BAB VIII
ASPEK TEKNIS PER SEKTOR
8.1 Pengembangan Permukiman
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari
satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan.
Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri
dari pengembangan kawasan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman
kumuh, sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari pengembangan
kawasan permukiman perdesaan, kawasan pusat pertumbuhan, serta desa tertinggal.
Pengembangan Permukiman adalah rangkaian kegiatan yang bersifat multisektor
meliputi kegiatan pengembangan permukiman baru dan peningkatan kualitas permukiman
lama baik di perkotaan (kecil, sedang, besar dan metropolitan), di perdesaan (termasuk
daerah-daerah tertinggal dan terpencil) maupun kawasan-kawasan tertentu (perbatasan,
pulau-pulau kecil/terluar)
Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah
(RP4D)
Sebagai skenario pelaksanaan koordinasi dan keterpaduan rencana sektor terkait bidang
perumahan dan permukiman (pertanahan, perumahan, pembiayaan, prasarana/sarana,
dll)
Sebagai payung atau acuan baku bagi seluruh pelaku dan penyelenggara perumahan dan
permukiman (pemerintah, swasta, dan masyarakat)
Sebagai cerminan aspirasi / tuntutan masyarakat terhadap perumahan dan permukiman
Rincian Kegiatan Pembangunan
1. Pengembangan Kawasan Permukiman Baru
Rincian alokasi lahan (kasiba/lisiba, ijin lokasi developer, dll)
Rencana pengembangan jaringan prasarana dasar (mis. air bersih, sanitasi, drainase,
Rencana investasi jaringan prasarana
Rencana fasilitas umum
2. Peningkatan Kualitas Permukiman (yang sudah ada)
Rincian lokasi, yg mencakup luas, penduduk, bentuk penanganan (mis. premajaan,
KIP, revitalisasi, dll)
Rincian Lisiba BS
Rencana peningkatan dan perluasan prasarana dan sarana (fungsi, kapasitas, dll)
Rencana fasilitas umum (jenis, jumlah, waktu, pihak yang membangun)
8.1.1 Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan
Arahan kebijakan pengembangan permukiman mengacu pada amanat peraturan
perundangan, antara lain:
a) Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional.
Arahan RPJMN Tahap 3 (2015-2019) menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian
yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus
meningkat, sehingga kondisi tersebut mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman
kumuh pada awal tahapan RPJMN berikutnya.
b) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Pasal 4 mengamanatkan bahwa ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman juga mencakup penyelenggaraan perumahan (butir c), penyelenggaraan
kawasan permukiman (butir d), pemeliharaan dan perbaikan (butir e), serta pencegahan
dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh (butir f).
c) Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Pasal 15 mengamanatkan bahwa pembangunan rumah susun umum, rumah susun khusus,
dan rumah susun negara merupakan tanggung jawab pemerintah.
d) Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Peraturan ini menetapkan salah satunya terkait dengan penanggulangan kemiskinan yang
diimplementasikan dengan penanggulangan kawasan kumuh.
e) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.
Peraturan ini menetapkan target berkurangnya luas permukiman kumuh di kawasan
perkotaan sebesar 10% pada tahun 2014.
Mengacu pada Permen PU No. 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
tugas di bidang perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pembinaan teknik dan pengawasan
teknik, serta standardisasi teknis dibidang pengembangan permukiman. Adapun fungsi
Direktorat Pengembangan Permukiman adalah:
a. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi pengembangan permukiman di perkotaan dan
perdesaan;
b. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi pengembangan kawasan permukiman
baru di perkotaan dan pengembangan kawasan perdesaan potensial;
c. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman
kumuh termasuk peremajaan kawasan dan pembangunan rumah susun sederhana;
d. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi peningkatan kualitas permukiman di
kawasan tertinggal, terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil termasuk
penanggulangan bencana alam dan kerusuhan sosial;
e. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan dan
peran serta masyarakat di bidang pengembangan permukiman;
f. Pelaksanaan tata usaha Direktorat.
8.1.2 Isu strategis, kondisi eksisting, permasalahan dan tantangan 8.1.2.1 Isu Strategis
Berbagai isu strategis nasionalyang berpengaruh terhadap pengembangan permukiman
saat ini adalah:
a) Mengimplementasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan serta mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.
b) Percepatan pencapaian target MDGs 2020 yaitu penurunan proporsi rumahtangga kumuh
perkotaan.
c) Perlunya dukungan terhadap pelaksanaan Program-Program Direktif Presiden yang
tertuang dalam MP3EI dan MP3KI.
d) Percepatan pembangunan di wilayah timur Indonesia (Provinsi NTT, Provinsi Papua, dan
Provinsi Papua Barat) untuk mengatasi kesenjangan.
e) Meminimalisir penyebab dan dampak bencana sekecil mungkin.
f) Meningkatnya urbanisasi yang berimplikasi terhadap proporsi penduduk perkotaan yang
bertambah, tingginya kemiskinan penduduk perkotaan, dan bertambahnya kawasan
kumuh.
g) Belum optimalnya pemanfaatan Infrastruktur Permukiman yang sudah dibangun.
h)Perlunya kerjasama lintas sektor untuk mendukung sinergitas dalam pengembangan
i) Belum optimalnya peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan
permukiman. Ditopang oleh belum optimalnya kapasitas kelembagaan dan kualitas sumber
daya manusia serta perangkat organisasi penyelenggara dalam memenuhi standar
pelayanan minimal di bidang pembangunan perumahan dan permukiman.
Tabel 8.1 Isu-isu Strategis Sektor Pengembangan Permukiman Skala Kota
No Isu Strategis Keterangan
1 Pemerataan pelayanan dan/atau penyediaan infrastruktur permukiman perkotaan untuk mendorong pembangunan di seluruh penjuru kota
2 Penyediaan infrastruktur pendukung
permukiman untuk mendorong perkembangan permukiman-permukiman baru baik di sebelah utara, timur, barat, maupun selatan
3 Terdapat intensitas pembangunan yang tinggi, terutama di pusat kota
4 Penataan kawasan permukiman yang berkembang pada wilayah yang tidak sesuai peruntukannya
5 Penanganan kawasan permukiman yang tidak layak huni
6 Penyediaan permukiman yang belum mendukung arah pembangunan kota
8.1.2.2 Kondisi Eksisting
Kebijakan pembangunan wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia saat ini adalah
berupa peningkatan pelayanan bagi penduduk. Kondisi eksisting yang ada saat ini adalah
persebaran penduduk tersebar secara tidak merata sehingga mengakibatkan penyediaan
prasarana dan sarana menjadi lebih sulit dan lebih mahal.
Kota Malang merupakan kota dengan orde II. Kota ini memiliki fungsi primer berupa
pendidikan, pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri. Struktur Pusat Permukiman
Perkotaan Malang diarahkan berpusat di Kota Malang sebagai pusat utama bagi wilayah
perkotaan di Kota/Kabupaten Malang serta Kota Batu dan struktur ruangnya menunjukan pola
linier yakni Kepanjen-Malang-Batu. Lahan di Kota Malang mayoritas difungsikan sebagai areal
permukiman yaitu sebesar 58% dari luasan keseluruhan Kota Malang.
Pemenuhan kebutuhan rumah di Kota Malang dilakukan oleh pihak swasta melalui
pengembang perumahan, masyarakat dan pihak public sector atau pemerintah kota. Salah
satu program penyediaan ruamah oleh pemerintah kota Malang yaitu Program 1.000 rumah
diencanakan akan diimplementasikan pada wilayah Kelurahan Lesanpuro, Tlogowaru,
Arjowinangun, Tlogomas, Bandulan, dan Bandungrejosari.
Berdasarkan dokumen RP4D Kota Malang Tahun 2004, kebutuhan rumah pada tahun
2010 adalah sebanyak 443.286 unit rumah. Sedangkan ketersediaan rumah hanya sebanyak
371.443 unit yang berarti hanya memenuhi 83,79% kebutuhan rumah (backlog 16,21%).
Pada tahun 2007 Kondisi rumah tidak layak huni mencapai 1.170 unit rumah sedangkan rumah
rawan bencana mencapai 530 unit.
Kondisi prasarana dan prasarana dasar yang terdapat di Kota Malang pada umumnya
baik, penyampaian pelayanan sarana prasarana dasar mikro telah mencakup sebagian
kawasan permukiman. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan dan
pemeliharaan menyebabkan kinerja sarana prasarana tidak berjalan optimal. Rendahnya
pengelolaan limbah kota serta pelayanan saluran drainasi menimbulkan ancaman pencemaran
bagi lingkungan permukiman juga kualitas sumberdaya air, yang lebih jauh akan berdampak
negatip terhadap kualitas kesehatan masyarakat. Kuantitas dan kualitas penyediaan air
perpipaan tidak konstan, terkadang keruh. Dilain pihak kualitas pelayanan sumur dangkal
kurang terjamin dari pencemaran limbah domestik. Disisi lain kualitas penanganan limbah
domestik yang tidak memadai cenderung memperburuk lingkungan permukiman. Daya bayar
masyarakat terhadap abonemen yang rendah menyebabkan tidak semua rumah tangga
mampu mengakses pelayanan komunal kota. Lokasi permukiman kumuh di Kota Malang
sebagian besar berada di tepian Kali Brantas dan daerah sempadan rel kereta api. Kriteria
kawasan kumuh didasarkan pada: a) Kualitas sarana prasarana dasar mikro yang rendah, b)
Kerawanan kawasan permukiman terhadap bencana alam maupun sumber pencemaran dan,
c) Tidak ada legalitas hak pengelolaan kawasan yang sangat jelas (slum areas).
Tabel 8.2 Peraturan Terkait Pengembangan Permukiman
No 1 Rancangan Peraturan
Daerah Kota Malang
a) Pembangunan hunian
vertikal untuk
mengantisipasi intensitas
pembangunan yang
tinggi;
b) Penataan kawasan
permukiman yang
berkembang pada
No
sempadan rel kereta api; dan
c) Penanganan kawasan permukiman yang tidak layak huni.
2 Peraturan Daerah Kota Malang
3 Peraturan Daerah Kota Malang yang aman, nyaman dan produktif dengan
a) Pemenuhan perumahan dan kawasan permukiman yang layak huni dan terjangkau;
b) Pemenuhan perumahan dan kawasan permukiman sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU);
No
d) Penanganan permukiman liar di Kota Malang; dan e) Penyediaan rumah susun
bagi masyarakat, dengan prioritas masyarakat berpenghasilan rendah.
Tabel 8.3 Data Kawasan Kumuh di Kota Malang Tahun 2009
No Lokasi Kawasan Kumuh
2,29 Ha Permukiman
Padat Sekitar
47,08 Ha Permukiman padat sekitar
1,09 Ha Permukiman
Padat, Industri
Permasalahan pengembangan permukiman pada tingkat nasional antara lain:
a) Masih luasnya kawasan kumuh sebagai permukiman tidak layak huni sehingga dapat
menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan, dan pelayanan infrastruktur yang masih
terbatas.
b) Masih terbatasnya prasarana sarana dasar pada daerah tertinggal, pulau kecil, daerah
c) Belum berkembangnya Kawasan Perdesaan Potensial.
Masalah utama dalam bidang perumahan dan permukiman di wilayah perkotaan
adalah kebutuhan fasilitas perumahan di perkotaan yang semakin meningkat dari waktu ke
waktu. Sementara itu ketersediaan lahan di wilayah perkotaan menjadi semakin langka.
Kelangkaan ini telah menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di wilayah perkotaan.
Adanya kelebihan permintaan terhadap lahan perumahan di wilayah perkotaan ini telah
menyebabkan kenaikan harga lahan perumahan yang luar biasa di wilayah perkotaan.
Tingginya harga lahan perumahan di wilayah perkotaan telah mendorong masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah untuk tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari
tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya biaya transportasi, waktu tempuh, dan
pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat menengah ke bawah
tersebut. Sedangkan sebagian masyarakat tetap berupaya untuk tinggal di kawasan yang
tidak jauh dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata
ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru di perkotaan. Hal ini telah
menyebabkan kondisi kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut
permasalahan yang timbul. Terutama dengan bertambahnya jumlah masyarakat kawasan
permukiman yang tidak layak huni, kurang sarana – prasarana, dan tidak teratur (kumuh).
Permukiman kumuh tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperuntukan
sebagai kawasan hunian seperti pinggir kali, pinggir rel kereta api, dan areal tidak resmi
lainnya. Akibatnya berbagai dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan
keamanan lingkungan menambah tugas pekerjaan rumah bagi pemerintah kota dan pusat.
Berdasarkan atas hasil kajian data dan informasi yang tercantum dalam dokumen
RP4D Kota Malang, maka dapat diketahui bahwa permasalahan-permasalahan pokok aspek
perumahan dan permukiman Kota Malang adalah sebagai berikut:
Tabel 8.4 Permasalahan Pokok Aspek Perumahan
Permasalahan yang Mendesak dan Perlu Penangan Cepat
Permasalahan yang aliran sungai (DAS) Brantas dan pada sempadan rel kereta api di Kota Malang.
Rendahnya tingkat pelayanan sarana dan prasarana dasar pemukiman pada kawasan pemukiman kumuh.
Kawasan Daerah Aliran Sungai Brantas kurang tertata.
Permasalahan yang Mendesak dan Perlu Penangan Cepat
Permasalahan yang Perlu Diantisipasi
Permasalahan yang Perlu Ditangani Secara Bertahap
kelengkapan sarana dan sarana permukiman
Permasalahan lainnya adalah ketersediaan rumah terbatas backlog kebutuhan rumah
16,21%. Sedangkan tiap tahun kebutuhan akan rumah layak terus bertambahnya sejalan
dengan pertumbuhan penduduk. Permasalahan backlog kebutuhan rumah akan terus
bertambah besar jika tidak pengembangan perumahan tidak dilakukan. Berdasarkan gap
analisis berikut akan terlihat kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan rumah akan
semakin besar jika tidak melakukan pengembangan perumahan lima tahun ke depan. Gap
analisis mengasumsikan pertumbuhan rumah sejalan dengan pertumbuhan KK (1,8.%).
8.1.2.4 Tantangan
Tantangan pengembangan permukiman pada tingkat nasional diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Percepatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat2.
Pencapaian target/sasaran pembangunan dalam Rencana Strategis Ditjen Cipta Karya sektor Pengembangan Permukiman.3.
Pencapaian target MDG’s 2015, termasuk didalamnya pencapaian Program-Program Pro Rakyat (Direktif Presiden)4.
Perhatian pemerintah daerah terhadap pembangunan bidang Cipta Karya khususnya kegiatan Pengembangan Permukiman yang masih rendah5.
Memberikan pemahaman kepada pemerintah daerah bahwa pembangunan infrastruktur permukiman yang saat ini sudah menjadi tugas pemerintah daerah provinsi dankabupaten/kota.
6.
Penguatan Sinergi RP2KP/RTBL KSK dalam Penyusunan RPI2JM bidang Cipta Karya pada Kabupaten/Kota.Tantangan yang dihadapi dalam aspek permukiman adalah Kebijakan pembangunan
permukiman yang masih di dasarkan pada mekanisme pasar akan dapat mendorong
perkembangan permukiman yang tidak terkendali. Selain itu dalam komponen pembangunan
permukiman dan infrastruktur perkotaan yang berkaitan dengan jalan, tantangannya adalah
Tingginya tingkat permintaan akan hunian menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan
8.1.3 Analisis Kebutuhan Pengembangan Permukiman
Analisis kebutuhan merupakan tahapan selanjutnya dari identifikasi kondisi eksisting.
Analisis kebutuhan mengaitkan kondisi eksisting dengan target kebutuhan yang harus dicapai.
Terdapat arahan kebijakan yang menjadi acuan penetapan target pembangunan bidang Cipta
Karya khususnya sektor pengembangan permukiman baik di tingkat Pusat maupun di tingkat
kabupaten/kota. Di tingkat Pusat acuan kebijakan meliputi RPJMN 2010-2014, MDGs 2015
(pengurangan proporsi rumah tangga kumuh tahun 2020), Standar Pelayanan Minimal (SPM)
untuk pengurangan luasan kawasan kumuh tahun 2014 sebesar 10%, arahan MP3EI dan
MP3KI, percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, arahan Direktif Presiden untuk
program pro-rakyat, serta Renstra Ditjen Cipta Karya 2010-2014. Sedangkan di tingkat
kabupaten/kota meliputi target RPJMD, RTRW Kabupaten/Kota, maupun Renstra SKPD. Acuan
kebijakan tersebut hendaknya menjadi dasar pada tahapan analisis kebutuhan
pengembangan permukiman.
Kebutuhan pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan, Kota Malang terdiri
atas:
a.
Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Kedungkandang, meliputi: KelurahanArjowinangun, Kelurahan Tlogowaru, Kelurahan Wonokoyo, Kelurahan Bumiayu, Kelurahan
Buring, Kelurahan Mergosono, Kelurahan Kotalama, Kelurahan Kedungkandang, Kelurahan
Sawojajar, Kelurahan Madyopuro, Kelurahan Lesanpuro, dan Kelurahan Cemorokandang;
b.
Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Sukun, meliputi: KelurahanKebonsari, KelurahanGadang, Kelurahan Ciptomulyo, Kelurahan Sukun, Kelurahan Bandungrejosari, Kelurahan
Bakalan Krajan, Kelurahan Mulyorejo, Kelurahan Bandulan, Kelurahan Tanjungrejo,
Kelurahan Pisangcandi, dan Kelurahan Karangbesuki;
c.
Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Klojen, meliputi: Kelurahan Kasin, KelurahanSukoharjo, Kelurahan Kidul Dalem, Kelurahan Kauman, Kelurahan Bareng, Kelurahan
Gading Kasri, Kelurahan Oro Oro Dowo, Kelurahan Klojen, Kelurahan Rampal Celaket,
Kelurahan Samaan, dan Kelurahan Penanggungan;
d.
Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Blimbing, meliputi: Kelurahan Jodipan, KelurahanPolehan, Kelurahan Kesatrian, Kelurahan Bunulrejo, Kelurahan Purwantoro, Kelurahan
Pandanwangi, Kelurahan Blimbing, Kelurahan Purwodadi, Kelurahan Polowijen, Kelurahan
Arjosari, dan Kelurahan Balearjosari; dan
e.
Kebutuhan pembangunan di Kecamatan Lowokwaru, meliputi: Kelurahan Merjosari,Kelurahan Dinoyo, Kelurahan Sumbersari, Kelurahan Ketawanggede, Kelurahan Jatimulyo,
Kelurahan Lowokwaru, Kelurahan Tulusrejo, Kelurahan Mojolangu, Kelurahan
Masalah utama dalam bidang perumahan dan permukiman di wilayah perkotaan adalah
kebutuhan fasilitas perumahan di perkotaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Sementara itu ketersediaan lahan di wilayah perkotaan menjadi semakin langka. Kelangkaan
ini telah menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di wilayah perkotaan. Adanya kelebihan
permintaan terhadap lahan perumahan di wilayah perkotaan ini telah menyebabkan kenaikan
harga lahan perumahan yang luar biasa di wilayah perkotaan. Tingginya harga lahan
perumahan di wilayah perkotaan telah mendorong masyarakat berpenghasilan menengah ke
bawah untuk tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini
menyebabkan meningkatnya biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan
menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat menengah ke bawah tersebut.
Sedangkan sebagian masyarakat tetap berupaya untuk tinggal di kawasan yang tidak jauh
dari pusat aktivitas ekononomi, sehingga menyebabkan ketidak-teraturan tata ruang kota dan
dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru di perkotaan. Hal ini telah menyebabkan kondisi
kemasyarakatan di kawasan perkotaan menjadi lebih kompleks berikut permasalahan yang
timbul. Terutama dengan bertambahnya jumlah masyarakat kawasan permukiman yang tidak
layak huni, kurang sarana – prasarana, dan tidak teratur (kumuh). Permukiman kumuh
tersebut cenderung berada pada kawasan yang tidak diperuntukan sebagai kawasan hunian
seperti pinggir kali, pinggir rel kereta api, dan areal tidak resmi lainnya. Akibatnya berbagai
dampak lingkungan lanjutan seperti banjir, penyakit menular dan keamanan lingkungan
menambah tugas pekerjaan rumah bagi pemerintah kota dan pusat.
8.1.4 Program-program sektor pengembangan permukiman
Kegiatan pengembangan permukiman terdiri dari pengembangan permukiman kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan. Pengembangan permukiman kawasan perkotaan terdiri
dari:
a) Pengembangan kawasan permukiman baru dalam bentuk pembangunan Rusunawa serta
b) Peningkatan kualitas permukiman kumuh dan RSH.
Sedangkan untuk pengembangan kawasan perdesaan terdiri dari:
a) Pengembangan kawasan permukiman perdesaan untuk kawasan potensial (Agropolitan
dan Minapolitan), rawan bencana, serta perbatasan dan pulau kecil,
b) Pengembangan kawasan pusat pertumbuhan dengan program PISEW (RISE),
Selain kegiatan fisik di atas program/kegiatan pengembangan permukiman dapat
berupa kegiatan non-fisik seperti penyusunan RP2KP dan RTBL KSK ataupun review bilamana
diperlukan. Pengembangan Kawasan Permukiman Perkotaan dapat berupa :
Infrastruktur kawasan permukiman kumuh
Infrastruktur permukiman RSH
Rusunawa beserta infrastruktur pendukungnya
Sedangkan untuk pengembangan Kawasan Permukiman Perdesaan berupa :
Infrastruktur kawasan permukiman perdesaan potensial (Agropolitan/Minapolitan)
Infrastruktur kawasan permukiman rawan bencana
Infrastruktur kawasan permukiman perbatasan dan pulau kecil
Infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi dan sosial (PISEW)
Infrastruktur perdesaan PPIP
Infrastruktur perdesaan RIS PNPM
Program-program bidang perumahan dan permukiman yang diusulkan dalam lima tahun
mendatang di Kota Malang dapat dikelompokkan ke dalam beberapa fokus program, yaitu:
a. Perbaikan kampung (KIP Komprehensif, khususnya di sepanjang kawasan DAS Brantas).
b. Perbaikan Kampung pada kawasan-kawasan yang diindikasikan Kumuh Seperti Kelurahan
Jodipan, Kotalama, Mergosono, dan sekitarnya.
c. Penertiban lokasi permukiman yang statusnya bermasalah/ squatters. Berbagai konsep
penyelesaian masalah status ini dapat dikembangkan, misalnya pemulihan, relokasi,
ebiarkannya dengan mengenakan biaya sewa atas penenpatan yang dilakukan selama ini.
d. Peremajaan lingkungan permukiman, khususnya pada lokasi permukiman yang potensial
untuk dibenahi dan dikembangkan
e. Peremajaan perumahan dengan status darurat nonpermanent
f. Pembangunan rumah dengan fasillitas KPR-BTN
Gambar 8.1 Alur Program Pengembangan Permukiman
8.1.5 Usulan program dan kegiatan
a. Usulan program dan kegiatan pengembangan permukiman
Setelah melalui tahapan analisis kebutuhan untuk mengisi kesenjangan antara kondisi
eksisting dengan kebutuhan maka perlu disusun usulan program dan kegiatan. Namun
usulan program dan kegiatan terbatasi oleh waktu dan kemampuan pendanaan pemerintah
kabupaten/kota. Sehingga untuk jangka waktu perencanaan lima tahun dalam RPI2JM
dibutuhkan suatu kriteria untuk menentukan prioritasi dari tahun pertama hingga kelima.
Usulan program Pembangunan Perumahan dan Pemukiman di Kota Malang yang
diusulkan dalam lima tahun mendatang meliputi kegiatan-kegiatan:
1. Penataan Kawasan Kumuh Sekitar Daerah Aliran Sungai
2. Penataan kawasan Kumuh Sekitar Rel Kereta Api
3. Peningkatan Sarana dan Prasarana Permukiman
b. Usulan pembiayaan pengembangan permukiman
Dalam pengembangan permukiman, Pemerintah Daerah didorong untuk terus
meningkatkan alokasinya pada sektor tersebut serta mencari alternatif sumber pembiayaan
Tabel 8.5 Usulan Pembiayaan Proyek
No Program/Kegiatan APBN APBD Prov
APBD
Kab/Kota Masyarakat Swasta CSR TOTAL
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (9) (10) 5 Perbaikan
8.2 Penataan Bangunan dan Lingkungan
Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan
sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaaatn ruang, terutama untuk mewujudkan
lingkungan binaan, baik di perkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan
gedung dan lingkungannya. Visi penataan bangunan dan lingkungan adalah terwujudnya
bangunan gedung dan lingkungan yang layak huni dan berjati diri, sedangkan misinya adalah:
(1) Memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang tertib, layak
huni, berjati diri, serasi dan selaras, dan (2) Memberdayakan masyarakat agar mandiri dalam
penataan lingkungan yang produktif dan berkelanjutan.
8.2.1 Arahan kebijakan dan lingkup kegiatan
Penataan bangunan dan lingkungan adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan
sebagai bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, terutama untuk mewujudkan
lingkungan binaan, baik diperkotaan maupun di perdesaan, khususnya wujud fisik bangunan
gedung dan lingkungannya.
Kebijakan penataan bangunan dan lingkungan mengacu pada Undang-undang dan
peraturan antara lain:
a) UU No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan amanat
bahwa penyelenggaraan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah
kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di
dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
Pada UU No. 1 tahun 2011 juga diamanatkan pembangunan kaveling tanah yang telah
dipersiapkan harus sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan
yang tercantum pada rencana rinci tata ruang dan Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL).
b) UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
UU No. 28 tahun 2002 memberikan amanat bangunan gedung harus diselenggarakan
secara tertib hukum dan diwujudkan sesuai dengan fungsinya, serta dipenuhinya
persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi adalah:
1) Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
2) Status kepemilikan bangunan gedung; dan
Persyaratan teknis bangunan gedung melingkupi persyaratan tata bangunan dan
persyaratan keandalan bangunan. Persyaratan tata bangunan ditentukan pada RTBL yang
ditetapkan oleh Pemda, mencakup peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur
bangunan gedung, dan pengendalian dampak lingkungan. Sedangkan, persyaratan
keandalan bangunan gedung mencakup keselamatan, kesehatan, keamanan, dan
kemudahan. UU No. 28 tahun 2002 juga mengamatkan bahwa dalam penyelenggaraan
bangunan gedung yang meliputi kegiatan pembangunan, pemanfaatan, pelestarian dan
pembongkaran, juga diperlukan peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah.
c) PP 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
Secara lebih rinci UU No. 28 tahun 2002 dijelaskan dalam PP No. 36 Tahun 2005 tentang
peraturan pelaksana dari UU No. 28/2002. PP ini membahas ketentuan fungsi bangunan
gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, peran
masyarakat, dan pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung. Dalam peraturan
ini ditekankan pentingnya bagi pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai acuan rancang bangun serta alat pengendalian
pengembangan bangunan gedung dan lingkungan.
d) Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan
Sebagai panduan bagi semua pihak dalam penyusunan dan pelaksanaan dokumen RTBL,
maka telah ditetapkan Permen PU No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa RTBL disusun
pada skala kawasan baik di perkotaan maupun perdesaan yang meliputi kawasan baru
berkembang cepat, kawasan terbangun, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana,
serta kawasan gabungan dari jenis-jenis kawasan tersebut. Dokumen RTBL yang disusun
kemudian ditetapkan melalui peraturan walikota/bupati.
e) Permen PU No.14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang
Permen PU No: 14 /PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang mengamanatkan jenis dan mutu pelayanan dasar Bidang
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak
diperoleh setiap warga secara minimal. Pada Permen tersebut dilampirkan indikator
pencapaian SPM pada setiap Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian PU beserta
Lingkup Tugas dan Fungsi Direktorat PBL
Sebagaimana dinyatakan pada Permen PU No.8 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian PU, pada Pasal 608 dinyatakan bahwa Direktorat Penataan Bangunan dan
Lingkungan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas pokok Direktorat Jenderal Cipta
Karya di bidang perumusan dan pelaksanakan kebijakan, penyusunan produk pengaturan,
pembinaan dan pengawasan serta fasilitasi di bidang penataan bangunan dan lingkungan
termasuk pembinaan pengelolaan gedung dan rumah negara.
Kemudian selanjutnya pada Pasal 609 disebutkan bahwa Direktorat Penataan Bangunan dan
Lingkungan menyelenggarakan fungsi:
h. Penyusunan kebijakan teknis dan strategi penyelenggaraan penataan bangunan dan
lingkungan termasuk gedung dan rumah negara;
i. Pembinaan teknik, pengawasan teknik, fasilitasi serta pembinaan pengelolaan bangunan
gedung dan rumah negara termasuk fasilitasi bangunan gedung istana kepresidenan;
j. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi penyelenggaraan penataan bangunan
dan lingkungan dan pengembangan keswadayaan masyarakat dalam penataan lingkungan;
k. Pembinaan teknik, pengawasan teknik dan fasilitasi revitalisasi kawasan dan bangunan
bersejarah/tradisional, ruang terbuka hijau, serta penanggulangan bencana alam dan
kerusuhan sosial;
l. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, serta pembinaan kelembagaan
penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan; dan
m.Pelaksanaan tata usaha Direktorat.
Lingkup tugas dan fungsi tersebut dilaksanakan sesuai dengan kegiatan pada sektor
PBL, yaitu kegiatan penataan lingkungan permukiman, kegiatan penyelenggaraan bangunan
gedung dan rumah negara dan kegiatan pemberdayaan komunitas dalam penanggulangan
Sumber : Dit. PBL, DJCK, 2012
Gambar 8.2 Lingkup Tugas PBL
Lingkup kegiatan untuk dapat mewujudkan lingkungan binaan yang baik sehingga
terjadi peningkatan kualitas permukiman dan lingkungan meliputi:
a. Kegiatan penataan lingkungan permukiman
Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL);
Bantuan Teknis pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH);
Pembangunan Prasarana dan Sarana peningkatan lingkungan pemukiman kumuh dan
nelayan;
Pembangunan prasarana dan sarana penataan lingkungan pemukiman tradisional.
b. Kegiatan pembinaan teknis bangunan dan gedung
Diseminasi peraturan dan perundangan tentang penataan bangunan dan lingkungan;
Peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan dan gedung;
Pengembangan sistem informasi bangunan gedung dan arsitektur;
c. Kegiatan pemberdayaan masyarakat di perkotaan
Bantuan teknis penanggulangan kemiskinan di perkotaan;
Paket dan Replikasi.
8.2.2 Isu strategis, kondisi eksisting, permasalahan dan tantangan 8.2.2.1 Isu Strategis
Untuk dapat merumuskan isu strategis Bidang PBL, maka dapat dilihat dari Agenda
Nasional dan Agenda Internasional yang mempengaruhi sektor PBL. Untuk Agenda Nasional,
salah satunya adalah Program PNPM Mandiri, yaitu Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri, sebagai wujud kerangka kebijakan yang menjadi dasar acuan
pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan
masyarakat. Agenda nasional lainnya adalah pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, khususnya untuk sektor PBL yang
mengamanatkan terlayaninya masyarakat dalam pengurusan IMB di kabupaten/kota dan
tersedianya pedoman Harga Standar Bangunan Gedung Negara (HSBGN) di kabupaten/kota.
Agenda internasional yang terkait diantaranya adalah pencapaian MDG’s 2015,
khususnya tujuan 7 yaitu memastikan kelestarian lingkungan hidup. Target MDGs yang terkait
bidang Cipta Karya adalah target 7C, yaitu menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk
tanpa akses terhadap air minum layak dan sanitasi layak pada 2015, serta target 7D, yaitu
mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman
kumuh pada tahun 2020.
Agenda internasional lainnya adalah isu Pemanasan Global (Global Warming).
Pemanasan global yang disebabkan bertambahnya karbondioksida (CO2) sebagai akibat
konsumsi energi yang berlebihan mengakibatkan naiknya suhu permukaan global hingga 6.4
°C antara tahun 1990 dan 2100, serta meningkatnnya tinggi muka laut di seluruh dunia hingga
mencapai 10-25 cm selama abad ke-20. Kondisi ini memberikan dampak bagi
kawasan-kawasan yang berada di pesisir pantai, yaitu munculnya bencana alam seperti banjir,
kebakaran serta dampak sosial lainnya.
Agenda Habitat juga merupakan salah satu Agenda Internasional yang juga
mempengaruhi isu strategis sektor PBL. Konferensi Habitat I yang telah diselenggarakan di
Vancouver, Canada, pada 31 Mei-11 Juni 1976, sebagai dasar terbentuknya UN Habitat pada
tahun 1978, yaitu sebagai lembaga PBB yang mengurusi permasalahan perumahan dan
permukiman serta pembangunan perkotaan. Konferensi Habitat II yang dilaksanakan di
All" dan "Sustainable Human Settlements Development in an Urbanizing World", sebagai
kerangka dalam penyediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat.
Dari agenda-agenda tersebut maka isu strategis tingkat nasional untuk bidang PBL
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1) Penataan Lingkungan Permukiman
a. Pengendalian pemanfaatan ruang melalui RTBL;
b. PBL mengatasi tingginya frekuensi kejadian kebakaran di perkotaan;
c. Pemenuhan kebutuhan ruang terbuka publik dan ruang terbuka hijau (RTH) di
perkotaan;
d. Revitalisasi dan pelestarian lingkungan permukiman tradisional dan bangunan
bersejarah berpotensi wisata untuk menunjang tumbuh kembangnya ekonomi lokal;
e. Peningkatan kualitas lingkungan dalam rangka pemenuhan Standar Pelayanan
Minimal;
f. Pelibatan pemerintah daerah dan swasta serta masyarakat dalam penataan bangunan
dan lingkungan.
2) Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara
a. Tertib pembangunan dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan,
kenyamanan dan kemudahan);
b. Pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung dengan perda bangunan gedung di
kab/kota;
c. Tantangan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, tertib, andal dan
mengacu pada isu lingkungan/berkelanjutan;
d. Tertib dalam penyelenggaraan dan pengelolaan aset gedung dan rumah negara;
e. Peningkatan kualitas pelayanan publik dalam pengelolaan gedung dan rumah Negara.
3) Pemberdayaan Komunitas dalam Penanggulangan Kemiskinan
a. Jumlah masyarakat miskin pada tahun 2012 sebesar 29,13 juta orang atau sekitar
11,96% dari total penduduk Indonesia;
b. Realisasi DDUB tidak sesuai dengan komitmen awal termasuk sharing in-cash sesuai
MoU PAKET;
c. Keberlanjutan dan sinergi program bersama pemerintah daerah dalam
penanggulangan kemiskinan.
Isu strategis PBL ini terkait dengan dokumen-dokumen seperti RTR, skenario
pembangunan daerah, RTBL yang disusun berdasar skala prioritas dan manfaat dari rencana
penanggulangan kebakaran, bagi pencapaian terwujudnya pembangunan lingkungan
permukiman yang layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan.
8.2.2.2 Kondisi Eksisting
Untuk tahun 2012 capaian nasional dalam pelaksanaan program direktorat PBL adalah
dengan jumlah kelurahan/desa yang telah mendapatkan fasilitasi berupa peningkatan kualitas
infrastruktur permukiman perdesaan/kumuh/nelayan melalui program P2KP/PNPM adalah
sejumlah 10.925 kelurahan/desa. Untuk jumlah Kabupaten/Kota yang telah menyusun Perda
Bangunan Gedung (BG) hingga tahun 2012 adalah sebanyak 106 Kabupaten/Kota. Untuk
RTBL yang sudah tersusun berupa Peraturan Bupati/Walikota adalah sebanyak 2
Kabupaten/Kota, 9 Kabupaten/Kota dengan perjanjian bersama, dan 32 Kabupaten/Kota
dengan kesepakatan bersama.
Berdasarkan Renstra Ditjen Cipta Karya 2010-2014, di samping kegiatan non-fisik dan
pemberdayaan, Direktorat PBL hingga tahun 2013 juga telah melakukan peningkatan
prasarana lingkungan permukiman di 1.240 kawasan serta penyelenggaraan bangunan
gedung dan fasilitasnya di 377 kabupaten/kota. Dalam RPI2JM bidang Cipta Karya pencapaian
di Kabupaten/Kota perlu dijabarkan sebagai dasar dalam perencanaan.
Pada dasarnya Kota Malang merupakan kota jasa, yaitu kota yang lebih banyak
berfungsi sebagai kawasan transit dan penyedia akomodasi bagi para wisatawan Malang Raya.
Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memunculkan potensi belanja dari Kota Malang
itu sendiri yaitu dengan membentuk image/ kesan yang unik kepada masyarakat. Salah satu
kesan yang dapat dikembangkan pada pusat perbelanjaan di pusat Kota Malang adalah
adanya keberadaan bangunan-bangunan kuno yang masih ada sampai sekarang, walaupun
jumlahnya telah berkurang. Keberadaan bangunan-bangunan kuno tersebut merupakan
warisan dari kegiatan dan kehidupan masyarakat Eropa yang menetap di Kota Malang pada
periode kolonial.
Bangunan-bangunan yang dapat dikembangkan sebagai kegiatan wisata sejarah adalah
bangunan-bangunan yang terletak pada Kawasan Alun-alun Tugu, Kayutangan, dan koridor
Jl. Semeru – Jl. Ijen. Pengembangan wisata dapat memanfaatkan keberadaan stasiun kereta
api Kota Malang sebagai pintu masuk wisata di Kota Malang. Berikut ini diuraikan mengenai
tinjauan historis kawasan-kawasan kuno yang ada:
A. Kawasan Kayutangan
Perkembangan kawasan komersial dan perkantoran di sepanjang koridor Kajoetangan
Straat pada masa kolonial akan diuraikan dalam dua periode yakni: periode sebelum tahun
periode dimana Kota Malang mengalami perkembangan yang pesat setelah diresmikan
menjadi Kotamadya.
I. Periode sebelum tahun 1914
Permukiman di sepanjang koridor Kajoetangan Straat merupakan cikal bakal
permukiman penduduk Eropa pada periode setelah masuknya Belanda tahun 1767 sampai
dengan sebelum tahun 1914, seperti diuraikan dalam buku Stadsgemeente Malang berikut
ini:
“Permukiman Orang Eropa terletak di sebelah Barat Daya (zuidwesten) alun-alun yang meliputi daerah Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya) selain itu juga terdapat
disekitar Kayutangan, Oro-oro dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal”
Seperti pada kota-kota kolonial lainnya, pada wilayah Kota Malang juga terlihat
pembangunan sarana dan prasarana yang lebih diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat
Eropa. Kesan seperti itu nampak karena pada permukiman di koridor Kajoetangan Straat pada
saat itu telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai, bila
dibandingkan dengan pemukiman untuk etnis Cina di Kawasan Pecinan, etnis Arab di Kawasan
Kauman, dan terutama bila dibandingkan dengan permukiman pribumi yang cenderung
terabaikan.
Perkembangan Kawasan Kayutangan semakin pesat setelah pada tahun 1878/1879
dibangun rel kereta api menuju ke Surabaya, Pasuruan, dan daerah Jawa Timur lainnya. Jalan
ini kemudian menjadi jalan utama Kota Malang dengan didirikannya bangunan-bangunan
dengan fungsi pelayanan publik seperti Gereja pertama di Kota Malang, Kantor Pos Telegram
Telepon, Gedung Serbaguna (Societeit Concordia).
Sejalan dengan makin pentingnya peran Kawasan Kayutangan, dan mulai
dilakukannya aktifitas perdagangan internal Kota Malang, kawasan ini kemudian tumbuh
sebagai kawasan komersial pertama di Kota Malang yang ditandai dengan berdirinya
kantor-kantor perdagangan kecil meskipun dalam jumlah yang masih relatif terbatas. Secara perlahan
terjadi pergeseran guna lahan menjadi semi komersial. Pada tahun 1920, badan jalan raya
Kajoetangan Straat diperkeras dengan aspal bersama dengan Jl. Tjelaket dan Jl. Oro-oro
Dowo.
Beberapa bangunan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda dengan fungsi
pelayanan publik yang dibangun pada masa itu diantaranya adalah:
a. Gedung Kantor Pos Telegram Telepon (sekarang Bangunan Kantor Telkom)
Dibangun tahun 1909 oleh Departemen BOW (Burgelijke Openbare Werken) atau
mengalami beberapa perubahan bentuk dari struktur awalnya. Tetapi masih nampak
bahwa struktur bangunan merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda.
b. Toko Oen
Merupakan hasil alih fungsi dari perumahan kolonial lama menjadi restoran komersial
karena lokasinya yang strategis. Toko ini terletak di depan Gereja Hati Kudus Yesus dan
merupakan pembuka dari rangkaian pertokoan Kajoetangan, sebab di kawasan alun-alun
pada saat itu tidak diperbolehkan adanya aktifitas perdagangan karena kesan sakral yang
dimiliki alun-alun pada kota-kota Jawa masih berusaha dipertahankan meskipun telah
terjadi mix and match dengan kebudayaan indis.
c. Badan jalan Kajoetangan Straat dan elemennya.
Kajoetangan Straat menghubungkan alun-alun sebagai pusat kota dengan jalan menuju
ke luar kota (Kota Surabaya). Elemen utama dari badan jalan ini adalah rel trem yang
menghubungkan daerah kota yang ada di sebelah utara dengan sebelah selatan. Lebar
badan jalan antara 10 meter dan dipergunakan untuk wadah lalu lintas bagi trem, mobil,
dan kendaraan non bermotor. Sedangkan untuk pejalan kaki tersedia trotoar tersendiri
yang dipisahkan dari jalan untuk kendaraan dengan pohon-pohon yang berjajar rimbun.
Meskipun memiliki elemen yang cukup komplit, badan jalan ini belum dilengkapi dengan
median sehingga arus lalu lintas dari dua arah masih bercampur.
d. Bangunan Societeit Concordia
Bangunan Societeit concordia saat ini tidak dapat lagi ditemui di Jl. Basuki Rachmat.
Bangunan gedung ini mempunyai ciri arsitektur gaya Indische Empire. Societeit Concordia
merupakan gedung tempat rileks bagi masyarakat Belanda pada waktu itu. Didalamnya
terdapat tempat-tempat hiburan seperti meja tempat main kartu, meja billiard,
perpustakaan kecil, tempat pertemuan, dan sebagainya. Semua kegiatan orang Belanda
di Malang berpusat di Kota ini. Hampir di setiap kota besar di Hindia Belanda terdapat
cabang Societeit ini. Corak bangunan Indische empire ini kemudian berubah menganut
aliran semi Nieuw bouwen. Tidak jelas kapan bangunan ini berubah.
Bangunan hasil perubahan tersebut beratap datar. Pada bulan Juli 1947, gedung ini
pernah dipakai untuk sidang KNIP. Sayang sekali gedung bersejarah tersebut dibumi
hanguskan dalam rangka strategi perang gerilya menghadapi masuknya tentara Belanda
ke Malang pada tahun 1948.
e. Gereja Katedral Hati Kudus Yesus
Gereja Katedral Hati Kudus Yesus dibangun pada tahun 1905 oleh Marius J. Hulswit.
Kabupaten. Gereja ini termasuk golongan bangunan yang dibangun oleh arsitek antara
tahun 1990-1915, segolongan dengan bangunan Bank Indonesia (Javasche Bank).
Desain Gereja ini mengikuti aliran Neogothik yang sedang menjadi trend pembangunan
gereja-gereja Eropa abad 19 seperti Gereja Notredame di Paris dan Wetsminster Abbey di
Inggris. Lebar gereja ini kurang lebih 11,4 m dan panjangnya kurang lebih 40 m. Di sisi
kiri dan kanan terdapat tangga yang dipakai untuk naik ke lantai dua, pada kedua tangga
inilah pada tampak luarnya dibuat dua tower (menara) yang lazim ditemui pada
gereja-gereja Neogothik.
II. Periode 1914-1940
Pada awal periode ini dilakukan pembukaan saluran air bersih dan saluran telepon.
Perkembangan kawasan ini mengakibatkan nilai lahan di kawasan ini meningkat sedemikian
rupa dan menjadikan kawasan ini sebagai kawasan dengan harga lahan yang paling tinggi
saat itu. Dampaknya adalah dilakukannya pembangunan vertikal untuk meningkatkan
produktifitas lahannya sehingga di kawasan ini sangat lazim ditemui bangunan-bangunan
yang terdiri dari dua bahkan tiga lantai, akibatnya pada periode ini lahan di sepanjang koridor
Kajoetangan Straat ini telah menjadi kawasan dengan besaran solid yang sangat tinggi, dan
koefisien lantai bangunan yang tinggi pula.
Ciri khas bangunan-bangunan yang dibangun pada periode ini pada umumnya lebih
mengutamakan segi fungsional. Aliran yang berkembang pesat di Malang pada periode ini
adalah aliran Nieuwe Bouwen dengan cirikhas atap datar, gevel horizontal, volume bangunan
berbentuk kubus serta warna putih, yang pada kawasan studi dapat ditemui di sepanjang
koridor Kajoetangan straat dan pertokoan di perempatan Semeroe straat-Kayoetangan straat.
Beberapa bangunan yang baru didirikan atau direnovasi pada periode ini diantaranya:
a. Kompleks Pertokoan di sepanjang koridor Kajoetangan straat
Pada umumnya pertokoan disepanjang jalan Kayutangan dibangun antara tahun
1930-1940, yang merupakan alih fungsi dari perumahan-perumahan kolonial pertama yang
menjadi kawasan komersial. Fasade dari kompleks pertokoan ini jelas-jelas menganut
aliran Nieuwe Bouwen, sebagian besar bangunan dilengkapi dengan menara, utamanya
pada bangunan-bangunan yang berlokasi di persimpangan jalan. Keberadaan menara
pada bangunan dengan aliran Nieuwe Bouwen menunjukkan kolaborasi yang sempurna
antara ciri khas bangunan periode sebelumnya yang direnovasi karena mengikuti
perkembangan trend atau karena perluasan vertikal.
b. Pertokoan di Perempatan Kajoetanganstraat- Semeroestraat
Kompleks pertokoan ini dibangun pada tahun 1936-an dengan arsitek bernama Karel Bos.
Kota Malang, dimana bagian pertokoan seolah-oleh menjadi pintu gerbang ke arah jalan
baru menuju ke bagian Barat kota yakni poros Timur Barat (mulai dari Jalan Kertanegara
ke Jalan Kahuripan memotong Jalan Kayutangan, terus ke semeru dan berakhir sampai
Jalan raya Ijen yang menjadi jalan utama di daerah Bergenbuurt). Gaya arsitektur di
pertokoan ini adalah gaya arsitektur kolonial modern yang juga di kenal dengan sebutan
Nieuwe Bouwen.
B. Kawasan Alun-alun Tugu
Kawasan Alun-alun Tugu dibangun pada tahun 1922, berdasarkan Rencana Perluasan
Pembangunan Kota Ke II (Bouwplan II) dengan luas area sebesar 5.547 m2. Tujuan
pembangunan Alun-alun Tugu adalah untuk membentuk daerah pusat pemerintahan baru
pada masa kolonial, di samping pusat kota yang lama (Alun-alun Tradisional, yaitu Alun-alun
Merdeka saat ini). Lokasi pusat kota baru terletak di arah timur laut dari alun-alun tradisional
yang merupakan pusat kota pertama.
Pada masa kolonial, kedua pusat kota tersebut telah diupayakan untuk disatukan, guna
menghindari terbentuknya dua pusat kota di dalam satu kota, antara lain melalui
pembangunan jembatan dan jaringan transportasi di arah Jl. Majapahit Selatan. Namun
tampaknya usaha pengembangan daerah antara tersebut kurang bisa terwujud, bahkan
sampai sekarang pun. Sulitnya penyatuan kedua pusat kota diperkirakan karena kondisi
geografis lokasi diantara kedua pusat kota yang berkontur, dan adanya pembatas alami
berupa sungai yang curam. Sehingga perkembangan kawasan yang terjadi cenderung berpola
linear, dimana kegiatan muncul di sepanjang jalur jalan yang ada, dan bermuara pada kedua
pusat kota di arah utara (pusat kota baru) dan selatan (pusat kota lama).
Bentuk inti Alun-alun Tugu berupa lapangan berumput berbentuk bulat dan di
tengahnya dibuat kolam air mancur. Pada tahun 1950-an di tengah kolam air mancur didirikan
tugu setinggi ±16 m, sehingga sebutannya berubah dari Alun-alun Bunder JP. Coen Plein
menjadi Alun-alun Tugu. Diameter Alun-alun Tugu sebesar 124 m, dan dikelilingi jalan kolektor
sekunder berukuran lebar 15 m, serta garis sempadan muka bangunan antara 15 - 20 m.
Bangunan-bangunan kuno yang menjadi identitas Kawasan Alun-alun Tugu dan masih berdiri
hingga saat ini adalah:
a. Stasiun Kereta Api Malang
Sejak tahun 1897, jaringan jalan kereta api sudah memasuki Kota Malang. Tahun 1914,
jurusan yang sudah ada adalah Surabaya – Malang, yang dihubungkan oleh 4 buah kereta
api. Stasiun kereta api tersebut terletak di Stasiunweg (Jl Stasiun), dan menghadap ke
Dalam perencanaan lalu lintas Kota Malang, perencanaan perempatan antara Jl Kahuripan,
Jl Kayutangan dan Jl Semeru dijadikan sebagai pusat (titik tengah) dari sistem lalu lintas
kota. Dengan rencana pemindahan stasiun kota lama ke sebelah barat dari rel kereta api,
maka nantinya dari stasiun kota menuju pusat kota menjadi sangat mudah. Pada tahun
1927 rencana pemindahan stasiun ini dibicarakan dan baru dilaksanakan tahun 1930.
Untuk menandai agar bangunan stasiun kereta api tersebut lebih monumental, maka dari
alun-alun bunder dibuat jalan kembar dengan taman ditengahnya yang sering disebut
dengan Deandels Boulevard.
b. Gedung HBS/AMS di JP. COEN PLEIN (Alun-alun Bunder)
Gedung HBS/AMS, yang sekarang merupakan kompleks SMA Tugu, dirancang oleh IR. W.
Lemei dari Landsgerbouwendiest (Jawatan Gedung Negara) Jatim, selesai dibangun pada
tahun 1931. Lokasi dari gedung HBS/AMS berada di sekitar Alun-alun Bunder (sekarang
Alun-alun Tugu) yang merupakan pusat Pemerintahan Kota Malang yang baru. Orientasi
bangunan Gedung HBS/AMS menghadap ke arah lapangan JP.Coen. Pembangunan
gedung ini hampir bersamaan dengan pembangunan Balai Kota Malang. Supaya tidak
berkesan sebagai bangunan yang ingin menyaingi Balai Kota, maka bentuk keseluruhan
dari sekolah ini dibuat seperti villa.
c. Balai Kota
Gedung Balai Kota dibangun pada tahun 1927-1929. Bangunannya terdiri dari 2 (dua)
lantai, dan arsiteknya adalah HF Horn dari semarang, sebagai hasil sayembara yang
diadakan oleh pihak Kotamadya Malang dengan motto “Voor de Burgers van Malang”
(Untuk Warga Malang).
C. Koridor Jl. Semeru – Jl. Ijen
Kawasan Jl. Semeru merupakan aksis jalur utama arah timur-barat yang direncanakan
sebagai penghubung kawasan Alun-alun Tugu dengan kawasan Jl. Ijen. Perkembangan
koridor Jl. Semeru sangat dipengaruhi oleh rencana perluasan pembangunan Kota Malang
ke-5 (Bouwplan V). Rencana ini pada intinya adalah perluasan ke arah Barat Kota Malang untuk
mengantisipasi ribbon development yang terjadi pada arah utara-selatan Kota Malang dan
menarik perkembangan ke arah barat. Dengan adanya rencana tersebut maka direncanakan
adanya jalur jalan utama yang kuat dari arah timur-barat yang akan menghubungkan
perluasan Bouwplan II dengan Bouwplan V. Jl. Semeru merupakan bagian dari jalan utama
tersebut (Stasiun Kereta Api Kota Malang – Jl. Kertanegara – Jl. Kahuripan – memotong
Kajoetangan Straat – Semeroe Straat– berakhir sampai SemeroePark).
Perkembangan Jl. Semeru kemudian juga dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi
prasarana yang memadai untuk kepentingan permukiman kolonial. Kawasan ini juga memiliki
bangunan pelayanan publik. Kemudian dengan adanya Bouwplan V dan VII yang
merencanakan pembangunan jalan aksis timur barat dan pembangunan kawasan perumahan
baru untuk Bangsa Eropa di Idjen Straat menjadikan bagian dari koridor ini, yakni perempatan
Kajoetangan Straat – Riebeek Straat (sekarang Jl. Kahuripan) dan Semeroe Straat sebagai
pusat aktifitas utama Kota Malang. Dalam perluasan kota ini, dikenal pula adanya
pembangunan taman olahraga di sekitar Jl. Semeru yang besar sekali menurut ukuran jaman
itu.
Ciri khas bangunan-bangunan yang dibangun di kawasan Jl. Semeru pada periode
1914-1940 pada umumnya lebih mengutamakan segi fungsional. Aliran yang berkembang
pesat di Kota Malang pada periode ini adalah aliran Nieuwe Bouwen dengan ciri khas atap
datar, gevel horizontal, volume bangunan berbentuk kubus serta warna putih. Berikut
merupakan bangunan-bangunan kuno yang masih ada di sepanjang Jl. Semeru hingga saat
ini.
a. Gedung Sekolah Menengah Kristen (Christ MULO School)
Gedung kuno yang berdiri kokoh di Jl. Semeru dan kini ditempati oleh SMP, SMU dan
Universitas Kristen, dahulu merupakan SMA Belanda (Christ MULO School). Pada zaman
penjajahan Jepang, gedung ini digunakan untuk markas Komgambari (Polisi Militer)
Jepang. Gedung ini dibangun antara tahun 1936.
b. Komplek Stadion Gajayana
Berada di pusat Kota Malang dengan luas sekitar 6 ha, stadion dibangun oleh Pemerintah
Gemeente Malang pada tahun 1926. Lahannya dibebaskan dari tanah perkebunan yang
kemudian dibangun menjadi sarana olahraga terindah dan megah sebelum Stadion
Senayan dibangun.
Stadion ini awalnya dibangun di bagian yang tertutup yaitu khusus untuk sepak bola.
Pagar keliling arena dikonsep menyatu dengan lingkungan, tidak dibangun dari tembok
bata tapi dari tanah yang sekaligus untuk tribun dan pagar keliling dari kawat. Kemudian
dibangun kolam renang (Swembad). Setelah itu dua lahan di luar stadion dibangun untuk
tempat berlatih sepak bola dan satu lapangan lagi untuk olahraga hoki yang ada di sebelah
selatan. Di sebelah barat lapangan hoky terdapat 10 lapangan tenis ban.
Pada dasarnya terdapat dua alasan utama pengembangan perumahan di kawasan Jl.
Ijen yang terletak di arah barat dari pusat kota yang baru – Alun-alun Tugu, yaitu:
Perlunya perumahan baru bagi golongan Eropa, dan
Maka melalui rencana perluasan pembangunan kota ke V (Bouwplan V) seluas 16.768
m2, dengan membuat jalur jalan utama yang kuat di arah timur – barat, akan merupakan
antisipasi kecenderungan tersebut dan mengimbangi kuatnya poros utara – selatan.
Pengembangan kawasan ke sebelah barat dari jalan utama kota –Kajoetangan Straat,
merupakan alternatif paling menguntungkan bagi penyediaan perumahan Bangsa Eropa yang
dirasa sangat kurang, disamping juga karena pengembangan di arah lain tidak memungkinkan
– mengingat kondisinya sebagai berikut:
1). Pengembangan ke arah timur terdapat rel kereta api dan tangsi-tangsi militer.
2). Pengembangan ke arah tenggara terhalang kuburan Cina (Kutobedah) dan lembah
Sungai Brantas yang sangat curam.
3). Pengembangan ke arah selatan terhalang kuburan Cina dan emplasemen MSM (Malang
Stoomtram Maatschappij).
4). Pengembangan ke arah utara, diantara rel dan kampong hanya terdapat sebuah jalan
besar.
5). Ditambah lagi dengan suatu kenyataan bahwa daerah sebelah barat memiliki geografis
tanah yang lebih tinggi, sehingga lebih disukai dan dinilai lebih ideal sebagai daerah
perumahan kelas atas – golongan Eropa.
Bouwplan V pelaksanaannya dimulai pada tahun 1942/1925 dengan membuat proses
jalan arah timur – barat, dimulai dari stasiun kereta api – Jl. Kertanegara – (memotong
Kajoetangan Straat) Jl. Semeru – berakhir dengan suatu focalpoint– berpotongan tegak lurus
dengan Jl. Ijen di arah utara – selatan.
Jalan Ijen didesain berupa jalan dua arah dengan boulevard (taman-taman di tengah
jalan) yang lebar sebagai median jalan, dan kiri kanan jalan terdapat trotoar yang nyaman.
Trotoar rendah dengan ketinggian sekitar 5 cm dari badan jalan, ditanami rumput dan jajaran
pohon palem sebagai pemisah area pergerakan bagi manusia pejalan kaki dan kendaraan di
jalan raya. Pada setiap titik perpotongan jalan arah timur – barat diselesaikan dengan
taman-taman yang indah.
Semeroe Plein (taman rumput) di pertemuan antara Jl. Semeru dengan Jl. Ijen,
dengan latar belakang pemandangan Gunung Kawi, yang pada saat ini tidak dapat dinikmati
lagi keindahan visualnya. Hal ini dikarenakan oleh:
Pertama, keberadaan Museum Brawijaya yang menutup visual frame yang terbentuk dari
arah Jl. Semeru tersebut.
Kedua, bergantinya Semeru Plain dengan sculpture berupa monumen marmer
berlambang bunga melati – merubah visual frame menjadi titik tangkap visual, yang hanya
dan Jl. Retawu). Keberadaan monumen ini juga kurang berhasil sebagai focal point bila
ditinjau dari arah utara – selatan Jl. Ijen, dikarenakan aksis linier yang kuat menjadikan
monumen di dalam taman median jalan tersebut berperan sebatas sebagai elemen yang
memberi irama (sky line) berada dengan elemen tanam yang lain. Semeru Plein yang
semula berperan sebagai center dan nodes pergerakan dari dan menuju kawasan sekitar,
telah hilang fungsinya dikarenakan taman bundar tersebut dihubungkan dengan
boulevard di utara – selatan taman.
8.2.2.3 Permasalahan
Dalam kegiatan penataan bangunan dan lingkungan terdapat beberapa permasalahan
dan tantangan yang dihadapi, antara lain:
Penataan Lingkungan Permukiman:
Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana sistem proteksi kebakaran;
Belum siapnya landasan hukum dan landasan operasional berupa RTBL untuk lebih
melibatkan pemerintah daerah dan swasta dalam penyiapan infrastruktur guna
pengembangan lingkungan permukiman;
Menurunnya fungsi kawasan dan terjadi degradasi kawasan kegiatan ekonomi utama kota,
kawasan tradisional bersejarah serta heritage;
Masih rendahnya dukungan pemda dalam pembangunan lingkungan permukiman yang
diindikasikan dengan masih kecilnya alokasi anggaran daerah untuk peningkatan kualitas
lingkungan dalam rangka pemenuhan SPM.
Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara:
Masih adanya kelembagaan bangunan gedung yang belum berfungsi efektif dan efisien
dalam pengelolaan Bangunan Gedung dan Rumah Negara;
Masih kurangnya perda bangunan gedung untuk kota metropolitan, besar, sedang, kecil di
seluruh Indonesia;
Meningkatnya kebutuhan NSPM terutama yang berkaitan dengan pengelolaan dan
penyelenggaraan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kemudahan);
Kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan Gedung
termasuk pada daerah-daerah rawan bencana;
Prasarana dan sarana hidran kebakaran banyak yang tidak berfungsi dan kurang mendapat
perhatian;
Lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya
Banyaknya Bangunan Gedung Negara yang belum memenuhi persyaratan keselamatan,
keamanan dan kenyamanan;
Penyelenggaraan Bangunan Gedung dan Rumah Negara kurang tertib dan efisien;
Masih banyaknya aset negara yang tidak teradministrasikan dengan baik.
Penyelenggaraan Sistem Terpadu Ruang Terbuka Hijau:
Masih kurang diperhatikannya kebutuhan sarana lingkungan hijau/terbuka, sarana olah
raga.
Kapasitas Kelembagaan Daerah:
Masih terbatasnya kesadaran aparatur dan SDM pelaksana dalam pembinaan
penyelenggaraan bangunan gedung termasuk pengawasan;
Masih adanya tuntutan reformasi peraturan perundang-undangan dan peningkatan
pelaksanaan otonomi dan desentralisasi;
Masih perlunya peningkatan dan pemantapan kelembagaan bangunan gedung di daerah
dalam fasilitasi penyediaan perangkat pengaturan.
A. Permasalahan di Bidang Bangunan Gedung
Bangunan dan kawasan bersejarah warisan masa kolonial di Kota Malang sebagian besar
terkonsentrasi pada kawasan pusat kota, yakni di Kecamatan Klojen. Keberadaannya di pusat
kota, menyebabkan bangunan dan kawasan bersejarah tersebut sangat rentan terhadap
perubahan akibat modernisasi. Jumlah bangunan kuno pada pusat kota semakin berkurang
dan mengalami penurunan aktivitas, sehingga perlu diadakan upaya pelestarian dan
revitalisasi untuk menunjang kegiatan wisata kota sehingga mampu memberikan kontribusi
terhadap perekonomian Kota Malang. Dalam penelitian ini, kawasan yang akan diupayakan
untuk dilakukan revitalisasi dan pelestarian adalah Kawasan Eks – Kayutangan.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan terhadap fisik bangunan bersejarah di Kota
Malang adalah peningkatan aktivitas ekonomi yang membawa perubahan secara cukup
signifikan pada wujud fisik lingkungan binaan perkotaan –urban fabric. Guna lahan perkotaan
yang semakin memadat karena proses perkembangan lahan secara vertikal, interstisial
maupun horisontal, pada gilirannya membawa perubahan pada sistem visual kawasan.
Seiring dengan perkembangan Kota Malang, keberadaan bangunan-bangunan kuno dan
fungsi aslinya pada wilayah perencanaan semakin berkurang, terutama pada Kawasan
Kayutangan dan koridor Jl. Semeru – Jl. Ijen. Banyak bangunan kuno yang berubah menjadi
bangunan bernuansa lebih modern, seperti munculnya beberapa bangunan bank di Jl. Basuki
Rachmat. Terdapat beberapa bangunan kuno yang berada di koridor Jl. Basuki Rachmat telah
pemilik bangunan yang baru, mengingat lokasi koridor ini yang sangat strategis dan mudah
dicapai. Perubahan tampilan fisik bangunan tersebut, bisa jadi dikarenakan adanya biaya
ekstra dalam perawatan bangunan dan kurang menariknya tampilan bangunan sehingga
kurang mampu menarik minat pembeli.
B. Permasalahan di Bidang Penataan Lingkungan
Bangunan dan kawasan bersejarah warisan masa kolonial di Kota Malang sebagian besar
terkonsentrasi pada kawasan pusat kota, yakni di Kecamatan Klojen. Keberadaannya di pusat
kota, menyebabkan bangunan dan kawasan bersejarah tersebut sangat rentan terhadap
perubahan akibat modernisasi. Hal tersebut dikarenakan oleh penggunaan lahan di wilayah
perencanaan lebih beragam dan bersifat multifungsi. Sehingga dapat menciptakan suatu
kegiatan/ aktivitas ekonomi komersial yang sifatnya produktif, membuat suatu aktivitas
ekonomi yang baru, seperti shopping mall, atau bioskop yang dapat meningkatkan arus
pergerakan masyarakat menuju wilayah perencanaan, sehingga tercipta adanya suatu
kesempatan kerja yang lebih tinggi.
Eksistensi fungsi sebagai kawasan komersial dan pelayanan publik dari kawasan
eks-kayutangan masih cukup terjaga sampai sekarang. Tetapi, visual kawasan sudah banyak
berubah dan mengalami penurunan kualitas suatu tempat sebagai bagian khas dari suatu
kota. Sekarang, Kayutangan (Jl. Basuki Rachmat) hanya menjadi suatu kawasan komersial
dan pelayanan publik yang terbentuk oleh bangunan arsitektur komersial dan telah hilang
identitas lokalnya. Sementara beberapa bangunan telah berubah menjadi bangunan arsitektur
modern – sebuah gaya internasional yang tidak lagi harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
8.2.2.4 Tantangan
Dalam penatan bangunan dan lingkungan terdapat beberapa permasalahan dan
tantangan yang antara lain :
1. Permasalahan dan tantangan di bidang Bangunan Gedung
Kurang ditegakkannya aturan keselamatan, keamanan dan kenyamanan Bangunan
Gedung termasuk pada daerah-daerah rawan bencana
Prasarana dan sarana hidran kebakaran banyak yang tidak berfungsi dan kurang
mendapat perhatian
Lemahnya pengaturan penyelenggaraan Bangunan Gedung di daerah serta rendahnya
2. Permasalahan dan tantangan di bidang Penataan Lingkungan
Kurang diperhatikannya permukiman-permukiman tradisional dan bangunan gedung
bersejarah, padahal punya potensi wisata.
Terjadinya degradasi kawasan strategis, padahal punya potensi ekonomi untuk
mendorong pertumbuhan kota.
Sarana lingkungan hijau/open space atau public space, sarana olah raga, dan lain-lain
kurang diperhatikan hampir di semua kota, terutama kota Metro dan Besar.
3. Tantangan Penataan Bangunan dan Lingkungan
Amanat Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan
Pemerintah No. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG, bahwa semua
Bangunan Gedung harus layak fungsi pada tahun 2010.
Komitmen terhadap kesepakatan intemasional MDGs, bahwa pada tahun 2015, 200
Kabupaten/Kota bebas kumuh, dan pada tahun 2020 semua Kabupaten/Kota bebas
kumuh
8.2.3 Analisis kebutuhan pengembangan Penataan Bangunan dan Lingkungan Analisis kebutuhan Program dan Kegiatan untuk sektor PBL oleh Kab/Kota, hendaknya
mengacu pada Lingkup Tugas DJCK untuk sektor PBL yang dinyatakan pada Permen PU No.
8 Tahun 2010, seperti yang telah dijelaskan pada Subbab 8.2.1.
Pada Permen PU No.8 tahun 2010, dijabarkan kegiatan dari Direktorat PBL meliputi:
a. Kegiatan Penataan Lingkungan Permukiman
Dengan kegiatan yang terkait adalah penyusunan Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL), Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran (RISPK), pembangunan
prasarana dan sarana lingkungan permukiman tradisional dan bersejarah, pemenuhan
Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
perkotaan.
- RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan)
RTBL berdasarkan Permen PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana
Tata Bangunan dan Lingkungan didefinisikan sebagai panduan rancang bangun suatu
lingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang,
penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi,
ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan
pengembangan lingkungan/kawasan. Materi pokok dalam Rencana Tata Bangunan