BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<
B. Metode Tafsir al-Qur ` an
5. Muh} kam-Mutasya> bih dan Takwil
Landasan tekstual dari seluruh perdebatan tentang muh}kam dan
mutasya>bih dalam al-Qur`an adalah ayat, “Dialah yang menurunkan Kitab (al-
Qur`an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muh}kama>t,
itulah pokok-pokok Kitab (ummul-kita>b) dan yang lain [adalah] mutasya>biha>t.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka
mengikuti yang mutasya>biha>t untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, ‘Kami beriman kepadanya (al-
Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami’. Tidak ada yang dapat mengambil
pelajaran kecuali orang yang berakal.” (A<l ‘Imra>n [3]: 7). Dengan mengutip Ibn
Ish}a>q, al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa ayat ini turun ketika para utusan dari Najra>n mendatangi Rasulullah saw.. Mereka adalah pemeluk-pemeluk agama Nasrani. Meski demikian, mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang status Nabi ‘I<sa>. Sebagian dari mereka menganggap ‘I<sa> sebagai tuhan karena dia bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, mengabarkan hal-hal gaib, serta menciptakan makhluk sejenis burung dari tanah liat. Sebagian yang lain menganggap ‘I<sa> sebagai anak tuhan lantaran dia lahir tanpa ayah dan mampu berbicara saat dia masih bayi—dua hal yang tidak mungkin dimiliki dan dilakukan oleh manusia biasa. Sebagian lainnya menganggap ‘I<sa> sebagai salah satu dari trinitas (ts>alits tsala>tsah) karena Allah sendiri sering menggunakan kata ganti plural (fa‘alna>, amarna>, khalaqna>, qad}ayna>, dan lain sebagainya) untuk menunjuk diri-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa Allah tidak sendirian, melainkan bersama Maryam dan ‘I<sa>. Maka, untuk menyangkal argumen-argumen mereka itu, Allah pun menurunkan ayat 1 hingga ayat 64 dari surah A<l ‘Imra>n.188
188
Kategori muh}kam, menurut al-Sya>t}ibi>, digunakan dalam dua pengertian: khusus dan umum. Dalam pengertiannya yang khusus, muh}kam adalah ayat al- Qur`an yang tidak di-naskh. Sedangkan dalam pengertiannya yang umum, muh}kam adalah ayat al-Qur`an yang terang dan jelas (al-bayyin al-wa>d}ih})
sehingga tidak lagi memerlukan penjelasan dari sesuatu selainnya. Secara berlawanan, dua pengertian umum dan khusus di atas biasa juga digunakan untuk mendefinisikan mutasya>bih. Dalam pengertiannya yang khusus, mutasya>bih
adalah ayat yang di-naskh; sementara dalam pengertiannya yang umum,
mutasya>bih adalah ayat yang maksudnya tidak dapat dipahami melalui lafaznya,
baik yang kemudian bisa dipahami melalui pengkajian dan perenungan maupun yang sama sekali tidak mungkin dipahami.189
Para mufassir, menurut al-Sya>t}ibi>, memahami muh}kam dan mutasya>bih
dalam pengertiannya yang umum. Pengertian itu pula yang tersirat dalam sabda Rasulullah saw., “al-h}ala>l bayyin, wa al-h}ara>m bayyin, wa baynahuma> umu>r
musytabiha>t”.190 Yang “bayyin” itu adalah muh}kam, sementara yang
“musytabiha>t” itu adalah mutasya>bih.191 Tetapi al-Sya>t}ibi> membagi lagi
mutasya>bih dalam pengertiannya yang umum ke dalam dua kategori: tasya>buh
yang bersifat h}aqi>qi> dan tasya>buh yang bersifat id}a>fi>. Sebuah ayat disebut
189
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 63. McAuliffe mengemukakan analisis menarik tentang pola identifikasi muh}kam-mutasya>bih di kalangan para mufassir. Menurutnya, para mufassir hingga masa al-T{abari> cenderung mengidentifikasi konsep muh}kam-mutasya>bih dalam pola yang bersifat taksonomis, yakni sekedar sebagai sarana untuk melakukan klasifikasi atas jenis ayat-ayat al-Qur`an. Setelah al-T{abari>, pergeseran terjadi ke arah yang lebih hermeneutis. Konsep muh}kam-mutasya>bih mulai dikaitkan dengan kemungkinan penafsiran (interpretability) ayat-ayat al-Qur`an. Lihat Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”, hlm. 58-59. Dari perspektif ini, al-Sya>t}ibi> dapat dianggap mengidentifikasi konsep muh}kam-mutasya>bih melalui dua pola di atas, meski pusat perhatiannya lebih pada pola yang kedua. Muh}kam-mutasya>bih dalam pengertiannya yang khusus menunjukkan pola identifikasi yang bersifat taksonomis; sementara dalam pengertiannya yang umum, ia merujuk kepada pola identifikasi yang bersifat hermeneutis.
190
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukha>ri> dalam S}ah}ih}-nya, Kita>b al-I<ma>n, nomer 50 dan Kita>b al-Buyu>‘, nomer 1910; Muslim dalam S}ah}ih}-nya, Kita>b al-Musa>qa>h, nomer 2996; al- Tirmidzi> dalam Sunan-nya, Kita>b al-Buyu>‘, nomer 1126; al-Nasa>`i> dalam Sunan-nya, Kita>b al- Buyu>‘, nomer 4377 dan Kita>b al-Asyribah, nomer 5614; Abu> Da>wu>d dalam Sunan-nya, Kita>b al- Buyu>‘, nomer 2892; Ibn Ma>jah dalam Sunan-nya, Kita>b al-Fitan, nomer 3974; Ah}mad dalam Musnad-nya, bab Awwal Musnad al-Ku>fiyyi>n, nomer 17624, 17645, 17649, 17658, dan 17692; seluruhnya melalui jalur periwayatan al-Nu‘ma>n ibn Basyi>r.
191
mengandung tasya>buh h}aqi>qi>apabila ia memang sama sekali tidak mungkin dipahami maknanya. Tetapi jika ketidakjelasan ayat tersebut tidak terletak pada dirinya sendiri, melainkan pada diri sang mufassir, baik karena kurangnya kapasitas keilmuan maupun karena dorongan hawa nafsu, maka tasya>buh itu bersifat id}a>fi>. Menurut al-Sya>t}ibi>, maksud “mutasya>biha>t” dalam ayat 7 dari surah A<l ‘Imra>n di atas, pada dasarnya, adalah ayat-ayat yang mengandung
tasya>buh h}aqi>qi>. Tetapi ia bisa juga mencakup pengertian tasya>buh id}a>fi> lantaran
tasya>buh id}a>fi> itu kerap muncul dari kalangan “orang-orang yang dalam hatinya
condong pada kesesatan,” yang mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t demi tujuan
“mencari-cari fitnah dan mencari-cari takwilnya”.192
“Orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan—alladzi>na fi>
qulu>bihim zayg” itu adalah salah satu dari dua kelompok yang disebut oleh al-
Qur`an dalam hubungannya dengan ayat-ayat mutasya>biha>t. Kelompok lainnya
adalah “orang-orang yang ilmunya mendalam—al-ra>sikhu>n fil-‘ilm”. Kelompok pertama, menurut al-Sya>t}ibi>, memiliki dua ciri: pertama, memiliki hati yang “condong kepada kesesatan” dan cenderung mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t
bukan demi tujuan mencari kebenaran (istirsya>d), melainkan untuk menimbulkan fitnah; kedua, tidak memiliki ilmu yang mendalam. Sedangkan kelompok kedua juga ditandai oleh dua ciri: pertama, tidak mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t;
dan kedua, memiliki ilmu yang mendalam.193 “Ilmu yang mendalam” (al-rusu>kh
fi> al-‘ilm) itu, menurut al-Sya>t}ibi>, mencakup dua hal: pengetahuan tentang
bahasa Arab dan seluk beluknya serta pengetahuan tentang prinsip-prinsip
192
Al-Sya>t}ibi> sebetulnya menambahkan satu kategori lagi, yaitu tasya>buh yang berhubungan dengan aplikasi dalil (mana>t} al-h}ukm). Contohnya adalah larangan memakan bangkai dan kebolehan memakan hewan sembelihan; tasya>buh terjadi dalam kondisi ketika bangkai dan hewan sembelihan bercampur menjadi satu dan sulit dibedakan. Tasya>buh dalam kategori ini tentu saja, sebagaimana ditegaskan al-Sya>t}ibi> sendiri, tidak termasuk cakupan pengertian mutasya>biha>t dalam ayat 7 dari surah A<l ‘Imra>n di atas. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al- Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 68-69. Bandingkan dengan al-I‘tis}a>m, hlm. 430.
193
general dan tujuan-tujuan syariat Islam (al-‘ilm bi kulliyya>t al-syari>‘ah wa maqa>s}idiha>).194
Tampak jelas dari pengertian al-rusu>kh fi> al-‘ilm yang dirumuskan al- Sya>t}ibi> di atas bahwa landasan intelektual paling penting bagi seorang mufassir
adalah pengetahuan tentang bahasa Arab dan prinsip-prinsip general syariat Islam. Tetapi sikap yang salah terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t, oleh al-Sya>t}ibi>, juga seringkali dihubungkan dengan dorongan hawa nafsu dan kepentingan pribadi (ittiba>‘ al-hawa>). Ittiba>‘ al-hawa>, di mata al-Sya>t}ibi>, adalah dasar dari segala bentuk kesesatan (as}l al-zayg ‘an al-s}ira>t} al-mustaqi>m). Karena itu, tidak ada kata hawa>dalam al-Qur`an yang tidak dibarengi dengan celaan.195 Orang-
orang yang mengikuti dorongan hawa nafsu cenderung untuk menundukkan ayat- ayat al-Qur`an di bawah kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan. Oleh karena salah satu tujuan terpenting dari diturunkannya syariat Islam adalah agar manusia tidak tunduk kepada dorongan hawa nafsunya dan menjadi hamba Allah secara sukarela, maka kesalahan orang-orang yang menundukkan ayat-ayat al-Qur`an di bawah kepentingan pribadinya itu, pada
dasarnya, diakibatkan oleh ketidaktahuan mereka akan prinsip-prinsip general dan tujuan-tujuan syariat Islam. Itu pula sebabnya mengapa mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam golongan al-ra>sikhu>n fi> al-‘ilm.196
Dalam karya-karya al-Sya>t}ibi>, kecenderungan untuk “mengikuti ayat-ayat
mutasya>biha>t” juga dikaitkan secara sangat erat dengan persoalan bid‘ah.
Seluruh pelaku bid‘ah memiliki hati yang condong kepada kesesatan197 dan selalu mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t demi tujuan menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya.198 Ketika Rasulullah saw. menyatakan bahwa salah satu
194
Al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 160. 195
Untuk mendukung pendapatnya ini, al-Sya>t}ibi> mengutip pernyataan T{a>wu>s, Ibra>hi>m al-Nakha‘i>, dan Ibn ‘Abba>s tentang tidak adanya kebaikan pada hawa>. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al- I‘tis}a>m, hlm. 401.
196
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 57. 197
Al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 42. 198
ciri orang yang mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t adalah kegemaran mereka untuk memperdebatkan kandungan al-Qur`an (al-jida>l fi> al-Qur`a>n), al-Sya>t}ibi>
dengan tegas menyatakan bahwa ciri tersebut juga terdapat pada para pelaku bid‘ah.199 Al-Sya>t}ibi> juga mengutip pernyataan Ibn ‘Abba>s tentang kelompok Khawa>rij, sebuah kelompok yang oleh al-Sya>t}ibi> dianggap sebagai salah satu pelaku bid‘ah pertama dalam Islam; bahwa mereka “beriman terhadap [bagian yang] muh}kam dari al-Qur`an dan celaka dalam [hal-hal yang] mutasya>bih
darinya—yu`minu>n bi muh}kamihi> wa yahliku>n ‘inda mutasya>bihihi>.”200 Selain itu, bid‘ah bisa disebabkan oleh kecenderungan untuk berpegang hanya kepada makna lahiriah al-Qur`an—sesuatu yang juga merupakan penyebab lahirnya
tasya>buh dan kesan kontradiksi antara ayat-ayat al-Qur`an.201
Lalu, bagaimana sebetulnya pola relasi antara muh}kam dan mutasya>bih
dalam al-Qur`an? Al-Sya>t}ibi> menegaskan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat
mutasya>biha>t harus dirujukkan kepada, dan dilakukan secara kongruen dengan,
ayat-ayat muh}kama>t. Kesalahan kelompok seperti Khawa>rij dan Muktazilah di mata al-Sya>t}ibi> adalah karena mereka hanya mengambil ayat-ayat mutasya>biha>t
dan meninggalkan ayat-ayat muh}kama>t. Khawa>rij menolak tah}ki>m dengan mengutip ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah—inil-h}ukmu illa> lilla>h” (al-An‘a>m [6]: 57), tanpa merujukkannya ke ayat lain, seperti “…menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu—yah}kumu bihi> dzawa> ‘adlin
minkum” (al-Ma>`idah [5]: 95) atau “…maka kirimlah seorang juru damai dari
keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan—h}akaman
min ahlihi> wa h}akaman min ahliha>.” (al-Nisa>` [4]: 35).202 Demikian pula
Muktazilah; mereka hanya mengutip ayat-ayat seperti “i‘malu> ma> syi`tum”
(Fus}s}ilat [41]: 40) atau “faman sya>`a fal-yu`min wa man sya>`a fal-yakfur” (al- Kahf [18]: 29), tanpa merujukkannya kepada ayat-ayat lain, seperti “walla>hu
199
Al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 41. 200
Al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 401. 201
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 4, hlm. 129. 202
khalaqakum wa ma> ta‘malu>n” (al-S}a>ffa>t [37]: 96) atau “jaza>`an bima> ka>nu>
yaksibu>n” (al-Tawbah [9]: 82).203
Oleh karena ayat-ayat muh}kama>t adalah rujukan ayat-ayat mutasya>biha>t, maka al-Qur`an menyebut yang pertama sebagai “umm al-kita>b”. Bagi al-
Sya>t}ibi>, umm al-kita>b itu mencakup seluruh prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, baik yang menyangkut keyakinan teologis maupun yang menyangkut amal praktis (ya‘umm ma> huwa min al-us}u>l al-i‘tiqa>diyyah aw al-‘amaliyyah).204 Karena itu, kulliyya>t dalam al-Qur`an pasti merupakan bagian dari muh}kama>t,
dan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasya>biha>t tanpa merujukkannya kepada ayat-ayat muh}kama>t cenderung akan mengemukakan pandangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam (al-qawa>‘id al-syar‘iyyah
al-kulliyyah).205
Dengan konsepsi semacam itu, adalah hal yang wajar apabila al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa tasya>buh tidak mungkin terjadi pada prinsip-prinsip general
(kulliyya>t); ia hanya terdapat dalam hal-hal sekunder dan partikular
(juz`iyya>t).206 Al-Sya>t}ibi> mendasarkan pernyataannya itu pada dua argumen.
Pertama, induksi terhadap seluruh bagian syariat membuktikan kebenaran hal itu.
Kedua, jika tasya>buh terjadi dalam prinsip-prinsip general ajaran Islam, maka
sebagian besar ajaran Islam akan termasuk ke dalam kategori mutasya>bih. Penjelasannya sebagai berikut. Setiap bagian partikular (far‘) dari ajaran Islam pasti merujuk kepada prinsip generalnya (as}l) masing-masing; keabsahan, ketidakabsahan, kejelasan, serta kesamaran bagian partikular diukur berdasarkan keabsahan, ketidakabsahan, kejelasan, serta kesamaran prinsip general. Karena itu, jika sebuah bagian partikular didasarkan kepada prinsip general yang
mutasya>bih, maka ia pun akan menjadi mutasya>bih. Bisa dibayangkan betapa
banyak bagian dari ajaran Islam yang akan termasuk ke dalam kategori
203
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 67. 204
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 4, hlm. 127. 205
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 4, hlm. 130. 206
mutasya>bih jika tasya>buh bisa masuk ke dalam prinsip-prinsip general syariat. Dan hal ini, menurut al-Sya>t}ibi>, tentu saja tidak mungkin terjadi.207
Selain itu, konsep muh}kam-mutasya>bih dalam pemikiran al-Sya>t}ibi> berhubungan dengan konsepsinya tentang status al-Qur`an sebagai sebuah kitab
yang terbuka bagi pemahaman manusia. Jika ada bagian tertentu dari al-Qur`an
yang tidak bisa dipahami oleh manusia (mutasya>bih), maka bagian tersebut pasti tidak memiliki implikasi hukum apa-apa (la> yas}ih}h} an yukallafa bi muqtad}a>hu). Ketika al-Qur`an menyatakan bahwa di dalam dirinya terdapat ayat-ayat
mutasya>biha>t, ia juga menegaskan bahwa sikap yang benar adalah sikap orang-
orang yang berilmu mendalam (al-ra>sikhu>n fi al-‘ilm), yaitu mereka yang berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qur`an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Pemahaman inilah yang membawa al-Sya>t}ibi> untuk menyatakan bahwa satu- satunya kewajiban kita terhadap ayat-ayat mutasya>biha>t adalah mengimaninya dalam makna yang dikehendaki Allah, bukan dalam makna yang kita pahami
(‘ala> al-ma‘na> al-mura>d minhu, la> ‘ala> ma> yafham al-mukallaf minhu).208
Melalui seluruh konsepsinya tentang muh}kam dan mutasya>bih di atas, al- Sya>t}ibi> kemudian menegaskan bahwa ayat-ayat mutasya>biha>t hanya menempati porsi yang sedikit dalam al-Qur`an. Untuk mendukung pernyataannya itu, al-
Sya>t}ibi> mengemukakan tiga argumen. Pertama, ayat al-Qur`an sendiri
menegaskan bahwa ayat-ayat mutasya>biha>t berjumlah lebih sedikit daripada ayat-ayat muh}kama>t. Karena itu, ayat 7 dari surah A<l ‘Imra>n menyebut “wa
ukharu mutasyabiha>t”, sementara ayat-ayat muh}kama>t disebut dengan “ummul-
kita>b”. Kata umm dalam bahasa Arab, menurut al-Sya>t}ibi>, bermakna “bagian
terbesar dan terbanyak dari sesuatu” (mu‘z}am al-syay` wa ‘a>mmatuhu>). Kedua,
207
Salah satu contoh tasya>buh yang dikutip al-Sya>t}ibi> adalah huruf-huruf muqat}t}a‘ah dalam beberapa fawa>tih} al-suwar. Menurutnya, huruf-huruf tersebut hanya merupakan bagian partikular (juz`i>) dari prinsip-prinsip general (kulliyya>t) yang mendasari ‘ulu>m al-Qur`a>n. Tetapi al-Sya>t}ibi> juga menyatakan bahwa tasya>buh yang tidak mungkin terjadi pada kulliyya>t adalah tasya>buh h}aqi>qi>. Sedangkan tasya>buh yang bersumber dari kesalahan atau ketidakmampuan seseorang dalam memahami al-Qur`an (tasya>buh id}a>fi>) mungkin terjadi dalam kulliyya>t sebagaimana ia juga mungkin terjadi dalam juz`iyya>t. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 72-73.
208
jika al-Qur`an mengandung ayat-ayat mutasya>biha>t dalam jumlah besar, maka ia
menjadi sulit dipahami. Sebuah teks yang sulit dipahami tentu saja tidak bisa mengklaim dirinya sebagai “penjelasan” (baya>n) dan “petunjuk” (huda>) sebagaimana seringkali ditegaskan oleh al-Qur`an sendiri. Bahkan, menurut al-
Sya>t}ibi>, jika saja al-Qur`an tidak menyebut bahwa dirinya mengandung ayat-ayat
mutasya>biha>t, maka keberadaan ayat-ayat semacam itu sama sekali tidak boleh
kita yakini. Ketiga, induksi terhadap seluruh bagian al-Qur`an membuktikan
bahwa ia tidak mengandung kontradiksi. Ketiadaan kontradiksi itu hanya bisa terwujud apabila jumlah ayat-ayat mutasya>biha>t di dalam al-Qur`an memang
tidak banyak.209
Setelah mengemukakan argumen-argumen tentang sedikitnya jumlah ayat-ayat mutasya>biha>t, al-Sya>t}ibi> kemudian masuk ke dalam persoalan takwil. Konsep takwil al-Sya>t}ibi> didasarkan pada pembagian mutasya>bih menjadi h}aqi>qi>
dan id}a>fi>. Takwil terhadap mutasya>bih id}a>fi>, menurut al-Sya>t}ibi>, wajib dilakukan
apabila memang ada dalil atau penjelasan yang bisa membuatnya keluar dari kondisi tasya>buh, seperti takwil terhadap ‘a>mm dengan menggunakan kha>s}s},
mut}laq dengan muqayyad, atau d}aru>ri> dengan h}a>ji>, dan sebagainya. Takwil dengan menggabungkan dua hal di atas (‘a>mm dengan kha>s}s}, mut}laq dengan
muqayyad, atau d}aru>ri> dengan h}a>ji>) bisa membuat hal-hal yang sebelumnya
termasuk ke dalam kategori mutasya>bih (id}a>fi>) menjadi bagian dari kategori
muh}kam.210 Sebaliknya, takwil terhadap mutasya>bih h}aqi>qi>, menurut al-Sya>t}ibi>, sama sekali tidak dianjurkan. Ketika menemukan ayat-ayat yang dianggap
mutasya>biha>t, seorang mufassir harus mencari penjelasannya dalam ayat-ayat
lain, dalam hadits-hadits sahih, atau dalam ijma>‘ yang bersifat pasti. Jika penjelasan itu ditemukan dalam salah satu dari tiga sumber tersebut, maka ayat
209
Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 64-65. Pernyataan al-Sya>t}ibi> tersebut kerap dipertentangkan dengan kenyataan bahwa banyak sekali persoalan yang memicu perdebatan dan