viii ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran Psychological Well-Being (PWB) pada Lesbian Usia Dewasa Awal (18-25 tahun) di Komunitas “X” Kota Jakarta. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
deskriptif. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 41 responden. Pemilihan
sampel menggunakan snowball sampling.
Alat ukur yang digunakan merupakan hasil adaptasi dari The Ryff Scales
of Psychological Well-Being yang diterjemahkan oleh Neysa Valeria, S.Psi yang
terdiri dari 84 item. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Rank
Spearman diperoleh 80 item valid dengan rentang validitas 0,314-0,826.
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas dengan rumus Alpha Cronbach,
diperoleh hasil 0,937.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” kota Jakarta memiliki psychological well-being yang berbeda-beda dan tersebar hampir merata. Diperoleh sebanyak 51.22% responden
memiliki psychological well-being yang tinggi, dan 48.78% memiliki
psychological well-being yang rendah.
Peneliti mengajukan saran untuk melakukan penelitian secara kualitatif
agar data yang diperoleh lebih mendalam sehingga dapat menjelaskan dinamika
dari keenam dimensi psychological well-being. Selain itu perlu juga melakukan
penelitian mengenai kontribusi antara trait openes to experience dengan derajat
PWB secara keseluruhan. Disarankan kepada lesbian untuk melakukan kegiatan
ix ABSTRACT
This research was conducted to know the image of the Psychological
Well-Being (PWB) of early adult (18-25 years old) lesbian in the “X” community of Jakarta. The used design in this research was descriptive method. Sample of
respondents in this study totaled 41. Snowball sampling is applied as sample
choosing.
The measurement instrument is the adaptation from the Ryff Scales of
Psychological Well-Being translated by Neysa Valeria, S.Psi and consists of 84
items. Based on validity by using formula of Rank Spearman and it resulted 80
valid items with validity is ranging from 0,314-0,826 and reliability 0,937 by
using Alpha Cronbach formula.
Based on the result of the research, it found that early adult age of lesbian in the “X” community of Jakarta having different psychological well-being and almost evenly spread, which is 51.22% indicating a high psychological
well-being, while 48.78% of them showed a low psychological well-being.
Researcher put forward suggestion to conduct qualitative research in
order to more in-depth, so can explain the dynamics of the six dimensions of
psychological well-being. In addition, also need to have a research to find out the
contribution of trait openes to experience towards the overall psychological
well-being. The lesbians was suggested to do some activities that could increase the
x DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN ... iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah ... 1
1.2 Identifikasi masalah ... 9
1.3 Maksud dan tujuan penelitian ... 9
1.3.1 Maksud penelitian ... 9
1.3.2 Tujuan penelitian... 10
1.4 Kegunaan Penelitian ... 10
1.4.1 Kegunaan teoretis ... 10
1.4.2 Kegunaan praktis... 10
1.5 Kerangka pemikiran ... 11
1.6 Asumsi penelitian ... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ... 23
2.1.1 Definisi psychological well-being ... 23
2.1.2 Dimensi-dimensi psychological well-being ... 24
2.1.3Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being ... 29
xi
2.2.1 Pengertian Lesbian ... 34
2.3PERKEMBANGAN DEWASA AWAL ... 35
2.3.1 Pengertian Dewasa Awal ... 35
2.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 35
2.3.3 Ciri-ciri individu yang beranjak Dewasa ... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan dan prosedur penelitian ... 39
3.2Bagan prosedur penelitian ... 39
3.3Variabel penelitian dan definisi operasional ... 40
3.3.1 Variabel penelitian ... 40
3.3.2 Definisi operasional ... 40
3.4Alat ukur ... 41
3.4.1 Alat Ukur Psychological well-being ... 41
3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 44
3.5Validitas dan reliabilitas alat ukur ... 45
3.5.1Validitas ... 45
3.5.2 Reliabilitas... 46
3.6Populasi dan teknik penarikan sampel ... 47
3.6.1Populasi sasaran ... 47
3.6.2Karakteristik sampel... 47
3.6.3Teknik penarikan sampel ... 48
3.7 Teknik analisis data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1Gambaran Subjek Penelitian ... 49
4.1.1 Gambaran Berdasarkan Usia ... 49
4.1.2 Gambaran Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 50
4.1.3Gambaran Berdasarkan Status Sosial... 50
4.2Hasil Penelitian ... 51
4.2.1Gambaran Psychological Well-Being Subjek dan Dimensinya ... 51
xii
derajat PWB Subjek ... 52
4.3Pembahasan ... 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 69
5.2 Saran ... 70
5.2.1Saran teoretis ... 70
5.2.2Saran praktis ... 70
DAFTAR PUSTAKA ... 72
DAFTAR RUJUKAN ... 73
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur ... 42
Tabel 3.2 Penilaian Kuesioner ... 43
Tabel 3.3 Kategori Skor ... 44
Tabel 3.4 Kisi-kisi data penunjang ... 44
Tabel 3.5 Kriteria Validitas………..45
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Terakhir . 50 Tabel 4.3 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Sosial ... 50
Tabel 4.4 Gambaran PWB Subjek Penelitian ... 51
Tabel 4.5 Gambaran Psychological Well-Being Berdasarkan Dimensinya ... 51
Tabel 4.6 Tabulasi Silang Self-Acceptance terhadap Derajat PWB ... 52
Tabel 4.7 Tabulasi Silang Positive Relations With Others terhadap Derajat PWB ... 53
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Autonomy terhadap Derajat PWB ... 53
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Environmental Mastery terhadap Derajat PWB 54 Tabel4.10 Tabulasi Silang Purpose in Life terhadap Derajat PWB ... 54
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Skema Kerangka Pikir ... 21
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Alat Ukur (Data Utama dan Data Penunjang)
Lampiran 1.1. Pengantar ... xvii
Lampiran 1.2. Data Penunjang 1 ... xviii
Lampiran 1.3. Data Penunjang 2 ... xx
Lampiran 1.4. Alat Ukur Data Utama ... xxi
LAMPIRAN 2 Kisi-Kisi Alat Ukur ... xxviii
LAMPIRAN 3 Validitas dan Reliabilitas Lampiran 3.1. Validitas ... xxix
Lampiran 3.2. Reliabilitas ... xxxii
LAMPIRAN 4 Data Mentah dan Data Hasil Penelitian Lampiran 4.1 Data Mentah ... xxxiii
Lampiran 4.2 Data Hasil Penelitian ... xl
LAMPIRAN 5 Gambaran Dukungan Sosial ... xlii
LAMPIRAN 6 Gambaran Faktor Kepribadian ... xliii
LAMPIRAN 7 Crosstabulation Pendidikan Terakhir ... xliv
LAMPIRAN 8 Crosstabulation Status Sosial ... xlv
LAMPIRAN 9 Crosstabulation Dukungan Sosial
Lampiran 9.1. Dukungan Sosial*PWB ... xlvi
Lampiran 9.2. Dukungan Sosial*Dimensi-Dimensi PWB ... xlvi
LAMPIRAN 10
xvii
Lampiran 10.2. Faktor Kepribadian*Dimensi-Dimensi PWB ... xlviii
Lampiran 10.2.1. Extraversion ... xlviii
Lampiran 10.2.2. Neuroticism ... xlviii
Lampiran 10.2.3. Openes to Experience ... xlix
Lampiran 10.2.4. Conscienciousness ... xlix
Lampiran 10.2.5. Agreeableness ... l
1 BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan
individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku
seksual yang menyimpang itu sendiri salah satunya adalah homoseksual.
Homoseksual adalah hasrat atau aktivitas seksual yang ditunjukkan terhadap
orang yang memiliki jenis kelamin yang sama (Neale, Davison, & Haaga, 1996).
Dalam dunia psikologi, hingga tahun 1973 homoseksualitas tercantum
dalam DSM sebagai salah satu bentuk penyimpangan seksual yang hanya ada
sampai di DSM-III. Namun, dalam edisi DSM selanjutnya, secara bertahap
homoseksualitas dihapuskan dari daftar gangguan jiwa oleh American Psychiatric
Association (APA). Alasan dikemukakannya keputusan tersebut sebagian karena
tekanan dari berbagai kelompok kaum homoseksual dan banyaknya debat, serta
kontroversi dari kelompok professional psikiatri mengenai pola emosi, perilaku
dan penyebab dari homoseksual (Davison, G.C, Neale, J.M, Kring, A.M, 2006).
Keputusan tersebut juga dilanjutkan oleh WHO yang kemudian di Indonesia
Departemen Kesehatan Indonesia telah mencoret homoseksualitas dari gangguan
2
Di Indonesia, keberadaan homoseksual sudah ada sejak lama, terutama di
kota-kota besar yang salah satunya adalah kota Jakarta. Berdasarkan hasil survey
tahun 2003 dari Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 4000 hingga 5000 penyuka sesama jenis di kota Jakarta.
Homoseksual atau penyuka sesama jenis yang pada umumnya dikenal oleh
sebagian besar masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu homoseksual antar sesama
laki-laki yang biasa disebut gay dan homoseksual antar sesama perempuan disebut
dengan lesbian. Lesbian adalah perempuan yang mengarahkan orientasi
seksualnya kepada sesama perempuan atau perempuan yang mencintai sesama
jenis baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Matlin, 2004).
Para lesbian biasanya lebih tertutup dibandingkan dengan kaum gay yang lebih
teramati dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari (Bonan, 2003 & Pace, 2002).
Meski lesbian lebih tertutup, tetapi mereka tetap dapat menjalin hubungan
komunikasi antar sesama lesbian, mulai dari media sosial bahkan hingga terdapat
tempat tertentu dimana banyaknya kaum lesbian berkumpul atau sebagai tempat
bertemu para sesama lesbian, seperti di salah satu komunitas “X” di kota Jakarta.
Komunitas “X” sendiri bukan merupakan komunitas yang berdiri secara
resmi. Komunitas ini merupakan suatu perkumpulan para kaum lesbian yang
sudah memiliki satu tempat tertentu dimana mereka biasa saling berkumpul atau
bertemu. Meski terdapat tempat dimana mereka saling berkumpul, sulit
membedakan kaum lesbian secara kasat mata, karena sudah merupakan hal yang
umum untuk sesama wanita berpegangan tangan maupun berpelukan di tempat
3
dengan gay yang apabila bermesraan di tempat umum masyarakat langsung dapat
berasumsi bahwa mereka adalah homoseksual (Eko Prasetya, 2013).
Para lesbian di komunitas “X” sendiri tidak wajib hadir dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan anggota komunitas seperti pergi
berlibur bersama ataupun hanya sekedar bertemu dan berbagi cerita dari
masing-masing anggota mengenai kehidupan yang mereka alami. Mereka dapat datang
sesuai dengan kemauan mereka sendiri, sehingga tidak ada keterikatan yang erat
terhadap masing-masing anggotanya. Lesbian tersebut juga melakukan aktivitas
masing-masing pada kehidupan sehari-harinya. Kehidupan mereka sama saja
dengan individu heteroseksual. Sebagai sesama manusia, mereka tetap melakukan
aktivitasnya seperti menempuh pendidikan, mencari nafkah, bersosialisasi dengan
masyarakat lainnya karena mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan individu heteroseksual, hanya saja orientasi seksualnya yang berbeda.
Komunitas “X” ini semata-mata hanya untuk berkumpulnya para lesbian.
Mereka tidak memiliki maksud lain di balik komunitas mereka. Mereka juga tidak
memiliki maksud untuk memperjuangkan hak-hak lesbian yang banyak dilakukan
oleh komunitas lain atau yayasan maupun lembaga yang terkait dengan
homoseksual. Selama ini kehadiran kaum lesbian sendiri belum sepenuhnya dapat
diterima oleh masyarakat, sehingga seringkali sindiran, cacian hingga perlakuan
kurang mengenakkan menjadi bagian yang harus diterima oleh kaum lesbian dari
masyarakat. Tak hanya dari orang lain, namun juga dari saudara serta orang tua
sendiri. Keluarga malah menekan mereka bahwa menjadi wanita lesbian adalah
4
Wanita lesbian juga dituntut untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan
yang sama sesuai dengan usianya, termasuk pada usia dewasa awal yang berada
dalam rentang usia 18-25 tahun Arnett, 2006, 2007, dalam Santrock, 2012). Pada
usia dewasa awal ini merupakan masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya, sehingga individu mempunyai
hak untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan apa yang dia kehendaki, yaitu
memilih apakah dirinya menjadi heteroseksual atau homoseksual (lesbian).
Dalam menentukan pilihan tersebut tidaklah mudah, karena untuk memilih
menjadi wanita lesbian terdapat resiko yang akan dihadapi. Namun, setiap
individu akan memiliki penghayatan yang berbeda-beda terhadap apa yang di
alaminya. Ada wanita yang menilai dirinya menjadi lesbian bukan merupakan hal
yang membebani dirinya. Mereka tetap menilai dirinya secara positif dengan
menerima kekurangan yang dimilikinya dan menikmati aktivitas sehari-harinya
sama seperti individu pada umumnya. Mereka juga tetap memanfaatkan
kesempatan yang ada di lingkungan dengan sebaik mungkin untuk dapat
menunjang masa depannya, dapat mandiri dan mengembangkan potensi yang
dimiliki tanpa banyak memikirkan mengenai dirinya sebagai seorang lesbian,
serta tetap terbuka dengan lingkungan masyarakat dengan menjalin hubungan
positif dengan orang lain tidak hanya dalam lingkungan lesbian saja.
Sedangkan, lesbian yang menilai dirinya secara negatif, mereka merasa
resah, denial atau mengingkari diri sebagai lesbian, kecewa, marah, serta putus
asa dengan masa depannya jika mereka tetap menjadi seorang lesbian. Berbagai
5
mengambil keputusan untuk bunuh diri. Mereka juga memberi batasan ke
lingkungannya dan lebih memilih untuk menutup diri sehingga tidak mampu
untuk berelasi dengan baik, tidak percaya diri sehingga kurang dapat
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan.
Penilaian tersebut dipengaruhi oleh psychological well-being individu itu
sendiri. Menurut Ryff, (1989, 1995, dalam Vázquez, dkk., 2009; Ryff& Keyes,
1995; Ryan & Deci, 2001) psychological well-being didefinisikan sebagai
keadaan perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi
mengenai dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama
hidupnya, dan juga kualitas mengenai hidupnya secara keseluruhan. Untuk bisa
mencapai kesejahteraan psikologis tersebut, individu mengevaluasi enam dimensi
dari psychological well-being , yaitu kemampuan individu dalam menerima diri
apa adanya (self-acceptance), kemampuan individu membina hubungan positif
dengan orang lain (positive relations with others), kemampuan individu mampu
mengarahkan dirinya sendiri (autonomy), kemampuan individu dalam mengatur
dan menguasai lingkungan (environmental mastery), kemampuan individu dalam
merumuskan tujuan hidup (purpose in life), dan kemampuan individu dalam
menumbuhkan serta mengembangkan potensi pribadi (personal growth) (Ryff,
1989).
Selain keenam dimensi diatas, psychological well-being seseorang juga
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor sosio-ekonomi (status sosial),
faktor pendidikan, faktor dukungan sosial dan faktor kepribadian (big five
6
Berdasarkan pemaparan diatas, telah dilakukan wawancara terhadap 10
wanita lesbian di komunitas “X” sebagai survey awal. 7 orang diantaranya merasa
menerima dirinya sebagai seorang lesbian. Meski awalnya mereka merasa tidak
percaya dengan dirinya yang menjadi seorang lesbian, namun seiring berjalannya
waktu mereka dapat menerima diri dan menganggap bahwa hal tersebut memang
jalan yang harus mereka terima. Mereka juga mengetahui bahwa dengan dirinya
sebagai lesbian merupakan hal yang di anggap menyimpang dan sulit untuk
diterima di lingkungan masyarakat heteroseksual. Sedangkan, 3 orang lainnya
merasa masih sering memikirkan dan mempertanyakan mengapa diri mereka
menjadi lesbian. Bahkan sering terlintas di pikiran mereka untuk mencari cara
bagaimana kembali menjadi normal dan keluar dari lingkungan komunitas lesbian
tersebut. Mereka masih berharap untuk kembali menjadi normal dan dapat
memiliki pasangan lawan jenis.
Ke-10 lesbian yang diwawancarai merasa dapat memiliki hubungan positif
dengan orang lain. Mereka menghayati dirinya masih dapat berhubungan dengan
baik seperti dalam lingkungan komunitas maupun di lingkungan masyarakat
secara umum. Meski 10 responden merupakan kaum lesbian, mereka masih
memiliki teman heteroseksual. Kebanyakan dari mereka pun memiliki teman
dekat yang justru bukan merupakan seorang lesbian. Tidak hanya dengan teman di
luar komunitas saja, beberapa dari mereka pun masih memiliki hubungan yang
hangat dengan orang tua maupun saudara-saudara mereka. Sehingga mereka tetap
7
Mengenai kemandirian, 7 wanita lesbian menilai dirinya masih dapat
menghadapi tekanan sosial dan mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang lain
mengenai dirinya sebagai lesbian. Mereka juga tidak menggantungkan diri dengan
orang lain, sehingga setiap keputusan yang mereka ambil lebih berdasarkan apa
yang mereka pikirkan secara sendiri sesuai dengan standar pribadi masing-masing
lesbian. Namun, keputusan yang mereka ambil masih sesuai dengan norma yang
ada di lingkungan. Sedangkan, 3 orang lainnya menilai dirinya masih memiliki
banyak ketergantungan dengan orang lain, seperti dalam pengambilan keputusan
tertentu banyak membutuhkan pendapat dari teman-teman sekitar. Lesbian
tersebut juga merasa bahwa orang lain akan membicarakan secara negatif
mengenai dirinya sebagai seorang lesbian.
Dalam penguasaan lingkungan, 7 diantaranya masih melakukan kegiatan
sehari-hari yang dirasa tidak memiliki banyak perubahan dari sebelum menjadi
lesbian. Mereka masih mengikuti perkuliahan maupun bekerja yang menyatu
dengan lingkungan heteroseksual. Mereka tetap melakukan kegiatan sehari-hari
sesuai dengan kebutuhan mereka selayaknya kaum heteroseksual tanpa menarik
diri dari lingkungan. Sehingga, mereka merasa tidak ada perubahan yang
signifikan dalam kegiatan setelah menjadi lesbian karena masih memanfaatkan
peluang yang ada di lingkungan mereka. Perbedaannya hanya pada mereka
memiliki komunitas baru yang beranggotakan para lesbian. Sedangkan 3 orang
lainnya menganggap diri mereka kurang mampu dalam penguasaan lingkungan.
Mereka lebih memilih untuk agak menarik diri dari lingkungan masyarakat umum
8
mengabaikan peluang yang ada, seperti berhenti menjadi atlit taekwondo dan
memilih bekerja bersama dengan teman-teman sesama lesbian. Salah satu dari
mereka juga memilih untuk menganggur karena merasa akan kesulitan saat
mengatur situasi dirinya dalam lingkungan heteroseksual.
Dari 10 wanita lesbian yang di wawancarai, 4 orang diantaranya masih
memiliki perencanaan maupun tujuan tertentu dalam hidupnya yang ingin mereka
capai, seperti memiliki pekerjaan yang sesuai dengan cita-citanya. Menurut
mereka, meski sebagai lesbian bukanlah suatu penghalang untuk memiliki
perencanaan bahkan hingga mencapai tujuan yang mereka inginkan untuk masa
depan. Mereka menganggap hal tersebut lebih memiliki kaitan dengan usaha
dibandingkan statusnya sebagai wanita lesbian. Sedangkan 6 orang lainnya lebih
menikmati kehidupan saat ini dan belum terlalu memikirkan untuk masa depan
yang mereka anggap hal tersebut merupakan suatu beban. Masing-masing dari
mereka memang masih memiliki perencanaan maupun tujuan, namun hal tersebut
tidak menjadi prioritas utama bagi mereka untuk dicapai, seperti ingin
melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.
Dalam pengembangan diri, 5 dari 10 wanita lesbian menilai dirinya masih
dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan bidang masing-masing, baik dalam
pendidikan maupun pekerjaan. Mereka tidak membatasi diri dalam mencoba
hal-hal baru yang dirasanya menarik, maupun yang mereka sukai meskipun dirinya
adalah seorang lesbian. Seperti masih mengikuti latihan-latihan untuk kejuaraan
taekwondo, mengikuti kursus desain dan tetap mengikuti perkuliahan sesuai
9
dari lingkungan dan tidak mengembangkan bakat yang dimilikinya, seperti
beberapa diantara mereka merupakan atlet dan memilih untuk tidak melanjutkan
kegiatannya tersebut dan hidup sebagai pengangguran.
Setelah pemaparan fakta-fakta berdasarkan survey awal di atas,
menunjukkan kecenderungan yang berbeda-beda untuk setiap dimensi dari
psychological well-being pada wanita lesbian di komunitas “X”. Mereka memiliki
penghayatan yang berbeda terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran psychological well-being
pada wanita lesbian dewasa awal usia 18-25 tahun di komunitas “X” di kota
Jakarta dengan melihatnya berdasarkan keenam dimensi dan faktor-faktor yang
mempengaruhi psychological well-being wanita lesbian.
I.2. Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin mengetahui bagaimana derajat psychological
well-being pada lesbian usia dewasa awal usia 18-25 tahun di komunitas “X” di
kota Jakarta.
I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian I.3.1. Maksud Penelitian
Memperoleh gambaran mengenai derajat psychological well-being pada
10
I.3.2. Tujuan Penelitian
Memperoleh gambaran mengenai derajat Psychological Well-Being dan
derajat-derajat dimensi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kaum lesbian
usia dewasa awal (18-25 tahun) di komunitas “X” Kota Jakarta.
I.4. Kegunaan Penelitian I.4.1. Kegunaan Teoritis
Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan ilmu Psikologi,
khususnya Psikologi Positif mengenai Psychological Well-Being.
Memberikan sumbangan informasi bagi pengembangan teori Psikologi
Klinis, Sosial dan Perkembangan yang berkaitan dengan lesbian usia
dewasa awal.
Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
psychological well-being dan lesbian pada berbagai komunitas di Kota
Jakarta.
I.4.2.Kegunaan Praktis
Memberikan informasi mengenai psychological well-being kepada lesbian usia
dewasa awal di komunitas “X” Kota Jakarta agar mereka dapat mengetahui
gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologisnya dan dapat
menjadi bahan evaluasi bagi mereka dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
11
Memberikan informasi mengenai psychological well-being pada lembaga
swadaya masyarakat atau komunitas yang berfokus pada lesbian sebagai
panduan pelaksanaan kegiatan terkait dengan dimensi-dimensi yang rendah
agar dapat ditingkatkan.
Memberikan informasi mengenai psychological well-being pada keluarga yang
memiliki anggota keluarga lesbian yang membutuhkan agar dapat mengetahui
gambaran secara umum mengenai kesejahteraan psikologis seorang lesbian.
1.5. Kerangka Pikir
Lesbian adalah perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada
sesama perempuan atau perempuan yang mencintai sesama jenis baik secara fisik,
seksual, emosional atau spiritual (Matlin, 2004). Lesbian yang berada pada masa
dewasa awal, memiliki tuntutan perkembangan yang sama dengan kaum
heteroseksual. Beberapa ahli mengatakan bahwa pada usia dewasa awal
merupakan salah satu tahapan yang penting dalam hidup. Masa dewasa awal
ditandai oleh eksperimen dan eksplorasi yang terjadi di usia 18 sampai 25 tahun
(Arnet 2006, 2007). Dalam Santrock (2012), pada perkembangan dewasa awal
banyak individu masih mengeksplorasi jalur karier yang ingin mereka ambil,
ingin menjadi individu seperti apa, dan gaya hidup seperti apa yang mereka
inginkan; hidup melajang, hidup bersama, atau menikah. Perkembangan terjadi
pada seluruh individu yang berada di usia dewasa awal, begitu pula pada lesbian.
Lesbian di usia dewasa awal juga diharapkan dapat memerankan tugas sesuai
12
pun perlu menemukan keseimbangan antara cinta romantis, afeksi, otonomi dan
kesetaraan yang dapat diterima oleh keduanya (Kudrek, 2006).
Namun, terdapat permasalahan yang harus di hadapi oleh lesbian dewasa
awal karena orientasi yang berbeda dengan heteroseksual. Konteks sosial dan
hukum yang terkait dengan pernikahan, menciptakan halangan untuk memutuskan
hubungan atau menceraikan pasangan yang berjenis kelamin sama (Biblarz &
Savci, 2010; Green & Mitchell, 2009). Halangan tersebut menjadi salah satu
perbedaan bagi kaum lesbian dengan kaum heteroseksual di usia dewasa awal.
Pada teori Erikson, masa dewasa awal seringkali melibatkan upaya
menyeimbangkan keintiman dan komitmen di satu sisi, serta kemandirian dan
kebebasan di sisi lain Faktanya (dalam Santrock, 2012) pasangan lesbian tidak
menjalin relasi terbuka seperti kaum heteroseksual.Pada akhirnya, lesbian dewasa
awal yang merupakan minoritas dari masyarakat, menyeimbangkan tuntutan dari
dua budaya – budaya minoritas lesbian dan budaya mayoritas heteroseksual yang
dapat membantu mereka untuk beradaptasi secara efektif dengan lingkungan
(Laura Brown, 1989).
Hambatan – hambatan yang di alami oleh kaum lesbian dewasa awal
selama menjalani tuntutan perkembangannya berpengaruh pada kesejahteraan
psikologisnya atau yang biasa disebut sebagai psychological well-being.
Psychological well-being pada lesbian dapat diartikan sebagai keadaan
perkembangan potensi nyata seseorang yang merupakan hasil evaluasi mengenai
dirinya sendiri, pengalaman positif dan negatif yang dihayati selama hidupnya,
13
dirinya, lesbian dapat melihatnya melalui enam dimensi psychological well-being
dari Carol D. Ryff (1995) yaitu, penerimaan diri (self acceptance), hubungan
positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian
(autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup
(purpose in life), dan mengembangkan potensi pribadi (personal growth).
Pada dimensi penerimaan diri (self acceptance) merujuk pada kemampuan
seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” untuk menghargai dan
menerima dirinya secara ikhlas baik yang positif maupun negatif meskipun
lesbian berbeda dari individu pada umumnya baik dari pengalaman masa lalu
maupun keadaan mereka sebagai lesbian saat ini. Lesbian dewasa awal pada
komunitas “X” kota Jakarta yang memiliki penerimaan diri yang tinggi dapat
menerima dirinya sebagai seorang lesbian, memiliki pandangan positif tentang
apa yang mereka alami di masa lalu dari baik dan buruk, maupun pengaruh
keadaan mereka sebagai lesbian saat ini dan tetap mampu menghargai kelebihan
serta kekurangan yang dimilikinya. Sedangkan menurut Poedjati (2003) banyak
lesbian yang masih ragu dengan pilihan hidupnya, merasa menyesal, tidak puas
serta menganggap dirinya berbeda dengan orang lain dapat dikatakan sebagai
lesbian dengan penerimaan diri rendah.
Dimensi yang kedua yaitu hubungan positif dengan orang lain (positive
relations with others). Dimensi ini merujuk pada bagaimana seorang lesbian usia
dewasa awal di komunitas “X” membina hubungan hangat, memuaskan dan
saling percaya dengan orang lain. Lesbian usia dewasa awal komunitas “X” yang
14
hubungan yang hangat dan kepercayaan dalam berelasi dengan orang lain baik
dalam lingkungan keluarga, sesama kaum lesbian di dalam komunitas “X”
maupun di kelompok sosial lainnya tanpa membedakan gender. Lesbian tersebut
tidak merasa keberatan untuk bergaul dengan siapa pun sehingga tidak menarik
diri dari lingkungan di luar komunitas “X” itu sendiri. Sedangkan para lesbian
yang memiliki hubungan positif yang rendah berdasarkan penelitian Theresia,
2011 lesbian pun merasa tidak percaya diri dan merasa terkucilkan karena
orientasi seksual mereka yang berbeda dari orang normal kebanyakan,
orang-orang disekitar mereka juga banyak yang menjauhi dan mengucilkannya sehingga
mereka kesulitan dalam berelasi sehingga menarik diri dari lingkungannya atau
hanya berelasi dengan kaum lesbian saja yaitu dalam komunitas “X” itu sendiri.
Dimensi selanjutnya adalah kemandirian (autonomy). Dimensi ini
dideskripsikan dengan bagaimana seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas
“X” menampilkan sikap kemandirian, memiliki standar internal dan menolak
tekanan sosial yang tidak sesuai serta regulasi emosi dalam dirinya. Lesbian yang
memiliki kemandirian tinggi menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri
dalam menentukan segala sesuatu seorang diri, misalnya dalam membuat
keputusan secara sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti dalam hal
kemandirian yang terkait dengan ekonomi dalam arti bekerja, karena bekerja juga
merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui pada usia dewasa
awal (18-25 tahun). Selain itu juga lesbian tersebut memiliki prinsip yang kuat
dalam arti tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, mampu mengatasi tekanan
15
masih dalam batas norma-norma yang berlaku di masyarakat. Berbeda dengan
lesbian yang memiliki kemandirian rendah, mereka sangat memusatkan
ekspektasi dan evaluasi dari orang lain karena adanya rasa cemas terhadap apa
yang orang lain pikirkan terhadap lesbian tersebut. Lesbian tersebut juga
bergantung kepada orang terdekat dalam menentukan pengambilan keputusan
serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial dalam berpikir maupun
bertindak untuk dirinya sendiri. Misalnya dalam komunitas “X”, mereka kesulitan
dalam merealisasikan rencana pribadi untuk memenuhi kebutuhan yang membuat
mereka kurang mandiri, sehingga akhirnya mereka pun membutuhkan orang lain
dalam keputusan-keputusan yang dibuat agar sesuai dengan apa yang orang lain
inginkan, bukan diri lesbian itu sendiri.
Dimensi yang keempat adalah penguasaan lingkungan (envitonmental
mastery). Dimensi ini digambarkan pada kemampuan seorang lesbian usia dewasa
awal di komunitas “X” dalam memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai,
serta mengatasi rintangan dan tekanan sosial yang memandang sebelah mata
keberadaan seorang lesbian. Seorang lesbian di komunitas “X” kota Jakarta yang
memiliki penguasaan lingkungan dengan derajat tinggi mampu mengikuti
berbagai aktivitas, efektif menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada dalam
lingkungannya, seperti tetap menempuh pendidikan atau bahkan bekerja dalam
suatu bidang tertentu dengan kaum heteroseksual tanpa merasakan maupun
berpikir adanya keterbatasan karena dirinya sebagai seorang lesbian, serta mampu
melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan keinginan atau kebutuhan
16
hanya berada dalam ruang lingkup komunitas “X” saja. Sedangkan lesbian usia
dewasa awal di komunitas “X” dengan derajat penguasaan lingkungan yang
rendah merasakan adanya keterbatasan karena dirinya adalah seorang lesbian yang
mereka anggap bahwa sebagai lesbian berbeda dengan kaum heteroseksual,
sehingga lesbian tersebut sulit dalam memilih kegiatan sehari-hari baik dengan
komunitas “X” maupun dengan lingkungan di luar komunitas, serta tidak dapat
memilih atau pun menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dirinya,
terutama sebagai lesbian usia dewasa awal dimana mereka memiliki tugas
perkembangan untuk bekerja.
Dimensi berikutnya adalah tujuan hidup (purpose in life). Dimensi ini
menekankan bahwa setiap lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” juga
memiliki tujuan tertentu dalam hidup yang ia jalani, serta mampu memberikan
makna pada hidup yang dijalani. Seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas
“X” dengan derajat tujuan hidup yang tinggi digambarkan sebagai lesbian yang
tetap memiliki target dan cita-cita seperti dalam bidang pekerjaan yaitu meraih
atau pencapaian kesuksesan bahkan memiliki tujuan untuk menikah meskipun
dirinya adalah sebagai seorang lesbian, serta tetap dapat mengevaluasi
kemampuan diri dalam pencapaian tujuan hidupnya tanpa harus merasakan
berbeda karena mereka adalah seorang lesbian. Sedangkan lesbian dengan derajat
tujuan hidup rendah merasa kurang memiliki tujuan hidup, mereka menganggap
dengan sebagai lesbian hidupnya tidak berarti lagi sehingga membuat dirinya
17
menjalankan kehidupannya saat ini tanpa harus memikirkan arah dan tujuan
dalam hidup mereka sebagai lesbian usia dewasa awal.
Dimensi terakhir adalah potensi pribadi (personal growth). Pada dimensi
ini dijelaskan sejauh mana seorang lesbian usia dewasa awal di komunitas “X”
terus mengembangkan potensi yang dimilikinya dan memiliki keterbukaan
terhadap pengalaman-pengalaman baru. Lesbian dengan potensi pribadi tinggi
digambarkan sebagai lesbian yang terus mengembangkan dirinya berdasarkan
kemampuan yang dimilikinya tanpa membatasi diri dengan dasar bahwa dirinya
adalah lesbian, serta terbuka terhadap pengalaman baru. Mereka dapat
mengaktualisasikan potensinya dengan pengembangan karir maupun skill yang
dimiliki oleh masing-masing lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang
dapat membuat mereka bertambah pengetahuan sehingga memiliki pemikiran
yang semakin luas. Lesbian dengan potensi pribadi rendah merasa dirinya
mengalami stagnasi dan tidak melihat peningkatan dan pengembangan maupun
potensi akan dirinya karena merasakan adanya keterbatasan dengan statusnya
sebagai seorang lesbian sehingga lesbian tersebut merasa bahwa dirinya tidak
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki selayaknya kaum heteroseksual.
Mereka mengetahui potensi yang dimiliki namun karena merasakan adanya
keterbatasan akibat perbedaan orientasi, mereka tidak mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
Keenam dimensi diatas, dalam dinamika psychological well-being
18
dimensi lainnya yang membentuk psychological well-being secara keseluruhan.
Lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” dengan derajat penerimaan diri tinggi
memiliki kecenderungan untuk memiliki derajat tinggi pada dimensi lainnya.
Lesbian tersebut dapat melakukan kegiatan sehari-hari dimulai dari menjalin
hubungan positif dengan orang lain sampai dengan melakukan kegiatan secara
mandiri sesuai dengan kebutuhannya sehingga dapat mengembangkan potensi
yang dimiliki dan terarah pada pencapaian tujuan hidup sesuai dengan
kemampuan individu itu sendiri. Berbeda dengan lesbian usia dewasa awal di
komunitas “X” yang memiliki derajat penerimaan diri rendah, dengan tidak
menerima dirinya mereka akan menarik diri dari lingkungan karena merasa
berbeda dari kaum mayoritas, mereka juga akan tertutup terhadap kesempatan
yang ada di lingkungan dan tidak mengembangkan potensi yang dimilikinya yang
berpengaruh pada keterarahan hidup individu itu sendiri. Selain dimensi,
psychologicalwell-being juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan
dengan pencapaian kesejahteraan psikologis seorang lesbian, yaitu faktor
sosio-ekonomi (status sosial), faktor pendidikan, faktor dukungan sosial dan faktor
kepribadian (big five personality).
Faktor sosial-ekonomi, yaitu status sosial akan mempengaruhi
psychological well-being seorang lesbian. Faktor ini terkait dengan dimensi
penerimaan diri (self acceptance), tujuan hidup (purpose in life), penguasaan
lingkungan (environmental mastery), dan pertumbuhan pribadi (personal growth)
(Ryff, et al, dalam Ryan dan Deci, 2001). Pada zaman emansipasi ini membuat
19
mencapai kesuksesan. Di masa dewasa awal, individu memperoleh pengetahuan
menjadi mengaplikasikan pengetahuan tersebut ketika individu mulai meraih karir
jangka panjang dan kesuksesan dalam pekerjaannya. Lesbian usia dewasa awal di
komunitas “X” yang sudah mendapatkan pekerjaan, menandakan bahwa dirinya
telah mengambil kesempatan yang diberikan oleh lingkungan (environmental
mastery). Dalam pelaksanaan tugas-tugas pekerjaan memungkinkan lesbian untuk
dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya melalui pengetahuan yang
di dapatnya karena keterbukaannya dengan hal-hal baru (personal growth)
meskipun individu tersebut seorang lesbian, sehingga diharapkan lesbian dapat
memiliki tujuan hidup yang lebih terarah dan menjadi pendorong bagi mereka
untuk mewujudkan tujuannya seperti dalam pencapaian kesuksesan di bidang
pekerjaan atau karir (purpose in life). Dengan pencapaian kesuksesan dalam karir
tersebut, diharapkan lesbian menjadi dapat menerima dirinya (self acceptance)
dengan lebih baik.
Faktor sosio-ekonomi memiliki keterikatan dengan faktor pendidikan.
Karena dengan pendidikan yang tinggi maka adanya kemungkinan untuk dapat
memiliki kesempatan yang lebih baik dalam bekerja, meskipun individu tersebut
adalah seorang lesbian. Menurut Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999 faktor
pendidikan terkait dengan dimensi tujuan hidup. Jika seorang lesbian usia dewasa
awal di komunitas “X” memiliki pendidikan yang tinggi, lesbian tersebut akan
mendapatkan berbagai macam pengetahuan dari pendidikan formal sehingga
memungkinkan mereka untuk memiliki tujuan hidup dengan derajat yang tinggi
20
Faktor lain yang mempengaruhi psychological well-being seseorang
adalah faktor dukungan sosial. Menurut Davis, dalam Pratiwi, 2000, individu
yang mendapatkan dukungan sosial, mereka akan memiliki tingkat psychological
well-being yang lebih tinggi, begitu pula pada lesbian. Lesbian yang dianggap
negatif dan menyimpang dari lingkungan membuat lesbian membutuhkan
dukungan sosial. Lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang mendapatkan
dukungan sosial akan merasa bahwa dirinya dipedulikan, dihargai dan dicintai
sehingga merasa dapat menjadi bagian dalam jaringan sosial (keluarga, teman
maupun kelompok tertentu). Dukungan sosial juga membantu meningkatkan
self-esteem mereka yang dapat membuat mereka mampu memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain, baik dalam ruang lingkup komunitas “X” maupun di luar
komunitas. Selain itu, faktor dukungan sosial juga dapat mempengaruhi derajat
penerimaan diri lesbian karena dengan adanya dukungan sosial dari lingkungan
terutama orang-orang terdekat dapat membantu mereka untuk lebih menerima
dirinya sebagai lesbian sehingga dapat membuat mereka lebih percaya diri dan
mereka dapat mengembangkan potensi diri selayaknya kaum heteroseksual, serta
lebih optimis dalam merencanakan dan meraih tujuan hidup dengan derajat yang
tinggi.
Faktor lain adalah faktor kepribadian (big five personality) yang memiliki
hubungan dengan dimensi-dimensi psychological well-being pada individu
(Schmute dan Ryff, 1997). Seorang lesbian yang memiliki trait neuroticism
cenderung mudah cemas maupun marah sehingga cenderung memiliki
21
tersebut juga berpengaruh pada proses pengambilan keputusan mereka yang
kurang mandiri (autonomy).
Sedangkan lesbian yang memiliki trait extraversion lebih memiliki
kecenderungan dapat menjalin hubungan positif dengan orang lain (positif
relation with others) dengan derajat tinggi karena keterbukaan mereka, baik
dengan orang terdekat maupun dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, lesbian
yang memiliki trait openness to experience dapat memiliki kecenderungan derajat
yang tinggi pada dimensi personal growth karena keterbukaannya terhadap
pengalaman baru.Sedangkan lesbian yang memiliki trait agreeablenesscenderung
ramah dan penyayang sehingga cenderung memiliki derajat tinggi pada dimensi
positive relations with others. Untuk lesbian yang memiliki trait conscientiousness
mereka cenderung memiliki derajat tinggi pada dimensi purpose in life karena
tergolong individu yang terorganisir serta memiliki perencanaan terhadap apa
yang akan mereka raih untuk pencapaian di masa yang akan datang.
Dari keenam dimensi dan faktor penunjang di atas akan menentukan
derajat psychological well-being seorang wanita lesbian apakah cenderung tinggi
atau pun cenderung rendah sesuai dengan hasil perhitungan skor terkait dengan
evaluasi dirinya yang digambarkan secara skematik dapat dengan kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Tinggi Psychological
Well-being Lesbian Dewasa Awal
(18-25 tahun) di Komunitas “X” di Kota
Jakarta
22
1.1 Kerangka Pemikiran
I.6. Asumsi Penelitian
Derajat psychological well-being ditentukan berdasarkan dimensi
self-acceptance, positive relations with others, autonomy, environmental mastery,
purpose in life dan personal growth.
Faktor sosio-ekonomi (status sosial), pendidikan, dukungan sosial, serta
faktor kepribadian dapat mempengaruhi masing-masing dimensi
psychological well-being pada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X”. Psychological well-being pada masing-masing lesbian di komunitas “X”
dapat berbeda-beda, mereka dapat menunjukkan psychological well-being
yang tinggi ataupun rendah. Faktor yang
mem-pengaruhi :
a. Sosio-ekonomi (status sosial) b. Pendidikan c. Dukungan sosial d. Faktor
Kepribadian
1. Self acceptance 2. Positive
relations with others
3. Autonomy 4. Environmental
mastery 5. Purpose in life 6. Personal
69 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil
penelitian.
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai psychological well-being
pada lesbian usia dewasa awal (18-25 tahun) di komunitas “X” Kota Jakarta,
diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Sebagian lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” Kota Jakarta
menunjukkan psychological well-being yang tinggi dan sebagian
menunjukkan psychological well-being yang rendah.
2. Pada lesbian usia dewasa awal di komunitas “X” yang memiliki
psychological well-being tinggi, sebagian besar memiliki derajat yang
tinggi pada dimensi-dimensi psychological well-being. Begitu pula pada
lesbian yang memiliki psychological well-being rendah, ditunjang dengan
derajat dimensi-dimensi yang rendah pula.
3. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi dimensi-dimensi psychological
70
Faktor yang paling berkaitan adalah trait openes to experience dan
extraversion dari faktor kepribadian. Trait openes to experience memiliki
keterkaitan dengan keenam dimensi psychological well-being dan pada
trait extraversion memiliki keterkaitan dengan dimensi self-acceptance,
positive relations with others, environmental mastery, purpose in life dan
personal growth.
5.2. Saran
5.2.1. Saran Teoritis
1. Melakukan penelitian kualitatif agar data yang diperoleh lebih
mendalam sehingga dapat lebih menjelaskan dinamika dari keenam
dimensi psychological well-being.
2. Perlu dipertimbangkan melakukan penelitian untuk mengetahui
kontribusi trait openes to experience yang mempengaruhi
psychological well-being terhadap derajat psychological well-being
secara keseluruhan.
5.2.2. Saran Praktis
1. Menginformasikan kepada lesbian dengan derajat psychological
well-being yang tinggi untuk tetap mempertahankannya.
2. Menginformasikan kepada lesbian untuk melakukan usaha dalam
meningkatkan dimensi-dimensi psychological well-being. Peningkatan
tersebut dapat dilakukan dengan konseling, mengikuti seminar-seminar
71
kemandirian, mengikuti berbagai kegiatan yang dihayati sesuai dengan
bakat yang dimiliki, dan mengikuti aktivitas-aktivitas maupun
organisasi yang tergabung dengan masyarakat lainnya agar dapat
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, serta membuat
berbagai perencanaan dalam hidup terkait dengan apa saja yang
hendak dicapai.
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh komunitas “X” sebagai
panduan penyelenggaraan kegiatan untuk meningkatkan
dimensi-dimensi dari psychological well-being.
4. Memberikan dukungan dan memberikan informasi kepada orang tua
maupun keluarga yang membutuhkan yang memiliki anggota keluarga
seorang lesbian agar mengetahui gambaran mengenai psychological
72
DAFTAR PUSTAKA
Davison, G. C., Neale, J. M. dan Kring, A. M. 2006. Psikologi abnormal (9th ed.). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hambleton, R. K., Peter, F. M., Charles, D. S. 2005. Adapting Educational And Psychological Test For Cross Culture Assesment. London : Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Keyes, C. L., & Ryff, C. D. 1995. The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69. 719-727.
Matlin. W Margaret. 2004. The Psychological of Women : Seventh Edition. USA : Wadsworth.
M. Natsir. 2003. Metode Penelitian Bandung : Universitas Padjadjaran Bandung
Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia
Ryan, R. M, & Deci, E.D. 2001. On Happiness and Human Potential: A Review of Research on Hedonic and Eudaimonic Well-being. Annual Reviews Psychology.
Ryff, C. D. 1989. “Happiness is Everything, or Is It?Explorations on The Meaning of Psychological Well-Being”. Journal of Personality and Social Psychology, Vol.57. No.6 1069-1081.
Ryff, C. D. 1995. Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science.
Ryff & Singer. 2006. Know Thyself and Become What You Are: A Eudamonic Approach Psychological Well-Being. “Journal of Happiness Studies”. Santrock, J. W. 2012. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi
Ketigabelas, jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Siegel, S. 1994. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
73
DAFTAR RUJUKAN
Eko Prasetya. (Desember, 2013). “Lika-liku kehidupan pasangan lesbian di Jakarta”. Data ini diuduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/lika-liku-kehidupan-pasangan-lesbian-di-jakarta.html
Pratiwi, M. 2000. Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Dewasa Muda yang Pernah Menjadi Anak Panti Asuhan (Studi Kasus SPWB pada 3 Orang Subyek). Depok : Fakultas Psikologi UI
74