• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik - Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provins

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Publik - Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Studi Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 oleh Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak, Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provins"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:1) bahwa kebijakan publik

adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh

pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar

mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas. Sedangkan menurut Woll (Tangkilisan, 2003:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah dimasyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Anderson dalam Abidin (2004:21) mendefenisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Mirip dengan George C. Edwards III dan Ira Sharkansky dalam Suwitri (2008: 10) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “suatu

tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan”.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dilihat bahwa munculnya kebijakan publik muncul didahului dengan adanya masalah yang terjadi di masyarakat yang mendapat

tanggapan dari pemerintah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebijakan publik

(2)

ditangani dengan mengerahkan sejumlah sumber daya dalam mewujudkan tujuan

dikeluarkannya kebijakan tersebut.

2.1.1 Proses Kebijakan Publik

Bila kebijakan dipandang sebagai sebuah sistem, maka kebijakan memiliki

elemen-elemen pembentuknya. Menurut Thomas R. Dye dalam Dunn (2000: 110) terdapat tiga elemen kebijakan yang membentuk sistem kebijakan. Dye menggambarkan ketiga elemen

kebijakan tersebut sebagai kebijakan publik (public policy), pelaku kebijakan (policystakeholders), dan lingkungan kebijakan (policy environment).

Gambar 2.1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Menurut Thomas R. Dye

Sumber: Thomas R. Dye dalam Dunn (2000:110)

Ketiga elemen ini saling memiliki andil, dan saling mempengaruhi. Sebagai contoh, pelaku kebijakan dapat mempunyai andil dalam kebijakan, namun mereka juga dapat pula

dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Lingkungan kebijakan juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Dunn (2000: 111) menyatakan, “Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang dialektis, yang berarti

bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuat kebijakan tidak tepisahkan di dalam prakteknya”. Jika kebijakan dapat dipandang sebagai suatu sistem, maka kebijakan juga dapat

(3)

Gambar 2.2. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton

Sumber: David Easton dalam Nugroho (2008: 383)

Model proses kebijakan publik dari Easton mengasumsikan proses kebijakan publik dalam sistem politik dengan mengandalkan input yang berupa tuntutan (demand) dan

dukungan (support). Model Easton ini kemudian dikembangkan oleh para akademisi lain. Menurut James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2008:186) proses kebijakan melalui tahap-tahap (stages) sebagai berikut:

Gambar 2.3. Proses Kebijakan Publik Menurut Anderson, dkk

Sumber: James A. Anderson, dkk. dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 186)

Dijelaskan bahwa tahap-tahap tersebut sebagai berikut :

1. Penyusunan Agenda (Policy Agenda)

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu menyusun

agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana saja yang akan dijadikan

prioritas untuk dibahas. Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi. Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah

yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali. Masing-Policy

Evaluation Policy

Implementat ion Policy

Adoption Policy

Formulation Policy

(4)

masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam agenda memiliki

argumentasi masing-masing. Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.

2. Formulasi kebijakan (Policy Formulation)

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan.

3. Adopsi kebijakan (Policy Adoption)

Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan

tersebut. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation)

yaitu kebijakan yang telah mendapatkan legitimasi. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.

4. Implementasi kebijakan (Policy Implementation)

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian

dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

(5)

kebijakan, maka kendala-kendala yang dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini

mungkin.

5. Evaluasi kebijakan (Policy Evaluation)

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk dilihat

sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah

meraih hasil yang diinginkan. Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau dihilangkan sama sekali.

Pakar lain, Dye mengemukakan tahap proses kebijakan yang hampir mirip dengan model Anderson, dkk. tersebut. Menurut Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho

(2008:189) proses kebijakan publik adalah sebagai berikut :

Gambar 2.4 Proses Kebijakan Publik Menurut Dye

Sumber: Thomas R. Dye dalam Tilaar dan Nugroho (2008: 189)

Selain teori proses kebijakan dari Anderson, dkk. dan Dye terdapat teori lain seperti dari William N. Dunn dan Patton & Savicky yang digambarkan tiap tahap proses kebijakan

sebagai berikut.

(6)

Sumber : Dunn (2000 : 25)

2.1.2 Implementasi kebijakan

Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat tiga kata kunci yakni “formulasi,

“implementasi”, dan “kinerja”. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan, langkah selanjutnya

tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut. Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho (2008: 501) menyatakan :

Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi.

Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan sumber daya paling besar, maka tugas implementasi kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih.

Terkadang dalam praktik proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan. Nugroho (2008: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia salah satunya adalah “Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, implementasi akan

Peramalan

Rekomendasi

Pemantauan

(7)

“jalan dengan sendirinya””. Terkadang sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk

membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat

mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk

program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai

peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Nugroho, 2008: 158-160).

Untuk menyimpulkan pengertian dari implementasi kebijakan penulis memilih

pendapat dari Agus Purwanto yang mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk

mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan akan muncul manakala keluaran kebijakan (policy output) dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok

sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.

2.1.3 Model-Model Implementasi Kebijakan

Seperti yang diketahui kebijakan publik dihasilkan oleh proses politik dan dijalankan melalui badan-badan pemerintah. Implementasi dapat melibatkan banyak faktor bukan hanya

(8)

kebijakan publik yang dihasikan para teorisi yang lazim digunakan seperti: George C. Edwards III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter dan Carl Van Horn. Masing-masing model memiliki variabel tersendiri meski ada beberapa

kesaamaan. Berikut beberapa model implementasi kebijakan tersebut.

a. Model George Edwards III

George C Edwards III (dikutip Subarsono, 2005: 90), menyebutkan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 variabel, yaitu:

a. Komunikasi (Communication)

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus

ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran maka akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumber Daya (Resources)

Walupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia, yakni kompetensi

implementor dan sumber daya finansial.

b. Disposisi atau Sikap-Sikap (Disposition)

Adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan pembuat

(9)

c. Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya

prosedur standar operasional (Standart Operating Procedure = SOP). SOP menjadi pedoman bagi implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. SOP merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya serta kemauan adanya keseragaman dalam operasi organisasi yang kompleks. SOP ini sering kita jumpai dalam pelayanan masyarakat pada organisasi-organisasi pelayanan publik. Sedangkan fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi sehingga menyangkut bagaimana pelaksanaan tanggungjawab yang dilaksanakan oleh tiap-tiap unit dan hubungan di antaranya.

Mengamati model implementasi George C Edwards III, tentang kontens dan konteks

kebijakan, bahwa isi kebijakan harus disesuaikan dengan konteksnya yakni siapa sumber daya manusia yang dituju, bagaimana persepsi dan tanggapan yang diberikan dan bagaimana

sikap dan tanggapan yang diberikan birokratnya dalam mencapai kesepahaman dalam implementasi kebijakan yang ada sehingga akan mencapai hasil yang maksimal. Tujuan yang hendak dicapai merupakan target akhir dari implementasi, dan persyaratan pertama bagi

implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa pelaksana keputusan harus mengetahui

apa yang harus mereka lakukan. Model implementasi kebijakan tersebut menggambarkan, bahwa proses implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara efektif bila dipengaruhi oleh beberapa variabel.

(10)

Menurut Van Meter dan Van Horn (Subarsono, 2005: 99) terdapat lima variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu : “(1) standar dan sasaran kebijakan; (2)

sumberdaya; (3) komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik ...”.

Gambar 2.6. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

Sumber: Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005: 99)

Selanjutnya variabel-variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn tersebut dijelaskan (Subarsono, 2005: 99):

(1 ) Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

(2) Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources).

(3) Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

(4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.

(11)

sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

(6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

c. Model Grindle

Menurut Merilee S. Grindle (Subarsono, 2005: 93) terdapat dua variabel besar yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Masing-masing variabel tersebut masih dipecah lagi menjadi beberapa item. Disebutkan oleh Subarsono (2005: 93).

Variabel isi kebijakan ini mencakup (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group...; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan...; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan khususnya yang menyangkut implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi.

(12)

Sumber: Grindle dalam Subarsono (2005: 93)

d. Model Mazmanian dan Sabatier

Menurut Mazmanian dan Sabatier, ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi

keberhasilan implementasi :

a. Mudah tidaknya masalah dikendalikan (tractability of the problem).

Kategori tractability of the problem mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 95-96): “(1) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan(2) Tingkat kemajemukan kelompok sasaran(3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi (4) Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan ”.

b. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi (ability of

statute to structure implementation)

Kategori ability of statute to structure implementation mencakup variabel-variabel

yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 97-98).

(1) Kejelasan isi kebijakan ... (2) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis ... (3) Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut ... (4) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar instansi pelaksana ... (5)

Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana ... (6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan ... (7) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan ...

Variabel di luar kebijakan / variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) mencakup variabel-variabel yang disebutkan oleh Subarsono (2005: 98-99) ”(1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi, (2) Dukungan publik

Program aksi dan proyek individu ang didesain dan didanai

Mengukur keberhasilan Program yang

(13)

terhadap kebijakan, (3) Sikap dari kelompok pemilih (constituent groups), (4) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor “

Gambar 2.8 Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier

2.1.4 Model Kebijakan yang Digunakan

Dari berbagai model yang telah dipaparkan di atas terdapat varibael-variabel yang

dapat digunakan untuk menentukan suatu kebijakan sudah berhasil diimplementasikan atau belum. Untuk melihat proses implementasi Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak melalui Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan

Keluarga Setdaprovsu penulis menggunakan varibel-variabel sebagai berikut 1. Komunikasi

Untuk menjamin terlakasananya implementasi kebijakan dengan baik, dikatakan faktor komunikasi menjadi hal yang penting yang berpengaruh terhadap proses implementasi. Kejelasan isi dari suatu kebijakan akan mempengaruhi bagaimana kecakapan badan

pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan. Dalam hal ini, kebijakan harus mampu

Tractability of the problem

1. Availability of valid technical theory and technology 2. Diversity of target-group behavior 3. Target group as a percentage of the population

4. Extent of behavioral change required

Ability of statute to structure implementation

1. Clear and consistent objectives 2. Incorporation of adequate causal theory 3. Financial resources

4. Hierarchical integration with and among

implementing agencies

5. Decision-rules of implementing agencies 6. Recruitment of implementing officials 7. Formal access by outsiders

Nonstatutory variables affecting implementation

1. Socioeconomic condition and technology 2. Media attention to the problem

3. Public support

4. Attitudes and resources of constituency groups 5. Support from sovereigns

6. Commitment and leadership skill of implementing officials

Stages (dependent variables) in the implementation process

(14)

menginstruksikan proses implementasi untuk mencapai tujuan dengan jelas sehingga mampu

dipahami oleh implementor. Kejelasan isi atau tujuan-tujuan kebijakan ini juga berarti bahwa isi kebijakan akan semakin mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan

merupakan potensi lahirnya distorsi atau penolakan dalam implementasi kebijakan. Selanjutnya isi tujuan kebijakan disampaikan atau disosialisasikan kepada penerima program

kebijakan/kelompok sasaran (target group). Melalui variabel ini peneliti akan mengetahui bagaimana kejelasan dari kebijakan perda sehingga dapat dipahami oleh implementor dan disampaikan kepada kelompok sasarannya.

2. Struktur Birokrasi

Mengutip teori dari Edward bahwa struktur birokrasi terdiri dari standard operational

procedure (SOP) dan fragmentasi. Sedangkan fragmentasi berkaitan dengan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Melalui variabel ini, peneliti akan mengetahui apakah ada SOP yang digunakan terkait dengan dalam upaya penanganan. Fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi. Menurut teori Edward menjelaskan bahwa setiap penyebaran tanggungjawab suatu kebijakan kepada beberapa badan/staf memerlukan koordinasi. Melalui variabel ini peneliti akan keberadaaan SOP dan pelaksanaannya serta bagaimana koordinasi terkait fragamentasi pada organisasi yang terlibat dalam penghapusan trafficking.

3. Sumber daya

Variabel sumber daya adalah hal penting dalam proses implementasi. Tanpa sumber daya, kebijakan berakhir di kertas saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, sumberdaya finansial (anggaran) dan fasilitas.

(15)

Variabel disposisi implementor digunakan untuk mengetahui sikap dan implementor

dalam mengimplementasikan kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Gambar 2.9 Model Implementasi yang digunakan

2.2 Perdagangan Orang (Human Trafficking)

Pengertian perdagangan orang (human trafficking) yang pada umumnya paling banyak dipakai adalah pengertian yang diambil dari Protokol PBB yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penmapungan, penerimaan seseorang, dengan ancaman atau

penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran

Komunikasi

Struktur Organisasi

Disposisi

Sumber daya

Implementasi Perda Nomor 6

(16)

atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain

untuk tujuan eksploitasi. Ekploitasi bisa meliputi atau setidaknya, eksploitasi prostitusi orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa atau layanan, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip perbudakan atau diambilnya organ tubuh. (Protokol PBB

tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas

Negara)

Tiga unsur yang saling terkait yang harus ada secara kumulatif agar perdagangan orang dapat dikatakan telah terjadi, yaitu proses, cara dan tujuan. Dengan kata lain, kegiatan

harus tercapai melalui cara dan keduanya harus saling terkait guna mencapai tujuan eksploitatif. Proses, diartikan sebagai pengerahan, pengangkutan, pengiriman,

penyembunyian atau penerimaan orang. Dalam hal ini tidak semua unsur harus dipenuhi. Salah satu dari proses tersebut sudah terjadi maka dapat dikatakan telah terjadi perdagangan orang Cara, diartikan sebagai tindakan dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau

bentuk-bentuk lain dari paksaan, penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau penerimaan atau penerimaan pembayaran-pembayaran atau keuntungan-keuntungan untuk mencapai persetujuan dari seseorang yang memiliki

kekuasaan atas orang lain. Tujuan, yaitu untuk tujuan eksploitasi. Dimana dalam definisi ini,

eksploitasi mencakup namun tidak terbatas pada eksploitasi seksual. Melainkan juga eksploitasi tenaga untuk bekerja atau pelayanan-pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek lain yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh

manusia. (sumber)

Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perdagangan orang. Faktor

(17)

dari keluarga atau komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan. Selain itu faktor

keluarga, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan dan akses terhadap informasi.

2.3 Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Upaya Penghapusan Perdagangan

(Trafiking) Perempuan dan Anak

Dalam perda disebutkan dengan jelas bahwa Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur

perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau

berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak.

Upaya penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak merupakan kegiatan perlindungan perempuan dan Anak yang dilakukan agar terjamin hak-haknya sehingga terhindar dari kekerasan dan diskriminasi sehingga penghapusan perdagangan

(trafficiking) perempuan dan anak dilakukan berasaskan penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dan martabat kemanusian yang sama dan perlindungan hak-hak asasi perempuan dan

anak.

Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Daerah ini bertujuan untuk pencegahan, rehabilitasi dan reintegrasi perempuan

dan anak korban perdagangan orang.

Secara garis besar perda ini meliputi hal-hal yang penting diantaranya:

1. Pencegahan traffiking

Meliputi tatacara administratf yang menjadi syarat bagi para perempuan yang akan

(18)

(SIBP)Pemberian Surat Jalan Dan Surat Pindah yang harus dipantau oleh pemerintah

setempat.

2. Pembentukan gugustugas

Guna mengevektifkan dan menjamin pelaksanaan pencegahan Trafiking perlu

dibentuk gugus tugas tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Anggotanya terdiri dari pihak pemerintah dan masyarakat.

3. Adanya kerjasama dalam pencegahan dan perlindungan

Untuk melaksanakan pencegahan dan perlindungan Perdagangan Perempuan dan Anak Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten/ Kota serta masyarakat.

4. Hak – hak korban/saksi diantaranya

Layanan dan fasilitas rehabilitasi meliputi layanan konseling, psikologis, medis, pendampingan hukum dan pendidikan keterampilan keahlian atau pendidikan alternatif,

rehabilitasi dan reintegrasi.

5. Pembiayaan pelaksanaan Peraturan daerah ini pelaksanaan disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

2.4 Definsi Konsep

Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara

abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti.1 Adapun definisi konsep yang digunakan untuk

mendapatkan batasan yang jelas dari penelitian ini adalah:

1. Kebijakan Publik menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003:1) bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

(19)

Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 tentang Upaya Penghapusan

Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak

2.

Implementasi Kebijakan Publik menurut Agus Purwanto (2012) yang mengemukakan

bahwa implementasi intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran

kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan

3.

Perdagangan orang adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penmapungan,

penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau

bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk

memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan eksploitasi

2.5Definisi Operasional

Defenisi operasional merupakan uraian dari konsep yang sudah dirumuskan dalam

bentuk indikator-indikator agar lebih memudahkan dalam operasional dari sudut penelitian 1. Komunikasi

a. Kejelasan isi kebijakan

b. Tujuan dan sasaran kebijakan

c. Sosialisasi dengan kelompok sasaran

2. Struktur Organisasi

a.

Prosedur standar operasional (Standart Operating Procedure)

b.

Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan

c.

Pembagian peran dan tugas

d.

Koordinasi yang terbentuk

(20)

a. Sumber daya manusia

b. Sumber daya finansial

c. Fasilitas (sarana dan prasarana) 4. Disposisi

Gambar

Gambar 2.1. Tiga Elemen Sistem Kebijakan Menurut Thomas R. Dye
Gambar 2.2. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton
Gambar 2.4 Proses Kebijakan Publik Menurut Dye
Gambar 2.6. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Gambut didefinisikan sebagai sedimen organik tidak padat yang dapat terbakar dan berasal dari hancuran atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dalam kondisi tertutup udara,

Perlindungan hukum bagi wajib pajak tidak hanya melalui upaya-upaya hukum melalui peradilan tetapi juga upaya-upaya administratif di luar peradilan. Upaya

yang menguntungkan yang berasal dari luar partai. Hal tersebut antara lain perubahan format pemilu pemilu 2014 dan adanya beberapa segmen masyarakat yang hampir

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengujian hubungan sebab- akibat atas faktor-faktor yang berupa variabel independen, yaitu kualitas audit, komite audit, default

[r]

Pemahaman siswa dalam pembelajaran matematika dengan model Two Stay Two Stray (TSTS) dapat dilihat dari hasil prestasi belajar siswa sebelum dan sesudah

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Akhmadi (2008), bahwa kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Penyusun Profil