PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA<
T{
IBI<
DAN ORTODOKSI TAFSIR SUNNI
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam
Oleh:
Ghozi Mubarok
05.2.00.1.05.01.0012
Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, MA
KONSENTRASI TAFSIR HADITS
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Ghozi Mubarok
NIM : 05.2.00.1.05.01.0012
Tempat, Tanggal Lahir : Sumenep, 3 Mei 1980
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Prinsip-prinsip
Tafsir al-Sya>t}ibi> dan Ortodoksi Tafsir Sunni” ini benar-benar merupakan karya
asli saya kecuali kutipan-kutipan yang saya sebutkan sumbernya. Segala
kesalahan dan kekurangan di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab
saya.
Jakarta, 11 Januari 2008
Ghozi Mubarok
PENGESAHAN
Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang
berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni”
t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah
diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 14 Februari 2008
Penguji I
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA
PENGESAHAN
Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang
berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni”
t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah
diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 14 Februari 2008
Penguji II
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA
PENGESAHAN
Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang
berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni”
t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah
diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 14 Februari 2008
Pembimbing Merangkap Penguji
Dr. Yusuf Rahman, MA
PENGESAHAN
Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang
berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni”
t elah diujikan pada hari Rabu, t anggal 30 Januari 2008, dan t elah
diperbaiki sesuai saran sert a rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
Jakarta, 14 Februari 2008
Ketua Sidang Merangkap Penguji
Dr. Fuad Jabali, MA
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis saudara Ghozi Mubarok (NIM. 05.2.00.1.05.01.0012) yang
berjudul “Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t }ibi> dan Ort odoksi Tafsir Sunni”
t elah diperiksa dan dinyat akan layak unt uk diajukan ke Sidang Ujian
Tesis.
Ja kart a , 9 Ja nua ri 2008
Pembi mbing
Dr. Yusuf Ra hma n, MA
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI
A. Konsonan
= b = t}
= t = z}
= ts = ‘
= j = g
= h} = f
= kh = q
= d = k
= dz = l
= r = m
= z = n
= s = w
= sy = h
= s} =
`
= d} = y
B. Vokal
Vokal Tunggal : = a = i = u
Vokal Panjang : = a> = i> = u>
Vokal Rangkap : = ay = aw
C. Lain-lain
- Transliterasi syaddah atau tasydi>d ( ) dilakukan dengan menggandakan
huruf yang sama.
- Transliterasi ta>` marbu>t}ah ( ) adalah “h”, termasuk ketika ia diikuti oleh
kata sandang “al” (
א
), kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.א
- Kata sandang “ “ ditransliterasikan dengan “al” diikuti dengan kata
penghubung “-“, baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun huruf
syamsiyyah, kecuali dalam transliterasi ayat al-Qur`an.
- Transliterasi ayat al-Qur`an dilakukan sesuai dengan bacaan aslinya dengan
mengabaikan pemisahan antar kata. Contoh:
$tΡω÷δ$# xÞ≡uÅ_Ç9$#
tΛ⎧É)tGó¡ßϑø9$#
=
ihdina>ihdinas} al-s}-s}ira>ira>t}al-mustaqi>t} al-mustaqi>m, bukan mא
- Transliterasi kata “ ” yang tersambung dengan kata lain sebelumnya juga
akan ditulis secara bersambung. Contoh:
kita>bulla>h, bukan
kita>b Alla>h
א
=
- Nama-nama dan kata-kata yang telah ada versi populernya dalam tulisan
latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi populer tersebut.
D. Translasi
- Kecuali terjemahan al-Qur`an, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh
terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.
- Untuk terjemahan al-Qur`an, penulis mengutip Mushaf al-Qur`an Terjemah,
Departemen Agama RI, edisi tahun 2002, dengan beberapa penyesuaian.
ABSTRAK
Fokus utama penelitian ini adalah prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh al-Sya>t}ibi> dalam dua buah karyanya, al-Muwa>faqa>t dan al-I‘tis}a>m. Karena al-Sya>t}ibi> kerap diapresiasi dalam dua perspektif yang berlawanan, maka penelitian ini juga berupaya untuk melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip tersebut berdasarkan kriteria ortodoksi tafsir Sunni.
Melalui elaborasi dan analisis terhadap dua karya di atas, penelitian ini menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> dibangun di atas tiga pra-anggapan dan asumsi dasar tentang al-Qur`an, yaitu status al-Qur`an sebagai
kulliyyah al-syari>‘ah, sebagai teks berbahasa Arab, serta sebagai kitab yang diturunkan kepada bangsa Arab yang ummi>.
Metode tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi> bertumpu pada prinsip intertekstualitas al-Qur`an sebagaimana terlihat dalam konsepsinya tentang
makki>-madani>, muh}kam-mutasya>bih, serta teknik menjembatani ayat-ayat yang terkesan kontradiktif. Meski al-Sya>t}ibi> sering dianggap sebagai salah satu pemberi inspirasi bagi munculnya metode tafsir mawd}u>‘i, namun prinsip intertekstualitas al-Qur`an al-Sya>t}ibi> itu dilatarbelakangi oleh minat dan tujuan,
serta dirumuskan melalui pola, yang sedikit berbeda dari apa yang lazim dalam tafsir mawd}u>‘i>, terutama dalam hal hirarki kulli>-juz`i> serta kronologi pewahyuan. Menyangkut sumber penafsiran, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa al-Sya>t}ibi> memberikan otoritas yang tinggi kepada penafsiran generasi-generasi terdahulu (al-salaf al-s}a>lih}), terutama para sahabat dan ta>bi‘i>n. Pada saat yang sama, al-Sya>t}ibi> juga membolehkan tafsir bi al-ra`y sepanjang ia dilakukan secara berhati-hati serta tidak melampaui batas.
Penelitian ini juga merumuskan tiga kriteria ortodoksi tafsir: tekstualisme dan perhatian kepada kaidah-kaidah bahasa, pengakuan terhadap pengalaman masyarakat-penafsir Sunni, serta identifikasi teologis. Penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> melalui tiga kriteria tersebut menunjukkan bahwa, secara umum, prinsip-prinsip tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai bagian dari, atau —setidaknya— tidak bertentangan dengan, ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.
Pada akhirnya, penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa gagasan al-Sya>t}ibi> sering digunakan untuk menggugat tekstualisme dalam tafsir. Tetapi gugatan tersebut barangkali bisa diterima sepenuhnya hanya apabila al-Sya>t}ibi> sendiri dilampaui. Selain itu, hasrat untuk mencari legitimasi dari masa lalu demi kepentingan masa kini bisa menyebabkan distorsi pada sejarah. Pembacaan terhadap karya-karya al-Sya>t}ibi> melalui konteks sosial dan intelektual di masanya menyiratkan dugaan bahwa karya-karya itu sebetulnya diajukan “sekedar” sebagai kritik sosial-keagamaan bagi masyarakat Granada pada abad 8 H..[]
ABSTRACT
This study deals with the principles of Qur`anic exegesis formulated by
al-Sya>t}ibi> in his two published works, al-Muwa>faqa>t and al-I‘tis}a>m. As he has been appreciated by modern scholars in two adversarial perspectives, this study also tries to evaluate those principles based on the criteria of Sunni orthodox view on Qur`anic exegesis.
Through an examination and analysis of al-Sya>t}ibi>’s works, this study reveals that his principles of Qur`anic exegesis are based on three
presuppositions, i.e. that the Qur`an is a kulliyyah al-syari>‘ah, that it is an arabic
text, and that it is a book which is sent down to the ummi> people of Arab.
Al-Sya>t}ibi> has also developed a method of Qur`anic interpretation which
is based on the principle of Qur`anic intertextuality, as seen in his conception on
the matters of makki>-madani> and muh}kam-mutasya>bih, and in his formulation of the technique for dealing with the seemingly contradictory verses. Although it is often said that al-Sya>t}ibi>’s principle of Qur`anic intertextuality has inspired
many scholars to develop mawd}u>‘i> method of Qur`anic exegesis, this study
shows that his principle is marked by different motives and patterns which distinguish it from what is developed latter by the proponents of mawd}u>‘i>
method, particularly in the hierarchy of kulli>-juz`i> and the chronological order of revelation.
On the source of Qur`anic exegesis, this study proves that al-Sya>t}ibi>
attributes a high respect to the interpretations proposed by the former pious generations (al-salaf al-s}a>lih}), especially by the Companions and the Successors. At the same time, al-Sya>t}ibi> also allows tafsi>r bi al-ra`y only in the condition that it is done carefully without transgressing the rules.
This study argues that the Sunni orthodox view on Qur`anic exegesis is
based on three criteria: textualism and great attention to the linguistic rules of Arabic language, acknowledgment of the experience of Sunni mufassir
community, and theological identification. Evaluation of al-Sya>t}ibi>’s principles of Qur`anic exegesis by these criteria shows that those principles are, generally,
in accordance with, or —at least— not in opposition to, the Sunni orthodox view.
Finally, al-Sya>t}ibi>’s ideas are frequently used to criticize textualism in Qur`anic exegesis. It is the contention of this study that those criticisms can,
perhaps, be adopted completely only if al-Sya>t}ibi> himself is overstepped. The desire to seek legitimation from the past in the service of the present often causes the distortion of history. The reading of al-Sya>t}ibi>’s works through his social and intellectual context implies that those works are proposed primarily as a socio-religious critique of the life lived by the people of Granada in 8th century AH.[]
KATA PENGANTAR
Tesis ini berutang kepada banyak orang yang tidak seluruhnya bisa
disebutkan di sini. Kepada mereka semua, penulis menghaturkan terima kasih,
penghargaan, serta permohonan maaf setulus-tulusnya. Pertama, tentu saja,
adalah Dr. Yusuf Rahman yang telah membimbing penulis selama melakukan
penelitian. Kritik, saran, dan bantuannya membuat penulisan tesis ini menjadi
sesuatu yang menghibur dan menggairahkan. Juga Prof. Dr. Salman Harun,
pembimbing akademik penulis, serta Prof. Dr. M. Amin Suma, penguji proposal
tesis ini. Dengan cara masing-masing, keduanya telah membantu membuat
rencana penulisan tesis ini menjadi sedikit lebih “rasional”.
Bahan-bahan penulisan tesis ini diperoleh dari pelbagai sumber di Jakarta,
Yogyakarta, dan Madura, terutama di perpustakaan-perpustakaan UIN Jakarta
dan Yogyakarta, PSQ Jakarta, Iman Jama Jakarta, serta Kollese St. Ignatius
Yogyakarta. Tesis ini rasanya tidak akan selesai sesuai harapan tanpa kemudahan
akses yang diberikan oleh seluruh staf dan pegawai di perpustakaan-perpustakaan
tersebut. Secara personal, penulis ingin berterimakasih kepada Syukron, pegawai
Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, untuk segala bantuan dan
keramahannya. Juga kepada Guntur Romli, Fathullah, Adib Mas‘ud, Maryono,
Zuhairi, Nopri, Ridwan, Yayak, Ali NZ, Hasib, Hamzah, dan Ibnu di Jakarta;
Yusuf, Jabbar, dan Fatur di Yogyakarta; Nia di Kairo; serta Mun‘im di Amerika
untuk literatur-literatur yang mereka berikan, pinjamkan, atau kirimkan.
Ada momen-momen tertentu ketika penulisan tesis ini terasa melelahkan
dan menjemukan, terutama saat-saat ketika ia seakan-akan tiba pada sebuah cul-de-sac. Tetapi selalu ada sesuatu yang membuat semua itu menjadi tertanggungkan: kehadiran kawan-kawan yang memberikan support, motivasi, atau bahkan “gangguan”. Untuk Muslim, Novi, Amar, Hamzah Arsa, Andhika,
Firdaus, Syiqqil, Adib, Maryono, Maya, Fahimah, Susi, Maftuhah, Rifqi, Ibnu,
dan beberapa nama lagi, terima kasih.
Bagian-bagian tertentu dari tesis ini dirumuskan, dipertajam, diperbaiki,
dan disempurnakan berdasarkan inspirasi, diskusi, saran, serta kritik dari
beberapa pihak. Selain Pak Yusuf, Pak Salman, dan Pak Amin yang telah disebutkan di atas, penulis juga berutang kepada (alm.) KH. Moh. Tidjani
Djauhari, MA, juga Hamzah F. Harmi, Guntur, Mun‘im, Idris Thaha, Rifqi, Adib,
Ibnu, dan Aulia Apriana.
Dalam satu dan lain hal, tesis ini juga harus dipandang sebagai bagian
dari proses “perjalanan intelektual” penulis selama masa studi di Program Tafsir
Hadits, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karena itu,
penulis juga ingin berterima kasih kepada Dr. Ahzami Sami‘un Jazuli, Dr.
Sahabuddin, Dr. Lutfi Fathullah, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Dr. Fuad Jabali,
Prof. Dr. Badri Yatim, Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, Dr.
Uka Tjandrasasmita, Dr. Abdul Choir, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Romlah, serta Dr.
Rusmin Tumanggor untuk kuliah-kuliah yang inspiratif dan mencerahkan.
Terakhir, untuk Aba dan Ummi:Muhammad Idris Jauhari dan Zahrotul Wardah, kepada siapa penulis mendedikasikan tesis sederhana ini dengan penuh
cinta dan bakti. Juga adik-adik: Faiqoh, Nazlah, Nia, Hanun, dan Lora Basthomi. Terima kasih!
Ciputat, 1 Januari 2008
G.M.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
SURAT PERNYATAAN ... ii
PENGESAHAN ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN TRANSLASI ... viii
ABSTRAK ... x
KATA PENGANTAR ... xiii
DAFTAR ISI ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Dasar Pemikiran ... 1
B. Permasalahan ... 10
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 10
2. Rumusan Masalah ... 12
C. Survei Literatur ... 12
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ... 17
1. Tujuan Penelitian ... 17
2. Signifikansi Penelitian ... 17
E. Metode Penelitian ... 17
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data ... 17
2. Pendekatan Masalah ... 18
3. Langkah-langkah Operasional Penelitian dan Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II AL-SYA<T{IBI<: PEMIKIR MUSLIM KONTROVERSIAL DARI ANDALUSIA ... 21
A. Biografi, Profil Intelektual, dan Karya-karya al-Sya>t}ibi> ... 21
B. Al-Sya>t}ibi>, Maqa>s}id al-Syari>‘ah, dan Proyek Ta`s}i>l al-Us}u>l ... 33
C. Al-Sya>t}ibi> dan Tafsir al-Qur`an ... 41
BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA<T{IBI< ... 47
A. Asumsi dan Pra-anggapan tentang al-Qur`an ... 47
1. Al-Qur`an Sebagai Kulliyyah al-Syari>‘ah ... 49
2. Al-Qur`an Sebagai Kitab Berbahasa Arab ... 58
3. Al-Qur`an Diturunkan kepada Bangsa Arab yang Ummi> ... 73
B. Metode Tafsir al-Qur`an ... 90
1. Koherensi dan Intertekstualitas al-Qur`an ... 91
2. Makki>-Madani>, Kulli>-Juz`i>, dan Naskh dalam al-Qur`an ... 101
3. Al-Sya>t}ibi> dan Tafsir Mawd}u>‘i> ... 106
4. Kontradiksi Antar Ayat: Apakah al-Qur`an Ambigu? ... 109
5. Muh}kam-Mutasya>bih dan Takwil ... 116
C. Sumber Penafsiran al-Qur`an ... 127
1. Tafsir bi al-Ma`tsu>r dan Otoritas Generasi-generasi Terdahulu ... 127
2. Tafsir bi al-Ra`y dan Batasan-batasannya ... 131
BAB IV ORTODOKSI TAFSIR DAN AL-SYA<T{IBI< ... 136
A. Ortodoksi Tafsir: Sebuah Kerangka Teoretis ... 136
1. Arkoun dan Calder tentang Ortodoksi ... 139
2. Tiga Basis Ortodoksi Tafsir Sunni ... 143
3. Ortodoksi Tafsir, Tekstualisme, dan Persoalan-persoalan Bahasa ... 145
4. Ortodoksi Tafsir dan Pengalaman Komunitas-Mufassir ... 151
5. Ortodoksi Tafsir dan Identifikasi Teologis ... 155
6. Ortodoksi Tafsir: Generalisasi dan Pengujian Teori ... 159
B. Penilaian terhadap Prinsip-prinsip Tafsir al-Sya>t}ibi> ... 165
C. Al-Sya>t}ibi> Sebagai Basis Legitimasi ... 178
BAB V PENUTUP ... 188
A. Kesimpulan ... 188
B. Rekomendasi ... 190
DAFTAR PUSTAKA ... 192
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dasar Pemikiran
Al-Sya>t}ibi> dianggap sebagai orang yang meletakkan dasar-dasar
pembaharuan bagi us}ul fiqh melalui, terutama, perumusan konsep maqa>s}id al-syari>‘ah. Anggapan itu terlihat, misalnya, dalam komentar yang ditulis oleh ‘Abdulla>h Darra>z sebagai pengantar untuk al-Muwa>faqa>t, karya terbesar al-Sya>t}ibi>. Untuk menyimpulkan (istinba>t}) hukum-hukum syariat, seseorang harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dua hal, yaitu bahasa Arab dan
maqa>s}id al-syari>‘ah. Dalam hubungannya dengan dua hal tersebut, ‘Abdulla>h Darra>z kemudian menulis, “Demikianlah, ilmu us}ul [fiqh] kehilangan bagian
yang agung, yaitu bagian yang mengkaji salah satu pilar penyangganya [maqa>s}id al-syari>‘ah], hingga akhirnya Allah swt. memunculkan Abu> Ish}a>q al-Sya>t}ibi> di abad 8 Hijriah….”1
Akan tetapi terdapat pula anggapan bahwa al-Sya>t}ibi> tidak saja menandai
pergeseran epistemologis di bidang us}ul fiqh, melainkan juga di bidang tafsir dan
hermeneutika al-Qur`an.2 Dalam perspektif tersebut, al-Sya>t}ibi> dipandang
1
‘Abdulla>h Darra>z, “Muqaddimah”, dalam al-Sya>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), hlm. 5. Untuk menekankan pentingnya pembaharuan yang dilakukan oleh al-Sya>t}ibi dalam bidang us}ul fiqh, ‘Abid al-Jabiri menyebut apa yang dilakukan al-Sya>t}ibi dalam al-Muwa>faqa>t sebagai proyek i‘a>dah ta`s}i>l al-us}u>l (pendasaran kembali ilmu us}ul fiqh). Muh{ammad ‘A<bid al-Ja>biri>, Wijhah al-Naz}ar (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wih{dah al-‘Arabiyyah, 1994), hlm. 57. Istilah ta`s}i>l al-us}u>l itu sebetulnya berasal dari al-Sya>t}ibi> sendiri. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), vol. 1, hlm. 70. Selain itu, urgensi peran al-Sya>t}ibi> terlihat jelas dalam penisbatan gelar “al-mu‘allim al-awwal” dalam hal perumusan konsep maqa>s}id al-syari>‘ah serta “h}ujjah min h}ujaj al-syari>‘ah wa ‘alam min a‘la>m maqa>s}idiha>” kepadanya. Lihat Muh}ammad T{ahir al-Mi>sawi>, “Al-Syaykh Muh}ammad al-T{a>hir ibn ‘A>syu>r wa al-Masyru>‘ al-ladzi> lam Yaktamil”, dalam Muh}ammad al-T{ahir ibn ‘A>syu>r, Maqa>s}id al-Syari>‘ah al-Isla>miyyah (Oman: Da>r al-Nafa>`is,
1999), hlm. 101. Bandingkan pula dengan Maribel Fierro, “Al-Sha>t}ibi>”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003).
2
David Johnston menulis bahwa al-Sya>t}ibi> “is credited by several contemporary scholars with having negotiated the turn from traditional text-based literalism to a focus on the meta-legal notion of shari>‘a’s aims…The ability of al-Sha>t}ibi> to systemize leads him to radically rework the traditional textual hermeneutic.” Lihat David Johnston, “A Turn in the Epistemology
merumuskan asumsi-asumsi yang berbeda tentang al-Qur`an dan penafsirannya
dari apa yang dirumuskan oleh mayoritas ulama tafsir. Al-Ja>biri>, misalnya,
menyatakan bahwa konsep maqa>s}id al-syari>‘ah yang dirumuskan al-Sya>t}ibi> menyiratkan adanya semacam logika atau “rasionalitas” (ma‘qu>liyyah) di balik teks al-Qur`an. Karena itu, yang seharusnya dilakukan dalam menafsirkan
al-Qur`an bukanlah menduga-duga (takhmi>n, z}ann)—melalui pendekatan
tekstual-linguistik—motif Tuhan dalam menurunkan sebuah ayat tertentu, melainkan
melacak logika atau rasionalitas di balik ayat tersebut melalui premis-premis
rasional yang diinduksikan dari al-Qur`an sendiri.3 Hal yang sama juga
dikemukakan oleh T{a>ha> Ibra>hi>m. Menurutnya, konsep al-Sya>t}ibi> tentang
pentingnya mendasarkan penafsiran al-Qur`an kepada status ke-ummi>-an bangsa
Arab adalah salah satu argumen untuk menyatakan bahwa al-Qur`an mesti
dipahami berdasarkan logika pemikiran manusia (mant}iq al-fikr al-basyari>), bukan dengan logika bahasa Arab (mant}iq al-lugah al-‘arabiyyah) yang lazim dipakai oleh para ulama tafsir dan us}ul fiqh.4
and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, dalam Islamic Law and Society, Edisi 11, No. 2, Juni 2004, hlm. 252-253. Al-Sya>t}ibi> memang sering dianggap memberikan inspirasi bagi munculnya orientasi non-tekstual dalam penafsiran al-Qur`an. Wael B. Hallaq, misalnya,
menyatakan bahwa metode induksi yang dirumuskan al-Sya>t}ibi>, “yang bergantung kepada penyerapan tujuan dan semangat hukum—tanpa membatasi dirinya pada dalil tekstual tertentu…telah membuat teori tersebut menarik bagi sekelompok pemikir modern yang minat utama mereka adalah membebaskan pikiran umat Islam dari belenggu yang terbentuk oleh makna-makna lahiriah yang terkadang bersifat mengekang dari teks-teks yang diwahyukan.” Lihat Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 206. ‘A<bid al-Ja>biri> bahkan menyatakan bahwa al-Sya>t}ibi> melakukan modifikasi atas asumsi-asumsi dasar epistemologi baya>ni>—sebuah epistemologi yang salah satu proyek teoretisnya adalah penetapan aturan-aturan interpretasi bagi al-Qur`an, al-khit}a>b al-mubi>n. Lihat Muh{ammad ‘A<bid al-Ja>biri>, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>: Dira>sah Tah}li>liyyah Naqdiyyah li Nuz}um al-Ma‘rifah fi> al-Tsaqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Da>r al-Bayd}a>`, cet. 7, 2000), hlm. 534-536. Selain itu, ketika Fahmi> Huwaydi>
menyatakan bahwa pembacaan yang benar (al-qira>`ah al-s}ah}i>h}ah) terhadap al-Qur`an harus
mempertimbangkan aspek maqa>s}id al-syari>‘ah selain aspek bahasa, dia mendasarkan pendapatnya itu kepada pandangan ‘Abdulla>h Darra>z dalam pengantar untuk kitab al-Muwa>faqa>t, karya al-Sya>t}ibi>. Lihat Fahmi> Huwaydi>, Al-Qur`a>n wa al-Sult}a>n (Kairo: Da>r al-Syuru>q, cet. 5, 2002), hlm. 53-56.
3
Al-Ja>biri>, Wijhah al-Naz}ar, hlm. 57-59.
4
Begitu juga dengan metode dan pendekatan tafsir. Karena yang coba
diungkap dalam proses tafsir adalah rasionalitas di balik ayat-ayat al-Qur`an,
maka, di mata al-Ja>biri>, al-Sya>t}ibi> menganggap pendekatan tafsir yang
sepenuhnya tekstual dan linguistik menjadi tidak memadai. Untuk itu, al-Sya>t}ibi>
merumuskan metode induksi (istiqra>`) guna mencari prinsip-prinsip general (kulliyya>t) yang dengannya proses penafsiran ayat-ayat partikular dalam al-Qur`an dapat dilakukan. Dengan mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip general
itu, tafsir al-Qur`an menjadi berdiri di atas landasan-landasan yang rasional dan
obyektif.5
Salah satu bagian dari pemikiran al-Sya>t}ibi> yang juga dianggap
kontroversial adalah konsepsinya tentang posisi Sunnah terhadap al-Qur`an.
David Johnston menyatakan bahwa karena prinsip-prinsip general yang
merupakan rasionalitas di balik ayat-ayat al-Qur`an bisa diinduksikan dari
ayat-ayat al-Qur`an itu sendiri, maka sunnah Nabi, dalam pandangan al-Sya>t}ibi>,
sebetulnya tidak menambahkan apa-apa selain penjelasan-penjelasan yang
bersifat sekunder.6 Lebih jauh lagi, fungsi yang dijalankan Rasulullah saw.
terhadap al-Qur`an adalah fungsi seorang penafsir. Dengan demikian, posisi
hadits terhadap al-Qur`an sama statusnya seperti posisi seorang hakim terhadap
teks-teks undang-undang hukum—otoritas pertama tentu saja harus diberikan
kepada teks-teks tersebut, bukan kepada penafsiran sang hakim.7
Selain itu, al-Sya>t}ibi> juga dianggap mendefinisikan beberapa terma dalam
tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n secara agak berbeda. Di antaranya adalah konsep
makki>-madani> dan na>sikh-mansu>kh. Al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa hampir seluruh prinsip-prinsip general dari al-Qur`an tertuang dalam ayat-ayat
5
Dalam ungkapan al-Ja>biri>, apa yang dilakukan al-Sya>t}ibi> melalui metode istiqra>` dan perumusan kulliyya>t itu merupakan proyek ta`si>s al-baya>n ‘ala> al-burha>n. Lihat al-Ja>biri>, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi>, hlm. 519-527.
6
David Johnston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Twentieth Century Usul al-Fiqh”, hlm. 253. Lihat juga al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 4, hlm. 6-7.
7 Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hlm. 197. Bandingkan juga dengan
Hallaq, “The Primacy of the Qur`a>n in Sha>t}ibi>’s Legal Theory”, dalam Wael B. Hallaq dan
makkiyyah. Prinsip-prinsip general itu bersifat qat}‘i> dan, karenanya, tidak dapat di-naskh. Lebih jauh lagi, karena yang dapat di-naskh hanya hal-hal yang bersifat partikular dan bukan prinsip-prinsip yang bersifat general serta universal, maka
konsep naskh sendiri dalam penafsiran al-Qur`an sebetulnya tidak sepenting apa
yang dibayangkan orang.8
Demikianlah, paling tidak, beberapa hal yang dianggap sebagai medan
modifikasi dan pembaharuan al-Sya>t}ibi> terhadap asumsi-asumsi standar dalam
disiplin keilmuan tafsir. Tetapi hal-hal tersebut masih mengandung persoalan dan
bisa diperdebatkan berdasarkan alasan-alasan berikut. Pertama, pendapat-pendapat al-Sya>t}ibi>, di sisi lain, sering dikutip untuk menentang
pandangan-pandangan yang menyimpang dari kaidah-kaidah normatif dalam tafsir—dengan
kata lain, untuk mendukung asumsi-asumsi standar dalam disiplin keilmuan
tafsir. ‘Iya>dah al-Kubaysi> dan Fahd ibn ‘Abd al-Rah}man al-Ru>mi>, dalam karya
masing-masing, misalnya, mengutip al-Sya>t}ibi> untuk menegaskan
ketidakmungkinan pengabaian Sunnah dalam penafsiran al-Qur`an.9 Demikian
pula anggapan bahwa teori al-Sya>t}ibi> bisa digunakan untuk menjustifikasi
pembatalan makna lahiriah ayat al-Qur`an (ta‘t}i>l al-nas}s}) demi maslahat
kemanusiaan; anggapan tersebut ditolak oleh, misalnya, Yu>suf al-Qard}a>wi>.10
Kedua, problem pembedaan antara pemikiran al-Sya>t}ibi> sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya dengan konsekuensi dan implikasi yang bisa
8
Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, hlm. 189-190.
9
‘Iya>dah ibn Ayyu>b al-Kubaysi>, “Mana>hij al-Mufassiri>n bayna al-Atsar wa al-Tajdi>d”, dalam Buhu>ts Mu`tamar Mana>hij Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m wa Syarh} al-H{adi>ts al-Syari>f (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 568; dan
Fahd ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Sulayma>n al-Ru>mi>, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-H{adi>tsah fi> al-Tafsi>r (Beirut: Mu`assasah al-Risa>lah, 1407 H.), hlm. 333-336.
10
ditarik dari pemikirannya itu. Ini adalah problem diskrepansi antara teks dengan
pemahaman terhadapnya, atau antara apa yang dinyatakan oleh al-Sya>t}ibi> sendiri
dengan apa yang dinyatakan oleh orang lain berdasarkan inspirasi dari pemikiran
al-Sya>t}ibi> tersebut. Pertanyaannya, benarkah hal-hal di atas merupakan pendapat
al-Sya>t}ibi>?
Ketiga, problem representasi ortodoksi. Jika diasumsikan bahwa empat hal di atas benar-benar merupakan pemikiran al-Sya>t}ibi>, maka persoalan
berikutnya adalah: sungguhkah hal-hal itu menyimpang dari prinsip-prinsip tafsir
yang “dianggap benar” dalam tradisi tafsir Sunni? Tidakkah hal-hal itu sekedar
merupakan pengembangan atau “penambahan corak khusus”11 dari apa yang
telah dikemukakan oleh para ulama lain? Siapa sajakah yang bisa dianggap
representasi dari ortodoksi tafsir itu?
Persoalan-persoalan di atas membuat penelitian tentang prinsip-prinsip
tafsir menurut al-Sya>t}ibi> dan perbandingannya dengan prinsip-prinsip tafsir yang
dianggap ortodoks dalam tradisi Sunni menjadi menarik untuk dilakukan. Hanya
saja, tentu terlebih dahulu harus dijelaskan apa yang dimaksud dengan
“prinsip-prinsip tafsir” dan apa pula yang menjadi kriteria “ortodoksi tafsir Sunni”.
Prinsip-prinsip tafsir dalam penelitian ini dipahami sebagai “seperangkat
asumsi dan aturan yang mendasari sekaligus membatasi proses interpretasi
al-Qur`an”.12 Demi tujuan-tujuan metodologis, prinsip-prinsip tersebut akan
dibatasi pada tiga persoalan. Pertama, asumsi dan pra-anggapan tentang al-Qur`an. Kedua, metode tafsir. Ketiga, sumber pengetahuan dalam tafsir,
termasuk perdebatan mengenai tafsir bi al-ma`tsu>r dan bi al-ra`y. Tiga kategori
11
S{a>lih} Qadi>r Zanki>, “Qawa>‘id fi> Tafsi>r al-Nas}s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima>m al-Sya>t}ibi>”, dalam Buh}u>ts Mu`tamar Mana>hij Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m wa Syarh} al-H{adi>ts al-Syari>f (Kuala Lumpur: Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), hlm. 354.
12
Dalam hal ini, pengertian “prinsip-prinsip tafsir” mirip dengan pengertian hermeneutika sebagai ilmu tentang teknik dan metodologi menafsirkan kitab suci. Tetapi kesulitan pertama dalam penggunaan istilah “hermeneutika” adalah tidak adanya satu definisi tunggal yang disepakati tentangnya. Lihat Muhammad ‘Ata al-Sid, “The Hermeneutical Problem of the Qur`an in Islamic History” (Disertasi pada Temple University, 1975), hlm. 7. Karena
ini akan digunakan sebagai kerangka-kerja dalam menguraikan prinsip-prinsip
tafsir menurut al-Sya>t}ibi> dan melakukan penilaian atasnya berdasarkan
kriteria-kriteria ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni.
Lalu bagaimana memaknai dan membatasi “ortodoksi tafsir” tersebut?
“Ortodoksi” berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata:
orth ‘benar’ dan doxa ‘ajaran, pendapat’. Ia kemudian dimaknai sebagai “kepatuhan terhadap doktrin yang telah mapan, terutama dalam agama tertentu”.
Terma ini biasanya dilawankan dengan “heterodoksi”, sebuah “sikap yang
bertentangan atau berbeda dari standar yang telah diakui, atau bentuk tradisional,
atau doktrin agama yang telah mapan”.13 Dalam beberapa kasus, penelitian ini
juga menggunakan kata “deviasi” untuk menyebut sebuah kaidah atau teori yang
menyimpang dari ortodoksi tafsir.
Sering dinyatakan bahwa ortodoksi adalah sesuatu yang asing dalam
konteks Islam, karena tidak ada dalam Islam sebuah institusi, seperti dewan
sinode atau lembaga gereja, yang memiliki otoritas untuk menentukan kriteria
ortodoksi.14 Tetapi kita bisa dengan cukup aman menggunakan konsep ortodoksi
dalam kajian tafsir berdasarkan alasan-alasan berikut.
Pertama, ortodoksi sebagai sebuah konsep ternyata dapat ditemukan dalam karya para pemikir muslim awal, terutama di bidang teologi dan
heresiografi.15 Dalam konteks ini, ortodoksi dipahami dalam kerangka
13
Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Britannica CD, ver. 2.0 (Encyclopaedia Britannica, Inc., 1995).
14
Karena tidak adanya sebuah institusi dalam Islam yang bisa membuat sebuah doktrin menjadi resmi dan ortodoks, maka Montgomery Watt lebih suka menggunakan istilah “pandangan mayoritas” (the view of the main body) atau “pandangan Sunni” (the Sunnite view). Lihat W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973), hlm. 268.
15
pembedaan antara “yang benar” dan “yang salah”. Kajian tafsir pun tidak luput
dari pemerian dua kategori tersebut. Sebagaimana dapat dilihat dengan jelas,
literatur-literatur tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n dipenuhi oleh kriteria-kriteria serta contoh-contoh penafsiran yang menyimpang. Hal itu menyiratkan adanya sebuah
konsep tentang ortodoksi dalam tafsir.
Kedua, dalam setiap disiplin keilmuan, selalu berlangsung proses standardisasi dan pemapanan.16 Dalam disiplin keilmuan tafsir, kecenderungan
yang sama juga terjadi. Prinsip-prinsip, metode-metode serta
terminologi-terminologi tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n telah mengalami proses pemapanan yang berlangsung sekian lama. Yang mapan serta yang standar kemudian menjadi
arus-utama dan dianut oleh mayoritas ulama tafsir. Dan setiap pemikiran yang
berbeda dari mainstream tersebut cenderung dianggap sebagai penyimpangan dari ortodoksi.
Persoalannya, mungkinkah kriteria ortodoksi tafsir itu didefinisikan dan
dibatasi? Atas dasar apa serta mengapa sebuah teori penafsiran bisa
dikategorikan ortodoks dan bukan heterodoks? Dalam banyak persoalan yang
menjadi fokus perdebatan para ulama tafsir Sunni, pendapat manakah yang
dianggap paling bisa merepresentasikan ortodoksi? Bagaimana mungkin kita
membatasi sebuah teritori yang banyak orang, dengan pendapat masing-masing
yang berbeda-beda, ingin dianggap sebagai bagian darinya?
Berhadapan dengan problem-problem di atas, penelitian ini meyakini
bahwa adalah mungkin untuk membatasi dan mendefinisikan struktur dasar
ortodoksi tafsir seperti pembatasan terhadap ortodoksi Sunni yang dilakukan
oleh, misalnya, Norman Calder dalam artikelnya, “The Limits of Islamic
Orthodoxy”.17 Hanya saja, mesti diupayakan bahwa pembatasan itu, pertama,
16
Ortodoksi adalah sebuah fenomena yang tidak saja terjadi dalam bidang agama, tetapi juga terjadi dalam banyak disiplin keilmuan, seperti bahasa dan historiografi. Lihat Ursula Günther, “Mohammed Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”, dalam Suha Taji-Farouki [ed.], Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 142.
17
bersifat general sekaligus longgar; “general” dalam arti bahwa ia dituntut untuk
mencari prinsip-prinsip yang relatif permanen dan tidak berubah dari masa ke
masa; “longgar” dalam arti bahwa ia tidak dirumuskan berdasarkan asumsi yang
rigid bahwa ortodoksi dibangun sekali dan untuk selamanya serta tidak pula berpretensi untuk menengahi atau mereduksi perdebatan-perdebatan yang
mengemuka dalam kajian tafsir sepanjang beberapa abad lamanya. Kedua, pembatasan itu juga diusahakan untuk lebih bersifat sosiologis daripada
normatif. Artinya, ia digunakan sekedar untuk menjawab pertanyaan mengapa
sebuah teori atau pandangan dalam tafsir diterima oleh komunitas mufassir
sementara teori atau pandangan lain ditolak. Dengan cara yang sama, kriteria
ortodoksi tersebut berfungsi menjadi basis untuk menganalisa mengapa
al-Sya>t}ibi> diapresiasi dengan cara yang berseberangan; di satu sisi, dia dianggap
menyimpang (atau memberi inspirasi kepada orang lain untuk menyimpang) dari
ortodoksi, sementara di sisi lain, pendapat-pendapatnya juga digunakan untuk
mendukung dan menjustifikasi ortodoksi. Ketiga, demi menghindari simplifikasi yang berlebihan, upaya penilaian terhadap prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> akan
dilakukan kepada masing-masing bagiannya untuk menghasilkan kesimpulan
bahwa, misalnya, bagian x dari prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> bertentangan atau
sesuai dengan bagian y dari struktur ortodoksi.
Meminjam teori Norman Calder,18 penelitian ini berpendapat bahwa tidak
ada satu pun karya di bidang tafsir yang bisa dianggap memberi kata akhir bagi
apa yang disebut ortodoksi tafsir Sunni. Karena itu, penelitian ini tidak mencoba
melacak ortodoksi tafsir melalui pandangan atau karya seorang ulama tertentu,
melainkan melalui pembatasan terhadap struktur dasar ortodoksi dengan mana
deviasi dari ortodoksi itu bisa dinilai. Bertolak dari asumsi tersebut, penelitian
ini juga memilih untuk tidak terlalu memusatkan perhatiannya kepada relasi
antara ortodoksi dan pilihan politik penguasa, melainkan kepada proses diskursif
yang berlangsung di antara para ulama tafsir Sunni sendiri. Dan karena belum
ada satu pun literatur yang menguraikan struktur dasar ortodoksi dalam tafsir
18
secara utuh dan sistematis, maka struktur tersebut akan digali, terutama, dari
literatur-literatur tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n19 berdasarkan kerangka teori yang akan diuraikan pada bagian mendatang.
Kategori “Sunni” juga agak sulit dibatasi. Penelitian ini memilih untuk
mendefinisikan Sunni dari luar, yaitu Sunni sebagai sebuah kelompok di luar
kelompok-kelompok Syi‘ah, Muktazilah, dan Khawa>rij. Pendekatan semacam ini
dilakukan juga oleh, misalnya, Wael B. Hallaq dalam karyanya, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh —yang dimaksudnya dengan “Sunni Usul al-Fiqh” adalah us}ul fiqh yang dikembangkan oleh sebuah kelompok mayoritas (Sunni) di luar Syi‘ah.20 Implikasinya, kategori
Sunni dalam penelitian ini digunakan dengan sedikit banyak mengabaikan
varian-varian (teologis) yang terdapat di dalam kelompok Sunni sendiri. Pada
wilayah tafsir, perbedaan antara Asy‘ariyah dan Ma>turi>diyah, untuk menyebut
satu contoh variasi dalam kelompok Sunni, rasanya tidak terlalu signifikan.
Oleh karena yang hendak dicari dalam penelitian ini adalah struktur
ortodoksi yang bersifat relatif mapan dan stabil, maka kategori Sunni dianggap
sebagai sesuatu yang taken for granted, yang telah ada “dengan sendirinya”. Persoalan-persoalan sejarah, seperti tentang kapan dan di mana Sunni beserta
ortodoksi tafsirnya terbentuk, cenderung akan diabaikan. Penelitian ini bahkan
ingin memperlihatkan bahwa dalam kesadaran kolektif kelompok Sunni,
“kebenaran” adalah sesuatu yang bersifat anakronis—tafsir yang “benar” adalah
tafsir yang setia pada aturan-aturan tertentu, dan aturan-aturan tersebut diyakini
telah ada sejak dahulu kala.
Selain itu, terma “ortodoksi tafsir Sunni” menyiratkan bahwa terdapat
juga sejenis ortodoksi tafsir dalam kelompok-kelompok lain. Pandangan Arkoun
dan Calder yang akan diuraikan pada bagian mendatang menguatkan asumsi ini.
19 Literatur-literatur tafsir dan ‘ulu>m al-Qur
`a>n juga meliputi karya-karya tentang “heresiografi”, perdebatan, serta tipologi tafsir (seperti al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah fi> Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m, Ikhtila>f al-Mufassiri>n: Asba>buhu> wa D{awa>bit}uhu>, Madza>hib al-Mufassiri>n, dan lain-lain), serta karya-karya tentang kaidah dan aturan tafsir (seperti al-Qawa>‘id al-H{isa>n li Tafsi>r al-Qur`a>n, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu>, dan lain-lain).
20
Tetapi pemetaan struktur dasar ortodoksi tafsir yang akan dilakukan pada bagian
mendatang itu, pada dasarnya, bisa digunakan untuk melakukan penilaian secara
internal maupun eksternal, bagi mufassir Sunni sendiri maupun bagi mufassir
non-Sunni. Seorang mufassir Sunni bisa saja memiliki pandangan tertentu yang berseberangan dengan ortodoksi Sunni. Karena itu, perdebatan tentang status
al-Sya>t}ibi> —apakah dia merupakan bagian dari kelompok Sunni atau tidak?—21
tidak membuat penelitian ini menjadi kehilangan signifikansinya.
Selanjutnya, dalam hubungannya dengan dua model apresiasi yang
berbeda terhadap al-Sya>t}ibi> di atas, penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa
prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi> tidak menyimpang dari
prinsip-prinsip tafsir ortodoks dalam tradisi Sunni. Artinya, penelitian ini meyakini
bahwa proses interpetasi al-Qur`an yang sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip
tafsir al-Sya>t}ibi> tidak akan menghasilkan pemahaman yang menyimpang secara
radikal dari penafsiran para ulama Sunni ortodoks. Lebih jauh lagi, penelitian ini
juga menduga bahwa perbedaan apresiasi terhadap al-Sya>t}ibi> diakibatkan oleh,
salah satunya, proses tarik-menarik antara keinginan untuk menggugat ortodoksi,
di satu sisi, dan hasrat untuk mempertahankannya di sisi yang lain.
B. Permasalahan
1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari dasar pemikiran di atas, dapat diidentifikasi
permasalahan-permasalahan berikut ini.
a. Meski dikenal sebagai tokoh dalam tradisi us}ul fiqh, al-Sya>t}ibi> juga
merumuskan prinsip-prinsip tafsir al-Qur`an yang dapat dielaborasi dari
karya-karyanya. Prinsip-prinsip tafsir seperti apakah yang dapat
dirumuskan dari karya-karya al-Sya>t}ibi> itu?
21
b. Di sisi lain, para ulama tafsir Sunni juga telah merumuskan prinsip-prinsip
tafsir, yang kemudian menjadi ortodoks, dalam karya-karya mereka.
Kriteria apa sajakah yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni
itu?
c. Bagaimana menilai prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi>
berdasarkan struktur dasar ortodoksi tersebut?
d. Al-Sya>t}ibi> merupakan sosok yang kontroversial. Di satu sisi, ia dianggap
menggariskan sebuah proyek revolusioner yang, bila berhasil diberlakukan,
akan merombak cara berpikir umat Islam dalam berhadapan dengan
teks-teks keagamaan. Tetapi di sisi lain, al-Sya>t}ibi> juga dianggap sebagai sosok
yang sepenuhnya bagian dari tradisi ortodoksi Sunni. Bagaimana
representasi al-Sya>t}ibi> menurut dua persepektif ini?
e. Al-Sya>t}ibi> dianggap sebagai tokoh yang memberikan inspirasi bagi banyak
pemikir muslim modern dalam merumuskan hukum yang lebih akomodatif
terhadap realitas sosial. Bagaimana pengaruh al-Sya>t}ibi> terhadap
perumusan konsep-konsep tafsir dan penafsiran ayat-ayat hukum di masa
modern?
f. Bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan
al-Sya>t}ibi> ke dalam penafsiran al-Qur`an yang sesungguhnya?
Dari sekian banyak permasalahan yang bisa diidentifikasi di atas,
penelitian ini memusatkan perhatiannya kepada empat poin pertama (a, b, c, dan
d). Dengan kata lain, penelitian ini akan menguraikan prinsip-prinsip tafsir
menurut al-Sya>t}ibi>, memetakan struktur dasar ortodoksi tafsir dalam tradisi
Sunni, membandingkan keduanya, untuk kemudian melakukan penilaian terhadap
pemikiran al-Sya>t}ibi> berdasarkan komparasi tersebut. Hasil penilaian itu akan
dibawa ke dalam konteks yang lebih luas untuk melakukan analisis singkat
tentang apresiasi terhadap al-Sya>t}ibi> dalam dua perspektif yang bertolak
belakang. Pengaruh al-Sya>t}ibi> terhadap para pemikir muslim modern (poin e)
serta aplikasi nyata dari prinsip-prinsip tafsirnya (poin f) adalah dua hal yang
prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> dan kriteria ortodoksi Sunni sehingga, karenanya, tidak
akan menjadi fokus perhatian utama dalam penelitian ini.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan
umum penelitian sebagai berikut: Apakah prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan
oleh al-Sya>t}ibi> bertentangan dengan kriteria ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni?
Dari pertanyaan umum tersebut, dapat dikembangkan
pertanyaan-pertanyaan khusus berikut ini.
a. Apa sajakah prinsip-prinsip tafsir menurut al-Sya>t}ibi>?
b. Kriteria apakah yang menjadi struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni?
c. Di manakah posisi prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> dalam struktur dasar
ortodoksi tersebut? Menyimpangkah ia?
C. Survei Literatur
Sejauh ini, belum ditemukan sebuah monograf tunggal yang mencoba
merumuskan prinsip-prinsip tafsir al-Qur`an dari karya-karya al-Sya>t}ibi> dan
membandingkannya dengan kriteria ortodoksi tafsir kelompok Sunni. Kajian atas
pemikiran al-Sya>t}ibi> sendiri banyak dilakukan dalam bingkai us}ul fiqh dan
yurisprudensi Islam, seperti oleh ‘Abd al-Rah}ma>n Ibra>hi>m al-Kayla>ni>,22
H{amma>di al-‘Ubaydi>,23 Muhammad Khalid Masud,24 Asafri Jaya Bakri,25
Duski26, Khotib,27 dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula penelitian yang
22
‘Abd al-Rah}ma>n Ibra>hi>m al-Kayla>ni>, Qawa>‘id al-Maqa>s}id ‘Inda al-Ima>m al-Sya>t}ibi> ‘Ard}an wa Dira>satan wa Tah}li>lan (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2000).
23
H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah al-Isla>miyyah, 1992)
24
Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi>’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989)
25
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syatibi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996).
26
Duski, “Metode Penetapan Hukum Islam Menurut asy-Syatibi: Suatu Kajian tentang Konsep al-Istiqrâ` al-Ma‘nawî” (Disertasi pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,
membawa pemikiran al-Sya>t}ibi> keluar dari wilayah us}ul fiqh dan yurisprudensi
Islam, seperti karya Hamka Haq (tentang aspek teologis),28 karya Salimul Jihad
(tentang nilai-nilai akhlak),29 serta karya Asep Saepudin Jahar (tentang konsep
bid‘ah).30 Tentu saja literatur-literatur tersebut tidak memusatkan perhatiannya
kepada ilmu tafsir serta tidak berupaya menguraikan prinsip-prinsip tafsir
al-Qur`an menurut al-Sya>t}ibi> seperti apa yang coba dilakukan oleh penelitian ini.
Kajian terhadap pemikiran al-Sya>t}ibi> di bidang tafsir dilakukan,
setidaknya, dalam tiga tulisan berikut ini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Irwan dengan judul “Tafsir bi al-‘Ilmi dalam Perspektif al-Syathibi”. Irwan
menyatakan bahwa al-Sya>t}ibi> menolak tafsir bi al-‘ilmi>(istilah yang lebih tepat, sebetulnya, adalah “al-tafsi>r al-‘ilmi>”) dengan alasan bahwa al-Qur`an diturunkan
kepada bangsa Arab yang ummi>, yang tidak mengenal konsep-konsep saintifik. Karena itu, setiap penafsiran yang mencoba melampaui konteks ke-ummi>-an bangsa Arab saat al-Qur`an diturunkan, termasuk tafsir bi al-‘ilmi>, jelas tidak
dapat diterima.31 Sebagaimana tampak dari uraian di atas, penelitian Irwan ini
hanya memfokuskan perhatiannya kepada salah satu bagian kecil dari
prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi>.
Kedua, tulisan Wael B. Hallaq yang berjudul “The Primacy of the Qur`a>n
in Sha>t}ibi>’s Legal Theory”. Sebagaimana tercantum dalam judul tulisan tersebut,
Hallaq menegaskan posisi sentral al-Qur`an dalam pemikiran al-Sya>t}ibi>. Itu
27
Khotib, “Pemikiran Hukum Syatibi: Studi tentang Metodologi” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1997).
28
Karya yang berjudul “Aspek-aspek Teologis dalam Konsep Maslahat menurut al-Syatibi Sebagaimana Terdapat dalam al-Muwâfaqât” ini semula merupakan disertasi pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 1990, dan telah diterbitkan dengan judul Al-Syâthibî: Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat (Jakarta: Erlangga, 2007).
29 Salimul Jihad, “Nilai-nilai Akhlak dan Maqâshid al-Syarî‘ah: Tinjauan Pemikiran
Imam Abu Ishaq al-Syatibi dalam Kitab al-Muwâfaqât” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2000).
30
Asep Saepudin Jahar, “Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi>’s Reformulation of the Concept of Bid‘a: A Study of His al-I‘tis}a>m” (Tesis pada Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada, 1999).
31
terlihat dalam asumsi yang dikembangkan al-Sya>t}ibi> bahwa al-Qur`an merupakan
satu keseluruhan yang integral dan mencakup seluruh basis bagi ajaran-ajaran
Islam. Hallaq tampaknya hendak membawa argumen ini ke arah kesimpulan
bahwa al-Sya>t}ibi> membuat status Sunnah Nabi turun menjadi sesuatu yang
sekunder dibandingkan al-Qur`an. Selain itu, perbedaan tulisan Hallaq dengan
penelitian yang akan penulis lakukan ini juga terletak pada proses dan hasil
komparasi. Hallaq membandingkan pemikiran al-Sya>t}ibi> dengan pemikiran para
ulama us}ul fiqh, seperti al-Gaza>li> dan al-A<midi>,32 sementara penelitian ini
mencoba melakukan komparasi antara al-Sya>t}ibi> dengan para ulama tafsir.
Ketiga, tulisan S{a>lih{ Qadi>r Zanki> yang berjudul “Qawa>‘id fi> Tafsi>r al-Nas}s} al-Syar‘i> ‘inda al-Ima>m al-Sya>t}ibi>”.33 Dalam makalahnya itu, S{a>lih{ Qadi>r
Zanki> menyebutkan lima belas kaidah tafsir yang dapat diinferensikan dari kitab
al-Muwa>faqa>t, karya al-Sya>t}ibi>, seperti bahwa al-Qur`an harus ditafsirkan sesuai
dengan pemahaman dan kebiasaan bangsa Arab, bahwa satu-satunya tujuan tafsir
adalah memahami maksud al-Qur`an sehingga apa pun yang melampaui tujuan
tersebut dapat dianggap berlebihan, bahwa tafsir harus memiliki persentuhan
dengan sisi praktis kehidupan, bahwa tafsir harus mempertimbangkan maqa>s}id al-syari>‘ah dalam menjelaskan indikasi lafal dan menjembatani pertentangan antar dalil, bahwa tafsir tidak boleh bertentangan dengan sesuatu yang qat}‘i>, dan sebagainya.34 Karena ditulis dalam format makalah yang singkat, tulisan S{a>lih{
Qadi>r Zanki> ini terasa kurang elaboratif dan lebih banyak berurusan dengan
kaidah-kaidah terapan dalam tafsir. Selain itu, tidak seperti penelitian yang
penulis lakukan ini, S{a>lih{ Qadi>r Zanki> juga tidak secara sengaja mempertautkan
kaidah-kaidah tafsir al-Sya>t}ibi> itu dengan konstruk ortodoksi tafsir dalam tradisi
Sunni.
32
Wael B. Hallaq, “The Primacy of the Qur`a>n in Sha>t}ibi>’s Legal Theory”, hlm. 71.
33
Tulisan ini merupakan makalah yang dipresentasikan dalam muktamar tentang Mana>hij Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m wa Syarh} al-H{adi>ts al-Syari>f di International Islamic University Malaysia, 17-18 Juli 2006.
34
Di luar literatur-literatur di atas, perlu juga disebut sebuah penelitian
yang mencoba mengkaji secara kritis penggunaan metode induksi dalam konsep
maslahat al-Sya>t}ibi>. Penelitian tersebut ditulis oleh Junaidi Lubis dengan judul
“Induksi Sebagai Metodologi Pengambilan Hukum Islam: Kritik terhadap Abu
Ishak al-Syathibi dalam Konsep Maslahatnya”.35 Meski kritik-kritik dalam
penelitian Junaidi itu ditujukan kepada metode induksi yang digunakan dalam
perumusan hukum Islam, namun substansi kritik-kritik tersebut dapat pula
bermanfaat bagi pengujian metode induksi dalam tafsir.
Di sisi lain, prinsip-prinsip tafsir mencakup wilayah literatur yang sangat
luas. Hampir seluruh karya tentang tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n mengandung pembahasan tentang prinsip-prinsip tertentu yang harus dipatuhi dalam
melakukan penafsiran al-Qur`an. Hanya saja, belakangan muncul karya-karya
yang mencoba mengkaji kaidah-kaidah tafsir secara komprehensif, seperti apa
yang ditulis oleh ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Na>s}ir al-Sa‘di>,36 Kha>lid ‘Abd al-Rah{ma>n
al-‘Akk,37 Kha>lid ibn ‘Utsma>n al-Sabt,38 dan ‘Abd al-Ha>di> al-Fad{li>.39 Berbeda
dengan literatur-literatur di atas yang mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir tanpa
mengaitkannya dengan tokoh tertentu, prinsip-prinsip tafsir yang akan diuraikan
dalam penelitian ini dibatasi oleh obyek kajiannya, yaitu pemikiran dan
karya-karya al-Sya>t}ibi>. Selain itu, penelitian ini juga mencoba membawa konsep
tentang prinsip-prinsip tafsir tersebut kepada persoalan-persoalan yang lebih
mendasar, seperti asumsi, pra-anggapan, serta motif al-Sya>t}ibi> dalam
merumuskan teorinya.
35
Junaidi Lubis, “Induksi Sebagai Metodologi Pengambilan Hukum Islam: Kritik terhadap Abu Ishak al-Syathibi dalam Konsep Maslahatnya” (tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1998).
36
‘Abd al-Rah}ma>n ibn Na>s}ir al-Sa‘di>, al-Qawa>‘id al-H{isa>n li Tafsi>r al-Qur`a>n (Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a> rif, 1980).
37
Kha>lid ‘Abd al-Rah{ma>n al-‘Akk, Us}u>l al-Tafsi>r wa Qawa>‘iduhu> (Beirut: Da>r al-Nafa>`is, cet. 2, 1986).
38
Kha>lid ibn ‘Utsma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r Jam‘an wa Dira>satan (Kairo: Da>r Ibn ‘Affa>n, 1421 H.).
39
Sepanjang pengamatan penulis, belum ada sebuah tulisan yang mengkaji
ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni. Artikel Norman Calder yang berjudul “The
Limits of Islamic Orthodoxy”40 memusatkan perhatiannya kepada ortodoksi
Sunni secara umum dan tidak secara spesifik mengaitkannya dengan kajian tafsir.
Meski demikian, artikel Calder itu harus disebut secara khusus karena darinya
penelitian ini meminjam dan memodifikasi beberapa konsep penting mengenai
struktur dasar ortodoksi tafsir Sunni sebagaimana akan diuraikan pada bagian
mendatang.
Tulisan lain adalah karya Ursula Günther yang berjudul “Mohammed
Arkoun: towards a radical rethinking of Islamic thought”. Dalam artikel tersebut,
Günther menunjukkan bahwa Mohammed Arkoun menulis kajian teoretis yang
sangat penting tentang ortodoksi. Artikel ini berupaya melakukan sistematisasi
terhadap konsep Arkoun mengenai ortodoksi serta menghubungkannya dengan
studi-studi Islam (Islamic studies) —sesuatu yang cukup relevan dengan tujuan penelitian ini.41 Namun, seperti akan diungkapkan nanti, penelitian ini
memutuskan untuk mendekati persoalan ortodoksi tafsir melalui perspektif yang
sedikit berbeda dari perspektif yang digunakan Arkoun.
Berdasarkan survei terhadap literatur-literatur tersebut, dapat dinyatakan
bahwa penelitian ini mencoba mengisi ruang kosong dalam kajian-kajian tafsir
guna melengkapi penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya. Penelitian
ini mencoba mengelaborasi prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan oleh al-Sya>t}ibi>
untuk kemudian melakukan penilaian atasnya berdasarkan parameter ortodoksi
tafsir Sunni.
40
Norman Calder, “The Limits of Islamic Orthodoxy”, dalam Farhad Daftary [ed.], Intellectual Traditions in Islam (London: I.B. Tauris, 2000).
41
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diarahkan untuk mencapai dua tujuan berikut.
a. Menguraikan prinsip-prinsip tafsir dari karya-karya al-Sya>t}ibi> dan melakukan
penilaian terhadapnya berdasarkan kriteria ortodoksi Sunni.
b. Membuktikan bahwa prinsip-prinsip tafsir yang dirumuskan al-Sya>t}ibi>
selaras, atau —setidaknya— tidak bertentangan, dengan kriteria ortodoksi
Sunni tersebut.
2. Signifikansi Penelitian
Karena penelitian ini terutama berurusan dengan prinsip-prinsip mendasar
dalam kajian tafsir, maka ia diharapkan membangkitkan perhatian kepada upaya
mengkaji bagian yang fundamental dari struktur pemikiran dalam disiplin
keilmuan tafsir al-Qur`an. Secara lebih luas, penelitian ini juga ingin
menjernihkan persoalan tentang konsep atau asumsi tafsir yang “absah” dan yang
“tidak absah” untuk dinisbatkan kepada al-Sya>t}ibi>.
Di luar itu semua, penelitian ini secara khusus berharap bisa
menyumbangkan sebuah pola pandang alternatif dalam membaca relasi antara
ortodoksi dan deviasi dalam kajian-kajian tafsir serta ‘ulu>m al-Qur`a>n.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research). Data-data penelitian ini sepenuhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka tertulis yang berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah, jurnal
ilmiah, atau literatur-literatur lain. Sumber data primernya adalah dua buku
karya al-Sya>t}ibi>, yaitu al-Muwa>faqa>t dan al-I‘tis}a>m. Dua buku ini dipilih, selain karena memang hanya ada tiga karya al-Sya>t}ibi> yang telah dicetak (satu lagi
dari seluruh pemikiran al-Sya>t}ibi>.42 Sedangkan data-data sekunder akan digali
dari sumber-sumber dalam empat kategori berikut. Pertama, literatur-literatur tentang al-Sya>t}ibi>, terutama yang mengkaji pemikirannya tentang penafsiran
al-Qur`an. Kedua, kajian-kajian tafsir dan ‘ulu>m al-Qur`a>n. Ketiga, karya-karya
tentang ortodoksi Islam. Keempat, literatur-literatur lain yang relevan, seperti tentang fiqh, us}ul fiqh, metodologi penelitian, sejarah Islam, ilmu bahasa,
ensiklopedi biografis (kutub al-rija>l wa al-t}abaqa>t), dan sebagainya.
Dengan data penelitian yang tersebar di banyak literatur, penelitian ini
menggunakan teknik pengumpulan data dokumenter43 atau teknik elisitasi
dokumen.44 Dengan teknik tersebut, setiap keping informasi akan diperlakukan
sebagai bernilai sama untuk kemudian diklasifikasi, diuji, dan diperbandingkan
satu sama lain.
2. Pendekatan Masalah
Karena penelitian ini hendak menguraikan prinsip-prinsip tafsir dari
karya-karya al-Sya>t}ibi> lalu melakukan penilaian atasnya berdasarkan kriteria ortodoksi tafsir
dalam kelompok Sunni, maka ia menggunakan pendekatan struktural dalam kerangka
yang bersifat historis dan komparatif.
Pendekatan struktural berangkat dari asumsi bahwa suatu pemikiran
merupakan sebuah struktur yang otonom dan dapat dipahami melalui relasi antar
unsur-unsurnya.45 Dengan pendekatan tersebut, karya-karya al-Sya>t}ibi> akan
42
Seluruh karya dan proyek intelektual al-Sya>t}ibi> berporos pada dua kategori: ‘ulu>m al-wasa>`il dan ‘ulu>m al-maqa>s}id. Kategori kedua adalah tujuan intelektual al-Sya>t}ibi>. Dan dalam kategori kedua inilah al-Muwa>faqa>t serta al-I‘tis}a>m terletak. Lihat H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah, hlm. 97.
43
Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dari sumber-sumber tertulis. Lihat Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, cet. 12, 2002), hlm. 206.
44 Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 73.
45
dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terstruktur, dengan
substruktur-substruktur yang saling berhubungan, melalui mana prinsip-prinsip tafsir yang
dirumuskannya akan dielaborasi.
Akan tetapi, pendekatan struktural murni juga memiliki kelemahan. Ia
cenderung melepaskan teks dari latar belakang sejarahnya serta mengasingkannya dari
relevansi sosial dan budayanya.46 Karena itu, pendekatan struktural dalam penelitian
ini diletakkan dalam kerangka yang bersifat historis dan komparatif—“historis”
karena penelitian ini juga mengkaji kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan
intelektual yang memengaruhi pemikiran al-Sya>t}ibi>, dan “komparatif” karena ia
mencoba membandingkan pemikiran al-Sya>t}ibi> itu dengan kriteria ortodoksi tafsir
dalam tradisi Sunni.
3. Langkah-langkah Operasional Penelitian dan Sistematika Pembahasan
Penelitian disusun dengan berpedoman pada langkah-langkah operasional
berikut ini.
a. Menentukan dasar pemikiran, fokus kajian, asumsi-asumsi, kerangka teoretis,
pendekatan, metode, serta langkah-langkah operasional sebagai pedoman
penelitian. Semua ini akan dikemukakan pada bab I.
b. Menguraikan biografi al-Sya>t}ibi> sebagai sosok intelektual muslim
kontroversial berikut kondisi-kondisi psikologis, sosial, politik, dan
intelektual yang memengaruhi pemikirannya (bab II). Bagian ini juga akan
melihat posisi al-Sya>t}ibi> dalam kajian-kajian tafsir. Dan karena al-Sya>t}ibi>
tidak bisa dilepaskan dari sejarah perumusan maqa>s}id al-syari>‘ah—sesuatu yang turut membentuk sisi-sisi kontroversial dari pribadi serta pemikirannya,
maka salah satu sub dari bagian ini juga akan diperuntukkan bagi uraian
singkat mengenai hubungan antara al-Sya>t}ibi> dan konsep tersebut.
c. Merumuskan prinsip-prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> melalui tiga kategori. Pertama, asumsi dan pra-anggapan tentang al-Qur`an yang meliputi pembahasan
Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, cet. 2, 2004), hlm. 45-46.
46
mengenai status al-Qur`an sebagai kulliyyah al-syari>‘ah, status al-Qur`an
sebagai sebuah kitab berbahasa Arab, serta status al-Qur`an sebagai sebuah
kitab yang diturunkan kepada Rasul yang ummi>dan di tengah-tengah bangsa yang ummi>pula. Kedua, kajian tentang metode tafsir yang akan difokuskan untuk mengelaborasi prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an.
Bagian ini mencakup konsep-konsep makki>-madani> dan muh} kam-mutasya>bih, teknik menjembatani ayat-ayat yang terkesan kontradiktif, serta kaitan antara al-Sya>t}ibi> dengan metode tafsir mawd}u>‘i>. Ketiga, kajian tentang sumber pengetahuan dalam tafsir yang meliputi tafsir bi al-ma`tsu>r
dan tafsir bi al-ra`y. Semua itu akan mengisi uraian pada bab III.
d. Melakukan penilaian dan generalisasi (bab IV). Langkah operasional ini
meliputi tiga hal berikut. Pertama, merumuskan struktur dasar ortodoksi tafsir dalam tradisi Sunni. Kedua, melakukan penilaian terhadap masing-masing prinsip tafsir al-Sya>t}ibi> melalui kriteria ortodoksi di atas. Ketiga, menganalisa apresiasi terhadap al-Sya>t}ibi> dalam dua perspektif yang
berlawanan.
e. Menarik kesimpulan dan memberikan rekomendasi berdasarkan apa yang
BAB II
AL-SYA<
T{
IBI<
:
PEMIKIR MUSLIM KONTROVERSIAL DARI ANDALUSIA
A. Biografi, Profil Intelektual, dan Karya-karya al-Sya>t}ibi>
Al-Sya>t}ibi> adalah pemikir muslim abad ke-8 H./14 M. dari Andalusia,
sebuah wilayah di semenanjung Iberia yang saat ini merupakan bagian dari
negara Spanyol dan Portugal.1 Nama lengkapnya adalah Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn
Mu>sa> ibn Muh}ammad al-Lakhmi> al-Garna>t}i> al-Sya>t}ibi>.2 Berdasarkan namanya
itu, para sejarahwan menduga bahwa dia berasal dari keturunan keluarga bersuku
Arab, Lakhm,3 yang hidup di Sya>t}ibah (Xativa atau Jativa), sebuah kota di
sebelah selatan Valencia yang dikenal sebagai penghasil kertas di Spanyol Abad
Pertengahan.4
Tidak ada keterangan pasti tentang kapan dan di mana al-Sya>t}ibi>
dilahirkan.5 Meski menisbatkan namanya kepada kota Sya>t}ibah, al-Sya>t}ibi>
1
L. Torres Balbás dan G.S. Colin, “Al-Andalus”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003)
2
Khayr al-Di>n al-Zirikli>, Al-A‘la>m: Qa>mu>s Tara>jim li Asyhar al-Rija>l wa al-Nisa>` min al-‘Arab wa al-Musta‘ribi>n wa al-Mustasyriqi>n, vol. 1 (Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, cet. 9, 1990), hlm. 75. Bandingkan dengan ‘Umar Rid}a Kah{h{a>lah, Mu‘jam al-Mu`allifi>n: Tara>jim Mus}annifi> al-Kutub al-‘Arabiyyah, vol. 1 (Beirut: Da>r Ih}ya>` al-Tura>ts al-‘Arabi>, 1957), hlm. 118.
3
Untuk informasi lebih jauh tentang Bani Lakhm, lihat H. Lammens dan Irfan Shahid, “Lakhm”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam,WebCD Edition.
4
Dari segi perkembangan kehidupan intelektual, kota Sya>t}ibah mencapai puncak keemasannya pada abad 6 H./12 M.. Beberapa karya ensiklopedi biografis menyebut kurang lebih 121 nama ulama abad 6 H. yang berasal dari Sya>t}ibah, termasuk Abu> al-Qa>sim ibn Firruh ibn Khalaf al-Sya>t}ibi> (w. 590 H./1194 M.), seorang ulama qira>`ah yang terkenal. Lihat Manuela Marín, “Sha>t}iba”, dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition.
5
Muh{ammad Abu> al-Ajfa>n menduga bahwa al-Sya>t}ibi> lahir sebelum tahun 720 H. dengan alasan karena guru pertamanya, Abu> Ja‘far Ah{mad ibn al-Zayya>t, meninggal pada tahun 728 H.. Namun dugaan ini ditolak oleh H{amma>di> al-‘Ubaydi> karena Abu> Ja‘far sebetulnya tidak pernah menjadi guru al-Sya>t}ibi>. H{amma>di> menduga bahwa al-Sya>t}ibi> lahir sekitar tahun 730-an H.. Lihat H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah (Tripoli: Kulliyyah al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1992), hlm. 12-13.
tampaknya tidak lahir di kota tersebut,6 melainkan di Granada (Garna>t}ah). Karena itu, dia menyebut dirinya “al-Garna>ti>”. Selanjutnya, di sepanjang masa
hidupnya, al-Sya>t}ibi> sama sekali tidak pernah meninggalkan Granada.7
Al-Sya>t}ibi> memulai proses intelektualnya dengan belajar ilmu-ilmu
bahasa Arab dan qira>`a>t kepada Abu ‘Abdilla>h Muh}ammad ibn al-Fakhkha>r al-Bi>ri> yang dikenal dengan julukan “syaykh al-nuh}h}a>h” di Andalusia.8 Saat itu, al-Sya>t}ibi> kecil telah menunjukkan kemampuannya untuk memahami
persoalan-persoalan linguistik yang sangat sulit dipahami oleh anak-anak seusianya—
sesuatu yang kerap membuat Ibn al-Fakhkha>r takjub.9 Guru pertama al-Sya>t}ibi>
ini meninggal dunia pada akhir tahun 756 H. atau awal tahun 757 H..10 Dan
hingga beberapa tahun berikutnya, al-Sya>t}ibi> terus merasa sangat kehilangan
sosok guru yang dicintainya itu.11
Saat Ibn al-Fakhkha>r masih hidup, al-Sya>t}ibi> juga belajar ilmu fiqh dan
bahasa Arab kepada Abu> Sa‘i>d Faraj ibn Qa>sim ibn Ah}mad ibn Lubb al-Garna>t}i>
(w. 782 H.), seorang mufti Andalus dan pengajar di Madrasah al-Nas}riyyah yang
juga ahli di bidang syair serta bahasa Arab. Al-Sya>t}ibi> berutang kepada Ibn Lubb,
6
Pada tahun 645 H./1248 M., seluruh penduduk muslim kota Sya>t}ibah terusir dari kota tersebut menyusul invasi pasukan Kristen yang dipimpin oleh Raja James I. Lihat Manuela Marín, “Sha>t}iba” dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition. Al-Syatibi sendiri meninggal dunia pada tahun 790 H./1388 M., atau 140 tahun setelah invasi pasukan Kristen tersebut. Berdasarkan hal itu, terdapat indikasi yang kuat bahwa tempat lahir al-Sya>t}ibi> bukan di Sya>t}ibah.
7
Tampaknya, ini terjadi karena al-Sya>t}ibi> tidak memiliki cukup harta untuk membiayai perjalanan ke luar Granada. Lihat H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah, hlm. 13. Di sisi lain, proses intelektual al-Sya>t}ibi> yang sepenuhnya dijalani di Granada itu menyiratkan bahwa, pada abad 8 H., tradisi keilmuan di kota tersebut telah berkembang pesat sedemikian rupa hingga tingkat di mana seseorang tidak perlu lagi pergi ke luar untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional.
8 Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu> Ish}a>q
al-Sha>t}ibi>’s Life and Thought (Delhi: International Islamic Publishers, 1989), hlm. 99.
9
H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah, hlm. 13.
10
Sebagian literatur menyebut tahun 754 H. sebagai tahun wafat Ibn al-Fakhkha>r. Tetapi, berdasarkan kutipan pernyataan al-Sya>t}ibi> sendiri, H{amma>di> memperkirakan bahwa Ibn al-Fakhkha>r meninggal dunia pada akhir tahun 756 H. atau awal tahun 757 H. Lihat H{amma>di> al-‘Ubaydi>, Al-Sya>t}ibi> wa Maqa>s}id al-Syari>‘ah, hlm. 66.
11