• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Employee Engagement

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Employee Engagement"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Employee engagement merupakan topik yang hangat diperbincangkan

belakangan ini (kulaar, 2008), namun employee engagement masih belum memiliki suatu definisi yang berlaku untuk umum (Markos, 2010). Banyak ahli yang membahas mengenai topik ini, sebagian ahli yang menyebutnya employee engagement dan sebagiannya lagi menyebutnya work engagement.

Istilah employee engagement pertama kali diperkenalkan oleh William Khan pada tahun 1990, yang menyatakan bahwa engagement merupakan pemanfaatan diri anggota suatu organisasi untuk peran pekerjaan mereka dengan menggunakan dan mengekspresikan diri, baik secara fisik, kognitif dan emosional selama menjalankan peran mereka didalam organisasi.

Menurut Schmidt (1993; Itam & Singh, 2012), employee engagement merupakan modernisasi dari kepuasan kerja dan merupakan bagian dari employee retention.

(2)

antusiasme dan tantangan), dan absorption (konsenterasi dan senang dalam bekerja).

Robinson, Perryman dan Hayday (2004) menyatakan employee engagement merupakan sikap positif yang diberikan oleh pekerja kepada

organisasi, yang mana mereka menyadari isi dari pekerjaan, dan bekerja dengan seluruh rekan untuk meningkatkan performa pekerjaan dan keuntungan dari organisasi. Hal ini memerlukan hubungan dua arah antara pekerja dan atasan/ pemberi kerja.

Menurut Moretti dan Postružnik (2011) definisi yang umum dari employee engagement dipahami sebagai kondisi yang diinginkan yang mana kondisi

tersebut mencakup tujuan dari organisasi serta komitment, keterlibatan, antusiasme, passion, fokus pada usaha, dan energi.

Ada pula yang menyatakan bahwa employee engagement merupakan hubungan bagaimana individu memaknai pekerjaan mereka yang menyebabkan tingkat performa, komitmen dan loyalitas yang lebih tinggi (Psychometrics Canada). Hal ini sejalan dengan pendapat (Harter, Schmidt & Keyes, 2002; Rothmann & Welsh, 2013) bahwa engagement diasosiasikan dengan hal-hal yang positif, yaitu tingginya kepuasan pelanggan, tingkat produktivitas yang tinggi dan keuntungan yang tinggi serta turnover karyawan yang rendah.

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa employee engagement adalah perasaan, pemikiran serta sikap yang positif mengenai

(3)

2. Dimensi Employee Engagement

Dimensi dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli et al, 2004), yaitu:

a. Vigor

Vigor ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental dalam

bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melaksanakan pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan.

b. Dedication

Dedication ditandai oleh perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi,

kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang yang memiliki skor dedication yang tinggi, mengidentifikasi pekerjaan mereka dengan baik karena

menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan sebab mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi atau pun menantang, bahkan mereka tidak merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka.

c. Absorption

(4)

disekitarnya dengan kata lain, individu konsentrasi dan senang dalam bekerja. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa larut dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, dapat melupakan segala sesuatu disekelilingnya ketika bekerja dan waktu terasa cepat berlalu. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak larut dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaannya.

Bakker & Schaufeli kemudian mengembangkan alat untuk mengukur engagement, yang didasarkan pada ketiga dimensi diatas, yaitu vigor, dedication,

dan absorption. Skala yang mereka kembangkan untuk mengukur engagement tersebut diberi nama Utrecht Work Engagement Scale (UWES).

3. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Faktor-faktor yang mempengaruhi engagement sangatlah banyak, namun Bakker (2009) menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor utama penyebab engagement, yaitu :

a. Job Resource, yang merujuk pada aspek fisik, sosial maupun aspek organisasi

dari pekerjaan, seperti otonomi, feedback atas peformanya, dukungan sosial, supervisory coaching, skill variety, dan kesempatan untuk belajar, yang memungkinkan individu untuk :

(5)

ii. Mencapai tujuan pekerjaan

iii. Menstimulasi pertumbuhan diri, pembelajaran dan perkembangan personal.

b. Salience of Job Resources yang merujuk pada seberapa penting atau

bergunanya sumberdaya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.

c. Personal Resources merujuk pada karakteristik yang dimiliki individu, seperti

kepribadiannya. Selain itu, personal resource sering disebut juga sebagai perasaan individu akan kekuatannya untuk mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya (Hobfoll, Johnson, Ennis & Jackson, 2003; Bakker 2009).

Bakker (2009) menyatakan bahwa job resource dapat menjadi motivasi yang mengarah pada engagement yang menyebabkan peforma kerja yang tinggi. Job resource juga dapat berpotensi menjadi motivasi karyawan ketika mereka

menghadapi job demand. Job demand merupakan dari tuntutan pekerjaan yang berupa tekanan dari pekerjaan, kebutuhan emosional, kebutuhan mental serta kebutuhan fisik karyawan. Menurut Semmer, bullying dapat di kategorikan sebagai job demand (Law, dkk, 2011), yang mana bullying akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikut.

B. Bullying di Tempat Kerja

1. Definisi Bullying

(6)

emotional abuse (Keashly and Harvey, 2005), workplace incivility (Pearson et al.,

2005), dan social undermining (Crossley, 2009) (dalam Monks & Coyne, 2011). Walaupun telah begitu banyak istilah yang digunakan untuk mengungkapkan bullying di tempat kerja, namun belum ada satu kesepakatan yang jelas mengenai

definisi bullying ini.

Bullying merupakan perilaku tanpa alasan yang berulang, yang mana dengan sengaja dilakukan untuk mengintimidasi, menakuti, mempermalukan atau menjatuhkan orang lain, atau sekelompok orang, yang menyebabkan resiko keselamatan dan kesehatan (Australian Government Comcare, 2009). Bullying biasanya dikaitkan dengan agresi antar anak di lingkungan bermainnya, namun bullying juga dapat terjadi dalam konteks lain (Monks & Coyne, 2011).

Pengertian bullying di tempat kerja menurut Government Of South Australia (2012) adalah segala perilaku yang diulang, sistematis dan langsung

ditujukan kepada pekerja atau sekelompok pekerja yang mana mereka dianggap sebagai target, dipermalukan, direndahkan atau diancam dan hal tersebut menyebabkan resiko pada kesehatan dan keselamatan.

Bullying di tempat kerja juga dapat di definisikan sebgai perilaku negatif

yang bertujuan dan berulang yang ditujukan kepada satu atau beberapa individu dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak menyenangkan (Einarsen & Skogstad 1996; Vartia 1996)

(7)

kepada seorang atau sekelompok pekerja yang menyebabkan pekerja tersebut berada pada posisi yang tidak berdaya. Leymann (1996) menyatakan bahwa durasi bullying harus berlangsung sampai 6 bulan dan paling tidak terjadi sekali dalam seminggu

Bullying dipandang sebagai suatu masalah, bukan hanya bagi individu

yang mengalaminya, melainkan bagi organisasi dimana bullying terjadi dan komutias yang lebih luas (Einarsen, 1994; Clifford, 2006; Australian Government Comcare, 2009; Daniel, 2009; Oade, 2009; Monks & Coyne, 2011). Menurut Oade (2009) masalah yang timbul pada individu yang mengalami bullying adalah masalah dalam reaksi emosi dan psikologis yang berupa: rasa cemas, rasa terisolasi dan kesepian, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan self-esteem, rasa marah, mengalami mood swing, kurang motivasi dan tidak bertenaga, dan rasa depresi. Bahkan ada pula reaksi fisik yang umumnya muncul, yakni: merasa mual, sakit kepala dan migrain, jantung berdebar-debar, masalah kulit, sakit punggung, berkeringat dan gemetar, kehilangan nafsu makan, bahkan dapat kehilangan sistem imun.

(8)

2. Jenis Bullying

Menurut Australian Government Comcare (2009), bullying yang terjadi di tempat kerja dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:

a. Direct Bullying

merupakan perilaku yang secara langsung ditujukan kepada targetnya, seperti: (1) Abusive, insulting atau offensive language,

(2) Menyebarkan rumor-rumor atau informasi yang salah,

(3) Komentar yang tidak pantas mengenai penampilan, gaya hidup atau mengenai keluarganya,

(4) Mengganggu atau menggunakan seseorang sebagai bahan lelucon, (5) Ancaman atau serangan fisik, dan lain sebagainya.

b. Indirect Bullying

merupakan perilaku yang ditujukan secara tidak langsung kepada targetnya, contohnya:

(1) Tanpa alasan memberikan tugas yang sangat banyak,

(2) Tidak memberikan pekerjaan yang sesuai dengan jabatannya,

(3) Dengan sengaja tidak memberikan akses pada informasi, konsultasi atau pun sumber daya,

(4) Perlakuan yang tidak adil,

(9)

(6) Undermining, seperti memberikan kritikan tanpa alsan secara terus menerus

Menurut Rayner dan Hoel (dalam Cowie, Naylora, Riversb, Smithc & Pereira, 2000) perilaku yang termasuk dalam kategori bullying adalah:

a. Ancaman terhadap status professional, seperti meremehkan pendapat, penghinaan publik, menuduh karyawan kurang berusaha.

b. Ancaman terhadap posisi pribadi, seperti memberi nama panggilan yang mengejek, penghinaan, intimidasi, dan merendahkan dengan mengacu kepada usia karyawan.

c. Isolasi, seperti mencegah akses untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan, isolasi fisik maupun isolasi dan penundaan pemberian informasi. d. Beban kerja yang berlebihan, seperti memberikan tekanan yang tidak

semestinya, deadline yang mustahil, dan gangguan yang tidak diperlukan. e. Destabilisasi, seperti mengingatkan berulangkali pada kesalahan yang pernah

dilakukan, memberikan tugas yang tidak berarti, penghapusan tanggung jawab dan sengaja menggagalkan tugas yang telah diselesaikan karyawan.

3. Komponen Bullying

Menurut Coloroso (2004) bullying akan selalu melibatkan 3 elemen berikut:

a. Imbalance power

Bullying bukan merupakan sekedar pertikaian antar saudara (sibling rivalry),

(10)

yang sama. Individu yang melakukan bullying bisa saja lebih tua, lebih besar fisiknya, lebih kuat, lebih tinggi kelas sosialnya, berbeda ras, maupun berlawanan sex. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan Coloroso adalah individu yang melakukan bullying merupakan individu yang memiliki power yang lebih besar dibandingkan dengan targetnya.

b. Intent to harm

Individu yang melakukan perilaku bullying bermaksud untuk membebankan emosional dan/atau luka fisik, berharap tindakan yang dilakukan akan melukai targetnya, dan merasa senang atas penderitaan yang dialami oleh targetnya. Perilaku bullying bukan merupakan perilaku yang tidak disengaja atau kesalahan belaka,

c. Threat of further aggression

Baik individu yang melakukan bullying maupun targetnya mengetahui bahwa perilaku bullying ini akan muncul kembali, yang mana ini bukan perlilaku yang terjadi sekali saja.

4. Dimesi bullying

Bullying di tempat kerja dapat dibagi menjadi dua dimensi (Einarsen, Hoel, Notelaers, 2009 ; Giorgi, 2008; Giorgi , Arenas, & Leon-Perez, 2011), yaitu:

(11)

deadline yang tidak beralasan, mendapat pengawasan yang lebih ketat, dan

menyembunyikan informasi yang dapat mempengaruhi kinerja target.

b. personal bullying, merupakan perilaku bullying yang ditujukan kepada target yang sifatnya personal, seperti menyebarkan rumor atau gosip mengenai target di tempat kerja, mengucilkan target, mencemarkan nama baik.

Berdasarkan dimensi work-related & personal bullying inilah, Einarsen & Raknes mengembangkan alat untuk mengukur bullying. Alat ukur yang dikembangkan ini kemudian disebut dengan Negative Acts Questionnaire Revised (NAQ-R).

C. Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Employee Engagement Employee engagement memegang peranan penting dalam keberlangsungan

suatu organisasi yang mana merupakan faktor keberhasilan suatu organisasi (Right Management, 2009). Penelitian menunjukkan bahwa employee engagement memiliki dampak positif terhadap performa dari organisasi, seperti employee retention; produktivitas; keuntungan; keamanan, loyalitas, dan kepuasan

pelanggan (Coffman, 2000; Ellis & Sorensen, 2007; Towers Perrin Talent Report, 2003; Hewitt Associates, 2004; Heintzman & Marson, 2005; Coffman & Gonzalez-Molina, 2002; Markos, 2010).

(12)

Penelitian lainnya secara konsisten menunjukkan bahwa beberapa job demands, seperti tekanan pekerjaan dan emotional demands, menyebabkan/memberikan efek negatif seperti masalah kesehatan yang berupa distress psikologis (Bakker et al., 2004). Bullying juga dikategorikan sebagai job demand (semmer dalam Law, dkk, 2011), dengan demikian bullying juga memberikan dampak negatif kepada targetnya.

Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robinson, Perryman & Hayday (2004), karyawan yang merasa dihargai dan terlibat organisasi dimana mereka bekerja akan menyebabkan karyawan merasa lebih engage. Pada karyawan yang dibully, mereka cenderung dipersulit dan dikucilkan

(Giorgi, 2008), hal ini akan menyebabkan tingkat engagement karyawan menurun. Karyawan yang merasa kurang engage akan lebih mengalami emosi yang kurang positif yang meyebabkan mereka kurang bahagia dan tidak produktif (Salanova & Schaufeli, 2007; Schaufeli & Van Rhenen, 2006).

Penelitian lainnya menunjukkan bahwa karyawan yang engage dapat mentransfer engagement pada karyawan lain (Barsade, 2002), dapat membentuk job dan personal resource sendiri sehingga individu merasa lebih sejahtera secara

emosional (Fredrickson‘s, 2001), memiliki kesehatan yang lebih baik daripada

(13)

Work-related bullying yang berupa perilaku bullying yang bertujuan untuk

menyusahkan target dengan memberikan deadline yang tidak wajar, pengawasan yang lebih ketat, serta menyembunyikan informasi sehingga mempengarui kinerja target dapat memberikan dampak negatif seperti masalah kesehatan, frustasi dan bermasalah dengan rekan kerjanya (Einarsen, 2005), yang dapat menyebabkan

burnout. Karyawan yang merasa burnout cenderung merasa lelah secara

emosional dan mengurangi personal accomplishment yang mana hal ini dapat menurunkan engagement karyawan (Schaufeli, Leiter, Maslach, 2008). Selain itu, personal bullying seperti menyebarkan rumor, mengucilkan dan mencemarkan

nama baik target dapat menyebabkan keterlibatan emosional yang intens, seperti rasa benci dan marah yang timbul pada target (Einarsen,1999) yang akan menyebabkan rasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut. Rasa tidak aman yang dirasakan karyawan akan menurunkan tingkat engagement karyawan (Rothmann & Welsh, 2003).

Penelitian lain menunjukkan bahwa paparan bullying di tempat kerja secara terus-menerus menyebabkan gangguan pada kesehatan targetnya dan menghasilkan reaksi emosional yang parah, seperti ketakutan, kecemasan, tidak berdaya, depresi dan shock (Einarsen & Mikkelsen, 2003), serta dapat menyebabkan pervasive emotional, psikosomatik, dan masalah kejiwaan (O’Moore et al., 1998; Einarsen & Raknes, 1997; Einarsen, 2005). Dampak dari

bullying ini juga akan menyebabkan engagement menjadi rendah, sebab karyawan

(14)

dan mempengaruhi lingkungannya (Hobfoll, Jhonson, Ennis & Jackson, 2003; Bakker, 2009).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jika seorang karyawan menerima job demand yang tinggi (bullying), dan minim akan personal resources seperti dukungan sosial yang akan membantu karyawan merasa aman

akan menyebabkan tingkat engagement menjadi rendah.

D. Hipotesis Penelitian 1. Hipotesis Mayor

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka peneliti memiliki hipotesa bahwa terdapat pengaruh bullying di tempat kerja terhadap employee engagement. Hal ini berarti bahwa bullying di tempat kerja dapat menurunkan tingkat employee engagement.

2. Hipotesis Minor

Selain hipotesis mayor, peneliti juga memiliki hipotesa bahwa :

a. Ada pengaruh negatif antara work-related bullying dengan employee engagement, yaitu work-related bullying dapat menurunkan tingkat employee engagement.

Referensi

Dokumen terkait

Sederhananya, MPI atau ICC, selanjutnya disebut Mahkamah, dapat didefinisikan sebagai suatu lembaga peradilan pidana internasional yang bersifat permanen dan independen

Kategori perusahaan kedua belum menginstall suatu himpunan lengkap enterprise software (walaupun mungkin sudah menginstall beberapa modul ES). Perusahaan ini kami

yang dikonsumsi dan semakin besar jumlah kalori junk food yang dikonsumsi maka semakin tinggi kajadian obesitas. Hal ini menyatakan bahwa perilaku konsumsi junk food pada

Sejatinya Payakumbuh merupakan kota kecil yang berpotensi untuk berkembang menjadi kota menengah dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota

O : Pasien tampak bedrest, posisi pasien tidur terlentang dengan elevasi tungkai paha kanan pasien diatas bantal, pasien tampak takut dan kesakitan jika untuk bergerak,

Persepsi wisatawan terhadap pengelolaan ekowisata di Desa Margasari dapat dilihat pada.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur Kasongan Bantul pada bulan Januari 2015, maka

Terjadi saat satu atau lebih compartement ekstremitas meningkat, saat peningkatan tekanan jaringan pada ruangan tertutup diotot yang berhubungan dengan akumulasi cairan