the the
the the
the
the
the
the
the
the the the
Penerbit PT Elex Media Komputindo
the
the
the
The Goddess TesT by Aimée Carter
Copyright © 2011 by Aimée Carter
Published by the arrangement with Harlequin Book S.A. and Maxima Creative Agency.
The Goddess TesT Alih bahasa: Desy Natalia Editor: Grace Situngkir
Hak Cipta Terjemahan Indonesia Penerbit PT Elex Media Komputindo Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Diterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
717031932
ISBN: 978-602-04-4978-4
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Prologue Prologue
“How did it happenthis time?”
Henry tensed at the sound of her voice, and he tore his eyes away from the lifeless body on the bed long enough to look at her. Diana stood in the doorway, his best friend, his confidante, his family in every way except by blood, but even her presence didn’t help rein in his temper.
“Drowned,” said Henry, turning back to the body. “I found her floating in the river early this morning.”
He didn’t hear Diana move toward him, but he felt her hand on his shoulder. “And we still don’t know…?”
“No.” His voice was sharper than he’d intended, and he forced himself to soften it. “No witnesses, no footprints, no traces of anything to indicate she didn’t jump in the river be- cause she wanted to.”
“Maybe she did,” said Diana. “Maybe she panicked. Or maybe it was an accident.”
“Or maybe somebody did this to her.” He broke away, pacing the room in an attempt to get as far from the body as pos-
9780373210268_TS.indd 7 11/29/10 1:43:12 PM
PROLOG
“Bagaimana kejadiannya kali ini?”
Henry menegang mendengar suara itu, dan dia mengalihkan pan- dangannya dari tubuh tak bernyawa di tempat tidur cukup lama un- tuk melihat ke arah asal suara. Diana berdiri di ambang pintu, saha- batnya, wanita kepercayaannya, keluarganya dalam segala cara kecuali oleh darah, tapi bahkan kehadirannya tidak membantu mengendali- kan kemarahannya.
“Tenggelam,” jawab Henry, kembali melihat ke arah tubuh itu.
“Aku menemukannya mengapung di sungai pagi ini.”
Henry tidak mendengar Diana bergerak menghampirinya, tapi dia merasakan tangan Diana di bahunya. “Dan kita masih tidak tahu…?”
“Tidak.” Suara Henry lebih tajam dari yang dia maksudkan, dan dia memaksa dirinya melembutkan suara. “Tidak ada saksi mata, tidak ada jejak kaki, tidak ada jejak apa pun yang mengindikasikan dia tidak melompat ke dalam sungai karena keinginannya sendiri.”
“Mungkin dia melakukannya,” kata Diana. “Mungkin dia panik.
Atau mungkin itu kecelakaan.”
“Atau mungkin seseorang melakukan ini padanya.” Henry ber- jalan bolak-balik, berusaha menjauh sejauh mungkin dari tubuh itu.
2
“Sebelas gadis dalam delapan puluh tahun. Jangan katakan padaku ini sebuah kecelakaan.”
Diana mendesah dan menyapukan ujung jarinya ke pipi putih ga- dis itu. “Kita begitu dekat dengan yang ini, ya?”
“Bethany,” hardik Henry. “Namanya Bethany, dan usianya dua puluh tiga tahun. Sekarang gara-gara aku, dia tidak akan pernah mera- sakan dua puluh empat tahun.”
“Dia tidak akan merasakan dua puluh empat tahun kalau memang dia orangnya.”
Kemarahan menggelegak di dalam diri Henry dan terancam me- luap, tapi ketika dia menoleh pada Diana dan melihat kasih sayang di matanya, kemarahan Henry menyurut.
“Dia seharusnya lulus,” kata Henry tercekat. “Seharusnya dia hi- dup. Kupikir—”
“Kita semua berpikir begitu.”
Henry terduduk, dan Diana langsung duduk di sebelahnya, meng- usap punggungnya dengan gaya keibuan yang diharapkan Henry dari Diana. Henry mencengkeram rambut hitamnya, bahunya terkulai dengan kedukaan yang tak asing. Berapa banyak lagi kejadian seperti ini yang harus ditanggungnya sebelum mereka akhirnya melepaskan dirinya?
“Masih ada waktu.” Asa di suara Diana menghunjamnya, lebih menyakitkan dari apa pun yang terjadi pagi itu. “Kita masih punya berdekade-dekade—”
“Aku menyerah.”
Kata-kata Henry menggema di ruangan saat Diana berdiri ber- geming di sebelahnya, napasnya mendadak tersengal-sengal. Dalam beberapa detik yang dibutuhkan Diana untuk merespons, Henry mempertimbangkan untuk menarik kembali kata-katanya, berjanji dia akan mencoba lagi, tapi dia tidak bisa. Sudah terlalu banyak yang meninggal.
3
“Henry, kumohon,” bisiknya. “Masih ada dua puluh tahun. Kau tidak bisa menyerah.”
“Tidak akan ada bedanya.”
Diana berlutut di depan Henry dan menarik tangan Henry dari wajahnya, memaksa pria itu menatapnya dan melihat ketakutannya.
“Kau menjanjikan satu abad padaku, dan kau akan memberi-ku satu abad, kau paham?”
“Aku tidak akan membiarkan ada lagi yang meninggal karenaku.”
“Dan aku tidak akan membiarkanmu lenyap, tidak seperti ini. Ti- dak jika aku bisa melakukan sesuatu.”
Henry membersut. “Dan apa yang akan kau lakukan? Mencari gadis lain yang bersedia? Membawa kandidat lain ke Rumah Besar setiap ta- hun sampai ada yang lulus? Sampai ada yang bertahan melewati Natal?”
“Jika aku harus.” Diana memicingkan matanya, kebulatan tekad memancar dari dirinya. “Ada pilihan lain.”
Henry memalingkan wajah. “Aku sudah bilang tidak. Kita tidak akan membicarakan hal itu lagi.”
“Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi tanpa perlawanan,” ka- tanya. “Tidak ada yang dapat menggantikanmu, tidak peduli apa kata Dewan, dan aku terlalu menyayangimu untuk membiarkanmu me- nyerah. Kau tidak memberiku pilihan lain.”
“Kau tidak akan melakukannya.”
Diana terdiam.
Mendorong kursinya ke samping, Henry berdiri, menarik tangan- nya dari Diana. “Kau akan melakukan itu kepada seorang anak? Mem- bawanya ke dunia ini hanya untuk memaksanya menjadi seperti ini?”
Dia menunjuk tubuh di tempat tidur. “Kau akan melakukannya?”
“Jika itu berarti menyelamatkanmu, maka iya.”
“Dia bisa meninggal. Kau paham itu?”
Mata Diana berkilat, dan dia berdiri untuk berhadapan dengan Henry. “Yang aku paham, jika dia tidak melakukan ini, aku akan ke- hilanganmu.”
4
Henry berpaling dari Diana, kesulitan menguasai dirinya. “Itu bu- kan pengorbanan besar.”
Diana memutar Henry untuk menatapnya. “Jangan,” bentaknya.
“Jangan berani-beraninya kau menyerah.”
Henry mengedip, kaget dengan keteguhan suara Diana. Ketika dia membuka mulut untuk membalas, Diana menghentikannya sebelum dia bisa bicara.
“Dia akan punya pilihan, kau tahu itu sama seperti aku, tapi apa pun yang terjadi, dia tidak akan menjadi seperti itu, aku berjanji pa- damu.” Dia memberi isyarat ke arah tubuh itu. “Dia mungkin muda, tapi dia tidak bodoh.”
Henry butuh beberapa saat untuk memikirkan sesuatu untuk membalas Diana, dan ketika menemukannya, dia tahu dia tidak pu- nya harapan. “Dewan tidak akan pernah mengizinkannya.”
“Aku sudah bertanya. Karena ini masih dalam batas waktu, mereka sudah memberiku izin.”
Henry mengatupkan rahangnya. “Kau bertanya tanpa berkonsul- tasi dulu denganku?”
“Karena aku tahu apa yang akan kau katakan,” kata Diana. “Aku tidak bisa kehilanganmu. Kami tidak bisa kehilanganmu. Hanya kita yang kita miliki, dan tanpamu—kumohon, Henry. Biarkan aku men- cobanya.”
Henry memejamkan matanya. Dia tidak punya pilihan sekarang, tidak jika Dewan sudah setuju. Dia berusaha membayangkan seperti apa rupa gadis itu, tapi setiap kali dia mencoba merangkai sebuah wa- jah, memori wajah lain datang merusak.
“Aku tidak bisa mencintainya.”
“Kau tidak perlu mencintainya.” Diana mengecup pipinya. “Tapi kurasa kau akan mencintainya.”
“Kenapa begitu?”
Prologue Prologue
“How did it happenthis time?”
Henry tensed at the sound of her voice, and he tore his eyes away from the lifeless body on the bed long enough to look at her. Diana stood in the doorway, his best friend, his confidante, his family in every way except by blood, but even her presence didn’t help rein in his temper.
“Drowned,” said Henry, turning back to the body. “I found her floating in the river early this morning.”
He didn’t hear Diana move toward him, but he felt her hand on his shoulder. “And we still don’t know…?”
“No.” His voice was sharper than he’d intended, and he forced himself to soften it. “No witnesses, no footprints, no traces of anything to indicate she didn’t jump in the river be- cause she wanted to.”
“Maybe she did,” said Diana. “Maybe she panicked. Or maybe it was an accident.”
“Or maybe somebody did this to her.” He broke away, pacing the room in an attempt to get as far from the body as pos-
9780373210268_TS.indd 7 11/29/10 1:43:12 PM
BAB 1 EDEN
Aku menghabiskan ulang tahun kedelapan belasku menyetir dari New York City ke Eden, Michigan, supaya ibuku bisa meninggal di kota kelahirannya. Seribu lima ratus kilometer aspal, dan tahu bahwa setiap rambu yang kami lewati membawaku lebih dekat pada hari terburuk dalam hidupku.
Untuk urusan ulang tahun, aku tidak akan merekomendasikannya.
Aku yang menyetir sepanjang jalan. Ibuku terlalu lemah untuk ter- jaga terlalu lama, apalagi menyetir, tapi aku tidak keberatan. Butuh waktu dua hari, dan satu jam setelah kami menyeberangi jembatan ke bagian atas semenanjung Michigan, ibu terlihat lelah dan kaku karena terlalu lama berada di dalam mobil, dan jika aku tidak pernah melihat bentangan jalan terbuka lagi, itu akan bagus sekali.
“Kate, belok di sini.”
Aku memberi ibuku tatapan lucu, tapi tetap menyalakan lampu sen. “Kita belum akan keluar dari jalan tol sampai lima kilometer lagi.”
“Ibu tahu. Ibu ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Menarik napas dalam hati, aku melakukan yang dipinta ibu.
6
Hidupnya tidak lama lagi, dan peluang ibu untuk melihatnya di ke- mudian hari cukup kecil.
Di mana-mana ada pohon cemara yang tinggi menjulang. Aku ti- dak melihat ada rambu, tidak ada penanda jalan, tidak ada apa-apa ke- cuali pepohonan dan jalan tanah. Setelah delapan kilometer, aku mu- lai khawatir. “Ibu yakin jalannya benar?”
“Tentu saja.” Dia menekankan keningnya ke jendela, dan suara- nya begitu pelan dan serak, aku nyaris tidak memahami perkataannya.
“Hanya tinggal sekitar satu setengah kilometer lagi.”
“Apa?”
“Kau akan lihat sendiri.”
Setelah satu setengah kilometer, mulai terlihat pagar tanaman. Pa- gar tanaman itu membentang di pinggir jalan, begitu tinggi dan lebat sampai-sampai mustahil bisa melihat apa yang ada di sisi sebelahnya, dan masih tiga kilometer lagi sebelum pagar itu membelok di ke ka- nan, membentuk semacam garis pembatas. Selama perjalanan mele- wati pagar itu, Ibu memandang ke luar jendela, terpesona.
“Ini tempatnya?” Aku tidak bermaksud terdengar getir, tapi seper- tinya Ibu tidak menyadarinya.
“Tentu saja bukan—belok kiri di sini, Sayang.”
Aku melakukan apa yang disuruh, mengarahkan mobil ke tikung- an. “Ini bagus, sih,” kataku hati-hati, tidak ingin membuatnya kece- wa, “tapi ini hanya pagar tanaman. Bukankah seharusnya kita cari ru- mahnya dan—”
“Di sini!” Semangat di suaranya yang lemah mengejutkanku. “Te- pat di situ!”
Menjulurkan leherku, aku melihat apa yang dia bicarakan. Terletak di tengah-tengah pagar tanaman itu adalah sebuah gerbang besi tem- pa hitam, dan semakin dekat kami ke situ, gerbang itu tampak seperti membesar. Itu bukan perasaanku saja—gerbang itu memang besar seka- li. Dia tidak berada di sana untuk terlihat indah. Gerbang itu ada di sana untuk menakuti siapa saja yang berpikir untuk membukanya.