• Tidak ada hasil yang ditemukan

K e m e r d e k a a n

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "K e m e r d e k a a n"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

M E N U D J U

K

e m e r d e k a a n

S

e

D

j a

RAH P E R G E R A K A N K E B A N GS AA N

I N D O N E S I A S AMP AI 1942

i I

i

D. M. G. Koch

/

(2)
(3)

D. M. G. KOCH

MENUDJU KEMERDEKAAN

SEDJARAH PERGERAKAN KEBANGSAAN

I NDONE S I A SAMPAI 1942

TE RDJE MA HA N A B D O E L MOEIS

1 9

5

1

(4)

- Copyright 1951 by Jajasan Pembangunan Titel a s li:

OM DE VBIJBEID

D e Nationalistische beweging in Indonesie

Tertjitak o leh : VorkinkBandung

pak

.

hu

;

x<m

’ • • m ' 1 ...

(5)

PENDAHULUAN.

Ketika pimpinan dari perusahaan „Jajasan Pemba­ ngunan” mempersilahkan saja untuk mengarang sedjarah dari gerakan kebarigsaan di Indonesia, maka saja terima kewadjiban itu dengan segala kegembiraan.

Perdjuangan kebangsaan guna mentjapai kemerdekaan dari rakjat Indonesia adalah menarik minat saja jang sepenuh-penuhnja. Semendjak memidjak tanah Indonesia, jaitu mulai dari bulan Mei 1907, telah saja ikuti djedjak pergerakan jang mempunjai daja-pengaruh jang amat besar atas- alam pikiran saja itu, dengan penuh perhatian.

Semakin dalam pengetahuan saja tentang pemerintahan kolonial, semakin teguh kejakinan saja, bahwa keadaan itu memang sesungguhnja tidak adil. Maka rasa jang pada awalnja hanjalah bersifat minat dan perhatian sahadja, dari pihak saja, terhadap kepada daja-upaja rakjat hendak melepaskan diri dari belenggu pemerin­ tahan itu, dengan sendirinja, berangsur-angsur berobah mendjadi rasa bersama, rasa bersekutu. Dan harapan saja, mudah-mudahan dapat djualah saja kelak menjak- sikan sendiri, bila tjita-tjita rakjat Indonesia itu, pada achirnja sampai tertjapai. Sekarang terbuktilah, bahwa jang saja harap-harapkan itu telah berhasil.

Mengarang buku sedjarah ini berarti bagi saja mem- perbuat neratja perhitungan (balans), jaitu kesimpulan dari pada segala jang saja lihat dan saja rasai selama saja menghadapi pergolakan itu. Suatu uraian dari pada

segala peristiwa2.

Sekiranja ada orang jang hendak berkata, bahwa ne­ ratja saja tidak sama tengahnja, artinja bahwa peman­ dangan saja tentang sesuatu kedjadian adalah berat sebelah, saja tidak hendak membantahnja. Karena mung­ kin tidak djauh menjimpang dari pada kebenaran. Tjorak dan djiwa dari segala sedjarah jang diperbuat orang, tidaklah luput dari pada perasaan dan kejakinan jang ada pada pengarangnja.

Tapi djika ada orang jang hendak berkata, bahwa saja, sebagai seorang bangsa Belanda, telah mentjertja peme­ rintahan kolonial, sesudah ia rubuh dan tidak berdaja lagi, dapatlah saja berkata, bahwa didalam buku ini tak ada barang sesuatu, jang boleh dikatakan lebih dari pada

(6)

uraian saja dahulu. Bahkan sebaliknja. Dahulu kata2 saja lebih tadjam dari pada sekarang, sehingga saja telah ipernah masuk pendjara.

Terdorong oleh hadjat hendak mentjurahkan segala sesuatunja jang dikandung didalam hati, dan oleh ke­ inginan sebagai orang Belanda hendak menjatakan ke­ pada bangsa Indonesia, bahwa masih ada orang Belanda jang sama- tidak bersenang (hati dengan mereka da­ lam menghadapi pergaulan hidup bertjorak 'kolonial ini, jang bertentangan dengan keperluan hidup masjarakat mereka, maka saja karangkanlah buku sedjarah ini.

Berdasarkan inilah saja merasa berkewadjiban untuk melahirkan pemandangan tentang segala jang telah saja lihat dan jang sedang saja lihat, setelah saja menindjau kepada masa2 jang lampau.

*

Tak sulit untuk merentang pandjang uraian ini, sampai ia mendjadi dua kali lipat ganda dari pada jang telah mendjadi buku sekarang. Tapi saja terpaksa meryigkas- kan, karena saja 'harus menjesuaikan diri kepada pokok maksud penerbitannja.

Terlebih dahulu hendaklah' diketahui, bahwa buku ini dikarang oleh seorang Belanda untuk bangsa Belanda. Oleh karena itu, titik berat didalam uraiannja terletak pada bantahan rakjat atas pemerintahan kolonial, jang dilakukan oleh keradjaan Belanda atas negara ini, sedang gerakan itu terutama djuga dimaksud sebagai tindakan permulaan ■ didalam usaha untuk mentjapai tjita2 Indo­ nesia merdeka.

Segala keterangan jang dibutuhkan adalah lebih dari tjukup, boleh dikataikan tak ada hingganja. Kita dapat mengambilnja didalam pelbagai rupa madjalah, buku2 ketjil, penerbitan2 resmi, Berita-berita Volksraad, dan sebagainja. Tapi ketjuali dari^buku „De Nationalistische

Beweging in Nederlands-Indie”, jang dikarang oleh P. Th. Petrus Blumberger, belumlah ada sesuatu penerbitan di­ dalam bahasa Belanda, jang membuat pandangan jang agak tjukup tentang gerakan itu, luar dari pada uraian2

pendek jang kita ketahui. Dan uraian penulis itu ditutup pada tahun 1931.

Untuk melengkapi uraian saja ini, saja ambil 'beberapa kutipan dari ,buku itu, jakni jang berhubung dengan

(7)

segala rupa peristiwa dengan segala senang hati. Tapi jang dituliskan oleh, tuan Petrus Blumberger sebagai pendapatnja atas segala kenjataan itu, adalah terbit dari fikiran dan pendapat seorang pegawai B.B. bangsa Be­ landa, jang masuk golongan „kaum tua” , jaitu golongan jang hanja mengutamakan kepentingan pihak Jang Ber­ kuasa sadja. Jang menganggap segala bandingan atau bantahan terhadap Jang Berkuasa itu sebagai suatu tin­ dakan „pemberontakan” . Dengan hal jang demikian, tidaklah ia dapat menjelami gerakan kemerdekaan itu sampai kedalam.

*

Ichtisar sedjarah pergerakan kebangsaan Indonesia jang diuraikan disini saja tutup dengan peringatan pe- njerbuan Djepang. Mengenai aksi selama masa pendudu­ kan jang berlalu dengan tidak disadari itu, sangat sedikit jang saja ketahui untuk dapat memberikan uraian jang lengkap dan dipahami betul3.

Maksud dari buku ini, ialah memberikan ichtisar dari persiapan2 untuk mentjapai kemerdekaan nasional, dan dalam hal ini perkembangan pergerakan kebangsaan dalam tahun2 sebelum perang dunia kedua adalah amat penting: Andai kata tidak terdjadi perkembangan itu atau tidak disusun dengan tudjuan jang tegas atau kurang kuat, maka proklamasi kemerdekaan pada tang­ gal 17 Agustus 1945 akan merupakan suatu teriakan ditengah-tengah padang pasir. Proklamasi kemerdekaan merupakan saat jang terachir dalam masa perkembangan itu, sebagai hasil jang pada tempatnja dari pada segala- galanja jang telah terdjadi sedjak tahun2 pertama abad ini. Oleh karena itulah perlu diletakkan tekanan pada hal terachir itu; kemerdekaan itu telah diperdapat seba­ gai buah dari aksi sebelum perang, jang tidak diakui oleh pemerintah dan bangsa Eropah dalam segenap kekuatan, kebenaran dan artinja. „ ,

D. M. G. Koch. Bandung, 30-5-1950.

(8)

BAB I. Asalnja.

Pergerakan rakjat bangsa Indonesia mempunjai sedja- rah berpuluh-puluh tahun umurnja. Tanda2 kebangsaan- nja jang pertama-tama kelihatan ketika ,J3udi Utomo” didirikan dalam tahun 1908. Tapi d jauh sebelum itu telah ada tanda2, bahwa ia akan dilahirkan.

Bagi sebahagian besar bangsa Eropah kelahiran „Budi

Utomo” itu adalah suatu kedjadian, jang tidak disangka- sangka. Setelah terdengar suaranja, jang pada awal- mulanja masih agak kemalu-maluan, baharulah orang mentjoba menjelidiki, apakah sebab maka peristiwa itu sampai terdjadi.

Selainnja dari pada melemparkan tuduh-tuduhan ke- pihak „kaum penghasut”, jang dikatakan sengadja „me­ nimbulkan rasa ¡tidak senang dalam hati rakjat” , maka disediakanlah pelbagai rupa keterangan, jang sangat bertentangan antara satu dengan jang lain. Ada jang mengatakan bahwa Budi Utomo lahir karena „Timur telah Sadar”, suatu alasan, jang sebenamja tidak berarti. Kata mereka, kemenangan Djepang didalam peperangan- nja melawan Rusia ditahun 1904— 1905, telah memba­ ngunkan hati bangsa-bangsa Timur demikian rupa, sehingga mereka berontak kepada- jang dipertuannja. Dan ada pula jang berkata, bahwa perobahan itu te­ lah terdjadi, karena berkembangnja „ethische politiek” didalam kalangan pemerintahan, sebagai akibat dari pada sabda Radja dalam tahun 1901, jang menghendaki „diangkatnja” rakjat Timur, terutama bangsa Djawa, dari lembah kemiskinannja.

Pada hemat saja, tak ada satu dari pada alasan2 itu jang dapat dikatakan tepat. Tambahan dan per­

baikan peladjaran sekalah sebagai faktor jang penting dari politik etis itu, dan kemenangan Djepang atas Rusia, tak dapat tiada telah menimbulkan dorongan semangat bagi pergerakan rakjat Timur. Tapi kedua peristiwa itu tak dapat dipandang sebagai sebab jang lebih dalam pada timbulnja „Budi Utomo” . Sebab-sebabnja itu adalah lebih dalam letaknja. Ia harus ditjari didalam keadaan, jang memberi tjorak kepada suasana jang sedang berlaku 8

(9)

dinegeri ini, jaitu jang berhubung dengan peri kehidupan rakjat dan tingkat2 pergaulannja.

Rasa bersatu dengan segala bangsa diseluruh Asia Timur masih djauh dari pada sempurna, sehingga keme­ nangan Djepang itu mustahil akan dapat mempengaruhi djiwa dan budi akal penduduk dikspulauan Indonesia ini dan menimbulkan harapan jang baru bagi mereka. Sedang perbaikan pada peladjaran sekolah itu, jang mulai di­ laksanakan setedah Gubernur Djenderal Van Heutz memegang tampuk kekuasaan, belumlah lagi meluas betul, dan belum ada kesempatan untuk bekerdja setjara mendalam untuk mengambilnja sebagai dorongan bagi kebangunan rakjat itu.

Jang mendjadi sebab ialah rasa tak senang, jang kian lama kian bersarang didalam kalbu rakjat. MaVin diin- safkannja, bahwa hidupnja memang sengsara, makin mendalamlah rasa itu. Sampai bertahun-tahun lamanja sesudah dihapuskan kewadjiban menanam untuk keun­ tungan negeri Belanda (Cultuurstelsel), rakjat itu tinggal

mendjadi penduduk jang sabar, tunduk, dan mempunjai kedudukan jang serendah-rendahnja didalam masjarakat. Mereka tak mementingkan rasa berbangsa dan bertanah air, tidak bernafsu hendak mentjari atau menambah pengetahuan, tidak bertjita-tjita atau berharap hendak melepaskan diri dari kungkungan. Rakjat itu boleh dika­ takan mendjadi sekawan penduduk, jang hanja tahu» bahwa mereka ada didalam kekuasaan dan kungkungan pihak jang kuat. Oleh karena itu mereka tidak sekali-kali hendak berusaha melepaskan diri dari belenggu itu. _

Pergaulan hidup penduduk asli pada masa itu tidak banjak mengenal tingkatan. Diatas rakjat djelata (orang kebanjakan), adalah segolongan kepala, jang seluruhnja telah mendjadi amtenar, dan iberhamba kepada P em erin ­ tah Hindia Belanda. Diantara mereka itu adalah seba­ hagian jang terbesar, jang sama2 memberikan per­ tolongan dalam perkara penindasan rakjat. Rasa ber­ bangsa, jang akan dapat mendjadi tali perikatan antara rakjat dengan rakjat, tidaklah ada. Rakjat, seluruhnja umpama sekawan penduduk, jang sama hidup tenggelam didalam nasib peruntungannja jang buruk. Bukan sahadja mereka tidak mempunjai hak suara, tapi mereka taK ada pula kepertjajaan atas kekuatan diri sendiri.

(10)

Ban-tahan bersama jang teratur tidak mungkin keluar dari pihak mereka. Rasa dendam jang ditahannja itu, meletus dengan sekonjong-konjong, setjara jang .berlaku di Tjilegon dalam tahun 1888. Disana telah diumumkan perang sabil, dipimpin oleh para ulama jang dianggap sakti, sedang djimat2 dipergunakan untuk kekabalan.

Sesuatu bangsa atau suku jang merasa tertindas dan tak ada harapan akan dapat melepaskan diri, adalah mengharap-harap datangnja pertolongan „ratu adil” , jang dengan kesaktiannja akan dapat melepaskan mereka dari kungkungan.

Bagi kaum pekerdja dinegeri Belanda, semasa gerakan sosialis baru mengembang, adalah Domela Nieuwenhuis jang diharap akan mendjadi penolong. Pengaruhnja sangat besar didalam kalangan pengikutnja, jang sama2 suka menempuh lautan api dengan dia.

Setelah timbul kejakinan pada kaum pekerdja, bahwa kekuatan akan ada pada diri sendiri, asal organisasi diatur dengan baik, maka tampillah Troelstra mendjadi pemimpin, jang sewaktu-waktu harus bersedia menerima bandingan dan tjelaan dari pihak partainja sendiri. Tapi dinegeri ini kita ketahui, bahwa E. F. E. Douwes Dekker oleh bangsa Indo jang hidup melarat dipudja-pudja sebagai dewa.

Rasa tak senang telah ada pada bangsa Indonesia dari segala tingkatan, djauh sebelum mereka melahirkannja didalam sesuatu pergerakan jang teratur. Sebab-sebabnja maka mereka tidak .bersenang hati adalah banjak. Pokok dari pada segala sesuatunja terletak pada suasana pe­ merintahan kolonial. Segala bangsa sudah tentu akan merasai pemerintahan bangsa asing itu sebagai suatu tekanan, jang harus disingkirkannja. Tidak salah penda­ pat njonja Annie Besant, jang berkata bahwa tak ada sesuatu bangsa jang tjukup mempunjai waktu dan per­ hatian jang murni, untuk memerintah bangsa jang lain setjara lajaknja, jaitu sepadan dengan kepentingan dan tjita2 bangsa jang diperintah itu. Buktinja, pemerin­ tahan jang dilakukan oleh bangsa Belanda dinegeri ini, perlakuan dan sikap mereka terhadap rakjat, adalah djauh dari pada sepatutnja. Dan kepentingan rakjat, terutama kepentingan ekonominja sangat diabaikan. 10

(11)

Rakjat itu achirnja hampir tak tjukun makan Hasil sawah makin berkurang. Pada tahun 187«

1

887 hasil padi dipulau Djawa rata-’ 60 400 000 ^ k u sSa- hun. Dalam tahun* 1914 sampai 1923 meningkat sampai

78.880.000 pikul setahun, artinja bertambah dengan S - Tapi sementara itu tambah penduduk didalam masa itu telah 80% . Hasil tiap?^bahu sawah j ang susut

dan 25.1 pikul djadi 23.6 pikul, artinja berkurang 6% . Sedang kerusakan tanaman setiap tahun meninekat dari 4.53% sampai 7.23%.

Sebab2 kemunduran hasil itu banjak sekali. Tapi jang terutama ialah: Madjunja perusahaan2 tanah kepunjaan orang Eropah, di-daerah- jang tanahnja mendjadi milik bersama (communaal grondbezit) dengan andil silih-ber- ganti, sehingga hak milik itu tidak boleh di-djual2 kepada orang lain, dan petani daerah industri itu tidak mendapat kesempatan luas untuk mengerdjakan sawahnja untuk dapat mengetjap keuntungan dari .pada tanah jang di­ perbaiki dan dirabuk, turut mendjadi sebab kemunduran penghasilan tani seorang2 itu. Didaerah-daerah paberik gula, pengusaha bangsa asing dapat menjewa suatu kom­ pleks sawah seluas-luasnja, karena tanah2 itu memang mendjadi milik bersama. Dengan hal jang demikian, di­ daerah-daerah delta Sidohardjo jang amat subur tanah- nja kelebihan hasil, jang sepatutnja meningkat sampai 8 dan 10 pikul sebahu, akan sukar didapat, karena tanah2 itu telah disewakan kepada paberik gula.

Dengan djalan demikian, sjarat2 jang terutama guna membangunkan nafsu menabung dan mengumpulkan po­ kok, tidaklah akan diperoleh dinegeri-negeri pertanian itu. Dan disana tak mungkin pula ada penduduk jang masuk

golongan kaum pertengahan, dan tidak mungkin timbul kemadjuan hidup bersama.

Tapi, meskipun pengusaha2 tanah bangsa asing mera­ ba jar upath jang tidak berpatutan, namun d jumlah djiwa penduduk aseli kian lama kian bertambah djua. Pada

galibnja, djika sesuatu bangsa itu berkembang biak, se­ dang djumlah djiwanja bertambah banjak atas kekuatan sendiri, maka dengan sendirinja 'kemadjuan b e r s a m a itu

akan timbul, dipengaruhi oleh nafsu hendak menamba nambah penghasilan, jang dibutuhi untuk bahan2 hidup. Maka terdjadilah pembagian kewadjiban didalam Ka­

(12)

langan pekerdja dengan berangsur-angsur. Masing2 anggota masjarakat menempuh djalan kehidupan jang bertingkat-tingkat. Tersusunlah golongan2 orang jang bersamaan lapangan pekerdjaannja (klassevorming). Ke­ kuatan rakjat mulai bangkit.

Tapi dinegeri ini, kebutuhan rakjat jang tersebut di- atas itu, ditiadakan. Proses kemadjuan bersama diha­ langi. Akibatnja ialah : masjarakat buruh jang menerima upah rendah makin besar.

J. van Gelderen telah menulis didalam madjalah De

Taah jang terbit tanggal 17 Desember 1921 sebagai berikut :

„Djika penambahan djiwa itu dinegeri-negeri lain, ber­ hubungan rapat dengan perobahan nasib didalam per­ gaulan hidup bersama, maka perobahan jang nampak disini hanjalah berupa tambah djiwa sahadja. Hampir segala djabatan pada djawatan negeri dan perusa­ haan2 partikulir jang agak berarti, ada ditangan orang asing. Dengan djalan ini pembangunan masjarakat jang bertingkat-tingkat dan pengumpulan kapital nasio­ nal mendapat halangan. Karena tanahnja telah terbagi- bagi, maka kehidupan rakjat sebahagian besar akan tergantung kepada perusahaan-perusahaan bangsa asing. Bertambahnja djiwa penduduk, bertambah luasnja per­ usahaan2 tanah bangsa asing, berkurang luasnja tanah2 perusahaan anak negeri membawa akibat berkurangnja makanan rakjat”.

Lalu van Gelderen menundjukkan pula, bahwa mem- persewakan tanah milik bersama kepada perusahaan2 bangsa asing itulah jang terutama merusak perusahaan tanah anak negeri. Djika hendak dikatakan bahwa tanah jang mendjadi milik bersama (communaal bezit) itu mem- perlindungi rakjat dari pada bahaja pendjualan2 ke­ pada orang luar, maka aturan communaal itu ada paedahnja. Tapi sebaliknja adalah pula kenjataan, bahwa aturan itu mendjadi halangan besar untuk mengusahakan tanah2 itu setjara demikian, sehingga ia dapat memberi hasil jang patut dan berguna untuk melenjapkan kesu­ karan rakjat.

Pemerintah mengadakan pembatasan didalam perkara menjewakan tanah rakjat kepada pengusaha bangsa asing : didalam suatu daerah, tidak boleh lebih dari 12

(13)

pada sepertiga dari djumlak sawah jang ada, jang boleh dipersewakan.

Pihak onderneming galibnja dapat memilih sawah se­ waan jang sebaik-baiknja.

Didekat-dekat tanah onderneming dan tanah2 jang sedang- diusahakan oleh rakjat, banjaklah timbul perse­ lisihan2. Untuk menjelesaikan sengketa, dimintakan tjampur-tangan seorang pegawai B.B. bangsa Eeropah. Keputusan dari pihak itu senantiasa menjalahkan pihak petani atau pekerdja. Berhubung dengan itu, didalam madjalah TijdscJirift van het Binnerilandsch Bestuur, jang keluar ditahun 1904, regent R. M. T. Ario Koesoemo di Poetro, telah pernah menulis sebagai berikut :

„Jang mendjadi kurban didalam hal2 jang serupa itu, hampir selamanja anak negeri. Ia kehilangan waktu. Kadang2 ia dihukum, katanja sebab tidak menantikan sampai keluar perintah untuk: menanam padi. Ada kala- nja pula karena ia menanti-nantikan perintah, jang tak kundjung datang. Djika ia dibebaskan dari hukuman, karena temjata tidak bersalah, maka kerugiannja tidak diganti. Hendak memasukkan pengaduan untuk minta ganti kerugian itu, ia tidak berani, karena ia tahu bahwa ia akan disalahkan djuga... Dan pemerintah tidak akan menolongnja, atau lebih njata : dalam hal jang demikian, pemerintah akan merintanginja, sebab djika ia dibenarkan, maka keputusan itu pada umumnja akan memupuk bibit pemberontakan dari kalangan rakjat, dan akan merusak ketenteraman, seolah-olah tindakan jan« tidak adil itu dapat menimbulkan perasaan ketenteram­ an”. .

Lebih landjut regent itu menulis :

„Kesangsian jang senantiasa timbul didalam kalbu petani, apakah ia tidak berbuat kesalahan terhadap tuan onderneming atau pegawai bestuur tiap2 ia hendak me­ lakukan sesuatu pekerdjaan, jang mungkin menimbulkan murka kedua tuan besai itu, menjebabkan dia selalu menantikan perintah sadja. Selalu ia was-was, kalau- perbuatannja itu disalahkan pula, dan oleh karena itu, padamlah segala nafsunja hendak memulai sesuatu pe­ kerdjaan atas kehendak hati sendiri”.

• Seterusnja penulis berkata pula :

(14)

„Dapat dikira-kira, bahwa pihak onderneming akan merintangi, djika petani bermaksud hendak menanam padi jang baik, jang agak lama umurnja. Sebaik-baiknja orang tani menanam „padi lekas” jang tjepat pula dapat disabit. Dengan'tanaman „padi lekas” itu, sawah2 akan bebas dari tanaman dibulan Pebruari, dan dapatlah on- dememing gula mengerdjakannja pada ketika jang se­ baik-baiknja. Djika ada petani jang membantah tidak suka menanam „padi lekas”, maka dilakukanlah rupa2 aturan, jang merintanginja bertanam pada waktunja, jaitu dibulan Nopember. Dan sesudah itu ia mendapat antjaman jang berhubungan dengan tanggal mulai toer- lakunja kontrak dengan onderneming. Artinja, kepada petani itu dikatakan, bahwa sebelum masak padinja, ia akan dipaksa menuai, djika tanggal berlakunja kontrak itu akan diliwatinja”.

Luku dan patjul telah siap disawah, untuk mengerdja- kan tanah, agar ia dapat menghasilkan makanan jang dibutuhkan oleh seluruh rakjat. Masing2 mengandung rasa harap2 tjemas, apakah hasil itu kelak akan tjukup buat memberi makan penduduk, jang kian ¡hari kian ber­ tambah djiwanja.

Pegawai B.B. bangsa Eropah adalah berkuasa besar didalam daerahnja. Ia memerintah selaku seorang dik­ tator. Jang dimaksud didalam Regerings Reglement, ia­ lah hendak membangunkan pemerintah, jang dilakukan oleh anak negeri dibawah pengawasan orang Eropah. Tapi didalam praktek telah timbul pemerintahan, jang dilakukan oleh bestuur Eropah, dengan menggunakan pegawai2 anak negeri mendjadi perkakas. Sebahagian jang terbesar dari pada pegawai2 .bangsa Eropah, lebih suka memerintah sendiri, sedang pegawai2 anak negeri, didjadikannja suruhan, jang langsung ada dibawah perintahnja. Seharusnja mereka hanja berkewadjiban mendidik pegawai2 anak negeri itu mendjadi pemimpin pemerintahan, jang tjotjok dengan azas2 pemerintahan, menurut paham orang Barat.

Pendidikan dan djiwa pegawai2 bangsa Barat itu me­ mang tidak setudju dengan rasa dan djiwa, serta kepen­ tingan rakjat jang sesungguhnja. Berhubung dengan kepmtjangan itu, Prof. Dr. Snouck Hurgronje telah per­ nah membanding-bandingkannja dengan musik gamelan, 14

(15)

jang dipimpin oleh Mengelberg x) atau pertundjukan wa- jang wong jang dipimpin oleh Rooyaards2), atau tari serimpi, jang dilakukan oleh Dalcroze 3). Pada tahun 1908 ia telah menulis dalam madjalah De Gids sebagai berikut: „Djumlah pegawai2 B.B. bangsa Eropah kian hari kian bertambah, sedang tjampur-tangannja didalam pemerin­ tahan makin lama makin mengenai urusan sehari-hari jang berketjil-ketjil. Kepala2 negeri berangsur-angsur mendjadi amtenar, tapi kedudukannja didalam lapangan pemerintahan, lambat laun pindah dari tempat pemimpin bebas kepada mendjadi perkakas jang harus menurut perintah. Didalam kekeluargaan pemerintahan, mereka boleh diumpamakan dengan kelas kanak2 dan ‘budjang2”.

Padjak menekan rakjat ibenar2.

Didalam rapor Meyer Ranneft-Huender dapat dibatja, bahwa penduduk sampai terpaksa meninggalkan tanah- nja, karena 'hendak menghindarkan , padjak, jang ber­ hubung dengan hak milik atas tanah itu dan sangat berat menekan kehidupannja. Dibeberapa tempat telah kedja- dian, bahwa padjak tanah (landrente) sahadja, telah lebih dari pada 20% dari hasil tanaii itu djumlahnja diambil kotornja (bruto). Didalam beberapa daerah, se­ bagai Priangan umpamanja, padjak tanah itu ditambah pula dengan segala rupa urunan desa, jaitu pantjen dan rupa2 keberatan jang lain2.

Hak rakjat turut bersuara atau pengaruhnja atas dja- lan pemerintahan, tak ada sama sekali. F asal 111 dari Regerings Reglement menetapkan :

„Perkumpulan2 atau persidangan2 jang membitjarakan soal pemerintahan (politik), atau jang memlDaihajakan keamanan umum, dilarang di Hindia Belanda” .

Sampai kepada hari dibangunkannja Balai Kota jang pertama-tama, jaitu di Djakarta, Djatinegara dan Bogor, dalam tahun 1905, 'bangsa Eropahpun dinegeri ini tidak diberi djalan untuk mengemukakan sesuatu soal didalam hal politik. Hak memilih anggota guna Balai Kota itu dibatasi hanja sampai kepada bangsa Eropah sahadja. Anggota2 Bumiputera, jang hanja mendjadi bahagian ke-x) Pemuka seni suara Belanda,,

2) Ahli Sandiwara Belanda. 3) Ahli tari.

(16)

tjil didalam sidang itu, diperoleh dengan djalan peng­ angkatan.

Balai Kota itu semuanja hampir tidak mementingkan keperluan rakjat.

Didalam madjalah „De Gids” jang terbit dalam tahun 1908, Mr. van Deventer telah menulis sebagai berikut: „Sampai kepada waktu2 jang terachir, hampir tak ada kita memikirkan hal pendidikan ketjerdasan dan penjem- pumaan budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal padjak dibajamja, kewadjiban rodi dan bertanam dilakukannja, asal kehidupan rakjat tidak sangat sengsara, memadai­ lah. Maka senanglah hati pemerintah” .

Jang tidak menjenan^kan hati rakjat adalah >banjak. Djurang jang menguak antara bangsa Barat dan bangsa Bumiputera, sangat lebar, dan kian tahun kian melebar djuga. Sebabnja ialah karena penindasan ekonomi, ke- djamnja pemerintahan dan laku mengabaikan segala kewadjiban, jang berhubung dengan peri kemasjarakat- an. Maka segala sesuatunja telah merusak budi pekerti orang2 Eropah, jang tidak sekali-kali berkeinginan hen­ dak mengobahnja. Disudut-sudut kalbu orang Eropah jang serupa itu, sesungguhnja ada terasa, bahwa bangsa Indonesia itu sebenamja diperlakukan setjara jang tidak sekali-kali akan diperbuat mereka atas diri kaum pe- kerdja bangsa Belanda, tapi suara hati dapat ditekannja untuk membenarkan pendiriannja jang salah itu : „Oh, Inlander rendah deradjatnja, baik ketjerdasan, maupun kebatinannja. Djadi segala sikap jang berdasar rasa peri kemanusiaan terhadap dirinja adalah berlebih-lebihan” . Dimata orang Belanda jang bersifat kolonial, orang Bumiputera paling untung dapat diumpamakan dengan kanak-kanak dengan segala sifat-sifat buruk dari pada orang jang tidak sempurna akal; jang tidak dapat di- pertjajakan sesuatunja; jang harus dituntun-tuntun; sipemimpin itu haruslah pula berfikir sendiri dan b er-1 tindak untuknja. Dan fikiran sontok itu sampai demikian djauh tersesatnja, sehingga mereka menjangka bahwa mereka berarti berbuat baik terhadap orang Bumiputera, djika mereka memperlakukannja dan mengukur batin dan budi pekertinja setjara jang disebutkan diatas itu.

Djalan memerintah dilakukan dengan tjorak „perintah halus” dan „perintah keras”. Oleh karena rakjat tinggal 16

(17)

patuh dan menurut sahadja segala jang diperintahkan, maka sulitlah buat mengetahui, berapa banjaknja ke­ salahan2, jang telah dilakukan oleh pemerintah, dan sampai lcemana dendam hati rakjat jang timbul sebagai akibatnja.

Setelah didirikan perhimpunan2 Budi Utomo dan Sa-

rekat Islam, sedang segala keberatan- jang dirasai oleh rakjat dapat dilahirkan, berkat pimpinan kedua perhim­ punan itu, Pemerintahan sendiri seolah-olah telah men- djadi djuru bitjara rakjat, dalam perkara mengemukakan keberatan itu. Didalam surat edaran Pemerintah tanggal 22 Agustus 1913 No. 2014 jang ditudjukan kepada ke­ pala2 pemerintahan di Djawa dan Madura (Javasche

Courant tanggal 28 Agustus 1913 No. 68), Pimpinan Pe­ merintahan mengeluarkan pertimbangannja, tentang sua­ sana jang sedang berlaku. Surat edaran itu dikenal dengan nama „Hormat circulaire” , dan mendjadi suatu naskah agak luar biasa, jang keluar dari Bogor.

Pemerintahan Pusat menetapkan didalam surat edaran itu : „Telah banjak terdengar pengaduan-pengaduan, jang mengatakan bahwa pegawai2 pemerintahan bangsa Eropah, tidaklah memperlakukan pegawai2 bangsa Indo­ nesia jang terpeladjar setjara lajaknja. Mereka itu tidak diberi penghormatan dan penghargaan, setjara jang patut diterimanja sebagai orang berpangkat dan berilmu pe­ ngetahuan. Dan ada pula pengaduan2, jang berkata bah­ wa pegawai2 B.B. bangsa Bumiputera, sangat angkuh dan tinggi hati terhadap pegawai-pegawai lain, umpama-

nja kepada Indische Artsen, guru2, pegawai Pengairan, dan sebagainja. Laku pegawai2 B.B. itu adalah bersikap menghina terhadap kepada mereka, meskipun mereka dalam ilmu pengetahuan tidak usah mengalah kepada orang2 B.B. Lainnja dari pada itu, sikap pegawai2 ne­ geri, dari amtenar sampai kepada beamte jang serendah- rendahnja, pada lunumnja tidaklah selajaknja terhadap kepada rakjat djelata, jang dipandangnja sebagai orang jang berderadjat serendah-rendahnja” .

„Semakin tebal perasaan rakjat tentang harga din- nja, semakin mendalamlah dendam hati mereka meng­ hadapi suasana jang setjara itu. Hampir dapat dipasti­ kan, bahwa gerakan2 rakjat jang timbul ditanah Djawa 17

(18)

pada waktu2 jang achir ini, adalah djuga menudiu ke- arah itu” .

Menurut pendapat Pimpinan Pemerintahan, dilapangan ekonomi dan politikpun banjak sedikitnja ada timbul ke­ sadaran rakjat. Terdengar pengaduan2 tentang perusa­ haan tanah jang besar2, jang ada dibawah pimpinan orang Eropah, tentang pelbagai rupa aturan berketjil- ketjil jang mengganggu, tentang tindakan2 pemerintahan jang tidak sjah dan tidak bidjaksana, atau sewenang- wenang, dan tentang segala rupa kewadjiban jang dibe­ ratkan kepada rakjat, baik jang diminta berupa uang, maupun berupa tenaga.

Keberatan2 akan lebih dirasai, djika rakjat telah bela- djar memikirkannja, sedang segi-seginja jang tadjam, se­ nantiasa dikemukakan oleh surat2 kabar, dan oleh rakjat sering diperkatakan, djika ia duduk berkumpul-kumpul.

„Segala sesuatunja jang akan memberi djalan buat menimbulkan tidak senangnja hati rakjat, dan menjuruh ia membantah, hendaklah dihindarkan, dan atas segala pengaduannja jang beralasan, haruslah diberikan minat perhatian jang sepenuh-penuhnja. Sekalian pegawai pe­ merintahan hendaklah berkejakinan, bahwa orang Bumi- putera itupun berhak atas perlakuan jang adil dan berdasar peri kemanusiaan, tidak beda dengan orang Eropah” .

Demikianlah kata P em erintah. S a ja n g sekali pengakuan resmi tentang kebenaran segala pengaduan dan keberatan rakjat itu baharu keluar setelah pergerakan rakjat sen­

diri membentuk madjelis2, jang membuka djalan bagi rakjat, untuk mentjurahkan kata hatinja, jang sekian lamanja tinggal disekap didalam kalbu mereka, dan di- pendamnja dari tahun ketahun.

Tapi dengan uraian pendek itu dapatlah diterangkan, dimana sumbemja gerakan rakjat itu. Kata Prof, van Vollenhoven : „Rakjat mengalami bantahan2, jang tim­ bul dari pihak orang Belanda jang bertahun-tahun lama­ nja, atas pandainja orang Indonesia mempergunakan bahasa Belanda, karena dalam anggapan orang Belanda, hal itu akan membahajakan kedudukan orang Belanda, jang berkuasa atas orang Indonesia. Rakjat tahu bahwa kemadjuan peladjaran sekolahnja dihambat-hambat ber­ tahun-tahun lamanja. Ia intijaf bahwa, dari pihaknja, 18

(19)

masih dikehendaki sikap budak, sekalipun surat2 edaran dari pihak Pemerintahan Pusat berulang-ulang dikeluar­ kan. Ia mengetahui bahwa kepala2 dan radja-radjanja diperlakukan sebagai boneka oleh orang Belanda, sehing­ ga mereka sendiri mendjadi bentji akan pangkatnja” . J) Kata Prof. Snouck Hurgronje dalam madjalah Dc Gids jang terbit ditahun 1923, pada tulisannja jang beralamat

„ Vergeten jubilé’s” :

„Barang siapa jang menindjau djalan pemerintahan di Hindia dengan perasaan adil, dan ia mentjamkan baik2 tentang segala jang mendjadi hak bagi orang Bumi- putera, maka insjaflah ia dengan terkedjut,' bahwa se- d j arah pemerintahan kita adalah mendjadikan suatu rantai salah paham jang mengerikan, bukan sahadja dan terutama pula berhubung dengan pengasingan2 jang telah dilakukan, tapi dengan sesungguhnja atas segala per­ kara” .

Kesedaran rakjat, jang memberi njawa dan tenaga kepada pembangunan organisasi sendiri dikalangan me­ reka, bukan sadja karena timbulnja „ethische politiek” dikalangan pemerintah, tapi terutama sekali karena tjara- nja rakjat berpikir telah berobah, dan mereka tahu pula melahirkan segala jang dipikirkannja itu.

Politik itu ditetapkan dengan Sabda Radja dalam tahun 1901, dan ia adalah hasil dari pada pergolakan politik jang terdjadi pada masa itu dinegeri Belanda. Partai Liberaal telah berhasil menjuruh tjabut kewa- djiban bertanam jang didjalankan di Indonesia. Setelah ia dapat pula dengan berhasil baik memenuhi kewa- djibannja jang berhubung dengan pemberian bahagian kepada pengusaha2 partilculir, untuk turut membuka sumber2 kekajaan Indonesia, maka mendjadi lemahlah partai itu. Perbantahan2 tentang tjorak dan azas2 seko­ lah, membawa akibat penguatan organisasi2 partai agama, jang meneguhkan segala barisan pemilihnja masing2. Golongan2 jang tidak berpartai agama menjusun pula pemilihnja, mengambil dasar politik radikal, lalu dapat membentuk barisan jang kuat didalam gelanggang pemi­ lihan wakil2 diparlemen. Kedua golongan, jaitu partai

2) ,J u d ie g isteren en heden” . P en erbitan „G en ootsch a p v o o r zedelijke V olk spolitiek ” , hal. 11.

(20)

agama dan golongan radikal, tidaklah mendapat perhu­ bungan rapat dengan perusahaan2 orang Eropah didaerah djadjahan (Hindia Belanda). Berlainan sekali keadaannja dengan pengusaha2 sendiri, jang berpolitik liberal, jang dengan sendirinja tentu berhubung karib dengan sekalian perusahaan itu. Oleh karena itu kedua golongan jang tersebut, tidaklah segan2 mentjela dan menjalahkan pe­ merintah kolonial itu. Pada pertengahan tahun 1890 industri dan perniagaan Belanda mendapat kemadjuan. Sementara itu orang mengetahui, bahwa hasil2 perusa­ haan dinegeri Belanda hanja sedikit sekali jang dapat dimuarakan ke Indonesia. Persaingan dengan barang2 dari negeri luaran menemui kesulitan, oleh karena me­ reka sama melindungi perniagaan, keradjinan dan per­ usahaan tanahnja, masing2 dengan mengadakan bea masuk dan bea keluar. Maka insjaflah orang- dinegeri Belanda, bahwa tenaga pembeli di Indonesia, harus di­ perkuat, artinja, bahwa hidup orang Indonesia jang sa­ ngat sukar dan sengsara itu, harus diperbaiki.

Maka pimpinan perniagaan jang dinamakan Kamer van Koophandel, beserta sekalian pabrik2 besar dan badan2 industri dinegeri Belanda jang mengeluarkan barang ber- banjak-banjak, datanglah menghadap kepada Pemerintah Tinggi dikota den Haag, dengan pengaduan2, tentang „terdjerumusnja penduduk Djawa kedalam djurang ke­ sengsaraan”, tentang „kesukaran hidup rakjat di Indo­ nesia” . Mereka mendesak, supaja pemerintah dengan segera mengadakan segala rupa aturan, jang dapat mem­

perbaiki kehidupan rakjat kolonial, agar pasaran disana dapat dibandjiri dengan barang2 dari negeri Belanda.

Gerakan itulah jang mendjadi sumber „ethische poli- tiek”, dan „rasa berkewadjiban batin untuk mengangkat orang Djawa dari kubangan dan lumpur kesengsaraan” . Dan orang mulai insjaf pula, bahwa pemerintahan Hindia Belanda sangat dipusatkan; bahwa tanah2 djadjahan di- luar pulau Djawa dan Madura, jang belum hendak di­ amankan, dengan segera harus dibuka; bahwa urusan lalu lintas harus diperbaiki dan diluaskan; bahwa dengan berangsur-angsur haruslah dimulai dengan mengadakan desentralisasi dalam pemerintahan.

Berhubung dengan segada sesuatunja itu, sudah tentu sangat dibutuhkan penambahan2 tenaga jang bersekolah, 20

(21)

sangat perlu memperbaiki keadaan disekolali, menjempur- nakan pemeliharaan kesehatan rakjat, dan memberi pe­ nerangan dalam perkara mengusahakan tanah.

Untuk membelandjai peladjaran sekolah guna anak2 Indonesia, termasuk djuga tundjangan2 subsidi kepada sekolah2 partikulir, dalam tahun 1905 hanja dikeluarkan 2 djuta rupiah setahun, artinja, dihitung untuk 40 djuta penduduk hanja 5 sen buat seorang. Dalam tahun 1918 pengeluaran itu baharu rata2 20 sen buat seorang. Djika diketahui, bahwa belandja tentera adalah meminta /1 .2 5 untuk seorang, maka makin dirasailah kepintjangan itu.

„Ethische politiek” tetap tinggal politik kewalian. Ha­ nja ia dapat djua menjadarkan rakjat, buat sementara pada lapisan2 atasnja, tentang sebab2nja, maka hidup mereka tinggal sukar. Dan menimbulkan keinsjafan me­ reka tentang perlunja menjusun tenaga bersama (organi­ sasi), untuk memperbaiki kehidupan. Dengan djalan demikian, timbullah rasa menerima jang tersekap, tapi tinggal menggolak didalam. Hanja sekali2 ia meletus disesuatu tempat, lalu mendjadi suara bantahan, jang menjatakan, bahwa mereka insjaf akan segala sesuatu- nja jang sedang menindas dan membelenggu mereka. Bahwa mereka harus berdaja upaja untuk melepaskan diri dari keadaan itu, atas tenaga sendiri, dan dimana mungkin, dengan bantuan pemerintah, agar rakjat dapat dibawa kepada tingkatan kehidupan jang lebih sentosa. Lama sesudah itu, baharalah mereka insjaf, bahwa sum­ ber dari pada malapetaka itu, adalah terletak pada tjorak pergaulan, jang ditimbulkan oleh pemerintahan kolonial.

Djaman ethische politiek itu ialah masa peralihan. „Ethische politiek” ialah suatu politik guna kepentingan kaum uang dinegeri Belanda, jang mempunjai paberik^ besar dan kantor2 dagang export disana, dan kantor- import dinegeri ini. Mereka berdaja-upaja memperbesar tenaga pembeli dikalangan orang Indonesia, dan oleh karena itu, mereka mendesak, supaja peri kehidupan orang Indonesia diperbaiki dengan djalan mengadakan pelbagai rupa aturan.

Hasil dari pada pekerdjaan mereka memang ada mem­ bawa bahagia bagi sebahagian dari pada penduduk Indo­ nesia, tapi hanja sekedamja sahadja. Kepentingan kaum uang dinegeri Belanda itu menjuruh „meninggikan

(22)

dera-djat kehidupan bangsa Djawa”. Pemerintah memenuhi kehendak itu, tapi dalam melaksanakan „pengangkatan” itu, pemerintah mengendalikannja dengan tangan sendiri, dengan tidak memberi hak kepada orang Bumiputera, buat turut bersuara ¿lidalam pemerintahan. Banjak se- dikitnja memang diperhatikanlah kepentingan2 rakjat itu, tapi tjorak pemerintahan jang berdasar kepada kewalian, tinggal tetap sebagai sediakala.

Tapi dengan sendirinja rakjat jang dipengaruhi oleh „ethische politiek” itu, lambat laun memikirkan nasib peruntungannja jang buruk itu. Lalu timbullah kemauan hendak melepaskan diri dari belenggu kewalian itu.

Timbulnja pergerakan rakjat mendjadi dorongan bagi permulaan tamatnja sedjarah ethiek kolonial. Proses me­ namatkan itu mendjadi lebih tjepat, setelah kapital ne­ geri2 luaran datang membandjiri negeri ini, dan turut tjampur dalam perkara mengeluarkan hasil2 bumi, jang sedia buat dikirimkan keluar Indonesia. Kaum uang dari negeri2 luaran itu sekali-kali tidak menghendaki sentosa- nja kehidupan rakjat. Jang mendjadi tjita2nja hanjalah kemelaratan umum didalam kalangan 'rakjat, jang suka menerima upah jang serendah-rendahnja.

Sementara itu pergerakan rakjat tetap mengemban0- dan meluaskan lapangannja. Pertentangan2 antara ^o- longan jang satu dengan jang lain, makin djelas dan makin tadjam. Dasar „ethiek” jang mendjadi dasar resmi pada pemerintahan, telah hilang, sebelum petjah pepe­ rangan dunia jang kesatu.

Ir. Albarda didalam sidang Tweede Kamer dalam tahun 1916 berkata sebagai berikut :

„Pembaharuan politik jang sedang berlaku sekarang di Hindia Belanda, bukan lagi berdasar kepada kebidjak- sanaan dalam perkara menundjukkan kemurahan hati jang terbatas, jang mungkin timbul sebagai akibat dari pada desakan angan2 hati jang bebas dan mulia. Seka­ rang ia telah berobah mendjadi politik imbangan dari pada tenaga rakjat jang mulai hidup, lalu mendorong mereka kepada sikap melahirkan segala kesukarannja dan mengemukakan segala tuntutannja. Ia mendjadi politik jang harus memberikan konsesi2 kepada kekua­ saan pergeraan rakjat, jang kian hari kian bertambah kuat”.

(23)

B A B n .

Mendirikan Budi Utomo dan Sarekat Islam.

Budi Utomo.

Dengan sembojan hendak mempertinggi deradjat rak­ jat, Mas Wahidin Soediro Hoesodo, seorang Dokter Djawa di Djokja, dalam tahun 1906 dan 1907, telah membuat propaganda dibeberapa tempat dipulau Djawa, untuk membangunkan suatu badan wakaf, jang akan mengum­ pulkan uang guna membelandjai anak2 bangsa Djawa jang hendak bersekolah.

Hasil jang langsung dari pada propaganda itu, tidak dapat dikatakan besar. Masih banjak prijaji2 bangsa Dja­ wa jang mempunjai kedudukan lebih tinggi dari pada orang kebanjakan, karena mempunjai hak2 luar biasa, tidak menjetudjui, djika anak2 dari lapisan bawah akan mendapat kesempatan pula mentjapai tingkatan kema- sjarakatan, jang memberi keuntungan2 itu bagi mereka.

Andjuran jang dikumpulkan oleh Dokter Wahidin itu, tinggal hidup, dan bersarang didalam kalbunja dua orang murid2 sekolah dokter di Djakarta, R. Soetomo dan R. Goenawan Mangoenkoesoemo. Kedua pemuda itu meng­ ambil keputusan hendak mendirikan suatu perkumpulan. Pendirian itu dilakukanlah tanggal 20 Mei 1908. Murid“ dari sekolah landjutan, sekolah2 amtenar dan sekolah guru, banjak jang menggabungkan diri dengan seketika. Di Djokja didirikan suatu tjabang, jang dipimpin oleh Dokter Wahidin sendiri.

Maka pada tanggal 5 Oktober 1908, dibukalah suatu kongres dikota itu untuk orang Djawa, dibawah pim­ pinan Dokter Wahidin. Didalam kongres itu ditetapkan anggaran dasar dari perkumpulan, dimana disebutkan, baJiwa maksud perkumpulan ialah : „hendak mengusa­ hakan perhubungan karib antara segenap bangsa Bumi- putera, sehingga tertjapailah suatu Bond bangsa Djawa seluruhnja. Perkumpulan itu hendaklah dipandang se­ bagai perintis djalan kearah itu, dan kewadjibannja jang terutama ialah mentjari djalan jang sebaik-baiknja, su- paja diperoleh kemadjuan jang sepadan guna negara dan rakjat di Hindia Belanda”.

(24)

Akan diusahakan supaja peladjaran sekolah diperbaiki. Badan wakaf jang mengumpulkan tundjangan untuk belandja anak2 jang bersekolah didirikan. Sekolah2 per­ tanian dibuka, teknik dan industri dimadjukan, kesenian dan kebudajaan anak negeri dihidupkan kembali. Tjita2 jang berdasar kepada rasa peri kemanusiaan akan di- djundjung tinggi, dan hendak diichtiarkan, buat mentja- pai tingkat kehidupan rakjat jang berpatutan.

Jang dipilih mendjadi ketua ialah regent Karanganjar R. A. Tirtakoesoema, wakil ketua Dokter Wahidin. Ke­ dudukan perkumpulan „Budi Utomo” ialah di Djokja- karta.

Maka anggaran dasar itu disjahkan oleh pemerintahan dengan surat keputusan tanggal 28 Desember 1909.

Pada garis2 besarnja, didalam perkumpulan Budi Uto­ mo berkumpul dua aliran. Pihak jang disebut paling „kanan” berkehendak supaja keanggotaan dibatasi hanja sampai kepada amtenar2 jang terpeladjar sahadja; me­ reka tak suka djika perkumpulan hendak bergerak dila- pang politik, sedang lapangan pekerdjaan B.U. hendaklah dibatasi sampai kepada urusan peladjaran sekolah sa­ hadja.

Pihak jang berhaluan serupa itu ialah jang terbanjak didalam perkumpulan.

Pihak „kiri” , jang terutama terdiri atas orang2 muda, berkehendak supaja haluan perkumpulan menudju ke- arah gerakan kebangsaan jang demokratis. Mereka menuntut, agar nasib seluruh rakjat, jang hidup berke- sukaran, mendapat perhatian. Jang masuk kedalam golongan „kiri” itu antara lain ialah Dr. Tjipto Mangoen- koesoemo dan Soerja di Poetra, jang telah terpilih men­ djadi anggota putjuk pimpinan, tapi achimja meletakkan djabatan mereka.

Tapi lambat laun dasar demokrasi itu meluas d jua dengan berangsur-angsur. Pengaruhnja mendjadi besar, sehingga pada achimja amtenar2 tinggi lalu menjisihkan diri, dan mendirikan regentenbond di Semarang, jang dinamakan „Setia Mulia”.

Pada awalnja pada „Budi Utomo” tinggal berpengaruh dasar kebangsaan Djawa. Meskipun ada pembatasan jang demikian, kemadjuan perkumpulan ditahun-tahun permulaan, tidaklah terganggu. Minat perkumpulan ter­

(25)

hadap kepada soal2 kemasjarakatan, ketjuali soal pela- djaran sekolah, sangatlah kurang.

Setelah pada tahun 1912 didirikan „Sarekat Islam” , jang langsung mentjari perhubungan dengan rakjat, maka „Budi Utomo” mengalami masa kemunduran, jang memaksa putjuk pimpinannja meluaskan lapangan peker- djaannja. Perkumpulan tidaklah membantah atas adanja pemerintahan kolonial, tapi jang ditjela ialah buah dari pada pemerintahan jang tidak sepadan dengan kepen­ tingan rakjat itu. Pada pandji-pandjinja tertulis sembojau „associatie” (persekutuan).

Biar demikian ■ putjuk pimpinan tidak berkeputusan mendengarkan bantahan dari barisan sendiri.

Ketika putjuk pimpinan B.U. diwaktu petjah pepe­ rangan dunia jang kesatu, bersama-sama dengan para pemimpin dari perhimpunan2 lain berkumpul di Sema­ rang, dengan maksud hendak mentjari kata sepakat un­ tuk menjatakan kesetiaan kepada pemerintah Hindia Belanda, maka didalam sidang itu tidaklah diperoleh kata persetudjuan. Achirnja pernjataan setia itu dilahir­ kan djuga, tapi tidak kurang suara2 jang berkata, bahwa kesulitan2 jang sedang dan aJian diatasi oleh pemerintah Belanda dalam peperangan ini, tidak sekali bersangkut paut dengan rakjat Indonesia.

Ketika pimpinan Budi Utomo memperkatakan hal me­ minta hak untuk memikul kewadjiban milisi bagi anak2 Indonesia, maka mereka telah dituduh mendjadi perkakas pemerintah Hindia Belanda, sehingga didalam rapat bond jang diadakan di Bandung dalam tahun 1915, terpaksa didjelaskan, bahwa kepentingan ipemerintah adalah se- djalan dengan kepentingan rakjat.

Tidak lama sesudah itu, didalam kalangan pengandjur2 gerakan, telah timbul pula rasa ketjewa. Sekolah2 opsir untuk Bumiputera, hanja menjediakan tempat untuk turunan bangsawan sahadja. Pun pada sekolah2 rendah kelas satu untuk anak Bumiputera, jang memakai bahasa Belanda mendjadi bahasa pergaulan diterima hanjalan anak2 bangsawan sahadja.

Sementara itu sekolah2 desa tidaklah dibelandjai oleh pemerintah, melainkan harus dibuka dengan ongkos sen­

(26)

diri. Didalami „Gedenkboek Budi Utomo 1908— 1918” x) da.pat kita batja sebagai berikut :

„Maka djelaslah bagi kami, bahwa tak ada seorang jang akan menolong kami,- djika kami tidak menolong diri sendiri”.

Djiwanja semakin radikal, tapi sikap itu baharu djelas, setelah Budi Utomo, sebagai pemimpin pergerakan ke­ hilangan pengaruhnja didalam barisan rakjat.

SareJcat Islam.

Budi Utomo dapat berkembang karena didalam empat tahun ia berdiri, ialah satu-satunja perkumpulan orang Bumiputera, jang berdaja upaja hendak mengangkat de- radjat rakjat, disamping pemerintah.

Tindakannja mendapat banjak tjelaan dari pihak ka­ wan2 seperdjuangan jang radikal. Mereka berpendapat bahwa pemimpin2 jang berketurunan bangsawan dan masuk kaum feodal, tidak mungkin akan dapat membela kepentingan2 rakjat dengan sesungguhnja. Mereka itu banjak berkekurangan didalam perkara soal demokrasi, demikian kata mereka.

Ditahun 1912 didirikanlah Sarekat Islam.

Pendirian perkumpulan itupun ada pula mempunjai se- djarah. Didalam tahun 1909 R. M. Tirtoadisoerjo, seorang djumalis dari Solo, telah mendirikan suatu perseroan da­ gang jang berdasar dan bertjorak baru, dan dinamakannja „Sarekat Dagang Islam” di Djakarta. Dua tahun sesu­ dah itu dibentuk pula „Sarekat Dagang Islam” di Bogor. Pengandjurnja lalu meluaskan tjita2nja. Perseroan da­ gang itu hendaklah berdasar koperasi, dan mendapat kekuatan demikian rupa, sehingga mereka dapat meru­ buhkan monopoli saudagar2 bangsa Tionghoa, jang menjediakan bahan3 dan bumbu2, terutama untuk per­ usahaan batik.

R. M. Tirtoadisoerjo dapat perhubungan dengan M. Hadji Samanhoedi, seorang pengusaha batik di Solo, jang berniaga kain batik besar-besaran. Hadji Samanhoedi sedia bersatu, lalu ditahun 1912 didirikan pula „Sarekat Da­ gang Islam” jang berdasar koperasi di Solo. Guna

kepen-i) „Buku Peringatan Budi Utomo 1908— 1918” . 26

(27)

tingan persedikatan dagang itu diterbitkan disana sebuah madjalah, Sartomo namanja.

Tjita2 itu meluas dikalangan rakjat. Semangat jang meluap-luap, lebih dahulu membawa rakjat kepada meng­ ambil sikap bermusuhan terhadap saudagar2 bangsa Tionghoa, jang memperniagakan bahan2 untuk batik.

Keamanan jang mulai terganggu itu, memaksa Residen Solo bertindak. Maka diperintahkannja kepada Pangeran Mangkoeboemi, supaja mengeluarkan larangan untuk me­ neruskan pekerdjaan „Sarekat Dagang Islam” , agar dja- ngan timbul kekatjauan antara orang Bumiputera dan orang Tionghoa. Bersidang atau berkumpul dilarang, anggota2 baru tidak boleh diterima.

Setelah njata, bahwa perseroan itu tidak mengandung sesuatu maksud jang djahat, maka larangan itu, setelah sepuluh hari lamanja berlaku, ditjabut kembali. Hanja ditetapkan, bahwa jang boleh diterima mendjadi anggota, hanjalah penduduk keresidenan Solo sahadja.

Tudjuan dari pada perkumpulan demikian luasnja, sehingga perkataan „dagang” itu sudah tidak mendjadi soal lagi. Oleh karena itu, buat kedepan, perkumpulan dinamakan „Sarekat Islam” sahadja. Sebagai maksud ditetapkanlah : menjusun masjarakat Islam, agar ia hi­ dup berkumpul mendjadi saudara; menggerakkan hati umat Islam, supaja ia bersatu dan tolong-menolong; di- dalam lingkungan dan batas undang2 negara, melakukan segala daja dan upaja untuk mengangkat deradjat rakjat, guna kesentosaan dan kemakmuran tanah tumpah da- rahnja.

Dari awalnja perkumpulan itu telah mengadakan pro­ paganda besar-besaran. Propagandis jang terbilang patjak ialah Raden Oemar Said Tjokroaminoto, seorang emploje perniagaan di Surabaja. Dikota itu sedang timbul kete­ gangan antara orang-orang Bumiputera dan pedagang2 bangsa Tionghoa. Dengan seketika disana telah didirikan suatu tjabang Sarekat Islam. Dengan akte Notaris tang­ gal 10 September 1912 ditetapkanlah anggaran dasarnja. Dan ditentukan pula bahwa Tjokroaminoto mendjadi wakil mutlak dari sebelas orang jang tinggal di Solo. Diantara mereka itu ada tersebut pula nama Hadji Samanhoedi. Sebagai maksud perkumpulan ditetapkan - membangkitkan djiWa perdagangan; memberi tundjangan

(28)

kepada sekalian anggota jang mendapat kesusahan; me- ¡madjukan ketjerdasan bangsa Indonesia dan menundjang segala usaha jang hendak mengangkat deradjatnja; mem­ berantas segala paham jang salah tentang Islam; mema- djukan kehidupan setjara Islam dengan segala daja jang tidak bertentangan dengan undang2 negara dan adat. Jang mendjadi ketua ialah M. Hadji Samanhoedi, sedang R. Oemar Said Tjokroaminoto diangkat mendjadi ko­ misaris S.I.

Adalah dua rupa sjarat pengikat jang digunakan, untuk mentjari dan menjatukan anggota : Islam dan pimpinan kepada rakjat, jang memperdjuangkan kepentingannja didalam kehidupan. Pimpinan perkumpulan lalu tjampur- tangan didalam perkara upah pekerdja, dengan urusan sewa-mempersewakan tanah, dengan segala sesuatunja jang berhubung dengan tanah2 partikulir, dengan laku sewenang-wenang jang diderita oleh rakjat dari pihak kepala-kepalanja, d.s.b. Dengan djalan itu S.I. mendapat popularitet jang amat besar dikalangan rakjat. Gerakan itu meluap diseluruh pulau Djawa dengan tjepat. Belum

t beberapa bulan antaranja, tjabang Djakarta sahadja te­ lah mempunjai anggota 12000 orang. Anggota itu disuruh bersumpah. Didalam sumpah itu disebutkan, bahwa ia menerangkan dengan sebenarnja, turut masuk kumpulan dengan suka ridla dan ia berdjandji akan takluk kebawah segala aturan jang telah ditetapkan oleh perkumpulan.

Tanggal 26 Djanuari 1913 dibuka kongres S.I. jang pertama di Surabaja. Dibentuklah suatu Centraal Comité, dengan Hadji Samanhoedi sebagai ketua dan Tjokroami­ noto sebagai ketua muda.

Suara2 jang terdengar didalam kongres itu menundjuk- kan setia terhadap pemerintah Belanda. Dalam kata pembukaan diutjapkan : „Kami bersikap loyaal terhadap Gubememen. Kami senang dibawah kekuasaan pemerin­ tah Belanda. Bohong, djika ada jang berkata, bahwa kami hendak merusak keamanan. Tidak benar kami hen­ dak bertempur. Jang menjangka demikian, ialah orang gila ! Tidaklah pemberontakan atau kekatjauan jang kami maksud, sekali-kali tidak!”

Gubernur. Djenderal Idenburg pada hakekatnja tidak­ lah menolak akan adanja S.I. Hanja hal meletusnja

(29)

de-ngan sekonjong-konjong itu, agak mengedjutkannja dan membimbangkan, hatinja. Tanggal 7 Maret 1913 ia telah menulis surat kepada Menteri Djadjahan, bunjinja :

„Saja tak ada alasan untuk mentjurigai kumpulan itu setjara resmi. Lakunja baik, segala jang diutjapkannja berdasar kesetiaan, sedang mengembangnja tidak bertjo- rak revolusioner. Tapi meskipun demikian, saja terpaksa berkata, bahwa saja tidak dapat pertjaja penuh kepada S.I. Djuga oleh karena saja belum mengerti benar apa jang dimaksudnja. Ia sangat baru, sangat luar biasa, sangat tjepat organisasi pergerakan rakjat itu merebut tempatnja disegala pendjuru kemasjarakatan, sehingga timbullah pertanjaan : dari mana, dan hendak kemana? Sudah njata bahwa ia tidaik semata-mata menentang orang Tionghoa, tidak menghambat gerakan padri Nasra­ ni, tapi apakah ia ?”

Dengan keras G. G. Idenburg membantah dugaan2 orang, jang mengatakan, bahwa S.I. timbul, sebagai aki­ bat dari iehtiar Pimpinan Pemerintahan untuk membawa orang Indonesia kearah aliran agama Nasrani. Tuduhan2 itu atjapkali digunakan orang sebagai alat propaganda, sedang kaum politik di Nederland telah tjukup memban- tahnja. Tentang hal itupun Idenburg telah menulis pula kenegeri Belanda tanggal 16 Maret 1913 sebagai berikut : „Tidak .benar pula otjehan-otjehan orang, jang ber­ kata, bahwa Kerstening-politik, jang dilakukan oleh Pimpinan Pemerintahan, telah didjadikan alat untuk membangunkan organisasi S.I. Lebih dahulu saja telah menulis kepada Jang Mulia sebagai berikut : Segala otjehan Bogaerdt dan Scheurer dan Kuyper, jang me­ ngatakan bahwa orang Bumiputera tidak ta’at kepada agama Islamnja, sangat salah. Orang Bumiputera mau

tetap mendjadi orang Islam. Itulah dunianja sendiri. Dan ■bila ada orang jang mengatakan, bahwa dunianja itu ter­ an t jam,- maka para pemimpin gerakan tak usah bersusah pajah lagi berusaha memanaskan hati rakjat”. *)

Pada audiensi,, jang diberikan oleh G. G. tanggal 29 Maret 1913 kepada putjuk pimpinan S.I., hal itupun telah i) Dikutip oleh Dr. F. L. Rutgers dalam uaraian „Idenburg

(30)

dibitjarakan pula. Mungkin karena pembitjaraan itu, Tjokroaminoto dan Hadiwidjaja telah membubuh kete­ rangan jang pasti didalam akte Notaris tanggal 8 Djuli 1913, bahwa kelahiran S.I. sekali-kali tidak berhubung dengan sesuatu paksaan dari pihak pemerintah kepada orang Islam, supaja mereka memeluk agama Kristen, sedang disekitar mereka tidaklah ada tanda2, bahwa pak­ saan jang serupa itu, sekalipun memang ada dilakukan, telah membawa gempar dan tersinggungnja hati rakjat. Orang2 Islam tidak dihalangi dalam melakukan kewa- djibannja sebagai Islam, sedang S.I. tidaklah didirikan untuk mendjadi pusat pergerakan, jang menentang agama Kristen atau agama apapun djuga” .

Menurut bunji suratnja kepada Pemerintah Belanda tanggal 19 Mei 1913, Idenburg meramalkan, bahwa ge­ rakan S.I. terlebih dahulu akan menentang pemerintahan bangsa Bumiputera. Djika keinsjafannja atas harga diri sendiri telah mendalam, maka djika ia tidak hendak menentang, sekurang-kurangnja mengambil kedudukan

disamping pemerintahan Bumiputera, jang memang sa­ ngat mentjurigai S.I. „Dan djiwa merdeka, jang sulit menjisihkannja dari djiwa berontak atau mogok”, demi­ kian kata Idenburg, „lambat laun akan menentang pula pemerintahan bangsa Eropah, bukan oleh karena ia ada ditangan orang Eropah atau orang Belanda, melainkan semata-mata oleh karena ia adalah pemerintahan”.

Tanggal 4 Djuli 1913 Idenburg menulis surat pula ke­ pada Dr. Kuyper, ketika didalam sidang Tweede Kamer diperkatakan hal „mendjadi djalang”nja penduduk aseli dinegeri ini. Bunji surat itu :

„Jang dikatakan „mendjadi djalang” itu tidak lain hanjalah akibat dari pada suatu kenjataan. Orang Bumi­ putera telah mulai memikirkan nasib peruntungannja dan tentang segala sesuatu jang terdjadi disekelilingnja. Ini­ lah permulaan „sadar” dari tidurnja. Dan keadaan jang serupa itu bukanlah berarti „mendjadi djalang” .

Sampai sekarang mereka masih belum liar. Saja tantang sekalian orang jang akan menjalahkan kata saja ini. Sepatutnja kita harus bersuka tjita, menghadapi hal jang serupa itu, meskipun agak berat untuk menerimanja.

(31)

Bukankah kita jang menghendaki perobahan itu? Atau, setidak-tidaknja, kita berkata menghendakinja ? Bukan­ kah kita telah memperbaiki peladjaran sekolahnja? Dan patut pula kita bersuka tjita, sekiranja agama Nasrani- pun dapat pula leluasa dan mendalam disebarkan”.

Djika G. G. Idenburg telah dapat menduga djiwa per­ gerakan rakjat itu dengan segala arif bidjaksananja, tapi sebaliknja S.I. telah membawa kegemparan dan keta­ kutan dikalangan orang-orang Eropah umumnja. Mereka mentjertja sikap Pimpinan Pemerintahan jang bersifat sabar dan menanti itu. S.I. diartikannja „Salah Idenburg” . Djika^ kelak terdjadi pembunuhan2 orang Eropah setjara besar-an, maka bentjana itu timbul karena salah Iden­ burg, kata mereka. Dalam ketakutan besar, seorang bekas Residen telah mengirimkan surat kawat kepada Seri Ba­ ginda Radja, bunjinja :

„Sarekat Islam menghasut rakjat Bumiputera. Neder- land akan kehilangan tanah djadjahannja!”

Surat2 kabar Belanda menjiarkan ramalan2 tentang timbulnja segala rupa kesulitan, jang seharusnja dari saat itu patut ditindas dengan segala kekerasan. Chalajak umum dihasut supaja bentji kepada Sarekat Islam dan kepada Gubernur Djenderal Idenburg. Berhubung dengan itu, Idenburg menulis surat pula tanggal 15 April 1913 kepada Menteri De Waal Malefijt, bunjinja :

„Surat2 kabar setiap hari penuh dengan dusta jang berterangan-terang, tapi saja tidak mempunjai surat ka­ bar disini untuk membantahnja. Saja tak ada daja menghadapi persekutuan jang serupa itu. Semasa saja masih berkejakinan, bahwa pemimpin2 surat kabar itu pastilah insjaf akan kewadjiban mereka jang sesungguh- sungguhnja, beberapa kali saja mentjoba dengan laku mendesak tapi sopan, meminta bantuan kepada mereka, supaja mereka suka bekerdja sama dengan Pemermta dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Tapi jang

1

- lakukan oleh mereka ialah sebaliknja. Mereka tidak a- pat menjelami „apa sebabnja”, dan mereka tida ' usaha hendak menjelidikinja sampai kedalam. O e a rena itu, segala daja upaja saja dirintanginja, an saja ditjutji maki pula dengan tidak pada tempa nja. J s.k. „ De Locomotief” jang terketjuali, tapi dida am so

(32)

ini suara surat-kabar ini tidak banjak didengarkan” . ' ) Didunia perkebunan bangsa Eropah timbul pula kege­ lisahan jang amat besar.

Didalam surat kabar Soerabajasch Handelsblad, dimuat sebuah advertensi, bunjinja :

„Berhubung dengan huru-hara jang kian hari kian mengantjam dari pihak penduduk Bumiputera ditanah Djawa, diminta seorang opsir dari balatentara Hindia Belanda, jang tjakap dan sanggup memberi petundjuk kepada beberapa orang pemimpin dari onderneming2 be­ sar, dalam perkara memperkuat dan mempertahankan segala bangunan jang ada ditempat perusahaannja” .

Ketua Suiker Syndicaat Mr. A . Paet tot Gansoyen menghadap keistana Bogor, untuk menjatakan genting- nja suasana kepada Pimpinan Pemerintahan. G. G. me- njenangkan hatinja, dan dengan kepertjajaan penuh atas kebidjaksanaan pemerintah, kembalilah ia ke Surabaja. Didalam suatu surat edaran terhadap seluruh anggota Suiker Syndicaat, ditjeriterakannja dengan terus terang, apa jang telah didengarnja dari pihak Pimpinan Peme­ rintahan di Bogor.

Ketika diadakan openbaar gehoor (pertemuan umum) diistana G. G. tanggal 31 Agustus 1913, Mr. H. ’s Jacob, ketua dari Kamer van Koophandel di Djakarta, atas nama „rombongan ketiga belas” dari orang2 partikulir, telah mengemukakan pula kegelisahan jang dirasai oleh selu­

ruh masjarakat orang Eropah.

Idenburg mempertahankan sikap dan tindakannja se­ bagai Pimpinan Pemerintahan dengan pandjang lebar serta beralasan, sehingga pihak pendengar menjatakan gembira hatinja dengan bertepuk tangan. Inilah suatu peristiwa jang djarang kedjadian. Didalam sidang itu memang ada djuga amtenar2 pemerintahan bangsa Ero­ pah dan orang3 Eropah partikulir, jang tahu menjelami kebatinannja orang Bumiputera. Diantaranja ialah Re­ siden Rembang, Gonggrijp.

Prof. Snouck Hurgronje telah menulis dalam madjalah

Jndologen Blad” sebagai berikut :

x) Dikutip dari uraian „Idenburg en de Sarekat Islam ” ol6h Dr. P. L. Rutgers, didalam proefschrift tahun 1939.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan vitalitas kawasan lama melalui intervensi yang mampu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, terintegrasi dengan

30 tahun 1980 Pasal 9 ayat (1), dalam mempertimbangkan penjatuhan hukuman perlu mengetahui faktor-faktor yang mendorong perbuatan tersebut dan wajib memperhatikan secara teliti

APLIKASI YANG DIBANGUN DENGAN TUJUAN UNTUK MEMUDAHKAN KOMUNIKASI ANTARA DAERAH DAN PUSAT DALAM HAL MANAJEMEN DATA PADA PENGELOLAAN JALAN DAERAH DAN JEMBATAN.. TERDAPAT 2

Menurut Al-Ghazali (1998) bahwa konsep dan fungsi hati tidaklah sama seperti yang dipahami oleh orang awam, yang menganggap hati hanyalah sebagai alat

Untuk galian pondasi disesuaikan dengan gambar yang telah disetujui, dan lubang galian pondasi harus cukup lebar, sehingga pelaksanaan pekerjaan tidak

❖ Sekolah tidak dapat mengetahui keberhasilan proses pembelajaran terhadap kompetensi lulusannya dalam memanfaatkan kompetensi pengetahuan dan keterampilan siswa untuk

Aceh Singkil Kab. Aceh Selatan Singkil No. Aceh Barat Bireun No. Aceh Barat Sinabang No. Kota Lhokseumawe ** Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Selatan Blangpidie No. Aceh Jaya

(Blanded Aspirasi DPD RI Dapil M aluku Anna Latuconsina, SH 15 Pelatihan Pembuatan Abon Ikan Lembaran Full O nline Terbuka Seluruh Provinsi Peningkatan Produksi. Pengolahan