• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Ekowisata dan Pembangunan Berkelanj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Ekowisata dan Pembangunan Berkelanj"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

2

Penulis: Ferdinal Asmin

Design Layout Ferdinal Asmin

EKOWISATA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN: DIMULAI DARI KONSEP

SEDERHANA

(3)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

3

KATA PENGANTAR

Berawal dari mengikuti Mata Kuliah Kebijakan dan Ma-najemen Ekowisata pada saat mengikuti program doktor di IPB, penulis mencoba menulis buku sederhana ini. Meskipun seder-hana, buku ini diharapkan akan mampu memberikan pemaha-man konseptual kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertarik mempelajari ekowisata.

Pemahaman konseptual yang sederhana ini perlu bagi ma-hasiswa-mahasiswa yang baru mempelajari prinsip-prinsip eko-wisata. Anda dapat menggali pemahaman yang lebih mendalam setelah konsep sederhana ini dimaknai secara baik. Banyak li-teratur membahas tentang ekowisata dengan berbagai diskursus dan narasi yang mungkin bisa membingungkan anda, sehingga dengan buku ini diharapkan anda akan mampu berpikir lebih kritis (critical thinking) terhadap konsep dan implementasi eko-wisata itu sendiri.

Bagian pertama dari buku ini memberikan beberapa pe-ngertian ekowisata dari sekian banyak pepe-ngertian yang dapat an-da temui. Mendefinisikan sesuatu (termasuk ekowisata) mung-kin saja dibangun dari perspektif yang berbeda satu dengan yang lainnya, termasuk dari anda sendiri. Yang paling penting adalah jangan sampai anda terjebak dalam paradigma pariwisata massal (mass tourism).

(4)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

4

memungkinkan bahwa kendala dan keterbatasan lain dirumus-kan menurut kasus-kasus yang anda temui.

Bagian ketiga mendeskripsikan proses perencanaan pe-ngembangan ekowisata secara umum. Sisi produk dan pasar memang menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan ekowisata, namun demikian, kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologis dari berbagai stakeholder pada kawasan harus menjadi pertimbangan prioritas. Seorang perencana/pengembang eko-wisata harus memastikan bahwa komponen prinsip ekoeko-wisata dapat dipenuhi dengan optimal.

Bagian keempat merupakan pembahasan salah satu kom-ponen ekowisata yang harus menjadi perhatian setiap peren-cana/pengembang ekowisata, yaitu pelibatan masyarakat lokal. Tantangan utama dalam pengembangan ekowisata adalah ba-gaimana menciptakan partisipasi masyarakat tersebut sebagai sebuah tujuan. Untuk itu, sangat perlu memperluas kesempatan bagi masyarakat lokal, mendorong kemauannya, dan mening-katkan kemampuannya dalam setiap tahapan pengembangan ekowisata.

Bagian kelima mengilustrasikan bagaimana menilai suatu kawasan sebagai salah satu destinasi wisata (termasuk untuk ekowisata). Penilaian kesesuaian dan daya dukung yang dije-laskan pada bagian ini adalah salah satu cara yang sederhana. Tentunya, masih banyak cara lain yang dapat anda gunakan se-suai dengan tujuan pengelolaan kawasan yang anda inginkan.

(5)

pengem-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

5

bangan pariwisata pada umumnya dan ekowisata pada khusus-nya.

Bagian ketujuh mengupas tentang peran penelitian eko-wisata dalam mempengaruhi kebijakan. Bagian ini dirumuskan dalam bentuk review terhadap suatu tulisan tentang adopsi ilmu pengetahuan. Bagian kedelapan memberikan contoh alternatif kebijakan dalam pengembangan ekowisata di Indonesia. De-ngan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Op-portunity, and Threat), alternatif-alternatif strategi dirumuskan dan diusulkan sebagai pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dan pengelola kawasan wisata.

Memang diakui bahwa buku ini memberikan penjelasan singkat dengan konsep-konsep yang sederhana. Penulis berha-rap buku ini dapat membantu anda untuk mengkonstruksikan pola pikir yang memadai dalam melihat ekowisata sebagai salah satu bentuk wisata bertanggung jawab.

Konstruksi berpikir anda akan lebih baik bila mampu menggali berbagai aspek dalam pengembangan ekowisata dari sumber-sumber referensi lainnya, baik yang sudah diacu atau yang belum diacu dalam buku ini. Penulis berharap agar anda tetap berpikir kritis dalam mempelajari konsep dan imple-mentasi ekowisata dari berbagai sumber yang anda dapatkan, te-rutama bagi anda yang sedang menempuh studi S-2 dan S-3. Semoga bermanfaat.

(6)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

6

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 3

Daftar Tabel 7

Daftar Gambar 7

Bagian Pertama: Pengertian Ekowisata 9

Perspektif Perjalanan ke Kawasan Alami 10

Perspektif Bentuk Wisata 11

Perspektif Konsep dan Implementasi yang Berbeda 11

Kesimpulan 12

Daftar Pustaka 12

Bagian Kedua: F akta Ekowisata di Indonesia 14

Kendala Suplai (Product Driven) 15 Kurangnya Pemahaman terhadap Pasar (Market Driven) 16

Kendala Kelembagaan 16

Kurangnya Dukungan Kebijakan Pemerintah 17

Kesimpulan 18

Daftar Pustaka 19

Bagian Ketiga: Merencanakan Ekowisata 21

Tahapan Perencanaan 22

Tipologi Ecotourist 23

Arahan Pengembangan 25

Kesimpulan 27

Daftar Pustaka 27

Bagian Keempat: Peran Masyarakat Lokal 29

Pentingnya Peran Masyarakat Lokal 29 Cara Meningkatkan Peran Masyarakat Lokal 31

Kesimpulan 32

(7)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

7

Bagian Kelima: Penilaian Suatu Kawasan Wisata 35

Kesimpulan 39

Daftar Pustaka 39

Bagian Keenam: Konsep Keberlanjutan dalam Pariwisata 40

Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma 40

Peran Ilmuwan Lingkungan 43

Kesimpulan 45

Daftar Pustaka 45

Bagian Ketujuh: Pengaruh Penelitian Ekowisata 47

Kenapa Peneliti Gagal Mempengaruhi? 47 Bagaimana Kerangka Interaksi dalam Mempengaruhi? 49 Bagaimana Meningkatkan Pengaruh Penelitian? 50

Kesimpulan 53

Daftar Pustaka 53

Bagian Kedelapan: Perubahan Paradigma

Kepariwisata-an di Indonesia 57

Kenapa Perlu Perubahan? 57

Kekuatan dan Peluang Ekowisata 58

Kelemahan dan Ancaman bagi Ekowisata 59 Analisis SWOT untuk Strategi Ekowisata 61

Kesimpulan 62

Daftar Pustaka 63

(8)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

8

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata 26

Tabel 4.1. Potensi Dampak Wisata dalam Suatu

Masya-rakat 30

Tabel 8.1. Analisis SWOT Pengembangan Ekowisata 62

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Diagram Tahapan Proses Perencanaan dan

Pengembangan Ekowisata 23

Gambar 3.2. Tipe-Tipe Wisatawan Berdasarkan Tingkat Minatnya terhadap Lingkungan 24

Gambar 5.1. Diagram Alir Model Pengembangan

Eko-wisata 36

Gambar 6.1. Model Pembangunan Berkelanjutan dalam

(9)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

9

BAGIAN PERTAMA PENGERTIAN EKOWISATA

Pahamilah sesuatu dengan mem-bandingkannya secara setara

Pariwisata dapat dianggap sebagai sebuah sistem yang me-mungkinkan wisatawan menikmati objek dan daya tarik wisata (ODTW) pada suatu wilayah. Sebagai sebuah sistem, pariwisata terdiri atas elemen-elemen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya secara terorganisir. Karena pariwisata merupakan bentuk perjalanan, maka tidak mungkin wisatawan dapat menik-mati ODTW tanpa pelayanan dari biro perjalanan. Karena pari-wisata juga untuk mendapatkan pengalaman, tidak mungkin wi-satawan mencapai kepuasan tanpa adanya profesionalitas penge-lola ODTW, dan begitulah seterusnya.

Namun demikian, anda mungkin pernah melihat kawasan wisata yang kotor akibat sampah yang dibuang secara sem-barangan, tindakan merusak sumber daya alam dan lingkungan, munculnya perilaku menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai universal, dan sebagainya. Akibat, paradigma pariwisata pun berubah dari pariwisata lama yang bersifat massal (mass tourism) ke pariwisata baru yang ramah lingkungan, dan ekowi-sata adalah satu diantaranya.

(10)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

10

Perspektif Perjalanan ke Kawasan Alami

Sekurang-kurangnya ada tiga pengertian ekowisata yang dirumuskan dalam konteks perjalanan ke kawasan alami seperti dirangkum oleh Drumm dan Moore (2005:15) dan Wood (2002: 9), sebagai berikut:

1. Definisi yang pertama kali diterima secara luas adalah defini-si yang diberikan oleh The International Ecotourism Society pada tahun 1990, yaitu:

“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab ke

kawasan alami untuk mengkonservasi lingkungan dan

memperbaiki kesejahteraan masyarakat lokal”

2. Martha Honey pada tahun 1999 juga mengusulkan pengertian yang lebih detail, yaitu:

“Ekowisata adalah perjalanan ke kawasan rentan,

belum terjamah, dan dilindungi namun berdampak ren-dah dan skala kecil. Ekowisata mendidik wisatawan, menyediakan dana untuk konservasi, memberikan man-faat langsung bagi pembangunan ekonomi dan pember-dayaan masyarakat lokal, dan mengedepankan respek

terhadap perbedaan budaya dan hak azasi manusia”

3. IUCN pada tahun 1996 memberikan pengertian yang diadopsi oleh banyak organisasi, yaitu:

“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab se-cara lingkungan dan kunjungan ke kawasan alami, da-lam rangka menikmati dan menghargai ada-lam (serta se-mua ciri-ciri budaya masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi, memiliki dampak kecil dan mendorong pelibatan sosial ekonomi masyarakat lokal

(11)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

11

Perspektif Bentuk Wisata

David Bruce Weaver, seorang pengajar pada Fakultas Ma-najemen Pariwisata dan Perhotelan Universitas Griffith mende-finisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata, sebagai beri-kut:

“Ekowisata adalah suatu bentuk wisata berbasis alam

yang berupaya melestarikannya secara ekologis, sosial budaya, dan ekonomi dengan menyediakan kesempatan penghargaan dan pembelajaran tentang lingkungan alami atau unsur-unsur spesifik lainnya” (seperti ditulis dalam Weaver 2001:105).

“Ekowisata adalah bentuk wisata yang mengedepankan

pengalaman pembelajaran dan penghargaan terhadap lingkungan alami, atau beberapa komponennya, dalam konteks budaya yang berkaitan dengannya. Ekowisata memiliki keunggulan (dalam praktek terbaiknya) dalam kelestarian lingkungan dan sosial budaya, terutama dalam meningkatkan basis sumber daya alam dan budaya dari

destinasi dan mempromosikan pertumbuhan” (seperti di-tulis Weaver (2002) dalam Dowling dan Fennell 2003:3).

Perspektif Konsep dan Implementasi yang Berbeda

Ekowisata menjelma menjadi sebuah konsep dan imple-mentasi yang berbeda dengan bentuk wisata lainnya. Ada bebe-rapa pengertian yang menegaskan perbedaan tersebut, seperti yang ditulis oleh Ryel dan Grasse (1991:164) sebagai berikut:

“Ekowisata sebagai perjalanan penuh tujuan untuk men

(12)

de-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

12

ngan menjaga integritas ekosistem dan menghasilkan

manfaat ekonomi yang mendorong konservasi”

Western (1993:8) juga mencoba menegaskan konsep dan implementasi ekowisata sebagaimana telah ditulisnya sebagai berikut:

“Ekowisata adalah hal tentang menciptakan dan memu -askan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,

kebudayaan, dan keindahan”

Kesimpulan

Jika Dowling dan Fennell (2003:3) menyebutkan bahwa lebih dari 80 definisi ekowisata ditemukan dalam berbagai lite-ratur tentang ekowisata, maka anda berpotensi mengalami pe-nyimpangan dalam memaknai ekowisata. Oleh karena itu, ber-pikir kritis adalah salah satu langkah tepat untuk memaknai se-suatu sesuai perspektif yang menyertainya.

(13)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

13

Daftar Pustaka

Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Ecotou-rism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Planning. Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.

Ryel R dan Grasse T. 1999. Marketing Tourism: Attracting the Elusive Ecotourist. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment. Washington. Island Press. Hal 164-186.

Western D. 1993. Memberikan Batasan tentang Ekoturisme. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekotu-risme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terje-mahan). Jakarta. Private Agencies Collaborating Toge-ther (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALA-MI). Hal 15-33.

Weaver DB. 2001. Ecotourism as mass tourism: Contradiction or reality? Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly. 42(2):104-112.

(14)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

14

BAGIAN KEDUA

FAKTA EKOWISATA DI INDONESIA

“Setiap masalah berawal dari

kelemahan kita sendiri”

Perjalanan dan wisata telah menjadi industri yang tumbuh sangat pesat dan sumber utama pendapatan bagi banyak negara berkembang (Wood 2002:7), termasuk di Indonesia. Berda-sarkan data BPS (2013:111), jumlah kunjungan wisatawan man-canegara ke Indonesia meningkat dari ± 6,3 juta wisatawan pada tahun 2009 menjadi ± 8 juta wisatawan pada tahun 2012. Namun demikian, World Economic Forum (WEF) menilai in-deks daya saing kepariwisataan Indonesia masih berada di ba-wah rata-rata indeks dunia dan masih kalah dengan negara-negara kompetitor di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malay-sia, dan Thailand (Ditjen PDP 2012:11).

(15)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

15

Penyebab kurang tergalinya dan terkelolanya objek ekowi-sata dapat dilihat dalam konteks sistem kepariwiekowi-sataan itu sen-diri, yaitu adanya kendala pada sisi suplai (product driven), ku-rangnya pemahaman terhadap pasar (market driven), banyaknya kendala dalam kelembagaan, dan kurangnya dukungan kebija-kan. Secara rinci, kendala dan keterbatasan yang dihadapi dije-laskan dalam bagian kedua ini.

Kendala Suplai (Product Driven)

Indonesia memiliki ODTW dengan keunikan flora dan fauna (biodiversitas) sebagaimana ditemui di kawasan cagar alam, cagar biosfir, kawasan lindung, taman nasional, serta eko-sistem alami dan buatan lainnya dengan keindahan lanskap yang menakjubkan. Indonesia juga memiliki ragam warisan budaya dan pola kehidupan sosial pedesaan dan perkotaan yang me-ngandung makna pembelajaran dan dapat meningkatkan penga-laman wisatawan dalam berbagai aspek. Kondisi ODTW terse-but dapat menjadi penarik (pull factor) dan dapat juga menjadi alasan wisatawan tidak berkunjung.

(16)

peni-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

16

laian WEF terhadap aspek kesehatan dan kebersihan serta in-frastuktur adalah buruk.

Kurangnya Pemahaman terhadap Pasar (Market Driven) Ekowisata merupakan tipe pariwisata dengan segmen pa-sar yang memiliki karakteristik spesifik, baik secara demografis, psikografis, maupun geografis. Ryel dan Grasse (1991:171-172) menjelaskan bahwa segmen pasar ekowisata adalah wisatawan yang rata-rata berumur 45-65 tahun, sedangkan Whelan (1991: 5) menyebutkan rata-rata umur ecotourists antara 31-50 tahun dan pada umumnya berasal dari Eropa, Amerika Utara, dan Jepang. Kisaran segmen pasar yang beragam menyebabkan pe-laku wisata (terutama pengusaha wisata) harus mengenal target wisatawan dengan baik.

Pelaku wisata Indonesia masih kurang memahami target pasar ekowisata. Pemahaman yang kurang baik terhadap wisa-tawan menyebabkan diversifikasi atraksi wisata kurang beragam (paket program yang cenderung monoton) dan tawaran infra-struktur pendukung yang kurang memuaskan wisatawan itu sen-diri. Pemerintah, pengusaha wisata, dan masyarakat lokal se-ringkali terjebak pada konsep pariwisata massal sehingga meng-abaikan sejumlah atraksi yang seharusnya dapat dikembangkan.

Kendala Kelembagaan

(17)

Ka-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

17

pasitas yang rendah dapat diakibatkan oleh persepsi yang be-ragam dalam memaknai ekowisata karena, menurut Dowling dan Fennell (2003:3), pengertian ekowisata tersusun dalam 80 pengertian yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ragam ke-pentingan dan kurangnya kemitraan juga dapat menyebabkan kapasitas kelembagaan kurang maksimal.

Wang (2010:262) menyebutkan bahwa ekowisata yang berhasil tergantung pada kualitas penyedia jasa wisata (termasuk perencana, pengembang, operator, dan pengelola). Drumm dan Moore (2005:23) juga telah menggambarkan perlunya kemitraan antara pemerintah, industri pariwisata, masyarakat lokal, pen-yandang dana, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan wi-satawan untuk mencapai keberhasilan ekowisata. Untuk kasus Indonesia, masalah kualitas aparatur pemerintah dan masyarakat serta jejaring dan kemitraan dalam pengembangan ekowisata memang masih belum maksimal. Menurut Machnik (2013:93), kekurangan staf yang berkualitas pada kelembagaan lokal dapat menghambat pengembangan ekowisata dan upaya pelestarian sumber daya alam.

Kurangnya Dukungan Kebijakan Pemerintah

(18)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

18

Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011, paradigma ekowi-sata dalam pembangunan kepariwiekowi-sataan di Indonesia belum jelas.

Dalam prakteknya, pemerintah (baik pusat dan daerah) lebih memberikan ruang yang dominan dalam pengembangan wisata massal (seperti terlihat pada kebijakan anggarannya). Kelemahan pemahaman terhadap konsep ekowisata dapat men-jadi penghambat, namun Magio et al. (2013:485) menegaskan bahwa keberhasilan pengembangan ekowisata juga ditentukan oleh tujuan pengembangan, pilihan alternatif wisata, dan pening-katan efektifitas kelembagaan yang biasanya dapat digunakan sebagai ruang kebijakan (policy space) mendorong pengem-bangan ekowisata. Strategi pemasaran wisata di Indonesia juga belum mampu menggali segmen pasar (niche market) yang po-tensial untuk pengembangan ekowisata dan wisata minat khusus lainnya.

Kesimpulan

Empat kendala atau keterbatasan dalam pengembangan ekowisata di Indonesia merupakan beberapa fakta yang dihadapi oleh berbagai stakeholder. Masalahnya lebih banyak berada pa-da kapasitas pelaku pariwisata itu sendiri. Kita punya sesuatu yang bisa dijual, tapi kita tidak punya minimal satu dari tiga hal, yaitu menangkap kesempatan, menginisiasi kemauan, dan me-ningkatkan kemampuan.

(19)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

19

dan kebijakan, serta mengajak peran serta aktif dari berbagai pi-hak.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia: Agustus 2013. Jakarta. Badan Pusat Statistik.

[Ditjen PDP] Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata. 2012. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata (PDP) 2012-2014. Jakarta. Kementerian Pariwisata dan Ekono-mi Kreatif.

Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Ecotourism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Plan-ning. Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.

Drumm A dan Moore A. 2005. Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers. Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edi-tion). Virginia. The Nature Conservancy.

Fonseca FG. 2012. Challenges and opportunities in the world of tourism from the point of view of ecotourism. Higher Learning Research Communications. 2(4):5-22.

(20)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

20

Magio KO, Velarde MV, Santillán MAN, Rios CAG. 2013. Ecotourism in developing countries: A critical analysis of the promise, the reality and the future. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS). 4(5):481-486.

Roxana DM. 2012. Considerations about ecotourism and nature-based tourism: Realities and perspectives. Interna-tional Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences. 1(5):215-221.

Ryel R dan Grasse T. 1999. Marketing Tourism: Attracting the Elusive Ecotourist. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment. Washington. Island Press. Hal 164-186.

Wang X. 2010. Critical aspects of sustainable development in tourism: Advanced ecotourism education. Journal of Sus-tainable Development . 3(2):261-263.

Whelan T. 1991. Ecotourism and Its Role in Sustainable Deve-lopment. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment. Washington. Island Press. Hal 3-22.

(21)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

21

BAGIAN KETIGA

MERENCANAKAN EKOWISATA

Merencanakan dapat menjadi awal menggagalkan

Karena tidak ada definisi ekowisata yang definitif, banyak muncul perbedaan pendapat dalam menentukan ciri-ciri ecotou-rists (Holden 2000:196). Pengertian ekowisata di Indonesia dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Da-erah, yaitu “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidi-kan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha -usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masya -rakat lokal”.

(22)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

22

Tahapan Perencanaan

Gambar 3.1 memberikan deskripsi proses perencanaan ka-wasan ekowisata untuk menjawab kebutuhan kaka-wasan itu sen-diri. Jika suatu kawasan baru teridentifikasi sebagai kawasan ekowisata yang potensial, maka perlu dilakukan penilaian ka-wasan (baik sisi produk maupun pasarnya) untuk menentukan rencana pengelolaan kawasan dan rencana pengembangan usaha ekowisata. Jika kawasan tersebut telah berkembang dan sedang menghadapi ancaman kerusakan, maka perlu didiagnosa penye-babnya sebelum menentukan rencana pengembangan selan-jutnya. Penyusunan rencana harus memperhatikan 3 (tiga) tuju-an pengembtuju-angtuju-an ekowisata ytuju-ang dijelasktuju-an Drumm dtuju-an Moore (2005:91), yaitu (1) menghindari ancaman terhadap target kon-servasi, (2) mengalokasikan pendapatan untuk konkon-servasi, dan (3) mengoptimalkan manfaat bagi masyarakat lokal.

Pengembangan ekowisata juga harus mampu mening-katkan pengalaman wisatawan itu sendiri dengan memper-hatikan tingkat minatnya terhadap lingkungan. Pengetahuan ter-hadap jenis pengalaman yang dibutuhkan wisatawan dapat men-justifikasi terpenuhinya kebutuhan pengelolaan kawasan secara maksimal dan penentuan paket wisata yang harus diciptakan.

(23)

ter-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

23

buka tapi dengan syarat sifat dan budaya setempat tidak dieks-ploitasi melalui kegiatan wisata.

Gambar 3.1. Diagram Tahapan Proses Perencanaan dan Pe-ngembangan Ekowisata (Drumm dan Moore 2005: 61)

Tipologi Ecotourists

(24)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

24

minat pada lingkungan seperti terlihat pada Gambar 3.2. Aktivitas wisata yang dipilih oleh wisatawan juga tergantung pada tingkat minat wisatawan terhadap lingkungan. Tipe loungers lebih memilih kegiatan relaksasi dan bersenang-senang. Users tertarik pada aktivitas-aktivitas khusus dan terba-tas seperti menyelam, surfing, dan sebagainya. Eco-aware lebih peduli pada isu-isu lingkungan dan ingin melihat bagaimana komitmen lingkungan tersebut tumbuh dan berkembang. Se-mentara itu, ecotourists merupakan wisatawan yang ingin terli-bat aktif dalam perlindungan lingkungan.

(25)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

25

Arahan Pengembangan

Arahan pengembangan ekowisata untuk memenuhi kebutuhan kawasan juga dapat dirumuskan melalui elaborasi masing-masing komponen ekowisata. Menurut Wood (2002: 10), komponen ekowisata itu adalah: (1) kontribusi terhadap konservasi biodiversitas, (2) keberlanjutan kesejahteraan masya-rakat lokal, (3) mencakup interpretasi/pengalaman pembela-jaran, (4) melibatkan tindakan bertanggung jawab dari wisa-tawan dan industri pariwisata, (5) berkembangnya usaha skala kecil, (6) menggunakan sumber daya baru dan terbarukan, dan (7) fokus pada partisipasi masyarakat, kepemilikan, dan kesem-patan usaha, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Tabel 3.1 memberikan deskripsi arahan rencana untuk masing-masing komponen tersebut.

Keberhasilan program dan strategi yang disusun oleh pengelola destinasi wisata ditentukan oleh kemampuan pengelola untuk mengajak tour operator agar peduli pada penyediaan biaya dan manfaat konservasi (Monteros 2002:1548) serta kepedulian akan peningkatan partisipasi masyarakat. Untuk mengurangi gap antara teori dan praktek, Li (2013:61) menilai bahwa promosi keberlanjutan ekowisata berdasarkan komunitas, sumber daya, dan ekonomi dapat mengurangi gap tersebut.

(26)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

26

elektronika saat ini. Ndahimana et al. (2013:54) telah meneliti pentingnya internet dan televisi sebagai alat promosi wisata karena jangkauannya luas dan pengiriman pesan lebih cepat.

Tabel 3.1. Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata No. Komponen Ekowisata Beberapa Arahan Rencana

1. Kontribusi terhadap kon-servasi biodiversitas

Sharing biaya dan manfaat untuk upaya konservasi, ecolabeling, ecocertifica-tion, dan kampanye

2. Keberlanjutan

kesejahteraan masyarakat lokal

Guide dari tenaga setempat, souvenir lokal, akomodasi lokal, kegiatan yang meningkatkan length of stay, jaminan tenurial, perspektif gender, dan kapa-kan sarana informasi, paket atraksi yang beragam, inklusi dalam kegiatan alam terbuka dan sosial masyarakat, serta kepedulian terhadap kerentanan 4. Melibatkan tindakan

ber-tanggung jawab dari wisa-tawan dan industri pari-wisata

Wisata dalam bentuk kelompok kecil, evaluasi bersama, keterlibatan multi-pihak, dan menghindari eksploitasi atraksi alam dan budaya yang rentan 5. Berkembangnya usaha

skala kecil

Membentuk kelompok usaha produktif, kemitraan usaha, dan jaringan pemasa-ran/promosi

6. Menggunakan sumber daya baru dan terbarukan

Penggunaan energi lokal, fasilitas yang ramah lingkungan, dan introduksi tek-nologi ramah lingkungan

7. Fokus pada partisipasi masyarakat, kepemilikan, dan kesempatan usaha

(27)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

27

Kesimpulan

Secara prinsip, perencanaan ekowisata harus memperha-tikan konservasi sumber daya alam, menjamin pelibatan masya-rakat lokal, meningkatkan pengalaman, mencakup kegiatan-kegiatan yang bertanggung jawab, dan mendorong usaha skala kecil yang produktif. Perencanaan yang dilakukan harus kom-prehensif dan holistik dengan integrasi kompleksitas sistem pari-wisata itu sendiri.

Tujuan perencanaan ekowisata adalah untuk menjamin ke-mudahan pengorganisasian, efektifitas dan efisiensi pelaksa-naan, serta koreksi interaktif dalam pengendaliannya. Perencana ekowisata merupakan orang-orang yang mampu berpikir kritis dalam kompleksitas sistem yang dihadapinya untuk memenuhi prinsip-prinsip pengembangan ekowisata.

Daftar Pustaka

Drumm A dan Moore A. 2005. Ecotourism Development: A Manual for Conservation Planners and Managers. Volume I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edition). Virginia. The Nature Conservancy.

Holden A. 2000. Environment and Tourism. London. Rout-ledge.

Li J. 2013. Sustainable ecotourism established on local com-munities and its assessment system in Costa Rica. Journal of Environmental Protection. Hal 61-66.

(28)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

28

Ecotourism or nature-based tourism? Biodiversity and Conservation . 11: 1539–1550.

Ndahimana M, Musonera E, dan Weber M. 2013. Assessment of marketing strategies for ecotourism promotion: A case of RDB/tourism and conservation in Rwanda. Journal of Marketing Development and Competitiveness. 7(2):37-57. Piper LA dan Yeo M. 2011. Ecolabels, ecocertification, and ecotourism. Sustainable Tourism: Socio-Cultural, Envi-ronmental and Economics Impact. Hal 279-294.

(29)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

29

BAGIAN KEEMPAT PERAN MASYARAKAT LOKAL

Partisipasi tanpa peran dan tanggungjawab adalah sia -sia

Pentingnya Peran Masyarakat Lokal

Wisata ramah lingkungan muncul pada saat wisata massal terbukti menyebabkan dampak negatif yang merusak. Mow-forth dan Munt (1998:95) menyebutkan bahwa dampak negatif tersebut meliputi: (1) degradasi lingkungan, sosial, dan budaya, (2) distribusi manfaat finansial yang tidak adil, (3) promosi peri-laku paternalistik, dan (4) penyebaran penyakit. Masyarakat lo-kal merupakan kelompok yang paling rentan mengalami dam-pak-dampak negatif tersebut. Tabel 4.1 memberikan gambaran potensi dampak pariwisata bagi masyarakat lokal dan kawasan wisata itu sendiri.

(30)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

30

Tabel 4.1. Potensi Dampak Wisata dalam Suatu Masyarakat (Drumm dan Moore 2005:42)

Ekowisata sebagai inti wisata berkelanjutan, menurut Machnik (2013:94), juga dipahami sebagai bentuk paradigma pengelolaan wilayah secara mendalam dan hati-hati (terutama terhadap penduduk setempat, budaya, dan alam). Karena des-tinasi ekowisata pada umumnya berada pada daerah rentan dan tersebar pada wilayah pelosok, maka peranan partisipasi masya-rakat lokal menjadi sangat penting sekali, terutama pada wila-yah-wilayah terpencil dan kepulauan seperti yang diungkapkan oleh Fotiou et al. (2002:87).

(31)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

31

ekowisata. Contohnya, Ling et al. (2001:47) menemukan pe-ngembangan ekowisata di Mekong tidak memperlihatkan ada-nya aktivitas berbasis masyarakat dan skala kecil sehingga pela-ku industri wisata cenderung lebih mengembangkan wisata mas-sal. Hill dan Hill (2011:84) menegaskan codes of conduct yang harus diperhatikan oleh operator perjalanan wisata, yaitu (1) mengembangkan partisipasi masyarakat lokal, (2) edukasi kepa-da pengunjung, (3) konservasi lingkungan, kepa-dan (4) memini-malkan kebocoran ekonomi.

Pentingya peran masyarakat lokal dalam wisata dan kaitannya dengan operator perjalanan juga telah dijelaskan oleh Self et al. (2010:122). Operator perjalanan harus mampu mem-berikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya kepada masyarakat lokal serta mendahulukan pelibatan masyarakat. Standar eko-wisata juga dirumuskan dalam konteks dampak yang minimum terhadap budaya masyarakat lokal serta rancangan atraksi dan akomodasi yang sesuai dengan kondisi setempat.

Cara Meningkatkan Peran Masyarakat Lokal

(32)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

32

Apabila pengembangan ekowisata menggunakan pende-katan partisipatif, menurut Fandeli (2002:242), kesejahteraan masyarakat akan dapat ditingkatkan dan lingkungan dapat dipertahankan kualitasnya. Brandon (1993:157) mengemukakan 10 isu spesifik untuk menumbuhkembangkan partisipasi, yaitu peranan partisipasi lokal, pemberian penguasaan sebagai tujuan, partisipasi dalam siklus proyek, penciptaan pemegang saham, mengkaitkan keuntungan dengan pelestarian, menyebaratakan keuntungan, melibatkan pemimpin masyarakat, menggunakan agen-agen perubahan, memahami kondisi-kondisi spesifik, serta pengawasan dan penilaian dari kemajuan.

Karena masyarakat lokal merupakan unsur utama dalam pengembangan ekowisata, perencanaan partisipasi masyarakat perlu dilakukan dengan baik sesuai dengan tahapan proses yang dapat menggali partisipasi masyarakat. Drake (1991:148-156) telah mengembangkan suatu model yang terdiri atas tahapan sebagai berikut: (1) menentukan peran partisipasi masyarakat dalam kegiatan, (2) memilih tim peneliti, (3) melakukan studi awal, (4) menentukan level partisipasi masyarakat, (5) menen-tukan mekanisme partisipasi yang tepat, (6) menginisiasi dialog dan penyuluhan, (7) mengambil keputusan secara kolektif, (8) membuat rencana aksi dan mekanisme implementasi, dan (9) monitoring dan evaluasi kegiatan.

Kesimpulan

(33)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

33

meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengembangan ekowisata.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk pembangunan yang bersifat partisipatif, terutama dari masyarakat lokal. Akan tetapi, keberhasilan partisipasi tergantung pada tujuan dan ideologi dari masing-masing stakeholder (Mohan dan Stokke 2000:263). Peran pemerintah untuk memastikan partisipasi ma-syarakat lokal merupakan peran yang strategis untuk keber-lanjutan pariwisata.

Daftar Pustaka

Brandon K. 1993. Langkah-Langkah Dasar untuk Mendorong Partisipasi Lokal dalam Proyek-Proyek Wisata Alam. Di dalam: Lindberg K dan Hawkins DE (editor). Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terjemahan). Jakarta. Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI). Hal 155-175.

Dowling RK dan Fennell DA. 2003. The Context of Eco-tourism Policy and Planning. Di dalam: Fennel DA dan Dowling RK (editor). Ecotourism Policy and Planning. Cambridge. CABI Publishing. Hal 1-20.

Drake SP. 1991. Local Participation in Ecotourism Projects. Di dalam: Whelan T (editor). Nature Tourism: Managing for the Environment. Washington. Island Press. Hal 132-163.

(34)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

34

I: An Introduction to Ecotourism Planning (Second Edi-tion). Virginia. The Nature Conservancy.

Fandeli C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogya-karta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Fotiou S, Buhalis D, dan Vereczi G. 2002. Sustainable

development of ecotourism in small islands developing states (SIDS) and other small islands. Tourism and Hospitality Research. 4(1):79-88.

Hill JL dan Hill RA. 2011. Ecotourism in Amazonian Peru: Uniting tourism, conservation and community develop-ment. Geography. 96(2):75-85

Ling CY, Pleumarom A, dan Raman M. 2001. Cancel the 'Year of Ecotourism'. Earth Island Journal. 16(3):47

Machnik A. 2013. Nature-based tourism as an introduction to ecotourism experience: A new approach. Journal of Tourism Challenges and Trends. VI(1):75-96.

Mohan G dan Stokke K. 2000. Participatory development and empowerment: The dangers of localism. Third World Quarterly. 21(2):247–268.

Mowforth M dan Munt I. 1998. Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third World. London. Routledge. Ojong FA, Eja EI, Undelikwo VA, dan Agbor EA. 2013.

Indigenous peoples’ perception of ecotourism in Cross River State, Nigeria. Part-I: Social Sciences and Huma-nities. Academic Research International. 4(1):275-281. Self RM, Self DR, dan Bell-Haynes J. 2010. Marketing tourism

(35)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

35

BAGIAN KELIMA

PENILAIAN SUATU KAWASAN WISATA

Sesuatu yang berjalan baik belum

tentu tanpa kekurangan”

Pengembangan suatu kawasan menjadi suatu destinasi ekowisata diawali dengan menilai situasi dan potensi wisata saat ini. Boo (1993:15-33) menggunakan istilah diagnosa untuk mengetahui situasi dan potensi tersebut. Ada beberapa perta-nyaan yang biasa digunakan dalam diagnosa, antara lain: (1) ba-gaimana status sumber daya alam, (2) baba-gaimana tingkat per-mintaan dan perkembangan pariwisata, (3) siapa yang mendapat manfaat dari pariwisata, (4) apa saja biayanya, dan (5) apa saja potensi dari pengembangan pariwisata.

Siklus pengembangan ekowisata seperti Gambar 5.1 menjelaskan tahapan-tahapan dalam pengembangan suatu kawasan menjadi destinasi wisata. Diagnosa dilakukan terhadap kawasan itu sendiri (product driven) dan pasar wisata (market driven). Hasil diagnosa akan menentukan potensi suatu wilayah dan situasi pariwisata yang diinginkan serta dapat mengiden-tifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai situasi tersebut.

(36)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

36

kesesuaian dan daya dukung, bahkan juga dimungkinkan untuk mendiagnosa kembali potensi produk dan pasar.

(37)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

37

Untuk mengilustrasikan penilaian kesesuaian dan daya dukung (lihat Mowforth dan Munt 1998:107-108), kita anggap sedang menilai kawasan taman nasional. Penilaian kesesuaian dilakukan terhadap aspek pasar (wisatawan) dan produk (ka-wasan taman nasional itu sendiri). Secara umum, ka(ka-wasan ini memiliki sejumlah atraksi alami (baik flora, fauna, maupun ke-indahan lanskap) yang membutuhkan jalur-jalur trekking. Ber-dasarkan data kelerengan/kemiringan topografi kawasan dan memperhatikan kriteria kesesuaian menurut US Bureau of Land Management (1985) dalam Fandeli (2002:158) diketahui kese-suaian kawasan untuk jalur trekking dapat dikatakan sesuai karena memiliki kemiringan 0-15 persen.

Asumsi yang digunakan adalah lebar jalur hanya 1 meter dengan ketentuan 1 orang wisatawan per meter persegi, wisa-tawan dalam bentuk kelompok yang tidak lebih dari 25 orang (tiap kelompok dengan satu orang guide), jarak antar kelompok paling tidak sekitar 100 m, panjang jalur 1.1 km, rata-rata waktu yang dibutuhkan 1 jam, dan atraksi ini terbuka setiap hari selama 7 jam. Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat meng-hitung Physical Carrying Capacity (PCC), yang dihitung menu-rut ruang yang diperlukan untuk bergerak secara bebas yaitu: PCC = panjang jalur x jumlah turis/m x lama atraksi

(38)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

38

kita pertimbangkan. Seandainya faktor curah hujan (FP = 1.39 %), kerentanan terhadap erosi (FE = 38.28 %), dan derajat kemiringan (FS = 38.28 %), maka nilai RCC adalah:

RCC = PCC x (100-FP)/100 x (100-FE)/100 x (100-FS)/100 = 7,770 turis/hari x 0.9861 x 0.6172 x 0.6172

= 2,892 turis/hari

= 2,892 turis/hari x 360 hari/tahun= 1,041,276 turis/tahun RCC juga dapat dikoreksi akibat perbedaan antara kapa-sitas manajemen aktual dan kapakapa-sitas manajemen ideal (atau di-lambangkan dengan FM). Koreksi terhadap RCC ini disebut de-ngan Effective Carrying Capacity (ECC). Jika kapasitas mana-jemen aktual adalah 10 orang (staf administrasi, penjaga taman, dan guide) dan kapasitas manajemen yang ideal adalah 39 orang, maka FM dan ECC dapat dihitung sebagai berikut:

FM = (39-10)/39 x 100 = 74.36 % ECC = RCC x (100-FM)/100

= 2,892 turis/hari x 0.2564 = 741.5 turis/hari

(39)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

39

Kesimpulan

Metode penilaian suatu kawasan wisata sudah semakin berkembang, baik kesesuaian maupun daya dukung. Setiap metode tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal yang terpenting anda pastikan adalah bahwa penggunaan metode dapat dilakukan sepanjang anda mengetahui dengan baik asumsi-asumsi yang digunakan dan kebutuhan-kebutuhan ka-wasan yang akan dikembangkan.

Daftar Pustaka

Boo E. 1993. Pelaksanaan Ekoturisme untuk Kawasan-Kawas-an yKawasan-Kawas-ang Dilindungi. Di dalam: Lindberg K dKawasan-Kawas-an Hawkins DE (editor). Ekoturisme: Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola (terjemahan). Jakarta. Private Agencies Colla-borating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indo-nesia (ALAMI). Hal 15-33.

Fandeli C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogya-karta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Mowforth M dan Munt I. 1998. Tourism and Sustainability:

(40)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

40

BAGIAN KEENAM

KONSEP KEBERLANJUTAN DALAM PARIWISATA

Lanjutkan usaha sampai tujuan yang tak berhingga

Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma

Mowforth dan Munt (1998:3) menyebutkan bahwa: (1) sebagai aktivitas personal, pariwisata dilakukan oleh beragam penduduk di dunia, (2) sebagai suatu industri, pariwisata adalah multisektor, dan (3) sebagai alat pertukaran ekonomi dan buda-ya, pariwisata memiliki banyak jenis dan bentuk. Artinbuda-ya, kaji-an kepariwisatakaji-an merupakkaji-an suatu kajikaji-an multidisiplin.

Perkembangan jenis dan bentuk pariwisata saat ini diaki-batkan oleh 3 isu utama yaitu pembangunan yang tidak merata dan tidak adil, hubungan kekuasaan, dan globalisasi seperti dijelaskan Mowforth dan Munt (1998:3-5). Pergeseran para-digma pariwisata dari wisata massal ke wisata baru dibentuk dari pertanyaan-pertanyaan kaitan pariwisata dan keberlanjutan (sustainability).

(41)

ber-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

41

tanggung jawab. Weaver (2001:109) dengan baik mengilus-trasikan hubungan antara ekowisata dan wisata massal, terutama hal-hal yang menyangkut tentang diversifikasi produk wisata, membangkitkan wisata yang lebih bertanggung jawab, dan me-nerapkan prinsip dan praktek keberlanjutan.

Namun demikian, Zhenjia (2008:105) juga mengingatkan adanya pencemaran pada kawasan destinasi ekowisata itu sendiri yang mendorong sebuah metode keberlanjutan, bukan hanya berkaitan dengan manfaat ekonomi tapi juga unsur sosial politik dan ekosistem kawasan. Isu-isu keberlanjutan menjadi isu global setelah Komisi Brundtland (World Commission on Environmental Development/WCED) memperkenalkan pemba-ngunan berkelanjutan (sustainable development) pada tahun 1985. Munasinghe pada tahun 1993 (Rogers et al. 2008:23) memperkenalkan tiga pendekatan dalam pembangunan berke-lanjutan yang dikenal sebagai komponen, yaitu ekonomi, eko-logi, dan sosial budaya.

Gambar 6.1 menjelaskan kepada kita bagaimana hubungan 3 komponen pembangunan berkelanjutan dalam mendukung pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Gambar tersebut mengilustrasikan pentingnya pengembangan ekonomi berbasis masyarakat lokal, keadilan konservasi, dan keterpaduan aspek ekonomi dan lingkungan.

(42)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

42

distrukturkan dalam cara yang dapat diterima secara budaya sehingga dapat diakses oleh penduduk, (2) ekowisata harus mendukung keamanan tenurial dan masyarakat memiliki kemampuan untuk memutuskan penggunaan lahannya, dan (3) ekowisata harus mendorong keadilan sosial dan politik yang lebih nyata.

(43)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

43

Terkait dengan keadilan konservasi, menurut Sama (2011:80), ekowisata harus mampu mendorong pelatihan kepada masyarakat tentang cara-cara konservasi yang diperlukan dalam perlindungan lingkungan dan keahlian usaha dalam mengem-bangkan produk-produk lokal. Jadi, upaya konservasi bukan hanya mencakup hal-hal yang terkait dengan perlindungan eko-sistem alami dengan segala isinya, tapi juga menyangkut kea-dilan dan jaminan mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Bahkan Dilly (2003:71) juga telah mendorong bahwa kebijakan dan program pengembangan ekowisata harus mampu membe-rikan kesempatan yang adil antara pria dan wanita (perspektif gender) dalam membangun kerjasama untuk keberhasilan jang-ka panjang, termasuk dalam upaya konservasi.

Keterpaduan ekonomi dan lingkungan dalam pengem-bangan ekowisata dijelaskan oleh Sama (2011:80) dengan menekankan pada distribusi kembali pendapatan dari ekowisata untuk menciptakan insentif pengendalian dan pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat untuk menjamin perlindungan lingkungan jangka panjang. Meskipun ekowisata berbasis masyarakat tidak selalu menjamin pertumbuhan eko-nomi dan perlindungan lingkungan, kecuali jika dilembagakan secara benar, ekowisata dapat menjadi model pengelolaan sum-ber daya alam bagi negara-negara sum-berkembang untuk mengha-dapi masa depan.

Peran Ilmuwan Lingkungan

(44)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

44

harus mampu mendorong kebijakan pengelolaan yang menjaga keseimbangan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi dalam setiap pembangunan, termasuk pariwisata. Dengan demikian, peran strategis yang harus dimainkan seorang PSL (terutama untuk level master dan doktor) adalah sebagai berikut:

1. Penilaian status keberlanjutan destinasi wisata (dalam kajian aspek sosial, ekonomi, ekologi, dan kelembagaan).

2. Pengembangan model kebijakan pariwisata yang menginte-grasikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi.

3. Pengembangan usaha wisata berkelanjutan dalam konteks globalisasi dan perubahan iklim.

4. Peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam pengem-bangan ekowisata pada kawasan-kawasan rentan dan remote.

Berdasarkan peran yang dimainkan tersebut, seorang PSL diharapkan berkontribusi dalam mendorong implementasi kebi-jakan dan memberikan solusi terhadap permasalahan kepari-wisataan di Indonesia. Beberapa contoh keputusan dan solusi terkait dengan pengembangan pariwisata adalah seorang PSL dapat sebagai berikut:

1. Menerapkan kebijakan ecolabeling dan ecocertification se-cara konsisten dalam pengembangan pariwisata.

2. Memperkenalkan pola dan upaya adaptasi dan mitigasi dampak pariwisata berbasis capacity building masyarakat lokal.

3. Menerapkan zonasi kawasan wisata berbasis keberlanjutan sosial, ekonomi, dan ekologi kawasan.

(45)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

45

5. Menerapkan insentif ekonomi bagi perlindungan ekosistem pada kawasan destinasi wisata.

Kesimpulan

Peran seorang PSL sangat strategis karena aktivitas wisata merupakan suatu aktivitas yang kompleks dan memerlukan pen-dekatan sistem dalam memahami perilaku berbagai pihak dan komponen pembentuk sistem kepariwisataan secara kompre-hensif dan holistik. Peran tersebut juga sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi secara baik.

Daftar Pustaka

Charnley S. 2005. From nature tourism to ecotourism? The case of the Ngorongoro Conservation Area, Tanzania. Human Organization. 64(1):75-88.

Dilly BJ. 2003. Gender, culture, and ecotourism: Development policies and practices in the Guyanese rain forest. Women's Studies Quarterly. 31(3/4):58-75.

Dorobantu MR dan Nistoreanu P. 2012. Rural tourism and ecotourism: The main priorities in sustainable develop-ment orientations of rural local communities in Romania. Economy Transdisciplinarity Cognition. XV(1):259-266. Mowforth M dan Munt I. 1998. Tourism and Sustainability:

(46)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

46

Rogers PP, Jalal KF, dan Boyd JA. 2008. An Introduction to Sustainable Development. London. Glen Educational Foundation, Inc.

Sama D. 2011. The relationship between common management and ecotourism regulation: Tragedy or triumph of the commons? A law and economics answer. Journal of Advanced Research in Law and Economics. 1(3): 78-81. Weaver DB. 2001. Ecotourism as mass tourism: Contradiction

or reality? Cornell Hotel and Restaurant Administration Quarterly. 42(2):104-112.

(47)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

47

BAGIAN KETUJUH

PENGARUH PENELITIAN EKOWISATA

Temuan tanpa mempengaruhi seperti

sebuah batu di dalam air laut”

Kenapa Peneliti Gagal Mempengaruhi?

Kita mungkin sering mendengar pernyataan “sudah ba -nyak penelitian ekowisata yang telah dilakukan, tapi permasa-lahan pariwisata kita tidak pernah selesai?”. Banyak kontestasi untuk pernyataan tersebut dan biasanya bermuara pada pene-litian yang dilakukan belum tepat sasaran dan tepat guna. Perta-nyaan selanjutnya apakah mungkin penelitian yang sudah begitu banyak dengan fokus yang sudah mencakup pokok-pokok ba-hasan faktual dan luas belum mampu menjawab permasalahan kita.

Court dan Young (2003:9) telah membagi fokus-fokus pe-nelitian menjadi 5 tipe, yaitu (1) studi kasus yang mencakup ak-tivitas yang luas, (2) melibatkan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga internasional, perguruan tinggi, dan pusat-pusat pemikir lainnya, (3) mencakup pengetahuan yang luas, (4) mempertimbangkan hasil-hasil penelitian dari ber-bagai belahan dunia, dan (5) fokus pada bagian-bagian khusus dalam kejadian kebijakan khusus. Lima tipe tersebut dapat kita maknai sudah menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan kita.

(48)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

48

Pengembangan Penelitian”. Kita mencoba menggali pokok -pokok pikiran dalam tulisan tersebut dan memperkayanya de-ngan berbagai literatur terkait (baik yang telah diacu dalam tu-lisan tersebut maupun yang belum) dalam konteks analisis kebi-jakan.

Young (2008:4) menyebutkan bahwa bukti-bukti dari ha-sil-hasil penelitian belum memainkan peranan yang penting da-lam proses kebijakan. Karena kurangnya peran penelitian dada-lam proses kebijakan, International Development Research Centre (IDRC) dan Overseas Development Institute (ODI) telah memu-lai cara-cara menimemu-lai hubungan penelitian untuk mempengaruhi kebijakan sejak tahun 2000 seperti yang dikemukakan Mably (2006:7), terutama untuk berbagai isu kebijakan di negara-negara berkembang.

Kegagalan penelitian memainkan peran untuk mem-pengaruhi kebijakan dapat kita rumuskan dari saran-saran Karto-dihardjo (2013:6) yang disampaikan, yaitu:

“Kualitas bukti, argumen dan bagaimana hal itu

dikomunikasikan, serta hubungan antara peneliti-akademisi-pemikir dan pembuat kebijakan sangat penting. Meskipun banyak diantara mereka tidak secara eksplisit tertarik mengubah, memperbaiki atau membentuk kebijakan publik, sebaliknya cenderung lebih tertarik pada insentif akademik, penghargaan publikasi akademik, ketimbang pengaruhterutama bagi peneliti dan akademisi—hasil kerjanya bagi kebijakan”

(49)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

49

karena (1) kurang memahami konteks, (2) tidak mengenali laku, (3) tidak menanggapi permintaan, (4) tidak belajar dari pe-ngalaman (kasus), (5) kurang praktis, (6) tidak memiliki kredibi-litas, (7) tidak legitimasi, (8) kurang komunikasi, dan (9) tidak memiliki jaringan.

Bagaimana Kerangka Interaksi dalam Mempengaruhi?

Kegagalan peneliti mempengaruhi kebijakan dapat dijelaskan dari interaksi dalam mempengaruhi kebijakan itu sendiri. Mengutip dari Neilson (2001), Kartodihardjo (2013:1-2) dalam tulisannya tersebut mengemukakan 8 kerangka inte-raksi yang seringkali menjebak peneliti dalam kegagalan untuk mempengaruhi, yaitu (1) teori dua komunitas, (2) proses linear pembuatan kebijakan, (3) proses bertahap pembuatan kebijakan, (4) proses kebijakan interaktif, (5) jaringan kebijakan, (6) model agenda-setting, (7) narasi kebijakan, (8) model transfer kebijak-an.

Kesemua kerangka tersebut, menurut Kartodihardjo (2013: 2), menyumbangkan pemahaman bagaimana proses terjadinya sebuah kebijakan. Namun yang perlu kita ingat adalah proses kebijakan bukan suatu proses yang linear atau monolitik karena prosesnya bisa sangat kompleks, melibatkan multifaktor, dan terdiri atas berbagai proses seperti diungkapkan Young (2008:6) dan Ridde (2009:939). Oleh karena itu, Sutton (1999:32) telah menyebutkan bahwa pembuatan kebijakan harus dipahami seba-gai sebuah proses politik, bukan semata sebuah analisis atau pemecahan masalah.

(50)

punctuated-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

50

equilibrium, dan epistemic communities) relevan untuk mene-rangkan proses pengkondisian stabilitas dan perubahan kebi-jakan. Penggunaan teori tersebut secara komplementer dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap proses kebijakan. Shanahan et al. (2011:556) juga telah mengkaji bagaimana ke-mampuan kerangka advocacy coalition dan narasi kebijakan ser-ta menyimpulkan bahwa narasi kebijakan lebih mampu mengu-kur kejadian dan strategi politik yang menuju kehancuran.

Artinya, kerangka interaksi peneliti dan pembuat kebijak-an dapat menjelaskkebijak-an bagaimkebijak-ana kapasitas peneliti sebagai aktor untuk mempengaruhi kebijakan. Karena proses kebijakan itu sebagai sebuah proses politik, Court dan Cotterrell (2006:9) mengungkapkan 3 aspek kenapa bukti-bukti penelitian yang sahih sekalipun seringkali dilupakan. Aspek-aspek tersebut adalah (1) kegagalan sistem/proses, (2) tidak adanya konsensus, dan (3) blocking oleh kepentingan tertentu.

Bagaimana Meningkatkan Pengaruh Penelitian?

(51)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

51

Memperhatikan pendapat tersebut, beralasan bagi Young (2008:7) mengusulkan peningkatan upaya pada level individu dan lembaga dari semua stakeholder, baik penyedia, pengguna, maupun kelompok penghubung dari penelitian itu sendiri. Carden (2005:6) telah mengusulkan agar peneliti seharusnya memulai penelitian dengan pertanyaan berapa banyak kepen-tingan yang ada dalam penelitiannya dan bagaimana struktur dan prosedur yang ada akan mampu mendorong pembuat kebi-jakan melaksanakan rekomendasi penelitian tersebut. Bahkan ketika menghadapi kompleksitas, penggunaan pendekatan sis-tem dapat memperbaiki pemahaman terhadap proses kebijakan seperti telah dilakukan Hosse et al. (2013:65).

Peneliti yang mengabaikan perbedaan antara keputusan rasional dan sensitif akan mengalami kegagalan untuk mempe-ngaruhi faktor-faktor politik dan kelembagaan (Lomas 2000: 144). Peneliti juga harus memahami bagaimana perilaku pem-buat kebijakan meliputi pendidikan, sikap, kepercayaan, ide, kesediaan waktu, dan kepribadian pembuat kebijakan tersebut (Court dan Cotterrell 2006:15). Kartodihardjo (2013:4) menjelaskan 8 faktor kunci sikap pembuat kebijakan, yaitu na-rasi kebijakan yang digunakan, informasi hasil penelitian, informasi atau advokasi dari media atau interest groups, kondisi sosial-ekonomi-politik, pihak-pihak yang mengalami dampak kebijakan, epistemic community, peraturan perundangan, dan orientasi yang lebih tinggi.

(52)

jurnal-Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

52

jurnal sejawat. Jauh sebelumnya, Weiss (1977) dalam Neilson (2001:9) telah mengemukakan 7 faktor penggunaan penelitian oleh pembuat kebijakan, yaitu (1) knowledge-driven, (2) meme-cahkan masalah, (3) memberikan pencerahan, (4) politis, (5) taktis, (6) interaktif, dan (7) upaya intelektual.

Mempengaruhi dalam konteks kebijakan dapat kita paha-mi sebagai proses pertukaran dan transfer pengetahuan yang me-libatkan proses interaktif antara penyedia dan pengguna pene-litian (Mitton et al. 2007:729). Pesan yang dibungkus dalam suatu produk yang berasal dari program penelitian harus diko-munikasikan melalui berbagai cara kepada pembuat kebijakan agar mau mengambil tindakan. Oleh karena itu, Weiner (2011: 309) menyarankan promosi dan publikasi harus dilakukan de-ngan efektif dan pertanyaan-pertanyaan penelitian harus mudah dipahami dan berguna bagi masyarakat dan peneliti serta mam-pu memperbaiki teori dan paradigma kebijakan.

(53)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

53

Kesimpulan

Sidney (2007:79) menyatakan bahwa perumusan kebijakan merupakan tahapan penting dalam proses kebijakan karena proses ini juga mengekspresikan dan mengalokasikan kekuasaan diantara kepentingan sosial, politik, dan ekonomi yang ada. Dalam konteks tersebut, peneliti pasti akan menghadapi banyak tantangan agar mampu menemukenali dan menganalisis masalah-masalah yang tepat dan benar seperti diungkap Kartodihardjo (2013:7). Penting juga diperhatikan oleh peneliti untuk mengubah cara-cara implementasi kebijakan yang bersifat top down seperti yang dikemukakan Pülzl dan Treib (2007:94) menjadi cara-cara yang berakar dari kebutuhan (bottom up) karena kebijakan itu harusnya juga bersifat dinamis.

Daftar Pustaka

Carden F. 2005. Capacities, Contexts, Conditions: The Influ-ence of IDRC-Supported Research on Policy Processes. IDRC’s Evaluation Unit.

Court J dan Cotterrell L. 2006. What political and institutional context issues matter for bridging research and policy? A literature review and discussion of data collection approaches. Working Paper 269. London. Overseas Development Institute.

Court J dan Young J. 2003. Bridging Research and Policy: Insights from 50 Case Studies. Working Paper 213. London. Overseas Development Institute.

(54)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

54

Hosse RS, Sikatzki SS, Schnieder E, dan Bandelow NC. Understanding policy processes by engineering principles of systems theory. Systemics, Cybernetics, and Informatics. 11(2):65-72.

Kartodihardjo H. 2013. Memahami Konsep Politik Adopsi Ilmu Pengetahuan sebagai Strategi Pengembangan Penelitian. Ekspose Hasil Penelitian di Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru pada tanggal 19 September 2013. Lomas J. Connecting research and policy. Spring Printemps.

Hal 140-144.

Mably P. 2006. Evidence based advocacy: NGO research capacities and policy influence in the field of international trade. Working Paper 4, IDRC Globalization, Growth and Poverty Working Paper Series. Ottawa. International Development Research Centre.

Maetz M dan Balié J. 2008. Influencing Policy Processes: Lessons from Experience. Roma. FAO.

Meijerink SV. 2005. Understanding policy stability and change: The interplay of advocacy coalitions and epistemic communities, windows of opportunity, and Dutch coastal flooding policy 1945-2003. Working Paper Series 2005/2. Research Group Government and Places University of Nijmegen.

(55)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

55

Neilson S. 2001. Knowledge Utilization and Public Policy Processes: A Literature Review. IDRC-Supported Research and Its Influence on Public Policy. IDRC Evaluation Unit.

Nwagboso CI. 2012. Public policy and the challenges of policy evaluation in the Third World. British Journal of Humanities and Social Sciences. 5(1):59-76.

Pülzl H dan Treib O. 2007. Implementing Public Policy. Di dalam: Fischer F, Miller GJ, dan Sidney MS (Editor). Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. New York. CRC Press.

Ridde V. 2009. Policy implementation in an African State: An extension of Kingdon’s Multiple-Streams Approach. Public Administration. 87(4):938–954.

Shanahan EA, Jones MD, dan McBeth MK. 2011. Policy narratives and policy processes. The Policy Studies Journal. 39(3):535-561.

Sidney MS. 2007. Policy Formulation: Design and Tools. Di dalam: Fischer F, Miller GJ, dan Sidney MS (Editor). Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods. New York. CRC Press.

Sutton R. 1999. The policy process: An overview. Working Paper 118. London. Overseas Development Institute. Tummers L dan Bekkers V. 2012. Discretion and its effects:

(56)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

56

Weiner S. 2011. How information literacy becomes policy: An analysis using the Multiple Streams Framework. Library Trends. 60(2)297–311.

(57)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

57

BAGIAN KEDELAPAN

PERUBAHAN PARADIGMA KEPARIWISATAAN DI INDONESIA

Mengubah sesuatu tidak selalu meng-gantikannya dengan yang lain

Kenapa Perlu Perubahan?

Indonesia merupakan salah satu destinasi wisata yang banyak diinginkan oleh beragam wisatawan dari berbagai belahan dunia. Berdasarkan data BPS (2013:111), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia meningkat dari ± 6,3 juta wisatawan pada tahun 2009 menjadi ± 8 juta wisata-wan pada tahun 2012. OECD (2012:375) juga mencatat pertum-buhan wisatawan domestik yang bermalam di hotel sebesar 234 juta orang pada tahun 2010 atau tumbuh sekitar 14.71 % dari tahun 2006. Untuk periode 2004-2010, PDB dari industri pari-wisata meningkat sekitar 120 persen atau sekitar 196.18 triliun pada tahun 2010 (Ditjen PDP 2012:44).

(58)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

58

Pergeseran paradigma pariwisata massal ke pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) merupakan bentuk respon terhadap dampak negatif tersebut. Mowforth dan Munt (1998:3-5) menjelaskan pergeseran tersebut dalam 3 isu utama, yaitu pembangunan yang tidak merata dan tidak adil, hubungan kekuasaan, dan globalisasi.

Dalam konteks permasalahan tersebut, Indonesia seharusnya mengubah paradigma pembangunan kepariwisata-annya. Namun jika kita memperhatikan Rencana Induk Pem-bangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) tahun 2010-2025, perubahan yang diinginkan belum terelaborasi secara baik. Ekowisata sebagai konsep ramah lingkungan belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kita perlu mendeliniasi kekuatan dan peluang pengembangannya untuk menghadapi ancaman dan kelemahan dalam penyelenggaraan pariwisata nasional.

Kekuatan dan Peluang Ekowisata

Keunggulan komparatif dan kompetitif objek dan daya tarik wisata (ODTW) merupakan kekuatan terbesar Indonesia dalam pengembangan wisata pada umumnya dan ekowisata pada khususnya. Indonesia kaya dengan atraksi alam dan budaya karena tingginya keanekaragaman hayati dan keragaman lanskap, selain itu, menurut Henderson (2009:201), Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17,000 pulau. Daya tarik wisata buatan juga sangat banyak, yang sebagian besar merupakan warisan-warisan bersejarah.

(59)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

59

nasional, maupun internasional. Beberapa operator wisata ternyata memiliki kepedulian terhadap konservasi kawasan. Contohnya, menurut Steenbergen (2013:208), operator wisata menyelam di Raja Ampat Papua mampu menempatkan diri sebagai pembela masyarakat lokal melawan kegiatan illegal fishing dan pengrusakan habitat.

Kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan domestik sangat potensial dalam peningkatan pendapatan bagi usaha wisata, termasuk optimalisasi manfaat bagi konservasi dan masyarakat lokal. Menurut Fajarwati (2012) dalam Hengky (2013:123), industri pariwisata Indonesia mencapai 123 juta wisatawan pada tahun 2011 dan jumlah transaksinya mencapai sekitar 16.35 milyar USD (Faried 2011 dalam Hengky 2013:123).

Tingginya minat wisatawan mancanegara terhadap ODTW yang dimiliki Indonesia merupakan peluang yang perlu ditangkap oleh pelaku wisata nasional dan lokal. Penyebaran paket-paket wisata di berbagai media informasi merupakan salah satu upaya promosi wisata yang penting dimanfaatkan. Media informasi yang paling diminati oleh wisatawan mancanegara adalah internet sebesar 68.71% dan leaflet/brosur sebesar 43.33% responden (PES 2012 dalam Ditjen PDP 2012:50) dikuti oleh TV sebesar 18.15% dan buku sebesar 15.77 persen.

Kelemahan dan Ancaman bagi Ekowisata

(60)

Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan: Dimulai dari Konsep Sederhana

60

untuk mendukung pariwisata berkelanjutan seperti wisata ka-wasan sakral Mbah Kyai Talka and Keramat Tukmudal di Jawa, serta

Adam (1997:318) yang mendorong pemerintah untuk mening-katkan kapasitas masyarakat Tana Toraja dalam pengembangan wisata etnik. Hengky (2011:88-89) juga menilai tidak adanya peran pemerintah dalam menjaga kawasan wisata pantai Anyer dari pembangunan berbagai hotel yang dinilai merusak nilai kawasan itu sendiri.

Infrastruktur wisata Indonesia juga sering menjadi kelemahan utama dalam mendorong pengembangan ekowisata. Contohnya, Kuffel (1993:18) menyoroti kelemahan Pemerintah Batam sebagai destinasi wisata pada waktu dulu akibat kurang mampu menyediakan air bersih. Henderson (2009:206) juga menyebutkan bahwa sistem transportasi yang efisien sangat fundamental bagi keberhasilan pengembangan destinasi wisata secara berkelanjutan dan Indonesia dianggap kurangan memiliki biaya untuk investasi pengembangan transportasi publik.

Persepsi yang tidak seragam terhadap ekowisata sebagai konsep pariwisata ramah lingkungan dapat menjadi penghambat pengembangan ekowisata itu sendiri. Meskipun Hakim et al. (2011:91) telah menghitung nilai ekonomi ekowisata di Rawapening, namun prakteknya seringkali kurang sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata itu sendiri. Buktinya, Walpole dan Goodwin (2001:160) telah mengemukakan adanya ketidakadilan distribusi ekonomi di Kawasan Taman Nasional Komodo.

Gambar

Gambar 3.1. Diagram Tahapan Proses Perencanaan dan Pe-ngembangan Ekowisata (Drumm dan Moore
Gambar 3.2. Tipe-Tipe Wisatawan Berdasarkan Tingkat Mi-natnya terhadap Lingkungan (Cleverdon 1999 da-
Tabel 3.1.  Arahan Rencana Pengembangan Ekowisata
Gambar 5.1.  Diagram Alir Model Pengembangan Ekowisata
+3

Referensi

Dokumen terkait

NILAI MANFAAT EKONOMI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN BERDASARKAN METODE BIAYA PERJALANAN.. (Travel

Ekowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan wisata yang dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi,

• Ekowisata : suatu bentuk perjalanan wisata ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat..

Kawasan Ekowisata Lau Bertu yang dijadikan sebagai objek wisata alam memiliki sungai dan anak sungai di hutan maupun perkebunan masyarakat sebagai habitat amfibi

Batasan ruang lingkup wilayah penelitian Pengembangan Ekowisata (Ecotourism) di kawasan Waduk Cacaban meliputi kawasan pengembangan wisata intensif sesuai dengan Masterplan

Kegiatan ekowisata dapat dikembangkan pada kawasan dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam dan hutan lindung dengan prinsip ekowisata yang berkelanjutan,

The International Ecotourism Society (dalam Avenzora, 2007), ekowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami

Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Black (1993) dalam Rahman (2003), ekowisata merupakan wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi