• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEMBAGA PENGELOLA ASET TINDAK PIDANA"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAGA  PENGELOLA  

ASET  TINDAK  PIDANA

LEMB

AGA  PENGEL

OLA  ASET  TIND

AK  PID

ANA

ƟŶĚĂŬĂŶŵĞŶŐŚƵŬƵŵƉĞůĂŬƵƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂƐĞĐĂƌĂ ŬŽǀĞŶƐŝŽŶĂůͲLJĂŝƚƵĚĞŶŐĂŶĐĂƌĂŵĞŶĞƌĂƉŬĂŶ ƉŝĚĂŶĂƉĞŶũĂƌĂďĂŐŝƉĞůĂŬƵ͕ƟĚĂŬƐĞůĂůƵďĞƌŚĂƐŝů ŵĞŶŐƵƌĂŶŐŝƟŶŐŬĂƚŬĞũĂŚĂƚĂŶŝƚƵ͘^ĞůĂŝŶŵĞŵďĞƌŝ ĞĨĞŬũĞƌĂďĂŐŝƉĂƌĂƉĞůĂŬƵ͕ďĞŶƚƵŬŚƵŬƵŵĂŶŚĂƌƵƐ ĚĂƉĂƚŵĞůƵĐƵƟƉĞůĂŬƵĚĂƌŝƉŽƚĞŶƐŝĞŬŽŶŽŵŝLJĂŶŐ ĚĂƉĂƚŵĞŶŐŐĞƌĂŬŬĂŶĂƚĂƵŵĞŶŐŚŝĚƵƉŬĂŶŬĞŵďĂůŝ ƟŶĚĂŬŬĞũĂŚĂƚĂŶ͘ ^ĂůĂŚƐĂƚƵƵƉĂLJĂƵŶƚƵŬŵĞůƵĐƵƟƉĞůĂŬƵƟŶĚĂŬ ƉŝĚĂŶĂĂĚĂůĂŚĚĞŶŐĂŶŵĞƌĂŵƉĂƐĂƐĞƚĂƚĂƵƉƌŽƉĞƌƟ ŵŝůŝŬƉĞůĂŬƵ͕ďĂŝŬĂƐĞƚƐĞďĂŐĂŝĂůĂƚLJĂŶŐĚŝŐƵŶĂŬĂŶ ƵŶƚƵŬŵĞůĂŬƵŬĂŶƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂŵĂƵƉƵŶĂƐĞƚLJĂŶŐ ĚŝŚĂƐŝůŬĂŶĚĂƌŝƐƵĂƚƵƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂ͘ŝƐŝƐŝLJĂŶŐůĂŝŶ͕ ĚĂƌŝƐŝƐŝŬĞƵĂŶŐĂŶŶĞŐĂƌĂƟŶĚĂŬĂŶƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶ ĂƐĞƚƉĞůĂŬƵũƵŐĂĚŝŵĂŬƐƵĚŬĂŶƐĞďĂŐĂŝƵƉĂLJĂ ƉĞŶŐĞŵďĂůŝĂŶŬĞƌƵŐŝĂŶŶĞŐĂƌĂ;asset  recoveryͿ͘ WĂƌĂŵĂĚŝŶĂWƵďůŝĐWŽůŝĐLJ/ŶƐƟƚƵƚĞ;WWW/ͿŵĞŶŝůĂŝ ďĂŚǁĂĚĂůĂŵƉĞůĂŬƐĂŶĂĂŶasset  recovery,  suatu  

ƐŝƐƚĞŵƵŶƚƵŬŝĚĞŶƟĮŬĂƐŝ͕ŬůĂƐŝĮŬĂƐŝ͕ƉĞŶLJŝŵƉĂŶĂŶ͕ ƉĞŶŐĞůŽůĂĂŶ͕ĚĂŶƉĞůĞƉĂƐĂŶŵƵƚůĂŬĚŝƉĞƌůƵŬĂŶ͘ dĂŶƉĂƐŝƐƚĞŵƚĞƌƐĞďƵƚ͕ŚĂƐŝůĚĂƌŝƉƌŽƐĞƐƉĞŶLJŝƚĂĂŶ ĚĂŶƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶĂƐĞƚƟŶĚĂŬƉŝĚĂŶĂƟĚĂŬĂŬĂŶ ŵĂŬƐŝŵĂů͘ĂŚŬĂŶ͕ŚĂƐŝůĚĂƌŝƉĞŶLJŝƚĂĂŶĚĂŶ ƉĞƌĂŵƉĂƐĂŶƚĞƌƐĞďƵƚƌĂǁĂŶĚŝƐĞůĞǁĞŶŐŬĂŶŽŬŶƵŵ ƉŝŚĂŬƉĞŶŐĞůŽůĂĚĂŶũƵƐƚƌƵŵĞŶũĂĚŝƵŶƐƵƌƟŶĚĂŬ ŬĞũĂŚĂƚĂŶďĂƌƵ͘ WĂƌĂŵĂĚŝŶĂWƵďůŝĐWŽůŝĐLJ/ŶƐƟƚƵƚĞ;WWW/ͿĂĚĂůĂŚůĞŵ-­‐ ďĂŐĂŝŶĚĞƉĞŶĚĞŶ͕ƚŚŝŶŬͲƚŚĂŶŬĚŝďĂǁĂŚhŶŝǀĞƌƐŝƚĂƐ WĂƌĂŵĂĚŝŶĂ;ǁǁǁ͘ƉĂƌĂŵĂĚŝŶĂ͘ĂĐ͘ŝĚͿ WWW/ďĞƌŬĞLJĂŬŝŶĂŶďĂŚǁĂŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬLJĂŶŐďĂŝŬ ĚĂŶŝŵƉůĞŵĞŶƚĂƐŝLJĂŶŐĞĨĞŬƟĨĂŬĂŶŵĂŵƉƵŵĞŵ-­‐ ďƵĂƚ/ŶĚŽŶĞƐŝĂŵĞŶŐŐĂůŝƉŽƚĞŶƐŝŶLJĂLJĂŶŐůƵĂƌďŝĂƐĂ͘ WWW/ŵĞŵŝůŝŬŝĨŽŬƵƐƵŶƚƵŬŵĞŶLJƵŵďĂŶŐŬĂŶƐĞŐĂůĂ ďĞŶƚƵŬƵƉĂLJĂĚĂůĂŵŵĞƌƵŵƵƐŬĂŶŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬ LJĂŶŐďĂŝŬŬĞƉĂĚĂďĞƌďĂŐĂŝƉĞŵĂŶŐŬƵŬĞƉĞŶƟŶŐĂŶ͘ hŶƚƵŬŝƚƵ͕WWW/ŵĞŶũĂůĂŶŬĂŶďĞƌďĂŐĂŝŬĞŐŝĂƚĂŶ ƵŶƚƵŬŵĞŶĐĂƉĂŝƚƵũƵĂŶƚĞƌƐĞďƵƚ͕ĂŶƚĂƌĂůĂŝŶ͗ ͻ DĞŶĚŽƌŽŶŐƉĞŵĞƌŝŶƚĂŚĂŶLJĂŶŐĞĨĞŬƟĨĚĂŶ ƚƌĂŶƐƉĂƌĂŶ ͻ DĞŵĂŶƚĂƵĚĂŶŵĞŶŐĂŶĂůŝƐĂŬƵĂůŝƚĂƐƉĞůĂLJ-­‐ ĂŶĂŶƉƵďůŝŬ

ͻ Merumuskan  dan  memberikan  solusi  atas  

ƉĞŶLJƵƐƵŶĂŶŬĞďŝũĂŬĂŶƉƵďůŝŬĚĞŶŐĂŶĚĂƐĂƌ

kajian  akademis

ͻ dƵƌƵƚŵĞŵƉĞƌŬƵĂƚƉƌŽƐĞƐƉĞƌĞŶĐĂŶĂĂŶĚĞŶ-­‐ gan  memberikan  rumusan-­‐rumusan  kebijakan  

ƉƵďůŝŬƉĂĚĂďĞƌďĂŐĂŝŝƐƵ͘ ͻ DĞŶĚƵŬƵŶŐďĞƌďĂŐĂŝŐĞƌĂŬĂŶĂŶƟŬŽƌƵƉƐŝĚŝ /ŶĚŽŶĞƐŝĂ

Penulis

ŝŵĂWƌŝLJĂ^ĂŶƚŽƐĂ dĞĚLJ:ŝǁĂŶƚĂƌĂ^ŝƚĞƉƵ Anita  Maharani Nur  Sodiq Junaidi

(2)

National Legal Reform Program

LEMBAGA PENGELOLA

ASET TINDAK PIDANA

(3)
(4)

PENULIS

Bima Priya Santosa Tedy Jiwantara Sitepu Anita Maharani Nur Sodiq Junaidi

LEMBAGA PENGELOLA

ASET TINDAK PIDANA

(5)

Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana

Penulis: Bima Priya Santosa, Tedy Jiwantara Sitepu, Anita Maharani, Nur Sodiq, Junaidi

© Paramadina Public Policy Institute

Diterbitkan oleh Paramadina Public Policy Institute Jl. Gatot Subroto Kav. 97

Mampang, Jakarta 12790 t. +62-21 7918 1188 f. +62-21 799 3375

http://policy.paramadina.ac.id

Penerbitan ini didukung oleh The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan pertama, Desember 2010

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana

viii + 130 halaman, 20 X 15 cm. ISBN 978-602-98252-0-6

(6)

Daftar Isi

Daftar Isi v

Kata Pengantar vii

Bab 1 - Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan penelitian 4

1.3. Ruang Lingkup penelitian 4

1.4. Metodologi penelitian 5

1.5. Sistematika Penulisan 6

Bab 2 - Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana 9

2.1. Aturan Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan Aset Tindak Pidana 9

2.2. Prosedur Penyitaan dan Perampasan 11

2.3. Para Pihak yang Terlibat Dalam Proses Benda Sitaan Dan Barang Rampasan 17

2.4. Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan 18

2.5. Rupbasan Sebagai Tempat Penyimpanan Benda Sitaan 19

Lampiran 1 Rupbasan Dalam Media 36

Lampiran 2 Aspek Perdata Benda Sebagai Obyek Penyitaan Dan Perampasan Pidana 40

Bab 3 - Pengelolaan Aset Tindak Pidana Sebagai Barang Milik Negara 47

3.1. Peraturan Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara 47

3.2. Keterkaitan Peraturan BMN dengan Aset Tindak Pidana 48

(7)

Bab 4 - Komparasi Pengelolaan Aset Tindak Pidana Beberapa Negara 53

4.1. Asset Forfeiture Program di Amerika 53

4.2. Proceeds of Crime Act di Inggris 58

4.3. Seized Property Management Act di Canada 61

Bab 5 - Kerangka Konseptual Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 67

5.1. Prinsip-Prinsip Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 67

5.2. Kelembagaan Pengelola Aset Tindak Pidana 71

5.3. Sistem Organisasi Lembaga Pengelola Aset 82

5.4. Asset Management Pada Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 85

5.5. Siklus Asset Management pada Aset Tindak Pidana 86

5.6. Struktur Organisasi Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana 93

Lampiran 1 Definisi Aset 104

Lampiran 2 Berbagai Masalah Penyitaan dan Pengelolaannya 107

Lampiran 3 Badan Layanan Umum 110

Bab 6 - Roadmap Inisiasi Badan Pengelola Aset Tindak Pidana 121

6.1. Tahap I: Peletakan Pondasi 121

6.2. Tahap II: Implementasi Penuh 124

6.3. Tahap III: Penguatan 125

Bab 7 - Penutup 127

(8)

Seiring dengan perjalanan zaman, berbagai kemajuan terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Kejahatan atau perbuatan melawan hukum adalah masalah yang melekat pada kehidupan manusia juga terus mengalami perkembangan. Kejahatan mengikuti zamannya, tidak lagi dilakukan dengan cara-cara yang sederhana.

Kecenderungan saat ini menunjukkan kejahatan dilakukan secara terorganisir, melibatkan banyak pihak, dan dilakukan dengan metode atau perangkat yang sangat maju, meliputi kejahatan-kejahatan serius yang memiliki motif ekonomi besar. Akibatnya, kejahatan tersebut memiliki daya rusak yang luar biasa secara ekonomi masyarakat dan negara.

Sejalan dengan semakin berkembang jenis dan modus kejahatan sebagaimana disebut di atas, tindakan menghukum pelaku tindak pidana secara kovensional yaitu dengan cara menerapkan pidana penjara bagi pelaku, tidak selalu berhasil mengurangi tingkat kejahatan itu. Selain memberi efek jera bagi para pelaku, bentuk hukuman harus dapat melucuti pelaku dari potensi ekonomi yang dapat menggerakkan atau menghidupkan kembali tindak kejahatan.

Salah satu upaya untuk melucuti pelaku tindak pidana adalah dengan merampas aset atau properti milik pelaku, baik aset sebagai alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maupun aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Di sisi yang lain, dari sisi keuangan negara tindakan perampasan aset pelaku juga dimaksudkan sebagai upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery).

(9)

Paramadina Public Policy Institute (PPPI) menilai bahwa dalam

pelaksanaan asset recovery, suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan mutlak diperlukan. Tanpa sistem tersebut, hasil dari proses penyitaan dan perampasan aset tindak pidana tidak akan maksimal. Bahkan, hasil dari penyitaan dan perampasan tersebut rawan diselewengkan oknum pihak pengelola dan justru menjadi unsur tindak kejahatan baru.

Untuk itu, PPPI dengan dukungan dari National Legal Reform Program (NLRP) menerbitkan buku Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana yang merupakan hasil studi tentang lembaga pengelola aset tindak pidana, khususnya dalam aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga.

PPPI selaku penerbit berharap buku ini dapat memberikan masukan bagi pembenahan manajemen pengelolaan aset tindak pidana di Indonesia.

Penerbit

(10)

Bab 1

Pendahuluan

1.1. Latar BeLakang

Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai kemajuan terjadi dalam setiap aspek kehidupan manusia tak terkecuali kejahatan atau perbuatan melawan hukum. Kini, kejahatan atau perbuatan melawan hukum tidak lagi dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, tetapi lebih terorganisir melibatkan banyak pihak dan dilakukan dengan metode atau perangkat yang sangat maju dengan motif ekonomi yang besar1. Akibatnya,

kejahatan tersebut sulit diberantas, memiliki daya rusak yang luar biasa secara ekonomi, dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbagai bentuk kejahatan tersebut adalah: penyelundupan,

pembajakan, pemalsuan, tindak pidana korupsi, kejahatan perbankan, kejahatan pajak, tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dan ilegal logging. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak mudah untuk diberantas. Kesulitan tersebut disebabkan karena dua hal, yaitu: tingginya motif ekonomi kejahatan tersebut dan kompleksitas modus operandinya. Pengenaan hukuman dalam sistem hukum pidana di Indonesia terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda, dan pidana tambahan yang meliputi pencabutan hak-hak tertentu, barang-barang tertentu, dan putusan hakim.2 Sejalan dengan semakin berkembang

jenis dan modus kejahatan sebagaimana disebut di atas, tindakan

1 Data yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung menunjukkan nilai kerugian negara yang akibat tindak kejahatan yang berhasil diselamatkan dalam periode 2004-2008 sebesar 8 triliun rupiah. www.beri-tabaru.com, 19 Oktober 2009

(11)

menghukum pelaku tindak pidana secara kovensional, yaitu dengan cara menerapkan pidana penjara bagi pelaku, tidak selalu berhasil mengurangi tingkat kejahatan itu. Selain memberi efek jera bagi para pelaku, bentuk hukuman harus dapat melucuti pelaku dari potensi ekonomi yang dapat menggerakkan atau menghidupkan kembali tindak kejahatan.

Untuk itu, diperlukan upaya yang sistematis untuk membasmi

kejahatan-kejahatan tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan membatasi penggunaan aset atau manfaat ekonomi yang terkait dengan kejahatan tersebut. Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara.”3

Salah satu upaya untuk melucuti pelaku tindak pidana adalah dengan merampas aset atau properti milik pelaku, baik aset sebagai alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana maupun aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Di sisi yang lain, dari sisi keuangan negara tindakan perampasan aset pelaku juga dimaksudkan sebagai upaya pengembalian kerugian negara (asset recovery) .

Pada tahun 2005, suatu kelompok kerja dari negara-negara G8 telah menyatakan pentingnya hukum yang dapat memperbaiki kecepatan dan efektivitas pembekuan aset para pelaku kejahatan dan terorisme. Untuk itu, kelompok kerja tersebut juga merekomendasikan beberapa prinsip-prinsip dalam penelusuran, pembekuan, dan penyitaan aset tindak pidana. Beberapa prinsip tersebut adalah:

1. Perencanaan pra-penyitaan untuk antisipasi biaya dan keputusan yang tepat dalam target, bagaimana dan kapan penyitaan dilakukan. 2. Negara harus menerapkan mekanisme dengan biaya yang paling

efisien dan efektif. Disarankan pula untuk membentuk asset confiscation/ forfeiture fund.

3 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(12)

3. Pendirian lembaga dengan desain dan kewenangan untuk menjalankan pengelolaan aset tindak pidana tersebut.

4. Negara harus meyakinkan pengendalian yang kuat atas administrasi aset yang disita. Hal ini dapat dicapai dengan pemisahan fungsi atau bila adanya penggabungan fungsi harus diikuti dengan tanggung jawab mutlak pula.

5. Administrasi aset yang disita harus dilakukan secara transparan dan dapat diaudit oleh auditor independen, atau ahli yang setara sesuai dengan hukum nasional yang berlaku. Setiap temuan hendaknya disampaikan kepada publik.

Dalam pelaksanaan asset recovery, suatu sistem untuk identifikasi, klasifikasi, penyimpanan, pengelolaan, dan pelepasan mutlak diperlukan. Tanpa sistem tersebut, hasil dari proses penyitaan dan perampasan aset tindak pidana tidak akan maksimal. Bahkan, hasil dari penyitaan dan perampasan tersebut rawan diselewengkan oknum pihak pengelola dan justru menjadi unsur tindak kejahatan baru.

Dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, para perumus telah memasukkan aspek pengelolaan dalam rancangan tersebut. Hal ini merupakan suatu langkah maju bagi sistem hukum Indonesia. Dengan diaturnya aspek pengelolaan aset tindak pidana, kita berharap dapat meningkatkan keberhasilan program asset recovery di Indonesia. Selanjutnya, pokok-pokok aturan dalam rancangan undang-undang tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk memperoleh gambaran lebih nyata tentang apa dan bagaimana lembaga pengelola aset tindak pidana tersebut. Lebih jauh, diperlukan pula suatu telaah untuk memberikan masukan bagi rancangan undang-undang tersebut terutama pada aspek kelembagaannya.

Untuk itu, Paramadina Public Policy Institute (PPPI) dengan dukungan dari National Legal Reform Program (NLRP) melakukan studi tentang lembaga pengelola aset tindak pidana. Studi lembaga pengelolaan aset ini akan difokuskan pada aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga.

(13)

1.2. tujuan PeneLitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan masukan dalam pembenahan manajemen pengelolaan aset tindak pidana. Fokus penelitian akan meliputi aspek-aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga.

1.3. ruang LingkuP PeneLitian

Ruang lingkup penelitian meliputi pembahasan tentang kewenangan, proses, struktur organisasi, dan sumber daya manusia. Penugasan penelitian yang dilakukan PPPI difokuskan pada aspek proses bisnis, desain organisasi, serta roadmap inisiasi lembaga. Adapun pokok-pokok pengembangan dari lembaga pengelola aset ini didasarkan pada dokumen rancangan undang-undang yang diperoleh dari NLRP. Penelitian

dilakukan dalam lima kegiatan utama yaitu:

1. Melakukan studi literatur, adalah kajian yang dilakukan melalui dokumen, buku, karya ilmiah, dan peraturan-peraturan terkait dengan lembaga pengelolaan aset. Dari kajian ini diharapkan diperoleh gambaran yang komprehensif tentang lembaga pengelolaan aset ditinjau dari aspek teoritis maupun aspek hukum.

2. Melakukan studi banding (benchmark) terhadap organisasi sejenis. Pembandingan terutama dilakukan dalam aspek proses bisnis, organisasi, dan tata cara pembentukannya. Benchmark dilakukan secara studi pustaka.

3. Mengembangkan desain proses bisnis lembaga pengelolaan aset untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang diatur dalam peraturan terkait. 4. Menyusun desain organisasi lembaga pengelolaan aset baik dengan

memperhatikan dimensi horizontal dan dimensi vertikalnya. Dimensi horizontal organisasi adalah bagaimana departementalisasi yang membangun suatu organisasi. Dimensi vertikal adalah bagaimana menyusun penjenjangan manajerial dalam organisasi.

5. Penyusunan roadmap untuk tahapan pengembangan organisasi lembaga pengelolaan aset. Roadmap tersebut akan menyajikan tahapan-tahapan utama inisiasi organisasi.

(14)

1.4. MetodoLogi PeneLitian

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif ditujukan untuk

pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan benda sitaan, mengumpulkan, menyusun, menganalisa dan menjelaskan data-data tersebut, dan merumuskan kesimpulan berdasarkan data-data yang diperoleh. Tahapan penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

STUDI LITERATUR & STUDI BANDING

DESAIN BUSINESS PROCESS DESAIN STRUKTUR ORGANISASI PENYUSUNAN ROADMAP Pokok-pokok Organisai Pengelolaan Aset DEFINISI Core Process Pengelolaan Aset Support Process Pengelolaan Aset RANCANGAN MAKRO ORGANISASI Dimensi Horizontal Dimensi Vertikal Tahapan-tahapan penting inisiasi organisasi pengelolaan aset

(15)

1.5. SiSteMatika PenuLiSan BaB i PendahuLuan

Bab I berisi uraian mengenai latar belakang penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi, dan sistematika penulisan.

BaB ii Penyitaan, PeraMPaSan, dan PenyiMPanan aSet tindak Pidana: aturan, Praktik, dan PerMaSaLahannya

Menjelaskan peraturan-peraturan yang berlaku saat ini untuk proses penyitaan, perampasan, dan penyimpanan aset tindak pidana. Bagian ini akan meliputi aturan pokok yang diatur dalam KUHAP, peraturan dalam undang-undang lain, serta aturan-aturan yang dibuat dalam lingkungan instansi tertentu.

Bagian ini juga mengikhtisarkan pokok permasalahan saat ini yang selanjutnya menjadi dasar bagi arah penelitian untuk memberi usulan solusi bagi pembenahan manajemen aset tindak pidana.

BaB iii PengeLoLaan aSet tindak Pidana SeBagai Barang MiLik negara

Bab ini akan memaparkan overview berbagai peraturan tentang pengelolaan barang milik negara dan tentang keterkaitan peraturan barang milik negara dengan pengelolaan aset tindak pidana. Bab ini juga memaparkan tentang wewenang dan tanggung jawab lembaga-lembaga terkait dengan barang milik negara.

BaB iV koMParaSi PengeLoLaan aSet tindak Pidana di BeBeraPa negara

Bab ini menjelaskan pelaksanaan pengelolaan aset tindak pidana di beberapa negara terkait aspek kelembagaan, kewenangan, dan

manajemen. Selain itu, juga akan membahas pokok-pokok perbandingan yang relevan untuk menjadi rujukan inisiasi lembaga pengelolaan aset tindak pidana di Indonesia.

(16)

BaB V kerangka konSePtuaL LeMBaga PengeLoLa aSet tindak Pidana

Bab ini membahas tentang kerangka konseptual bagi inisiasi Lembaga Pengelolaan Aset Tindak Pidana. Pembahasan akan meliputi aspek-aspek kedudukan, bentuk keterlibatan dalam proses penyitaan perampasan, bentuk hukum, dan aspek manajerial kelembagaan tersebut.

BaB Vi Roadmap iniSiaSi LeMBaga PengeLoLa aSet tindak Pidana

Bab VI akan membahas tentang tahapan pembenahan pengelolaan aset tindak pidana. Tahapan tersebut dibagi menjadi beberapa tahap yaitu tahapan peletakan pondasi, tahapan implementasi penuh, dan tahapan penguatan.

BaB Vii PenutuP

Bab VII akan menutup seluruh tulisan hasil penelitian dengan berbagai catatan dan rekomendasi untuk berbagai pihak yang terkait.

(17)

aSet tindak Pidana

Definisi aset termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa:

“Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/ atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.”

Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan/ atau kekayaan negara yaitu “semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah di-ubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara

Sesuai dengan ketentuan pasal 2 PP Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan PP No-mor 38 Tahun 2008, salah satu perolehan sah barang milik negara adalah barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Merujuk pada peraturan perundang-undangan di atas maka aset pidana dapat didefinisikan sebagai berikut :

“Aset Tindak Pidana adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis yang diperoleh atau diduga berasal dari tindak pidana”

Foto 2: Benda Sitaan KPK pada Gudang Terbuka Rupbasan Jakarta Pusat

(18)

2.1. AturAn PenyitAAn, PerAmPAsAn, dAn PenyimPAnAn Aset tindAk PidAnA.

Sesuai ketentuan perundang-undangan penyitaan dan perampasan benda dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut. Tanpa adanya tindak pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penyitaan,

perampasan, dan penyimpanan benda sitaan merupakan suatu rangkaian sub-sistem hukum pidana. Oleh karenanya, penyimpanan benda sitaan juga diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).

Terkait dengan proses hukum suatu perkara, munculnya benda sitaan adalah mulai pada tahap penyidikan. Sebagaimana disebutkan dalam KUHAP menyatakan: “Setiap benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud yang diambil dan atau disimpan

Penyitaan adalah bagian dari proses

penegakan hukum berupa upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk men-gambil alih penguasaan atas benda milik seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.

Perampasan adalah pengambilalihan hak

milik seseorang yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

rujukan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang Republik Indonesia Nomor 8 Ta-hun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksa-naan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Bab 2

Penyitaan, Perampasan, dan Penyimpanan

Aset tindak Pidana

(19)

di bawah penguasaan penyidik untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”1

Pada tahap ini, benda sitaan umumnya digunakan sebagai barang bukti. Adapun benda yang menjadi obyek penyitaan adalah:

1. Benda milik pelaku tindak pidana baik yang diperoleh dari tindak pidana atau hasil dari tindak pidana.

2. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkan tindak pidana.

3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

4. Benda yang khusus dibuat untuk melakukan tindak pidana. 5. Benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Dalam praktiknya, perampasan barang tertentu dimungkinkan sebagai pengganti kerugian negara atau pidana tambahan di samping pidana pokok. Apabila kemudian putusan pengadilan memerintahkan perampasan terhadap benda sitaan tersebut, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara. Barang rampasan pengganti kerugian negara atau pidana tambahan inilah yang umumnya memiliki nilai ekonomis lebih.

Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta tindak pidana perikanan.

Misalnya, dalam tindak pidana kehutanan (illegal logging) disebutkan bahwa semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.2

1 KUHAP Pasal 1 angka 16

(20)

Pada tindak pidana korupsi, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.3

Ketentuan perampasan yang termuat dalam undang-undang perikanan menyebutkan bahwa benda dan/ atau alat yang dipergunakan dalam dan/ atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk Negara. Terhadap benda dan/ atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dilelang untuk Negara.4

Pengaturan lebih khusus tentang penyitaan dan perampasan juga termuat dalam ketentuan Undang-Undang Pencucian Uang yang menyebutkan bahwa dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum. Bila dalam proses pemeriksaan di pengadilan terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa harta kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.5

2.2. Prosedur PenyitAAn dAn PerAmPAsAn A. PenyitAAn

Penyitaan adalah upaya paksa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 16 KUHAP yang menyebutkan bahwa “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor Pasal 18 ayat (1) 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pasal 104 (2) dan Pasal 105 (1) 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 35 dan Pasal 37

(21)

bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”

Lebih lanjut aturan tentang penyitaan meliputi siapa yang dapat

melakukan penyitaan, bagaimana penyitaan harus dilakukan dan obyek yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 38 sampai dengan pasal 46 KUHAP.

Ketentuan pasal 38 sampai dengan pasal 46 yang mengatur kewenangan melakukan penyitaan, batasan, atau cakupan benda yang dapat

dikenakan penyitaan, penanganan benda sitaan yang meliputi penyimpanan serta pelepasan benda sitaan yang meliputi pelelangan dan pengembalian benda sitaan serta tanggung jawab yuridis atas benda sitaan. Ketentuan tersebut sangat terkait antara satu pasal dengan pasal lainnya, lebih lanjut tentang ketentuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kewenangan penyitaan (Pasal 38)

Tindakan Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan keharusan adanya izin Ketua Pengadilan, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuan.

Sesuai pasal 1 KUHAP maka penyidik yang dapat melakukan upaya paksa penyitaan adalah penyidik Kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan tugas penyidikan.

2. Pengenaan penyitaan (Pasal 39, 40, 41 dan 41)

Benda yang berhubungan dengan suatu tindak pidana yang dapat dikenakan penyitaan berupa:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana.

(22)

b. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana maka penyitaan dapat dilakukan atas benda sitaan karena perkara perdata atau karena pailit. Dengan dasar, benda tersebut diduga diperoleh dari atau hasil tindak pidana atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau berhubungan langsung dengan tindak pidana.

Dalam hal tertangkap tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Disamping itu dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut berasal dari atau diperuntukkan bagi tersangka.

Lebih lanjut, untuk kepentingan pemeriksaan penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepada penyidik.

Terhadap surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dan tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.

Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau

(23)

atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.

3. Penyimpanan, tanggung jawab atas benda sitaan, pelelangan, dan pengembalian (Pasal 44, 45 dan 46)

Penyimpanan, benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Ketentuan KUHAP di atas, mengatur bahwa penyimpanan dilakukan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Namun demikian, penjelasan pasal 44 ayat (1) KUHAP memberi pengecualian bahwa selama belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara ditempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di Kantor Kepolisian, Kantor Kejaksaan, di Kantor Pengadilan, di gedung bank pemerintah dan dalam keadaan memaksa dapat disimpan di tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita.

Tanggung jawab, pejabat penanggung jawab atas benda sitaan adalah sesuai dengan tingkatan pemeriksaan peradilan yang meliputi : a. Pejabat yang berwenang pada pemeriksaan di tingkat penyidik. b. Pejabat yang berwenang pada pemeriksan di tingkat penuntut umum. c. Pejabat yang berwenang pada tingkat pemeriksaan perkara di tingkat

pengadilan. 4. Pelelangan

Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:

a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya;

(24)

b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang yang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.

Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti dan guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud. Terhadap benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan tidak termasuk dalam jenis barang yang dibenarkan untuk dijual lelang maka dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.

5. Pengembalian

Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dan siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi; b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau

ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagal barang bukti dalam perkara lain.

B. PerAmPAsAn

Konsep legal (legal concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(25)

Lebih lanjut pasal 39 sampai dengan pasal 42 KUHP mengatur perampasan barang-barang yang dapat dirampas dan prinsip pokok dalam perampasan. Ketentuan tersebut dapat uraikan sebagai berikut:

Pengenaan Perampasan, barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

1) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebelumnya.

2) Jika seorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, atau aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang itu.

3) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak

diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.

4) Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.

Sesuai dengan ketentuan KUHAP, perampasan akan diikuti dengan perintah tindakan lebih lanjut sesuai keputusan pengadilan terhadap barang rampasan antara lain:

1. dirampas untuk kemudian dilelang, dan disetorkan kepada kas negara,

(26)

3. dirampas untuk diserahkan kepada instansi yang ditetapkan guna dimanfaatkan, dan

4. dirampas untuk digunakan sebagai bukti terhadap perkara pidana yang lain.

2.3. PArA PihAk yAng terliBAt dAlAm Proses BendA sitAAn dAn BArAng rAmPAsAn

Sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan terdapat beberapa pihak/instansi yang berperan dalam

penyitaan-penyimpanan-perampasan. Para pihak tersebut berperan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran hasil pelelangan ke kas negara.

Penyidik, adalah petugas penegak hukum yang pertama kali melakukan indentifikasi dan pemeriksaan terhadap perkara berserta benda yang terkait dengan tindak pidana. Penyidik adalah pihak yang berada paling sentral dalam melakukan tindakan penyitaan.

Penuntut Umum, adalah pihak yang bertanggung jawab dalam proses pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita terkait perkara.

Hakim, adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh penutut umum. Hakim juga merupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara dipidana atau tidak, dan memutuskan suatu benda yang telah disita sebulumnya dirampas atau tidak.

Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, proses peradilan yang adalah proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan yaitu pemeriksaan di tingkat penyidik, pemeriksaan

di tingkat penuntut umum dan pemeriksaan di tingkat pengadilan (pengadilan negeri, banding, dan kasasi).

Jaksa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan

(27)

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya ke kas negara.

2.4. PenyimPAnAn BendA sitAAn dAn BArAng rAmPAsAn

Sebagai upaya mengamankan benda sitaan, ketentuan hukum secara tegas mengatur bahwa berbagai benda sitaan disimpan di rumah

penyimpanan benda sitaan negara. Benda sitaan yang disimpan tersebut dapat berupa benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang sebagian atau seluruhnya diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana. Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab yuridis atas benda tersebut ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, maka dalam rangka penyimpanan benda sitaan pengaturan lebih lanjut dan terperinci termuat di dalam peraturan-peraturan berikut ini.

1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.

2. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan.

3. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.

Penyimpanan benda sitaan negara dilakukan dengan baik dan tertib sesuai dengan Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (juknis) pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara. Dengan demikian, diharapkan mudah dan cepat mendapatkannya saat dibutuhkan oleh yang berkepentingan. Melakukan pemeliharaan benda

(28)

sitaan negara dan barang rampasan negara berarti merawat benda dan barang tersebut agar tidak rusak serta tidak berubah kualitas maupun kuantitasnya sejak penerimaan sampai dengan pengeluarannya.

2.5. ruPBAsAn seBAgAi temPAt PenyimPAnAn BendA sitAAn

Ketentuan pasal 44 KUHAP mengatur penyimpanan benda sitaan. Lebih lanjut, penyimpanan benda sitaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur bahwa Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan disimpan.

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tersebut, ditegaskan bahwa pengelolaan, kedudukan, pengorganisasian, tugas, dan tanggung jawab Rupbasan berada di bawah Menteri

Kehakiman. Menteri Kehakiman mengatur lebih lanjut tentang kelembagaan, tugas pokok, dan fungsi Rupbasan melalui Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan.

(29)

PENYIDIK:

TIndakan Penyitaan RUPBASAN:

Menyimpan benda sitaan dalam setiap tingkat pemeriksaan Mengeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan

Mengeluarkan untuk pelelangan Benda Sitaan

Tuntutan Perampasan

Perampasan & Lelang utk Negara

Pelelangan & Penyetoran ke Kas Negara

JAKSA PENUNTUT UMUM: Pemeriksaan dan Penuntutan

PENGADILAN/HAKIM: Pemeriksaan dan Putusan

JAKSA EKSEKUTOR:

Pelaksana Putusan Pengadilan

KAS NEGARA

Gambar 2. Para Pihak dan Alur Penyitaan-Perampasan

Pasal 44 KUHAP mengatur dengan tegas bahwa penyimpanan benda sitaan harus dilakukan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan benda sitaan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun.

2.5.1. AktifitAs PenAngAnAn BendA sitAAn negArA oleh ruPBAsAn Seluruh rangkaian kegiatan dan proses penanganan benda sitaan dan barang rampasan yang dilakukan oleh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan mengacu pada keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor: E1.35.PK.03.10 Tahun 2002.

(30)

Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pemasyarakatan, Nomor: E1.PK.03.10 tahun 2002, proses yang dilakukan dalam Rupbasan dapat digambarkan sesuai diagram berikut.6

INPUT BENDA SITAAN PROSES OUTPUT Barang Bukti Barang Rampasan yg siap dieksekusi Penerimaan - Penilaian - Pendaftaran & Penyimpanan Pemeliharaan

Pemutasian

Pengeluaran & Penghapusan Penyelamatan & Pengamanan 1.

2. 3. 4. 5.

Gambar 3. Diagram Proses Penanganan Benda Sitaan pada Rupbasan

Pada petunjuk teknis tersebut telah disebutkan fungsi Rupbasan meliputi penerimaan, penelitian, penilaian dan penyimpanan benda sitaan

dan barang rampasan. Selanjutnya, Rupbasan bertugas pula untuk memelihara, pemutasian, pengeluaran dan penghapusan, penyelamatan dan pengamanan benda sitaan dan barang rampasan.

Berikut ini adalah uraian kegiatan dan proses teknis pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara di Rupbasan.

1. PenerimAAn

Penerimaan benda sitaan dilakukan oleh Petugas Penerima dan wajib didasarkan pada surat-surat yang sah. Petugas Penerima segera memeriksa sah tidaknya surat-surat yang melengkapinya dan mencocokkan jenis, mutu, macam dan jumlah benda sitaan yang diterima sebagaimana tertulis dalam surat-surat tersebut.

6 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petujuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara

(31)

Selanjutnya Petugas Penerima mengantarkan benda sitaan berikut surat-suratnya kepada Petugas Peneliti. Terhadap benda sitaan yang tidak bergerak, Petugas Penerima setelah memeriksa surat-surat lalu mencocokkannya dan pemotretan ditempat barang bukti itu berada bersama-sama dengan petugas peneliti dan petugas yang menyerahkan. Setelah pemeriksaan, pencocokan, pemotretan selesai, Petugas Peneliti membuat berita acara penelitian dengan dilampiri spesifikasi, hasil identifikasi benda sitaan dan Petugas Penerima membuat berita acara serah terima, kemudian mengantarkan barang sitaan kepada Petugas Pendaftaran.

2. PenelitiAn dAn PenilAiAn

Petugas Peneliti melakukan penelitian, penilaian, pemeriksaan dan penaksiran tentang keadaan, jenis, mutu, macam dan jumlah benda sitaan dengan disaksikan oleh petugas yang menyerahkan. Penelitian, penilaian, pemeriksaan dan penaksiran dilaksanakan da!am ruangan khusus serta wajib dilakukan oleh Petugas Peneliti. Terhadap benda sitaan tertentu dilakukan pemotretan untuk kelengkapan alat bukti. Berita acara serah terima ditandatangani, setelah selesai melakukan penelitian, penilaian dan identifikasi benda sitaan.

3. PendAftArAn

Petugas pendaftaran meneliti kembali sah tidaknya surat-surat penyitaan atau surat penyerahan beserta berita acara penelitian benda sitaan dan mencocokkan dengan benda sitaan yang dimaksud. Petugas pendaftaran mencatat dan mendaftarkan benda sitaan sesuai dengan tingkat

pemeriksaan. Setelah selesai dicatat dan didaftar benda sitaan tersebut diserahkan kepada petugas penyimpanan.

4. PenyimPAnAn

Penyimpanan dilakukan oleh petugas penyimpanan. Benda sitaan yang baru diterima disimpan berdasarkan tingkat pemeriksaan, resiko, dan jenisnya.

(32)

Penyimpanan berdasarkan tingkat pemeriksaan adalah: 1. Tingkat penyidikan.

2. Tingkat penuntutan. 3. Tingkat pengadilan negeri.

4. Tingkat pengadilan tinggi atau banding. 5. Tingkat Mahkamah Agung (Kasasi). Penyimpanan berdasarkan resiko adalah: 1. Benda sitaan umum.

2. Benda sitaan berharga. 3. Benda sitaan berbahaya. 4. Benda sitaan terbuka. 5. Benda sitaan hewan ternak.

Penyimpanan berdasarkan jenisnya adalah : 1. Kertas.

2. Logam. 3. Non logam.

4. Bahan kimia dan obat-obatan terlarang. 5. Peralatan listrik elektronik.

6. Peralatan bermesin mekanik. 7. Berbentuk gas.

8. Alat-alat rumah tangga.

9. Bahan makanan dan minuman. 10. Tumbuh-tumbuhan atau tanaman. 11. Hewan ternak.

12. Rumah, bangunan gedung. 13. Tanah.

(33)

Terhadap benda sitaan yang tidak disimpan di Lembaga, dititipkan oleh Kepala Lembaga kepada Instansi atau badan organisasi yang berwenang atau yang kegiatannya bersesuaian. Sedangkan terhadap benda sitaan yang dipinjam oleh pihak peradilan dan diserahkan kembali ke Lembaga maka wajib dilakukan penelitian ulang, penilaian, pemeriksaan dan penyimpanan.

5. PemelihArAAn

Kepala lembaga bertanggung jawab atas pemeliharaan keutuhan jenis, mutu, dan jumlah basan dan baran. Pelaksanaan tugas sehari-hari dilaksanakan oleh petugas pemeliharaan yang wajib:

1. Mengadakan pengawasan dan pemeriksaan secara berkala terhadap benda sitaan.

2. Memperhatikan benda sitaan yang memerlukan pemeliharaan khusus. 3. Mencatat dan melaporkan apabila terjadi kerusakan atau penyusutan

benda sitaan.

Sedangkan tugas pemeliharaan yang dilakukan antara lain: menjaga keutuhan benda sitaan untuk kepentingan proses peradilan pidana, mempertahankan mutu, jumlah dan kondisi benda sitaan agar tetap terjamin keutuhan dan keasliannya, dan mengadakan stock opname terhadap seluruh benda sitaan secara periodik.

6. PenyelAmAtAn dAn PengAmAnAn

Tugas pokok penyelamatan dan pengamanan lembaga sebagai berikut: 1. Menjaga agar tidak terjadi pengerusakan, pencurian, kebakaran,

kebanjiran, atau adanya gangguan bencana alam lainnya. 2. Melakukan pengamanan terhadap gangguan keselamatan dan

keamanan.

3. Memelihara, mengawasi, dan menjaga barang-barang inventaris lembaga.

(34)

Sasaran penyelamatan dan pengamanan meliputi benda sitaan, pegawai, bangunan dan perlengkapan, aspek-aspek ketatalaksanaan, dan

lingkungan sosial atau masyarakat luar.

7. PemutAsiAn

Kegiatan mutasi dilakukan oleh petugas pemutasian yang didasarkan kepada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab menurut tingkat pemeriksaan antara lain: surat permintaan atau surat perintah pengambilan dari instansi yang menyita, surat permintaan penuntut umum, dan surat penetapan atau putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

8. PengeluArAn/PenghAPusAn

Dasar pelaksanaan pengeluaran/penghapusan adalah: 1. Surat putusan/penetapan pengadilan.

2. Surat perintah penyidik/penuntut umum.

3. Surat permintaan dari instansi yang bertanggung jawab secara yuridis.

Tugas pengeluaran ada tiga macam:

1. Pengeluaran sebelum adanya putusan pengadilan meliputi kegiatan: a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi. b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau

ternyata tidak merupakan tindak pidana.

c. Perkara tersebut di kesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum.

d. Pengeluaran benda sitaan melalui jual lelang yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum terhadap benda sitaan yang mudah rusak, membahayakan, biaya penyimpanan tinggi dan hasil lelang barang bukti tersebut berupa uang disimpan di Lembaga untuk dipakai sebagai barang bukti.

(35)

e. Pengeluaran benda sitaan berdasarkan permintaan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis.

2. Pengeluaran benda sitaan dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

a. Benda tersebut akan dikembali kepada yang paling berhak, b. Dirampas untuk kepentingan negara dengan cara dilelang, dimusnahkan, dan atau diserahkan kepada instansi yang berkepentingan berdasarkan putusan pengadilan.

3. Pengeluaran yang dilakukan setelah proses penghapusan didasarkan atas usul kepala lembaga karena adanya kerusakan, penyusutan, kebakaran, bencana alam, pencurian, barang temuan, dan barang bukti tidak diambil.

9. PelAPorAn

Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian semua kegiatan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara harus dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan tembusannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

10. PengeluArAn Akhir

Pengeluaran akhir Basan dan Baran laporannya disampaikan pada instansi yang berkepentingan, tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

kejAdiAn luAr BiAsA

Dalam hal terjadi peristiwa yang luar biasa, segera dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan instansi-instansi yang berkepentingan melalui telepon atau dengan cara lain dan kemudian segera disusuli dengan laporan lengkap secara tertulis.

(36)

2.5.2. kelemBAgAAn ruPBAsAn sAAt ini

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, keberadaan Rupbasan dibentuk di setiap kabupaten/kota oleh Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan mengatur bahwa keberadaan rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan) adalah untuk pelaksanaan penyimpanan benda sitaan negara dan barang rampasan negara yang berada di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.

Keputusan menteri kehakiman juga mengatur klasifikasi kelembagaan dan sub-unit kelembagaan masing-masing Rupbasan. Klasifikasi Rupbasan menurut keputusan tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 2.5.3. PermAsAlAhAn sePutAr

PenyimPAnAn BendA sitAAn

Meskipun pengaturan kelembagaan rumah penyimpanan barang sitaan negara telah diatur sejak

beberapa tahun yang lalu, tetapi pada kenyataannya tidak semua kabupaten/kota di Indonesia memiliki Rupbasan. Demikian halnya dengan jumlah sumber daya manusia, infrastruktur pendukung dan anggaran untuk menyimpan dan memelihara benda sitaan masih minim. Sebagai rangkaian sub-sistem penegakan hukum pidana, penyimpanan benda sitaan juga tidak luput dari permasalahan, antara lain meliputi permasalahan yang berkaitan dengan (1) pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Rupbasan sebagai tempat penyimpanan benda sitaan Negara, (2) tata organisasi, (3) dukungan biaya operasional, (4) sumber daya manusia, dan (5) operasional penanganan benda sitaan.

Gambar 4. Kelembagaan Rupbasan Saat Ini KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

DIRJEN PEMASYARAKATAN DIR. BINA REGISTRASI & STATISTIK

KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

(37)

1. PelAksAnAAn tugAs Pokok dAn fungsi ruPBAsAn

Dari review terhadap pemberitaan media maupun hasil dari kunjungan lapangan, dapat diketahui bahwa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Rupbasan belum optimal. Artinya, penyimpanan benda sitaan belum seluruhnya disimpan di Rupbasan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyimpanan benda sitaan dari penyidik masih sangat minim. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Adanya aturan pada KUHAP yang memungkinkan bagi penyidik menyimpan benda sitaan selain di Rupbasan.7

2. Kurangnya fasilitas, pengamanan, dan biaya pemeliharaan di Rupbasan.

3. Komitmen pemisahan fungsi penanganan perkara dan penanganan aset tindak pidana.

Faktor-faktor tersebut membuat Rupbasan tidak berkembang sejak dari awal pendirian pada tahun 2000. Pola manajemen, infrastruktur, sumber daya manusia, dan sebaran wilayah kerja masih terbatas. Keberadaan dan jumlah Rupbasan yang tidak sebanding dengan jumlah lembaga penegak hukum yang melakukan penyitaan dan yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap benda sitaan dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dapat terlihat dalam tabel berikut:

Tabel Perbandingan Jumlah Rupbasan dan Jumlah Polres

Jumlah Polres 497*

Jumlah Kejaksaan Negeri/ Cabang

Kejaksaan Negeri 358

Jumlah Pengadilan Negeri 315

Jumlah Rupbasan 62

Sumber: www.mahkamahagung.go.id dan www.kejaksaan.go.id

(38)
(39)

Jumlah Rupbasan yang jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah instansi penegakan hukum lainnya, yang bertanggung jawab secara yuridis terhadap benda sitaan, tentu akan berdampak pada pemenuhan ketentuan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, data laporan dan kunjungan lapangan juga menunjukkan bahwa sebagian besar benda sitaan yang dititipkan penyidik umumnya bukan barang bernilai ekonomis. Dari wawancara dengan pejabat terkait diketahui bahwa penyidik tidak/ belum menitipkan benda yang bernilai ekonomis tinggi dengan alasan kurangnya fasilitas dan pengamanan, minimnya biaya pemeliharan, atau memang karena keengganan penyidik yang bersangkutan.

Namun demikian, di tengah kondisi tersebut terdapat beberapa praktik dan terobosan yang dilakukan pihak Rupbasan. Pertama, Sub Direktorat Benda Sitaan dan Barang Rampasan mulai menyusun standar pemeliharaan termasuk standar biaya pemeliharaan untuk setiap jenis item barang. Dengan pengajuan standar-standar tersebut, diharapkan dukungan terhadap operasional Rupbasan menjadi lebih baik.

Kedua, terdapat beberapa inisiatif proaktif oleh Kepala Rupbasan untuk meningkatkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Pada Rupbasan Indramayu misalnya, Kepala Rupbasan menempatkan dua staf di Kantor Pengadilan untuk menerima benda sitaan yang mengikuti setiap berkas perkara yang diajukan oleh Jaksa. Metode ini menurut Kepala Rupbasan Indramayu dapat meningkatkan penitipan benda sitaan oleh aparat penyidik.

(40)

KANWIL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

RUPBASAN KELAS 1

Sub Seksi ADM & Pemeliharaan Sub Seksi Pengamanan & Pengelolaan Rupbasan

Sub Seksi ADM & Pengelolaan Rupbasan

Petugas Pengamanan Petugas Tata Usaha Petugas Tata Usaha

RUPBASAN KELAS 2

Gambar 5. Struktur Organisasi Rupbasan

Ketiga, dalam kunjungan lapangan Tim Peneliti juga menemukan praktik hubungan kerjasama yang berjalan baik antara KPK sebagai instansi penyidik dengan Rupbasan Jakarta Pusat. Dalam MoU kerjasama tersebut, dinyatakan bahwa Rupbasan Jakarta Pusat akan menyimpan benda sitaan KPK. Sementara itu, KPK membantu biaya operasional dari Rupbasan Jakarta Pusat.8 Hubungan kerjasama ini dilakukan hingga

proses pelelangan benda sitaan yang dirampas dan diputuskan untuk dilelang. Pada proses tersebut, Rupbasan Jakarta Pusat dilibatkan dalam proses lelang.

Selain terobosan pada tingkat operasional tersebut terdapat pula upaya-upaya pembenahan penanganan benda sitaan. Kesepakatan antara Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung dan Kapolri pada tanggal 4 Mei 2010 dikenal juga dengan MAHKUMJAKPOL. Dokumen tersebut disepakati akan meningkatkan kualitas penanganan benda sitaan. Peningkatan tersebut melalui:

(41)
(42)

1. Menkumham segera membentuk Rupbasan di setiap Kab/ Kota; 2. Setiap barang sitaan disimpan di Rupbasan; dan

3. Setiap pelimpahan yang barang buktinya ada di Rupbasan, supaya ditembuskan ke Rupbasan.

Sasaran dari upaya tersebut adalah terintegrasinya benda sitaan dan barang rampasan di Rupbasan sesuai peraturan perundang-undangan dan kejelasan adanya instansi yang bertanggungjawab secara yuridis. Pada kunjungan di Rupbasan, diperoleh informasi bahwa pokok-pokok kesepakatan tersebut belum sepenuhnya terlaksana.

2. tAtA orgAnisAsi

Dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rutan dan Rupbasan menyebutkan terdapat dua jenis kelas Rupbasan yaitu Rupbasan Kelas I dan Rupbasan Kelas II. Berdasarkan keputusan tersebut disebutkan bahwa eseloneering Rupbasan Kelas I adalah setingkat Eselon 3A. Kenyataannya, saat ini seluruh Rupbasan tidak membedakan Kelas I ataupun Kelas II. Di samping itu, seluruh pimpinan Rupbasan ditetapkan pada eselon empat. Bila dipadankan dengan jabatan pemerintah daerah maka kepala Rupbasan disetarakan dengan Lurah. Dan bila dipadankan dengan Kepolisian, kepala Rupbasan disetarakan dengan Kapolsek. Dengan tingkat eseloneering yang demikian, membuat Kepala Rupbasan sulit untuk memberikan dorongan dan koordinasi dalam penanganan benda sitaan.

3. dukungAn BiAyA oPerAsionAl

Berdasarkan diskusi yang dilakukan dengan pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM serta dengan beberapa Kepala Rupbasan diketahui bahwa biaya operasional pemeliharaan benda sitaan hanya sebesar Rp 2.250.000 per tahun. Dapat disimpulkan bahwa dengan biaya tersebut akan berdampak terhadap rendahnya kemampuan penyediaan fasilitas dan kegiatan pemeliharaan. Diketahui pula bahwa proses penganggaran Rupbasan belum dikaitkan dengan kinerja penyimpanan dan pemeliharaan benda sitaan. Penyebabnya adalah bahwa sebagian

(43)

besar benda sitaan belum dititipkan di Rupbasan dan nilai realisasi atas penjualan lelang menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi instansi penyidik.

4. sumBer dAyA mAnusiA

Hingga saat ini, Kementerian Hukum dan HAM belum mengembangkan pegawai khusus untuk menangani Rupbasan. Pegawai yang bekerja di Rupbasan merupakan pegawai dari pusat, dari departemen/bagian lain, yang kompetensinya tidak terkait dengan penanganan benda sitaan.

5. oPerAsionAl PenAngAnAn BendA sitAAn

Berdasarkan Pasal 39 KUHAP batasan, jenis, dan jumlah benda sitaan pidana bersifat relatif karena tergantung kepada pendapat penyidik dalam pemenuhan kebutuhan pembuktian tindak pidana yang melekat kepada benda tersebut. Pasal 39 tersebut menjelaskan benda sitaan sebagai berikut:

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

2. Benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.

3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka beban penyimpanan terkait jumlah dan jenis benda sitaan tidak dapat diperkirakan sebelum benda tersebut disita oleh Rupbsan. Di sini terlihat bahwa peran Rupbasan hanya menyimpan benda sitaan. Rupbasan tidak memiliki kewenangan untuk menentukan jenis dan jumlah barang yang dapat disita.

(44)

Selain itu, dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk menyimpan dan memelihara barang dan benda sitaan sebagian Rupbasan

menghadapi berbagai permasalahan yang dapat mempengaruhi keberadaan, kondisi, dan nilai benda yang disimpan. Berbagai permasalahan tersebut antara lain:

1. Keterbatasan tempat penyimpanan atau gudang. 2. Rendahnya anggaran untuk biaya perawatan. 3. Tidak adanya batas waktu.

4. Terbatasnya tenaga pengamanan.

5. Eksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tidak segera dilakukan terhadap barang yang dititipkan.

6. Beberapa permasalahan tersebut tentu akan berdampak pada keutuhan jumlah dan nilai dari benda sitaan dan barang rampasan yang disimpan di Rupbasan. Pada akhirnya, masalah tersebut menyebabkan hilangnya potensi perolehan negara baik berupa Barang Milik Negara (BMN) yang bersumber dari penetapan pengadilan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bila proses hukum di Pengadilan menetapkan bahwa barang tersebut dirampas untuk digunakan oleh instansi negara maupun dilelang dan disetorkan ke kas negara.

(45)

lampiran 1

rupbasan dalam media

1. ruPBAsAn lAmPung

Rupbasan Lampung sebagai pihak yang menerima barang titipan dari pihak penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan, sudah mengalami over kapasitas sejak beberapa waktu yang lalu. Hal ini terjadi karena Rupbasan Lampung menerima banyak titipan sementara hanya memiliki satu gudang penyimpanan yang terisi penuh dengan barang-barang sitaan. Disamping masalah tersebut, over kapasitas yang terjadi pada Rupbasan Lampung juga disebabkan belum adanya eksekusi oleh jaksa terhadap barang yang telah memperoleh keputusan pengadilan untuk dilelang9.

2. ruPBAsAn kelAs i medAn

Banyak barang simpanan yang telah diterima dan belum dilakukan eksekusi putusan pengadilan membuat pada basan dan baran yang disimpan di Rupbasan Kelas I Medan menjadi barang rongsokan. Beberapa barang yang disimpan di Rupbasan Kelas I Medan telah disimpan selama lebih dari lima tahun, terhadap barang tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap namun belum dilakukan eksekusi oleh jaksa.

Keterbatasan kemampuan Rupbasan Kelas I Medan mengakibatkan tidak tertanganinya basan dan baran secara tepat dan baik, banyak dari barang yang dititipkan ditempatkan di bawah terik matahari dan hujan di ruang terbuka atau halaman kantor. Disamping itu banyak barang-barang yang dari segi sifatnya sesuai dengan ketentuan KUHAP memungkinkan untuk dilelang meskipun masih dalam proses hukum namun tidak dilakukan pelelangan misalnya gula, sehingga ketika dilakukannya pelelangan gula tersebut tidak layak lagi untuk dikonsumsi10.

9 Harian Radar Lamsel, 15 Februari 2009, www.radarlamsel.com/150209109 10 www.greenmedia.com, 02 Februari 2009

(46)

3. ruPBAsAn PAngkAl PinAng

Permasalahan over kapasitas yang terjadi karena Rupbasan Pangkal Pinang menerima penitipan barang sitaan dari banyak instansi penegak hukum yang ada di provinsi Bangka Belitung. Sebanyak 10 instansi yang terdiri dari Polres Pangkal Pinang, Polda Bangka Belitung, Kejari Pangkal Pinang, Kejari Sungai Liat, Kejari Muntok, Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, Pengadilan Tinggi Bangka Belitung, Mahkamah Agung dan Polair Polda Babel. Di samping itu, Rupbasan Pangkal Pinang juga mengalami permasalahan dalam menjaga keamanan barang titipan karena kekurangan petugas pengamanan. Berikut adalah statistik basan dan baran pada tahun 200911

No Instansi Asal Masuk Keluar

1 Polresta Pangkal Pinang 18 1

2 Polres Basel 13 3 Polda Babel 10 4 Kejari Pangkalpinang 48 5 Kejari Sungailiat 45 6 Kejari Muntok 7 Pengadilan Negeri Pkp 20 1

9 Pengadilan Tinggi Babel 1

10 Mahkamah Agung 1

Jumlah 161 2

4. ruPBAsAn BAndung kelAs i BAndung

Minimnya biaya perawatan dan pemeliharaan menyebabkan barang titipan yang disimpan Rupbasan Kelas I Bandung tidak terpelihara dengan baik dan dibiarkan begitu saja. Meskipun ada perawatan maka hal itu sangat minimal bisa dilakukan. Hal tersebut terjadi karena alokasi dana perawatan yang dapat digunakan oleh Rupbasan Kelas I Bandung hanya Rp 1.000.000, sementara barang yang harus dirawat jumlahnya ribuan.

(47)

Demikian juga untuk merawat 200 kendaraan bermotor hanya tersedia biaya untuk 10 liter bensin saja, hal lain yang menjadi permasalahan di Rupbasan Kelas I Bandung adalah pemilik tidak mengambil barang sitaan yang telah diperintahkan oleh Pengadilan untuk dikembalikan setelah memperoleh kekuatan hukum.

Menurut data yang diperoleh sampai tahun 2008 Rupbasan Kelas I Bandung menyimpan sekitar 1.557 barang sitaan dan rampasan.12

Status Kasus Isi Gudang AkumulasiJmlh

Umum Berharga Berbahaya Terbuka

A I Penyidik 1 - 5 9 15

A II Kejaksaan 1378 13 7 138 1536

A III PN 4 - - 2 6

Jumlah 1383 13 12 149 1.557

5. ruPBAsAn yogyAkArtA

Masalah integritas data dan bukti fisik juga terjadi pada Rupbasan Yogyakarta. Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah barang sitaan dan rampasan yang tertera pada daftar barang simpanan dengan barang yang ada di ruang penyimpanan atau gudang. Hal ini terungkap dalam temuan kunjungan kerja Komisi III DPR-RI di Rupbasan Yogyakarta pada 22 Juni 2010.13

12 www.hukumonline.com; 3 Juli 2008 13 www.parlemen.com; 24 juni 2010

(48)
(49)

lampiran 2

Aspek Perdata Benda sebagai obyek

Penyitaan dan Perampasan Pidana

Sebagai obyek penyitaan dan perampasan benda dan atau barang yang terkait dengan tindak pidana menjadikan pengaturan tentang benda secara perdata sebagai acuan.

Ketentuan hukum yang mengatur tentang kebendaaan meliputi azas kebendaan, pembagian dan pembedaan benda serta hak kebendaaan terdapat dalam beberapa undang-undang antara lain Buku Ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang Pokok Pokok Agraria (UUPA Nomor 5 Tahun 1960), Undang-Undang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Nomor 4 Tahun 1996) dan Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF Nomor 42 Tahun 1999).

PengertiAn BendA

Benda terbagi ke dalam dua pengertian yaitu benda dalam artian sempit diartikan sebagai benda yang dapat dilihat atau berwujud sedangkan dalam artian luas diartikan dengan setiap benda dan hak-hak yang dapat dikuasai dengan hak milik sebagai disebut dalam Pasal 509 KUH Perdata. Pengertian lainnya seperti pada Pasal 499 KUHPer bahwa benda adalah setiap benda dan setiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik dan segala sesuatu yang dapat di-HAKI atau dijadikan obyek hak milik.

AzAs hukum BendA

Azas hukum benda termuat dalam Buku II KUHPer mulai Pasal 499 sampai dengan 1232. Dijelaskan bahwa benda merupakan kumpulan aturan hukum tentang benda. Sistem pengaturan pada Buku II KUHPer adalah sistem tertutup yang berarti seseorang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang ada di dalam Buku II tersebut yang memuat azas-azas hukum kebendaan sebagai berikut:

(50)

1. Hukum memaksa

Aturan yang berlaku menurut undang-undang wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak.

2. Dapat dipindahkan

Semua hak kebendaan dapat dipindahkan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindahkan (seperti hak pakai dan hak mendiami), tetapi setelah berlakunya UUHT, semua hak kebendaan dapat dipindahtangan. 3. Individualitas

Hak kebendaan suatu benda yang dapat ditentukan secara individu artinya berwujud dan merupakan satu kesatuan bukan benda yang ditentukan menurut jenis jumlahnya, misalnya memiliki rumah, hewan, dll.

4. Totalitas

Dalam azas totalitas ini mencakup suatu azas perlekatan. Seseorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, gerbang, dan benda-benda lainnya yang menjadi pelengkap dari benda pokoknya (tanah).

5. Tidak dapat dipisahkan

Seorang pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian dari wewenang yang atas suatu hak kebendaan seperti memindahkan

sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah harus utuh, karena itu pemindahannya juga harus utuh. Tetapi, Eigendom dapat dibebani dengan hak lain seperti hak tanggungan atau hak memungut hasil. Jika hak-hak tersebut dilepaskan, hal ini tidak berarti pemilik melepaskan sebagian wewenangnya karena hak miliknya masih utuh.

(51)

6. Prioritas

Azas ini timbul sebagai akibat dari azas nemoplus yaitu azas yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dimilikinya atau seseorang tidak dapat memindahkan haknya kepada orang lain lebih besar daripada hak yang ada pada dirinya.

7. Azas percampuran

Percampuran terjadi bila dua atau lebih hak melebur menjadi satu. 8. Pengaturan dan Perlakuan yang Berbeda terhadap Benda Bergerak

dan Tidak Bergerak

Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara kedua jenis benda tersebut.

9. Azas publisitas

Azas ini berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak bergerak kepada masyarakat. Sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak perlu didaftarkan, artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata.

10. Perjanjian kebendaan

Perjanjian kebendaan, perjanjian yang mengakibatkan berpindahnya hak kebendaan. Perjanjian disini bersifat obligatoir artinya dengan selesainya perjanjian, tujuan pokoknya belum selesai karena baru menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak artinya hak belum beralih sebab masih harus dilakukan penyerahan bendanya terlebih dahulu.

Gambar

Gambar 1. Tahapan Studi
Gambar 2. Para Pihak dan Alur Penyitaan-Perampasan
Gambar 3. Diagram Proses Penanganan Benda Sitaan pada Rupbasan
Gambar 4. Kelembagaan Rupbasan Saat Ini KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di RPH Kalirajut yaitu 32 jenis yang terdiri dari 17 famili, sedangkan di

Dalam Rangka Proses Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Di Lingkup Pemerintah Kabupaten Simalungun

Masalah- masalah : - Prenggek tidak bongkar di TPI Brondong/diluar lamongan - Harga ikan relative murah tidak sesuai dg biaya operasional - Gaji karyawan minim. - Banyaknya

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi akademisi yaitu strata-1 dan dosen dengan strata-2 dan profesi akuntansi tentang Akuntansi forensik tidak sama

Dengan data jumlah kalori yang dimiliki buruh angkut diatas, peneliti dapat menentukan kekurangan kalori buruh angkut yang seharusnya terpenuhi dari makanan

dapat disimpulkan bahwa remaja yang pengetahuan tinggi tentang khasiat parutan kunyit dan madu untuk meredakan nyeri disminorea yang terbanyak adalah dalam

B- Jika hadir mengikuti perkuliahan minimal 80% dari jumlah perkuliahan, mengumpulkan tugas individu dan kelompok terlambat dua hari dari tanggal presentasi yang

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan sebuah pendekatan baru yang dapat mendeteksi serangan DDoS secara efisien, berdasarkan pada karakteristik