• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Stres - Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Stres - Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Stres

1. Pengertian Stres

Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik

mengharuskan seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan

(Selye, 1976). Respon atau tindakan ini termasuk respon fisiologis dan

psikologis. Stres dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan

dengan apa yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stres

dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan

masalah, berpikir secara umum, hubungan seseorang dan rasa memiliki

(Potter & Perry, 2005).

2. Sumber stresor

Sumber stresor menurut Hidayat (2008) merupakan asal dari penyebab

suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan,

baik secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan

fisik dapat berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau

tempat-tempat umum sedangkan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau

sikap kesehatan atau orang yang ada disekitarnya, sedangkan lingkungan

spiritual dapat berupa tempat pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah

atau lainnya.

3. Penyebab stres

(2)

kehilangan atau kekurangan air, oksigen, makanan, cacat, nyeri, dll. 2) Faktor

psikologis: kehilangan orang yang dicintai, perpisahan. 3) Faktor sosial:

perubahan tempat tingal, masalah ekonomi, dikucilkan. 4) Faktor

mikrobiologi: kuman penyakit.

4. Tanda & gejala stres

Gejala-gejala ini bisa menjadi tanda-tanda awal dari bakal timbulnya

masalah kesehatan, atau bahkan dari kondisi yang memerlukan perhatian

medis. Gejala-gejala stres menurut Hardjana (1994) dibagi dalam a) Gejala

Fisikal: sakit kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur: insomnia (susah

tidur), tidur terlantur, bangun terlalu awal, sakit punggung, terutama di bagian

bawah, mencret-mencret dan radang usus besar, sulit buang air besar,

sembelit, gatal-gatal pada kulit, urat tegang-tegang terutama pada leher dan

bahu, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, keringat berlebih, selera

makan berubah, lelah atau kehilangan daya energi. b) Gejala emosional:

gelisah atau cemas, sedih, depresi, mudah menangis, mood/suasana hati

berubah-ubah cepat, mudah panas/ emosi dan marah, gugup, rasa harga diri

menurun atau merasa tidak aman, terlalu peka dan mudah tersingung,

marah-marah, gampang menyerang orang dan bermusuhan, emosi mengering atau

kehabisan sumber daya mental (burn out). c) Gejala intelektual: susah

berkonsentrasi atau memusatkan pikiran, sulit membuat keputusan, mudah

terlupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan,

pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat,

(3)

bertambah jumlah kekeliruan yang dibuat. d) Gejala interpersonal: kehilangan

kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, mudah

membatalkan janji atau tidak memenuhinya, suka mencari-cari kesalahan

orang lain atau menyerang orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu

membentengi dan mempertahankan diri, mendiamkan orang lain.

5. Tahapan stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang sering sekali tidak disadari

karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat. Dan, baru

dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi

kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan

lingkungan sosialnya. Amberg (1979 dalam Hawari, 2001) dalam

penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut:

5.1. Stres tahap I

Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan, dan

biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut, yaitu:

Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting), penglihatan “tajam” tidak

sebagaimana biasanya, merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari

biasanya; namun tanpa disadari cadangan energi habis (all out) disertai rasa

gugup yang berlebihan pula, merasa senang dengan pekerjaannya itu dan

semakin bertambah semangat, namun tanpa disadari cadangan energi

(4)

5.2. Stres tahapan II

Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan”

sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul

keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup

sepanjang hari karena tidak cukup waktu untuk istirahat. Istirahat antara lain

dengan tidur yang cukup bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan

cadangan energi yang mengalami defisit. Analog dengan hal ini adalah

misalnya handphone (HP) yang sudah lemah harus kembali diisi ulang

(dicharge) agar dapat digunakan lagi dengan baik. Keluhan-keluhan yang

sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah

sebagai berikut, yaitu: Merasa letih sewaktu bangun pagi, yang seharusnya

merasa segar, merasa mudah lelah sesudah makan siang, lekas merasa capai

menjelang sore hari, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman

(bowel discomfort), detakan jantung lebih keras dari biasanya

(berdebar-debar), otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang, tidak bisa santai

5.3. Stres tahapan III

Bila seseorang itu tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa

menghiraukan keluhan-keluhan sebagaimana diuraikan pada stres tahap II

tersebut di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan

keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu yaitu: Gangguan lambung

dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag” (gastritis), buang air

(5)

ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, gangguan

pola tidur (insomnia), misalnya sukar kembali tidur (middle insomnia), atau

bangun terlalu pagi/ dini hari dan tidak dapat kembali tidur (late insomnia),

koordinasi tubuh terganggu (badan terasa oyong dan serasa mau pingsan).

Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter

untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi

dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah

suplai energi yang mengalami defisit.

5.4. Stres tahapan IV

Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter

sehubungan dengan keluhan-keluhan stres tahap III di atas, oleh dinyatakan

tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ

tubuhnya. Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri

untuk bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan

muncul sebagai berikut: untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa

amat sulit, aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah

diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit, yang semula

tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons

secara memadai (adequate), ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan

rutin sehari-hari, gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang

menegangkan, seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada

(6)

perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa

penyebabnya.

5.5. Tahap V

Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres

tahap V yang ditandai dengan hal-hal berikut, yaitu: Kelelahan fisik dan

mental yang semakin mendalam (physical and psychological exhaustion),

ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan

dan sederhana, gangguan sistem pencernaan semakin berat (

gastro-intestinal disorder), timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang

semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

5.6. Stres tahap VI

Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami

serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang

mengalami stres tahap VI ini berulang-kali dibawa ke Unit Gawat Darurat

bahkan ke ICU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak

ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah

sebagai berikut, yaitu: Debaran jantung teramat keras, susah bernafas (sesak

dan megap-megap), sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat

bercucuran, ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, pingsan atau kolaps

(collapse)

Bila dikaji maka keluhan atau gejala-gejala sebagaimana

(7)

disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh sebagai akibat

stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk

mengatasinya.

6. Tingkatan stres

Tingkatan stres menurut Acdiat (2000), stres dapat dibedakan yaitu:

6.1. Stres ringan

Dalam tingkatan yang masih ringan belum berpengaruh kepada

fisik dan mental hanya saja sudah mulai agak sedikit tegang dan was-was.

6.2. Stres sedang (medium)

Pada tingkat medium ini individu mulai kesulitan tidur, sering

menyendiri dan tegang.

6.3. Stres berat (kronis)

Pada keadaan stres berat ini individu sudah mulai ada gangguan

fisik dan mental. Dan yang paling berat akan terjadi stroke dan

memerlukan bantuan penanganan dokter saraf

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres

Rasmun (2004) menyatakan setiap individu akan mendapat efek stres yang

beda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

7.1. Kemampuan individu mempersepsikan stresor

Jika stresor dipersepsikan mengancam akan berakibat buruk bagi

individu tersebut, maka tingkat stres yang dirasakan kan semakin berat.

(8)

tersebut mampu mengatasinya, maka tingkat stres yang dirasakan akan

lebih ringan.

7.2. Intensitas terhadap stimulus

Jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka

kemungkinan kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak

akan mampu mengadaptasikannya.

7.3. Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama

Jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang

harus dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang

mengakibatkan reaksi yang berlebihan.

7.4. Lamanya pemaparan stresor

Memanjangnya lama pemaparan stresor dapat menyebabkan

menurunnya kemampuan individu dalam mengatasi stres.

7.5. Pengalaman masa lalu

Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi kemampuan individu

dalam menghadapi stresor yang sama.

7.6. Tingkat perkembangan

Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas

stresor yang berbeda sehingga resiko terjadinya stres pada tingkat

perkembangan akan berbeda.

B. Dampak Stres Pada Narapidana Wanita

Lembaga pemasyarakatan secara alami adalah tempat yang stressfull

(9)

yang disebabkan karena adanya sesuatu yang secara fisik berpengaruh pada

tubuh (penyakit, perubahan temperatur, dan sebagainya) atau oleh lingkungan

dan situasi sosial yang dinilai mengancam atau membahayakan. Stresor

tertentu mengakibatkan keadaan stres yang mengarahkan pada munculnya

respon-respon tertentu baik berupa respon fisik pada tubuh (sakit perut, pusing,

jantung berdebar dan sebagainya), atau respon psikologis seperti kecemasan

dan depresi (Clifford dkk, 1986).

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Rias Tanti (2007)

kepada 345 responden dalam penelitiannya Stres pada Penghuni Lapas,

diketahui bahwa respon atau reaksi individu terhadap peristiwa yang menekan

(stres) dapat berupa berbagai aspek atau level, meliputi aspek fisiologis,

emosional, kognitif dan perilaku.

Gangguan sakit (fisik) dapat ditandai oleh adanya masalah fisik yang

sesungguhnya, tetapi dapat pula disebabkan dan diperparah oleh adanya

faktor-faktor emosional termasuk di dalamnya stres. Seringkali gangguan psikologis

akan menyebabkan dan diikuti oleh keluhan-keluhan, secara fisik juga akan

makin parah jika disertai oleh adanya gangguan psikologis. Pada level

fisiologis, keluhan yang paling menonjol dialami responden adalah keluhan

badan pegal-pegal, sakit kepala, dan fatique atau rasa lelah yang amat sangat.

Untuk emosi negatif yang prevalensi kejadiannya cukup sering dialami oleh

responden yang tertinggi adalah perasaan khawatir, perasaan sedih, perasaan

(10)

Gangguan psikologis juga berdampak pada perubahan cara berpikir

atau aspek kognitif individu. Depresi dapat diakibatkan oleh keadaan tak

berdaya, tetapi dapat pula mengakibatkan seseorang menjadi tak berdaya,

kehilangan kepercayaan diri dan putus asa. Pada level kognitif, gejala yang

paling menonjol yang dialami oleh responden adalah perasaan bersalah yang

berlebihan dan bahkan menyatakan selalu dihantui perasaan bersalah,

kemudian perasaan tidak berharga dan dengan persentase terendah adalah

perasaan putus asa.

Gangguan psikologis pada level fisik, emosi dan kognitif akan dapat

terlihat pada level individu. Pada level perilaku, gangguan psikologis dapat

termanivestasi dalam bentuk perilaku sulit tidur atau bahkan tidur berlebihan,

tidak bersemangat, keinginan untuk menyendiri, bahakan keinginan untuk

melukai sampai keinginan untuk mengakhiri hidup yang dapat mengarahkan

seseorang pada tindakan perilaku sulit tidur. Pada aspek ini, perilaku sulit tidur

atau terjaga dari tidur di malam hari memiliki persentase tertinggi, kemudian

perilaku berikutnya adalah ingin melukai diri sendiri dan 5,5% responden

menyatakan sering dan selalu ingin mengakhiri hidupnya (Tanti, 2007).

Gejala stres yang sering dialami oleh narapidana wanita berdasarkan

analisis Office for National Statistic dalam memenuhi kebutuhan kesehatan

mental wanita di penjara adalah masalah tidur, mimpi buruk, gangguan

konsentrasi dan pelupa, sakit kepala, pusing, kehilangan nafsu makan,

penurunan berat badan, gangguan penglihatan, jantung berdebar-debar, gelisah,

(11)

kebingungan, kemarahan yang tidak rasional, depresi dan ketergantungan

alkohol (O’Brien et al., 2001 dalam Rickford, 2003)

C. Konsep Koping 1. Pengertian koping

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan

situasi stresfull. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap

situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologik. Koping yang

efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru

dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif

berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan

normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain atau

lingkungan. Setiap individu dalam melakukan koping tidak sendiri dan tidak

hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal

ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).

2. Sumber-sumber koping

Sumber-sumber koping meliputi status sosioekonomik, keluarga,

jaringan interpersonal, dan organisasi sekunder yang dinaungi oleh

lingkungan sosial yang lebih luas. Kurangnya sumber personal tersebut

menambah stres bagi individu (Stuart. G. W. & Sandra, J.S., 1998).

3. Strategi koping

Strategi koping yang bisa digunakan menurut Lazarus dan Folkman

(12)

3.1.Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping)

Problem focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya

yang menyebabkan terjadinya tekanan. Problem focused coping ditujukan

dengan mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres atau

memperluas sumber untuk mengatasinya. Strategi yang dipakai dalam

problem focused coping antara lain sebagai berikut: a) Confrontative

coping: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan

cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan

risiko, b) Seeking social support: usaha untuk mendapatkan kenyamanan

emosional dan bantuan informasi dari orang lain, c) Planful problem

solving: usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan

cara yang hati-hati, bertahap, dan analistis.

3.2. Emotion Focused Coping

Emotion focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur respons emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan

dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang

dianggap penuh tekanan. Strategi yang digunakan dalam emotion focused

coping antara lain sebagai berikut: a) Self-control: usaha mengatur perasaan

ketika menghadapi situasi yang menekan, b) Distancing: usaha untuk tidak

terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan

tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif,

(13)

mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada

pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius,

d) Accepting responsbility: usaha untuk menyadari tanggung jawab diri

sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya

untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, e) Escape/avoidance: usaha

untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau

menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,

merokok atau menggunakan obat-obatan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi strategi koping menurut Lazarus dan

Folkman (1984), yaitu:

4.1. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam

usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang

cukup besar.

4.2. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting,

seperti keyakinan akan nasib (external locus of control) yang mengerahkan

individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan

menurunkan kemampuan strategi koping: problem-solving focused coping

4.3. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,

(14)

menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif

tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya

melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4.4. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan

bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial

yang berlaku di masyarakat.

4.5. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi

dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota

keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

5. Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua

(Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu:

5.1. Mekanisme koping adaptif

Mekanisme koping adaptif adalah mekanisme koping yang

mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan.

Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah

secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

5.2. Mekanisme koping maladaptif

Mekanisme koping maladaptif adalah mekanisme koping yang

(15)

otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan

berlebihan/tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar.

D. Koping Narapidana Wanita

Menjalani masa hukuman di lapas menurut Cooke dkk (2008) sering

kali merusak bagi napi. Kadang-kadang gangguan psikologis terjadi

sedemikian rupa, sehingga menyebabkan penderitaan bagi napi. Ini mungkin

tidak langsung terlihat karena penderitaan tidak muncul sebagai gangguan

psikiatris, tetapi meletus dalam bentuk kemarahan, kekerasan, mencederai diri

sendiri, atau menarik diri.

Perbuatan yang sering dilakukan napi dalam melukai diri sendiri adalah

memotong urat nadi, overdosis obat, meloncat dari atap dan lain-lain. Tindakan

percobaan bunuh diri/bunuh diri dilakukan oleh napi karena mereka merasa

sangat tertekan, hingga merasa lebih baik mati saja. Ada cara yang dilakukan

napi untuk memanipulasi keadaan, sehingga ia dapat mengubah keadaan yang

ia rasakan karena merasa sangat putus asa, yaitu dengan cara mengajak petugas

berbicara tentang masalah pribadinya. Ada juga bentuk lain dari menyakiti diri

sendiri, tetapi tidak membahayakan nyawa seperti menggaruk kulit sampai

mengelupas, atau menelan sesuatu. Ini bisa terjadi sebagai jawaban terhadap

masalah yang dihadapi. Kadang-kadang napi mencederai dirinya dan tidak

memikirkan apa yang terjadi sesudahnya. Kadang-kadang juga aksi menggaruk

kulit sampai mengelupas itu memberikan perasaan lega bagi si napi. Mereka

mungkin mengalami kekhawatiran dan tekanan yang meningkat, yang ternyata

(16)

darah mengucur. Perilaku menggaruk kulit ini pada umumnya terjadi pada

Referensi

Dokumen terkait

PrintWriter adalah class turunan dari Writer yang memiliki metode tambahan untuk menulis tipe data Java dalam karakter yang bisa dibaca manusial.. Queue merupakan model

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar IPA materi pesawat sederhana pada siswa kelas

Dengan mengamati gambar dan mendengarkan penjelasan guru, siswa dapat mengidentifikasi dan mendemonstrasikan cara memegang dan membalik buku

con®rm the expected form and sign of the two-way interactions (p. Finding a signi®cant three-way interaction does not warrant such speci®c expectations... This is the consequence of

3.3.4 Menunjukkan huruf vokal dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 3.3.5 Menunjukkan huruf konsonan dalam suatu kata yang terkait dengan tubuhku 4.3 Melafalkan

Carefully de®ning the underlying task require- ments, as well as comparing and contrasting those requirements to tasks previously studied, is a critical event necessary to further

SURAT TUGAS Nomor: 814/IV/SD.05/II/2015 Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala SD Negeri Mancagahar 1 UPTD Pendidikan Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut dengan ini menugaskan kepada :

1 shows that performance is (1) a positive function of goal setting for both levels of task interdependence, (2) over trials, performance level increases for reciprocal but is