juga disebut proses leksikalisasi)
menyebabkan munculnya makna baru, yaitu berasal dari bentuk ulang
mata-mata yang bermakna ‘orang yang ditugasi menyelidiki secara diam-diam’
Perbedaan makna yang ditimbulkan bentuk ulang mata- mata seperti dapat
dilihat dalam kalimat (25) dan (26) dapat dibuktikan dengan teknik perluas.
Teknik perluas yang diterapkan pada bentuk ulang mata- mata dalam kalimat
(25) adalah dengan menambahkan kata penunjuk jumlah. Berbeda dengan
teknik perluas yang diterapkan pada bentuk ulang mata- mata dalam kalimat
(26). Pada kalimat (26) teknik perluas yang digunakan adalah dengan
menambahkan kata keterangan. Seperti dapat dilihat dalam kalimat di bawah
(25a) Banyak mata-mata dingin yang terlihat celong tidak sehat dalam
kepalanya yang merupakan tatapan penghuni padanya dari
kegelapan yang tenang.
(26a) Tapi untuk lelap di pelataran sungai hanya seperempat jam
sesudah merebut senjata dari seorang mata- mata suruhan Belanda,
sungguh tak mungkin kulakukan.
Pembuktian bahwa keberagaman makna bentuk ulang mata- mata yang
terdapat dalam kalimat (25) dan (26) tersebut disebabkan oleh perbedaan
pembentuk bentuk ulangnya masih belum jelas. karenanya dapat dilihat dalam
kalimat di bawah ini.
(25b) Banyak mata dingin yang terlihat celong tidak sehat dalam
kepalanya yang merupakan tatapan penghuni padanya dari
kegelapan yang tenang.
(26b) Tapi untuk lelap di pelataran sungai hanya seperempat jam
sesudah merebut senjata dari seorang mata- mata suruhan Belanda,
sungguh tak mungkin kulakukan.
Pada kalimat (25b) bentuk ulang mata-mata setelah diperluas dengan
menggunakan kata penunjuk jumlah bentuk ulangnya tidak perlu disebutkan
lagi, karena bentuk ulang mata- mata dalam kalimat (25) sudah mempunyai
makna ‘jamak’, dan karena bentuk ulang mata- mata berasal dari bentuk dasar
mata yang harus mengalami proses perulangan terlebih dahulu untuk dapat
dalam kalimat (26). Bentuk ulang mata- mata yang terdapat dalam kalimat
(26b) harus disebut secara penuh, karena makna yang dihasilkan bentuk ulang
mata- mata dalam kalimat (26) terbentuk setelah bentuk ulang tersebut
megalami proses perulangan, sehingga bentuk ulang mata- mata setelah
mengalami perluasan harus tetap berbentuk mata- mata.
Bentuk ulang lain yang memiliki makna berbeda dikarenakan bentuk
ulang sama bentuk tersebut mengalami proses leksikalisasi dan
gramatikalisasi, dapat dilihat pada contoh dibawah ini.
(27) Kuda-kuda yang diunggulkan dalam lomba biasanya berasal dari ras
yang terbaik.
(28) Margio meraihnya gesit, namun si harimau menghindar berguling,
lalu mengambil kuda-kuda. (Lelaki Harimau: 42)
(29) Rumah kakek sudah dibangun dari tahun 50-an, tetapi Kuda-kuda di
rumah itu masih sangat kokoh.
Bentuk ulang kuda-kuda yang terdapat dalam kalimat (27), (28), dan
(29) tidaklah memiliki kesamaan makna. Perbedaan makna yang ditimbulkan
bentuk ulang kuda-kuda yang terdapat dalam kalimat (27), (28), dan (29)
disebabkan proses pembentukan kata yang terjadi pada bentuk ulang
kuda-kuda . Pada kalimat (27), bentuk ulang kuda-kuda-kuda-kuda berasal dari pengulangan
bentuk dasar kuda yang bermakna sesuai dengan referennya yaitu ‘binatang
menyusui yang berkuku satu dan biasa dipelihara orang sebagai kendaraan
terdapat dalam kalimat (28) dan (29). Be ntuk ulang kuda-kuda yang terdapat
dalam kalimat (28) dan (29) tidak lagi bermakna seperti makna leksikalnya,
tetapi membentuk makna baru yang lebih khusus. Pembentukan makna yang
lebih khusus tersebut disebabkan bentuk ulang kuda-kuda mengalami proses
perulangan leksikal atau biasa disebut dengan leksikalisasi. Bentuk ulang
kuda-kuda pada kalimat (28) setelah mengalami proses leksikalisasi menjadi
bermakna ‘sikap siaga (dalam bela diri) dengan posisi kaki dan tubuh yang
siap menerima serangan’. Berbeda dengan bentuk ulang kuda-kuda dalam
kalimat (29). Bentuk ulang kuda-kuda dalam kalimat (29) menjadi bermakna
‘balok (kayu) berpalang untuk menopang atau menyangga’.
Perbedaan makna yang ditimbulkan bentuk ulang kuda-kuda yang
terdapat dalam kalimat (27), (28), dan (29) dapat dibuktikan dengan teknik
perluas. Teknik perluas digunakan dengan cara memperluas bentuk ulang
kuda-kuda baik kekiri maupun kekanan. Seperti dapat dilihat dalam contoh
dibawah ini.
(27a)* Banyak Kuda-kuda yang diunggulkan dalam lomba biasanya
berasal dari ras yang terbaik.
Pada kalimat (27a) bentuk ulang kuda-kuda dalam kalimat (27)
diperluas kekiri dengan menambahkan kata penunjuk jumlah yaitu banyak.
Akan tetapi, perluasan dengan mengunakan kata penunjuk jumlah yang
digunakan dalam kalimat (27a) tidak berterima dalam bahasa Indonesia,
Agar kalimat tersebut dapat berterima dalam bahasa Indonesia, tidak lagi
digunakan bentuk ulang kuda-kuda, tetapi hanya mengunakan bentuk
dasarnya saja yaitu kuda. Seperti dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
(27b) Banyak kuda yang diunggulkan dalam lomba biasanya berasal
dari ras yang terbaik.
Berbeda dengan bentuk ulang kuda-kuda yang terdapat dalam kalimat
(27). Bentuk ulang kuda-kuda yang terdapat dalam kalimat (28) dan (29) tidak
lagi bermakna seperti makna leksikalnya, tetapi membentuk makna baru yang
lebih khusus. Pembentukan makna baru bentuk ulang kuda-kuda tersebut
diperoleh setelah proses reduplikasi, yakni dalam proses leksikalisasi.
perbedaan makna tersebut dapat dibuktikan dengan teknik perluas seperti
dalam kalimat dibawah ini.
(28a) Margio meraihnya gesit, namun si harimau menghindar berguling,
lalu mengambil posisi kuda-kuda.
(29a) Rumah kakek sudah dibangun dari tahun 50-an, tetapi balok
kuda-kuda di rumah itu masih sangat kokoh.
Bentuk ulang kuda-kuda dalam kalimat (28) diperluas kekiri dengan
menambahkan kata posisi. Sehingga makna yang dituju menjadi semakin
jelas, yaitu ‘sikap siaga (dalam bela diri) dengan posisi kaki dan tubuh yang
siap menerima serangan’. Berbeda dengan bentuk ulang kuda-kuda yang
terdapat dalam kalimat (29). Dalam kalimat (29a) bentuk ulang kuda-kuda
memperjelas makna bentuk ulang kuda-kuda yang ingin dituju kalimat (29)
yaitu bermakna ‘balok (kayu) berpalang untuk menopang atau menyangga’
2.3 Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor pendukung yang terdapat di luar
kalimat. Faktor eksternal dapat menyebabkan terjadinya perbedaan makna
bentuk ulang sama bentuk yang terdapat dalam kalimat berbeda. Faktor
eksternal tersebut dapat berupa perkembangan sosial dan budaya, perbedaan
bidang pemakaian, pertukaran tanggap indera.
2.3.1 Perkembangan Sosial dan Budaya
Salah satu hal yang dapat menyebabkan makna bentuk ulang sama
bentuk menjadi beragam adalah karena adanya perkembangan bahasa yang
terjadi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Perbedaan makna sebuah kata
dari yang tadinya bermakna sempit menjadi bermakna lebih luas. Seperti
dapat dilihat dalam contoh kalimat yang di bawah ini.
(30) Terima kasih atas kehadiran saudara-saudara sekalian dalam rapat
ini.
(31) Lebaran pertama keluarga kami biasanya meminta maaf lebih dulu
kepada saudara-saudara yang lebih tua dari pihak ayah.
Bentuk ulang saudara-saudara yang terdapat dalam kalimat (30) dan (31)