• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Akhir Profil Gender dan Anak Kota Serang Tahun 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Akhir Profil Gender dan Anak Kota Serang Tahun 2020"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

Pemerintah Kota Serang

Laporan Akhir

Profil Gender dan Anak

Kota Serang Tahun 2020

(2)

KOTA SERANG

TAHUN 2020

PEMERINTAH KOTA SERANG

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 2020

(3)
(4)

Penyusunan Profil Gender dan Anak Kota Serang Tahun 2020 ini terselenggara atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Serang dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dibiayai oleh APBD Kota Serang Tahun Anggaran 2020.

Data yang dihimpun dan ditayangkan dalam dokumen ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari instansi-instansi yang menjadi sumber data, sedangkan pelaksanaan hingga penyusunannya secara teknis dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Tim Penyusun Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, sedangkan yang terdiri dari:

1. Dr. Gandung Ismanto, S.Sos., M.M. Ketua Tim 2. Listyaningsih, S.Sos., M.Si Anggota

3. Ari Pandu Witantra, M.Si Anggota

Serang, September 2020 Ketua Tim Peneliti,

Dr. Gandung Ismanto, S.Sos., M.M.

(5)
(6)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur senantiasa Kami panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya Penyusunan Profil Gender dan Anak Kota Serang tahun 2020 dapat terlaksana dan disusun dengan baik. Tentu dengan harapan semoga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam menyusun program-program pembangunan yang mengarusutamakan gender dan kepentingan terbaik bagi anak di masa yang akan datang.

Tujuan umum dari penyusunan Profil Gender dan Anak ini adalah untuk mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pemenuhan hak anak (PUHA), terutama dalam perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di daerah, yang dibagi ke dalam empat (4) tujuan khusus, yaitu: memberikan panduan bagi Pemerintah Kota Serang untuk mengumpulkan dan menyusun data terpilah gender dan anak di semua sektor pembangunan; memberi panduan bagi unit dasar dalam mengumpulkan dan menyusun data terpilah sesuai kebutuhan perangkat daerah guna mengoptimalkan pemanfaatannya; mendorong penggunaan data terpilah dalam melakukan analisis gender dan anak yang relevan bagi perumusan kebijakan yang relecan; serta memberi panduan bagi kelompok-kelompok masyarakat mengenai pengumpulan dan penyusunan data terpilah, agar advokasi yang dilakukan lebih tajam dan terukur, dan tepat sasaran.

Terima kasih Kami haturkan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya Profil Gender dan Anak Kota Serang Tahun 2020 ini, khususnya kepada Tim Penyusun dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta pihak-pihak terkait lainnya yang telah membantu penyusunannyai. Semoga kontribusinya ini menjadi ladang pahala bagi kita semua, serta mendorong kemajuan Kota Serang di masa depan. Amin. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Serang, September 2020 Kepala Bappeda Kota Serang,

Drs. H. Nanang Saefudin, M.Si

(7)
(8)

Tim Penyusun ii

Kata Pengantar iii

Daftar isi iv

Daftar Tabel v

Daftar Singkatan viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Tujuan dan Manfaat 5

1.3 Dasar Hukum 6

1.4 Tinjauan Pustaka 8

1.5 Metode Penyusunan 22

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA SERANG 27

BAB III DATA GENDER

3.1 Pengertian 44

3.2 Deskripsi Data Gender 48

3.2.1 Bidang Kesehatan 48

3.2.2 Bidang Pendidikan 54

3.2.3 Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan 59 3.2.4 Bidang Politik dan Pengambilan Keputusan 62 3.2.5 Bidang Hukum dan Sosial Budaya 67 3.2.6 Data Kekerasan Terhadap Perempuan 73

BAB IV DATA ANAK

4.1 Pengertian 80

4.2 Deskripsi Data Anak 81

4.2.1 Hak Sipil dan Kebebasan 81

4.2.2 Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 86 4.2.3 Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan 92 4.2.4 Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan

Kegiatan Budaya 99

4.2.5 Perlindungan Khusus 102

BAB V DATA KELEMBAGAAN

5.1 Kelembagaan Pengarusutamaan Gender 106

5.1.1 Bidang Kesehatan 108

5.1.2 Bidang Pendidikan 109

5.1.3 Bidang Ekonomi 111

5.2 Kelembagaan Pengarusutamaan Hak Anak 115

BAB VI PENUTUP 121

(9)

Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Serang Berdasar Kecamatan 28 Tabel 2.2 Perkembangan dan Sebaran Penduduk Tahun 2015-2019 29 Tabel 2.3 Komposisi Penduduk Berdasar Jenis Kelamin 29 Tabel 2.4 Penduduk Berdasar Kelompok Usia Produktif

Dan Non Produktif Tahun 2015-2019 30

Tabel 2.5 Penduduk Berdasar Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Tahun 2019 31

Tabel 2.6 Penduduk Berdasar Pekerjaan Tahun 2019 32 Tabel 2.7 Penduduk Berdasar Tingkat Pendidikan Tahun 2019 33 Tabel 2.8 Kepala Keluarga Berdasar Jenis Kelamin Tahun 2019 34 Tabel 2.9 Penduduk Berdasar Status Perkawinan 34 Tabel 2.10 Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2010-2019 35 Tabel 2.11 Indeks Pembangunan Gender Tahun 2017-2019 36 Tabel 2.12 Jumlah dan Ragam Permasalahan Sosial Berdasar

Kecamatan Tahun 2019 36

Tabel 2.13 Jumlah PNS Berdasar Golongan dan Jenis Kelamin

Tahun 2019 37

Tabel 2.14 Jumlah PNS Berdasar Tingkat Pendidikan dan

Jenis Kelamin Tahun 2019 37

Tabel 2.15 Jumlah Anggota DPRD Menurut Fraksi dan Jenis Kelamin 41 Tabel 3.1 Rasio Anak dan Perempuan Tahun 2019 49 Tabel 3.2 Peserta KB Aktif Laki-laki dan Perempuan 2017-2019 50 Tabel 3.3 Pasangan Usia Subur dan Peserta KB Aktif Tahun 2019 50 Tabel 3.4 Ibu Hamil dan Pelayanan yang Diakses 51 Tabel 3.5 Kasus Kematian Ibu, Kematian Bayi, Berat Bayi Lahir

Rendah dan Kasus Gizi Buruk Tahun 2017-2019 52

Tabel 3.6 Faktor Penyebab Kematian Ibu 52

Tabel 3.7 Klinik KB (KKB) dan Pos Pelayanan KB Desa (PPKBD) 53 Tabel 3.8 Penemuan Kasus HIV/AIDS Berdasar Kecamatan 53 Tabel 3.9 Angka Harapan Hidup Berdasar Jenis Kelamin 2017-2019 54 Tabel 3.10 Angka Melek Huruf Tahun 20016-2019 55 Tabel 3.11 Persentase Penduduk Berumur >15 Tahun

Yang Melek Huruf Tahun 2018-2019 55

Tabel 3.12 Angka Partisipasi Kasar Tahun 2018-2019 56 Tabel 3.13 Angka Partisipasi Murni Tahun 2018-2019 57 Tabel 3.14 Angka Putus Sekolah Tahun 2016-2019 58 Tabel 3.15 Angka Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah

Berdasar Jenis Kelamin Tahun 2017-2019 58 Tabel 3.16 Data Gender Bidang Ekonomi dan Ketenagakerjaan

Tahun 2017-2019 59

Tabel 3.17 Persentase Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja

Berdasar Jenis Kelamin Tahun 2019 60

Tabel 3.18 Penduduk Bekerja Menurut Kelompok Umur

(10)

Tabel 3.22 Anggota DPRD Menurut Komisi dan Jenis Kelamin

Tahun 2019 63

Tabel 3.23 Anggota DPRD Menurut Badan dan Jenis Kelamin

Tahun 2019 63

Tabel 3.24 Partisipasi di Lembaga Yudikatif Tahun 2017-2019 64 Tabel 3.25 PNS Berdasar Jabatan dan Jenis Kelamin

Tahun 2018-2019 65

Tabel 3.26 PNS Berdasar Golongan dan Jenis Kelamin

Tahun 2018-2019 66

Tabel 3.27 PNS Berdasar Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin

Tahun 2018-2019 67

Tabel 3.28 Penghuni Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2017-2019 68 Tabel 3.29 Tambahan Narapidana Berdasar Putusan PN Serang

Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2019 69 Tabel 3.30 Tambahan Narapidana Berdasar Putusan PN Serang

Menurut Lama Hukuman dan Jenis Kelamin Tahun 2019 69 Tabel 3.31 Lanjut Usia Berdasar Tingkat Pendidikan, Aktivitas

dan Jenis Kelamin Tahun 2017-2019 70

Tabel 3.32 Difabilitas Berdasar Tingkat Pendidikan, Aktivitas,

Dan Jenis Kelamin Tahun 2017-2019 71

Tabel 3.33 Penduduk Difabel Berdasar Kecamatan Tahun 2019 72

Tabel 3.34 Ragam Difabilitas Tahun 2019 72

Tabel 3.35 Korban Kekerasan Berdasar Jenis Kelamin

dan Usia Tahun 2017-2019 74

Tabel 3.36 Korban Kekerasan Berdasar Tingkat Pendidikan 74 Tabel 3.37 Korban Kekerasan Berdasar Status Pekerjaan 75 Tabel 3.38 Korban Kekerasan Berdasar Status Perkawinan 75 Tabel 3.39 Korban Kekerasan Berdasar Jenis Kekerasan 75 Tabel 3.40 Korban Kekerasan Berdasar Tempat Kejadian 76 Tabel 3.41 Ragam Fasilitasi Pelayanan Bagi Korban Kekerasan 76 Tabel 3.42 Pelaku Kekerasan Berdasar Jenis Kelamin

Tahun 2017-2019 77

Tabel 3.43 Pelaku Kekerasan Berdasar Tingkat Pendidikan 77 Tabel 3.44 Pelaku Kekerasan Berdasar Status Pekerjaan 77 Tabel 3.45 Pelaku Kekerasan Berdasar Hubungan Dengan Korban 78 Tabel 3.46 Pelaku Kekerasan Berdasar Kebangsaan 78 Tabel 4.1 Kepemilikan Akte Kelahiran Tahun 2019 82 Tabel 4.2 Kepemilikan Akte Kelahiran Pada Usia 0-1 Tahun 83 Tabel 4.3 Kepemilikan Kartu Identitas Anak Tahun 2019 84 Tabel 4.4 Fasilitas Informasi Layak Anak Berdasar Kecamatan 85 Tabel 4.5 Organisasi Anak Berdasar Kecamatan 86 Tabel 4.6 Perkawinan Anak Berdasar Kecamatan 87 Tabel 4.7 Lembaga Konsultasi Bagi Orang Tua / Keluarga 87

(11)

Tabel 4.11 Ketersediaan Ruang Laktasi Pada Fasilitas Publik 91

Tabel 4.12 Angka Kematian Bayi 92

Tabel 4.13 Angka Kematian Neonatal 93

Tabel 4.14 Angka Kematian Balita 94

Tabel 4.15 Prevalensi Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita

Tahun 2018-2019 95

Tabel 4.16 Kasus Stunting Tahun 2018-2019 96 Tabel 4.17 Cakupan Rumah Tangga Bersanitasi Tahun 2019 97 Tabel 4.18 Kepemilikan Jamban Keluarga Berdasar Kecamatan 98 Tabel 4.19 Akses Air Bersih Berdasar Kecamatan 98 Tabel 4.20 Fasilitas Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya 101

Tabel 4.21 Pusat Kreativitas Anak 101

Tabel 4.22 Anak Korban Kekerasan dan Eksploitasi 102 Tabel 4.23 Anak Berhadapan Dengan Hukum, Terorisme, dan Stigma 102

Tabel 4.24 Anak Penyandang Difabilitas 103

Tabel 5.1 Data Kelembagaan PUG dan PUHA Bidang Kesehatan 108 Tabel 5.2 Data Kelembagaan PUG dan PUHA Bidang Pendidikan 110 Tabel 5.3 Data Kelembagaan PUG dan PUHA Bidang Ekonomi 111 Tabel 5.4 Lokasi Kegiatan P2WKSS Tahun 2012-2019 112 Tabel 5.5 Kelembagaan PUG dan PUHA Tahun 2017-2019 112 Tabel 5.6 Lembaga Seni Budaya Tahun 2019 115 Tabel 5.7 Kelembagaan PUG dan PUHA Lainnya Tahun 2017-2019 119

(12)

2. PUHA adalah Pemenuhan Hak Anak

3. PPRG adalah Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender 4. OPD adalah organisasi perangkat daerah

5. FGD adalah Focused Group Discussion 6. IPM adalah Indeks Pembangunan Manusia 7. AHH adalah Angka Harapan Hidup

8. HLS adalah Harapan Lama Sekolah 9. RLS adalah Rata-rata Lama Sekolah 10. IPG adalah Indeks Pembangunan Gender 11. ASN adalah Aparatur Sipil Negara

12. PNS adalah Pegawai Negeri Sipil 13. KORPRI adalah Korps Pegawai Negeri

14. KPUD adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah 15. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 16. DCT adalah Daftar Calon Tetap

17. PMPPPA adalah Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

18. PPPA adalah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

19. NAPZA adalah Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya

20. Posyandu adalah Pos Pelayanan Terpadu 21. TT adalah Tetanus Toxoid

22. KB adalah Keluarga Berencana

23. Tablet Fe adalah tablet ferum atau zat besi 24. SD adalah Sekolah Dasar

25. SMP adalah Sekolah Menengah Pertama 26. SMA adalah Sekolah Menengah Atas 27. MTs adalah Madrasah Tsanawiyah 28. MA adalah Madrasar Aliyah

29. SMK adalah Sekolah Menengah Kejuruan 30. APK adalah Angka Partisipasi Kasar 31. APM adalah Angka Partisipasi Murni 32. AMH adalah Angka Melek Huruf 33. APtS adalah Angka Putus Sekolah 34. UKM adalah Usaha Kecil Menengah 35. UMK adalah Usaha Mikro dan Kecil 36. Lapas adalah Lembaga Pemasyarakatan 37. Rutan adalah Rumah Tahanan

38. Lansia adalah Lanjut Usia

39. P2TP2A adalah Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak

40. Polres adalah Kepolisian Resort 41. Polda adalah Kepolisian Daerah 42. PN adalah Pengadilan Negeri 43. PT adalah Pengadilan Tinggi

(13)

47. Kejati adalah Kejaksaan Tinggi

48. SDGs adalah Sustainable Development Goals 49. CWR adalah Child – Women Ratio

50. PUS adalah Pasangan Usia Subur

51. IUD adalah Intrauterine Device, jenis alat kontrasepsi

52. MOW adalah Metode Operatif Wanita, jenis metode kontrasepsi wanita 53. MOP adalah Metode Operatif Pria, jenis metode kontrasepsi pria

54. KEK adalah Kurang Energi Kronis 55. AKB adalah Angka Kematian Bayi 56. BBLR adalah Berat Bayi Lahir Rendah 57. HDK adalah Hipertensi Dalam Kehamilan 58. PEB adalah Preeklamsia Berat

59. KKB adalah Klinik Keluarga Berencana

60. PPKBD adalah Pos Pelayanan Keluarga Berencana Desa 61. TPAK adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

62. TPT adaah Tingkat Pengangguran Terbuka 63. KK adalah Kepala Keluarga

64. RT adalah Rumah Tangga

65. TNI adalah Tentara Nasional Indonesia 66. BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara 67. IRT adalah Ibu Rumah Tangga

68. Napi adalah Narapidana

69. BPS adalah Badan Pusat Statistik

70. UPPA adalah Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Kepolisian 71. ART adalah Asisten Rumah Tangga

72. WNI adalah Warga Negara Indonesia 73. WNA adalah Warga Negara Asing 74. KIA adalah Kartu Identitas Anak 75. KK adalah Kartu Keluarga

76. KTP adalah Kartu Tanda Penduduk 77. TBM adalah Taman Baca Masyarakat

78. Gudep adalah Gugus Depan Gerakan Pramuka 79. Kwarda adalah Kwartir Daerah Gerakan Pramuka 80. Kwarcab adalah Kwartir Cabang Gerakan Pramuka 81. Kwaran adalah Kwartir Ranting Gerakan Pramuka 82. OSIS adalah Organisasi Siswa Intra Sekolah

83. BKB adalah Bina Keluarga Balita 84. BKR adalah Bina Keluarga Remaja 85. BKL adalah Bina Keluarga Lanjut Usia

86. BP4 adalah Badan Penasihatan dan Pembinaan Perkawinan Perceraian

87. LKSA adalah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak 88. PAUD adalah Pendidikan Anak Usia Dini

89. TK adalah Taman Kanak-Kanak 90. KB adalah Kelompok Bermain 91. TPA adalah Tempat Penitipan Anak

(14)

96. Puskesmas adalah Pusat Kesehatan Masyarakat, disingkat juga PKM 97. Pustu adalah Puskesmas Pembantu

98. RS adalah Rumah Sakit

99. RSUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah 100. Perda adalah Peraturan Daerah

101. Balita adalah Bayi di Bawah Lima Tahun 102. OKP adalah Organisasi Kepemudaan

103. ABH adalah Anak Berhadapan dengan Hukum 104. LKMD adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa 105. GSI adalah Gerakan Sayang Ibu

106. P2WKSS adalah Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera

107. Anjal adalah Anak jalanan

108. Kecamatan Sayang Ibu adalah kecamatan yang telah mempunyai satuan tugas (satgas) GSI dan melaksanakan program GSI secara terorganisir dan didukung oleh desa dan kelurahan Siap Antar Jaga (SIAGA).

109. PPEP adalah Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan

110. KLA adalah Kabupaten dan Kota Layak Anak) adalah sistem pembangunansatu wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dansumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak.

111. Rabeg adalah Reaksi atas Berita Warga, layanan pengaduan online milik Pemkot Serang

112. BKM adalah Badan Keswadayaan Masyarakat

113. Forum anak adalah wadah partisipasi anak dalam upaya untuk meningkatkan kapasitas anak dalam memahami permasalahan anakdan hak-hak anak, memahami proses penyusunan kebijakan dan peningkatan kapasitas dalam pengorganisasian kelompok anak dan penyampaian aspirasi anak.

114. RPSA adalah Rumah Perlindungan Sosial Anak 115. RPTC adalah Rumah Perlindungan Trauma Center 116. PKT adalah Pusat Krisis Terpadu

117. PPT adalah Pusat Pelayanan Terpadu

118. BKKBN adalah Badan Keluarga Berencana Nasional 119. PATBM adalah Perlindungan Anak Berbasis Masyarakat 120. LBH adalah Lembaga Bantuan Hukum

121. LPA adalah Lembaga Perlindungan Anak 122. SRA adalah Sekolah Ramah Anak

123. Rumah Perlindungan adalah rumah aman yang siap melayani kebutuhan anak 24 jam yang terjaga kerahasiannya dari masyarakat luas yang tidak berkepentingan atau yang secara langsung maupun tidak langsung mengancam/membahayakan baik fisik maupun mental anak.

(15)

hamildan memantaunya, memfasilitasi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan berkaitan kesehatan reproduksi, membantu merujuk ibu hamil ke fasilitas kesehatan, melakukan penyuluhan padatokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga ibu hamil bersalin dan ibu nifas, menyebarluaskan informasi ke masyarakat dalam upayamengurangi kematian bayi, mencatat dan melaporkan kegiatan GSI, dan mengaktifkan wajib belajar 9 tahun bagi perempuan, serta upaya-upaya lain yang mengarah pada kualitas perempuan.

125. Satgas PBAP adalah satuan tugas yang mempunyai tugas melakukan pendataan warga khususnya perempuan yang butaaksara untuk selanjutnya dibahas ke dalam kelompok kerja dalam rangka intervensi dan sinergi kebijakan dinas pendidikan di wilayahnya.

126. Kelompok Kerja PBAP adalah suatu kelompok kerja dalam suatu wilayah yang mengupayakan solusi penyelesaian terhadap permasalahan perempuan buta aksara.

(16)

BAB I

(17)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional secara fundamendal bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah esensi basic function of the government sebagaimana secara eksplisit tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yaitu “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan...”. Secara akademis tuntutan agar negara fokus berpijak pada basic function-nya merupakan antitesis terhadap paradigma production-centered development yang sangat mekanistik, ekonomistik, dan kapitalistik selama periode industrialisasi dan pengaruh developmentalisme yang menjadi arus utama dunia hingga kini, menjadi paradigma people-centered development sebagaimana termanifestasi dalam konsepsi tentang human development, hak azasi manusia, serta konsepsi tentang gender equality, dan lain-lain. Selaras dengan itu, berkembang pula paradigma new public services pada disiplin administrasi publik yang juga tumbuh sebagai antitesis dari paradigma old public administration yang eksploitatif maupun new public management yang ekonomistik. Dengan paradigma new public services tersebut maka negara dituntut untuk kembali pada khitahnya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali.

Diratifikasinya Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984, lahirnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta diratifikasinya International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights serta International Covenant on Civil

BAB I

(18)

and Political Rights melalui Undang-Undang Nomor 11 dan 12 tahun 2005 merupakan manifestasi dari nilai-nilai filosofis serta sejumlah perubahan paradigmatis dimaksud di atas.

Dalam konteks pembangunan yang berorientasi pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan nasional, merupakan manifestasi nyata dari komitmen berbangsa dan bernegara di Indonesia, yang kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan sektoral di level kementerian, seperti: Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 tahun 2011 tentang Pedoman umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG), Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 tahun 2008 mengenai Pedoman Pelaksanaan Data Gender Bidang Pendidikan, Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, dan lain-lain.

Untuk mendorong efektivitas pelaksanaan PUG, setiap perencanaan dan penganggaran daerah perlu dilengkapi dengan analisis gender agar tidak terjadi ketimpangan gender, serta dapat memberikan manfaat bagi kelompok perempuan dan laki-laki secara berimbang. Prasyarat utama guna mewujudkan ini adalah adanya ketersediaan data terpilah yang dirinci berdasarkan jenis kelamin, meliputi data mengenai adanya kesenjangan pemanfaatan program pembangunan dan data penyebab terjadinya kesenjangan tersebut, baik yang terkait dengan kondisi masyarakat umumnya maupun kondisi pelaku pembangunan pada khususnya agar percepatan PUG dapat berjalan sesuai harapan, terutama di daerah.

Kebijakan PUG secara makro memiliki relevansi yang sangat kuat di level daerah, termasuk Kota Serang. Hal ini mengingat karakteristik masyarakat dan daerah Kota Serang yang masih berciri tradisional dengan nilai-nilai feodalistik dan paternalistik yang masih cukup kuat. Akibatnya, ketimpangan gender dalam pembangunan menjadi sesuatu yang tak terelakkan, bahkan bagi sebagian kalangan masyarakat dianggap sebagai sebuah kewajaran kodrati dari perbedaan peran yang terjadi karena perbedaan jenis kelamin tersebut. Stereotipe perempuan yang hanya menjadi warga negara kelas dua tersebut pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) perempuan secara umum karena terbatasnya akses perempuan terhadap

(19)

pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan dibutuhkan guna menunjang fungsi gendernya dalam mendidik generasi yang berkualitas di masa depan. Di samping itu, perempuan dan anak menjadi kelompok yang terdampak sangat berat dari beragam fenomena anomali sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya. Kemiskinan misalnya, paling berat terdampak pada kaum perempuan dan anak; demikian pula dengan dampak pandemi Covid-19 seperti yang saat ini masih menghantui dunia. Diskriminasi dan kekerasan terhadap anak dan perempuan yang masih kerap terjadi juga menjadi indikasi nyata ketimpangan dimaksud. Dalam bidang pendidikan misalnya, aksesibilitas perempuan pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih tampak nyata ketimpangannya mengingat pandangan tradisional yang menempatkan kewajiban utama perempuan pada peran domestik sehingga akses terhadap pendidikan tinggi dinilai tidak dianggap penting dan perlu, bahkan secara umum masih menghadapi tantangan khusus, seperti kesehatan dan pendidikan yang lebih buruk, serta praktik-praktik yang merugikan seperti pernikahan dini, perjodohan, dan lain-lain.

Gambaran tentang ketimpangan gender sebagaimana dikemukakan di atas terrepresentasi dari sejumlah indikator makro antara lain: lebih tingginya rata-rata pendidikan penduduk laki-laki dibandingkan dengan tingkat pendidikan penduduk perempuan, relatif rendahnya aksesibilitas perempuan pada ragam pekerjaan di sektor formal, termasuk pada jabatan-jabatan publik di birokrasi dan politik, dan lain-lain. Perempuan bahkan lebih banyak bekerja di sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah, serta tanpa perlindungan yang memadai dari resiko yang terbilang cukup tinggi. Hal serupa juga tampak pada lapangan politik, dimana meski seluruh partai politik peserta Pemilu 2019 telah mencalonkan minimal 30% calon anggota legislatif perempuan, namun tingkat representasi perempuan di lembaga-lembaga perwakilan tersebut terbilang kurang memadai.

Pada sisi yang lain, dinamika pembangunan daerah yang sangat tinggi - sebagai dampak dari posisi geostrategis Kota Serang secara ekonomi serta peran kewilayahannya sebagai ibukota bagi Provinsi Banten – yang kurang dibarengi dengan meningkatnya kualitas SDM secara berimbang, telah menimbulkan sejumlah masalah sosial khususnya yang berkaitan dengan dampak dari ketimpangan gender di berbagai bidang atau sektor. Meningkatnya beragam bentuk kekerasan

(20)

terhadap perempuan dan anak, ekploitasi anak dan perempuan, penelantaran anak, serta beragam masalah kesejahteraan sosial yang sebagian besar dialami oleh kaum perempuan dan anak; merupakan ekses pembangunan yang tak terhindarkan.

Berdasarkan gambaran umum realitas yang dihadapi Kota Serang di atas, serta gambaran idealitas yang secara filosofis dan yuridis diamanatkan oleh UUD 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan, guna mewujudkan gender equality dalam pembangunan daerah diperlukan dukungan dari seluruh stakeholder dalam memperkuat dan meningkatkan intensitas pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah. Salah satunya adalah dukungan dalam pengumpulan, analisis dan penggunaan data terpilah gender untuk dipakai dalam perencanaan dan penganggaran di lingkungan pemerintahan Kota Serang. Dengan tersedianya data terpilah ini, maka perencanaan pembangunan akan lebih mampu menyasar kelompok-kelompok masyarakat yang membutuhkan intervensi kebijakan dari pemerintah, khususnya dalam konteks pengarusutamaan gender dan anak. Secara khusus, manfaat data terpilah menjadi prasyarat tersusunnya analisis gender dalam rangka menyusun perencanaan dan penganggaran yang responsif gender melalui gender budget statement, serta menyusun reformulasi kebijakan agar lebih responsif gender.

1.2 Tujuan Dan Manfaat

Tujuan umum dari penyusunan data terpilah gender dan anak ini adalah untuk mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan hak anak (PUHA), terutama perencanaan dan penganggaran responsif gender (PPRG) di daerah, yang dibagi ke dalam empat (4) tujuan khusus, yaitu:

1. Memberikan panduan bagi Pemerintah Kota Serang untuk mengumpulkan dan menyusun data terpilah gender dan anak di semua sektor pembangunan;

2. Memberi panduan bagi unit dasar dalam mengumpulkan dan menyusun data terpilah sesuai kebutuhan organisasi perangkat daerah terkait, agar penggunaannya dapat optimal;

3. Mendorong penggunaan data terpilah dalam melakukan analisis gender dan anak yang relevan bagi pembangunan daerah;

(21)

4. Memberi panduan bagi kelompok-kelompok masyarakat mengenai pengumpulan dan penyusunan data terpilah, agar advokasi yang dilakukan lebih tajam dan terukur.

1.3 Dasar Hukum

Penyusunan Profil Gender dan Anak Kota Serang tahun 2020 didasarkan pada beberapa peraturan perundangan di bawah ini:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pegesahan

Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women;

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights; 7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights;

8. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025;

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

10. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia;

11. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024;

12. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi;

13. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan;

14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; 15. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008

(22)

16. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PermenPPPA) Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak;

17. PermenPPPA Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Data Gender dan Anak;

18. PermenPPPA Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme;

19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Kelompok Kerja PUG/PPRG;

20. Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 10 tahun 2005 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah;

21. Instruksi Gubernur Banten Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah;

22. Peraturan Gubernur Banten Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender;

23. Keputusan Gubernur Banten Nomor 401.05/Kep. 332.UK/2009 tentang Pembentukan Focal Point PUG Provinsi Banten;

24. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Serang tahun 2008– 2025;

25. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 tahun 2013 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan;

26. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 6 tahun 2015 tentang Kota Layak Anak;

27. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok;

28. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 3 Tahun 2019 tentang RPJMD Kota Serang Tahun 2018-2023.

(23)

1.4 Tinjauan Pustaka

Sejarah tentang konsepsi perlindungan terhadap hak perempuan dan anak serta pemenuhannya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Perang Dunia I beserta implikasinya yang luas bagi masyarakat terdampak, khususnya kaum perempuan dan anak-anak di Eropa. Penderitaan luar biasa akibat perang yang dialami oleh kelompok paling rentan inilah yang mendorong sejumlah kalangan menginisiasi tuntutan pemenuhan hak-hak kaum perempuan dan anak-anak yatim piatu yang jumlahnya sangat besar pascaperang dunia I tersebut.

Upaya pemenuhan hak perempuan misalnya, tercatat dimulai pada tahun 1949 oleh Komisi Kedudukan Perempuan (United States Commission on the Status of women) yang bertugas secara khusus mempersiapkan Konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang menikah. Upaya panjang yang dilakukan komisi ini pada akhirnya melahirkan sebuah Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) berdasarkan Resolusi XXII Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1967. Deklarasi ini merupakan instrumen internasional yang berisi pengakuan secara universal dan menjadi standar-standar persamaan hak laki-laki dan perempuan.

Sedangkan isu pemenuhan hak anak telah jauh lebih dahulu diinisiasi oleh sebuah organisasi nirlaba, Save The Children, pada tahun 1923, yang menginisiasi rancangan Declaration of the Rights of the Child yang berisi sepuluh konsepsi tentang hak anak yang diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Jenewa tahun 1924. Deklarasi 1924 inilah yang kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pascaberakhirnya Perang Dunia II 24 tahun kemudian, dalam Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948, yang didalamnya juga memuat secara khusus tentang hak-hak anak.

Pada tanggal 16 Desember 1966 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang kemudian berlaku efektif pada

tahun 1976, dan baru diratifikasi Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang didalamnya juga memuat pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak

(24)

anak. Tiga tahun setelahnya, pada tahun 1979 dicanangkan Tahun Anak Internasional (International Year of the Child) yang mendorong banyak kalangan melakukan upaya serius dalam rangka pemenuhan hak anak. Dan 10 (sepuluh) tahun dari momentum Tahun Anak Internasional itu, perjuangan panjang perumusan hak-hak anak ini mencapai titik kulminasinyapada tanggal 20 November 1989, dimana Konvensi Hak Anak Internasional ini disahkan secara bulat dalam Sidang Majelis Umum PBB, dan kemudian diratifikasi secara luas oleh seluruh negara, kecuali negara Somalia dan Amerika Serikat. Konvensi ini banyak disebut sebagai konvensi yang paling komprehensif di bidang Hak Azasi Manusia karena memuat 54 (limapuluh empat) pasal yang mencakup baik penjabaran tentang hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya secara sekaligus.

Secara konsepsional konvensi hak anak tersebut memuat 4 (empat) hak fundamental yang secara alamiah dimiliki dan melekat pada setiap anak, yaitu: hak atas kelangsungan hidup (survival), hak untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection), dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (participation). Berdasarkan definisi konsepsional inilah hak-hak anak secara detail dijabarkan dalam 5 (lima) kelompok hak anak, yaitu: (1) Hak Sipil dan Kemerdekaan; (2) Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif; (3) Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar; (4) Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya; dan (5) Langkah-langkah Perlindungan Khusus bagi anak yang membutuhkannya. Guna menjamin pelaksanaannya, Konvensi ini juga mengadopsi 4 (empat) prinsip umum yang menjadi landasan implementasinya, yaitu: (1) prinsip non-diskriminasi; (2) prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child); (3) Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development); serta (4) prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).

1.4.1 Tinjauan Yuridis tentang Pemenuhan Hak Anak

Berdasarkan undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

(25)

Pengembangan kualitas anak Indonesia lewat pemenuhan hak-hak yang dimilikinya telah diamanahkan dalam pasal 28 (B) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kemudian dinyatakan juga dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 4 yang menyatakan:

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Hak atas kelangsungan hidup dan perkembangan anak adalah hak yang paling mendasar dan melekat pada diri setiap anak dan harus diakui serta dijamin pemenuhannya oleh Negara. Pemenuhan hak kelangsungan hidup dan perkembangan anak berkaitan dengan pemenuhan hak dasar yaitu kesehatan, pendidikan, identitas, standar hidup yang layak serta kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya.Hak atas perlindungan anak adalah hak bagi setiap anak untuk mendapatkan jaminan agar terbebas dari kondisi yang membahayakan dan menimbulkan kerugian pada proses tumbuh kembangnya baik secara fisik maupun non fisik. Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, pelecehan maupun diskriminasi.Secara yuridis formal, Pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah kebijakan yang lengkap dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO

Convention Nomor 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja);

5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi

(26)

ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak); 6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional;

9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah;

11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;

12. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;

14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

15. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana;

16. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan; 17. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;

18. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

19. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

20. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 21. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

22. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;

23. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan bagi Anak yang Mempunyai Masalah;

(27)

25. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024; 26. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Hak

Anak Korban dan Anak Saksi;

27. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On the Rights of the Child;

28. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional;

29. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak;

30. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Data Gender dan Anak;

31. Peraturan Menteri Negara Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak;

32. Peraturan Menteri Negara Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak.

33. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah;

34. Peraturan Menteri Negara Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Data Gender dan Anak;

35. PermenPPPA Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.

Berdasarkan sejumlah landasan yuridis di atas, khususnya Peraturan Menteri Negara Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011, dan Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana dimaksud, hak anak dikelompokkan dalam 5 (lima) klaster pemenuhan hak anak sebagaimana diadopsi secara internasional, yaitu:

(28)

1. Hak Sipil dan Kebebasan

a. Hak atas Identitas

Memastikan bahwa seluruh anak tercatat dan memiliki kutipan akta kelahirannya sesegera mungkin sebagai pemenuhan tanggung jawab negara atas nama dan kewarganegaraan anak (termasuk tanggal kelahiran dan silsilahnya); menjamin penyelenggaraan pembuatan akta kelahiran secara gratis; dan melakukan pendekatan layanan hingga tingkat desa/kelurahan.

b. Hak Perlindungan Identitas

Memastikan sistem untuk pencegahan berbagai tindak kejahatan terhadap anak, seperti perdagangan orang, adopsi ilegal, manipulasi usia, manipulasi nama, atau penggelapan asal-usul serta pemulihan identitas anak sesuai dengan keadaan sebenarnya sebelum terjadinya kejahatan terhadap anak tersebut, dan memberikan jaminan hak prioritas anak untuk dibesarkan oleh orang tuanya sendiri.

c. Hak Bereskpresi dan Mengeluarkan Pendapat, yang memberikan jaminan atas hak anak untuk berpendapat dan penyediaan ruang bagi anak untuk dapat mengeluarkan pendapat atau berekspresi secara merdeka sesuai keinginannya.

d. Hak Berpikir, Berhati Nurani dan Beragama

Jaminan bahwa anak diberikan ruang untuk menjalankan keyakinannya secara damai dan mengakui hak orang tua dalam memberikan pembinaan.

e. Hak Berorganisasi dan Berkumpul secara Damai

Jaminan bahwa anak bisa berkumpul secara damai dan membentuk organisasi yang sesuai bagi mereka.

f. Hak atas Perlindungan Kehidupan Pribadi

Jaminan bahwa seorang anak tidak diganggu kehidupan pribadinya, atau diekspos ke publik tanpa ijin dari anak tersebut atau yang akan mengganggu tumbuh kembangnya.

g. Hak Akses dan Informasi yang Layak

Jaminan bahwa penyedia informasi mematuhi ketentuan tentang kriteria kelayakan informasi bagi anak; ketersediaan lembaga perijinan dan pengawasan; dan penyediaan fasilitas dan sarana dalam jumlah memadai yang memungkinkan anak mengakses layanan informasi secara gratis.

(29)

h.Hak Bebas dari Penyiksaan dan Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.

Jaminan bahwa setiap anak diperlakukan secara manusiawi tanpa adanya kekerasan sedikitpun, termasuk ketika anak berhadapan dengan hukum.

2. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

a. Bimbingan dan Tanggung Jawab Orangtua

Orang tua sebagai pengasuh utama anak, oleh karena itu harus dilakukan penguatan kapasitas orang tua untuk memenuhi tanggungjawabnya dalam pengasuhan dan tumbuh kembang anak, meliputi penyediaan fasilitas, informasi dan pelatihan yang memberikan bimbingan dan konsultasi bagi orang tua dalam pemenuhan hak-hak anak, contoh: Bina Keluarga Balita (BKB). b. Anak yang Terpisah dari Orang Tua

Pada prinsipnya anak tidak boleh dipisahkan dari orang tua kecuali pemisahan tersebut untuk kepentingan terbaik anak.

c. Reunifikasi

Pertemuan kembali anak dengan orang tua setelah terpisahkan, misalnya terpisahkan karena bencana alam, konflik bersenjata, atau orang tua berada di luar negeri.

d. Pemindahan Anak secara Ilegal

Memastikan bahwa anak tidak dipindahkan secara ilegal dari daerahnya ke luar daerah atau ke luar negeri dengan alasan apapun.

e. Dukungan bagi Kesejahteraan Anak

Memastikan anak tetap dalam kondisi sejahtera meskipun orang tuanya tidak mampu, contoh: apabila ada orang tua yang tidak mampu memberikan perawatan kepada anaknya secara baik maka menjadi kewajiban komunitas, desa/kelurahan dan pemerintah daerah untuk memenuhi kesejahteraan anak.

f. Anak yang Terpaksa Dipisahkan dari Lingkungan Keluarga

Memastikan anak-anak yang diasingkan dari lingkungan keluarga mereka mendapatkan pengasuhan alternatif atas tanggungan negara, contoh: anak yang kedua orangtuanya meninggal dunia, atau anak yang kedua orang tuanya menderita penyakit yang tidak memungkinkan memberikan pengasuhan kepada anak.

(30)

g. Pengangkatan/Adopsi Anak

Memastikan pengangkatan/adopsi anak dijalankan sesuai dengan peraturan, dipantau, dan dievaluasi tumbuh kembangnya agar kepentingan terbaik bagi anak tetap dapat terpenuhi.

h. Tinjauan Penempatan Secara Berkala

Memastikan anak-anak yang berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) terpenuhi hak tumbuh kembangnya dan mendapatkan perlindungan.

i. Kekerasan dan Penelantaran

Memastikan anak tidak mendapatkan perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

3. Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan

a. Anak Penyandang Disabilitas

Memastikan anak cacat mendapatkan akses layanan publik yang menjamin kesehatan dan kesejahteraannya.

b. Kesehatan dan Layanan Kesehatan

Memastikan setiap anak mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif dan terintegrasi.

c. Jaminan Sosial Layanan dan Fasilitasi Kesehatan

Memastikan setiap anak mendapatkan akses jaminan sosial dan fasilitas kesehatan yang layak dan memadai, seperti: akses terhadap program jamkesmas, jamkesda, dan lainnya.

d. Standar Hidup

Memastikan anak mencapai standar tertinggi kehidupan dalam hal fisik, mental, spiritual, moral dan sosial, contoh: menurunkan kematian anak, mempertinggi usia harapan hidup, standar gizi, standar kesehatan, standar pendidikan, dan standar lingkungan.

4. Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya

a. Pendidikan

Memastikan setiap anak mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas tanpa diskriminasi, contoh: mendorong sekolah inklusi; memperluas pendidikan kejuruan, nonformal dan informal; mendorong terciptanya sekolah yang ramah anak dengan mengaplikasikan konsep disiplin tanpa kekerasan dan rute aman dan selamat ke dan dari sekolah.

(31)

b. Tujuan Pendidikan

Memastikan bahwa lembaga pendidikan bertujuan untuk mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan anak serta mempersiapkan anak untuk bertanggung jawab kepada kehidupan yang toleran, saling menghormati, dan bekerjasama untuk kemajuan dunia dalam semangat perdamaian.

c. Kegiatan Liburan, Kegiatan Budaya dan Olahraga

Memastikan bahwa anak memiliki waktu untuk beristirahat dan dapat memanfaatkan waktu luang untuk melakukan berbagai kegiatan seni dan budaya, contoh: penyediaan fasilitas bermain dan rekreasi serta sarana kreatifitas anak.

5. Perlindungan Khusus

a. Anak dalam Situasi Darurat

Anak yang mengalami situasi darurat karena kehilangan orang tua/pengasuh/tempat tinggal dan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar (sekolah, air bersih, bahan makanan, sandang, kesehatan dan sebagainya) yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasarnya.

1) Pengungsi anak: memastikan bahwa setiap anak yang harus berpindah dari tempat asalnya ke tempat yang lain, harus mendapatkan jaminan pemenuhan hak tumbuh kembang dan perlindungan secara optimal.

2) Situasi konflik bersenjata: memastikan bahwa setiap anak yang berada di daerah konflik tidak direkrut atau dilibatkan dalam peranan apapun, contoh: menjadi tameng hidup, kurir, mata-mata, pembawa bekal, pekerja dapur, pelayan barak, penyandang senjata atau tentara anak.

b. Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Memastikan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan dan akses atas tumbuh kembangnya secara wajar, dan memastikan diterapkannya keadilan restoratif dan prioritas diversi bagi anak, sebagai bagian dari kerangka pemikiran bahwa pada dasarnya anak sebagai pelaku pun adalah korban dari sistem sosial yang lebih besar.

c. Anak dalam Situasi Eksploitasi

Yang dimaksud dengan situasi eksploitasi adalah segala kondisi yang menyebabkan anak tersebut berada dalam keadaan terancam,

(32)

tertekan, terdiskriminasi dan terhambat aksesnya untuk bisa tumbuh kembang secara optimal. Praktek yang umum diketahui misalnya dijadikan pekerja seksual, joki narkotika, pekerja anak, pekerja rumah tangga, anak dalam lapangan pekerjaan terburuk bagi anak, perdagangan dan penculikan anak, atau pengambilan organ tubuh. Untuk itu, perlu memastikan adanya program pencegahan dan pengawasan agar anak-anak tidak berada dalam situasi eksploitasi dan memastikan bahwa pelakunya harus ditindak. Selain itu, anak-anak korban eksploitasi harus ditangani secara optimal mulai dari pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial hingga kepada pemulangan dan reintegrasi.

d. Anak yang Masuk dalam Kelompok Minoritas dan Adat

Memastikan bahwa anak-anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dijamin haknya untuk menikmati budaya, bahasa dan kepercayaannya.

Selanjutnya, prinsip yang harus selalu menyertai pelaksanaan 5 (lima) klaster hak-hak anak tersebut adalah sebagai berikut:

a. Non-Diskriminasi

Yaitu prinsip pemenuhan hak anak yang tidak membedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, bahasa, paham politik, asal kebangsaan, status ekonomi, kondisi fisik maupun psikis anak, serta karakteristik fisik, sosial, ekonomi, dan lain-lain.

b. Kepentingan Terbaik bagi Anak

Yaitu menjadikan hal yang paling baik bagi kepentingan anak sebagai pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan. c. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan Anak; yaitu menjamin hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak semaksimal mungkin.

d. Penghargaan terhadap Pandangan Anak

Yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.

(33)

1.4.2 Gender dan Pengarusutamaan Gender

Secara gramatikal gender dimaknai antara lain sebagai berikut: (1) classification roughly corresponding to the two sexes and sexlessness; (2) class of noun according to this classification. (Oxford Dictionary, 2004). Sementara secara konseptual, gender dipahami sebagai konstruksi sosio-kultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin tidak berdasarkan identifikasi jenis kelamin, sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan berikut:

“The word gender describes the state of being male, female, or neither. Some languages have a system of grammatical gender (also known as noun classes); while a noun may be described as "masculine" or "feminine" by convention, this has no necessary connection to the natural gender of the thing described. Likewise, a wide variety of phenomena may have gendered characteristics ascribed to them, either by analogy to male and female bodies, such as with the gender of connectors and fasteners, or due to social norms, such as interpreting the color pink as feminine and blue as masculine. In social sciences, the word "gender" is sometimes used in contrast to biological sex, to emphasise a social, cultural or psychological dimension. The discipline of gender studies investigates the nature of sex and gender in a social context.. (Microsoft Encarta Encyclopedia, 2004)

Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang bersifat biologis (Moore, 1994: 10). Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan dengan gender maskulin, dan perempuan dengan gender feminin, namun kaitan antarkeduanya bukanlah merupakan korelasi yang bersifat obsolut (Rogers, 1980; Susilastuti, 1993:30). Hal ini karena yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan bisa jadi dianggap feminin dalam perspektif budaya lain. Dengan kata lain, kategori maskulin atau feminin itu tergantung pada konteks sosial budaya setempat, kendati terdapat benang merah dalam banyak hal.

Dalam buku saku Profil Gender Provinsi Banten yang diterbitkan oleh Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi Banten tahun 2003 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang dapat berubah dan atau diubah sesuai dengan perubahan jaman dan dinamika kebudayaan masyarakat. Perbedaan keduanya secara skematik dapat dilihat pada tabel berikut.

(34)

Tabel 1.1

Perbedaan antara Seks dan Gender Seks atau Jenis Kelamin Gender 1. Bersumber dari alam (nature) 1. Bersumber dari budaya

(culture) 2. Identifikasi laki-laki dan

perempuan dari segi anatomi biologis

2. Identifikasi laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya

3. Berkonsentrasi pada aspek biologi seperti anatomi fisik, reproduksi, komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, dan karakteristik biologi lainnya

3. Dipengaruhi oleh aspek sosial budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya. Menyangkut perkembangan maskulinitas dan feminitas seseorang.

4. Bawaan / Kodrati 4. Terbentuk karena kebiasaan (learned behavior)

5. Tidak dapat diubah 5. Dapat diubah/ berubah 6. Tidak bervariasi 6. Bervariasi, sesuai dengan

sistem sosial budaya masyarakat

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2020

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan seks adalah perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki yang bersifat biologis, kodrat, karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dipertukarkan. Persoalan pemahaman mengenai gender perlu diketahui, karena perbedaan gender secara sosial telah melahirkan perbedaan hak, tanggung jawab, peran dan fungsi bahkan ruang aktifitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang kemudian melahirkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Hal yang terakhir inilah yang saat ini tengah menjadi mainstream yang tengah diperjuangkan oleh kaum perempuan secara global untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan gender dalam segala lapangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadilan dan kesetaraan gender tersebut dipahami sebagai suatu kondisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam

(35)

memperoleh peluang, kesempatan, partisipasi, manfaat, dan kontrol dalam melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Dari berbagai kajian yang dilakukan para ahli paling tidak dapat dikelompokkan sekurang-kurangnya 5 faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, yaitu:

1. Pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih diwarnai oleh paham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki di banding perempuan. Tata nilai tersebut diwariskan secara turun temurun dari waktu ke waktu, baik yang berasal dari budaya lokal maupun pengaruh dari luar.

2. Adanya produk kebijakan yang bias gender dan/ tidak sensitif gender, yang berlaku baik formal maupun informal. Hal itu dapat dipahami karena produk hukum tidak terlepas dari pengaruh untuk mengakomodasi tata nilai kultural suatu masyarakat. 3. Kebijakan pembangunan yang bias gender karena setiap

kebijakan adalah keputusan politik yang merupakan bagian dari aspirasi sosial masyarakat.

4. Kondisi itu didukung oleh masih banyaknya penafsiran terhadap aktualisasi ajaran agama yang kurang tepat karena terlalu berat pada pendekatan tekstual (tersurat) dan parsial (sepotong-sepotong) di banding kontekstual (tersirat) dan holistik.

5. Kelemahan, kurang percaya diri, dan inkonsistensi serta tekad kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasib kaumnya. Kelemahan itu bisa disebabkan pengaruh tata nilai di atas atau faktor lain yang masih perlu ditelaah secara mendalam. Ketimpangan gender di atas berkaitan juga dengan persoalan stratifikasi sosial yang berkait dengan pemahaman gender. Macionis (Sunarto, 2000:116) mendefinisikan stratifikasi gender (gender stratification) sebagai “the unequal distribution of wealth, power and privilege between the two sexes”. Bukan hanya ketimpangan, perempuan bahkan cenderung menjadi korban kekerasan laki-laki sebagai dampak dari stratifikasi dimaksud. Praktik sex-based wage discrimination, pregnancy discrimination, pink collar job, dan lain-lain merupakan implikasi nyata dari problem ketimpangan gender.

(36)

Studi Moore dan Sinclair (Sunarto, 2000: 117) mengidentifikasi kesenjangan kuantitatif maupun kualitatif dalam hal segregasi jenis kelamin dalam angkatan kerja yaitu:

a. Segregasi vertikal mengacu pada terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi, seperti misalnya jabatan pramuniaga, pramusaji, tenaga kebersihan, pramugari, sekretaris, pengasuh anak, guru taman kanak-kanak, perawat, kasir dan sebagainya.

b. Segregasi horizontal, mengacu pada kenyataan bahwa pekerja perempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan laki-laki. Segregasi horizontal pun memberikan kesan seakan-akan dalam pasar kerja terdapat jenis pekerjaan tertentu relatif tertutup bagi kaum perempuan.

Keseluruhan problematika gender di atas terjadi dan berkaitan erat dengan persoalan status dan peran sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Status sosial menciptakan stratifikasi sosial. Status sosial merupakan kedudukan seseorang berdasar tingkat penghargaan yang oleh masyarakat sehingga lebih bersifat statis., Sedangkan peran sosial menunjuk pada perilaku tertentu yang diharapkan masyarakat dari si pemegang status tersebut sehingga lebih bersifat dinamis. Dengan kata lain, peran (role) merupakan aspek dinamis dari status sosial. Keduanya menjadi unit dasar sistem sosial yang tak dapat dipisahkan. Tinggi rendahnya status sosial ditentukan oleh banyak sedikitnya penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, sedang banyak atau sedikitnya sumbangan yang diberikan si pemegang status kepada masyarakat menunjukkan besar atau kecilnya peran sosial seseorang. Problem ketimpangan gender pada umumnya terjadi karena faktor yang lebih banyak menentukan status sosial bukanlah achieved status melainkan ascribed status sehingga pemaknaan atas peran sosial cenderung menjadi statis karena melekat pada status sosialnya yang bersifat statis, seperti dalam konteks status dan peran sosial yang melekat pada jenis kelamin.

Di Indonesia, isu kesetaraan gender masih sangat aktual dan mengemuka mengingat perkembangan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang gender yang masih relatif rendah.Akibatnya ketimpangan gender pada hampir seluruh bidang

(37)

pembangunan nasional masih kerap terjadi, meski upaya dan kebijakan pengarusutamaan gender telah diadopsi di berbagai lapangan kehidupan masyarakat.Terdapat 12 area kritis persoalan gender yang menjadi landasan untuk menangani permasalahan gender, yaitu:

1. Gender dan kemiskinan

2. Gender dan pendidikan

3. Gender dan kesehatan

4. Kekerasan Berbasis Gender

5. Perempuan Politik dan Pengambilan Keputusan

6. Perempuan dan Ekonomi

7. Hak Asasi Perempuan

8. Media dan Gender

9. Gender dan Lingkungan Hidup

10. Anak Perempuan

11. Perempuan dan Konflik bersenjata

12. Kelembagaan Nasional untuk Memajukan perempuan (Ninik Sri Rahayu dkk, 2014: 23-27)

Menyadari problem ketimpangan gender yang masih kerap terjadi, Pemerintah telah mengadopsi kebijakan pengarusutamaan gender guna secara sistematis mereduksi ketimpangan gender di Indonesia. Pengarusutamaan gender (PUG) pada dasarnya adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan perspektif gender dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Dengan demikian maka kesetaraan dan keadilan gender akan terwujud melalui kebijakan pembangunan nasional yang mampu secara efektif mereduksi ketimpangan gender sehingga seluruh potensi SDM dapat dioptimalkan guna mencapai tujuan pembangunan nasional.

1.5 Metode Penyusunan

1.5.1 Kebijakan Pengelolaan Data Terpilah

Data pada dasarnya merupakan kumpulan nilai variabel yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif atau kualitatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan data terpilah adalah nilai variabel-variabel yang terpilah menurut berbagai jenis ciri atau karakteristik. Pada umumnya, pemilahan ini dilakukan dalam rangka melokalisasi atau mempersempit

(38)

ruang pemecahan masalah pembangunan di suatu bidang tertentu. Data dapat dipilah menurut berbagai ciri atau karakterisrik tergantung pada jenis analisis yang akan dilakukan. Bila akan melakukan analisis gender, data perlu dipilah menurut jenis elamin. Untuk melakukan analisis tentang kesenjangan alokasi pembangunan atau analisis spasial, data perlu dipilah menurut wilayah. Begitu pula analisis dapat dilakukan berdasarkan umur atau waktu kejadian seperti analisis kohort dan analisis deret waktu atau analisis time series.

Data gender adalah data mengenai hubungan relasi dalam status, peran, dan kondisi antara laki-laki dan perempuan. Data terpilah menurut jenis kelamin dapat membuka wawasan tentang adanya kesenjangan gender.Pemilahan menurut jenis kelamin di berbagai bidang dapat menunjukkan status, peran, kondisi dan kebutuhan masyarakat perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan, serta permasalahan yang dihadapi dalam upaya mengurangi kesenjangan. Pemilahan data menurut jenis kelamin merupakan prasyarat utama dilakukannya analisis gender yang bermanfaat dalam penyusunan analisis kebijakan dan penyusunan anggaran yang responsif gender.

Penyelenggaraan pengelolaan data gender dan anak adalah suatu upaya pengelolaan pembangunan data yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan yang dirinci menurut jenis kelamin dan umur, serta data kelembagaan terkait unsur-unsur prasyarat pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak untuk digunakan dalam upaya pelaksanaan pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak.

Data gender adalah data mengenai hubungan relasi dalam status, peran dan kondisi antara laki-laki dan perempuan. Data anak adalah data kondisi tentang anak perempuan dan laki-laki dibawah 18 tahun yang terpilah menurut kategori umur yang terdiri dari 1 tahun, 2-3 tahun, 4-6 tahun, 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun. Sedangkan data terpilah adalah data terpilah menurut jenis kelamin, status dan kondisi perempuan dan laki-laki diseluruh bidang pembangunan yang meliputi: kesehatan, pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, bidang politik dan pengambilan keputusan, bidang hukum, sosial-budaya, dan peristiwa kekerasan.

(39)

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pengelolaan data gender dan anak diatur prosesnya sebagai berikut:

1. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan instansi terkait wajib melakukan pengelolaan data gender dan anak yang meliputi tahapan: pengumpulan; pengolahan; analisis; dan penyajian. 2. Pengumpulan data dilakukan melaui survei, registrasi, statistik

rutin instansi, penelitian dengan penggunaan data sekunder, dan/atau cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Pengolahan data dilakukan pada semua jenis data terpilah terkait gender dan anak.

4. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metodologi pengolahan data sesuai dengan kebutuhan.

5. Penyajian data dilakukan dengan menggunakan media cetak dan/atau media elektronik.

Sementara penyelenggaraan data gender dan anak secara kelembagaan diatur sebagai berikut:

1. OPD yang menangani urusan pemerintahan bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak wajib menyelenggarakan data gender dan anak;

2. Penyelenggaraan data gender dan anak dilaksanakan berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota;

3. Pengumpulan dan penyajian data gender dan anak dilakukan oleh forum data gender dan anak;

4. Keanggotaan forum data gender dan anak terdiri dari OPD dan Instansi terkait;

5. Forum data gender dan anak dibentuk oleh: a. Gubernur untuk tingkat Provinsi; dan

b. Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota.

6. Forum data gender dan anak memiliki tugas sebagai berikut:

a. Menyusun rencana kerja forum data gender dan anak dengan menggunakan indikator dan target terukur;

b. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dalam rangka penguatan, pengadaan dan pemanfaatan data;

c. Melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam penyusunan data gender dan anak;

(40)

d. Menghimpun, mengolah, menyusun, dan meningkatkan kualitas data serta mempresentasikan data di OPD masing-masing yang selanjutnya dijadikan data sekunder pada data gender dan anak secara berkesinambungan;

e. Melaksanakan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan forum data gender dan anak.

7. Pelaksanaan tugas Forum data gender dan anak dibantu oleh sekretariat yang menangani urusan Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

8. Sekretariat forum data gender dan anak memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:

a. Sarana komunikasi dan media dialog antar anggota forum data gender dan anak guna menghindari duplikasi data;

b. Media diseminasi, advokasi dan fasilitasi peningkatan kualitas data dan pemanfaatan data serta rekomendasi untuk masing-masing OPD.

1.5.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu:

1. Data Terpilah menurut jenis kelamin. Data ini terdiri dari data umum yang meliputi jumlah penduduk, jumlah kepala rumah tangga, jumlah penduduk menurut kelompok umur, IPM, IPG dan IDG. Penyajian Data secara lebih spesifik mencakup bidang kesehatan, pendidikan, bidang SDA dan lingkungan hidup, ekonomi dan ketenagakerjaan, politik dan pengambilan keputusan, hukum dan Sosial budaya serta data kekerasan terhadap perempuan.

2. Data Anak. Data ini meliputi kekerasan terhadap anak, jumlah anak jalanan, anak terlantar, kepemilikan akta kelahiran, jumlah panti asuhan dan anak di panti asuhan, anak berkebutuhan khusus, anak berhadapan dengan hukum, kelangsungan hidup anak, dan tumbuh kembang anak.

3. Data Kelembagaan. Data ini terdiri dari kelembagaan pengarusutamaan gender di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, pengarusutamaan gender, perlindungan perempuan dan anak, pengarusutamaan hak anak, kelembagaan tumbuh kembang anak dan kelangsungan hidup anak.

(41)

Keseluruhan data yang digunakan adalah data sekunder berupa dokumen, registrasi, pencatatan, hasil survei maupun penelitian yang dihimpun dari berbagai sumber yang otoritatif, antara lain: BPS, Organisasi Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Serang dan Provinsi Banten, Perguruan Tinggi, Kepolisian Daerah Banten, Kepolisian Resort Serang, Kejaksaan Tinggi Banten, Kejaksaan Negeri Serang, Pengadilan Tinggi Banten, Kantor Wilayah Kementerian Agama, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri Serang, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten dan Kota Serang, dan badan-badan publik otoritatif lainnya, yaitu instansi lain yang mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang dalam penanganan dan penyediaan data yang ada hubungannya dengan gender dan anak.

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan data terpilah gender dan anak ini adalah sebagai berikut:

1. Penyebaran angket berupa matriks / daftar isian data yang dibutuhkan ke sejumlah instansi atau badan publik pengelola data yang terkait dengan pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak di wilayah Kota Serang maupun Provinsi Banten, khususnya pada bidang kependudukan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, politik, hukum, dan sosial budaya.

2. Focused Group Discussion (FGD), yang dilaksanakan dengan sejumlah narasumber pengelola data yang otoritatif dari berbagai institusi yagn berwenang, guna mendapatkan konverjensi informasi, dan atau validasi informasi atas sejumlah informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan melalui sejumlah teknik pengumpulan data.

3. Observasi, dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek kajian guna mendapat pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif mengenai kondisi objektif di lapangan. Pada kajian ini, teknik observasi yang digunakan adalah observasi tanpa berperanserta (non-partisipatori), di mana peneliti hanya berperan sebagai outsider yang tidak melibatkan diri dalam kelompok, komunitas, maupun obyek yang tengah dikaji.

4. Studi dokumentasi, dilakukan dengan cara mempelajari dokumen-dokumen termasuk laporan, penelitian, dan kajian terdahulu relevan guna melengkapi data lapangan kajian ini.

(42)

BAB II

Gambar

Tabel  di  atas  mengkonfirmasi  penting  dan  strategisnya  isu  kesejahteraan anak dan perempuan sebagai isu strategis pembangunan  daerah  di  Kota  Serang,  mengingat  populasi  penduduk  usia  anak-anak  yang diestimasi mencapai kurang lebih 33% dari
Tabel  di  atas  menggambarkan  sebaran  penduduk  Kota  Serang  berdasarkan  pekerjaan  sebagaimana  yang  dicatatkan  dalam  dokumen  kependudukan
Tabel 3.14  Angka Putus Sekolah
Tabel 4.12  Angka Kematian Bayi  Kecamatan  Jumlah  Kematian Bayi  usia 0-11  Bulan  Jumlah  Kelahiran Hidup dalam 1 Tahun  AKB (per 1000  kelahiran hidup)  Serang  11  4.523  2.43  Kasemen  6  1.962  3.06  Walantaka  0  1.799  0.00  Curug  5  1.097  4.56
+3

Referensi

Dokumen terkait

PROFIL ANAK JALANAN PEREMPUAN DALAM PERSFEKTIF GENDER (Studi Kasus Di Terminal Gagak Rimang

Kurangnya pemenuhan disebabkan belum terpenuhinya empat prasarat kunci pelaksanaan pengarusutamaan gender pada Dinas Pengelolaan Pasar yaitu: komitmen,

Individu yang satu dengan yang lainnya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam segala hal jika dilihat dari konsep pengarusutamaan

a. Menyiapkan bahan penyusunan kebijakan teknis Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Menyiapkan bahan pelaksanaan forum koordinasi penyusunan kebijakan

Pengarusutamaan Gender di daerah yang selanjutnya disebut PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan keadilan dan kesetaraan gender menjadi satu

Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender yang selanjutnya disingkat RAD PUG adalah acuan/arahan kepada setiap stakeholders dalam melaksanakan strategi PUG untuk

Individu yang satu dengan yang lainnya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama dalam segala hal jika dilihat dari konsep pengarusutamaan

Kebutuhan penggambaran data gender dan anak-pun tidak mungkin dibatasi hanya yang terkait dengan kewenangan urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, namun juga