• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO KARYA EKO SUSANTO PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra S-1 Program Studi Sastra Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO KARYA EKO SUSANTO PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra S-1 Program Studi Sastra Indonesia"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA EKO SUSANTO

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra S-1

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Maria Yuliana Kusrini NIM: 034114045

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkotbah 3 : 11)

Belajarlah melupakan hal yang tidak berguna. Sebaliknya, kenanglah dengan senang hati semua yang indah

(F.P)

Jangan menoleh dengan penuh kemarahan, jangan pula memandang ke depan dengan ketakutan, tetapi dengan mata terbuka pandanglah sekelilingmu.

(J.T)

Mengenal dan menerima kelemahan sendiri adalah kekayaan yang paling besar.

(Paulina dr Mallinckrodt)

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

* Kedua orang tuaku dan seluruh keluarga besarku

* Semua orang yang peduli dan sangat menyayangiku

….. thanks all …

(5)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Maria Yuliana Kusrini

Nomor Mahasiswa : 034114045

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Konflik Sosial Dalam Novel Orang-orang Malioboro Karya Eko Susanto Pendekatan Sosiologi Sastra

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini, yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 13 Oktober 2008 Yang menyatakan

Maria Yuliana Kusrini

(6)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 31 Juli 2008

Penulis

Maria Yuliana Kusrini

(7)

Kusrini, Maria Yuliana, 2008, Konflik Sosial Dalam Novel Orang-orang Malioboro

Karya Eko Susanto Pendekatan Sosiologi Sastra

Penelitian ini menganalisis konflik sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra yang bertumpuan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan dalam suatu masyarakat. Konflik sosial yang dibahas peneliti, merupakan cerminan kehidupan suatu kelompok masyarakat di suatu daerah, yakni Malioboro.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis tokoh dan penokohan, keadaan sosial masyarakat dalam Orang-orang Malioboro, dan konflik sosial yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro.

Hasil analisis tokoh dan penokohan, menunjukkan bahwa tokoh Ciko sebagai tokoh utamanya. Kehadiran Ciko dalam novel Orang-orang Malioboro paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku ceritanya langsung maupun sebagai pencerita dari beberapa tokoh yang lainnya. Keadaan sosial orang-orang di Malioboro juga ditunjukkan secara nyata, dan hal itu juga mempengaruhi perilaku tiap-tiap tokohnya dalam menghadapi suatu peristiwa.

Konflik sosial yang terjadi dalam novel Orang-orang Malioboro, merupakan konflik yang kerap terjadi dalam kehidupan nyata di Malioboro. Tiap-tiap tokoh dalam novel ini, memiliki konflik yang terjadi di lingkungan sosialnya, baik konflik yang terjadi antarindividu maupun antarkelompok. Tokoh Ciko sebagai tokoh utama sekaligus sebagai tokoh yang menceritakan tokoh-tokoh lain, juga mengalami konflik sosial, namun konflik sosial yang banyak diceritakan adalah konflik yang dialami oleh teman-teman Ciko dan konflik yang dialami oleh kelompok pedagang kakilima di Malioboro, yang juga melibatkan Ciko. Namun secara individu, tokoh Ciko diceritakan jarang terlibat konflik secara langsung dengan tokoh-tokoh yang lain.

Konflik yang paling banyak terjadi adalah konflik antara pedagang kakilima dengan pihak-pihak lain, seperti (1) para pemilik toko, (2) pihak kecamatan, (3) pihak pamong praja. Konflik-konflik yang terjadi biasanya berhubungan dengan lokasi berjualan dan berbagai hal yang berhubungan dengan tata tertib atau izin berdagang. Konflik antara berbagai pihak ini, selalu dimenangkan oleh pihak pemerintah. Pedagang kakilima selalu menjadi pihak yang kalah dan pada akhirnya hanya dapat berlapang dada untuk mengikuti peraturan yang telah ditetapkan para pemerintah. Berbagai konflik sosial yang terjadi memiliki beberapa tujuan yang melatarbelakangi kemunculan konflik, yakni (1) ingin mengurangi saingan, (2) memberi pelajaran pada pihak lain yang tidak disukai, (3) membalas dendam, (4) perebutan kekuasaan, (5) ingin mendapatkan penghormatan, dan (5) mempertahankan ego masing-masing pihak.

(8)

In the Novel Orang-orang Malioboro By Eko Susanto

Sociological Literature Approach

The research analyzed social conflicts which were encountered in the Novel Orang-orang Malioboro by Eko Susanto. The approach which was used in this novel was a sociological literature approach, an approach which was based on the insight that a literature work reflects the life of a community. The social conflict which was described by the writer was a reflection of the life of the community living in a community called Malioboro.

The method which was used was the decriptiptive method. This method was used to analyze the characters as well as the characterization, the social community condition of the people in the novel, and the social conflicts which were there in the novel Orang-orang Malioboro

The result of the charaters and characters analyses showed that Ciko was the main character. Ciko’s presence in the novel was the most presented both as one of the characters and the narrator. The social condition of the Malioboron people was also explicitly exhibited, and this influenced the characters’ attitude in facing any event.

The social conflict in the novel Orang-orang Malioboro was the kind of conflict which was always happened in the Malioborons’ real life. Each character in the novel had his or her own conflict in his social environment, both between individuals as well as between groups. Ciko, as the main character and the narrator who told about other characters, also found himself in social conflicts, but the conflict which was the most often told was the conflict among Ciko’s friends and the conflict experienced by the group of street sellers in Malioboro, a group of which Ciko was also a member. But as an individual, Ciko was said as very rarely involved in a direct conflict with other characters

The most frequently happened was the conflict between the strret-sellers against other groups, such as (1) shop-owners, (2) the district authority, and (3) the district governmental security called “pamong praja”. These conflicts were very often dealt with the location of their business, and many others which had any connection to regulation and permission to do business. These conflicts among various groups were always ended with the gorvernmental bodies as the winner. The street-sellers were always the one to be condemned, who could only be light-heated at end to obey all regulations which were set by the government. The various conflicts which happened had some objectives as the background of the emergence of the conflicts themselves: (1) to eliminate competitors, (2) to teach other disliked groups manners, (3) to revenge, (4) to seize power, (5) to get respect, and (6) to defend group’s ego.

(9)

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih yang dicurahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semuanya tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka, dengan setulus hati penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, sebagai pembimbing I, yang dengan segenap hati telah membimbing penulis selama proses pembuatan skripsi ini. 2. Ibu Susilowati Endah Peni Adji, S.S. sebagai pembimbing II yang juga dengan

setulus hati membimbing penulis dan memberi banyak masukan dan kritikan pada penulis.

3. Pak Heri Antono, yang telah menjadi dosen akademik angkatan 2003. Terima kasih atas dorongan dan semangat yang telah diberikan pada penulis.

4. Para dosen yang telah mengajar dan membagi ilmunya pada penulis selama penulis menyelesaikan studi di USD. Pak Rahmanto, Pak Yapi, Pak Praptomo, Pak Santosa, Pak Ari, Pak Putu, Pak Arwan, Pak Heri Mardiyanto, Pak Heri Santosa, Pak Nur, dan semua dosen yang pernah mengajar penulis, selama penulis berkuliah mulai tahun 2003.

5. Staf Sekretariat Sastra. Maturnuwun atas bantuannya. Maaf aku sering merepotkan.

6. Perpustakaan USD dan para karyawannya. Terima kasih atas bantuannya selama ini.

7. Orangtuaku dan seluruh keluarga besarku... Matur sembah nuwun untuk semuanya. Akhirnya aku bisa selesaiin skripsiku.. Fiuh...satu hutangku terlunas sudah!!!

8. Sr. Agustine Prawirodisastro, OSU. Maturnuwun atas bantuan dan dorongan yang selama ini telah diberikan pada Rini.

9. Firla, maturtengkyu atas masukan topiknya ya!!!

10.Irez Munyongku Sayang.... hehehe makasih ya Mun... untuk semuanya...! Kapan kamu nyusul??

(10)

12.Suster Martha, thanks atas pinjaman bukunya. Tuk Tuti, Lia ‘Nyonyo’, Yuni, Uchi, Prima, Melia, ‘Mamah’ en ‘Papah’nya, Desy, Firla, Helen thanks buat kebersamaan yang udah kita lalui selama ini dan semangat yang kalian bagikan untukku. Tak lupa untuk temanku yang jauh di sana, Azwar... thanks untuk doa dan semangatnya.

13.Thanks buanget to semua rekan-rekanku yang gak bisa aku sebutkan satu persatu yang selalu mendukung dan memotivasi aku tuk selesai skripsi ini. Tidak lupa teman-temanku semua... Anak Sastra Indonesia angkatan 2003 dan semua yang kenal aku, cayo semangat!!

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan peminat karya sastra.

Penulis

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xi

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Rumusan Masalah...5

1.3Tujuan Penelitian...5

1.4Manfaat Penelitian...6

1.5Tinjauan Pustaka...6

1.6Landasan Teori...7

1.6.1 Tokoh dan Penokohan...7

(12)

DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO...17

2.1 Tokoh dan Penokohan...17

2.1.1 Tokoh...17

2.1.2 Penokohan...18

2.1.2.1 Tokoh Ciko...19

2.1.2.2 Tokoh Cak Tihan...28

2.1.2.3 Tokoh Makabumi...32

2.1.2.4 Tokoh Pak Bangun...34

2.1.2.5 Tokoh Jon... 36

BAB III ANALISIS KONFLIK SOSIAL DALAM NOVEL ORANG-ORANG MALIOBORO...50

3.1 Konflik Sosial antara Individu dengan Individu...50

3.1.1 Konflik Sosial antara Bagio dan Jiwangga...50

3.1.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial...50

3.1.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial...54

3.2 Konflik Sosial antara individu dengan kelompok...55

3.2.1 Konflik Sosial antara Jiwangga dan Massa...55

3.2.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial...55

3.2.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial...58

3.2.2 Konflik Sosial antara makabumi dan Pencopet...59

3.2.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial...59

3.2.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial...63

3.3 Konflik Sosial antara Kelompok dengan Kelompok...64 3.3.1 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima

(13)

xiii

3.3.1.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial...68

3.3.2 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima dan Pihak Kecamatan... 69

3.3.2.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial... 69

3.3.2.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial... 72

3.3.3 Konflik Sosial antara Pedagang Kakilima dan Pamong Praja... 73

3.3.3.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik Sosial... 73

3.3.3.2 Tujuan Terjadinya Konflik Sosial... 77

3.4 Rangkuman... 79

BAB IV PENUTUP... 81

4.1 Kesimpulan... 81

4.2 Saran...84

(14)

1.1Latar Belakang

Pada umumnya, seseorang hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam menjalankan aktivitas bermasyarakatnya tersebut, semuanya tidak selalu berjalan dengan baik. Ada kalanya, bahkan sering, seseorang dihadapkan pada suatu konflik, baik konflik dengan seseorang ataupun konflik dengan suatu kelompok. Konflik dapat ditimbulkan oleh banyak hal, misalnya saja perbedaan prinsip atau pola pikir, perbedaan kepentingan, keadaan sosial yang berlainan, dan lain sebagainya. Semakin berjejal orang berkumpul di suatu tempat, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik di sana. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dan konflik saling berhubungan.

(15)

Di dalam sastra, dikenal tiga macam himpunan konflik dramatis. Pertama, konflik sosial, yaitu konflik antarmanusia. Perbedaan pendapat, kepentingan atau tujuan merupakan sumber terjadinya konflik semacam ini. Setiap hari kita melihat atau mengalami sendiri konflik semacam ini. Kedua, konflik batin, yaitu konflik yang terjadi di dalam diri seseorang. Ketiga, konflik elemental, yaitu konflik antara manusia dengan alam dan/atau dengan lingkungannya (Likumahuwa, 2001 : 78).

Konflik sosial adalah pertentangan antara dua orang atau lebih ketika salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuat tidak berdaya. Suatu konflik sosial biasanya bersumber pada suatu masalah dalam masyarakat. Konflik dapat timbul karena adanya dua keinginan yang sama-sama kuat. Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan status atau kekuasaan (Wikipedia, 2007 : 1). Menurut Nurgiyantoro (2005 : 124) konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia, atau masalah-masalah yang muncul akibat adanya hubungan antarmanusia.

(16)

kakilima menutupi keberadaan toko dan barang dagangan mereka sehingga toko menjadi sepi dan barang dagangan mereka tidak laris terjual.

Ada pula konflik yang terjadi antara para pamong praja dan pedagang angkringan serta pedagang kakilima. Pamong praja menggusur pedagang angkringan dari tempat yang biasa dipakai pedagang angkringan berjualan dengan alasan pedagang angkringan membuat jalanan menjadi terlihat tidak tertata rapi dan macet. Para pedagang angkringan yang tergusur merasa dirugikan dengan adanya penggusuran tersebut, karena tempat baru mereka bukan tempat yang strategis dan yang menjadi saingan mereka adalah penjual makanan lesehan. Para pedagang kakilima (salah satunya Ciko sebagai tokoh utamanya) juga akan merasakan dampak dari penggusuran pedagang angkringan tersebut. Mereka merasa kesusahan apabila hendak membeli makanan, karena lokasi berjualan pedagang angkringan yang baru nantinya berjauhan dari lokasi pedagang kakilima di bagian barat.

Konflik antara pedagang kakilima dan pencopet juga terjadi dalam Orang-orang Malioboro. Konflik sosial dalam Orang-Orang-orang Malioboro tidak hanya itu saja,

masih ada konflik antara pedagang kakilima dan preman di Malioboro, konflik antara petugas keamanan Malioboro dengan pencopet, dan masih banyak konflik sosial yang terjadi lainnya. Konflik yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro sebagian besar terjadi di Malioboro, namun ada beberapa konflik yang dialami Ciko dan teman-temannya ketika ia masih di Tanjung Karang.

(17)

besar di Tanjung Karang, Lampung. Ketika masih tinggal di Tanjung Karang, Ciko adalah seorang pemakai ganja. Banyak peristiwa buruk yang telah ia alami di Tanjung Karang. Pada akhirnya, ia pergi ke Yogyakarta dan berprofesi sebagai pedagang kakilima di Malioboro.

Penelitian yang membahas masalah konflik sosial ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pendekatan sosiologi sastra menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai masyarakat ke individu. Pendekatan ini menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat (Ratna, 2007 : 59). Sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Damono, 2002 : 11). Hal ini terlihat pada novel Orang-orang Malioboro yang dapat dikatakan sebagai cerminan dari kehidupan nyata masyarakat yang ada di kawasan Malioboro.

Ada beberapa alasan mengapa penulis memilih novel Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto sebagai bahan penelitian. Pertama, novel ini

(18)

mengungkapkan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial tokoh-tokoh yang hendak dianalisis peneliti..

1.2Rumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1.2.1 Bagaimanakah tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto?

1.2.2 Bagaimanakah konflik sosial yang ada dalam Orang-orang Malioboro?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orang-orang Malioboro karya Eko Susanto.

(19)

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini hendaknya bermanfaat untuk :

1.4.1 menambah pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai keadaan sosial di Malioboro dan konflik sosial yang ada dan telah diceritakan dalam novel Orang-orang Malioboro

1.4.2 menambah referensi dalam penelitian sastra Indonesia khususnya analisis novel dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, 1.4.3 meningkatkan apresiasi sastra, melalui karya sastra yang berbentuk

novel,

1.4.4 memperkaya referensi studi sosial yang membahas kehidupan sosial suatu daerah, yakni Malioboro,

1.4.5 para peneliti lain yang tertarik untuk membahas masalah sosial di Malioboro. Hendaknya penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi yang berguna.

1.5 Tinjauan Pustaka

(20)

1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (i) tokoh dan penokohan, (ii) konflik sosial, dan (iii) sosiologi sastra.

1.6.1 Tokoh dan Penokohan

Teori ini berfungsi untuk mengetahui keberadaan tokoh dan penokohan dalam Orang-orang Malioboro dan seberapa besar pengaruhnya pada konflik sosial yang terjadi di dalamnya.

1.6.1.1Tokoh

Tokoh menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007 : 165) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan oleh tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Keadaan ini justru sering berakibat kurang menguntungkan para tokoh cerita itu sendiri dilihat dari segi kewajarannya dalam bersikap dan bertindak. Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang (Nurgiyantoro, 2007 : 167).

(21)

menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian sekaligus berhubungan dengan tokoh lain. Tokoh tambahan adalah tokoh yang dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung (Nurgiyantoro, 2007 : 177).

1.6.1.2Penokohan

Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007 : 165). Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan, sebab masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2007 : 166).

Keadaan sosial para tokoh dalam Orang-orang Malioboro juga sangat berpengaruh penting dalam membangun terjadinya konflik. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, keadaan berarti segala yang terdapat atau terjadi pada suatu

(22)

Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis masalah tokoh dan penokohan serta keadaan sosialnya saja. Penulis tidak menganalisis berdasarkan strukturalisme yang terdiri atas tema, alur, tokoh dan penokohan, serta latar, karena menurut penulis bagian tokoh dan penokohan serta keadaan sosiallah yang paling penting dan berperan besar pada perkembangan konflik. Sedangkan untuk bagian tema, alur dan latar sudah cukup dijelaskan dalam penggambaran dan analisis penulis. Menurut Nurgiyantoro (2005 : 164), tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Plot boleh saja dipandang sebagai tulang punggung cerita, namun kita pun dapat mempersoalkan, siapa yang diceritakan itu? Siapa yang melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, “sesuatu” yang dalam plot disebut sebagai peristiwa, siapa pembuat konflik, dan lain-lain adalah urusan tokoh dan penokohan.

1.6.2 Konflik Sosial

Dalam Wikipedia (2007 : 1), konflik berasal dari dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai

(23)

masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Wikipedia, 2007 : 1).

Menurut Roberth C. North, tujuan kelompok-kelompok yang berkonflik tidak hanya mendapatkan nilai-nilai yang diinginkan tetapi juga menetralkan, melukai, atau mengurangi saingan-saingan mereka. Konflik dapat terjadi di antara individu dan individu, antara individu dan kelompok, maupun antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain (Sills, 1968 : 221-226). Teori ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memperjelas mengenai apa itu konflik sosial dan keberadaan konflik sosial yang terjadi pada tiap-tiap tokoh dalam Orang-orang Malioboro.

1.6.3 Sosiologi Sastra

(24)

Sosiologi sastra merupakan suatu ilmu interdisipliner (lintas disiplin) antara sosiologi dan ilmu sastra. Pada mulanya dalam konteks sosiologi maupun ilmu sastra, sosiologi sastra merupakan suatu disiplin ilmu yang agak terabaikan. Ada kemungkinan penyebabnya karena objek penelitiannya yang dianggap unik dan eksklusif. Di samping itu, dari segi-segi hitoris, juga karena memang sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang relatif baru, berbeda dengan sosiologi pendidikan yang sudah terkenal lebih dahulu (Saraswati, 2003 : 2).

Namun, akhir-akhir ini sosiologi sastra semakin diminati banyak orang. Hal ini dapat disadari seiring dengan perubahan zaman yang memungkinkan sering terjadi interaksi antarmanusia. Kemungkinan antarmanusia merupakan aktivitas yang unik dan membutuhkan rasa keterpahaman. Sosiologi dianggap dapat membantu untuk memahami kehidupan manusia. Makin disadari bahwa kehidupan sosial manusia tidak hanya dibangun oleh serangkaian aksi dan interaksi yang sifatnya fisik, tetapi juga dibangun oleh sistem dan praktik-praktik penandaan atau simbolik (Saraswati, 2003 : 1).

(25)

kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya mengandung masalah-masalah kemasyarakatan (Ratna, 2007 : 332-333).

Menurut Ian Watt (dalam Damono, 1978 : 3), telaah suatu karya sastra dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat mencakup 3 hal, yakni :

(1) Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastra.

(2) Sastra sebagai cermin masyarakat, sastra mungkin dapat mencerminkan keadaan masyarakat dan menampilkan fakta-fakta sosial dalam masyarakat. (3) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra

berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca.

(26)

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam rangka mencari pemecahan masalah. Metode penelitian ini mencakup jenis penelitian, pendekatan, pengumpulan data, analisis data, dan sumber data. 1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini berupa penelitian pustaka yang digunakan untuk mendapatkan data yang konkret. Penelitian pustaka dilakukan dengan menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian yakni novel Orang-orang Malioboro dan yang membahas masalah konflik sosial di dalamnya.

1.7.2 Pendekatan

(27)

1.7.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan diperoleh dengan cara teknik catat, yaitu mencatat data yang berasal dari buku-buku maupun artikel yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan novel Orang-orang Malioboro, masalah konflik sosial, dan masalah sosiologi sastra. Peneliti mengumpulkan data yang diperoleh kemudian mencatatnya pada sebuah buku atau kertas (Sudaryanto, 1993). Teknik ini digunakan penulis untuk mencatat data-data yang menjadi bagian dari novel Orang-orang Malioboro dan berhubungan dengan masalah penelitian di atas.

1.7.4 Analisis Data

Metode yang digunakan untuk analisis data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Peneliti membuat deskripsi dengan mencatat, kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data yang akan diteliti (Mardalis, 1990 : 26). Dengan metode ini akan dicatat data-data yang berkaitan dengan konflik sosial dalam novel Orang-orang Malioboro dengan sudut pandang sosiologi sastra. Data tersebut akan dianalisis dan diinterpretasikan. Hasil analisis dan interpretasi tersebut dideskripsikan dalam bentuk laporan penelitian.

1.7.5 Sumber Data

Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. 1.7.5.1 Sumber data primer

(28)

Pengarang : Eko Susanto

Penerbit : Insist Press, Yogyakarta Tahun terbit : 2005

Cetakan : Pertama Tebal buku : xii + 203 hlm 1.7.5.2 Sumber data sekunder

Sumber data sekunder berupa hasil penelitian, artikel dari internet, dan pustaka-pustaka lain yang berhubungan dengan objek penelitian ini.

1.8 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu :

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi penggambaran tentang tokoh dan penokohan serta keadaan sosial tokoh dalam novel Orang-orang Malioboro. Pada bagian ini, akan digambarkan tokoh dan penokohan serta keadaan sosial dalam Orang-orang Malioboro.

Bab III berisi pemaparan mengenai konflik sosial yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro. Pada bab ini, akan diuraikan latar belakang terjadinya konflik

(29)
(30)

SERTA KEADAAN SOSIAL ORANG-ORANG MALIOBORO

Pada bagian ini akan dianalisis tokoh dan penokohan serta keadaan sosial. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengambaran tiap tokohnya dan keadaan sosial masyarakat (pedagang kakilima) di Malioboro. Seluruhnya akan diuraikan sebagai berikut.

2.1 Tokoh dan penokohan 2.1.1 Tokoh

Semua novel, di dalamnya terdapat tokoh yang berfungsi membentuk cerita, tidak terkecuali dalam novel Orang-orang Malioboro. Tokoh yang ada mencakup tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dalam Orang-orang Malioboro adalah Ciko. Ciko paling banyak diceritakan dalam novel Orang-orang Malioboro dan dapat dikatakan sebagai tokoh pencerita dari segala permasalahan yang ada, baik sebagai orang yang terlibat secara langsung dalam suatu permasalahan maupun yang tidak terlibat secara langsung.

(31)

Richard, Mamak, Kharis, Andreas, Jaladri, Bapak Ciko, Ibu Ciko, Tokyo/Tukiyo, Gema Ratri, Ira Marlina, Hany Windaru, Kemala, Agus Gendheng, Mbah Jemi, para pemilik toko di Malioboro, para pamong praja, orang-orang kecamatan, preman, dan pencopet.

Semua tokoh tambahan tersebut mempunyai peranan masing-masing, baik sebagai tokoh yang berfungsi menyampaikan pikiran dan perasaan tokoh utamanya maupun yang secara langsung kurang mendukung keberadaan tokoh utamanya. Cak Tihan, Makabumi, Pak Bangun, Jon, Tiar, Bagio, dan Jiwangga merupakan tokoh tambahan yang akan dianalisis penulis. Penulis memilih tokoh-tokoh tambahan tersebut karena tokoh-tokoh tambahan tersebut sangat mendukung keberadaan Ciko sebagai tokoh utamanya dan berperan cukup penting pada konflik yang terjadi dalam Orang-orang Malioboro. Pengenalan tokoh-tokoh akan dibahas lebih lanjut dalam

penokohan masing-masing tokoh.

2.1.2 Penokohan

(32)

Berikut ini akan diuraikan penokohan tokoh utama dalam Orang-orang Malioboro, yakni Ciko dan beberapa tokoh tambahan yakni, Cak Tihan, Makabumi,

Pak Bangun, Jon, Tiar, Bagio, dan Jiwangga.

2.1.2.1 Ciko

Ciko adalah anak pertama dari tujuh bersaudara. Ia putra keturunan Jawa yang lahir dan dibesarkan di Tanjung Karang, Lampung. Ayahnya pensiunan BUMN dan ibunya membuka warung di rumah mereka.

(1) Ciko, orangtuanya Jawa, asli Kulon Progo, yang ditugaskan pada sebuah perusahaan jawatan di Tanjung Karang. ( Susanto, 2005 : 21)

(2) Aku anak pertama dan adikku enam, tiga lelaki dan empat perempuan dalam sebuah rumah tangga sederhana, dan dua di antaranya telah berkeluarga. (Susanto, 2005 : 52)

(3) Bapakku, dia telah pensiun beberapa tahun yang lalu dari sebuah perusahaan jawatan yang telah lama menjelma menjadi BUMN. Dulu dia bekerja sebagai POLSUSKA, polisi khusus kereta api. (Susanto, 2005 : 52)

Ciko yang terlahir dari keluarga sederhana, memiliki orang tua yang lengkap dan sangat menyayanginya. Ibunya lembut dan selalu menjaga Ciko sejak kecil. Ayah Ciko pendiam dan sangat disegani anak-anaknya. Selain itu, ayah Ciko termasuk ayah yang sangat memperhatikan keinginan anak-anaknya.

(33)

(5) Pernah suatu hari, dulu saat aku masih kecil, aku minta dibawakan durian saat dia hendak berdinas mengawal kereta ke Baturaja, dia diam saja, tapi keesokan paginya aku telah mendapati seonggok durian di dapur, rupanya malam tadi dia membawanya dari Baturaja. (Susanto, 2005 : 53)

(6) ”Ciko!” seru ibuku terperanjat mengetahui aku nongol dengan tiba-tiba di teras rumah.

”Mana perempuanmu dan kenapa tak telpon dulu jika ingin pulang.” Lanjutnya sambil memeluk dan mencium kedua pipiku. (Susanto, 2005 : 55)

Kutipan (4) dan (6) menunjukkan rasa sayang ibu pada Ciko. Pada bagian tersebut, diperlihatkan bagaimana sikap ibu yang tidak lagi memperdulikan bagaimana kelakuan buruk Ciko sebelumnya. Ibu menjadi orang pertama yang menyambut kedatangan Ciko setelah sekian lama Ciko tidak pulang ke rumah. Ibu memeluk dan mencium Ciko sebagai lambang cinta kasihnya pada Ciko. Sedangkan kutipan (5) sebagai bukti rasa sayang ayah Ciko pada Ciko. Ketika Ciko minta dibawakan durian, ayah Ciko hanya diam saja, seolah-olah tidak menanggapi, tapi ketika pulang ke rumah, ayah Ciko tidak lupa membawa buah durian yang diminta Ciko.

Bentuk fisik Ciko, hampir sama seperti bentuk fisik lelaki Indonesia pada umumnya, Ciko memiliki tinggi badan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Ia membiarkan rambutnya bertambah panjang seperti kebiasaan laki-laki zaman sekarang yang gemar memanjangkan rambutnya.

(34)

(8) Aku mudah dikenali karena rambutku yang gondrong .... (Susanto, 2005 : 90).

Kutipan (7) di atas membuktikan bahwa secara fisik, Ciko seorang pemakai ganja dan obat-obatan. Namun, Ciko tidak hanya mengkonsumsi ganja dan obat-obatan, ia juga sering mengkonsumsi minuman keras. Kebiasaan buruk ini dimulai sejak Ciko duduk di bangku SMP.

(9) Aku mengenal ganja saat SMP kelas satu, awal tahun 80. Dedi pertama kali mengenalkannya padaku di sudut kelas pada saat jam istirahat. Kehidupan masa SMP terus berlanjut seperti itu sampai menjelang lulus dan meneruskan ke SMA. (Susanto, 2005 : 70)

(10) Dulu saat sekolah, berangkat sekolah sengaja tak sarapan di rumah tapi mampir di warung, makan nasi uduk dan nenggak anggur vigour sebotol kecil, lalu jalan menuju sekolah seperti melayang. Sesampainya di sekolah tidak langsung masuk ke ruangan, tapi ke belakang untuk menghisap ganja bersama teman-teman. (Susanto, 2005 : 71)

(11) Saat itu, aku nenggak vodka sendirian dan seorang memberi tarikan gele setengah batang dan tiga butir rivo (Susanto, 2005 : 76)

(12) …..menghabiskan sebatang Budda Stick. Tak ada yang tahu di tengah keramaian lalu lalang kendaraan itu aku tengah menghisap BS, bahkan abang becaknya sendiri tak tahu. Dikiranya aku merokok biasa. Wuih, nikmat nian cuci mata sambil mabuk (Susanto, 2005 : 106).

(13) Aku baru saja dari pajeksan, menenggak dua gelas ciu rasa moka di warung Jojo (Susanto, 2005 : 129).

(35)

Keenam kutipan di atas benar-benar menunjukkan bahwa Ciko menjadi sosok yang gemar mengkonsumsi obat-obatan dan minum-minuman keras. Hal ini kemungkinan besar disebabkan faktor lingkungannya yang memang sebagian besar anak muda disekitarnya memakai obat-obatan dan sering mabuk-mabukan. Banyak orang memahami jikalau pulau tempat tinggal Ciko sebagai pulau yang banyak ditumbuhi tanaman ganja.

Di Tanjung Karang, Ciko pernah menjadi bandar ganja kelas amplop. Ciko bersama dengan beberapa orang temannya mengecer ganja-ganja tersebut pada anak-anak muda di kampungnya.

(15) Di kampungnya di Jalan Hayam Wuruk, Umbul Kapuk, ia pernah menjadi bandar ganja klas amplop, dan tak pernah berurusan dengan “penyakit”. Dia sebenarnya tak pernah bekerja seperti sekarang ini. Dia bukan pelaku kriminal, kerjaannya yang utama adalah mengecer ganja pada anak muda di kampungnya bersama beberapa kawan. (Susanto, 2005 : 21)

Ciko tidak hanya menjual ganja di kampungnya, ia juga pernah menyuplai ganja di luar daerahnya. Selama menjadi bandar ganja, Ciko belum pernah tertangkap pihak berwajib.

(16) Pernah pula menjadi penyuplai ganja bersama Mamak dan Kharis selama beberapa tahun ke Cilegon dan Cikampek …. (susanto, 2005 : 22)

Bagi Ciko, menjalani kehidupan sebagai bandar ganja sekaligus pemakai, tidaklah nyaman. Ciko sering merasakan kecemasan dan ketakutan yang berlebihan.

(36)

(18) Aku hidup dalam ketakutan dan barangkali keberanian sengaja menjauh dari tubuhku. Aku pernah mengalami rasa kejiwaan yang lumayan parah. Sebagian kawanku di Jogja mengatakan ; paranoid. Itulah akibat dua belas tahun lebih aku terkena asap ganja dan obat-obatan. (Susanto, 2005 : 70)

Kedua kutipan di atas merupakan suatu bukti bahwa kehidupan Ciko yang dahulu selalu diwarnai perasaan takut dan cemas. Ciko selalu memiliki pikiran yang negatif terhadap orang lain sebagai mata-mata yang hendak menangkapnya. Oleh sebab itu, Ciko mencoba berubah. Ciko tidak lagi menjadi bandar dan mengurangi kebiasaannya mengkonsumsi ganja dan obat-obatan.

(19) Aku memang begitu tertutup dengan alamat Jogja sebab aku tahu bakalan kurang bagus bagi penyadaranku. Aku ingin berubah, minimal lepas dari ganja dan obat-obatan, batinku. (Susanto, 2005 : 79)

(20) Aku ingin berhenti dari kebiasaan itu, sebab aku ingin mempersiapkan diriku menghadapi pernikahanku di masa mendatang. Aku harus bersih sebab aku menginginkan anakku sehat, kelak. Menurutku sekaranglah saat yang tepat untuk memulai dunia baru tanpa asap rokok, alkohol, dan ganja. (Susanto, 2005 : 161)

Di berbagai tempat, baik di Malioboro maupun di tempat kelahirannya Ciko memiliki banyak teman. Kebiasaannya yang amat menonjol adalah berkumpul dan duduk bersama teman-temannya.

(21) Dan sebagian kawan-kawan yang lain yang sepermainan denganku dan biasa nongkrong di Jalan Pangkal Pinang, Tanjung Karang …. (Susanto, 2005 : 3)

(37)

(23) Bahkan aku sering meninggalkan tempatku mengaji sejak aku bersama kawan-kawan baruku. Berkumpul dan melakuan berbagai macam aktivitas di sudut sekolah yang rimbun pepohonan. (Susanto, 2005 : 59)

(24) Aku duduk bersama beberapa kawan pelukis lainnya di marka jalan depan toko Koh Hi Nor, dan bersandar pada tiang bendera yang berjajar di tengahnya. (Susanto, 2005 : 135)

Kebiasaan Ciko berkumpul bersama dengan teman-temannya, membentuk Ciko menjadi pribadi yang memiliki rasa solidaritas tinggi.

(25) Beberapa orang ustad pun telah mengingatkan untuk tidak ikut-ikutan nongkrong bahkan menjadi ganjais seperti beberapa kawan SMA-ku, tapi sebagai solidaritas dan perkenalan dengan kawan baru, aku tidak menggubrisnya saat itu. (Susanto, 2005 : 59)

(26) Aku mengimbangi mereka agar tidak terlihat bahwa aku sebenarnya sudah lama meninggalkan kebiasaan itu jauh lima tahun yang lalu. (Susanto, 2005 : 68)

(27) Ya, aku menghormati anak-anak muda ini, nanti dikira sombong, nggak mau narik barang mereka, lagian ada rasa kangen. (Susanto, 2005 : 72)

(28) Aku datang melayat dengan beberapa kawan saat jenazah belum datang dari tempat kejadian kecelakaan, Situbondo (Susanto, 2005 : 126).

Kutipan (25), (26), dan (27) menunjukkan rasa solidaritas Ciko pada temannya, walaupun rasa solidaritas yang tergolong salah. Sedangkan kutipan (28) sebagai salah satu bentuk kesolidaritasan Ciko terhadap salah seorang temannya yang tertimpa musibah.

(38)

melakukan aksi balas dendam. Ciko juga tidak peduli lagi pada siapa yang akan dia lawan nantinya.

(29) Tepat dugaanku, ternyata Budi telah dicolong dari belakang saat terjadi perkelahian massal di depan sebuah swalayan, malamnya. Itu pengakuannya. Aku segera menghubungi kawan-kawan kampung dan segera merencanakan aksi balas dendam walau tak tahu siapa yang melakukan penusukan terhadapnya. (Susanto, 2005 : 93)

(30) Aku marah sebab dia memaki-maki aku di depan staf wanitanya di kantor. Tanpa pikir panjang aku segera merencanakan niat busukku padanya. Aku melukai kepalanya dengan golok. (Susanto, 2005 : 99)

Biarpun tidak segan melakukan aksi balas dendam, namun sebenarnya Ciko termasuk sosok yang lembut dan mudah terharu. Hal ini terlihat pada saat Ciko melihat nasib pedagang kakilima yang digusur oleh pamong praja dan melihat nasib salah seorang temannya.

(31) Aku pandangi mayat Jiwangga dari seberang jalan. Terkapar ditinggalkan tergeletak begitu saja oleh para pembantainya. Ada rasa sesal di hatiku, andai saja aku segera membaca tiga lembar kuarto yang diberikannya padaku sebulan lalu. (Susanto, 2005 : 12)

(32) Aku tersentuh melihat betapa dia menangis, dan dengan terpaksa merelakan gerobaknya diangkut dalam truk sambil menenangkan anaknya yang histeris meminta kembali gerobak dagangan ibunya itu. (Susanto, 2005 : 87)

(39)

menyesalkan kematian temannya tersebut. Kutipan (32) menunjukkan rasa haru Ciko ketika melihat seorang pedagang angkringan yang gerobaknya diangkut oleh para pamong praja. Biarpun bukan ia sendiri yang digusur, namun Ciko tetap ikut merasakan hal yang dialami oleh pedagang angkringan tersebut. Apalagi melihat anak dari pedagang itu yang turut menangis.

Kehidupan Ciko yang sering dihabiskan bersama dengan orang-orang kecil (pedagang kakilima), menjadikan Ciko sebagai sosok lelaki yang peduli pada nasib orang kecil. Kepeduliannya pada orang kecil membuat diri Ciko kurang menyukai sikap pemerintah maupun oknum-oknum yang sering bertindak kurang adil dan hanya mampu memberikan janji saja. Ciko sering mendapati pemerintah atau oknum-oknum yang sering menindas kaum kecil seperti pedagang kakilima.

(33) “Ah, itu sih alasan kuno.” Jawabku ketus.

“Setiap pengusaha yang akan membangun tempat usaha baru di mana pun tempatnya, dan bila bersinggungan dengan masyarakat setempat pasti akan mempunyai alasan yang sama. Biasa Bu, pengusaha itu tak ubahnya politikus. Janji saja yang di umbar dari mulutnya.” Tambahku. (Susanto, 2005 : 56)

(34) “…. Tapi payah! Sekaten sekarang berbeda dengan dulu. Jika dulu acaranya rakyat jelata, kini berubah menjadi pestanya kaum pemodal.” Lanjutku. (Susanto, 2005 : 59)

(35) Ya, pintar saja nggak cukup Pak, kalau cuma menindas orang kecil, sekarangkan musimnya swastanisasi, apa-apa diswastakan agar fasilitas lebih baik, diprivatisasi agar lebih maju dan berkembang. Tapi kan konsekuensinya mereka harus menaikkan harga-harga juga dan imbasnya kita akan membayar mahal. (Susanto, 2005 : 61)

(40)

memperhatikan bahwa copet banyak berkeliaran di jalanan ini. (Susanto, 2005 : 119)

Keempat kutipan di atas menunjukkan sosok Ciko yang tidak menyukai ketidakadilan dan perilaku orang-orang yang memiliki banyak uang dan memiliki kekuasaan pada masyarakat kecil yang tentunya sering ditindas. Memang tidak semua orang yang mempunyai kekuasaan dan uang yang bersikap demikian, namun tidak dapat disangkal lagi bahwa kebanyakan dari orang-orang seperti itu bersikap tidak adil. Setelah menjadi pedagang kakilima di Malioboro, Ciko semakin merasakan tindakan yang kurang adil dari para pamong praja terhadap dirinya sekaligus rekan-rekannya di Malioboro.

Biarpun hanya seorang pedagang kakilima, akan tetapi Ciko tetaplah sosok pemikir dan penuh pertimbangan untuk memutuskan suatu hal.

(37) “Jangan nekad, di perempatan itu banyak polisi lalu lintas berjaga!” sergah Ciko tanpa menoleh, ketika kuperintahkan untuk menyergap tempat itu. (Susanto, 2005 : 26)

(38) Gila! Pikirku. Tapi, andaikan aku punya uang seperti Dani, aku juga berani mengontrak atau beli tempat di sini. Sebab, uang itu akan kembali walaupun dengan jangka waktu yang lama. Ya, anggap saja investasi jangka panjang, dengan harapan pihak pemerintah daerah tidak akan menggusur dalam waktu sepuluh tahun mendatang sebagaimana ancamannya. (Susanto, 2005 : 38)

(41)

(39) Aku bertahan hidup di Malioboro di antara sela-sela pedagang Pelmani dan Tri Dharma yang mapan, sambil sesekali menoleh ke kiri dan kanan mengawasi petugas trantib yang kadang menggaruk pedagang yang tak punya nomor anggota. (Susanto, 2005 : 102)

(40) Pernah dulu KTP-ku diambil petugas kecamatan tahun ’95. Tak pernah kutebus sampai kini. Andaikan kutebus pun keenakkan petugas kecamatan di sana, duitnya paling-paling masuk kantong sendiri. Lebih baik, duit itu untuk tambahan dagang. (Susanto, 2005 : 102)

Kutipan (39) menunjukkan kenekadan Ciko ketika berjualan di Malioboro. Ciko dapat dikatakan sebagai pedagang ilegal karena tidak mempunyai nomor anggota pedagang kakilima di Malioboro. Apabila hal tersebut diketahui pihak terkait, maka Ciko akan kehilangan barang dagangannya dan membayar uang denda. Kutipan (40) hampir sama dengan kutipan sebelumnya. Sebagai warga suatu daerah, seseorang yang telah berumur tujuh belas tahun atau lebih, diwajibkan memiliki kartu identitas atau KTP. Ciko memiliki kartu itu, namun disita oleh pihak kecamatan. Sudah seharusnya Ciko mengambil kartu itu. Namun, karena kenekadannya, Ciko tidak mengambil KTP yang disita oleh petugas kecamatan.

2.1.2.2 Cak Tihan

Nama lengkapnya Tihan Arantika, oleh teman-temannya sering dipanggil Cak Tihan. Cak Tihan yang berasal dari Mojokerto ini sudah berkeluarga.

(42)

Cak Tihan yang sebagian rambutnya berwarna putih dan panjang sebahu memiliki fisik yang kurus dan terlihat rapuh. Matanya agak rusak sehingga kesulitan membaca tulisan yang kecil.

(42) Aku sudah menduga, lelaki kurus yang selama ini bersebelahan dagang denganku ini mempunyai ….. (Susanto, 2005 : 159) (43) Matanya memang agak rusak setelah terkena bunga api saat dia

bekerja menjadi kuli bengkel pada jaman saat dia bujang dulu. Itu sababnya dia tak bisa membaca tulisan yang agak kecil. Blereng, katanya bila membaca. (Susanto, 2005 : 160)

(44) Lelaki bertubuh rapuh ini begitu mengesankan begiku. Rambutnya sudah berwarna dua pada usianya yang menginjak 45 pada Januari nanti. (Susanto, 2005 : 163)

Tidak ada yang terlihat mencolok pada diri Cak Tihan. Penampilannya biasa saja, sama seperti pedagang kakilima pada umumnya yang terbiasa hidup di jalanan.

(45) Tetapi terlihat biasa saja seperti orang kebanyakan yang hidup di jalanan, memakai asesoris gelang dan cincin dari perak, serta rambutnya dibiarkannya panjang melewati bahunya. (Susanto, 2005 : 164)

Kala masih muda, hidup Cak Tihan diisi dengan petualangan menyusuri berbagai tempat (alam terbuka), siang dan malam berjalan kaki bersama Wahid, kawan seperguruannya. Kebiasaan Cak Tihan yang gemar menyatu dengan alam menjadikan dirinya sebagai sosok yang memiliki pengetahuan luas.

(43)

Selain berpengetahuan luas, Cak Tihan tergolong orang yang sabar. Ketika menghadapi masalah apapun, ia tetap terlihat tenang dan jarang menunjukkan emosi yang berlebihan.

(47) Beberapa dagangannya hilang tapi yang kecil-kecil berharga seribuan, sama halnya barangku yang hilang beberapa (Susanto, 2005 : 115).

(48) Cak Tihan hanya tersenyum dan tidak menampakkan emosi yang meluap-luap sebagaimana kawan pedagang lain yang membelanya. Dia maklum, orang itu mabuk dan tak sengaja menyenggol dagangannya. (Susanto, 2005 : 163)

Kedua kutipan tersebut, benar-benar membuktikan kesabaran Cak Tihan. Kutipan (47), menunjukkan kesabaran Cak Tihan ketika ia kehilangan beberapa barang dagangannya. Kutipan (48) merupakan bentuk kesabarannya ketika ia menghadapi seorang pemabuk yang mengacaukan barang dagangannya. Sebagai orang yang hidup di jalanan, kesabaran Cak Tihan patut diberi pujian.

Cak Tihan tidak hanya sabar, ia juga orang yang bijaksana. Pada saat terjadi permasalahan di Malioboro, Cak Tihan dengan tenang dan bijaksana menengahi dan menenangkan emosi teman-temannya.

(49) “Bakar!” Teriak seseorang.

“Hantam saja rumahnya!” Kata yang lainnya. “Hancurkan!” seru yang lain.

“Jangan anarkis,” kata Cak Tihan.

“Sabar,” lanjutnya dengan tenang. (Susanto, 2005 : 167)

(44)

Profesi Cak Tihan sama dengan profesi Ciko. Akan tetapi, Cak Tihan tidak hanya sebagai pedagang saja, namun sekaligus sebagai pengrajin. Lazimnya seorang pengrajin, yang dilakukan Cak Tihan setiap hari hanyalah membuat kalung dan gelang serta asesoris lainnya seperti anting bulu dan ikat rambut yang juga dari bulu-bulu burung khas indian. Di Malioboro, Ciko sangat dekat dengan Cak Tihan. Cak Tihan mengajarkan banyak hal pada Ciko.

(51) Dia dengan sabar dan telaten akan menerangkan padaku tentang ayat-ayat dan segala bentuk permenungan yang selama ini aku dapatkan dari kitab-kitab Rumi maupun Abdul Qadir Jailani. (Susanto, 2005 : 161)

(52) Dia mengenalkanku pada dunia kekosongan perut yang sebelumnya aku tidak tahu bahwa ada bulan suci selain bulan ramadhan. Juga ada hari baik selain kamis dan senin. (Susanto, 2005 : 162)

(53) Sepi ing rame, rame ing sepi, katanya. Dia mengajari aku untuk tetap ramai di dalam walau di mana aku berada. (Susanto, 2005 : 165)

Ciko banyak belajar pada Cak Tihan. Hal itu dikarenakan Cak Tihan memiliki pengetahuan yang luas mengenai berbagai hal yang belum diketahui Ciko, selain itu Cak Tihan seseorang yang baik hati. Cak Tihan sering mengajarkan pada Ciko untuk lebih dekat kepada Tuhan, akan tetapi, Cak Tihan sendiri terlihat jarang beribadah.

(45)

2.1.2.3 Makabumi

Makabumi, teman seprofesi Ciko yang menempati lahan dasaran yang membelakangi perpustakaan daerah. Selain menjadi pedagang, Makabumi juga bertugas sebagai ketua kelompok satu, kelompok pedagang kakilima, sekaligus sebagai anggota keamanan area utara Malioboro.

(55) “… aku pasrahkan saja pada Makabumi sebab dia ketua kelompok satu….” (Susanto, 2005 : 48)

(56) Makabumi memang menempati lahan dasaran membelakangi perpustakaan daerah, seberang hotel Garuda. (susanto, 2005 : 48)

(57) Musim libur Juni begini biasanya Adi Gemplo dan Makabumi berpatroli bersama beberapa kawannya. (Susanto, 2005 : 113) (58) Hidup di jalan memang penuh resiko. Apalagi seperti Makabumi

yang diberi tanggungjawab untuk menjaga area utara agar pengunjung aman dari segala hal. (Susanto, 2005 : 123)

Menjaga keamanan di Malioboro yang rawan tindakan kriminal bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan keberanian yang lebih untuk melaksanakan tugas tersebut. Keberanian tersebut dapat ditemukan dalam diri Makabumi.

(59) Waktu terus berjalan dan musim liburan sekolah terus berganti. Makabumi ternyata semakin berani. (Susanto, 2005 : 124)

(60) Ada baiknya dia semakin berani, agar tempat ini tidak menjadi ajang latihan bagi copet-copet pendatang baru. (Susanto, 2005 : 124)

(46)

Keberanian yang terdapat dalam diri Makabumi, membuatnya menjadi orang yang terlalu berlebihan dalam menjalankan tugasnya.

(61) Beberapa saat kemudian, Jon datang mengabarkan bahwa Makabumi baru saja memukuli copet yang hendak mengambil dompet ABG yang berdesakan di depan T-shirt Music. Copet itu kabur dengan wajah bekas pukulan. (Susanto, 2005 : 115)

(62) “Biar sajalah, dia memang agak over dalam bertindak.” Katanya. (Susanto, 2005 : 115)

(63) Pencopet itu dihajar oleh Makabumi di hadapan orang sepasar. Puluhan, bahkan bisa saja ratusan orang melihat ia dipukuli malam itu. (Susanto, 2005 : 117)

(64) Makabumi menjaga lahannya agar pengunjung Malioboro aman dari gangguan, walaupun agak berlebihan. (Susanto, 2005 : 118)

Kutipan (61) dan (63) merupakan bukti, bahwa seorang Makabumi menjalankan tugasnya dengan berlebihan. Menangkap pencopet adalah hal yang benar, namun tidak perlu menghakiminya dengan cara memukuli di muka umum.

Makabumi sering diberi masukan oleh beberapa temannya. Akan tetapi, Makabumi tidak pernah mendengarkan masukan dari orang lain.

(65) Beberapa kawan lain yang sudah memperingatkan dirinya agar waspada, tidak digubrisnya. Minimal bawalah senjata sebab bisa saja mereka menyerang di tempat sepi, itu anjuran yang diutarakan oleh para kawan di Malioboro pada Makabumi. (Susanto, 2005 : 117)

(47)

Makabumi tergolong orang yang bertanggungjawab atas apa yang dipercayakan padanya.

(66) Lukanya telah sembuh, walaupun tangan kirinya yang bekas kena bacokan itu masih disangga oleh tangan kanannya. Dia sering dengan sengaja berjalan ke arah thethek di utara, tempat biasa para copet mangkal, dan berputar kembali ke selatan sambil matanya mengawasi orang yang sedang mangkal di tempat itu. (Susanto, 2005 : 124)

Kutipan tersebut menunjukkan rasa tanggungjawab Makabumi pada pekerjaannya sebagai petugas keamanan di Malioboro. Biarpun dalam keadaan yang belum sembuh total dari sakitnya, namun Makabumi tetap menjalankan pekerjaannya dengan baik. Di sisi lain, Makabumi juga orang yang pendendam.

(67) “Jelas, aku masih ingat. Sampai kapan pun aku tak akan melupakan wajah mereka.” Jawabnya penuh dendam.

“Dan suatu saat dia pasti kembali dan akan bekerja di Malioboro. Aku siap menunggunya.” (Susanto, 2005 : 122)

Kutipan (67) sebagai wujud dendam Makabumi terhadap aksi pengeroyokan yang dilakukan kawanan pencopet terhadap dirinya. Makabumi berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas atas apa yang telah dilakukan pencopet terhadap dirinya. Makabumi juga tidak akan melupakan wajah pencopet tersebut.

2.1.2.4 Pak Bangun

(48)

(68) Dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari Mlangi, Sleman, ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)

(69) Bertubuh mungil, berumur kira-kira setengah baya. Ciri khas lainnya dia menanggalkan baju luarnya, dan selalu memakai kaos singlet warna putih serta rokok yang terus menyala bila sedang menata dagangannya. (Susanto, 2005 : 105)

(70) … betapa susahnya mereka membayangkan perjuangan lelaki mungil ini. Bayangkan saja Dul. Orang ini tubuhnya saja yang mungil …. (Susanto, 2005 : 108)

Biarpun bertubuh mungil dan telah berusia senja, namun Pak Bangun yang menjual pakaian batik ini tergolong orang yang tidak segan menyapa orang lain yang usianya jauh lebih muda darinya. Keramahan Pak Bangun selalu ditunjukkan pada Ciko.

(71) “Mas Ciko ndak buka apa, dari tadi kok melamun saja di situ?” Pak Bangun mengagetkanku dalam Jawa. (Susanto, 2005 : 106) (72) “Mas Ciko, sudah pelaris belum?” Pak Bangun mengagetkanku

dari sebelah. (Susanto, 2005 : 110)

Dibandingkan dengan pedagang kakilima yang lain, Pak Bangun tergolong pedagang yang rajin. Pagi-pagi sekali, Pak Bangun sudah datang ke Malioboro dan segera menata dagangannya, sedangkan pedagang yang lainnya mungkin belum bangun dari tidurnya.

(73) Pagi lekas begini, Pak Bangun menjadi orang pertama yang membuka dagangannya. Bagaimana tidak? Lepas subuh, dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari Mlangi, Sleman ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)

(49)

(75) Jika pedagang lainnya jam sembilan sampai jam sepuluh baru selesai menata dagangannya, tidak dengan dia. Jam tujuh pagi, paling telat jam jam delapan, dia sudah santai menanti pembeli sambil membaca koran. (Susanto, 2005 : 109)

(76) Aku leyeh-leyeh usai melaksanakan sholat. Pak Bangun sudah berangkat ke Malioboro lagi. (Susanto, 2005 : 111)

Keempat kutipan di atas membuktikan semangat Pak Bangun dalam menjalani profesinya sebagai pedagang kakilima. Pak Bangun tidak hanya rajin bekerja, namun dia juga rajin dan taat beribadah.

(77) Konon, kata para tetangganya yang juga berjualan di sini, dia rajin ke masjid untuk berzikir. (Susanto, 2005 : 109)

(78) “Ayo ditinggal ke masjid saja dulu. Ramenya kan sore.” Katanya dalam Jawa. (Susanto, 2005 : 111)

Kutipan (77) dan (78) menunjukkan bahwa Pak Bangun adalah lelaki yang taat beragama. Di sela-sela kesibukkannya bekerja, Pak Bangun masih menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat di masjid (kutipan (78)).

2.1.2.5 Jon

Jon salah seorang pedagang kakilima di Malioboro sekaligus teman Ciko. Jon berasal dari Flores dan seluruh keluarganya berada di Flores. Jon hanya sendirian di Yogyakarta dan mencoba peruntungan sebagai pedagang kakilima di Malioboro. Ia baru saja membeli lahan dasaran di Malioboro.

(79) Aku jadi ingat Jon. Belum lama ini lelaki dari Flores itu membeli tempat di utara. (Susanto, 2005 : 42)

(50)

harus berangkat ke sana ….” Kawanku itu tercenung dengan penjelasanku, matanya menerawang, barangkali membayangkan keluarganya di Flores sana. (Susanto, 2005 : 46-47)

Jon sebagai seorang perantau tergolong orang yang mempunyai keberanian untuk mengeluarkan banyak uang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini yang menunjukkan bahwa Jon dapat mengeluarkan uang dalam jumlah yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhannya membeli lahan dasaran di Malioboro.

(81) Belum lama ini, lelaki dari Flores itu membeli tempat di utara seharga 15 juta dengan ukuran 5 x 2 tegel. (Susanto, 2005 : 42) (82) “Biaya balik nama 2,5 juta dan itu sudah terlanjur aku serahkan

ke Pelmani…. (Susanto, 2005 : 43)

Jon termasuk orang yang sering mengeluh dan mengomel. Jon mengeluhkan banyaknya pengeluaran yang harus ia tanggung untuk mengurusi pembelian lahan dasarannya. Keluhan-keluhannya tersebut disampaikan pada Ciko.

(83) Dia menggerutu padaku dan bilang : “Baru saja aku mengeluarkan uang banyak untuk mengurusi biaya balik nama, kini harus mengurusi perizinan yang baru lagi. Barapa lagi uang yang harus aku keluarkan untuk perizinan yang baru?” (Susanto, 2005 : 42)

Tidak hanya suka mengeluh dan mengomel, Jon juga orang yang emosian. Ketika menceritakan masalahnya pada Ciko, tidak jarang Jon menunjukkan emosinya.

(84) “Dan sekarang Perda itu mulai diberlakukan dan aku kena lagi biaya ke RT dan RW dan kelurahan dan kecamatan. Kenapa nggak sekalian saja aku dicekik oleh mereka sampai mati,” katanya lagi mulai emosi. (Susanto, 2005 : 43)

(51)

(85) “Tapi, ya sudahlah! Aku pasrahkan saja pada Makabumi sebab dia ketua kelompok satu. Dan biarkan saja dia yang mengurusnya secara kolektif….” (Susanto, 2005 : 48)

Kutipan di atas menunjukkan kepasrahan Jon saat mengurus pembelian lahan dasaran sekaligus mengurus masalah balik nama. Jon menyerahkan dan mempercayakan sepenuhnya pada Makabumi yang menjadi ketua kelompok satu sekaligus pengurus Pelmani.

2.1.2.6 Tiar

Hampir sama dengan Ciko, Tiar juga seorang pedagang di Malioboro, yang membedakan, Tiar bukanlah pedagang asesoris indian, tetapi pedagang angkringan. Sebagai pedagang angkringan, Tiar tergolong pedagang yang tabah dan pasrah menerima apapun yang diberikan padanya.

(86) …… kini mereka sudah mulai menata pedagang angkringan untuk pindah ke jalur sebelah timur yang biasanya banyak dijejali pedagang bakso dan es… (Susanto, 2005 : 178)

(87) …… tentang bagaimana proses pemindahan itu berlangsung, dan dia bilang mereka diberi ganti rugi perorang tiga ratus ribu rupiah dan sebuah tenda. (Susanto, 2005 : 178)

(52)

2.1.2.7 Bagio

Bagio merupakan salah satu teman dekat Ciko di Tanjung Karang, Lampung. Ayah Bagio berasal dari Banten yang bergelar Tubagus, suatu gelar kebangsawanan di Banten.

(88) Jiwangga segan dengan Bagio karena berasal dari Banten dan tinggal di Kaliawi, kampung yang sangat disegani di Tanjung Karang. (Susanto, 2005 : 5)

(89) Dan Bagio mendapatkannya dari abahnya yang bergelar Tubagus dari Banten. (Susanto, 2005 : 9)

Nama Bagio hanyalah nama samaran yang dipakai sebagai upaya menyembunyikan jati dirinya, nama aslinya Didin. Secara fisik Bagio tampak seperti preman yang sangat identik dengan tato di tubuh, memiliki wajah seram, bertubuh kekar, dan memiliki banyak bekas luka di tubuh.

(90) Nama aslinya Didin. Tubuhnya kekar. Dan dadanya bertato naga. Jika kau melihat kedua lengannya saat dia sedang bermain gitar –dia sesekali mengamen— maka kau akan mendapati sisa-sisa sayatan senjata tajam yang membentuk garis-garis daging menyembul dari luka masa lalu. (Susanto, 2005 : 91)

(91) Matanya tajam. Jarang bicara dan itu yang membuat dirinya semakin disegani …. (Susanto, 2005 : 91)

(92) Didin kini bekerja di sebuah pabrik yang berada di Jalan Raya Subang. Dia bersembunyi di balik nama buruh. Dan sejak saat itu, namanya berubah menjadi Bagio. Nama seorang buruh. (Susanto, 2005 : 96)

Selain berpostur besar dan cukup seram, tubuh Bagio juga kebal terhadap senjata tajam.

(53)

Dan aku telah menyaksikannya saat pertama aku mengenalnya dulu. (Susanto, 2005 : 91)

Kelebihan dirinya yang kebal senjata tajam itulah yang pada akhirnya mencetak diri Bagio menjadi sosok pemberani dan gemar berkelahi dengan orang lain. Apabila tidak menyukai tindakan orang lain, Bagio tidak segan-segan menantang orang lain tersebut untuk berkelahi. Tidak peduli teman sendiri atau bukan, asalkan Bagio kurang menyukainya maka tantangan berkelahi keluar dari mulutnya.

(94) “Kalau kau tak menghargai aku lagi, kita duel di sini. Buat lingkaran. Dan pilih senjata yang kau kehendaki, biar ditonton orang banyak,” tantangnya. (Susanto, 2005 : 6)

(95) “Bukan begitu caranya berkawan dan kami nggak butuh minuman darimu.” Kakinya melayang pada wajah yang telah berdarah dan benjol-benjol itu. (Susanto, 2005 : 9)

(96) Keberaniannya berkelahi patut diacungi jempol. Pelipisnya pernah robek karena dihantam gagang pistol saat ditawur oleh beberapa tentara yang merangkap sekuriti sebuah diskotik di Teluk Betung. (Susanto, 2005 : 92)

Ketiga kutipan di atas menunjukkan sosok Bagio yang gemar berkelahi. Siapa pun yang membuat dirinya marah, akan ditantang berkelahi. Bagio tidak segan menantang berkelahi orang lain, di tengah keramaian sekalipun.

Bagio yang sering duduk-duduk di pasar kurang menyukai Jiwangga yang tidak lain adalah temannya sendiri. Hal itu disebabkan oleh sikap Jiwangga yang sok jagoan dan sering membuat kericuhan di daerah mereka sering berkumpul.

(54)

Kebiasaan Bagio yang selalu berada di pasar membuat dirinya menjadi orang yang emosian dan sering berkata kotor atau sering mengumpat.

(98) “Ngaa…,” katanya pada Jiwangga,

“Lihat dulu siapa di antara kami ini yang kau pandangi sebagai kawan!” kata Bagio, wajahnya memerah menahan amarah. (Susanto, 2005 : 5)

(99) Minuman itu sebenarnya masih cukup jika ingin ditenggak oleh kami yang hanya orang lima, tapi Bagio sudah meradang dan tak mau tahu lagi dengan minumannya, yang ada di otaknya kini bagaimana memberi pelajaran pada Jiwangga yang sok jagoan itu. (Susanto, 2005 : 6)

(100)“Bajingan kau!” sentak Bagio.

“Aku perhatikan kau lagakmu hendak mencobai aku….” (Susanto, 2005 : 7)

Emosi Bagio yang meledak-ledak dan tidak terkontrol membuat dirinya menjadi seorang pembunuh. Ketika Bagio masih menggunakan nama aslinya, Bagio membunuh seseorang dan Bagio pun menjadi buronan.

(101)Tiga hari kemudian, Budi datang mengabarkan bahwa Didin buron karena membunuh seseorang. (Susanto, 2005 : 95)

(102)Dia telah membelah kepala musuhnya dan menjilati darah yang mengalir di leher tubuh lawannya yang telah terkapar, demikian Budi bercerita. (Susanto, 2005 : 95)

(103)Polisi terus melakukan pengejaran terhadapnya, dan beberapa kawan dari musuhnya yang dibunuhnya melakukan pencarian guna melakukan aksi balas dendam. (Susanto, 2005 : 95)

Sebelum membunuh musuhnya, nama Bagio sudah tidak asing di telinga orang-orang yang ada di daerahnya. Ia juga disegani oleh banyak orang.

(55)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sosok Bagio sangat dikenal dan disegani oleh orang-orang di sekitarnya.

2.1.2.8 Jiwangga

Jiwangga merupakan salah satu teman Ciko. Jiwangga berasal dari daerah yang sama dengan Ciko, Tanjung Karang. Jiwangga memiliki tato di tubuh.

(105)Sebelah tangannya penuh darah menutupi tatonya yang bergambar naga. (Susanto, 2005 : 11)

Awalnya, Jiwangga bekerja di suatu bengkel, namun karena alasan gaji yang kurang memadai, Jiwangga pun memutuskan keluar dari pekerjaannya tersebut dan menjadi seorang pelaku kriminal.

(106)Jiwangga pelaku kriminal yang biasa berkeliaran di sekitar Malioboro. (Susanto, 2005 : 1)

(107)….walaupun kadang angkuh pada keahliannya. Menjambret dan mencopet. (Susanto, 2005 : 2)

(108)“Sekarang, buktikan kalau kau penjambret ulung seperti yang kau ocehkan pada anak-anak Pangkal Pinang….” (Susanto, 2005 : 7)

(109)Aku menjumpainya di Jogja. Saat dia tengah dirundung sial karena gagal menjambret, dan barangkali kesombongannya itu pula yang membawanya bertindak sendirian tanpa berpikir bahwa massa telah lama mengincarnya. (Susanto, 2005 : 11)

(56)

(110)Dan yang ada dipikirannya barangkali hanyalah ; jika kepepet maka tebas saja lalu kabur, sebagaimana kebiasaan kuno para pelaku kriminal yang biasa bekerja sendirian. (Susanto, 2005 : 11)

(111)Si bule menjerit. Lengannya ditebas oleh Jiwangga karena kesulitan menarik tas berisi uang itu dari genggamannya. (Susanto, 2005 : 11)

Di antara teman-temannya, Jiwangga terkenal paling sering membuat masalah dan sering menimbulkan keributan.

(112)Tanpa basa-basi, dia segera menenggak minuman yang ada di tengah lingkaran, sedang kami belum satu pun yang menyentuh minuman itu. Gelas yang ada di depan kami masih nampak penuh semua saat dia menenggaknya, sebab baru saja dioplos oleh Boni. (Susanto, 2005 : 4)

Kutipan di atas menunjukkan perbuatan Jiwangga yang membuat masalah dengan teman-temannya, yang pada akhirnya menimbulkan keributan.

Selain itu, Jiwangga juga mengkonsumsi obat-obatan dan sering mabuk-mabukan.

(113)Jika mabuk selalu mengganggu sesama dengan cara memalak mengatasnamakan kawan jika dia merasa kurang dengan apa yang ditenggaknya. (Susanto, 2005 : 3)

(114)….dari jauh dia terlihat dari arah Jalan Baru, berjalan sempoyongan di trotoar depan King Market, menuju ke arah kami yang sedang melingkar menghadapi minuman. (Susanto, 2005 : 4)

(57)

Jiwangga memang seorang pelaku kriminal dan pengkonsumsi obat-obatan. Namun, di balik itu semua, Jiwangga merupakan sosok lelaki yang sangat mencintai dan peduli pada keadaan istri dan anak-anaknya.

(116)Aku butuh biaya. Dan aku berjanji dalam hatiku bahwa ini adalah kerjaku terakhir. Sebab, aku sudah tak mungkin lagi menyakiti istriku dengan selalu membuatnya cemas bila aku selalu meninggalkannya berhari-hari tanpa seuntai kabar. Bagaimana aku bisa tahan jika orang yang kucintai selalu meneteskan air mata, mendoakanku untuk terus melawan keinginan-keinginan jahat yang melingkupi diriku. (Susanto, 2005 : 17)

Kutipan di atas menunjukkan rasa sayang dan kepedulian Jiwangga pada istrinya. Jiwangga berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti dari kebiasaan buruknya merampok dan menjambret, dan hendak mencari pekerjaan yang lebih halal. Ia tidak ingin membuat istrinya menangis lagi, ia ingin membahagiakan istri dan anak-anaknya.

2.2 Keadaan Sosial

(58)

(117)Aku duduk sejenak di sudut depan Toko Kotamas, ruangku di kakilima. Bertegur sapa sejenak dengan dengan pengemudi becak yang biasa mangkal di sana dan para pedagang yang baru saja akan membuka dagangannya di sekitar Hotel Garuda. (Susanto, 2005 : 103)

(118)Musim libur Juni begini biasanya Adi Gemplo dan Makabumi berpatroli bersama beberapa kawannya. Dan aku baru saja duduk menunggu daganganku. (Susanto, 2005 : 113)

(119)Kami istirahat sejenak menunggu arus balik dari selatan. Selalu begitu bila musim libur datang. Menanti arus pengunjung yang datang dari hulu kemudian menunggu arus balik dari hilir. (Susanto, 2005 : 115)

Para pedagang kakilima berjualan di dasaran (lahan) di depan toko yang ada di Malioboro, yang biasa di sebut emperan toko.

(120)Seperti halnya pedagang kakilima dengan pemilik toko di Malioboro, namun rukun jika kita melihat mereka dari kejauhan. Padahal mereka seperti air dan minyak, saling berdampingan dalam satu wadah, tapi saling mempertahankan diri dan terkadang saling menyerang satu sama lainnya. (Susanto, 2005 : 35)

Kutipan di atas menunjukkan hubungan antara pedagang kakilima dan para pemilik toko yang di luar terlihat baik-baik saja, namun pada kenyataannya sering tidak sepaham dan kurang akrab.

Pedagang kakilima hanyalah orang yang terus hidup dengan jalan mencari peluang di tempat keramaian, yakni Malioboro. Kebanyakan orang yang bermata pencaharian sebagai pedagang kakilima hidupnya pas-pasan dan tidak jarang tetap miskin. Namun, banyak juga yang hidup berkecukupan.

(59)

desanya. Kebanyakan orang tak menduga jika ada pedagang di Malioboro mempunyai bisnis mencapai pada kisaran puluhan juta rupiah, bahkan di musim haji lalu, ada di antara mereka yang selamatan naik haji dan mengundang pedagang lainnya untuk makan bersama di rumahnya yang mewah. (Susanto, 2005 : 35-36)

Para pedagang kakilima di Malioboro diatur oleh suatu organisasi. Organisasi ini dibentuk dengan maksud untuk mengatur dan mengurus perizinan baru dengan mengganti nama pemilik atau mengganti nama jenis dagangan bagi para pedagang kakilima yang ingin mengontrak atau melakukan transaksi jual beli lahan dasaran di Malioboro.

(122)Organisasi yang membawahi para pedagang kakilima, yaitu Pelmani untuk pedagang yang membelakangi toko dan Tri Dharma bagi pedagang yang menghadap toko. (Susanto, 2005 : 39-40)

Namun pada kenyataannya, bagi beberapa orang, kedua organisasi ini terasa kurang menjalankan tugasnya dengan baik. Hal ini dirasakan secara langsung oleh beberapa pedagang kakilima, terlihat pada kutipan ini.

(123)Lantas untuk apa dulu setiap pedagang diberi nomor keanggotaan dan dibuatkan wadah organisasi seperti Pelmani dan Tri Dharma? (susanto, 2005 : 41)

(124)Para pedagang kakilima di Malioboro memang unik, mereka dikoordinir sedemikian rupa oleh pemerintah, hingga harus dibuatkan dua organisasi yang mengurusi mereka. Agar lebih enak dipegang, diatur, dan digusur, menurutku. (Susanto, 2005 : 40)

(60)

(125)Dan sekarang saat Malioboro sudah ramai pengunjung, mereka meributkan karena warga aslinya tak ada yang punya lahan dasaran. (Susanto, 2005 : 39)

(126)Aku jadi ingat Jon. Belum lama ini lelaki dari Flores itu membeli tempat di utara seharga 15 juta, dengan ukuran 5X2 tegel. (Susanto, 2005 : 42)

(127)Lepas subuh dia segera mengayuh sepeda onthelnya dari Mlangi, Sleman, ke Malioboro. (Susanto, 2005 : 105)

(128)Saat itu dia terlihat ndeso sekali. Tidak merokok. Sopan yang berlebih. Datang dari Temanggung dengan kemampuan bakat melukis yang lumayan. (Susanto, 2005 : 136)

(129)Lelaki asal Banyuwangi ini ba’da maghrib mampir ke tempatku berjualan setelah mengantarkan adiknya pulang naik kereta api dari Stasiun Tugu. (Susanto, 2005 : 144)

(130)Dia hanya seorang pedagang kakilima dan merangkap seorang pengrajin asli Bondowoso. Anaknya dua dari istri yang juga berasal dari Bondowoso. (Susanto, 2005 : 164)

Beberapa kutipan di atas membuktikan bahwa kebanyakan dari pedagang kakilima yang ada di Malioboro berasal dari berbagai tempat dan bukan berasal dari daerah Malioboro sendiri atau bukan penduduk asli Malioboro. Kenyataan ini sering kali membuat iri para penduduk asli Malioboro yang tidak berjualan di Malioboro.

Referensi

Dokumen terkait

Konflik batin kedua yang disebabkan faktor dari dalam diri individu adalah perasaan bimbang yang dialami Tokoh Saya karena harus pulang tetapi ia ingin terus bersama

Berdasarkan kutipan (58), (59), dan (60) dapat disimpulkan bahwa tokoh Nisa mengalami kebahagiaan yang selama ini yang ingin dia rasakan, bahwa citra diri tokoh Nisa dalam aspek

Hasil penelitian mengenai ritual nggayuh wahyu yang dilaksanakan di Bang Lanpir adalah sebagai berikut : (1) Sejarah Pertapaan Bang Lanpir yang terdiri dari sejarah Dinasti

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa novel Sang Pemimpi ini adalah novel bertemakan kehidupan sosial yang menceritakan tentang persahabatan tiga orang

Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi sebagai wanita yang merindukan kedamaian, percaya diri karena memiliki prinsip dan semangat yang

Salah satu Kompetensi Dasar materi pembelajaran sastra Indonesia adalah materi tentang analisis aspek kepribadian tokoh utama dengan tinjauan psikologi sastra dalam

2014, Kebijakan Liga Arab Dalam Konflik Suriah: Studi Kasus Dukungan Liga Arab Pada Pihak Oposisi Suriah Tahun 2013, Skripsi, Jakarta: Jurusan Hubungan

Pendekatan psikologi sastra sebagai jalan untuk membahas dan mengupas aspek konflik yang dialami tokoh utama yang terdapat di dalam novel Orang-orang Proyek