i SKRIPSI
ANALISIS AGENDA SETTING DALAM PROSES FORMULASI PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN PENYANDANG DISABILITAS
DI KABUPATEN BULUKUMBA
Oleh:
YUYU RAHMAYUNI
NomorIndukMahasiswa : 105610533815
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTASILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITASMUHAMMADIYAH MAKASSAR
SKRIPSI
ANALISIS AGENDA SETTING DALAM PROSES FORMULASI PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN PENYANDANG DISABILITAS
DI KABUPATEN BULUKUMBA
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Studi dan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara (S.Sos)
Disusun dan Diajukan Oleh:
YUYU RAHMAYUNI Nomor Stambuk: 10561 05338 15
Kepada
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
v
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di baah ini: Nama Mahasiswa : Yuyu Rahmayuni Nomor Induk Siswa : 105610533815
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyatakan bahwa benar skripsi ini adalah karya saya sendiri dan bukan hasil plagiat dari sumber lain. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar akademik dan pemberian sanksi lainnya sesuai dengan aturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 25 Agustus 2019 Yang Menyatakan,
Yuyu Rahmayuni
ABSTRAK
Yuyu Rahmayuni. Jaelan Usman dan Samsir Rahim. Analisis Agenda Setting Dalam Proses Perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentan gPerlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas.
Kabupaten Bulukumba merupakan Kabupaten Ketiga yang telah memiliki Perda tentang penyandang disabilitas. Mengacu pada isu menjadikan kabupaten Bulukumba menjadi kabupaten/kota yang ramah disabilitas tersebut Pemerintah Kabupaten Bulukumba membuat Peraturan Daerah, yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis proses agenda setting dalam proses perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian dilakukan dilingkungan Kabupaten Bulukumba. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan dokumentasi pasca agenda setting Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa proses agenda setting terkait program Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba ini memiliki sumber isu yaitu untuk menjadikan Kabupaten Bulukumba menjadi kabupaten atau kota yang ramah disabilitas. Aktor yang terlibat, yakni official actors dan unofficial actors. Pemerintah Daerah Bulukumba sebagai actor utama dalam Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas ini memiliki kekuasaan legal. Sedangkan PPDI menjadi unofficial actor yang tidak memiliki kekuasaan tinggi namun memiliki kepentingan yang besar.
vii
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan rasa syukur yang tidak terhingga kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Agenda Setting Dalam Proses Formulasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan Dan
Pelayanan Penyandang Disabilitas”.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Jaelan Usman, M.Si selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Samsir Rahim, S.Sos., M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
2. Ibu Dr. Ihyani Malik, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar
3. Bapak Nasrul Haq, S.Sos., MPA selaku Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar 4. Ucapan terimakasih kepada responden yang berada di Kantor Bupati
Bulukumba.
5. Ucapan terimkasih kepada responden yang berada di Kantor DPRD Kabupaten Bulukumba.
6. Ucapan terimakasih kepada responden yang berada di Kantor Dinas Sosial Kabupaten Bulukumba.
7. Ucapan terimakasih kepada Organisasi Pemerhati Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bulukumba dan masyarakat Kabupaten Bulukumba.
8. Ucapan terimakasih yang teristimewa kepada Ikbal dan Nursyidah selaku orangtua penulis yang tak henti-hentinya memberikan doa, semangat,
dukungan moril dan kasih sayang sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Ucapan Terimakasih kepada segenap keluarga penulis yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
10.Ucapan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Sospol Angkatan 2015 yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
11.Terimakasih kepada 2 Sahabat saya Reski Wahyuni dan Pitriani R, Isma Gamal dan Nur Azizah Fathul Hasan yang selalu direpotkan dan senantiasa menemani dan memberikan dukungan, masukan dan dorongan semangat yang luar biasa sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini
12.Ucapan terimakasih kepada keluarga besar UKM-Olahraga UNISMUH Makassar yang selalu memberikan dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
13.Ucapan terimakasih kepada saudara seperjuangan 08 UKM-Olahraga UNISMUH Makassar yang terus memberikan motivasi dan dukungan yang luar biasa sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
14.Ucapan terimakasih juga kepada Abdan Khalis yang selalu direpotkan oleh penulis dan telah memberikan dukungan dan semangat luar biasa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Demi kesempurnaan skripsi ini, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pihak yang membutuhkan.
Makassar, 13 Januari 2020
ix DAFTAR ISI
SAMPUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENERIMAAN TIM ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
BAB I. PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… .... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Penelitian Terdahulu ... 12
B. Pergertian Penyandang Disabilitas ... 14
D. Kebijakan Publik ... 17
1. Pengertian Kebijakan Publik ... 17
2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik... 19
3. Ciri-Ciri Umum Kebijakan Publik ... 21
D. Formulasi Kebijakan ... 21
1. Pengertain Formulasi Kebijakan ... 21
2. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan ... 23
3. Agenda Setting ... 25
4. Tahap-Tahap Agenda Setting ... 27
5. Aktor-Aktor Agenda Setting ... 32
E. Perda No.2 Tahun 2018 Tentang Penyandang Disabilitas ... 37
F. Kerangka Pikir ... 39
G. Fokus Penelitian ... 41
H. Deskrpsi Fokus Penelitian ... 41
BAB III. METODE PENELITIAN ... 43
A. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 43
B. Jenis dan Tipe Penelitian ... 43
D. Informan Penelitian ... 44
E. Teknik Pengumpulan Data ... 44
F. Teknik Analisis Data ... 45
G. Pengabsahan Data ... 46
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 48
B. Hasil Penelitian ... 62 C. Pembahasan Penelitian ... 72 BAB V. PENUTUP ... 78 A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN ... 82
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
A. 2.1 Penelitian Terdahulu ... 12 B. 3.1 Informan Penelitian ... 44xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
A. 2.2 Kerangka Pikir ... 39xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Setiap manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan selalu melakukan suatu aktivitas dan berharap bisa melakukan aktivitasnya dengan mudah. Tidak terkecuali penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas terlahir dengan memiliki kekurangan pada fungsi tubuhnya baik sejaka lahir, akibat bencana, atau kecelakaan.Hal inilah yang menjadi keterbatasan penyandang disabilitas dalam melaksanakan aktivitasnya tidak semudah dengan orang normal pada umunya. Keterbatasan inilah yang menyulitkan penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses sosial.
Masyarakat penyandang disabilitas sampai sekarang juga menjadi bagian dari masyarakat yang terbilang minoritas yang masih sangat kurang diperhatikan dengan baik oleh pemerintah. Salah satunya dalam aspek aksebilitas sehingga mereka kesulitan dalam melakukan mobilitas. Penyandang disabilitas seakan sulit untuk “bergerak”. Penyandang disabilitas juga merupakan warga Negara Indonesia yang sah dan diakui oleh Negara, maka dari itu Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan dan memberikan fasilitas penyandang disabilitas agar meraka mendapatkan kemudahan dalam menunjukkan eksistensinya dan berekspresi menurut keahliannya. Sebagai bagian dari warga Negara yang juga memiliki suatu kedudukan, serta hak dan kewajiban yang samadan rata dengan masyarakat yang non disabilitas, sudah seharusnya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah. Sebagai upaya bentuk
perlindungan bagi penyandang disabilitas agar terhindar dari diskriminasi dan pelanggaran mengenai hak asasi manusia.
Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia World Health
Organisation (WHO) bahwa sekitar 15%populasi dunia hidup dengan beberapa
bentuk disabilitas (Damayanti, 2017). Sedangkan data dari dinas sosial di Kabupaten Bulukumba pada Tahun 2018 menunjukkan jumlah kaum disabilitas sebesar 1043 orang, angka ini menunjukkan 413.229 jiwa penduduk, ada 0,29% merupakan penyandang disabilitas (Tribun-Timur.com, 2018). Penyandang disabilitas ini terbilang minoritas yang berada di Indonesia baik di Kabupaten Bulukumba. Pemerintah diharapkan mampu menyediakan perhatian dan pelayanan kepada penyandang disabilitas. Namun, sejauh ini fakta dilapangan menunjukkan kondisi sebaliknya, masih sangat minim sarana aksebilitas fasilitas publik dan pelayanan lainnya yang memang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas. Hambatan aksebilitas sampai sekarang ini masih berupa hambatan arsitektural, sehingga para disabilitas merasa kehilangan haknya untuk mendapatkan pelayanan dan fasilitas tersebut.
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan penyandang disabilitas yang terdapat di Kabupaten Bulukumba dirasa cukup banyak yaitu mencapai 1043 orang. Menyikapi jumlah penyandang disabilitas yang jumlahnya cukup banyak pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan, yang mana menurut Jenkins (Wahab 2012:15) kebijakan merupakan rangkaian keputusan yang memiliki keterkaitan yang diambil oleh para pejabat atau aktor politik serta sekelompok aktor, dan berkenaan dengan sesuatu yang
xv
akan dicapai beserta tahap-tahap untuk mencapainya dalam keadaan, keputusan-keputusan itu masih berada dan diletakkan dalam batas kewenangan kekuasaan dari aktor tersebut.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah di Kabupaten Bulukumba Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas. Kebijakan ini dibentuk dari dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah pusat yang dimana pemerintah mengatakan bahwa, masayarakat penyandang disabilitas adalah salah satu penyandang kesejahteraan sosial yang memang sangat perlu mendapatkan perhatian, yang dimuat dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dimaksudkan bertujuan agar mampu mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu keadaan kebijakan tertentu yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah, pada sudut pandang yang berbeda mengutarakan bahwa studi kebijakan publik adalah untuk mempelajari berbagai pertimbangan-pertimbangan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang telah menjadi perhatian publik atau orang banyak. Terdapat beberapa permasalahan yang akan dihadapi oleh pemerintah dimana sebagian itu
disebabkan oleh kegagalan dari birokrasi saat memberikan pelayanan serta menyelesaikan persoalan publik.
Tahap perumusan kebijakan publik, kenyataan politik yang melingkupi seluruh proses pembuatan sebuah kebijakan publik tidak semestinya tidak terlepas dari fokus atau inti kajiannya. Sebab bila di lepaskan dengan jelas sebuah kebijakan publik yang dihasilkan tersebut akan miskin aspek lapangannya. Jika suatu produk kebijakan miskin aspek lapangannya maka akan menemui banyak masalah atau persoalan pada fase atau tahap penerapan selanjutnya. Dan yang tidak seharusnya dilupakan adalah bagaimana implementasinya dilapangan dimana sebuah kebijakan publik itu berada tidaklah akan pernah bersihdari unsur politik di dalamnya. Sebab seringnya ada pemikiran para aktor pengambil kebijakan yang beranggapan bahwa suatu formulasi kebijakan yang baik itu merupakan suatu uraian konseptual yang sangat sarat akan pesan-pesan ideal dannormatif, namun hal ini tidak membumi. Padahal seharusnya perumusan kebijakan public yang benar dan baik itu adalah sebuah uraian dari kematangan pembacaan realitas atau kenyataan sekaligus alternatif cara yang fisibel terhadap kenyataan tersebut .Namun pada akhirnya uraian yang telah dihasilkan tersebut tidak sepenuhnya sama dengan nilai ideal normatif, tetapi itu bukanlah suatu masalah asalkan uraian dari kebijakan itu sama persis dengan realitas atau kenyataan masalah kebijakanyang ada dilapangan.
Terdapat empat tahap dalam Proses formulasi kebijakan publik yakni sebagai berikut: (1) problem identification, (2) agenda setting, (3) policy problem
xvii
fokus dari penelitian tersebut. Sistem pembuatan sebuah kebijakan publik politik mana pun pada dasarnya berawal dari munculnya tingkat kesadaran atas suatu masalah tertentu. Selain itu juga, untuk mengetahui tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, diantaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan akhirnya menjadi kebijakan publik. Kenyataannya bahwa setiap isu yang berkembang ditengah-tengah masyarakat tidak semuanya akan menjadi kebbijakan publik.
Tahap penyusunan agenda sendiri menarik karena merupakan tahap yang cukup krusial di mana adakalanya sebuah isu hangat yang dianggap penting segera mendapat perhatian. Isu seperti ini kemudian menjadi agenda kebijakan yang akan dibicarakan oleh para aktor kebijakan formal. Namun ada saatnya pula di mana sebuah isu hangat kemudian mendingin dan pada akhirnya dilupakan. Agar masalah dapat dipecahkan dengan suatu kebijakan publik, masalah publik tadi menuntut adanya perumusan masalah dengan baik dan benar. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Ackoff (Widodo2013:51) bahwa untuk mendapatkan keberhasilan dalam menyelesaikan suatu masalah maka seharusnya hendak ditemukan pemecahan atau langkah yang benar dan tepat atas masalah yang benar. Kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan masalah yang salah daripada mendapatkan pemecahan yang salah terhadap masalah yang benar.
Kemudian Solesbury (Parson 2014:119) juga menjelaskan bahwa sebuah isu hanya mulai tampak penting ketika sebuah institusi di dalam sistem politik menjadi terkait dengan isu tersebut. Karena itu kemajuan sebuah isu dibentuk oleh tingkat kekhususannya: yakni, sejauh mana isu tersebut diperkuat oleh suatu
kejadian atau peristiwa. Terkait kasus lingkungan, hal ini tampak jelas bahwa pasang surut perhatian terhadap isu ini selalu berkaitan dengan kejadian bencana dan jenis-jenis “krisis” lainnya. Akan tetapi, kekhususan tidak cukup membuat isu untuk menjadi diperhatikan. Isu itu harus punya legitimasi. Ia harus berkaitan dan sesuai dengan nilai-nilai yang dominan dan juga berlaku. Karenanya, isu harus mendapat perhatian publik, legitimasi, dan perhatian pemerintah agar isu itu memunculkan tindakan publik Kolbinur (2016:01).
Seperti halnya isu tentang penyandang disabilitas di Kabupaten Bulukumba yang merasa tidak mendapatkan akses dan pelayanan, khusunya mengenai aksebilitas terhadap sarana dan prasarana fasilitas publik yang ada di Kabupaten Bulukumba. Masyarakat penyandang disabilitas menyayangkan beberapa layanan publik di Butta Panrita Lopi, julukan Kabupaten Bulukumba, belum ramah disabilitas. Padahal jumlah Penyandang disabilitas di Kabupaten Bulukumba terbilang cukup banyak yaitu 1043 orang dan setiap individu memiliki haknya masing-masing, mulai dari kesehatan, kependudukan dan sebagainya. Pelibatan multi pihak harus mendukung. Salah satu hak penyandang disabilitas adalah mendapatkan akses. Amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 sudah jelas, bahwa penanganan disabilitas dilakukan di kementrian masing-masing. Selain itu isu yang beredar di tengah-tengah publik adalah Kabupaten Bulukumba akan dijadikan kabupaten/kota yang ramah disabilitas maka dari itu ini sudah sepantasnya menjadi sebuah perhatian oleh pemerintah Kabupaten Bulukumba.
Dengan melalui proses masalah muncul dan menjadi sebuah perhatian, sehingga masyarakat penyandang disabilitas yang bermitra dengan organisasi
xix
nonpemerintah yaitu organisasi Persatuan Penyandang Disabilitas (PPDI) Kabupaten Bulukumba dan pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba Khususnya Bupati, DPRD, Bagian Hukum dan Ham, Dinas Sosial dan Partai Politik PKB yang telah melakukan diskusi dan sharing terkait Perda tentang penyandang disabilitas sejak tahun 2016. Proses perumusan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas yang melibatkan berbagai pihak tersebut disebut agenda setting.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kolbinur (2016:03), agenda setting sendiri merupakan sebuah langkah awal dari keseluruhan tahapan dalam proses perumusan kebijakan. Agenda setting merupakan tahap yang memperjelas tahapan kebijakan lainnya. Sehingga agenda setting dalam proses perumusan Perda Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas merupakan tahap atau bagian yang sangat krusial dalam kebijakan publik. Dalam problem kebijakan serta agenda setting ini akan mampu diketahui seberapa penting dan perlunya dibentuk kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas yang akan diterapkan di Kabupaten Bulukumba.Tentunya inisiasi pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengatasi isu terkait penyandang disabilitas dengan menciptakan kabupaten/kota yang ramah terhadap penyandang disabilitas dan juga persamaan hak bagi penyandang disabilitas.
Proses formulasi kebijakan publik sangat perlu memperhatikan secara seksama kepentingan pemeran aktor yang terlibat langsung sebagai stakeholders dan eksistensi orientasi dari sebuah kebijakan yang akan dibuat. Bagaimana
keputusan dari kebijakan diambil dalam hal ini sebuah keputusan dalam kebijakan akan melibatkan tindakan dari seseorang aktor pejabat ataupun lembaga resmi untuk menyepakati, menolak ataupun mengubah suatu alternatif atau cara kebijakan yang dipilih.
Proses pembuatan kebijakan sangat rentan terjadi kepentingan-kepentingan politik yang hanya melanggengkan kepentingan orang-orang tertentu sehingga pada implikasinya kebijakan atau keputusan yang dibuat tidak pernah hadir atau berdampak dilingkungan masyarakat pada umumnya sehingga pada akhirnya masyarakat tidak pernah merasakan dampak dari keputusan atau kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah, dengan hal ini dapat merusak tatanan demokrasi yang pada hakekatnya demokrasi adalah memperhatikan kepentingan bersama, mensejahterakan kehidupan bangsa untuk mencapai sebuah cita-cita bangsa yang adil serta makmur.
Lingkungan masyarakat awam, bahkan tak jarang juga dikalangan para profesional dan akademis, kita menedengar orang berkomentar dengan mengatakan bahwa kebijakan publik itu merupakan suatu yang abstrak, tidak jelas sosoknya kabur, tidak berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari, dan lain sebagainya. Sejauh ini mengenai kebijakan publik sebagai suatu konsep yang ideal dalam mengsejahterakan rakyat, namun hanya pada tataran praktisnya dilapangan tidak jelas keberadaannya. Dalam hal ini semakin memperjelas, bahwa jika menyangkut kebijakan publik sebagai serangkaian aktivitas atau tindakan yang akan dilakukan oleh negara atau pemerintah ternyata itu tidak semuanya benar (Wahab, 2012).
xxi
Agenda setting dalam proses formulasi kebijakan Perda No.2 Tahun 2018
tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas menjadi tahap yang sangat penting dalam kebijakan publik. Di dalam masalah kebijakan dan agenda setting ini nantinnya akan dapat diketahui seberapa pentingnya kebijakan Perda No.2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas yang akan diterapkan di Kabupaten Bulukumba.
Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses mulai dari masalah muncul dan dirasakan oleh masyarakat khusunya penyandang disabilitas, hingga kemudian di inisiasi dan pada akhirnya ditetapkan menjadi agenda kebijakan yang disahkan oleh pemerintah. Sehingga mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berjudul: Analisis Agenda Setting Dalam Proses Formulasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses Isu Publik dalam Formulasi Kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba?
2. Bagaimana peran dan keterlibatan para aktor pada proses agenda setting dalam formulasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang dapat diambil dari penjelasan latar belakang diatas adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses isu publik dalam proses formulasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran dan keterlibatan para aktor dalam proses
agenda setting dalam formulasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini kegunaan penelitian terdiri dari kegunaan secara teoritis dan praktis yaitu:
1. Manfaat Teoritis
melalui penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam ilmu pengetahuan mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi negara khususnya tentang
agenda setting kebijakan publik
2. Manfaat praktis
xxiii
pelaksaana Perda Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba yang diantaranya masyarakat, pemerintah, dan akademisi agar dapat ikut serta dalam peningkatan kualitas kebijakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu
Setelah secara seksama peneliti melakukan penelusuran, telah menemukan beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan judul yang akan ditelitiyaitu sebagai berikut:
1. Walidun Husain dengan judul Skripsi, “Penyusunan Draf Akademik APBD sebagai Formulasi Kebujakan Publik”, dengan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan dan penyusunan rancangan akademik anggaranpendapatan dan belanja daerah atau APBD sebagai formulasi kebijakan publik studi empirik di Provinsi Gorontalo. Formulasi kebijakan publik, meliputi identifikasi masalah, penyusunan agenda, perumusan masalah kebijakan,desain kebijakan. Provinsi Gorontalo telah menunjukkan keempat dari komponen tersebut telah dilaksanakan, dalam sebuah kesimpulannya, yang pertama bahwa formulasi atau perumusan kebijakan publik dalam penyusunan rancangan mengenai anggaran pendapatan dan juga belanja di Pemerintah provinsi Gorontalo telah dilakukan dan landaskan pada teori dan tahapan formulasi kebijakan yakni). (1) problem identification, (2)
agenda setting, (3) policy problem formulation, (4) policy design, kedua,
bahwa dalam perumusan kebijakan mengenai rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah tersebut walaupun masih merupakan kewenangan dari eksekutif tetapi peran legislatif daerah telah dilibatkan pula terutama dalam
xxv
penetapan kebijakan umum anggaran dan penetapan prioritas anggaran sementara.
2. Andi Azmi Shofix, dengan judul Skripsi “Analisis Formulasi Kebijakan Publik, Studi pada proses Perumusan Rencana Peraturan DaerahKota Palembang tentang Pembinaan, Pengendalian dan Pemanfaatan Rawa”. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis proses perumusankebijakan, mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh, mengetahui actor yang terlibat dan peran aktor dalam perumusan kebijakan tersebut. Berdasarkan hasil penelitianya, telah disimpulkan bahwa proses perumusanran cangan peraturan daerah ini tidak ideal dan dapat dikategorikan kedalam model kelembagaan, dalam hal ini telah melibatkan tiga pihak yaitu, eksekutif, legislatif dan beserta stakeholders. Dinas PU Bina Marga dan PSDA kota Palembang dan DPRD Kota Palembang merupakan aktor utamanya.
3. Shynta Anastasia Simbolon dengan judul skripsi, “Analisis proses dan Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang wilayah Kota Medan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana proses dalam perumusan dan penetapan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan dan apakah dalam Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut sudah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang ditemukan dilapangan pada saat proses perumusan dan juga penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Medan. Ada dua informan dalam penelitian ini, yang pertama informan kunci dan informan dan informan utama. Yang menjadi informan utama
dalam penelitian ini yaitu bagian Sub Staf, Sekretaris dan juga anggota Pansus DPRD. Sedangkan yang menjadi informan kunci penelitian ialah Bagian Tata Ruang Bappeda, Kepala Sub Bagian Dokumentasi dan Evaluasi Hukum Sekretariat Daerah dan Kepala Bidang Fisik. Kesimpulan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Proses Perumusan serta Penetapan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Medanberjalan dengan cukup baik namun juga masih perlu adanya peningkatan komitmen, keseriusan terhadap sumber daya yang telah ada dan juga diperlukan peningkatan peran masyarakat Kota Medan. Perda Kota Medan tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan telah sesuai dan juga telah mengacu pada Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih.
Dari ketiga penelitian terdahulu diatas nampak sebuah perbedaan kajian dalam meneliti proses formulasi kebijakan, perbedaan dalam penelitian ini. Penelitian ini substansinya adalah menelusuri, menganalisis dan mengkaji bagaimana proses Isu Publik dalam formulasi kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba dan mendeskripsikan peran dan keterlibatan aktor dalam perumusan
agenda setting dalam formulasi kebijakan Peraturan Daerah Tentang
Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba.
B. Penyandang Disabilitas
Disabilitas berasal dari istilah people with different abilities (difable), dimana orang barat menyebut kaum disabilitas dengan istilah disable (tidak mampu). Selain itu disabilitas juga sering diartikan sebagai seseorang yang
xxvii
mengalami kelainan fisik atau mental (Mujimin, 2007).
Isitilah bagi penyandang disabilitas atau orang-orang yang membutuhkan
kebutuhan khusus seringkali disabut “difable” (differently abled people) yang
sekarang lebih dikenal dengan istilah “disabilitas”, dimana banyak masalah yang
terkait dengan disabilitas yang masih sangat kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah maupun perhatian dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Istilah lain
yang biasa digunakan untuk menyebut “disabilitas” ini diantaranya yaitu “orang cacat”, “orang tidak normal”, dan “orang berkelainan”. Istilah tersebut seharusnya tidak “bebas nilai”, artinya ada pemahaman sekelompok masyarakat yang mendominasi yang memaksa “melabelkan” masyarakat lain (Harahap, 2015)
(Syahputra, 2018) menurut World Health Organization (WHO) penyandang disabilitas adalah keadaan dimana seseorang mengalami keterbatasan karena adanya kecacatan tubuh, sehingga sulit dalam mengakses segala sarana dan prasarana publik.
1. Jenis-Jenis Disabilitas
Demartoto (Syahputra, 2018) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat atau disabilitas terdapat beberapa jenis disabilitas:
a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)
Tuna daksa adalah kelainan gerak disebabkan dari sebuah struktur tulang yang pada dasarnya bersifat bawaan atau akibat dari kecelakaan yang bisa membuat kehilngan orang tubuh ataupun lumpuh.
b. Kelainan Penglihatan (Tuna Netra)
Individu yang memiliki gangguan terhadap penglihatan. Ada dua golongan tuna netra yaitu: buta rendah dan buta total.
c. Kelainan Bicara (Tuna Wicara)
Tuna wicara merupakan individu yang kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya melalaui bahasa yang verbal, sehingga sangat sulit untuk dapat dimengerti.
d. Kelainan Pendengaran (Tuna Rungu)
Adanya hambatan terhadap pendengaran baik bersifat permanen maupun tidak permanen, yang membuat mereka sulit mendengarkan bebrbagai hal. e. Kelainan Mental (Tuna Grahita)
Merupakan istilah yang digunakan kepada individu yang memeliki kemampuan dibawah rata-rata, ada beberapa faktor yang menyebabkan grahita yaitu: faktor keturunan, disebabkan pada masa kehamilan, pada masa proses melahirkan, pasca melahrkan, dan juga disebabkan oleh faktor lingkungan.
f. Tuna Ganda
Merupakan sebuah komplikasi antara dua atau bahkan lebih bentuk kecacatan yang dialami oleh individu tersebut.
xxix 1. Pengertian Kebijakan Publik
Konsep kebijakan publik banyak dikemukakan oleh beberapa ahli, berbagai definisi tersebut mengarah pada satu pemahaman bahwa kebijakan pada umumnya diartikan sebagai keputusan yang diambil oleh pemerintah guna mengatasi masalah publik dan mencapai suatu cita-cita atau tujuan tertentu. Menurut Anderson (Kasmad, 2018) kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan atau tidak bertindak yang dilakukan secara sengaja oleh seorang aktor atau seperangkat aktor dalam berurusan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan. Kebijakan berkaitan dengan pengendalian suatu masalah publik atau administrasi pemerintah. Keputusan dari pertimbangan naluri dan nurani juga dipengaruhi oleh kekuasaan, berikutnya hasil keputusan dan panyaringan inilah yang dirumuskan menjadi sebuah kebijakan publik.
Menurut Dye (Sugandi 2011:73) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan apa saja yang telah dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Definisi ini memfokuskan kebijakan kepada tindakan atau keputusan apa yang akan dipilih pemerintah dalam mengatasi masalah publik. Pendapat Dye dinilai cukup akurat akan tetapi belum sepenuhnya memadai untuk mendeskripsikan sebuah kebijakan publik, hal ini disebabkan kemungkinan adanya terdapat sebuah perbedaan yang dirasa cukup besar terhadap apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dengan apa yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah. Pendapat lain kemudian dikemukakan oleh Friedrich (Rusli 2015:39) yang menjelaskan bahwa kebijakan publik atau kebijakan pemerintah merupakan suatu tindakan yang diajukan oleh seseorang, golongan dan atau pemerintah
dalam sebuah lingkungan dengan rintangan-rintangan dan juga kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan mampu memenuhi juga mengatasi halangan tersebut untuk mencapai suatu cita-cita atau untuk mewujudkan sebuah kehendak dan juga tujuan tertentu. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa kebijakan merupakan sebuah tindakan yang diambil pemerintah untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.Kedua pendapat yang dikemukakan oleh Dye dan Friedrich memiliki persamaan yang mengartikan sebuah kebijakan publik sebagai suatu keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Syafiie (Tahir, 2015:20). Mengemukakan bahwa kebijakan seharusnya dibedakan dengan kebijaksanaan, karena kebijaksanaan merupakan sebuah pengejawantahan dari aturan yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi setempat oleh aparat pemerintah. Lain dari itu, Keban (Tahir, 2015:20) memberikan pengertian atas definisi kebijakan publik, sebagai berikut : “Kebijakan publik dapat kita lihat dari konsep filosofis, sebagai suatu produk, proses, dan sebagai kerangka kerja”.
Sedangkan, menurut Jenkins (Wahab 2012:15) menjelaskan mengenai kebijakan publik yaitu, suatu serangkaian keputusan-keputusan yang memiliki ketrkaitan yang diputuskan oleh seorang aktor ataupun sekelompok aktor politik, yang berkenaan juga dengan tujuan yang telah dipilih beserta dengan tahap-tahap mencapainya dalam suatu situasi, keputusan-keputusan itu pada dasarnya masih berada dalam batas wewenang kekuasaan dari aktor tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, menurut penulis kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang diambil oleh aktor pemerintah
xxxi
untuk menjalankan atau tidak menjalankan sesuatu yang bisa digunakan sebagai sebuah pedoman yang berkenaan dengan tujuan yang sebelumnya telah dipilih beserta dengan cara-cara mencapainya dan berhubungan dengan semua kalangan masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat.
2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Tahap-tahap kebijakan publik (Subarsono 2006:11), dibagi menjadi beberapa, yaitu:
a) Penyusunan Agenda
Penyusunan agenda dibagi menjadi tiga kegiatan yang perlu dilakukan, yaitu (1) membangun sebuah persepsi pada stakeholders bahwa sebuah kejadian akan dianggap sebagai suatu masalah. Disebabkan bahwa tidak semua kalangan yang menganggap sebuah fenomena tersebut adalah masalah, (2) membuat sebuah batasan terhadap masalah, (3) memobilisasi dukungan agar masalah yang terjadi dapat masuk kedalam agenda pemerintah. Dimana mobilisasi dukungan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengorganisir setaip kelompok yang terdapatpada masyarakat, dan kekuatan-kekuatandalam politik, serta publikasi melalui yang dilakukan melalui media massa dan sebagainya.
b) Formulasi dan Legitimasi Kebijakan
Tahap ini merupakan tahap analisis kebijakan yang diperlukan untuk mengumpulkan serta menganalisis semua informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut, kemudian selanjutnya berusaha mengembangkan setiap alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan atau suport dan
melalukan negosisasi, sehingga bisa tiba pada tahap kebijakan yang dipilih. c) Implementasi Kebijakan
Tahap ini dukungan sumberdaya sangatlah diperlukan, serta penyusunan organisasi sebuah pelaksanaan kebijakan. Pada proses implementasi akan ada mekanisme insentif sertaberbagai sanksi agar sebuah implementasi suatu kebijakan mampu berjalan dengan baik.
d) Evaluasi terhadap implementasi Kinerja dan Dampak Kebijakan
Tahapan evaluasi merupakan bagian tahapan yang bermanfaat terhadap penentuan kebijakan yang baru dimasa yang depan, agar kebijakan dimasa depan akan lebih baik dan juga berhasil
Tahapan kebijakan yang telah dijelaskan diatas, bawasannya tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang saling berhubungan satu sama lain dan saling mempengaruhi satu sama lain didalam suatu kebijakan. Menurut Dunn (2013:22) suatu proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang ada pada proses analisis kebijakan dengan pengertian sebagai sebuah proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut merupakan proses pembentukan kebijakan yang divisualisasikan sebagai berbagai tahap yang saling bergantung yang diatur urutan waktu merupakan sebuah aktivitas intelektual yang dikerjakan.
3. Ciri-Ciri Umum Kebijakan Publik
xxxiii
a. Mempunyai sebuah tujuan. Artinya, kebijakan yang dibuat bukan karena kebetulan atau adanya kesempatana membuatanya. Tanpa adanya tujuan tidak perlu ada kebijakan.
b. Tidak berdiri-sendiri, terpisah dengan kebijakan yang lain. Namun, tetap berkaitan dengan berbagai kebijakan yang berkaitan terhadap masyarakat, serta berorientasi kepada tahap implementasi, interpretasi, dan juga penegakan hukum.
c. Apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang dikehendaki untuk dilakukan oleh pemerintah.
d. Kebijakan dapat berbentuk pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan, dapat pula berbentuk melarang.
e. Harus berdasarkan hukum, agar mempunyai kewenangan untuk memaksa masyarakat mengikuti.
D. Formulasi Kebijakan
1. Pengertian Formulasi Kebijakan
Formulasi kebijakan publik merupakan sebuah proses dari berbagai tahapan dalam pembuatan dan juga pelaksanaan suatu kebijakan publik. Seperti yang diungkapkan oleh Charles Lindblom dan para ahli lainya, dalam memahami sebuah proses perumusan terhadap kebijakan perlu memahami aktor-aktor yang berperan atau terlibat dalam rangkaian proses pembentukan kebijakan, baik aktor yang resmi ataupun tidak resmi (Bintari, 2016).
Perumusan kebijakan merupakan sebuah tahap pembentukan serta pelaksanaan dalam kebijakan. Secara teoritis formulasi kebijakan merupakan
pengembangan berbagai alternatif pemecahan sebuah masalah dan dalam proses formulasi kebijakan merupakan proses yang panjang juga memerlukan lobby serta komunikasi politik yang levelnya tingkat tinggi, yang merupakan sebuah pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah keputusan.
Formulasi kebijakan merupakan langkah awal dari proses secara menyeluruh. Oleh karena itu, tahap inilah yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan yang dibuat untuk masa depan suatu negara. Formulasi kebijakan merupakan suatu proses yang melibatkan proses intelektual dan proses-proses sosial, sehingga formulasi kebijakan dikatakan proses-proses sosial yang dinamis Winarno (Khaerah, 2014).
Kebijakan publik merupakan sebuah proses yang berkelanjutan, oleh karena itu siklus kebijakan adalah yang paling penting. Siklus kebijakan sendiri meliputi formulasi, implementasi dan juga evaluasi kebijakan (Parsons, 1997). Kebijakan yang telah diformulasikan diharapkan mampu mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini dapat dipahami, bahwa sebuah kebijakan tidak akanbisa sukses, jika dalam proses pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bahkan seringkali ada yangberanggapan bahwa setelah kebijakan tersebut disahkan oleh pihak yang memiliki wewenang kebijakan itu akan dilaksanakan dengan sendirinya, dan hasilnyajuga akan mendekati degan apa yang diharapkan dari pembuat kebijakan tersebut. Pada proses kebijakan yang akan diterapkan, melalui sebuah proses atau tahapan yang cukup panjang.
xxxv
masalah yang kemudian menjadi sebuah peraturan yang sah yang dapat dijadikan sebuah dasar hukum untuk bertindak. Formulasi kebijakan merupakan bagian yang terpenting dalam pembentukan kebijakan publik. Dalam suatu keputusan kebijakan akan mencakup berbagai tindakan yang dilakukan oleh seorang aktor pejabat atau lembaga resmi untuk mengubah, menyetujui, atau bahkan untuk menolak suatu alternatif kebijakan yang telah dipilih. Dalam bentuknya yang bersifat positif, keputusan suatu kebijakan bisa berupa penetapan undang-undang atau dikeluarkannya perintah-perintah eksekutif. Pada saat proses kebijakan bergerak kearah prose pembuatan keputusan, maka beberapa usulan akan diterima sedangkan usul-usul yang lain akan ditolak, dan usul-usul yang lain lagi mungkin akan dipersempit.
2. Tahap-Tahap Formulasi Kebijakan
Menurut Anderson (Winarno 2012:126), ada beberapa tahap dalam perumusan kebijakan yaitu: problem identification, agenda setting, policy
problem formulation, policy design.
a) problem identification
Bagian ini merupakan tahap untuk mengenali serta merumuskan suatu masalah dan merupakan tahap yang paling fundamental dalam formulasi kebijakan. Agar mampu merumuskan suatu kebijakan dengan baik, maka sebelumnya masalah-masalah public tersebut terlebih dahulu harus dikenali dan mampu didefiniskan dengan baik juga. Pada dasarnya kebijakan publik dibuat agar mampu memecahkan masalah yang ada ditengah-tengah masyrakat. Oleh sebab itu, besarnya atau banyaknya kontribusi yang diberikan oleh kebijakan
publik dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam masyrakat menjadi pertanyaan yang menarik dalm evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, apakah pemecahan masalah tersebut memuaskan atu tidak bergantung pada ketetapan masalah-masalah publik tersebu dirumuskan.
b) Agenda Setting
Tidak semua masalah publikakan masuk kedalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi dengan masalah yang lainnya. Hanya maslaah-masalah tertentu akhirnya masuk ke dalam agenda kebijakan. Suatu masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
c) policy problem formulation
Setalah semua masalahpublik didefinisikan maka para aktor perumus kebijakan selanjutnya sepakat untuk memasukkan masalah kebijakan tersebut kedalam sebuah agenda kebijakan, selanjutnya adalah tahap untuk membuat pemecahan masalah tersebut. Tahap ini para perumus kebijakanakan dihadapkan dengan berbagai alternatif-alternatif pilihan sebuah kebijakan yang dapat diambil agar bisa memecahkan masalah tersebut. Pada tahapan ini aktor perumus suatu kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan berbagai kepentingan dengan aktor yang terlibat dalam formulasi kebijakan. Pada kondisi ini,berbagai pilihan kebijakan akan berdasarkan pada kompromi dan juga negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dan pembuatan kebijakan tersebut.
d) Policy Design
xxxvii
menetapkan kebijakan yang akandipilih tersebut sehingga memiliki kekuatan hukum yang kuat. Alternatif kebijakan yang dipilih merupakan kompromi dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan yang terlibat pada pembentukan kebijakan tersebut.
3. Agenda Setting a. Isu Kebijakan Publik
Sebelum masuk ke tahap agenda kebijakan, sebelumnya masalah tersebut akan menjadi isu terlebih dahulu. Masalah–masalah yang muncul dalam masyarakat disebut juga isu atau masalah kebijakan. Anderson (Wahab 2012:96) menjelaskan bahwa masalah kebijakan yaitu suatu kondisi atau situasi yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat sehingga membutuhkan solusi yang segera.
Kimber dkk (Wahab 2012:102) menyebutkan secara teoritis, sebuah isu akan cenderung segera memperoleh respon dari aktor pembuat kebijakan, untuk segera dijadikan agenda kebijakan publik, kalau telah memenuhi beberapa kriteria yang telah ditentukan. Terdapat beberapa kriteria yang penting adalah:
1. Isu tersebut sudah berada pada suatu titik kritis tertentu, sehingga isu ini tidak lagi bisa untuk diabaikan begitu saja; Atau telah ditetapkan menjadi isu yang sangat serius yang jika tidak segera diatasi maka akan menyebabkan luapan krisis yang dampaknya jauh lebih besar dimasa yang akan datang.
2. Isu tersebut sudah mencapai tingkat partikularitas yang dapat menyebabkan dampak yang sifatnya dramatik.
3. Isu tersebut menyangkut atau berkaitan dengan emosi tertentu yang dilihat dari sudut kepentingan publik, serta mendapatkan dukungan yang luas dari media massa. Selain itu isu tersebut telah menjangkau dampak yang cukup luas
4. Isu tersebut mempermasalahkan atau memprotes kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat.
5. Isu tersebut telah menyangkut suatu masalah yang fashionable, dimana posisinya sulit untuk dijelaskan, tapi mudah dirasakan kehadirannya. Meskipun kriteria di atas memiliki derajat kredibilitas dan makna ilmiah yangcukup tinggi, namun hendaknya jangan dijadikan sebagai rujukan pasti, melainkan hanya sekedar dijadikan sebagai semacam kerangka acuan. Sebab, banyak bukti yang menunjukan bahwa meskipun beberapa persyaratan di atas relatif terpenuhi, dalam praktik kebijakan di Indonesia tidak jalan.
b. Pengertian Agenda Setting
Agenda kebijakan merupakan seluruh tuntutan-tuntutan agar para aktor pembuat kebijakan dapat memilih dan juga merasa terdorong untuk mau melakukan tindakan tertentu. Dengan demikian, maka agenda kebijakan ini mampu dibedakan tuntutan-tuntutan politik yang bersifat secara umum atau dengan istilah “prioritas” yang biasanya dimaksudkan untuk mengarah kepada susunan agenda dengan beberapa pertimbangan bahwa sebuah agenda lebih penting dibandingkan dengan agenda yang lain Kolbinur (Choirunnisa, 2016:21).
xxxix
berlangsung pada saat pejabat atau aktor publik mempelajarai berbagai masalah baru, dan memutuskan memberikan perhatian secara pribadi dan memobilisasi orgnisasi yang dimiliki untuk merespon masalah tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, menurut penulis agenda setting merupakan suatu tahap diputuskanya masalah yang menjadi perhatian para aktor untuk dibuat menjadi suatu kebijakan. Pada dasarnya agenda kebijakan merupakan pertarungan wacana atau pemikiran yang terjadi pada lembaga pemerintahan. Tidak semua masalah publik atau isu tersebut masuk ke dalam agenda kebijakan. Sebelumnya masalah tersebut berkompetisi dengan masalah yang satu dengan yang lain. Pada akhirnya masalah-masalah tertentu saja yang akan menang dan dimasukkan kedalam sebuah agenda kebijakan. Dengan demikian, kita dapat mempertayakan faktor-faktor apakah yang mendorong suatu masalah menjadi isu politik yang hidup, sedangkan masalah yang lain tidak.
4. Tahap-Tahap Agenda Setting
Agenda setting adalah tahap penting dalam proses pembuatan kebijakan
publik. Proses ini akan menentukan apakah masalah akan dianggap sebagai masalah oleh pemerintah atau tidak. Proses penyusunan agenda kebijakan menurut Anderson (Widodo 2013:53) secara runtut terdiri atas :
a. Private problems
Penyusunan agenda kebijakan berawal dari sebuah masalah yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Dimana masalah ini diungkapkan oleh seseorang atau pribadi. Masalah pribadi merupakan suatu masalah yang
dirasakan oleh sedikit orang yang berkaitan langsung. Seiring berjalannya waktu yang kemudian berkembang menjadi sebuah masalah publik.
b. Publik problems
Masalah publik merupakan masalah yang ruang lingkupnya cukup luas karena melibatkan banyak orang dan berkaitan dengan secara tidak langsung. Masalah tersebut kemudian berkembang menjadi masalah publik (Policy
issues).
c. Isu
Isu merupakan masalah atau problema publik yang saling bertentangan dengan yang lainnya (Controversial publik problems). Isu juga diartikan sebagai perbedaan pendapat atau pemikiran dalam masyarakat tentang solusi dan persepsi (Policy action) mengenai suatu masalah publik. Dalam Isu kebijakan tidak hanya ditemukan ketidaksepakatan tentang arah tindakan yang potensial dan aktual, akan tetapi mencerminkan pertentangan mengenai pandangan terhadap sifat masalah tersebut. Dengan demikian, isu kebijakan merupakan hasil perdebatan tentang definisi, eksplanasi, klasifikasi dan evaluasi suatu masalah. Isu kebijakan inilah yang mengalir kemudian masuk dalam agenda pemerintah.
Isu tentang penyandang disabilitas di Kabupaten Bulukumba yang merasa tidak mendapatkan akses dan pelayanan, khusunya mengenai aksebilitas terhadap sarana dan prasarana fasilitas publik yang ada di Kabupaten Bulukumba. Dimana jumlahnya terbilang cukup banyak yaitu
xli
1043 orang dan setiap individu memiliki haknya masing-masing, mulai dari kesehatan, kependudukan dan sebagainya. Pelibatan multi pihak harus mendukung Salah satu hak penyandang disabilitas adalah mendapatkan akses. Amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 sudah jelas, bahwa penanganan disabilitas dilakukan di kementrian masing-masing. Selain itu isu yang beredar di tengah-tengah publik adalah Kabupaten Bulukumba akan dijadikan kabupaten/kota yang ramah disabilitas maka dari itu ini sudah sepantasnya menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Bulukumba.
d. Agenda pemerintah
Agenda pemerintah adalah berkaitan dengan sejumlah daftar masalah publik di mana para pejabat memberikan perhatian yang serius pada waktu yang telah ditentukan. Agenda pemerintah menurut Cobb dan Elder (Widodo 2013:54) dibedakan menjadi 2 macam; (a) Systemic agenda, adalah sejumlah isuyang dirasakan langsung oleh para anggota masyarakat politik yang sudah seharusnya mendapatkan perhatian publik dan juga isu tersebut posisinya berada dalam yurisdiksi kewenangan pemerintah tersebut; (b) Institusional
agenda, merupakan serangkaian masalah yang membutuhkan ketegasan,
keaktifan dan keseriusan dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan dari aktor pembuat kebijakan yang sah atau otiritas.
Masalah yang muncul kemudian adalah peran apa yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses agenda setting ini. John (Widodo 2013:63) menggambarkan bahwa terdapat tiga pilihan utama peran yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses agenda setting. Ketiga pilihan ini, Widodo
(Choirunnisa, 2018) ditambah satu peran lagi sehingga terdapat empat macam pilihan utama peran yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam proses agenda
setting. Keempat peranan tadi adalah sebagai berikut :
c. Let It Happen
Pilihan ini sangat beragam, dimana para pejabat pemerintah memainkan peran relatif pasif dalam penyusunan agenda. Pemerintah hanya menjaga
channels of access and communication sehingga mereka yang terpengaruh
dapat didengar dan pemerintah tidak sampai membantu individu atau kelompok dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan atau menerima tugas untuk mendefinisikan dan memprioritaskan masalah-masalah yang ada.
d. Encourage It to Happen
Pada pilihan kedua ini, para pejabat pemerintah sampai pada membantu orang-orang dalam mendefinisikan dan mengartikulasikan masalah-masalah mereka.
e. Make It Happen
Pada pilihan ini, pejabat pemerintah memainkan peranan aktif dalam mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan-tujuan. Para pembuat kebijakan tidak sampai menunggu suatu sistem bekerja, tetapi mereka (Policy
maker) mengarahkan beroprasinya sistem tersebut dengan menetap
kanmekanisme pendefinisian dan menetapkan prioritas masalah dalam pemerintahan.
f. Don’t Let It Happen
xliii
mendefinisikan dan mengartikulasikan masalah, akan tetapi berusaha secara nyata untuk melarang atau menutup “cannel of access and communication”,
karena mereka tidak ingin masalah tersebut masuk dalam agenda pemerintah. Dalam proses penyusunan agenda (agenda setting) peran tersebut perlu dimainkan oleh para pejabat pemerintah, untuk menjaga dan mencegah jangan sampai policy issues yang tidak dikehendaki bisa masuk dalam agenda pemerintah. Proses penyusunan agenda ini tidak dihadapkan pada suatu hambatan yang berarti, hendaknya policy issues yang dipilih benar-benar penting dan mempunyai dampak besar bagi banyak orang. Selain itu, isu kebijakan ini memang telah menjadi perhatian para pembuat kebijakan, serta sesuai dengan platform politik dan kemungkinan besar isu kebijakan ini dapat dipecahkan. Apabila hal ini telah diperhatikan dan dipenuhi. Proses penyusunan agenda tidak saja lancar atau ditemukan hambatan yang cukup berarti, tetapi juga akan memberikan corak dan warna pada proses selanjutnya, serta hasil kebijakan yang dipilih akan benar-benar dapat memecahkan masalah yang tumbuh kembang di masyarakat. Disinilah makna arti penting dari penyusunan agenda dalam proses selanjutnya.
5. Aktor-Aktor Agenda Setting
Analisis terhadap proses kebijakan harus terfokus pada aktor-aktor. Jika politik diartikan sebagai “siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa”, maka aktivitas yang berlangsung dalam proses pembuatan kebijakan adalah satu bentuk
kegiatan yang dilakukan aktor politik untuk memperoleh nilai-nilai politik. Peran aktor-aktor sangat menentukan dalam merumuskan, melaksanakan, dan mempertimbangkan konsikuensi kebijakan yang dibuatnya.
Terdapat perbedaan aktor pemain anatara negara berkembang dan negara maju yang terlibat dalam perumusan kebijakan Di negara-negara berkembang, formulasi kebijakan dikendalikan oleh lapisan elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif sangat kecil. Negara-negara berkembang struktur pembuat kebijakannya cendrung terlihat lebih sederhana jika dibandingkan dengan Negara-Negara yang terbilang maju.
Menurut Anderson (Winarno 2012:126) terdapat dua kelompok aktor-aktor atau pemeran yang terlibat dalam perumusan kebijakan , yakni para pemeran serta resmi (official actors) dan para pemeran serta tidak resmi (unofficial actors).
a. Official actors
Aktor yg terlibat karena diberi tanggungjawab oleh undang-undang dan atau peraturan lainnya, sehingga mereka mempunyai legalitas untuk membuat dan memaksakan pelaksanaan suatu kebijakan. Official actorsdalam proses
agenda setting dalam formulasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba terdiri dari Bupati Bulukumba, DPRD, Bagian Hukum dan HAM, Dinas Sosial, dan Partai Politik PKB:
1) Lembaga Legislatif Berperan diantaranya membantu masyarakat (konstituen) untuk memecahkan masalahnya yang terkait dengan pelayanan pemerintah (Casewor), dan kegiatan mengawasi implementasi
xlv
kebijakan. Lembaga Eksekutif terdiri dari : Presiden, staff langsung presiden, dan aktor-aktor lain yang diangkat oleh presiden dalam formulasi kebijakan, presiden mempunyai hak veto untuk membatalkan atau menolak usulan dari legislatif.
2) Lembaga Yudikatif Lembaga peradilan yang melakukan pengawasan terhadap legislatif dan eksekutif. Perannya melakukan judicial review.
b. Unofficial actors
Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan namun tidak secara eksplisit memiliki kewenangan legal untuk ikut berpartisipasi. Kelompok ini terlibat karena mereka memiliki hak untuk terlibat. Selain itu interest group adalah cara yang efektif untuk menyampaikan aspirasi agar di akomodir dalam bentuk kebijakan publik. Unofficial actors dalam proses agenda setting pada formulasi kebijakan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba yaitu dari organisasi Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bulukumba, :
1) Individual citizens
Dalam pembahasan mengenai pembuatan kebijakan, warganegara secara individu sering diabaikan. Hanya kelompok kepentingan dan kelompok yang menekan justru akan lebih terkemuka. Hal ini dianggap kurang baik Karena akan menyisakan perbedaan-perbedaan dalam proses mekanismenya. Walaupun pembuatan kebijakan diamanahkan kepada pejabat publik, namun dilihat dari berbagai kejadian sejatinya warganegara sebagai individu masih memiliki peluang aatau kesempatan untuk bisa ikut
serta secara langsung dalam proses pembuatan keputusan.
2) Interest group
Kelompok kepentingan muncul untuk memainkan tugas yang penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua Negara. Di Negara maju atau Negara berkembang, yang dapat dibedakan pada bagaimana kelompok kepentingan diatur oleh undang-undang dan bagaimana keabsahannya. Kelompok kepentingan semakin banyak bermunculan dan bertindak semakin terbuka serta bebas.Hampir disemua sistem politik di dunia Kelompok kepentingan berfungsi mempertemukan berbagai kepentingan “warga tertentu” yang bukan hanya mengemukakan dukungan dan tuntutan mereka saja tetapi juga bisa memberikan alternatif terhadap tindakan kebijakan.
3) Political parties
Berperan penting dalam menggalang opini publik yang bermanfaat dalam melontarkan isu-isu yang nantinya dikembangkan dalam tahap agenda
setting. Partai politik juga menjalankan fungsi-fungsi politik yang penting
dalam proses kebijakan.
4) Think tanks dan lembaga-lembaga riset
Kemunculan think tanks dan lembaga riset yang bertujuan untuk memengaruhi agenda kebijakan melalui publikasi riset dan advokasi kebijakan. Think tanks nonpemerintah menganggap diri mereka berperan dalam membentuk konteks untuk debat isu dan kebijakan, dan bertujuan
xlvii
untuk memengaruhi proses isu menjadi “problem”.
5) Media komunikasi
Karena berfungsi sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat media komunikasi merupakan aktor yang terlibat dalam semua tahap kebijakan. Kemampuannya mendapatkan audiens lebih luas dibandingkan kelompok manapun merupakan kekuatan yang khas, hal inilah yang menjadikan media komunikasi sebagai agen yang efektif dalam membentuk sebuah opini publik. Selain itu, media komunikasi juga berperan dalam agenda kebijakan.
Dalam proses pengambilan keputusan setiap aktor membawa prespektifnya masing-masing antara lain pengetahuan, keahlian, dan kekuasaanya. Menurut Siagian (Syafiie 2006:03) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu objek ilmiah yang mempunyai sekolompok dalil, prinsip, rumus, yang berulang kali melalui berbagai percobaan yang bersifat sistematis, kebenarannya telah teruji: dalil-dalil, prinsip-prinsip, serta cara mana yang bisa diajarkan dan dipelajari. Artinya pengetahuan didapat ketika aktor telah melalui percobaan melalui suatu program berulang kali.
Masalah yang muncul selanjutnya adalah model apa yang digunakan dalam proses perumusan agenda setting Kaufman (Parson 2001:276) menjelaskan elemen utama pembuat keputusan membawa prefensi, pengetahuan dan kekuasaan yang berasal dari pandangannya, keahlian khususnya, atau akses ke sumber daya. Yang membentuk presepsi tentang isu-isu yang akan ditangani, opsi-opsi yang tersedia, konsekuensi pilihan, kemungkinan munculnya peristiwa tertentu, atau
aturan keputusan yang berlaku. Pembuatan keputusan mungkin mengidentifikasi beberapa hasil yang diharapkan (status quo yang “ideal”) yang masih harus dinegosiasikan dengan lingkungan tempat implementasinya. Lingkungan keputusan terdiri dari individu, kelompok, organisasi, dan agen yang bisa mempengaruhi hasil dari keputusan berdasarkan keputusan mereka atau mempengaruhi dengan cara mengontrol sumber daya atau kepentingan orang yang dapat dipengaruhi dengan oleh keputusan stakeholder. Kekuatan model Kaufman adalah untuk memampukan kita menggunakan berbagai teori untuk menganalisis pembuatan keputusan yang berlangsung di dalam kondisi konflik
antar-stakeholder, informasi, presepsi, dan lingkungan yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bawa dalam proses pengambilan keputusan setiap aktor membawa prespektifnya masing-masing antara lain pengetahuan, keahlian, dan kekuasaanya. Selanjutnya, pandangan Robbins (2008:494) keterampilan atau keahlian merupakan keterampilan (skill) kemapuan yang dimiliki untuk mengerjakan suatu pekerjaan secara cermat dan mudah yang memerlukan kemampuan dasar (basic ability). Menurut Rivai dan Mulyadi (2011:343) kekuasaan adalah kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan oleh pihak lain. Kemudian Rivai dan Mulyadi (Choorunnisa, 2018)) mengungkapkan ada beberapa pengetian tentang kekuasaan:
a.) Kekuasaan adalah keadaan memungkinkan yang membuat aktor di dalam hubungan sosial memiliki suatu jabatan agar bisa melaksanakan keinginannya dan kemauannya sendiri yang bisa menghilangkan rintangan yang ada (Max Weber).
xlix
b.) Kekuasaan adalah suatu hal yang bisa memberikan pengaruh terhadap aliran dan dan energi yang tersedia untuk bisa mencapai suatu tujuan yang secara jelas berbeda dari tujuan lainnya(Wafterd Nord).
c.) Kekuasaan akan dipergunakan hanya ketika tujuan-tujuan tersebut mengakibatkan perselisihan antara yang lainnya. Kekuasaan merupakan sebuah produksi dari suatu akibat yang diinginkan (Rusel). Kemudian Parson (2001:251) juga menambahkan bahwa kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok.
Berdasarkan uraian diatas mengenai kekuasaan maka peneliti menyimpulkan bahwa kekuasaan adalah suatu sumber yang digunakan untuk melakukan perubahan baik sikap, prilaku maupun pemikiran sesorang atau kelompok sesuai dengan yang diinginkan.Sehingga, kekuasaan dapat menjadi potensi pengaruh dari seorang pemimpin.
E. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas
Pemerintah Pusat telah mengeluarkan kebijakan bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan salah satu penyandang kesejahteraan sosial yang memang sangat perlu mendapatkan perhatian, yang tertuang dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga Negara Indonesia dan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari warga negara dan
masyarakat Indonesia merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk hidup maju dan berkembang secara adil dan bermartabat.
Pemerintah Kabupaten Bulukumba merespon dengan antusias hal tersebut dengan segera merumuskan kebijakan Peraturan daerah, yaitu Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas. Perda ini merupakan kebijakan yang dirumuskan pemerintah berdasarkan dari tuntutan-tuntutan masyarkat khususnya penyandnag disabilitas.Perda ini diharapkan mampu memberikan kemudahan perlindungan dan pelayanan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses segala sarana dan fasilitas publik di kabupaten Bulukumba.
Tujuan dibentuknya Peratura Daerah Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas yaitu:
1. Mewujudkan penghormatan, pemajuan, perlindungan, pemberdayaan, penegakan, dan pelayanan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi penyandang disabilitas secara menyeluruh dan juga merata.
2. Menjamin upaya penghormatan, pemajuan, perlindungan, pemberdayaan, penegakan dan pelayanan yang melekat pada diri seorang penyandang disabilitas
3. Mewujudkan taraf kehidupan penyandang disabilitas yang lebih , adil, berkualitas, mandiri, sejahtera, bermartabat serta bisa bahagia lahir dan juga batin.
4. Memberikan perllindungan terhadap penyandang disabilitas dari pelecehan, kesia-siaan, dan berbagaiperilaku diskriminatif serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan
5. Memastikan dengan jelas pelaksanaan upaya pemajuan, penghormatan, pemberdayaan, perlindungan, penegakan dan pelayanan penyandang disabilitas untuk bisa mengembangkan dirinya, dan mampu memanfaatkan
li
kemampuannya sesuai bakat dan minat yang dimiliki agar bisa berperan dan berkontribusi secara leluasa, optimal, dan bermartabat dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
F. Kerangka Pikir
Penyandang disabilitas merupakan warga Negara yang kedudukan dan haknya sama dimata hukum dengan orang yang non disabilitas. Penyandang disabilitas di Kabupaten Bulukumba telah mendapatkan perhatian oleh pemerintah daerah dengan diterbitkannya Perda Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perlindungan dan Pelayanan Penyandang Disabilitas di Kabupaten Bulukumba. Proses terbitnya Perda tersebut tidak serta merta langsung diproses atau dirumuskan, namun berbagai tahap dilalu, salah satunya adalah tahap Agenda Setting. Pada tahap
agenda setting ada banyak aktor yang terlibat.
Menurut Anderson (Winarno 2012:126) mengatakan bahwa terdapat dua aktor pemeran dalam pembentukan kebijakan, yang pertama aktor pemeran serta resmi (official actors) yang diantaranya Bupati Bulukumba, DPRD, Bagian Hukum dan HAM Setda Kabupaten Bulukumba, Kantor Dinas Sosial, Partai Politik PKB. Kemudian para pemeran serta tidak resmi (unofficial actors) yaitu organisasi Persatuan Penyadang Disabulitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Bulukumba serta penyandang disabilitas. Dengan menggunakan teori agenda
settingdan model pembuatan keputusan dari Kaufman, isu perlindungan dan
pelayanan bagi penyandang disabilitas sampai menjadi masalah pubik dianalisis dengan melihat aktor-aktor mana saja yang dominan mendorong isu tersebut kedalam agenda setting kebijakan. Pada akhirnya isu tentangperlindungan dan pelayanan penyandang disabilitas di Kabupaten Bulukumba dapat dibentuk
formulanya.
Kerangka Pikir
Gambar 2
Kerangka Pikir Penelitian
G. Fokus Penelitian
Pada saat penelitian dilakukan perlu adanya fokus dalam penelitian tersebut agar apa yang di teliti tidak keluar dari konteks yang ingin di teliti. Untuk mempertajam suatu penelitian, peneliti kualitatif menepatkan fokus.Fokus penelitian ini sangat diperlukan agar peneliti pada saat penelitiannya mendapatkan batasan dalam proses pengumpulan data, agar tidak keluar darirumusan masalah yang ada, serta tujuan dari penelitian itu sendiri, yang menjadi fokus peneliti ialah
Analisis Proses Perumusan Agenda Settingdalam Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan
dan Pelayanan Penyandang Disabilitas Anderson(Winarno, 2012).
Sumber Isu Perda Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan
Pelayanan Penyandang Disabilitas
Aktor-aktor yang terlibat didalam proses Agenda setting
1. Official Actors 2. unofficial