• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi Paparan Sulfur Dioksida Dengan Kadar Protein C-Reaktif, Nilai VEP1, KVP, Rasio VEP1 KVP Dan AEP 25-75% Pada Pekerja SPBU Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sulfur Dioksida

Polutan adalah kandungan alamiah di udara merupakan bagian dari kehidupan sehari – hari, dan sulit untuk dipisahkan dari udara yang dihirup oleh pernafasan. Kegiatan manusia juga merupakan salah satu penyebab ketidak seimbangan didalam mekanisme proses sirkulasi udara yang bersih dan peningkatan polutan di atmosfir sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan (Atash, 2007) .

Polutan di atmosfir dibedakan menurut sumbernya, komposisi kimiawi, ukuran dan bentuk pelepasan didalam atau diluar ruangan. Pada abad ke-20 persoalan polusi udara berhubungan erat dengan tingginya konsentrasi sulfur dioksida . Pengawasan terhadap sulfur dioksida dengan konsentrasi 0,25 ppm terhadap manusia dalam waktu 5 menit akan menyebabkan bronkhokonstriksi, baik pada orang sehat dan asma. Penderita yang terinhalasi oleh sulfur dioksida berkaitan dengan ditemuinya TNF-α promoter polymorphism yang diketahui berhubungan erat dengan asma (Bernstein et al., 2004)

Sulfur dioksida adalah gas tak berwarna dengan aroma yang menyegat dan bersifat iritatif, berubah menjadi cair bila dalam tekanan rendah dan sangat mudah larut dalam air. Secara alamiah, sulfur dioksida akan dilepaskan pada keadaan terjadinya peletusan gunung vulkanik. Namun menurut banyak penelitian bahwa pelepasan sulfur dioksida ( SO2) terutama adalah berasal dari kontruksi

(2)

bahan bakar hasil sumber daya alam serta emisi kenderaan bermotor. Pelepasan sulfur dioksida ke lingkungan udara akan menyebabkan konversi menjadi asam sulfur bila berikatan dengan air (Atsdr.cdc.gov, 2015; Bernstein et al.,2004).

2.1.1. Sifat Dan Struktur Fisikokimiawi Sulfur Dioksida

Terbentuknya sulfur dioksida merupakan pelepasan ke atmosfer disebabkan oleh beberapa proses seperti produksi asam sulfur, industri kimia. Di alam pelepasan bahan organik sebagai gas hydrogen sulfit ( H2S ) yang akan

teroksidasi oleh keberadaan radikal hydroxyl ( HO*). H2S di transformasi

menjadi SO2

2H

dalam tiga tahapan reaksi , yaitu (Jettawana, 2005):

2

Sifat fisikokimiawi sulfur dioksida lebih berat dari udara dan disebut juga dengan sulfourous anhydride, sulfur dioxide, sulfurous oxide dan sulfurous acid anhydride berupa ikatan formulasi kimiawi SO

+ O2* (4)

2 dan struktur kimia O=S=O , dan

berat molekul 64.06 Dalton. Struktur fisik berupa gas tidak berwarna dengan densitas 2.927 g/L pada 0˚C dan 760 mmHg. Solubilitas sulfur dioksida dalam air adalah 23g/100 mL pada 0˚C dan dapat larut dengan pelarut organic seperti asam asetat, alkohol, kloroform, eter maupun pelarut anorganik sebagai asam sulfur. Dalam atmosfer SO2 dapat dikonversi menjadi asam sulfur ( H2SO4), sulfur

(3)

dengan HO* untuk membentuk radikal bisulfide ( HSO3

SO

*) yang akan dapat bereaksi dengan HO* membentuk H2SO4.

2 + HO* HSO3

2 dilarutkan dalam air, akan terbentuk sulfurous acid ( H2SO3

( HSO

) reaksi yang tidak stabil dan lemah sehingga akan berubah menjadi bisulfide

3

2 secara berangsur – angsur teroksidasi menjadi sulfur trioksida (

SO3) yang akan bereaksi dengan air membentuk asam sulfur. (Jetawattna, 2005).

2SO2 + O2 2SO3

SO

(10)

3 + H2O H2SO4

Sulfur dioksida dapat berkombinasi dengan H

(11)

2O2

SO

membentuk asam sulfur.

2 + H2O2 H2SO4 (12)

2.1.2. Paparan Sulfur Dioksida Terhadap Manusia

(4)

deposit udara dengan tingkat humiditas pada permukaan udara, terutama dalam bentuk asam sulfur. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan daerah industri, penduduk yang padat, lalu lintas kenderaan bermotor yang tinggi, pekerja yang berdekatan dengan emisi kenderaan bermotor merupakan salah satu jalan menyebabkan terinhalasi oleh sulfur dioksida. Menurut EPA National Air Pollutant, sumber terbentuknya sulfur dioksida adalah emisi industri yang berhubungan dengan proses baja, minyak dan kenderaan bermotor. (International Agency for Research on Cancer, 1992;

Riordan dan Adeeb., 2004)

(5)

Jenis polutan dibedakan berdasarkan sumber, komposisi kimia, ukuran dan bentuk pelepasan material ke lingkungan yaitu (Fortoul et al ., 2008; Bernstein et al., 2004):

1. Polutan primer, polutan langsung ke lingkungan (atmosfer)

2. Polutan sekunder , polutan berasal dari reaksi kimia dengan polutan lainnya dan gas

3. Polutan di dalam ruangan ( indoor pollutants), bersumber dari kegiatan memasak, bahan bangunan, pendingin ruangan, produk pembakaran termasuk rokok dan agen biologis.

4. Polutan diluar ruangan (outdoor pollutants ),bersumber dari pembakaran dari proses produk – produk industri, kenderaan bermotor, sulfur dioksida, ozone, nitrit oksida, karbon oksida, specific volatile organic compounds dan Partikulat Matter Coarse (2,5 - 10μm; regulatory standard =PM10), fine PM (0,1-2,5μm; regulatory standard = PM2,5); ultrafine PM (<0,1μm; no regulated).

(6)

paparan sulfur dioksida dalam waktu 5 menit dengan konsentrasi sulfur dioksida 0,25 ppm akan menyebabkan konstriksi saluran pernafasan, peningkatan penyakit asma (Bernstein et al., 2004; WHO Regional Office for Europe., 2000).

Ambien pencemaran udara memperlihatkan hubungan dengan beberapa keadaan akut dan kronik pada manusia terutama yang berhubungan dengan sistem pernafasan dan kardiovaskular. Kandungan polutan di udara diyakini menyebabkan gangguan terhadap sistem pernafasan. Gangguan pernafasan akibat paparan polusi udara terhadap pekerja dapat diukur melalui variasi sumber polusi, tingkat emisi dan konsentrasi polusi udara serta durasi kontak dengan polutan. Tiga faktor resiko menyebabkan termasuk karsinogenik dan genotoksik, fibrosis , penyakit paru obstruktif kronik adalah beberapa contoh gangguan yang ditimbulkan akibat polutan di udara. The World Health Organization memperkirakan bahwa 865.000 jiwa kematian pada bayi premature akibat ambient polusi udara di China dan India. Mekanisme polutan tersebut menyebabkan gangguan terhadap kesehatan masih dalam penelitian, namun adanya mediasi reaksi inflammasi baik di jaringan lokal maupun secara sistemik dapat menjadi indikator adanya hubungan reaksi inflamasi tubuh terhadap polutan yang masuk. (Fortoul et al., 2008; World Health Organization, 2013).

2.2. Sistem Pernafasan Manusia

(7)

Saluran bronkus diselimuti oleh epitel yang terdiri dari berjenis sel dengan fungsi yang berbeda-beda. Di dalam sub mukosa di bawah bronkus, terdapat kelenjar mucus dan serous untuk mensekresi ke permukaan epithelium. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet, memproduksi mukus. Mukus yang disekresi dapat dinilai viskositasnya, pH dan muatan nya juga afinitas pewarnaannya (Wardlaw, 2002).

Dengan adanya intercellular junction, saluran ini terpisah sebagai ruangan antara epithelium yang dikenal dengan ruang interstitial dan jaringan ikat ( connective tissue ), fibroblas, limfosit, makrofag dan sel-sel lainnya yang dapat bermigrasi dari pembuluh kapiler. Udara akan masuk dan mengalami tingkat kelembapan, dan filtrasi , mencapai alveoli untuk proses difusi gas. Perubahan komposisi dan komponen sel-sel epitel berhubungan dengan berbagai penyakit yang berkaitan dengan polusi udara (Hendrick, 2002).

Simtom atau gejala adalah bentuk dari indikator penyebab penyakit. Gejala gangguan pernafasan dibedakan atas dua bentuk yaitu gangguan pernafasan bagian atas termasuk sinusitis, gangguan tenggorokan, batuk berdahak, batuk kering, demam, mata merah dan gangguan pernafasan bagian bawah termasuk bersin, sesak nafas, rasa tidak enak atau nyeri dada. Penyebab gejala tersebut umumnya adalah disebabkan infeksi bakteri dan virus ataupun jamur. Gejala gangguan pernafasan dengan multifaktor penyakit pernafasan seperti asma atau penyakit paru obstruktif khronis adalah berhubungan akibat paparan polusi udara. Keadaan ini diikuti dengan pelepasan IL-6, TNFα, PGE2, PDGF, TGFβ,

(8)

Sistem pernafasan mulai berkembang pada saat minggu ke 4 masa kehamilan, dimana laring adalah primordial sistem pernafasan. Struktur ini dilapisi oleh endoderm yang akan berdiferensiasi menjadi epitel pernafasan dan kelenjar pernafasan. Struktur lainnya akan berkembang dari splanchnic mesoderm yang terdapat disekitar endoderm. Regulasi morfogenesis sistem pernafasan dikoordinasi oleh berbagai struktur dalam periode yang berbeda-beda. Ekspressi molekul seperti Fibroblast Growth factor ( FGF ), sonic hedgehog, Bone Morphogenic Protein ( BPM ), retinoic dan Wnt signaling pathway , serta faktor transkripsi mempengaruhi regulasi dalam pembentukan saluran system pernafasan (Cardoso dan Lu,2006).

Pada akhir minggu ke 7, organ paru terbentuk, namun maturasi akan melewati masa – masa pre dan post natal. Sebesar 80% jaringan alveolar paru akan berkembang sampai usia remaja. Adanya paparan terhadap organ paru pada masa perkembangannya akan berakibat terjadinya penyakit paru di usia dewasa muda seperti restriksi dan penurunan kemampuan paru ( Wang dan Pinkerton, 2008; Rojas – Martinez et al., 2007). Paparan bahan iritatif seperti partikulat matter, karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen, ozon di lingkungan sekitar berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya asma dan infeksi pernafasan baik pada dewasa dan anak – anak (Wang dan Pinkerton, 2008).

2.2.1. Fisiologi Sistem Pernafasan

(9)

sel – sel dan membuang karbon dioksida yang dihasilkan oleh metabolisme seluler. (Mottram, 2013).

Keadaan fisiologis faal paru dikatakan normal jika hasil kerja ventilasi, distribusi, perfusi, difusi serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi dalam keadaan santai ( keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban kerja yang berat) menghasilkan tekanan parsial gas darah arteri ( PaO2 dan PaCO2

2.2.1.1. Ventilasi

) yang normal. (Patel, 2008) .

Ventilasi adalah proses pergerakan udara dari dan ke dalam paru. Istilah ventilasi menyangkut volume udara yang bergerak masuk dan keluar dari hidung atau mulut pada proses bernapas. (Patel, 2008).

Ventilasi per menit (Minute Ventilation ) adalah volume udara yang keluar dari paru dalam satu menit diukur dalam liter.

VE = VT . F

VT = Volume udara yang masuk dan keluar selama satu kali bernafas F = Frekuensi nafas per menit

Ventilasi alveolar atau VA (Alveolar Ventilation ) adalah volume udara inspirasi yang dapat mencapai alveoli dan mengalami pertukaran gas dengan darah. Sedangkan Ventilasi Percuma atau VD ( Wasted Ventilation, dead spaceventilation ) adalah volume udara inspirasi yang tidak mengalami pertukaran gas dengan darah. (Patel, 2008; Tortora, 2009).

(10)

2.2.1.2. Distribusi

Setelah proses ventilasi, udara yang telah masuk saluran nafas didistribusikan ke seluruh paru, kemudian masuk kedalam alveoli. Udara ini tidak terbagi rata ke semua alveoli. Udara yang pertama terhirup, masuk ke puncak paru, kemudian disusul oleh udara di belakangnya, masuk ke basis paru. Distribusi yang tidak merata ini mengakibatkan nilai ventilasi di puncak paru lebih besar dibandingkan nilai ventilasi di basis paru. (Patel, 2008).

2.2.1.3. Perfusi

Yang dimaksud dengan perfusi adalah sirkulasi darah di dalam pembuluh kapiler paru. Rangkaian pembuluh darah di paru sangat pada, terdapat kira – kira 6 milyar kapiler yang mengelilingi 3 juta alveoli di kedua paru, sehingga terdapat 2000 kapiler untuk satu alveoli. Aliran darah di dalam paru mempunyai tekanan lebih rendah ( 15 mmHg ) jika dibandingkan dengan tekanan darah sistemik yang saat diastole 80 mmHg, tekanan di kapiler paru kira – kira seperlimanya. (Patel, 2008;Tortora, 2009).

2.2.1.4. Difusi

(11)

puluh dari tebal butir darah merah sehingga molekul oksigen tidak mengalami kesulitan untuk menebusnya. Peristiwa difusi yang lain didalam paru adalah perpindahan molekul karbon dioksida dari darah ke udara alveolus. (Patel, 2008). 2.2.2. Sistem Imun Organ Paru

2.2.2.1. Sistem Imun Non-Spesifik dan Spesifik Organ Paru

Peran utama organ paru adalah sebagai organ tempat pertukaran gas. Bersamaan dengan hal tersebut, organ paru merupakan jalan utama masuknya berbagai macam protein asing termasuk patogen. Walaupun organ paru terpapar oleh berbagai macam organisme patogen, namun organ paru mempunyai mekanisme mempertahankan lingkungannya agar tetap sehat dan steril dengan kemampuannya mensensitisasi benda asing. Keseimbangan tersebut akan menjaga organ paru tetap dalam keadaan sehat. Dalam rangka menjaga keseimbangan tersebut, organ paru mempunyai suatu sistem imun dengan berbagai komponen yang berbeda. Komponen tersebut termasuk lapisan secara fisik, sistem innate imunity dan sistem imun spesifik (Wardlaw, 2002; Abbas, 2007).

Mekanisme sistem innate immunity organ paru terdiri dari:

(12)

mucus yang disekresi akan menjadi penghalang terhadap antigen yang masuk;

2. Peptida yang bersifat sebagai anti mikroba, peptide yang disekresi oleh leukosit ke permukaan mukosa, yaitu defensins, lactoferrrin (Lf), lysozyme, dan collectine;

3. Sel-sel yang terlibat dalam innate immunity, yaitu sel NK, granulosit, sel mast, makrofag alveolar, cytokines dan chemokines;

4. Migrasi leukosit ke organ paru.

Mekanisme lain adalah sistem imun spesifik. Sistem ini terdiri dari dua komponen utama yaitu melalui sistem imun selular dimediasi oleh sel T dan sistem imun humoral. Dasar dari sistem imun spesifik ini adalah adanya antigen reseptor. Sistem ini mampu untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Pajanan menimbulkan sensitisasi sehingga pajanan kedua kalinya akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Pada sistem humoral sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler dan pada imunitas selular, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Cytotoxic T cell ( CTC/Tc) sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi. (Wardlaw, 2002; Murphy, 2008).

(13)

mekanisme homeostatik dalam respon reaksi inflamasi. Fungsi utama adalah sebagai growth factor, aktivasi sel dan sebagai kemoatraktan. Aktivitas melalui pengikatan pada membrane reseptor yang menstransduksi sinyal ke sitoplasma. Reseptor meneruskan sinyal untuk mengekspressikan mediator yang tergantung kepada jenis sel dan jenis alur transduksi untuk menghasilkan ligan reseptor dan ligan sitokin. Transduksi sinyal dari reseptor kepada second messengers dalam sitoplasma dimediasi oleh berbagai pilihan antara lain reaksi foforilasi pada tirosin atau serin dan residu treonin (kinase) atau melalui jalur defosforilasi (fosfatase). Alur sinyal transduksi menyebabkan efek faktor – faktor transkripsi dalam peningkatan mRNA dan sintesis protein. (Murphy, 2008; Kumar, 2010).

Dua famili utama sitokin berperan di dalam sistem imun yaitu interleukin dan kemokin. Beberapa fungsi interleukin – interleukin dan sitokin yang terlibat didalam sistem imunitas organ paru dapat dilihat pada tabel dibawah ini. ( Wardlaw, 2002).

Tabel 2.1. Fungsi Interleukin dan Sitokin yang Terlibat di dalam Sistem Imunitas Organ Paru

Sitokin Sumber Sintesis Sel

Fungsi Utama Berhubungan Dengan Sistem Imun Organ Paru

IL-1β Monosit/makrofag Pleitropic pro-inflammatory cytokine berperan sebagai induksi IL-2R pada sel T, aktivasi leukosit dan sel jaringan setempat, sebagai protein fase akut seperti TNF-α

IL-2 Sel T Proliferasi sel T, stimulasi B sel, Nk sel dan monosit

IL-3 Sel T Growth factor untuk eosinofil dan sel mast IL-4 Sel T, basofil Sitokin Th2 memicu sel B utk sintesis IgE,

(14)

IL-5 Sel T Sitokin Th2 dalam diferensiasi eosinophil IL-10 Sel T/ monosit Th1 berhubungan dengan sitokin menstimulasi

aktivasi dan proliferasi Th1 limfosit dan produksi IFNγ

IL-13 Sel T Th2 berhubungan berfungsi seperti IL-4

IL-18 Sama seperti IL-12

TNF-α Monosit/makrofag Aktifasi pro inflamasi melalui aktivasi transuksi NFkappaβ termasuk stimulasi protein fase akut, induksi demam

TGFβ Monosit/makrofag fibroblasTh3

Pelepasan bentuk dengan membuka terminus N, kontrol matriks selular dalam fibrinogenesis.

IFNγ Th1 sel/ sel NK Stimulasi aktifasi Th1 limfosit dan inhibisi aktivasi Th2 limfosit.

2.3.Paparan Sulfur Dioksida pada Sistem Pernafasan 2.3.1. Polusi Udara Dan Sistem Pernafasan

Sulfur dioksida merupakan gas bersifat iritatif , cepat diabsorpsi oleh lapisan mukosa hidung dan saluran nafas bagian atas. Absorpsi pada bagian saluran nafas bawah berkaitan erat dengan ventilasi transisi dari bahagian saluran nafas atas menuju pernafasan tenggorokan. Pada saat telah mencapai dengan membrane mukosa yang lembab, sulfur diokasida akan dihidrolisa membentuk sulfit dan kemudian diabsorsi masuk kedalam darah dan didistribusi keseluruh tubuh. Dijumpainya metabolit sulfit dalam organ paru, hepar, ginjal membuktikan bahwa metabolit sulfit dari sulfur dioksida dapat diabsorpsi secara sistemik. (Gunnison dan Jacobsen,1987)

(15)

dan ion – ion hydrogen. Rangkaian formulasi reaksi dapat dapat terlihat sebagai

Sulfit yang terbentuk teroksidasi membentuk sulfat, reaksi katalisasi oleh enzim sulfit oksidase di hepar. Sulfit oksidase dijumpai di mitokondria . Pada beberapa penelitian dijumpai peningkatan sulfit oksidase di organ hepar, ginjal dan jantung namun aktivitas di organ paru ditemukan lebih rendah sedangkan sulfur dioksida yang terinhalasi dieksresi oleh ginjal dalam bentuk sulfat. (Gunnison dan Jacobsen,1987).

2.3.2. Mekanisme Inflamasi dan Polusi Udara

Inflamasi atau peradangan adalah respon tubuh terhadap jaringan, bertujuan mempertahankan kelangsungan hidup organisme dengan jalan eliminasi jaringan yang rusak atau nekrosis maupun agen penginvasi ( virus, mikroba) termasuk akibat metabolit – metabolit oksidan dari jejas sel akibat trauma fisik panas, dingin dan partikulat mater diudara. Respon pertama adalah disebut sebagai innate immunity, dengan tanda – tanda sebagai cardinal sign, yaitu :

1. Tumor (pembengkakan jaringan atau edema) terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik (pembentukan transudat) atau peningkatan permeabilitas kapiler (pembetukan eksudat)

2. Rubor , disebabkan vasodilatasi karena sekresi histamin 3. Kalor, disebabkan vasodilatasi akibat sekresi histamine

(16)

5. Functio Laesa , yaitu disfungsi organ dan jaringan. (Kumar, 2010) Inflamasi dibedakan atas inflamasi akut dan inflamasi kronik. Inflamasi akut adalah respon host yang cepat berfungsi mengirimkan leukosit dan protein plasma ke daerah infeksi atau cedera jaringan. Komponen reaksi pada inflamasi akut adalah perubahan dalam pembuluh darah yang berakibat meningkatnya aliran darah, perubahan dalam tingkat mikrovaskular sehingga memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi dan adanya emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi. Tujuan reaksi terebut dalam rangka menghilangkan agen penginvasi. (Kumar, 2010).

Inflamasi kronik adalah inflamasi dengan waktu yang berminggu atau berbulan-bulan. Kondisi ini terjadi menyusul proses inflamasi akut. Penyebab inflamasi kronik berkaitan erat dengan adanya hal-hal, antara lain (Kumar, 2010):

1. Infeksi yang menetap

2. Penyakit inflamasi yang dimediasi sistem imun

3. Paparan oleh substansi toksik, baik eksogen (partikulat mater, polutan udara) maupun endogen (lipid plasma endogen).

(17)

menghancurkan mikroba – mikroba yang terfagositosis, namun apabila berlebihan (deposit eksternal tubuh) maka efek seluler dari rangkaian ROS menyebabkan:

1. Kerusakan sel endothel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler.

2. Menimbulkan jejas pada sel – sel lain seperti sel parenkimal dan sel darah merah.

3. Inaktivasi dari antiprotease seperti α1-antitrypsin.

Dampak polusi udara di dunia terjadi pertama sekali pada tahun 1948 di Belgia dan tahun 1952 di Inggris, yang dikenal sebagai sebutan London fog, mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas penyakit jantung dan paru. Permasalahan ini berakar dari reaksi inflamasi akobat inflamasi kronik organ paru yang mengakibatkan perubahan pada endotel pembuluh darah pulmonal, terjadinya trombosis dan fibrosis. Proses ini menyebabkan rupture , translokasi partikulat mater kedalam darah melalui pembuluh darah kapiler paru dan memicu terjadinya reaksi inflamasi sistemik. ( Mills et al., 2006).

Fraksi partikulat mater berakumulasi pada hati dan limpa. Fraksi partikulat mater termasuk campuran partikel berasal dari kombusi minyak bahan bakar bermotor yang berukuran 2,5-10μm dan partikulat yang berukuran lebih halus dari 2,5μm akan mempenetrasi kedalam jaringan organ paru (Torres-Duque et al.,

2008). Paparan partrikel tersebut menyebabkan timbulnya penyakit jantung dan paru terutama pada penderita dengan defisiensi alfa-1 antitripsin, riwayat keluarga dengan penyakit paru obstruktif kronik, dan riwayat infeksi saluran nafas atas. Peningkatan konsentrasi 7μg/m3

(18)

penurunan 5% Volume Ekspirasi Paru Detik Pertama ( VEP1

Dari beberapa data penelitian diketahui bahwa aktivitas substansi pro inflamasi endotoksin dan fraksi lipopolisakarida (LPS) diinduksi oleh partikulat mater 2,5 – 10μm. Inflamasi organ paru yang diinduksi oleh partikulat mater akan mengaktivasi sel-sel makrofag yang terdapat di alveolar. Aktivasi sel makrofag menyebabkan serangkaian sitokin pro inflamasi diinisiasi menuju sel-sel endotel yang rusak. (Tamagawa et al., 2008). Peningkatan konsentrasi serum IL-6 akan terjadi dalam waktu 2 minggu terpapar partikulat mater, bersamaan dengan aktivasi makrofag alveolar, dan berakibat disintesisnya TNF-α, granulocyte – monocyte stimulating factor dan IL-1b ( van Eeden et al., 2001). Sekresi kemokin berhubungan dengan individu terpapar oleh partikulat mater. Interleukin 8 bertanggung jawab dalam aktivasi neutrophil pulmonal pada daerah inflamasi, aktivasi neutrofil dan makrofag dan Il-1b ( Seagrave, 2008).

) (Ekici et al., 2005; Schikowski et al., 2005).

(19)

dalam mengeliminasi kerusakan yang disebabkan oleh inflamasi. Dalam jangka panjang paparan partikulat matter berakibat peningkatan konsentrasi plasma endotelin-1 dan peningkatan tekanan pembuluh darah arteri pulmonal. Keseluruhan rangkaian ini akan menyebabkan reaksi inflamasi secara terus menerus, dan memproduksi sitokin inflamatori dan kemokin oleh makrofag alveolar dan sel-sel dendritik pulmonal. Banyaknya jumlah molekul- molekul inflamasi ini secara langsung akan berdampak terhadap organ paru dan sel endothelium vaskularisasi sistemik, menyebabkan perubahan pada permeabilitas vascular, memicu fibrinolisis dan koagulasi dan bertambahnya adhesi sel-sel inflamasi pada endothel vascular. (Barnes et al., 2012; Calderon-Garciduenas et al., 2007)).

(20)

2.4.Protein C-Reaktif

2.4.1. Struktur dan Fungsi Protein C-Reaktif

Protein C-Reaktif atau disebut juga C-Reactive Protein atau disingkat dengan sebutan CRP adalah suatu protein fase inflammasi akut disintesis terutama oleh hepatosit sebagai respon terhadap jejas jaringan. Ditemukan oleh Tillett dan Francis pada tahun 1930, dengan sebutan CRP karena kemampuannya dalam mengendapkan somatic C-polisakarida dari Streptococcus peneumoniae. Protein ini mampu mengikat bakteri dan memfagositosis bakteri. Selain itu CRP adalah penanda sistemik yang sangat peka terhadap reaksi inflammasi dan kerusakan jaringan, infeksi dan keganasan. (Black, 2004).

CRP termasuk famili pentraksin dari protein plasma calcium-dependent ligand-binding , yang pada manusia merupakan komponen SAP. Molekul CRP pada manusia terdiri dari lima polipeptida yang identik, masing-masing terdiri atas 206 residu asam amino. Secara structural CRP adalah molekul simetris yang terdiri dari lima protomer tidak kovalen yang berhubungan dengan promoter. Setiap promoter memiliki dua ion kalsium yang bertanggung jawab untuk pengikatan posfoklorin spesifik. Posfoklorin merupakan unsur utama dari polisakarida bakteri dan jamur dan yang paling banyak pada sel membrane biologis, seperti residu posfoklorin dari C9 kapsuler-polisakarida dari Streptococcus pneumoniae, dan hal inilah yang menyebabkan struktur protein disebut sebagi C-reactive. (Faraj, 2012).

(21)

pembuluh darah endotel sehingga memperkuat reaksi inflammasi pada pembuluh darah. Selain itu CRP juga berinteraksi dengan sel-sel endotel untuk merangsang produksi IL-6, MCP-1 dan endotelin-1 dan akan merubah fungsi pembuluh darah endotel. Selain itu CRP turut mengaktifkan NF-kB pada sel endotel dan sel mononuclear untuk menginduksi protease dan sitokin proinflammasi seperti IL-1b, IL-6, IL-8 dan IL -18, berperan dalam pemicu makrofag untuk menyerap LDL. (Kao, 2006; Khafaie, 2013).

Pengukuran kadar CRP dapat dilakukan dengan nephelometry dengan batas deteksi dari 6 sampai 10 mg/L , dikenal dengan test serum CRP. Dalam istilah laboratorium disebut high-sensitivity CRP (hs-CRP). Pemeriksaan ini memiliki batas deteksi dari sekitar 0-15 mg /L. Test ini digunakan secara luas untuk penyakit kardiovaskular, pemantauan terhadap pengobatan penyakit kardiovaskular. Pada penderita penyakit kardiovaskular kadar CRP berkisar 1 – 10 mg/L dan pada individu sehat adalah < 0,15 mg/L. (Kushner, 1978).

Dalam donor darah dewasa muda yang sehat, konsentrasi median CRP adalah 0,8 mg/l, apabila ada terjadi stimulus fase akut nilai mengalami peningkatan < 50 μg/l sampai > 500 mg/l, yaitu 10.000 kali. CRP plasma diproduksi oleh hepatosit dibawah control transkripsi oleh sitokin IL-6, TNF-α dan IL-1 meskipun situs lain dari pembentukan lokal CRP dan kemungkinan sekresi telah dikemukakan. (Kony, 2004).

(22)

terhadap peningkatan produksi benar-benar berhenti, konsentrasi CRP yang disirkulasi jatuh dengan cepat. Dalam populasi umum dengan subjek acak dan sehat, nilai rata-rata CRP cenderung meningkat seiring dengan usia. Dalam populasi umum konsentrasi CRP cenderung stabil untuk setiap individu dan sesekali terjadi lonjakan bila berkaitan dengan infeksi, peradangan dan trauma. (Macintyre, 1982).

(23)

Gambar 2.2. : Protein C-Reaktif pada Patogenesis PPOK. LPS: lipoposakarida; PAH; polyaromatic hydrocarbons, BEC, bronchial epithelial cell; GM-CSF; granulocyte colony stimulating factor; MPO; myeloperoxidase; M; macropage; TIMP; tissue inhibitors of metalloproteinase; aAT; al-antitrypsin; VEGF; vascular endothelial growth factor; END: endothelial cell; CRP : C-Reactive Protein (Young, Hopkins, dan Eaton, 2009)

2.4.2. Sintesis Protein C-Reaktif

(24)

berpengaruh terhadap endothelium sumsum tulang, hypothalamus dalam regulasi temperature tubuh, sel-sel lemak dan otot dalam mobilisasi enerji untuk menaikkan temperatur tubuh, dan terhadap sel-sel dendritik menstimulasi migrasi dan maturasi limfosit pada kelenjar lymph. Gambaran sintesis C-Reactive Protein dapat terlihat pada gambar di bawah ini (Murphy, 2008; Abbas dan Lichtman, 2007)

(25)

Gambar 2.4. Protein Fase Akut memproduksi molekul-molekul pathogen (Murphy, 2008)

2.5. Metode Uji Konsentrasi Sulfur Dioksida

Uji Kadar sulfur dioksida (SO2) dengan menggunakan acuan metoda SNI

19-7119.7-2005. Standar ini digunakan untuk penentuan sulfur dioksida (SO2

1. Pengambilan contoh uji sulfur dioksida di udara ambient dengan menggunakan larutan penyerap tetra kloromerkurat (TCM) 0.04M

) di udara ambient, metode uji konsentrasi sulfur ioksida berdasarkan SNI 19-7119-7-2005, sebagai berikut:

2. Laju alir / kecepatan alir pada pompa penghisap udara 0,5L/menit sampai dengan 1L / menit.

(26)

pararosanilin, dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.

Istilah dalam pengujian ini meliputi :

1. Udara ambien, udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

2. μg/Nm3, satuan ini dibaca sebagi microgram per normal meter kubik, notasi N menunjukkan satuan volum hisap udara kering di koreksi pada kondisi normal (250

3. Midget impringer, botol tempat penyerap contoh uji yang dilengkapi dengan ujung silinder gelas yang berada di dasar labu dengan maksimum diameter dalam 1 mm.

C,760 mmHg).

4. Larutan induk, larutan dasar konsentrasi tinggi yang digunakan untuk membuat larutan standar konsentrasi lebih rendah.

5. Larutan standar, larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui untuk digunakan sebagai pembanding di dalam pengujian.

6. Kurva kalibrasi, grafik yang menyatakann hubungan antara konsentrasi larutan standar dengan hasil pembacaan serapan dan merupakan suatu garis lurus.

7. Larutan penyerap, larutan yang dapat menyerap analat.

(27)

9. Blanko lapangan, larutan penyerap yang diperlakukan sebagai kontrol kontaminasi selama pengambilan contoh uji.

10.Pengendalian mutu, kegiatan yang bertujuan untuk memantau kesalahan analisis, baik berupa kesalahan metode, kesalahan manusia, kontaminasi, maupun kesalahan pengambilan contoh uji dan perjalanan laboratorium.

2.5.1. Prinsip Uji Konsentrasi Sulfur Dioksida Gas sulfur dioksida (SO2

2.5.2.BahanUji Konsentrasi Sulfur Dioksida

) diserap dalam larutan penyerap tetrakloromerkurat membentuk seyawa kompleks diklorosulfonatomerkurat. Dengan menambahkan larutan pararosanilin dan formaldehid, kedalam senyawa diklorosulfonatomerkurat maka terbentuk senyawa pararosanilin metal sulfonat yang berwarna ungu. Konsentrasi larutan di ukur pada panjang gelombang 550 nm (Standarisasi Nasional Indonesia 2005; BLH, 2011).

Bahan yang digunakan dalam uji konsentrasi sulfur dioksida terdiri dari (SNI, 2005):

1. Larutan penyerap tetrakloromerkurat ( TCM ) 0,04 M 2. Larutan induk natrium metabisulfit (Na2S2O5

3.Larutan standar natrium metabisulfit ( Na )

2S2O5

4. Larutan induk iod (I

).

2

5. Larutan iod 0,01 N

) 0,1 N

8. Larutan induk natrium tio sulfat (Na2S2O3

9. Larutan Na

) 0,1 N.

2S2O3

(28)

12. Larutan asam fosfat (H3PO4

13. Larutan induk pararosanilin hidroklorida (C ) 3 M

19H17N3

14. Penentuan kemurnian pararosanilin

.HCL) 0,2%

15. Larutan kerja pararosanilin

16. Larutan formaldehida (HHO) 0,2% v/v 17. Larutan penyangga asetat 1 M (pH = 4,74 ) 2.5.3. Pengambilan Contoh Uji

Pengambilan contoh uji terdiri dari pengambilan contoh uji 1 jam, 2 jam dan 24 jam. Pengambilan contoh ini tergantung dari metode yang digunakan SNI (Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2005).

Langkah – langkah pengambilan contoh uji adalah sebagi berikut : 1. Susun peralatan pengambilan contoh uji seperti gambar

2. Masukkan larutan penyerap SO2

3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur kecepatan alir 0,5 L/menit sampai 1 L/menit, setelah stabil catat laju alir awal F

sebanyak 10 ml ke masing – masing boto penyerap. Atur botol penyerap agar terlindung dari hujan dan senar matahari langsung.

1

4. Lakukan pengambilan contoh uji selama 1 sampai 2 jam dan catat temperatur dan tekanan udara.

(L/menit).

5. Setelah 2 jam, catat laju alir akhir F2

6. Diamkan selama 20 menit setelah pengambilan contoh uji untuk menghilangkan pengganggu.

(29)

2.6.Uji Fungsi Paru

Uji fungsi paru diperlukan dalam survey medis terutama berkaitan dengan keamanan pekerja-pekerja dan standarisasi administrasi kesehatan kerja. Uji fungsi paru selalu digunakan disebabkan sangat mudah dan ekonomis. Pada laboratorium khusus uji fungsi paru beberapa alat dapat digunakan yang berkenaan dengan pengukuran volume paru, dan analisa pertukaran gas. Spirometri merupakan salah satu alat yang sangat sederhana, mudah dilakukan dengan biaya murah serta dapat mengemukakan hasil yang berguna dalam memperoleh keadaan fungsi paru. (Mottram, 2013).

2.6.1. Spirometri

Spirometri adalah pemeriksaaan fungsi paru yang paling sering dilakukan karena cepat, aman dan murah. Tujuan pemeriksaan spirometri adalah (Mottram, 2013; Yunus, 2003):

1. Menilai status faal baru yaitu menentukan apakah seseorang memiliki faal paru normal, hiperinflasi, obstruktif, restriktif, atau gabungan dari keduanya.

2. Menilai manfaat pengobatan yaitu menentukan apakah suatu pengobatan memberikan perubahan terhadap nilai faal paru.

(30)

4. Menentukan prognosis yaitu meramalkan kondisi penderita selanjutnya dengan melihat faal paru yang ada.

5. Menentukan toleransi tindakan bedah, apakah seseorang mempunyai resiko ringan, sedang atau berat pada tindakan bedah. Untuk menentukan apakah dapat dilakukan tindakan reseksi paru.

Menurut Mottram 2013 dan Yunus 2003, hasil pemeriksaan spirometri dapat menunjukkan berbagai pengukuran, pengukuran paling sederhana yang selalu digunakan untuk evaluasi gangguan pernafasan pada pekerja dan akibat gangguan lingkungan adalah :

1. Forced vital capacity ( FVC ) atau Kapasitas Vital Paksa

2. Forced expiratory volume pada detik pertama ( FEV1) atau Volume Ekspirasi Detik Pertama (VEP1

3. Rasio FEV

)

1 terhadap FVC atau (VEP1

2.6.2. Persiapan Sebelum Pemeriksaan Spirometri /KVP)

Sebelum melakukan pemeriksaaan spirometri penderita harus dipersiapkan. Hal – hal yang harus dihindari penderita sebelum melakukan tindakan spirometri menurut Assosiation Of Respiratory Technicians and Physiologists/ British Thoracic Society,1994 adalah:

1. Merokok dalam 24 jam

2. Minum alkohol minimal 4 jam

3. Makan terlalu kenyang minimal 2 jam sebelum pemeriksaaan

4. Menggunakan obat – obatan lepas lambat yang mempunyai efek pada fungsi pernapasan dan obat teopilin selama 24 jam

(31)

6. Memakai pakaian yang ketat

7. Harus mengerti tujuan dan cara pekmeriksaaan, maka operator harus memberikan petunjuk yang tepat dan benar serta contoh cara melakukan pemeriksaaan.

2.6.3. Prosedur Pelaksanaan Spirometri

Untuk memperoleh hasilpemeriksaaan yang tepat, maka penderita sebaiknya dianjurkan :

1. Melakukan pemeriksaaan dalam keadaan berdiri tegak, dalam kondisi yang tidak memungkinkan penderita untuk berdiri, maka penderita boleh duduk.

2. Penderita menghisap udara semaksimal mungkin kemudian meniup melalui mouhtpiece sekuat – kuatnya dan secepat – cepatnya sampai semua udara dapat dikeluarkan sebanyak – banyaknya.

3. Pemeriksaaan dilakukan sampai diperoleh 3 nilai yang dapat diterima dan dua diantaranya harus reproduksibel, dilakukan maksimal dengan betul.

4. Dilakukan pengukuran tinggi badan, kemudian tentukan besar nilai dugaan berdasarkan nilai standar paru Pneumobile Project Indonesia. Kriteria spirometri yang acceptable dan reproducible menurut American Thoracic Society ( ATS ), adalah pemeriksaan yang dapat diterima adalah yang memenuhi ke empat ketentuan sebagai berikut (Yunus, F, 2003):

1. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai 2. Waktu ekspirasi minimal 3 detik

(32)

4. Grafik Flow Volume mempunyai puncak grafik

Hal yang menunjukkan bahwa pemeriksaan tidak dilakukan dengan baik apabila didapatkan :

1. Permulaan ekspirasi yang tidak baik di tandai dengan keragu – raguan dan permulaan yang lambat.

2. Batuk selama detik pertama manuver akan mempengaruhi nilai VEP1

3. Manuver valsava ( penutupan glotis )

4. Akhir ekspirasi yang cepat. Pada orang normal biasanya 6 detik 5. Terdapat kebocoran

6. Mouthpiece tersumbat oleh lidah atau gigi palsu dan lain - lainnya Kriteria reprodusibiliti ditentukansetelah didapat 3 manuver yang dapat diterima dan reproduksibiliti bila nilai terbesar perbedaanya kurang dari 5% atau kurang dari 100 ml untuk nilai KVP dan VEP1.

2.6.4. Manuver Spirometri

(Mottram, 2013; Yunus, F, 2003)

2.6.4.1.Manuver Kapasitas Vital

Teknik manuver kapasitas vital dapat dilakaukan dengan 2 cara, yaitu (Mottram, 2013):

1. Metode Closed-Circuit

Metode ini digunakan untuk mengukur volume paru static dan dinamik. Adapun langkah – langkah pada metode ini adalah:

(33)

b. Setelah beberapa kali bernafas untuk memperoleh titik volume ekspirasi, titik yang diperoleh berfungsi sebagai acuan pemeriksaan berikutnya.

c. Penderita diminta untuk melakukan ekspirasi lambat dan merata d. Dengan maneuver yang sama setelah isnpirasi maksimum

penderita diminta untuk menghembuskan napas secepat dan sekuat mungkin untuk mengukur kapasitas vital paksa (KVP).

2. Metode Open – Circuit.

Metode ini digunakan untuk mengukur volume paru static dan dinamik berguna untuk menentukan kapasitas vital. Langkah – langkah yang dilakukan pada metode ini adalah Penderita menarik napas secara maksimal kemudian mouthpiece dipasang, selanjutnya napas dikeluarkan secara perlahan – lahan dengan usaha yang merata sampai mencapai titik ekspirasi maksimal untuk memperoleh Kapasitas Vital Lambat ( KVL ) dan napas dikeluarkan sekuat dan secepat mungkin untuk mendapatkan KVP (Mottram, 2013).

2.6.4.2. Manuver Kapasitas Vital Paksa

Manuver ini memerlukan dua langkah yaitu inspirasi dalam untuk memperoleh Kapasitas Paru Total, kemudian diikuti oleh ekspirasi maksimum sekuat dan secepat mungkin kedalam spirometri hingga batas VR (Volume

(34)

2.6.4.3. Manuver Volume Ekspirasi Paksa Berdasarkan Waktu ( Forced Expiratory Volume Timed)

Volume ekspirasi paksa berdasarkan waktu adalah volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan dalam periode waktu spesifik. Periode waktu yang paling sering digunakan adalah 1 detik. Periode waktu lainnya yang biasa digunakan adalah 0,5 detik, 2 detik dan 3 detik. Persentase VEP yang dikeluarkan selama periode waktu ini adalah sebagai berikut : VEP0,5 = 60%; VEP1 = 83%;

VEP2 = 94%; VEP3

VEP

= 97%. Pada individu dewasa normal dapat mengeluarkan lebih 70% dari KVP dalam detik pertama dan rasio ini menurun sesuai dengan pertambahan usia (Mottram, 2013; Gold ).

1 adalah merupakan variabel spirometri penting. VEP1 adalah volume

ekspirasi paksa dalam satu detik pertama. Akan lebih mudah menganggap VEP1

sebagai rata-rata kecepatan aliran udara dalam detik pertama dari maneuver kapasitas paksa. VEP1 menurun secara langsung sesuai dengan beratnya gejala

klinis obstruksi saluran napas. Demikian juga VEP1meningkat apabila pengobatan

obstruksi saluran napas berhasil. Penurunan VEP1 berdasarkan waktu dapat

ditemukan pada penyakit paru obstruksi maupun penyakit paru restriksi. Pada kelainan penurunan VEP1

2.6.5. Cara Penilaian Hasil Spirometri

terjadi KV rendah yang berhubungan dengan penyakit tersebut (Mottram, 2013).

(35)

bawah yang masih normal maka spirometri adalah normal. Kelainan hasil pemeriksaan yang ditunjukkan oleh spirometri paling sering adalah adanya obstruksi saluran napas yang digambarkan oleh berkurangnya kecepatan aliran, menurunnya rasio VEP1 / KVP dan VEP1

Spirometri dapat menggambarkan dua pola dasar yaitu kelainan obstruktif dan retriktif. VEP1 merupakan pemeriksaan yang dapat menunjukkan kelainan obstruktif pada saluran napas. Sedangkan KVP dan KV digunakan untuk memonitoring penyakit restriktif dan kelemahan neuromaskular (Mottram, 2013; Gold W.M., 2002).

(Mottram, 2013).

Batas normal nilai spirometri sangat luas yaitu 80% - 120% dari nilai prediksi, hal ini bermanfaat untuk membandingkan nilai spirometri sebelum dan sesudahnya. Pada keadaan saluran napas dan jaringan paru dalam keadaan normal maka VEP1> 80% dari prediksi, KVP > 80% dari prediksi dan rasio VEP1

Acuan kerja menurut The American Thoracic Society – European Respiratory Society (ATS-ERS) terhadap standarisasi uji faal paru untuk klasifikasi derajat penilaian adalah (Mottram, 2013; Gold W.M., 2002):

/KVP > 70%.

Tabel 2.2. Derajat Gangguan Fungsi Paru

Keparahan Persen Prediksi VEP1

Ringan > 70%

Sedang 60-69%

Sedang Berat 50-59%

Berat 35-49%

(36)

2.7. Metode Pemeriksaan Protein C-Reaktif

Prinsip pemeriksaan C-Reactive Protein adalah dengan mengaggap C-reactive protein sebagao antigen yang akan ditentukan dengan menggunakan antibody spesifik (antibody anti – CRP). C-Reactive Protein merupakan antigen yang larut dengan suatu antisera yang spesifik dalam serum mudah dipresipitasikan. Berbagai metode penentuan C-Reactive Protein dapat dilakukan dengan berbagai metode , antara lain: (Kao, P.C., Shiesh, S.C., Wu, T.J., 2006).

a. Tes presipitasi, dimana sebagai antigen adalah C-Reactive Protein yang akan ditentukan, dan sebagai antibody adalah anti - CRP yang telah diketahui.

b. Tes aglutinasi pasif, antibody disalutkan pada partikel untuk menentukan adanya antigen dalam serum.

c. Uji ELISA, dengan teknik Double Antibody Sandwich ELISA. Antibodi pertama (antibody pelapis) dilapiskan pada fase padat, kemudian ditambahkan serum penderita. Lalu ditambahkan antibody kedua (antibody pelacak) yang berlabel enzim. Pada akhirnya ditambahkan substrat, dan reagen penghenti reaksi. Hasil dinyatakan secara kuantitatif.

d. Imunokromatografi , merupakan uji Sandwich imunometrik.

(37)

2.8. Kerangka Konsep

INFLAMASI LOKAL DI PARU

AKTIVASI LEUKOSIT DAN INFLAMASI SISTEMIK (IL6, TNF-α)

HEPAR

INDUKSI FASE INFLAMASI AKUT C-REAKTIVE PROTEIN HEPAR

Sirkulasi pulmonal ―

Gambar

Tabel 2.1. Fungsi Interleukin dan Sitokin yang Terlibat
Gambar  2.1 : Inflamasi akibat paparan asap rokok, partikel-partikel dan gas mengakibatkan aktivasi netrofil, sel epitel, sel dendritik, sel T, sel B, fibroblast dan sel otot polos saluran nafas sehingga mengeluarkan sitokin, kemokin dan protease
Gambar 2.2. : Protein C-Reaktif pada Patogenesis PPOK. LPS: lipoposakarida;
Gambar 2.3 Sitokin TNF-α, IL-β, dan IL-6 mempunyai aktifitas biologis yang luas dalam respon infeksi tubuh (Murphy, Kenneth, 2008)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat perbedaan hasil belajar kognitif IPA Biologi siswa yang signifikan dengan menggunakan model pembelajaran Structured Dyadic Methods (SDM) dan model pembelajaran

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data tentang perusahaan-perusahaan pertambangan go publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari

Hasil dari perhitungan total skor dari penilaian siswa pada kelas eksperimen terhadap media pembelajaran yang dikembangkan peneliti adalah 91,6%, sehingga media

Ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu economy .Sementara kata ekonomy itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikonomike yang berarti pengelolahan

Berdasarkan hasil pengembangan yang telah direvisi, dapat dibuat kesimpulan yaitu yang pertama penelitian dan pengembangan ini menghasilkan modul Administrasi

Desa Sumuran menjadi lokasi penelitian penulis yang dimana memiliki jumlah penduduk paling banyak yaitu 4.580 jiwa dengan jumlah rumah

Soebagio (in Agustyaningrum, 2011) also said that 5E learning cycle is a learning model that drives student to find their own concepts, prevent the occurrence of