• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar estetika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengantar estetika"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Minggu I Minggu I

PENGANTAR

PENGANTAR

(Disarikan sebagian dari tulisan Agus Sachari, 2002) (Disarikan sebagian dari tulisan Agus Sachari, 2002)

CAKUPAN ISI CAKUPAN ISI

Penga

Pengantar estetika desain ntar estetika desain akan dibahas pada akan dibahas pada modumodul l mingminggu gu pertapertama, ma, keduakedua dan ketiga. Dalam modul minggu pertama ini, akan dibahas hal-hal umum yang dan ketiga. Dalam modul minggu pertama ini, akan dibahas hal-hal umum yang ter

terkaikait t dendengan gan esteestetiktika a daldalam am dundunia ia desdesainain, , yanyang g melmelipuiputi ti penpengergertiatian n dasdasar ar  tentang estetika.

tentang estetika.

TUJUAN PEMBELAJARAN TUJUAN PEMBELAJARAN

Da

Dali li momodudul l mimingnggu gu pepertartama ma inini, i, mamahahasisiswswa a didihahararapkapkan n memengngetaetahuhui i dadann memahami pengertian dasar tentang estetika serta sejarah dan perkembangan memahami pengertian dasar tentang estetika serta sejarah dan perkembangan estetika.

estetika.

KRITERIA PENILAIAN KRITERIA PENILAIAN

Menge

Mengerti rti dan dan mampmampu u menunmenunjukkan serta jukkan serta memamemahami tentang hami tentang pengerpengertian tian dasar dasar  ten

tentang tang esteestetiktika a serserta ta sejsejaraarah h dan dan peperkerkembambangangan n estestetietika ka dendengan gan baibaik k dandan benar.

benar.

METODA PENYAMPAIAN DAN PENILAIAN METODA PENYAMPAIAN DAN PENILAIAN

ESTETIKA DESAIN

ESTETIKA DESAIN

B A G I A N I

(2)

Metoda penyampaian materi yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran seperti yang disebutkan diatas adalah:

1. Perkuliahan/ceramah

2. Diskusi

3. Visualisasi contoh-contoh 4. Kerja studio

Sedangkan metode penilaian yang digunakan adalah: 1. Tanya-jawab

2. Pemberian tugas

Adapun materi penugasan belum diberikan pada perkuliahan di minggu pertama ini, maupun di minggu kedua dan ketiga.

PENDAHULUAN

" Nilai itu mutlak, nilai tidak dikondisikan oleh perbuatan" 

"Nilai itu bersifat historis, sosial, biologis atau mumi individual, hanya pengetahuan kita tentang nilai itu bersifat relatif, bukan nilai itu sendiri".

(Risieri Frondizi)

Pandangan-pandangan mengenai estetika tetap menjadi suatu wacana penting dalam kajian filsafat, terutama dalam proses penyadaran manusia menjasmani. Raut yang telah terbentuk selama peradaban berlangsung hingga sekarang, tetap didominasi oleh raut estetika Barat yang telah mengalami proses universalisasi dalam pelbagai bentuknya. Peradaban di negara-negara berkembang, dalam raut percaturan itu merupakan suatu peradaban yang terpinggirkan, diposisikan menjadi sangat primitif dan serba tertinggal. Kondisi itu pun dilengkapi oleh kepercayaan yang sangat tinggi pads peradaban Barat sebagai satu-satunya jalan untuk menjadi setara dalam pergaulan a nt ar ba ng sa d i d un ia . D al am s it ua si t er se bu t, k et ik a b ud ay a posmodemitas menjadi wacana di tanah air dan mulai menggeser  wacan a modemitas, ter acli pula proses pelindasan tanpa sengaja pads kebudayaan lokal. Sejumlah pemikir estetika mencoba mengangkat budaya lokal

(3)

yang modem sebagai upaya perlawanan terhadap wacana yang tidak adil itu. Dalam paparan ini, penulis berupaya memosisikan kedayaan estetika yang telah terbangun di tengah-tengah perkembangan budaya nasional secara lebih proporsional.

Agus (2002) berkeyakinan bahwa dalam menilai dan mengkaji nilai estetis, tetap harus diposisikan dalam tiga pilar daya kebudayaan, yaitu daya penyadaran, daya pembelajaran, dan daya pesona. Menilai karya estetis di negara timur  melalui teoriteori estetika Barat, sebenarnya merupakan pernaksaan yang kurang bermakna. Karena dalam konteks pemikiran modem, nilai estetika di Timur, terutama negara berkembang telah mengalami tekstua lisasi sebagai sebuah wacana yang tak memiliki arti apa-apa dalam membangun peradaban dunia.

ESTETIKA DAN KEINDAHAN

Istilah Estetika dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714 - 1762) melalui beberapa uraian yang berkembang menjadi ilmu tentang keindahan (Encarta Encyclopedia 2001, 1999). Baumgarten menggunakan instilah estetika untuk membedakan antara pengetahuan intelektual dan pengetahuan indrawi. Dengan melihat bahwa istilah estetika baru muncul pada abad 18, maka pemahaman tentang keindahan sendiri harus dibedakan dengan pengertian estetik.

Jika sebuah bentuk mencapai nilai yang betul, maka bentuk tersebut dapat dinilai estetis, sedangkan pada bentuk yang melebihi nilai betul, hingga mencapai nilai baik penuh arti, maka bentuk tersebut dinilai sebagai indah. Dalam pengertian tersebut, maka sesuatu yang estetis belum tentu indah dalam arti sesungguhnya, sedangkan sesuatu yang indah pasti estetis. Banyak pemikir  Seni berpendapat bahwa keindahan berhubungan dengan rasa yang menyenangkan seperti Clive Bell, George Santayana, dan R.G Collingwood (Sutrisno,1993).

Terdapat beberapa pendapat mengenai definisi dari estetika sendiri, salah satu definisi yang cukup lengkap diberikan oleh Hospers, "aesthetics is the branch of 

(4)

philosophy that is concerned with the analysis of concepts and the solutions of  problems that arise when one contemplates aesthetic objects. Aesthetic objects, in turn, comprise all the objects of aesthetic experience; thus, it is only after  aesthetic experience has been sufficiently characterized that one is able to delimit the class of aesthetic objects" (Sutrisno,1993. Hal 16)

Jika mengacu pada pendapat Hospers, maka diperlukan satu sikap khusus bagi seseorang agar dapat mencari pengalaman estetik, termasuk pengamatan objek estetik ataupun penciptaan objek estetik itu sendiri. Dalam kajian filsafat, menurut Sutrisno, pemahaman mengenai estetika dapat dibagi menjadi dua pendekatan yaitu,

1. Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda

atau alam indah serta karya Seni.

2. Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh

pengamat ( pengalaman keindahan yang dialami seseorang).

Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".

Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar  dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika (Sutrisno, hal 82).

Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.

Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi

(5)

dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.

Ketika peradaban Mesir menghasilkan banyak objek yang kita sebut hari ini sebagai indah, kata keindahan secara nyata tidak pernah hadir pada tulisan tulisan saat itu. Di Mesir, ahli bangunan dan pematung/seniman menggunakan teori proporsi yang berkaitan dengan rumus-rumus matematik untuk mencapai keindahan, sebagai dasar untuk mengkonstruksikan sistem proporsi seperti yang kemudian dipergunakan secara luas.

Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).

Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino (1225 - 1274), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat: keseluruhan (lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar (lat. Proportio) dan kejelasan atau kecemerlangan.

Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia (Sutrisno, 1993).

Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur  secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan

(6)

dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.

Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan  juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni dengan muncul dan

berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis (Sutrisno, hal 34).

Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini. Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen (Yunani; episteme = pegetahuan) yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan (Yunani; to kalon), sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya (audience), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.

Dari "Timaeus" dapat dikutip bahwa sesuatu yang dipahami oleh akal dan pengetahuan akan tetap, akan tetapi sesuatu yang dipahami oleh pendapat yang menolong sensasi, dan tanpa pengetahuan, akan selalu dalam proses menjadi dan binasa yang tidak pernah mencatat hal-hal yang benar benar ada. Esensi yang tetap dari keindahan akibat dari proporsi proporsi yang tepat yaitu dari perbandingan ukuran. Gagasan ini dihubungkan pada penelitian dan

(7)

falsafah Pytagoras (532 SM) yang telah mengembangkan sistem proporsi-proporsi aritmatika tertentu dalam instrumen musik, seperti panjang string, menghasilkan harmoni nada. Berdasarkan pada harmoni musik ini masyarakat Yunani mencoba untuk menerangkan juga keindahan dalam proporsi-proporsi tubuh manusia, Arsitektur, dan objek-objek lain.

Aristoteles (384-322 SM) memiliki kebiasaan untuk memperjelas konsep konsep melalui perhitungan komponen-komponen. Untuk keindahan (Yunani: kalliste) hal tersebut adalah keberaturan, perulangan ukuran (Yunani: symmetria) dan kepastian.

Dalam pembahasan ilmiah mengenai Seni, dipikirkan bahwa keindahan merupakan bagian dari objek. Tidak semua filosof jaman antik setuju pada teori keindahan tersebut. Secara kontras, Epicurus menyajikan teori yang berbeda, menetapkan bahwa ketika seseorang merasakan keindahan, perasaan pribadi (Yunani; hedone) dilibatkan. Dalam tulisan Epicurus, ditemukan teori hedonistik yang orisinal, yang mengaitkan pengalaman indah dengan perasaan yang menyenangkan.

Vitruvius, dalam hal ini tampak mengadopsi teori Plato dan Epicurus dan mencoba menggabungkan keduanya dalam teorinya sendiri. Pada kenyataanya, ia sependapat dengan Epicurus yang mengatakan bahwa keindahan sama dengan keanggunan, akan tetapi sensasi keanggunan akan dihasilkan artefak jika telah memiliki proporsi yang benar. Hal ini tidak identik dengan gagasan yang dibawa dari Plato. Vitruvius menulis dalam bukunya instruksi-instruksi praktis bagi rancangan yang memungkinkan seniman mencapai keindahan dalam karya, ia menyajikan teori Desain yang mengikut-sertakan faktor faktor kualitatif, tidak saja faktor konstruktif.

Vitruvius mengatakan bahwa bangunan adalah indah bila rupa penampilan dari pekerjaan menyenangkan, dalam cita-rasa yang baik, dan ketika setiap bagian sesuai dengan proporsi yang mengacu pada prinsip-prinsip yang tepat, seperti simetri (simetri dalam pengertian 'persetujuan yang tepat antara bagian bagian karya itu sendiri, dan hubungan antara bagian bagian yang berbeda dengan skema umum secara keseluruhan, dalam kesesuaian dengan standar yang terpilih).

(8)

Vitruvius, mencetuskan prinsip dasar dari Arsitektur, yaitu: Keberaturan, Sintaks, Eurythmy, Symmetry, Propriety, Efesiensi (Fundamental Principles of  Architecture).

Selama abad-abad pertengahan, proporsi-proporsi dan perban-dingan-perbandingan ukuran diperhatikan sebagai atribut yang penting bagi keindahan objek-objek. Renaissance membangkitkan kembali pengkajian dari proporsi Pythagoras yang menggunakan bentuk bentuk geometris melalui perbandingan matematis.

Seorang arsitek besar pada masa Renaissance, Leon Battista Alberti (1404 -1472), menekankan pada aspek formal dari bangunan dan detailnya, proporsi dan ornamen. Ia menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam karya Seni lukis, Seni pahat dan Arsitektur dari sudut pengolahan materi, untuk mencapai kesatuan dari bagian bagian karya Seni sehingga menjadi utuh. Keindahan (lat. Pulchritrudo) adalah 'harmoni dari semua bagian, dalam bentuk apapun, dipasangkan bersama dalam proporsi dan hubungan yang tepat, sehingga tidak ada lagi yang dapat ditambahkan, dikurangi atau dirubah, selain untuk bertambah buruk', hal inilah yang dicari melalui bentuk bentuk pada latihan latihan Nirmana Ruang . Hal ini sebagai perkataan bahwa sesuatu supaya menyenangkan harus harmonis, proporsional, dan hubungan antara bagian bagian dari objek tersebut harus seimbang. Dasar yang disusun oleh Alberti kemudian dielaborasi lebih luas sebagai teori Desain Arsitektur oleh generasi generasi berikutnya hingga sekarang, seperti dapat dilihat pada materi tugas Nirmana Ruang di pendidikan Arsitektur dan Desain (Fundamental Principles of Architecture).

Selanjutnya, dikenal juga Leonardo da Vinci yang secara khusus menyinggung mengenai ketelitian dalam pelaksanaan, hingga unsur terkecil pada satu karya, perlu disempurnakan. Sikap ini kemudian menjadi ciri karya karya abad pertengahan. Ajaran Leonardo da Vinci dan kemudian Buonarotti Michelanggelo diperdalam dengan studi tentang perspektif geometris serta proporsi tubuh manusia dan studi anatomi.

(9)

bahwa cita rasa keindahan bukanlah semata berasal dari sifat-sifat objek saja, akan tetapi juga tergantung pada kondisi pengamat dan lingkungan.

Kajian mengenai keindahan sebagai kualitas objek Seni telah dilanjutkan lebih sistematis dalam pendekatan modern tahun 1928 ketika matematikawan Amerika George David Birkhoff mempresentasikan persamaannya;

M = O / C

Nilai keindahan = hasil dari keberaturan dibagi kompleksitas M = (measure) Nilai keindahan

O = (order) Keberaturan

C = (complexity) Kompleksitas

Dua elemen terakhir dari persamaan Birkhoff memang dapat dihitung dan diberi angka. Seperti yang dipakai oleh Birkhoff sendiri, dimana ia menguji persamaannya pada suatu vas bunga, dengan jumlah elemen yang terbatas (hanya terdiri dari tiga garis lengkung), tingkat keberaturan yang rendah (disusun secara simetris saja), maka nilai keindahan dari vas menjadi tidak tinggi (angka kecil dibagi tiga).

Pada dekade selanjutnya, para peneliti keindahan ,terutama di Jerman, menghimpun pola-pola melalui pemasangan komponen komponen sederhana, mengukur kompleksitas dan bagaimana sistematika pengaturannya, sehingga nilai keindahan sebuah objek dapat dinilai. Namun cara penyelidikan ini tidak sangat berhasil. Banyak seniman menemukan figur yang indah, sebagai pekerjaan Seni yang nyata, tetapi tidak harus/dapat dikaitkan dengan parameter  Birkhoff.

Pada saat ini, "mainstream" dari penelitian estetika lebih melihat keindahan bukan sebagai sifat dari objek itu sendiri, tetapi sebagai hasil sensasi atau interaksi antara persepsi dan obyek. Masalah keindahan ternyata kadang kadang dikaitkan dengan ajaran agama, seperti lukisan lukisan geometris Islam yang dipengaruhi oleh ajaran yang mengharamkan penggambaran makhluk hidup.

(10)

Persepsi karya Seni sebagai kesenangan indra tidak sesuai dengan filosofi gereja kristen muda. Definisi keindahan sebagai sesuatu yang layak dikaji telah ada dalam Kitab Injil , dikarenakan tekanan Gereja hal ini tidak dapat berkembang. Baru setelah jaman Renaissance, teoritikus Arsitektur pertama yang menonjol, Philibert de l'Orme (sekitar 1510 - 1570) mempengaruhi perkembangan yang memunculkan psikologi modern dari persepsi.

Philibert de l'Orme tidak mempercayai keindahan berdasarkan proporsi-proporsi saja, setelah ia membuktikan melalui pengukuran bahwa Panthenon memiliki kolom kolom Corinthian yang dirancang dengan tiga sistem proporsi yang berbeda (menentang hukum Vitruvian yang mengizinkan hanya satu set proporsi). Ia menyimpulkan bahwa dimensi yang layak untuk kolom bergantung pada seberapa tinggi kolom tersebut, dan posisi kolom itu, apakah di letakan rendah atau tinggi dalam struktur bangunan. Hal ini memberi pengertian bahwa keindahan kolom tidak bergantung pada bentuk aktual dari kolom itu sendiri, melainkan hanya merupakan impresi akhir seseorang ketika melihat kolom tersebut. Hal ini mendorong de l'Orme untuk menambah model model baru daftar model kolom tradisional mengenai keberaturan sebuah rancangan.

Pemikiran Philibert de l'Orme selanjutnya dikembangkan oleh rekan senegaranya, Claude Perrault (1613 - 1688) dan diekspresikan secara khusus dalam ulasannya berupa terjemahan ke bahasa Perancis mengenai Vitruvius pada tahun 1673. Perrault menyatakan dalam ulasan tersebut bahwa keindahan tidaklah absolut, melainkan, pengetahuan tentang keindahan diperoleh melalui kebiasaan atau belajar.

Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

(11)

Hipotesis yang lebih baik disajikan oleh Immanuel Kant (1724 - 1804), yang membuat estetika menjadi bagian dari sejarah umum filsafat, dalam bukunya "Kritik der Urteilskraft"(1790). Mengikuti langkah Epicurus, ia menetapkan bahwa “keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan semua orang dan menghargai opini mereka bahwa objek yang menyenangkan adalah indah". Gagasan Baumgarten mengenai keindahan secara empirik telah diletakkan oleh George Th.Fechner. dalam eksperimen laboratoriumnya. Ia mengkaji preferensi dari masyarakat biasa yang tidak dilatih mengenai estetika terhadap karya Seni. Eksperimen-eksperimennya kemudian diikuti oleh peneliti lain, seperti Weber, yang menemukan bahwa terdapat beberapa ketetapan pada ulasan masyarakat mengenai keindahan objek dan bentuknya, dimana proporsi Phytagoras, dan proporsi yang disebut Golden Section tidak digunakan.

Pada tahun-tahun selanjutnya, kajian Fechner berkembang menjadi cabang penting dari sains, yaitu psikologi persepsi. Contoh penelitian Arsitektur yang dipengaruhi oleh jiwa psikologi persepsi adalah "Arkitekturens uttrycksmedel" oleh Sven Hesselgren (1954). Resep untuk membuat keindahan tidak dapat selalu ditemukan, akan tetapi dengan menganalisanya, kita dapat menentukan penyebab terjadinya perbedaan impresi, keaslian dan sumbernya, dan kemudian menjadikan Arsitektur lebih mudah, yaitu ketika desainer menjadi lebih sadar terhadap sifat kreasinya dan faktor faktor yang mengarahkan pada hasil.

Sebuah pola atau figur dapat menyenangkan mata bila dengan mudah dapat dimengerti, dan ini selanjutnya memberikan kepuasan. Perancang tidak boleh menimbulkan ketidak jelasan pada pengamat. Ia menemukan dasar dasar yang bersifat psikologis bagi sejumlah hukum arsitektural, sebagai contoh dasar  mengenai kontras.

Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan. Kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain.

(12)

Penelitian dalam psikologi persepsi dan estetika dikembangkan secara khusus sebagai ilmu yang dikenal sebagai art psycology. Psikologi persepsi berkembang dari psikologi tradisional dimana manusia dan lingkungan merupakan elemen dasar dan saling mempengaruhi satu sama lain melalui stimuli dan respon.

Sekolah psikologi behaviorisme mempertimbangkan apakah ada kemungkinan untuk mendapatkan jawaban yang pasti terhadap pertanyaan "Apa yang terjadi pada kesadaran dan kognisi manusia dalam jangka waktu antara diterimanya stimuli dan memberikan respon ? ", karena kandungan dan fungsi dari kesadaran tidak dapat dikaji secara tepat tanpa mencampuri keduanya.

Teoritikus psikologi kognitif memiliki pandangan berbeda;, model hipotesis dari fungsi kesadaran diuraikan dengan sangat detail. Pada awalnya, banyak peneliti yang masih membagi persepsi pada tiga fase yaitu, persepsi kognisi -intrepretasi dan evaluasi. Hal ini berbeda dengan pandangan umum pada saat ini, bahwa pada satu tahapan terdapat aspek aspek yang berbeda, sehingga garis stimuli-respon-tindakan tidak bersifat linier.

Outline membantu asosiasi agar terjadi proses persepsi. Konsep outline (Jerman;Gestalt) pertama kali disajikan dalam ilmu psikologi oleh Christian von Ehrenfels pada tahun 1890. Ia mengarahkan perhatiannya pada kenyataan bahwa untuk mengerti sebuah komposisi, keseluruhan outline lebih penting daripada bagian. Jika urutan komposisi diubah menjadi susunan baru, semua komposisi akan menjadi sesuatu yang lain tetapi keseluruhan outline dari komposisi tersebut tetap sama.

Ketika seniman sedang menarik outline, bagian bawah sadar ternyata mematuhi aturan aturan tertentu, yang dikenal dengan hukum-hukum Gestalt. Sebagai contoh, ketika manusia melihat sebuah figur yang tidak sempurna, akan dilengkapi menjadi figur yang dapat dikenal (asosiasi). Manusia cenderung untuk melengkapi bagian bagian yang tidak lengkap berdasarkan kemiripan gambaran dalam memorinya.

(13)

untuk membuat kesatuan yang lebih besar. Jika terdapat kemiripan pada beberapa tanda, maka tanda-tanda tersebut akan saling bergabung membentuk satu kesatuan.

Dengan melihat uraian diatas, maka dapat dilihat beberapa sudut pandang dan sikap manusia terhadap keindahan. Pada masa Yunani, kemudian pada abad pertengahan, keindahan ditetapkan sebagai bagian dari teologi.

Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.

RAUT ESTETIKA

Dimulai dengan istilah yang kerap tidak tepat dipergunakan, Berta definisi yang sangat beragam, maka bangun estetika itu pun dapat ditarik ulur. Istilah tersebut semakin mengabur ketika nama Estetika dan Filsafat Seni dipakai sebagai nama bidang ilmu untuk hal yang sama. Para ahli pendidikan seni semakin bersilang pendapat ketika bangun praksis seni rupa, desain produk industri, desain interior, desain komunikasi visual, dan Icriya seni ditarik ke arah bidang kajian estetika. Kejadian itu menunjukkan simpang siurnya pemahaman estetika sebagai filsafat, dan estetika sebagai praksis dalam berkesenian di Indonesia. Pada tahun 80-an, penulis pemah membuat buku beduclul Estetika Terapan yang me nc oba memposisikan persoalan ini agar tidak bias, yaitu antara, estetika sebagai praksis dan estetika sebagai kajian filsafat. Dalam praksis kesenirupaan dan desain, diposisikan adanya unsur-unsur yang melibatkan aspek estetis (kepekaan, keterampilan, pengalaman, proses kreatif, dan seterusnya) yang diimplementasikan pelbagai wujud berkarya, balk tematis maupun bebas. Namur sampai beberapa tahun terakh ir ini, di ling ku ng an p er gu rua n t in gg i s en i, is ti lah "e st et ik a" t et ap dipergunakan untuk keduanya, yaitu dalam pengertian praksis ataupun filsafat.

(14)

PENGERTIAN ESTETIKA

Memandang estetika sebagai suatu filsafat, hakikataya telah menempatkannya pads satu titik dikotomis antara realitas dan abstraksi, Berta jugs antara keindahan dan makna. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, melainkan telah bergeser ke arah sebuah wacana dan fenomena. Estetika dalam karya seni modem, jika didekati melalui pemahaman filsafat seni yang merujuk pads konsep-konsep keindahan zaman Yunani atau abad pertengahan, akan mengalami pemiuhan perceptual karena estetika bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan  juga daya.

Kedayaannya dapat diamati melalui wajah teraga peradaban Barat yang kini tetap menjadi bangsa yang memiliki eksistensi kuat di dunia. Nilai-nilai estetik yang menyertai hampir semua bends, gagasan, dan proyeksi, dipiuhkan oleh para ahli estetika Barat menjadi wacana yang "tersembunyi" dalam materialisma dan eksistensialisma, kemudian diadopsi oleh negara-negara berkembang sebagai suatu orientasi baru menjadi "Barat'. Namur kenyataannya, selama lebih dari satu abad berorientasi menjadi masyarakat makrnur yang rasional, dan kemakmuran itu hanya mampu sebatas pads kulit, dan negara ketiga, kemudian menjadi sangat tergantung dan berupaya meleburkan diri dalam situasi yang kebaratan.

Jepang, Korea Selatan, Singapura, Hongkong, dan negara-negara kebangkitan bare, contoh negara yang telah lurch ke dalam estetika Barat. Kunci utama ke arah itu adalah meleburkan diri dalam materialisma Barat, menjasmani seluruhnya pads kearifan estetika Barat dalam wujud-wujud artifak ataupun nilai. Estetika barat s ec ar a s ub st an si al d an e ks is te ns ia l t el ah membuktikan kedayaannya untuk menjadikan wajah peradaban umat manusia di abad ke-21 menjadi bentuknya yang sekarang. Di luar wacana itu, wujud estetis dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang primitif dan terpinggirkan.

Jargon-jargon peradaban dan kunci kegemilangan budaya bagi kebudayaan Barat modem selalu memiliki konotasi ke arah terselenggaranya demokrasi, hak asasi manusia, kelestarian lingkungan, penghargaan terhadap karya cipta,

(15)

industrialisasi, wujud teknologi tinggi, tingginya pendapatan per kapita, penyelenggaraan pendidikan modem, kedayaan mats uang, dan juga pergaulan intemasional. Tentu Baja wujud estetika yang menyertai hal itu adalah legal sesuatu yang carat dengan nilai-nilai modemitas. Praksis kesenian yang menjadi wujud nilai estetik sebagai kebenaran universal, direpresentasikan dari seni modem yang berakar di dalam peradaban masyarakat Barat itu. Barat telah berupaya untuk mentekstualisasi peradaban dunia, sesuai dengan "dirinya", (westemisasi, amerikanisasi, dan eropanisasi), dan jenis kebudayaan yang lain adalah inferior, tidak bermakna.

Demikian pula dengan estetika modern, telah mengalami tekstualisasi yang mendalam oleh kebudayaan Barat, kemudian mengalami eksistensialisasi dalam diri penggagas-penggagas estetika lokal, para pengajar seni dan juga para seniman di tanah air melalui pendidikan, buku, informasi, gays hidup, dan barang. Sejumlah pemikir di tanah air cenderung lebih hafal teori-teori estetika Barat dan para tokoh filsafat seni Barat secara terperinci daripada prestasi-prestasi estetis bangsa Timur. "Pemujaan-pemujaan" terhadap estetika Barat berlangsung terns hingga saat ini sejalan dengan tawaran teori-teoribaru yang tak terbantahkan.

Namun, kerap juga pemikiran Barat masuk ke tanah air terpiuh oleh penoemahan yang tidak lengkap ataupun salah tafsir, termasuk dalam ka ji an -k aji an estetika. Kondisi tersebut dapat disimak dalam tulisan-tulisan yang membahas tentang .estetika di Indonesia seperti terdapatnya tumpang-tindih pengertian antara seni (art), karya seni (work of arts), filsafat seni (philosophy of art), nilai estetik (aesthetic value), estetis estetik (aesthetic), dan estetika (aesthetics). Istilah tersebut sering dipergunakan untuk pengertian yang sama, padahal semuanya memiliki perbedaan yang penting. Kondisi itu berlangsung terns dalam buku-buku estetika di Indonesia sehingga maknanya kemudian membias.

Beberapa pengertian estetika dan lingkupnya dapat dicermati di bawah ini:

 Estetika adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang

berka itan dengan kegiatan seni (Kattsoff, Element of Philosophy, 1953).

 Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan,

(16)

dengan kegiatan manusid dan peranan seni dalam perubahan dunia (van Mater Ames, Colliers Encyclopedia, vol. 1).

 Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan juga keburukan

(Jerome Stolnitz, Encyclopedia of Philosophy, vol. 1).

 Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang

berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan (AA Djelantik, Estetika Suatu Pengantar, 1999).

 Estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar

nilai-nilai nonmoral suatu karya seni (William Haverson, dalam Estetika Terapan, 1989).

 Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses

penciptaan karya estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989).

 Estetika adalah filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan

estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman (Agus Sachari, Estetika Terapan, 1989).

 Estetika mempersoalkan hakikat keindahan slam dan karya seni,

sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau bends seni, atau artifak yang disebut seni (Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, 2000).

Pandangan-pandangan mengenai estetika, di atas, setiap waktu mengala mi pergeseran, sejalan dengan pergeseran konsep estetik setiap zaman. Pandangan bahwa estetika hanya mengkaji segala sesuatu yang indah (cantik dan gays seni), telah lama dikoreksi, karena terdapat kecenderungan karya-karya seni modem tidak lagi menawarkan kecantikan seperti zaman Romantik atau Klasik, tetapi lebih pads makna dan aksi mental. Demikian pula di akhir abad ke-20, pandangan-pandangan mengenai estetika mengalami rekonstruksi dan penyegaran-penyegaran bare ketika filsafat Posmodern berkembang sejalan dengan wacana kaum Postrukturalis. seperti ter adinya diskursus pads seni posmodem: Pastis (pastische), Parodi, Kitsch (murahan), Camp (bermakna, juga anti makna), Skizofrenia (fenomena psikis), Fun (dagelan,plesetan), Horor (menakutkan), Misteri (slam gaib, UFO, mitos), Simulasi (realitas semu), dan sebagainya.

Dalam wacana posmodern, karya seni tidak lagi dipandang sebagai karya artistik, tetapi dipandang dari aspek tends, jejak, dan makna. Dengan dernikian

(17)

kajian-kajian estetika pun menjadi meluas, tidak sebatas pads artifak yang disepakati sebagai suatu karya seni, tetapi pads sate artifak yang mengandung makna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Sachari; Estetika – Makna, Simbol dan Daya, Penerbit ITB, Bandung, 2002

2. Mundi, Andrew; Principles of Graphic Design. 3. Widya, Leonardo; Fundamental of Art & Design; 4. Mary Zimmerman; Metamorphosis

5. Dr. Bruce Clarke; Transformations of Metamorphosis

6. D.K. Ching, Frank; Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Susunannya; Erlangga

7. Whelan, M. Bride; Color Harmony 1 &2

8. Wong, Wucius; Beberapa Asas Merancang Dwimatra

Referensi

Dokumen terkait

Menerima Dokumen yang telah ditandatangani Bupati Surat Pengantar Draft Dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD).. 5 menit Dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah

Berdasarkan informasi tentang kelompok tani di Kampung Rimba Jaya peneliti ingin melihat proses komunikasi dan efektivitas komunikasi kegiatan penyuluh seperti apa yang

Berkaitan dengan jurnal elektronik, secara khusus diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk menggunakan fasilitas pangkalan data jurnal elektronik yang

Maret 2020 bahwa karena terjadinya pandemi COVID-19, maka penilaian IKPA tahun 2020 pada aplikasi OM-SPAN tidak dilakukan sampai dengan batas waktu yang akan diatur lebih

Australia dalam skenario tentang perubahan iklim global terhadap kelautan, telah memperkirakan bahwa akan ada perluasan wilayah perairan tropis yang dapat memberikan dampak

Meskipun demikian, sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri, sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani, maka pendidikan karakter untuk meningkatkan mutu siswa

Menurut (Muawanah & Poernawati, 2015:407) “Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau

Dua tahun sebelumnya Oersted telah menemukan bahwa jarum magnit kompas biasa dapat beringsut jika arus listrik dialirkan dalam kawat yang tidak berjauhan.. Ini