• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir bi al-Ra ` y dan Batasan-batasannya

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

C. Sumber Penafsiran al-Qur ` an

2. Tafsir bi al-Ra ` y dan Batasan-batasannya

Al-Sya>t}ibi> menegaskan bahwa dalil-dalil syariat (al-adillah al-syar‘iyah), termasuk al-Qur`an, tidak mungkin bertentangan dengan hal-hal rasional (la>

tuna>fi> qad}a>ya> al-‘uqu>l).231 Memang ada bagian-bagian tertentu dalam al-Qur`an,

seperti fawa>tih} al-suwar dan lain sebagainya, yang sulit atau tidak mungkin dipahami. Tetapi hal-hal itu, menurut al-Sya>t}ibi>, tidak bisa membantah klaimnya tentang al-Qur`an yang tidak mungkin bertentangan dengan qad}a>ya> al-‘uqu>l.

Bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam al-Qur`an yang tidak bisa dipahami, itu

tidak berarti bahwa bagian-bagian tersebut tidak rasional karena “kita bisa memastikan bahwa jika makna bagian-bagian itu dijelaskan kepada kita, niscaya ia akan sesuai dengan penalaran rasional (muqtad}a> al-‘uqu>l)”.232

230

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 301. Bahkan al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa bid‘ah bisa lahir dari pengabaian terhadap cara generasi salaf dalam memahami dalil-dalil al- Qur`an dan Sunnah. Lihat Al-I‘tis}a>m`, hlm. 181-182.

231

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 19. 232

Lalu bagaimana dengan tafsir bi al-ra`y? Al-Sya>t}ibi> bertolak dari persoalan: apakah tafsir bi al-ra`y pernah dipraktikkan oleh generasi salaf

terdahulu? Menurutnya, ada banyak riwayat yang mengisahkan bahwa generasi

salaf mencela tafsir bi al-ra`y (al-Sya>t}ibi> menyebutnya “i‘ma>l al-ra`y fi> al-

Qur`a>n”). Namun, pada saat yang sama, ada beberapa riwayat lain yang

menyebutkan bahwa mereka pun melakukan tafsir bi al-ra`y. Ketika Abu> Bakr al- S{iddi>q ditanya tentang makna ayat “wa fa>kihatan wa abban”, dia menjawab, “Langit apakah yang akan menaungiku dan bumi apakah yang akan menopangku jika aku menyatakan tentang kita>bulla>h sesuatu yang tidak kuketahui?” Tetapi, pada saat yang berbeda, ketika Abu> Bakr ditanya tentang makna kala>lah, dia menjawab,

“Aku akan menjawabnya dengan pendapatku pribadi (aqu>l fi>ha> bi ra`yi>). Jika [pendapatku] benar, maka ia berasal dari Allah. Tetapi jika [pendapatku] salah, maka ia bersumber dari diriku dan dari setan —Allah serta Rasul-Nya terbebas sama sekali dari [kesalahan pendapatku] ini.

Kala>lah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak pula memiliki

orang tua.”233

Perbedaan riwayat tersebut, menurut al-Sya>t}ibi>, adalah sebuah dilema yang sulit dikompromikan (la> yajtami‘a>ni). Bagaimana dilema itu diselesaikan? Al-Sya>t}ibi> memilih untuk membolehkan tafsir bi al-ra`y dengan syarat ia sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab (muwa>faqah kala>m al-‘arab) serta selaras dengan al-Qur`an dan Sunnah (muwa>faqah al-kita>b wa al-sunnah). Tafsir bi al- ra`y yang memenuhi dua syarat di atas tidak mungkin diabaikan karena beberapa alasan berikut ini.234 Pertama, upaya pemahaman, penafsiran, serta penarikan hukum dari al-Qur`an harus terus menerus dilakukan karena hal-hal itu tidak

pernah dilakukan secara tuntas oleh generasi-generasi terdahulu. Jika upaya penafsiran al-Qur`an dihentikan, maka sebagian besar, atau bahkan seluruh,

233

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 315. Pada contoh tentang pendapat Abu> Bakr mengenai kala>lah, tampaknya terdapat kesalahan tulis yang cukup mengganggu dalam al- Muwa>faqa>t, di mana tertulis “la> aqu>l fi>ha> bi ra`yi>”. Karena itu, apa yang tertulis di atas merupakan terjemahan dari kutipan yang tercantum dalam Muh}ammad ‘Ali> al-S{a>bu>ni>, Mukhtas}ar Tafsi>r Ibn Katsi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), vol. 1, hlm. 291.

234

ajaran Islam akan kehilangan maknanya. Kedua, jika tafsir bi al-ra`y sama sekali dilarang, maka itu harus didasarkan pada asumsi bahwa Rasulullah saw. telah menjelaskan makna seluruh bagian dari al-Qur`an tanpa terkecuali. Asumsi ini,

sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, ditolak oleh al-Sya>t}ibi>.

Ketiga, jika tafsir bi al-ra`y sama sekali dilarang, maka para sahabat pasti tidak

akan melakukannya. Kenyataan bahwa sebagian sahabat mempraktikkan tafsir bi

al-ra`y membuktikan bahwa tidak semua bagian al-Qur`an harus dipahami secara

tawqi>fi>. Keempat, pengkajian terhadap al-Qur`an bisa dilakukan dari dua sisi:

dari sisi syariat (al-umu>r al-syar‘iyyah) atau dari sisi bahasa Arab (al-ma`a>khidz

al-‘arabiyyah). Dari sisi yang pertama, makna al-Qur`an barangkali memang

tidak boleh didekati melalui pemikiran rasional.235 Tetapi dalam persoalan- persoalan kebahasaan, tafsir bi al-ra`y boleh dilakukan karena memang demikianlah contoh yang diberikan oleh generasi salaf terdahulu.

Berdasarkan dua syarat di atas, al-Sya>t}ibi> kemudian menyatakan bahwa tafsir bi al-ra`y yang tidak selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah harus dianggap sebagai bagian dari

“penalaran yang tercela” (al-ra`y al-madzmu>m). Tafsir semacam itu bahkan dianggap al-Sya>t}ibi> sebagai perbuatan mengada-ada (taqawwul) atau dusta kepada Allah.236 Pada poin inilah al-Sya>t}ibi> menyelesaikan dilema antara riwayat yang melarang tafsir bi al-ra`y, di satu sisi, dan riwayat lain yang membolehkannya, di sisi lain, dengan menyatakan bahwa yang dilarang hanyalah tafsir bi al-ra`y yang tidak memenuhi dua syarat yang telah dikemukakan di atas.237

Setelah menetapkan batasan-batasan bagi tafsir bi al-ra`y, al-Sya>t}ibi> kemudian menggariskan beberapa pedoman penting yang harus diperhatikan oleh

235

Al-Sya>t}ibi> memang berulangkali menyatakan bahwa akal sama sekali tidak boleh menjadi penetap ajaran-ajaran syariat (al-‘aql laysa bi sya>ri‘). Lihat, misalnya, Al-Muwa>faqa>t, vol. 1, hlm. 61-64; vol. 2, hlm. 37-8, 231, 239, dan 253; vol. 3, hlm. 29; serta Al-I‘tis}a>m, hlm. 486-491.

236

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 316. 237

para penafsir al-Qur`an. Pertama, seorang penafsir harus berusaha untuk tidak

mengemukakan pendapat apa pun tentang al-Qur`an kecuali jika pendapat

tersebut didasarkan pada bukti-bukti yang jelas (illa> ‘ala> bayyinah). Maksud dari “bukti-bukti yang jelas” itu tampaknya dirumuskan melalui penilaian terhadap kemampuan diri sendiri dalam penguasaan atas ilmu-ilmu yang menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur`an (al-‘ilm bi al-adawa>t al-muh}ta>j ilayha> fi al-tafsi>r).

Hanya seseorang yang telah mencapai derajat al-ra>sikhu>n fi al-‘ilm yang boleh mengemukakan penafsirannya terhadap al-Qur`an. Jika masih terdapat keraguan

dalam diri seseorang tentang kapasitas keilmuannya sendiri, maka dia tidak boleh melakukan tafsir. Kesalahan dalam menafsirkan al-Qur`an serta pertikaian di

antara kelompok-kelompok dalam umat Islam, menurut al-Sya>t}ibi>, disebabkan oleh munculnya orang-orang yang terlalu yakin terhadap diri mereka sendiri sehingga, dengan kapasitas keilmuan yang sebetulnya terbatas, mereka merasa layak menafsirkan al-Qur`an.238

Kedua, orang yang sama sekali menolak melakukan tafsir bi al-ra`y dan

merasa cukup dengan penafsiran-penafsiran generasi terdahulu tidak boleh dicela. Itu merupakan sebentuk kehati-hatian. Al-Sya>t}ibi> juga menghubungkan hal ini dengan persoalan qiya>s. Banyak bukti, menurutnya, yang menunjukkan bahwa generasi salaf enggan melakukan qiya>s dalam hal-hal yang al-Qur`an dan Sunnah

tidak memuat penjelasan tentangnya. Apa yang mereka takutkan dari tafsir bi al- ra`y dan dari praktik qiya>s sebetulnya sama: menyatakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah (al-taqawwul ‘alal-La>h). Jika dibandingkan, tafsir bi al- ra`y bahkan memiliki konsekuensi yang jauh lebih berat daripada qiya>s. Yang dipertaruhkan dalam qiya>s hanyalah pendapat pribadi. Sedangkan orang yang melakukan tafsir bi al-ra`y seakan-akan mewakili Allah dalam ayat-ayat yang ditafsirkannya—sesuatu yang, di mata al-Sya>t}ibi>, mengisyaratkan tanggung jawab yang luar biasa berat.239

238

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 317. 239

Ketiga, karena al-Qur`an adalah kala>mulla>h, maka setiap penafsir harus

menyadari bahwa ia tengah mewakili Allah dalam menjelaskan firman-Nya. Al- Sya>t}ibi> menulis,

“hendaklah dia merasa khawatir bahwa Allah, suatu hari nanti, akan bertanya kepadanya, ‘Atas dasar apa engkau menyatakan bahwa ini bersumber dari-Ku?’. Karena itu, seseorang harus mencantumkan bukti- bukti (al-syawa>hid) yang mendukung penafsirannya. Jika tidak, maka dia harus meyakini bahwa penafsirannya hanyalah salah satu kemungkinan

(mujarrad al-ih}tima>l) [dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan

lainnya] dengan menyatakan, ‘Barangkali maknanya adalah begini dan begitu’. [Tetapi apa yang dia sebut sebagai] kemungkinan-kemungkinan sebetulnya juga bisa diukur kebenarannya. Kemungkinan-kemungkinan

(al-ih}tima>la>t) yang tidak memiliki dasar tidak boleh dijadikan pegangan

(gayr mu‘tabarah). Maka berdasarkan kriteria apa pun, setiap penafsiran,

baik yang dianggap pasti (yujzam bihi>) maupun yang dianggap hanya sebagai salah satu kemungkinan (yuh}ammal), harus mendatangkan bukti yang bisa menunjukkan bahwa ia memiliki dasar [dalam ajaran Islam]. Jika tidak, maka penafsiran itu menjadi batal dan pelakunya termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang melakukan penalaran yang tercela (ahl al-ra`y

al-madzmu>m).”240

Uraian di atas memperlihatkan bahwa al-Sya>t}ibi> memandang tafsir bi al- ra`y harus dilakukan secara sangat hati-hati. Selain itu, terdapat pula indikasi bahwa tafsir bi al-ra`y, di mata al-Sya>t}ibi>, hanya berfungsi sebagai perluasan dari apa yang tidak dibahas oleh generasi-generasi salaf terdahulu. Karena itu, dapat dipahami bahwa dua syarat yang ditetapkan al-Sya>t}ibi> untuk menerima tafsir bi

al-ra`y (kesesuaian dengan bahasa Arab dan dengan dalil-dalil syariat) adalah dua

hal yang secara umum dianggapnya terpenuhi pada penafsiran yang dikemukakan oleh generasi salaf tersebut.

Sebagai penutup, sebuah kutipan pernyataan al-Sya>t}ibi> berikut ini menggambarkan dengan baik bagaimana dia mengklasifikasikan sumber-sumber penafsiran al-Qur`an serta bahwa dia sebetulnya menganggap tafsir bi al-ra`y

sebagai tafsir dalam koridor-koridor bahasa Arab.

“Istinba>t} dari al-Qur`an tidak boleh dilakukan…dengan mengabaikan

keterangan dan penjelasannya, yaitu Sunnah…Kemudian, jika Sunnah

240

tidak memberikan penjelasan (in a‘wazathu al-sunnah), [seorang penafsir] harus merujuk kepada tafsir generasi al-salaf al-s}a>lih} karena mereka lebih tahu tentang hal itu daripada generasi-generasi lain [setelah mereka]. Jika penjelasan itu tidak ditemukan [dalam tafsir generasi salaf], maka cukuplah baginya pemahaman berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab

(mut}laq al-fahm al-‘arabi>).”241

241