• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia menjadi fokus perhatian utama dalam perencanaan pengembangan infrastruktur di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, tantangan dalam pembangunan infrastruktur Indonesia kontemporer utamanya adalah pada bagaimana mengurangi disparitas dan menyeimbangkan pertumbuhan dan pembangunan dengan berpedoman pada prinsip pertumbuhan dan pemerataan (Policy Brief Kementerian PUPR 2015-2025). Untuk memenuhi harapan tersebut, Rencana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015- 2019 mengamanatkan bahwa pembangunan infrastruktur harus terintegrasi, baik antar daerah, antar sektor maupun antar tingkat pemerintahan. Amanat ini diwujudkan dalam bentuk konsep wilayah pengembangan strategis (WPS) sebagai basis dari pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pembangunan infrastruktur berbasis WPS yang digunakan oleh Kementerian PUPR adalah salah satu pendekatan pengembangan wilayah yang berpusat pada lokasi (place based policies) dalam World Development Report (WDR) 2009, melalui instrumen kebijakan infrastruktur yang terkoneksi secara spasial (Garretsen et al. 2011). Kementerian PUPR membagi wilayah Indonesia menjadi 35 WPS, dimana setiap WPS memiliki kekhususan sesuai tema, potensi, dan permasalahan yang ada di setiap wilayah (Policy Brief Kementerian PUPR 2015-2025).

Salah satu WPS yang terdapat di Pulau Jawa adalah WPS Pusat Pertumbuhan Terpadu Yogyakarta-Solo-Semarang (Rencana Strategis Kementerian PUPR 2015-2019). Berbagai infrastruktur direncanakan akan dibangun di WPS ini, dimana salah satunya adalah Jalan Tol Bawen – Yogyakarta.

Jalan Tol Bawen – Yogyakarta merupakan salah satu jalan tol yang dipercepat prioritas pembangunannya, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang

(2)

Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis nasional. Jalan Tol Bawen – Yogyakarta selain menjadi salah satu infrastruktur utama penghubung koridor Bawen – Yogyakarta (kelanjutan dari Tol Semarang – Bawen, dan terhubung dengan Jalan Tol Trans Jawa), juga akan menghubungkan berbagai industri besar di Kabupaten Temanggung, Semarang, Magelang dan Sleman, serta menghubungkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Candi Borobudur dengan Kota Semarang dan Kota Yogyakarta.

Mengingat bahwa pembangunan infrastruktur berbasis pada WPS harus terintegrasi, baik antar sektor, antar daerah ataupun antar tingkat pemerintahan, maka penentuan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta harus mempertimbangkan aspek keterpaduan. Pembangunan jalan harus terintegrasi dengan rencana pembangunan wilayah yang dilakukan oleh provinsi dan kabupaten yang dilalui oleh jalan tol melalui rencana tata ruang wilayah. Selain itu, keberadaan jalan tol juga harus mampu mendukung keberadaan aktivitas ekonomi, sosial dan pariwisata yang ada di wilayah yang dikembangkan, mengingat fungsi jalan tol adalah menyediakan konektivitas terhadap sistem aktivitas yang terjadi di dalam wilayah.

Di sisi lain, pelibatan indikator dan kriteria kewilayahan belum nampak dalam perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta. Sebagaimana nampak dalam laporan KPPIP (2017), perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta masih terfokus pada kriteria geoteknik, lingkungan dan sosial. Indikator kemanfaatan jalan terhadap sistem aktivitas wilayah seperti kedekatan dengan industri, pusat pertumbuhan regional, obyek wisata, dan potensi wilayah lain belum dilibatkan dalam analisis.

Perencanaan jalan tol yang sudah banyak dilaksanakan di Indonesia sendiri, saat ini lebih banyak mendahulukan pada percepatan pelaksanaan pembangunan daripada pertimbangan perencanaan yang komprehensif (termasuk disini adalah pertimbangan pengembangan wilayah, dampak lingkungan, dan keterpaduan pembangunan infrastruktur). Kajian yang dilakukan oleh Rahutami et al. (2011) menemukan bahwa pelaksanaan Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo telah mengabaikan ancaman bencana, dan proses AMDAL tidak dilakukan secara komprehensif. Hal ini berakibat pada berlarut-larutnya proses pembangunan jalan tol tersebut.

(3)

Pewujudan perencanaan jalan yang terintegrasi dengan tidak hanya faktor – faktor kewilayahan, memerlukan teknik formulasi, analisis dan evaluasi yang mampu melibatkan pertimbangan – pertimbangan tersebut. Evaluasi Multi-kriteria (multi criteria evaluation) adalah salah satu teknik analisis dan evaluasi yang dapat digunakan untuk kepentingan tersebut. Peran evaluasi Multi-kriteria dalam pengambilan keputusan memiliki sejarah yang panjang, mulai dari bentuk tradisional berupa mediasi, hingga ke bentuk pemrograman modern otomatis melalui bantuan komputer dan teknologi informasi (Koksalan et al. 2013), termasuk di bidang geospasial dan perencanaan wilayah melalui pengembangan Analisis Spasial Multi-kriteria (Malczewski, 2006). Dalam analisis spasial multi-kriteria, indikator - indikator kewilayahan dapat menjadi bagian dari kriteria yang digunakan sebagai dasar penentuan trase jalan.

Meskipun demikian, faktor dan kriteria yang dilibatkan dalam Analisis Spasial Multi-kriteria perlu untuk diformulasikan lebih dulu urgensi hierarkisnya, karena tingkat kepentingan setiap faktor berbeda satu sama lain. Dalam hal ini, urgensi setiap faktor dapat dirumuskan dengan melibatkan pemangku kepentingan yang memiliki pengalaman dan keahlian terkait pengambilan keputusan di bidang yang direncanakan. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk menentukan urgensi faktor, namun salah satu teknik yang paling umum digunakan adalah Analytic Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980). AHP dapat menghasilkan keluaran nilai bobot dan skor setiap faktor dan kriteria yang dapat menjadi masukan dalam Analisis Spasial Multi-kriteria untuk memperoleh alternatif – alternatif solusi dari permasalahan, yang selanjutnya dapat dievaluasi mana yang terbaik.

Kajian integrasi Analisis Spasial Multi-kriteria dan AHP untuk penentuan lokasi (site selection) sendiri sudah banyak dilakukan, baik untuk aplikasi perencanaan jalan (Beukes et al. 2011; Abdi et al. 1999; Keshkamat et al. 2009) maupun perencanaan di bidang lain (Lozano dan Conesa, 2017; Mishra et al. 2015;

Bunruankaew dan Muruyama, 2011). Dengan demikian, melalui kombinasi antara analisis spasial multi-kriteria dikombinasikan dengan AHP, akan dapat diperoleh sebuah produk perencanaan trase jalan tol yang tidak hanya mencerminkan keterpaduan antar kriteria yang dilibatkan (termasuk kriteria pengembangan

(4)

wilayah), tetapi juga keterwakilan pandangan para pihak yang terlibat dalam pengusahaan jalan tol.

1.2 Perumusan Masalah

Pembangunan infrastruktur yang terintegrasi berbasis WPS merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka: (1) mengurangi disparitas ekonomi antara KBI dan KTI; (2) menghambat laju urbanisasi yang terus meningkat dan menyebabkan berbagai permasalahan kawasan perkotaan; (3) menjamin konektivitas infrastruktur baik di darat maupun di laut; dan (4) memanfaatkan sumberdaya secara lebih optimal dan menjamin dukungan terhadap upaya kedaulatan pangan dan kemandirian energi. Prinsip – prinsip diatas mengharuskan implementasi pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dalam perencanaannya harus mempertimbangkan: (1) potensi sumberdaya dan sistem aktivitas ekonomi yang ada di dalam wilayah; (2) rencana pembangunan infrastruktur lintas sektor dan lintas pemerintahan, yang tercermin dalam rencana tata ruang wilayah; (3) hambatan fisik dan sosial yang akan berpengaruh pada rencana pembangunan infrastruktur.

Infrastruktur jalan tol merupakan salah satu jenis infrastruktur strategis yang dipandang mampu mendukung upaya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi wilayah, oleh karena itu dalam perencanaan pembangunannya harus mempertimbangkan konsep integrasi, baik dengan pembangunan infrastruktur lain (transportasi dan non transportasi) yang dilakukan oleh berbagai sektor dan tingkat pemerintahan, potensi yang ada di dalam wilayah, maupun sistem aktivitas eksisting wilayah. Pembangunan infrastruktur jalan tol tidak bisa lagi cenderung bersifat market driven dan berfokus pada konektivitas di setiap simpul dari jaringan jalan, tetapi juga mengintegrasikan sistem aktivitas yang ada di sepanjang jalur jalan. Terlebih, jalan tol merupakan salah satu jenis infrastruktur yang diharapkan sangat berperan dalam pengembangan wilayah sesuai dengan asas kemanfaatan jalan tol.

Salah satu aspek penting dalam perencanaan pembangunan jalan tol yang mempertimbangkan paradigma integrasi adalah dalam penentuan trase jalan.

Melalui trase jalan tol yang mendukung sistem aktivitas dan potensi yang ada di

(5)

dalam wilayah dan mempertimbangkan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan melalui pertimbangan kawasan penyangga (buffer zone) terhadap kawasan lindung dan kawasan rawan bencana, maka kemanfaatan (outcome) dari pembangunan jalan tol akan lebih optimal.

Integrasi perencanaan pembangunan jalan tol dengan indikator – indikator regional lain (baik infrastruktur maupun non infrastruktur) memerlukan bentuk praktis dan empiris, mengenai bagaimana perencanaan tersebut dapat dilakukan.

Dalam hal ini teknik analisis spasial multi-kriteria yang diintegrasikan dengan AHP dapat menjadi salah satu alternatif instrumen analisis yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui analisis spasial multi-kriteria, berbagai indikator – indikator keterpaduan seperti yang telah diuraikan pada pembahasan konsep integrasi di atas dapat diturunkan menjadi kriteria-kriteria (beserta urgensi setiap kriteria) yang akan dipertimbangkan dalam analisis trase jalan secara otomatis di lingkungan sistem informasi geografi.

Dengan mengambil rencana pembangunan Jalan Tol Bawen – Yogyakarta sebagai studi kasus, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana perencanaan trase jalan tol yang mempertimbangkan aspek keterpaduan pembangunan infrastruktur kewilayahan, potensi dan sistem aktivitas wilayah, serta faktor pendukung dan penghambat pembangunan jalan dapat dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi analisis spasial multi-kriteria dan AHP, guna menghasilkan rencana trase jalan paling optimal?.

2. Apa kelebihan dan kekurangan hasil yang diperoleh apabila dibandingkan dengan produk perencanaan trase jalan tol yang dihasilkan oleh pemerintah?.

1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

(6)

1. Menerapkan perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta menggunakan analisis spasial multi-kriteria dan analisis least cost path, yang dikombinasikan dengan AHP.

2. Membandingkan dan mengevaluasi trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta yang diperoleh dengan trase yang dihasilkan dari kajian pemerintah (Kementerian PUPR), dalam konteks kemudahan konstruksi, risiko operasional, dan peran jalan tol dalam mendukung sistem aktivitas dan pengembangan wilayah.

1.3.2 Sasaran Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan dari penelitian, sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kriteria yang digunakan dalam perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta, beserta data yang digunakan dalam analisis trase.

2. Mengkaji kajian dan penelitian perencanaan trase jalan yang telah dilakukan, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, dengan fokus pada identifikasi kriteria perencanaan, data yang digunakan dan teknik penentuan rencana trase jalan.

3. Menyusun model alternatif perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta menggunakan analisis spasial multi-kriteria dan AHP.

4. Melakukan pemetaan kriteria, sub kriteria dan alternatif kriteria yang digunakan dalam model alternatif perencanaan trase Jalan Tol Bawen - Yogyakarta.

5. Mengevaluasi rencana eksisting trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta preferensi pemerintah berdasarkan kriteria dalam model alternatif perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta.

6. Mengkaji alternatif trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta menggunakan model alternatif perencanaan trase yang berbasis pada analisis spasial multi-kriteria dan AHP.

7. Mengkaji perbandingan rencana trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta hasil kombinasi analisis spasial multi-kriteria dan AHP dengan trase preferensi pemerintah.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Dilihat dari sisi kemanfaatan teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan konsep perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi secara kewilayahan melalui pemanfaatan analisis spasial multikriteria dan AHP. Hasil – hasil yang diperoleh dari penelitian diharapkan dapat menunjukkan kelebihan dari perencanaan pembangunan infrastruktur terintegrasi, terutama apabila dibandingkan dengan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur yang lebih konvensional.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dilihat dari sisi kemanfaatan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan contoh praktis penerapan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi secara kewilayahan, melalui penggunaan analisis spasial multikriteria dan AHP. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi praktik yang baik (best practice) bagi lembaga pemerintah, utamanya yang bertugas dalam penyediaan infrastruktur.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

1.5.1 Ruang Lingkup Substansi

Substansi dari penelitian yang dilakukan adalah salah satu elemen dalam perencanaan pembangunan infrastruktur jalan tol, yaitu pada penentuan trase jalan.

Dalam perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta yang menjadi obyek kajian, penentuan trase tidak hanya mempertimbangkan faktor fisik (geologi, topografi, tanah, penggunaan lahan eksisting), tetapi juga faktor – faktor lain yang mendukung integrasi pembangunan infrastruktur seperti rencana tata ruang wilayah provinsi hingga kabupaten/kota, rencana pembangunan infrastruktur lintas sektor dan lintas pemerintahan, serta potensi wilayah yang dapat didukung oleh keberadaan jalan tol. Berbagai faktor yang dipertimbangkan dalam perencanaan trase jalan tol kemudian dievaluasi urgensi hierarkisnya menggunakan teknik AHP, yang selanjutnya dijadikan masukan dalam analisis spasial multi-kriteria di lingkungan Sistem Informasi Geografi, untuk menentukan trase jalan tol yang memenenuhi urutan urgensi faktor – faktor yang dipertimbangkan tersebut.

(8)

Terkait dengan kriteria yang dilibatkan dalam penelitian, penelitian ini hanya membatasi pada kriteria dan sub kriteria yang dapat dispasialkan dalam bentuk peta/data spasial, sementara tidak semua kriteria perencanaan trase jalan tol dapat dispasialkan. Kriteria – kriteria yang belum dapat dispasialkan tersebut belum dipertimbangkan dalam penelitian ini. Kriteria – kriteria tersebut antara lain:

kemungkinan polusi udara dan tingkat kebisingan, analisis pola dan prediksi perubahan lalu lintas sebagai dampak keberadaan jalan tol, kesesuaian geometri jalan (alinemen horisontal dan vertikal), dan demografi (jumlah, sebaran dan kepadatan penduduk).

Walaupun sudah mempertimbangkan selengkap mungkin kriteria perencanaan yang relevan, kriteria yang digunakan dalam penelitian ini belum mencakup secara komprehensif kompleksitas karakteristik wilayah di lapangan.

Sebagai misal, aspek geoteknik tanah dan batuan belum mempertimbangkan kedalaman tanah, kedalaman batuan, tekstur tanah lengkap, daya dukung tanah, potensi galian dan timbunan (cut and fill), aspek lingkungan belum mempertimbangkan kemungkinan adanya migrasi satwa yang terpengaruh oleh keberadaan jalan, dan aspek nilai lahan belum mempertimbangkan kemungkinan spekulasi perubahan harga lahan. Hal ini dikarenakan belum tersedianya data yang mendukung untuk pelibatan kriteria – kriteria tersebut diatas.

Terkait dengan pendekatan yang digunakan untuk mengukur beban (cost) berbagai kriteria yang dilibatkan, penelitian ini membatasi pada penggunaan sistem skoring. Penilaian berbasis skoring ini merupakan pendekatan praktis dalam pemodelan dan analisis spasial, yang dapat menunjukkan tingkat urgensi setiap indikator yang dinilai, meskipun mungkin belum merepresentasikan kompleksitas dan dinamika beban (cost) dari kriteria dan alternatif kriteria secara penuh di lapangan.

Dilihat dari jenis data yang digunakan dan skala analisis yang dilakukan, penelitian ini menggunakan data sekunder dengan skala, kualitas, keterbaruan dan kedetilan informasi yang beragam, sejauh yang terbaik dan tersedia di wilayah penelitian. Data dengan kualitas yang beragam ini tentunya akan berpengaruh pada reliabilitas dan akurasi hasil analisis. namun mengingat bahwa data dengan skala

(9)

yang lebih detil dan akurat belum sepenuhnya tersedia di wilayah penelitian untuk beberapa kriteria yang dilibatkan, maka data ini yang digunakan.

1.5.2 Ruang Lingkup Wilayah

Penelitian ini dilaksanakan di koridor wilayah yang akan dilalui oleh Jalan Tol Bawen – Yogyakarta, yang meliputi beberapa kecamatan yang masuk di beberapa kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dilihat dari administrasi kabupaten/kota, area penelitian berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung Kabupaten Magelang dan Kota Magelang, yang merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah, serta Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulonprogo, yang merupakan bagian dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara lebih spesifik, kecamatan – kecamatan yang termasuk dalam area penelitian disajikan pada Tabel 1.1 dan Gambar 1.1.

TABEL I.1 WILAYAH KAJIAN

Kabupaten/Kota Kecamatan

Semarang - Bergas - Bawen - Bandungan - Sumowono

- Jambu - Banyubiru - Tuntang - Pringapus

- Ambarawa

Temanggung - Kaloran - Temanggung

- Kranggan - Pringsurat

- Tembarak - Selopampang Magelang - Secang

- Grabag - Windusari - Kaliangkrik - Bandongan - Ngablak - Pakis

- Tegalrejo - Candimulyo - Sawangan - Tempuran - Mertoyudan - Mungkid - Muntilan

- Borobudur - Salam - Ngluwar - Dukun - Dukun - Sawangan - Srumbung Kota Magelang - Magelang Utara - Magelang Selatan - Magelang Tengah

Sleman - Tempel

- Turi - Sleman - Minggir

- Pakem - Ngaglik - Mlati - Seyegan

-

Kulon Progo - Kalibawang

Sumber: Analisis, 2017

(10)

Sumber: Analisis, 2017

GAMBAR 1.1

WILAYAH KAJIAN, KORIDOR JALAN TOL BAWEN - YOGYAKARTA

1.6 Kerangka Pemikiran

Pembangunan infrastruktur di Indonesia sampai bergulirnya otonomi daerah masih bersifat sentralistik, sektoral, berorientasi pada hasil daripada program, dan sangat terpengaruh aspek politik. Karakteristik pembangunan infrastruktur seperti tersebut di atas menyebabkan pembangunan infrastruktur menjadi tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, kurang tersinkronisasi antar sektor dan antar tingkat pemerintahan, yang menyebabkan fungsi infrastruktur menjadi tidak optimal, memperbesar disparitas ekonomi antar wilayah, dan tidak berkelanjutan.

Kesadaran akan permasalahan yang muncul sebagai akibat dari tidak terintegrasinya perencanaan pembangunan infrastruktur memunculkan pemikiran perlunya penguatan aspek keterpaduan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur, sehingga infrastruktur yang terbangun dapat berfungsi lebih optimal, berdaya saing dan mempunyai nilai keberlanjutan.

(11)

Jalan tol merupakan salah satu jenis infrastruktur kewilayahan yang dalam proses perencanaan dan pembangunannya harus mempertimbangkan aspek integrasi. Hal ini dikarenakan jalan tol mempunyai fungsi strategis berupa penyediaan konektivitas intra dan antar wilayah. Melalui jalan tol yang terintegrasi, baik dengan rencana pembangunan infrastruktur wilayah yang lain maupun potensi wilayah yang ada, maka fungsi jalan tol akan lebih optimal daripada hanya sekedar mempercepat hubungan antar ujung dari jalan tol.

Perencanaan trase jalan tol yang mempertimbangkan aspek keterpaduan dapat diwujudkan melalui kombinasi analisis spasial multi-kriteria yang dikombinasikan dengan Analytical Hierarchical Process (AHP). AHP dapat digunakan untuk menyusun tingkatan urgensi setiap kriteria keterpaduan infrastruktur yang digunakan dalam penentuan trase jalan tol, berdasarkan hasil perumusan bersama pemangku kepentingan jalan tol. Hasil AHP kemudian menjadi masukan dalam proses penentuan skenario trase jalan tol guna menghasilkan trase jalan tol yang paling memenuhi aspek keterpaduan dan memiliki fungsi pengembangan wilayah paling optimal. Gambaran skematis dari kerangka pemikiran di atas disajikan pada Gambar 1.2 di bawah ini.

(12)

Sumber: Analisis, 2017

GAMBAR 1.2 KERANGKA PEMIKIRAN

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma post-positivistik, dimana paradigma post-positivistik merupakan paradigma yang mengakui bahwa akibat atau hasil akhir sangat ditentukan oleh sebab-sebab (kausal) yang melatarbelakanginya (Creswell, 2014). Dalam paradigma post-positivistik, permasalahan dikaji melalui identifikasi faktor-faktor penyebab yang

(13)

mempengaruhi hasil akhir. Identifikasi faktor – faktor dilakukan melalui observasi dan pengujian secara cermat terhadap realitas obyek. Pendekatan post-positivistik sangat dekat dengan pendekatan penelitian kuantitatif, karena dalam identifikasi dan observasi digunakan angka – angka sebagai ukuran. Penelitian yang berbasis paradigma post-positivistik sebagian besar merupakan pengujian teori, dimana data dikumpulkan untuk mendukung atau membantah teori tersebut, untuk kemudian diperbaiki dan diuji kembali.

Berdasarkan paradigma post-positivistik sebagaimana diuraikan di atas, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, dimana ukuran – ukuran realitas direpresentasikan dalam bentuk angka (Creswell, 2014), atau dalam konteks perencanaan pembangunan wilayah dalam bentuk struktur kuantitatif spasial, yang disebut model spasial (Bernstein et al. 1973). Selanjutnya, Bernstein et al (1973) merumuskan tiga langkah pemodelan spasial dalam perencanaan kota/wilayah dalam tiga langkah, dimana tiga langkah tersebut akan diadopsi dalam penelitian ini. Langkah-langkah tersebut terdiri dari: (1) mendefinisikan informasi yang relevan mengenai permasalahan wilayah, yang dideskripsikan dalam bentuk model; (2) menyusun penjelasan alternatif dari realita lapangan melalui model, dengan cara mengimplementasikan langkah – langkah kebijakan terhadap model guna mengetahui seberapa jauh perubahan terjadi dari kondisi awal; dan (3) mengevaluasi dampak yang terjadi dengan cara menghitung perubahan dari kondisi awal model dengan kondisi setelah implementasi.

1.7.2 Obyek dan Subyek Penelitian 1.7.2.A Obyek Penelitan

Obyek penelitian adalah suatu fenomena yang hendak diteliti guna memperoleh pemahaman yang lebih baik atas fenomena tersebut. Obyek dalam penelitian ini adalah Jalan Tol yang menghubungkan Kecamatan Bawen, dimana di wilayah Kecamatan Bawen tersebut sudah terdapat jaringan Jalan Tol Trans Jawa, menuju Kota Yogyakarta melewati Ambarawa dan Magelang. Jalan Tol ini masih dalam tahap perencanaan dan sementara ini bernama Jalan Tol Bawen-Yogyakarta, sampai ditetapkan nama yang resmi dari pemerintah.

(14)

1.7.2.B Subyek Penelitan

Subyek dalam penelitian ini adalah para pihak yang diharapkan dapat memberikan informasi mengenai urgensi setiap variabel yang dilibatkan dalam penelitian. Para pihak ini meliputi pemerintah, yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR, dan Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Selain itu, para pihak dalam penelitian ini juga mempertimbangkan pandangan dari akademisi maupun praktisi yang berpengalaman terkait jalan tol.

1.7.3 Pengumpulan Data 1.7.3.A Identifikasi Kriteria

Kriteria merupakan ukuran yang menjadi dasar dalam menilai sesuatu.

Kriteria dalam evaluasi spasial multi-kriteria merupakan dasar dalam menentukan obyek yang dievaluasi sudah sesuai dengan ketentuan (requirements) atau belum.

Kriteria, sub kriteria dan alternatif untuk trase jalan tol diturunkan dari hasil kajian pustaka. Kriteria dan turunannya yang teridentifikasi kemudian diformulasikan dalam sebuah kuesioner, untuk kemudian dikonfirmasi lebih lanjut kepada pemangku kepentingan melalui survei wawancara. Dari hasil survei lapangan dan wawancara pemangku kepentingan, hasil penilaian kriteria, sub kriteria dan alternatif yang diperoleh kemudian dianalisis lebih lanjut bobot dan skornya menggunakan AHP. Hasil identifikasi kriteria, sub kriteria, dan kelas kesesuaian setiap alternatif beserta bobot dan skornya kemudian menjadi dasar dalam analisis spasial multi-kriteria untuk memperoleh alternatif trase jalan tol terbaik.

1.7.3.B Jenis dan Sumber Data

Dari hasil perumusan kriteria, sub kriteria dan kelas kesesuaian setiap alternatif sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kemudian dicari sumber data yang sesuai. Sumber data dapat berupa data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi dan lembaga. Hasil identifikasi sumber data tersebut disajikan di Tabel 1.2.

(15)

TABEL I.2

JENIS DAN SUMBER DATA

Jenis Data Sumber dan Lembaga Pemilik Data Keterangan Data Penggunaan lahan Interpretasi Citra Satelit Tegak SPOT-6/7 Resolusi 1,5

meter Tahun 2016-2017 (BIG-LAPAN)

Data Sekunder

Topografi dan Lereng IFSAR DEM dari Satelit TERRASAR-X resolusi 8 meter (BIG - LAPAN)

Data Sekunder

Kawasan Lindung Alami

RTRW Provinsi Jawa Tengah dan RTRW Kabupaten yang dilalui jalan tol (BAPPEDA)..

Data Sekunder

Kawasan Lindung Kultural (candi dan situs arkeologi)

Peta Sebaran Candi dan Situs Arkeologi di wilayah penelitian hasil kajian Degroot (2009).

Data Sekunder

Kawasan Rawan Bencana Gunungapi

Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, Sindoro dan Sumbing (Badan Geologi)

Data Sekunder

Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah

Peta Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah Kabupaten Semarang, Magelang, Temanggung, Sleman, Kulonprogo, dan Kota Magelang (Badan Geologi)

Data Sekunder

Kawasan Rawan Bencana Banjir

Peta Kawasan Rawan Banjir dalam RTRW Kabupaten/Kota (BAPPEDA Kabupaten/Kota)

Data Sekunder

Kawasan Rawan Bencana Gempabumi

Peta Gempa Indonesia 2017 (Kementerian PUPR) Data Sekunder

Tekstur Tanah Data Tekstur Tanah Global Resolusi 250 meter (ISRIC – World Soil Information)

Data Sekunder

Harga lahan Peta Zona Nilai Tanah Tahun 2016 (BPN) Data Sekunder Kondisi Geologi dan

Jenis Batuan

Peta Geologi Inderaja Skala 1:50.000 (Pusat Survei Geologi, Badan Geologi)

Data Sekunder

Lokasi Industri, Obyek Wisata dan Pusat Kegiatan

Survei Lapangan, RTRW Provinsi, Kabupaten, Kota Data Primer dan Sekunder

Jaringan Jalan Nasional, Provinsi Kabupaten dan Rel Kereta Api

Peta Jaringan Jalan Nasional Tahun 2015 (Kementerian PUPR) dan Jaringan Jalan Provinsi/Kabupaten (Dinas PU Provinsi/Kabupaten.

Data Sekunder

Jaringan Rel Kereta Api

Peta Topografi Skala 1: 50.000 Tahun 1915 oleh Jawatan Topografi Hindia Belanda dan Survei Lapangan

Data Primer dan Sekunder

Jaringan Sungai Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 / Interpretasi Citra SPOT-6/7

Data Sekunder

Rencana Trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta versi pemerintah

Hasil Studi Kelayakan Proyek Pembangunan Jalan Tol Bawen – Yogyakarta (Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR)

Data Sekunder

Sumber: Analisis, 2017

(16)

1.7.3.C Pemangku Kepentingan (Stakeholder) yang Dilibatkan

Pemangku kepentingan dalam penelitian ini adalah pihak – pihak yang berperan dalam pembangunan jalan tol. Informasi dari pemangku kepentingan akan memberikan informasi yang obyektif dan dapat dipercaya mengenai indikator dan kriteria yang dianggap penting dalam pembangunan jalan tol. Informasi dari pemangku kepentingan diharapkan dapat memberikan hasil pembobotan kriteria dan sub-kriteria yang lebih obyektif dan sesuai dengan kenyataan lapangan. Hasil identifikasi pemangku kepentingan yang dianggap relevan untuk setiap kelompok disajikan pada Tabel 1.3 di bawah ini.

TABEL I.3

NARA SUMBER YANG DILIBATKAN DALAM PENENTUAN BOBOT DAN SKOR Pemangku Kepentingan Representasi Pemangku Kepentingan 1. Direktorat Jenderal Bina Marga

Kementerian PUPR

2. Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR

3. Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan, Balitbang Kementerian PUPR

4. Praktisi/akademisi/pemerhati kebijakan Transportasi

1. Kepala Sub Direktorat Teknik Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Perkotaan, Dirjen Bina Marga

2. Kepala Bidang Teknik BPJT

3. Peneliti Ahli Perencanaan Jalan Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan, Kementerian PUPR

4. Ir. Djoko Setijowarno, MT.

Sumber: Analisis, 2017

1.7.3.D Teknik Pengumpulan Data

1.7.3.D.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilaksanakan langsung di lapangan dengan mengunjungi dan mewawancarai setiap pemangku kepentingan yang teridentifikasi di Tabel 1.4. Data primer yang ingin diperoleh adalah persepsi setiap pemangku kepentingan mengenai keberadaan dan urgensi dari jalan tol terhadap kegiatan dan aktivitas yang dilakukan setiap pemangku kepentingan. Hasil wawancara dan isian kuesioner pemangku kepentingan selanjutnya menjadi input dalam AHP guna menentukan bobot dan skor setiap variabel/kriteria.

(17)

Selain wawancara, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui observasi lapangan. Observasi lapangan utamanya dilakukan untuk memperoleh informasi tambahan terhadap komparasi trase jalan versi hasil penelitian dengan kajian pemerintah. Selain itu, observasi lapangan juga dilakukan untuk memperbarui data dan informasi dari data sekunder yang perlu diverifikasi dan diperbaharui, seperti misalnya lokasi industri baru, tempat wisata baru, dan perubahan penggunaan lahan.

1.7.3.D.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilaksanakan langsung dengan cara mengunjungi setiap instansi yang teridentifikasi pada Tabel 1.2. Instansi – instansi tersebut merupakan instansi yang teridentifikasi memiliki data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tugas dan fungsi instansi tersebut. Hasil data yang diperoleh kemudian dikompilasi untuk selanjutnya dikombinasikan dengan data primer untuk dianalisis lebih lanjut.

1.7.4 Analisis Data

1.7.4.A Pengurutan Hirarkis Faktor dan Kriteria

Dari hasil perumusan kriteria, sub kriteria dan kelas kesesuaian setiap alternatif yang telah diuraikan pada sub bab 1.7.3.A, selanjutnya kriteria dan sub kriteria diurutkan secara hirarkis untuk menggambarkan dasar pengambilan keputusan mana kriteria dan sub kriteria yang harus diprioritaskan daripada kriteria dan sub kriteria lainnya. Selain itu, urutan hirarkis dari kriteria dan sub kriteria merupakan dasar dalam proses perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dalam AHP guna menentukan kriteria dan sub kriteria mana yang lebih penting dan harus diprioritaskan. Saaty (1987) membagi urutan hirarki kriteria dan sub kriteria menjadi dua jenis, yaitu hirarki penuh dan hirarki tidak penuh. Suatu urutan hirarki disebut penuh apabila semua elemen dalam satu tingkat memiliki semua elemen di tingkat berikutnya sebagai keturunan, sedangkan hirarki tidak penuh merujuk pada kondisi dimana elemen pada satu tingkat hanya memiliki beberapa elemen spesifik di tingkat berikutnya sebagai keturunan (Gambar 1.3).

(18)

Hirarki Penuh Hirarki Tidak Penuh

Sumber: Modifikasi dari Saaty, 1987

GAMBAR 1.3

URUTAN HIRARKI KRITERIA DALAM AHP

Dalam penelitian ini, urutan hirarkis dari kriteria dan sub kriteria yang digunakan adalah hirarki tidak penuh. Hal ini dikarenakan setiap alternatif pada setiap kriteria ataupun sub kriteria tertentu tidak berhubungan dengan kriteria dan sub kriteria lainnya.

1.7.4.B Pembobotan Kriteria dan Sub Kriteria Menggunakan AHP

Pembobotan kriteria dan sub kriteria dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1987). AHP dapat digunakan untuk mendeskripsikan proses pengambilan keputusan dengan cara menguraikan permasalahan menjadi sebuah struktur hierarkis bertingkat dari tujuan, kriteria dan sub kriteria yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Penentuan bobot kriteria dan sub kriteria menggunakan AHP dilaksanakan dengan urutan langkah sebagai berikut:

1. Menentukan jenis-jenis kriteria yang akan menjadi persyaratan.

2. Menyusun kriteria tersebut dalam bentuk matriks berpasangan.

Catatan : Cara pengisian elemen-elemen pada matriks berpasangan adalah:

a. Elemen a [i,i] = 1 dimana i = 1,2,3,…n b. Elemen matriks segitiga atas sebagai input

(19)

TABEL I.4

INTENSITAS KEPENTINGAN DALAM AHP Intensitas

Kepentingan

Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan

Sumber: Saaty, 1987

c. Elemen matriks segitiga bawah mempunyai rumus 𝑎 [𝑗, 𝑖] = 1

𝑎 [𝑖,𝑗] untuk i ≠ j.

3. Menjumlahkan matriks kolom.

4. Menghitung nilai elemen kolom variabel dengan rumus masing-masing elemen kolom dibagi dengan jumlah matriks kolom.

5. Menghitung nilai prioritas kriteria dengan rumus menjumlah matriks baris hasil langkah ke 4 dan hasilnya 5 dibagi dengan jumlah kriteria.

6. Menentukan sub kriteria yang akan menjadi pilihan.

7. Menyusun sub kriteria yang telah ditentukan dalam bentuk matriks berpasangan untuk masing-masing sub kriteria. Sehingga akan ada sebanyak n buah matriks berpasangan antar sub kriteria.

8. Masing-masing matriks berpasangan antar sub kriteria sebanyak n buah matriks, masing-masing matriksnya dijumlah per kolomnya.

9. Menghitung nilai prioritas sub kriteria masing-masing matriks berpasangan antar sub kriteria dengan rumus seperti langkah 4 dan 5.

10. Menguji konsistensi setiap matriks berpasangan antar kriteria dan sub kriteria dengan rumus masing-masing elemen matriks berpasangan pada langkah 2 dikalikan dengan nilai prioritas kriteria/sub kriteria. Hasilnya

(20)

masing-masing baris dijumlah, kemudian hasilnya dibagi dengan masing- masing nilai prioritas kriteria/sub kriteria sebanyak λ1, λ2, λ3,..., λn.

11. Menghitung Lamda max dengan rumus λ 𝑚𝑎𝑥 =∑λ

𝑛

12. Menghitung Indeks Konsistensi (CI ) dengan rumus:

CI =λ max − 𝑛 𝑛 − 1

13. Menghitung Rasio Konsistensi (CR) dengan rumus CR = CI

𝑅𝐼

Dimana RI adalah indeks random konsistensi. Daftar RI disajikan pada Tabel 1.5.

TABEL I.5

NILAI INDEKS RANDOM

Ukuran Matriks

1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Nilai RI 0,00 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 ,159

Sumber: Saaty, 1987

Jika CR < 0,1, maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks variabel yang diberikan hasilnya berarti konsisten. Jika CR > 0,1, maka maka nilai perbandingan berpasangan pada matriks kriteria/sub kriteria yang diberikan hasilnya tidak konsisten.

14. Hasil akhirnya berupa prioritas global bobot kriteria dan sub kriteria, yang digunakan sebagai nilai urgensi setiap kriteria dan sub kriteria dalam analisis spasial multi-kriteria.

15. Untuk mengintegrasikan bobot kriteria dan sub kriteria dari berbagai narasumber yang dilibatkan, hasil bobot dari seluruh narasumber dirata- ratakan menggunakan teknik perataan geometrik. Teknik perataan geomerik lebih dipilih daripada perataan aritmatik karena yang diintegrasikan adalah nilai bobot dari setiap narasumber, bukan urutan prioritas dari setiap narasumber. Dengan demikian, berlaku hukum inversi sesuai aksiom pertama dari AHP (hasil dari 2*5 adalah kebalikan dari (1/2)*(1/5)), yang hanya bisa dipenuhi oleh rata – rata geometrik (Forman

(21)

dan Peniwati, 1998). Rata-rata geometrik dapat dihitung dengan rumus di bawah ini.

Dimana y adalah nilai bobot setiap narasumber dari hasil pengolahan AHP. 16. Jumlah nilai bobot dari perataan bobot secara geometrik biasanya kurang

dari 1 (untuk skala fraksi) atau kurang dari 100 (untuk skala persentase).

Untuk menghasilkan jumlah nilai bobot 1 atau 100%, maka nilai bobot yang diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata geometrik dinormalisasikan menggunakan rumus di bawah ini.

𝑊𝑎i = 𝑊𝑎o

∑ 𝑊𝑛o dimana 𝑛 = 𝑎, 𝑏, 𝑐, 𝑑 … . . 𝑛

Wai = Nilai bobot geometrik ternormalisasi dari kriteria a Wao = Nilai bobot geometrik dari kriteria a.

Wno = Nilai bobot geometrik dari kriteria n, dimana n = kriteria a, kriteria b dan seterusnya.

1.7.4.C Standarisasi Skor Alternatif Kriteria

Penentuan trase jalan tol terbaik berbasis analisis spasial multi-kriteria melibatkan serangkaian kriteria, sub kriteria dan alternatif yang mempunyai skala dan nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan skala dan nilai ini akan berpengaruh pada ketepatan hasil analisis apabila tidak dilakukan standarisasi (Drobne dan Lisec, 2009). Untuk itu, sebelum diintegrasikan dalam analisis, setiap alternatif dari sub kriteria dilakukan klasifikasi ulang menjadi beberapa kelas kesesuaian dengan standar skor relatif untuk setiap tingkatan kelas kesesuaian.

Asumsi yang digunakan adalah, makin tinggi skor dari alternatif, maka semakin tidak direkomendasikan sebagai alternatif yang baik untuk trase jalan tol. Gambaran kriteria klasifikasi dan standarisasi skor untuk setiap kelas kesesuaian disajikan pada Tabel 1.6.

(22)

TABEL I.6

SKEMA KLASIFIKASI KESESUAIAN ALTERNATIF KRITERIA DAN SKOR

Faktor Kriteria Sub Kriteria Alternatif Skor

Referensi Klasifikasi dan

Skoring

Fisik / Geoteknik

Tanah Tekstur Tanah

Persentase Pasir 0 -30% 9

Klasifikasi Statistik Natural

Breaks Persentase Pasir 30 -80% 5

Persentase Pasir 80 -100% 1

Geologi Jenis Batuan

Endapan material kuarter

(aluvium, koluvium), breksi 1

Diskusi dengan para ahli Batuan beku ekstruksi dan

sedimen (batu pasir, batu lempung, tuf)

5

Batuan Beku Intrusi

(andesit, Granit, Diorit) 9

Lingkungan

Kawasan Lindung Alami

Jenis Kawasan Lindung

Bukan Kawasan Lindung 1 Modifikasi Kushari et al.

(2015) dan diskusi dengan

para ahli Hutan lindung, taman

nasional, hutan suaka alam, 9 Kawasan

Lindung Kultural

Jarak dari Cagar Budaya/Sejarah

0 - 500 meter 9 Diskusi dengan

para ahli

> 500 meter 1

Sosial

Penggunaan Lahan

Jenis Penggunaan Lahan

Semak, Alang-alang, lahan

terbuka, padang rumput, 1

Modifikasi Kushari et al.

(2015) dan diskusi dengan

para ahli peternakan, kebun, tegalan,

ladang 3

Sawah, peternakan, kebun,

perkebunan 5

Permukiman jarang,

pemakaman 7

Kawasan Industri, Jasa dan Perdagangan, Tempat Bersejarah, permukiman padat, Danau

9

Nilai/Harga Lahan

Nilai/Harga Lahan

7.000 - 180.000 1

Klasifikasi Statistik Natural

Breaks 180.000 - 2.100.000 5

> 2.100.000 9

Sistem Aktivitas Wilayah

Sistem aktivitas Wilayah

Jarak dari lokasi industri

0 - 5 km 1

Klasifikasi Statistik Equal

Interval

5 - 10 km 5

> 10 km 9

Jarak dari Pusat Kegiatan/Pelayan an

0 - 5 km 1

5 - 10 km 5

> 10 km 9

0 - 5 km 1

(23)

Faktor Kriteria Sub Kriteria Alternatif Skor

Referensi Klasifikasi dan

Skoring Jarak dari Obyek

Wisata

5 - 10 km 5

> 10 km 9

Keamanan Operasi dan Beban Konstruksi

Beban Konstruksi

Persilangan dengan Jalan

kawasan di luar rumija,

rumaja, ruwasja 1

Diskusi dengan para ahli

Jalan Lokal 3

Jalan Kabupaten 5

Jalan Provinsi 7

Jalan Nasional 9

Persilangan dengan Jalur Kereta Api

Bukan wilayah jalur kereta

api 1

Jalur Kereta Api Aktif / Non

Aktif 9

Persilangan dengan Sungai (cost diperkirakan dari Orde Sungai)

Orde 1 1

Diskusi dengan para ahli Orde 2 sampai Orde 3 3

Orde 4 5

Orde 5 7

Orde 6 hingga orde 7 9

Ancaman Bencana

Kawasan Rawan Longsor

Tidak terancam Longsor 1

Standar Konstruksi dan

Bangunan No.

007/BM/2009, dan Diskusi dengan para ahli Ancaman Longsor Rendah 3

Ancaman Longsor Sedang 5 Ancaman Longsor Tinggi 9

Kawasan Rawan Banjir

Tidak terancam Banjir 1 Ancaman Banjir Rendah 3 Ancaman Banjir Sedang 5 Ancaman Banjir Tinggi 9

Kawasan Rawan Gempabumi

Percepatan Gempa 0 - 0,25 g 1 Percepatan Gempa 0,25 - 0,3

g 3

Percepatan Gempa 0,3 - 0,4

g 5

Kawasan Rawan Letusan

Gunungapi

Bukan Kawasan Rawan

Bencana 1

KRB I 3

KRB II 5

KRB III 9

Sumber: Analisis, 2017

Penelitian ini tidak menggunakan pendekatan statistik dalam penentuan keanggotaan alternatif kriteria dalam sebuah kelas kesesuaian, melainkan

(24)

menggunakan pendekatan penilaian ahli (expert judgment) dan literatur eksisting.

Pertimbangan penggunaan penilaian ahli dalam klasifikasi alternatif kriteria didasarkan pada kebutuhan untuk melibatkan pengalaman lapangan terkait kesesuaian dari alternatif kriteria terhadap pengambilan keputusan terkait trase jalan tol, yang mana pengalaman lapangan ini tidak akan terwakili apabila dilakukan klasifikasi berbasis statistik terhadap setiap sub kriteria (Muxika et al.

2007). Oleh karena itu, survei wawancara dan kuesioner dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk memperoleh informasi sebagai masukan proses AHP, tetapi juga memperoleh informasi rekomendasi klasifikasi terhadap alternatif kriteria.

1.7.4.D Analisis Spasial Multi-kriteria Untuk Menentukan Cumulative Cost Surface (CCS).

Analisis dan Evaluasi Spasial Multi-kriteria dilaksanakan dalam lingkungan Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui operasi Map Algebra berbasis struktur data raster/grid. Evaluasi Spasial Multi-kriteria memerlukan nilai bobot setiap kriteria dan sub kriteria untuk menentukan variabel mana yang lebih penting dalam penentuan trase terbaik. Nilai bobot ini diperoleh dari proses AHP yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya.

Proses penentuan trase terbaik rencana jalan tol dalam penelitian ini menggunakan teknik least cost path analysis. Teknik least cost path merupakan sebuah teknik penentuan jarak tersingkat dari satu lokasi menuju lokasi lain berdasarkan sebuah data permukaan berbasis raster (surface raster) yang disebut Accumulated Cost Surface (Douglas, 1994). Douglas (1994) mendefinisikan ACS sebagai representasi dasimetris dalam bentuk model grid permukaan bumi, yang merujuk pada seberapa besar sumber daya yang harus dikeluarkan (cost) atau seberapa besar hambatan (frictions) yang harus dilalui di atas model permukaan bumi tersebut. Dalam pemodelannya, ACS diperoleh dari kumulasi cost (disebut Cumulative Cost Surface/CCS) yang diperoleh dari hasil analisis spasial multi- kriteria tumpang susun (overlay) berbagai faktor yang dianggap berpengaruh terhadap cost obyek yang menjadi tujuan analisis. Dalam penelitian ini, CCS diperoleh dari hasil tumpang susun berbagai data dasar (lihat Tabel 1.2) yang telah diurutkan, diberikan skor dan dihitung nilai bobotnya sesuai dengan hasil AHP.

Terdapat beberapa algoritma pembuatan CCS yang telah dikembangkan, salah

(25)

satunya adalah teknik Weighted Linear Combination, yang sudah terimplementasi di kebanyakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi.

Teknik Weighted Linear Combination (WLC) atau sering dikenal sebagai weighted overlay (dalam terminologi perangkat lunak ArcGIS disebut Weighted Sum) adalah teknik integrasi data spasial menggunakan operasi tumpang susun beberapa data spasial (layer spasial) dengan memberikan bobot dan skor untuk setiap layer data spasial sesuai dengan tingkat penting tidaknya (importance) layer data tersebut. Perhitungan WLC (Drobne dan Lisec, 2009) dilaksanakan menggunakan rumus di bawah ini.

𝑆𝑖 = ∑ 𝑤𝑖 𝑥𝑖 Dimana: Si = Nilai kesesuaian kriteria i

wi =Bobot kriteria i xi = Skor kriteria i

Untuk menentukan ACS dari data CCS, pertama ditentukan terlebih dahulu titik awal trase. Dari titik tersebut, kemudian dihitung nilai akumulatif cost untuk setiap piksel tetangganya berdasarkan nilai cost piksel titik awal dan nilai cost piksel yang bersebelahan. Nilai cost akumulatif yang diperoleh kemudian dijumlahkan ke nilai cost piksel tetangga berikutnya, dan terus diiterasikan sampai seluruh piksel area penelitian dihitung. Hasil data spasial dari akumulasi cost ini yang disebut dengan ACS.

1.7.4.E Pemodelan Accumulated Cost Surface (ACS) dan Analisis Least Cost Path (LCP) Untuk Menentukan Trase Terbaik.

Perhitungan ACS dalam di dalam SIG dapat dilakukan berdasrkan dua pendekatan, yaitu pendekatan isotropis dan pendekatan anisotropis (Yu et al. 2003).

Pendekatan Isotropis merupakan pendekatan dimana pergerakan perhitungan akumulasi cost ke semua arah dianggap sama, sedangkan pendekatan anisotropis mempertimbangkan pergerakan akumulasi cost ke semua arah (baik horisontal maupun vertikal) mempunyai implikasi pertambahan cost yang berbeda. Di dalam perangkat lunak ArcGIS, kalkulasi ACS berdasarkan pendekatan isotropis dapat

(26)

dilakukan menggunakan cost distance tool, sedangkan pendekatan anisotropis menggunakan path distance tool.

Penghitungan ACS baik secara isotropis maupun anisotropis memerlukan data CCS yang diperoleh dari hasil operasi WLC. Perbedaannya adalah, pada pendekatan anisotropis, selain memerlukan informasi CCS, operasi anisotropis juga memerlukan dua data masukan lain, yaitu data faktor horisontal dan faktor vertikal.

Kedua data ini dapat dilibatkan salah satu atau keduanya dalam menentukan ACS akhir. Faktor horisontal akan menentukan hambatan (friction) yang akan menambah cost dari arah pergerakan secara horisontal (0 sampai 360 derajat), sedangkan faktor vertikal akan menentukan hambatan dalam pergerakan vertikal menanjak (0 sampai 90 derajat) atau menurun (0 sampai -90 derajat).

Perhitungan ACS dalam perangkat lunak ArcGIS (algoritma djikstra dengan jenis gerakan queen) menggunakan pendekatan isotropis (cost distance tool) dilaksanakan menurut rumus berikut ini:

Dalam situasi piksel A berpindah ke piksel B secara perpendicular (sejajar dan tegak lurus), maka akumulasi cost di piksel B (a1) dihitung berdasarkan rumus:

a1 = (costA + costB) / 2

Dimana: costA = Nilai Cost Piksel A costB = Nilai Cost Piksel B

Selanjutnya, piksel B berpindah ke piksel C secara perpendicular (sejajar dan tegak lurus), maka akumulasi cost di piksel C (a2) dihitung berdasarkan rumus:

a2 = a1 + (costB + costC) / 2 Dimana: costB = Nilai Cost Piksel B

costC = Nilai Cost Piksel C

Untuk kondisi dimana piksel A berpindah ke piksel B secara diagonal, maka akumulasi cost di piksel B (a1) dihitung berdasarkan rumus:

a1 = 1.414214 (costA + costB) / 2 Dimana: costA = Nilai Cost Piksel A

costB = Nilai Cost Piksel B

Jika pendekatan yang digunakan adalah pendekatan anisotropis (path distance tool), maka rumus perhitungannya menjadi:

Dalam situasi piksel A berpindah ke piksel B secara perpendicular (sejajar dan tegak lurus), maka akumulasi cost di piksel B (a1) dihitung berdasarkan rumus:

(27)

a1 = (((costA*hfA) + (costB*hfB)) / 2) * Surface distance AB * vfAB

Dimana: costA = Nilai Cost Piksel A

costB = Nilai Cost Piksel B

hfA = Nilai Faktor Horisontal Piksel A hfB = Nilai Faktor Horisontal Piksel B

surface distance AB = Jarak permukaan antara piksel A dan piksel B vfAB = Faktor vertikal dari Piksel A ke piksel B

Untuk kondisi dimana piksel A berpindah ke piksel B secara diagonal, maka akumulasi cost di piksel B (a1) dihitung berdasarkan rumus:

a1 = (((costA*hfA) + (costB*hfB)) / 2) * Surface distance AB * vfAB *1.414214 Sumber: ESRI

Penelitian ini menggunakan pendekatan anisotropis, oleh karena itu faktor topografi melalui penggunaan DEM dalam penelitian ini tidak dilibatkan dalam analisis spasial multi-kriteria dan operasi WLC untuk menentukan CCS, namun dilibatkan dalam penentuan ACS, baik sebagai faktor horisontal (arah hadap lereng), faktor vertikal (kemiringan lereng), maupun jarak diatas permukaan bumi (surface distance).

Implementasi Faktor Horisontal dan Faktor Vertikal dalam penentuan ACS secara anisotropis di dalam perangkat lunak ArcGIS dapat dilakukan dengan menyusun tabel faktor horisontal dan tabel faktor vertikal terlebih dahulu. Tabel faktor horisontal dan vertikal ini nantinya digunakan sebagai dasar untuk menentukan nilai beban (cost) dari data friksi horisontal (arah hadap lereng) dan friksi vertikal (kemiringan lereng). Untuk studi kasus penelitian, friksi horisontal dipertimbangkan untuk memfasilitasi pemilihan trase jalan yang menghindari arah matahari terbit dan matahari tenggelam, agar pada saat beroperasi nantinya pengguna jalan tidak mengalami masalah gangguan pandangan akibat silau.

Sedangkan friksi vertikal (kemiringan lereng) merupakan representasi dari peningkatan beban dan biaya, baik pada saat konstruksi maupun operasi, sebagai akibat pertambahan kemiringan lereng.

Format tabel faktor horisontal dan vertikal terdiri dari dua kolom, kolom pertama menunjukkan sudut dari faktor yang bersangkutan, dan kolom yang kedua adalah nilai beban (cost) yang dikenakan pada sudut tersebut. Tabel faktor horisontal dan vertikal yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel

(28)

1.7, dan grafik fungsinya disajikan pada Gambar 1.4 dan Gambar 1.5. Keterangan INF pada tabel dan grafik faktor vertikal mengindikasikan beban yang terlalu besar, sehingga area dengan kemiringan lereng tersebut tidak bisa dilewati (impassable).

TABEL I.7

TABEL FAKTOR VERTIKAL DAN FAKTOR HORISONTAL

FAKTOR VERTIKAL FAKTOR HORISONTAL

Kemiringan Lereng (Derajat)

Nilai Beban (Cost)

Arah Hadap Lereng

(Derajat) Nilai Beban (Cost)

(-45) - (-90) INF 0 - 22.5 1

(-25) - (-45) 32 22.5 - 67.5 7

(-15) - (-25) 9 67.5 - 112.5 9

(-12) - (-15) 7 112.5 - 157.5 3

(-9) - (-12) 5 157.5 - 202.5 1

(-3) - (-9) 3 202.5 - 247.5 7

0 - (-3) 1 247.5 - 292.5 9

0 - 3 1 292.5 - 337.5 3

3 - 9 3 337.5 - 360 1

9 - 12 5

12 - 15 7

15 - 25 9

25 - 45 32

16 - 90 INF

Sumber: Yu et al (2003) dengan modifikasi, dan ESRI

Sumber: Yu et al (2003) dengan modifikasi, dan ESRI

GAMBAR 1.4

GRAFIK FAKTOR VERTIKAL

(29)

Sumber: Yu et al (2003) dengan modifikasi, dan ESRI

GAMBAR 1.5

GRAFIK FAKTOR HORISONTAL

Ilustrasi perhitungan pembuatan CCS, ACS dan perhitungan least cost path berdasarkan ACS yang terbentuk disajikan pada Gambar 1.6 dan Gambar 1.7.

Dalam Gambar 1.6 terdapat dua kriteria untuk menentukan trase jalan, yaitu kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Kedua kriteria telah dilakukan skoring sesuai dengan kelas kesesuaiannya Kriteria kemiringan lereng mendapat bobot sebesar 0,75, dan kriteria penggunaan lahan mendapat bobot sebesar 0,25. Dengan demikian, kalkulasi CCS menggunakan rumus perhitungan WLC dengan mengambil contoh pada piksel di sudut kiri atas adalah (3 * 0,75) = 2,25 dan (1 * 0,25) = 0.25. Penjumlahan dari 2,25 dan 0,25 adalah 2,5 yang disimpan pada data keluaran CCS. Proses perhitungan kemudian dilanjutkan untuk piksel lain sampai keseluruhan dari CCS terbentuk.

(30)

Sumber: Analisis, 2018

GAMBAR 1.6

ILUSTRASI PEMBUATAN CUMULATIVE COST SURFACE (CCS)

Dari CCS yang terbentuk pada Gambar 1.6, perhitungan ACS dapat dilakukan melalui penghitungan akumulasi sesuai rumus akumulasi cost, dimulai dari dari piksel titik awal. Sebagai contoh, nilai piksel ACS piksel kedua di sebelah kanan dari piksel titik awal adalah 9. Nilai ini diperoleh dari penjumlahan nilai cost piksel pertama sebelah kanan piksel awal yang bernilai 6,75 ditambah piksel kedua yang bernilai 4,5, kemudian dibagi 2, dan ditambah nilai ACS dari piksel pertama di sebelah kanan dari titik awal yang bernilai 3,375, dan seterusnya. Adapun untuk identifikasi trase terbaik menggunakan analisis least cost path dilakukan dengan cara mengidentifikasi piksel dengan nilai ACS terendah dimulai dari titik akhir ke titik awal (backlinking). Jalur dengan akumulasi nilai ACS terendah merupakan jalur dengan hambatan terendah atau beban (cost) paling minimal, sehingga dapat disimpulkan sebagai rekomendasi trase terbaik.

Sumber: Analisis, 2018

GAMBAR 1.7

ILUSTRASI PEMBUATAN ACS DAN LCP

(31)

1.7.4.F Penentuan Titik Awal dan Titik Akhir Trase Jalan Tol

Titik awal lokasi dimulainya rencana jalur jalan, dan titik akhir adalah lokasi berakhirnya dari jalur jalan. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, setiap jalan tol yang dibangun harus tersambung satu sama lain, dan karena Jalan Tol Bawen – Yogyakarta merupakan cabang dari Jaringan Jalan Tol Trans Jawa, maka rencana jalan tol harus terhubung dengan Jaringan Jalan Tol Trans Jawa yang sudah terbangun. Oleh karena itu, titik awal dari rencana jalan tol telah ditetapkan di Gerbang Tol Bawen (Gambar 1.8).

Sumber: Google Map dan Survei Lapangan, 2018

GAMBAR 1.8

TITIK AWAL TRASE JALAN TOL BAWEN - YOGYAKARTA Berdasarkan kajian terakhir yang dilakukan oleh pemerintah pada saat penelitian ini dilakukan, titik akhir dari rencana Jalan Tol Bawen – Yogyakarta adalah di peralihan antara Jalan Lingkar Barat Yogyakarta dan Jalan Lingkar Utara Yogyakarta (sekarang bernama Jalan Siliwangi), tepatnya pada koordinat 7.744106 LS dan 110.344124 BT (Gambar 1.9).

Sumber: Google Map dan Survei Lapangan, 2018

GAMBAR 1.9

TITIK AKHIR TRASE JALAN TOL BAWEN - YOGYAKARTA

(32)

Titik awal dan titik akhir sebagaimana telah dijelaskan di atas digunakan sebagai lokasi awal dan akhir trase jalan dalam analisis ACS dan LCP.

1.7.4.G Diagram Proses Analisis

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada Sub Bab Analisis Data diatas, gambaran seluruh proses analisis yang dilakukan secara skematis disajikan pada Gambar 1.10 di bawah ini.

Sumber: Analisis, 2018

GAMBAR 1.10

DIAGRAM PROSES ANALISIS

1.7.4.H Komparasi dan Evaluasi Dengan Trase Pemerintah

Komparasi dan evaluasi dengan trase versi hasil perencanaan pemerintah dilakukan untuk mengetahui sejauh mana trase yang dihasilkan dari analisis spasial multi-kriteria lebih baik dari hasil pemerintah. Komparasi dilakukan secara kuantitatif dengan melihat pada beberapa indikator yang berpengaruh pada: (1) kemudahan konstruksi; (2) risiko operasional jalan tol; dan (3) dukungan terhadap pengembangan wilayah. Indikator tersebut antara lain panjang trase, jumlah simpang susun yang harus dibangun, jumlah jembatan yang harus dibangun karena melewati sungai, jalan dan jalur kereta api, dan penggunaan lahan yang dilewati

(33)

jalan tol. Contoh dari komparasi dapat dilihat pada Tabel 1.9 di bawah ini. Adapun kriteria yang menjadi dasar dalam evaluasi dan komparasi trase disajikan pada Tabel 1.10.

TABEL I.8

CONTOH KOMPARASI TRASE

Sumber: Kementerian PUPR, 2015. TABEL I.9

INDIKATOR KOMPARASI DAN EVALUASI TRASE

Faktor Evaluasi Kriteria Indikator

Kemudahan Konstruksi dan Kemahalan Investasi

Penggunaan Lahan - Panjang jenis penggunaan lahan yang dilalui oleh trase

Topografi - Panjang kemiringan lereng yang dilalui trase Kawasan Lindung - Panjang kawasan lindung yang dilalui trase Nilai Lahan - Estimasi biaya pembebasan lahan sepanjang

trase jalan Jaringan Transportasi

Eksisting

- Perlintasan dengan Jalan Nasional, Provinsi, Kabupaten

- Perlintasan dengan Jalur Kereta Api Sungai - Perlintasan dengan Sungai

Geometri Jalan - Panjang Trase Risiko

Operasional

Kenyamanan Penggunaan Jalan

- Arah Hadap Lereng

Ancaman Bencana Alam

- Keterlintasan dengan KRB Gempabumim - Keterlintasan dengan KRB Letusan

Gunungapi

- Keterlintasan dengan KRB Longsor - Keterlintasan dengan KRB Banjir Integrasi

Infrastruktur dan

Pengembangan Wilayah

Integrasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah

- Kedekatan dari lokasi/kawasan industri besar

& menengah (eksisting dan rencana) - Kedekatan dari Pusat Pelayanan Perkotaan

(eksisting dan rencana) - Kedekatan dari Obyek Wisata

- Kedekatan dari Cagar Sejarah dan Budaya Sumber: Sintesa Literatur, 2017

(34)

1.7.5 Kerangka Analisis

Berdasarkan uraian pendekatan penelitian, obyek dan subyek penelitian, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta teknik analisis data, selanjutnya dapat ditentukan kerangka analisis penelitian, yang diakhiri dengan perumusan kesimpulan dan rekomendasi, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.11.

Sumber: Analisis, 2017

GAMBAR 1.11 KERANGKA ANALISIS

1.7.6 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan terkait dengan implementasi analisis spasial multi-kriteria, analisis LCP dan AHP untuk mendukung perencanaan trase Jalan Tol Bawen – Yogyakarta yang tidak hanya ramah investasi, tetapi juga mendukung keberlanjutan fungsi ekologi dan pengembangan wilayah yang berkelanjutan. Keterbatasan – keterbatasan ini cukup berpengaruh, baik terhadap hasil analisis dan reliabilitas hasil kajian. Keterbatasan yang dimaksud diatas meliputi antara lain:

1. Terdapat beberapa kriteria perencanaan trase jalan tol yang belum dilibatkan dalam penelitian, baik menurut peraturan perencanaan jalan

Gambar

GAMBAR 1.2   KERANGKA PEMIKIRAN
GAMBAR 1.11  KERANGKA ANALISIS

Referensi

Dokumen terkait

Rapat Tim Pokja Pembangunan Zona Integritas Polres Bojonegoro dalam rangka Pembangunan Zona Integritas pada Unit pelayananan Polres Bojonegoro untuk kegiatan disesuaikan dengan

dikatakan model regresi yang dipilih layak digunakan untuk memprediksi besarnya tingkat kinerja karyawan berdasarkan masukan variabel kompetensi. Uji Regresi, Korelasi

Lokasi Penelitian berada daerah tangkapan hujan ( Catchment Area ) Waduk Way Rarem dengan luas 32.864 ha (328,64 km 2 ) yang merupakan bagian dari DAS Way Tulang Bawang,

Berlatar keinginan untuk mandalami ilmu jurnalistik yang telah didapatkan, penulis berkesempatan untuk melakukan kerja magang di majalah Martha Stewart Living Indonesia.. Praktek

Dari hasil penelitian “Analisis Isi Perilaku Prososial dan antisosial dalam Film Arisan2!” , didapatkan 110 potongan gambar atau 50% tayangan yang menggambarkan

• PT  Telekomunikasi  Indonesia  Tbk  (TLKM),  emiten  telekomunikasi,  mengincar  pendapatan  bisnis  aplikasi  berbasis  cloud  computing  sebesar  Rp  20 

Menyatakan telah menerima penjelasan/konfirmasi tentang Pengumuman Pelelangan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa APBD Tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Tuban Nomor :

Kita sering menyimpan rasa marah dan dendam atau hal yang telah menyakiti hati kita. Hati dan jiwa kita membawa beban tersebut, membelenggu kehidupan kita bahkan