• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makki> Madani> , Kulli> Juz ` i> , dan Naskh dalam al-Qur ` an

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

B. Metode Tafsir al-Qur ` an

2. Makki> Madani> , Kulli> Juz ` i> , dan Naskh dalam al-Qur ` an

Menurut pandangan yang paling populer di kalangan para ulama tafsir, distingsi makki>-madani> lebih berhubungan dengan waktu, bukan tempat,

156

pewahyuan.157 Ayat-ayat makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum hijrah sementara ayat-ayat madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan selepas hijrah.158 Konsepsi semacam itu menegaskan bahwa konsep makki>-madani> dalam

‘ulu>m al-Qur`a>n memang sedari semula berurusan dengan kronologi pewahyuan.

Tetapi tidak ada barangkali ulama sebelum al-Sya>t}ibi> yang menempatkan konsep kronologi pewahyuan dan makki>-madani> itu ke dalam kerangka koherensi al- Qur`an serta relasi antara konsep kulli> dan juz`i> yang diaksentuasikan secara

sangat elaboratif sebagaimana akan terlihat pada paragraf-paragraf berikut ini. Al-Sya>t}ibi> sama sekali tidak tertarik untuk memasuki perdebatan tentang definisi serta pembatasan konsep makki>-madani>. Dia justru membawa konsep tersebut untuk mendukung prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an yang

dikonstruksikan berdasarkan urutan kronologis pewahyuan. Ketika menafsirkan ayat, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik [yaitu] al-Qur`an yang

serupa [ayat-ayatnya] (ah}sanal-h}adi>tsi kita>ban mutasya>bihan)….” (al-Zumar

[39]: 23), al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa maksud “kita>ban mutasya>bihan” dalam ayat tersebut adalah bahwa seluruh bagian al-Qur`an serupa satu sama lain;

bahwa bagian yang diturunkan lebih awal membenarkan bagian yang diturunkan belakangan, dan demikian pula sebaliknya.159 Lebih dari itu, sebagai sebuah kesatuan, bagian al-Qur`an yang turun belakangan harus dipahami berdasarkan

bagian lain yang terlebih dahulu diturunkan. Prinsip ini berlaku untuk keseluruhan al-Qur`an. Ayat apa pun dalam al-Qur`an, yang makki> maupun yang

madani>, bisa menjadi dasar untuk memahami ayat-ayat lain yang turun

157 Para ulama tafsir mengaitkan konsep asba>b al-nuzu>l dengan persoalan-persoalan waktu (tarti>b zama>ni>), tempat (tah}di>d maka>ni>), tema (tabwi>b mawd}u>‘i>), serta person (ta‘yi>n syakhs}i>). Lihat S{ubh}i> S{a>lih}, Maba>h}its fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n (Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, cet. 17, 1988), hlm. 167-169. Karena itu, sebagian dari mereka menganggap ada ayat-ayat yang diturunkan di Madinah tetapi memiliki status makki> (ma> nazal bi al-Madi>nah wa h}ukmuhu> makki>), atau ayat-ayat yang diturunkan di Mekah tetapi memiliki status madani> (ma> nazal bi Makkah wa h}ukmuhu> madani>). Lihat, misalnya, al-Zarkasyi, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n (ttp.: Da>r Ih}ya>` al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1972), vol. 1, hlm. 195-196.

158

Dengan demikian, ayat-ayat yang turun dalam perjalanan hijrah menuju Madinah termasuk dalam kategori makki>. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n (Beirut: Da>r al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), hlm. 19-20.

159

setelahnya, dan harus pula dipahami berdasarkan ayat-ayat lain yang turun sebelumnya. Dengan demikian, karena ayat-ayat madaniyyah diturunkan setelah ayat-ayat makkiyyah, maka pemahaman terhadap ayat-ayat yang pertama harus dilakukan dalam terang ayat-ayat yang kedua.160

Al-Sya>t}ibi> mengajukan surah al-An‘a>m dan al-Baqarah sebagai contoh. Menurutnya, Islam datang untuk menyempurnakan nilai-nilai akhlak yang mulia serta memperbaiki bagian-bagian tertentu dari agama Ibrahim yang telah menyimpang dari ajaran dasarnya. Lalu turunlah surah al-An‘a>m yang menjelaskan aturan-aturan akidah dan prinsip-prinsip dasar agama (qawa>‘id al-

‘aqa>`id wa us}u>l al-di>n). Berdasarkan surah yang diturunkan di Mekah ini, para

ulama berhasil merumuskan kaidah-kaidah tauhid dan pembahasan-pembahasan ilmu Kalam, dimulai dari afirmasi eksistensi Tuhan hingga persoalan ima>mah. “Jika Anda mengkaji [surah al-An‘a>m] dengan cara yang telah diuraikan dalam kitab ini,” tegas al-Sya>t}ibi>, “maka akan jelas bagi Anda [bahwa ia mengandung] kaidah-kaidah syariat yang bersifat general (al-qawa>‘id al-syar‘iyyah al-

kulliyyah), yang jika salah satu di antara prinsip-prinsip general itu hancur, maka

keteraturan syariat (niz}a>mal-syari>‘ah) akan hancur pula…. ”161

Setelah Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, turunlah surah al-Baqarah. Surah ini menjelaskan kaidah-kaidah ketakwaan yang didasarkan pada prinsip- prinsip general dalam surah al-An‘a>m (qawa>‘id al-taqwa> al-mabniyyah ‘ala>

qawa>‘id su>rah al-An‘a>m). “Kaidah-kaidah ketakwaan” yang dimaksud oleh al-

Sya>t}ibi> adalah aturan-aturan teknis tentang amal perbuatan manusia (af‘a>l al-

mukallafi>n), meliputi ibadah-ibadah, ‘a>da>t (seperti tentang makanan, minuman

dan sebagainya), mu‘a>mala>t (seperti tentang jual-beli, pernikahan, dan sebagainya), serta jina>ya>t.162 Kemudian al-Sya>t}ibi> menyatakan,

“Apa yang tidak tercantum di dalamnya (yakni di dalam surah al-Baqarah) [dan tercantum di dalam surah-surah madaniyyah yang lain] adalah sekedar pelengkap. Maka surah-surah madaniyyah lain yang diturunkan

160

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 304. 161

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 304-305. 162

setelah [surah al-Baqarah] sebetulnya didasarkan kepadanya (mabniyyah

‘alayha>) sebagaimana surah-surah makkiyyah lain yang diturunkan setelah

al-An‘a>m juga didasarkan kepada surah tersebut. Jika Anda memberlakukan [prinsip ini] dalam hubungan antara satu surah dengan surah yang lain, maka Anda pun akan mendapatinya demikian—setiap bagian berhubungan dengan bagian yang lain [melalui cara yang sama]. Seorang pengkaji al-Qur`an seharusnya tidak mengabaikan makna ini

karena ia merupakan salah satu dari rahasia-rahasia ilmu tafsir. Tingkat pemahaman seseorang terhadap kala>mulla>h diukur melalui kadar pengetahuannya tentang prinsip tersebut.”163

Adalah hal yang jelas, berdasarkan uraian di atas, bahwa pandangan al- Sya>t}ibi> tentang konsep makki> dan madani> dikonstruksikan di atas konsep kulli>

dan juz`i>. Prinsip-prinsip general (kulliyya>t) ajaran Islam tercantum dalam ayat-

ayat makkiyyah dan dikembangkan menjadi ketetapan-ketetapan partikular

(juz`iyya>t) dalam ayat-ayat madaniyyah. Bahkan jika pun ada ayat madaniyyah

tertentu yang mengandung sebuah prinsip general (as}l kulli>), maka ia pasti merupakan bagian yang lebih partikular (juz`i>), atau sekedar penyempurnaan

(takmi>l), dari prinsip general lain yang telah diturunkan sebelumnya.164

Prinsip general paling mendasar, dan karenanya diturunkan pertama kali di Mekah, adalah iman kepada Allah, Rasul-Nya, serta hari Akhir. Di Mekah pulalah diturunkan perintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang bersifat fundamental, seperti shalat, menginfakkan harta, dan sebagainya. Demikian pula imperatif-imperatif moral yang paling mendasar, seperti perintah berbuat adil, menepati janji, memberikan maaf, bersikap sabar, bersyukur, dan sebagainya, serta larangan melakukan perbuatan keji dan munkar, berbuat zalim, berbuat curang dalam timbangan, berzina, atau membunuh; semua itu diturunkan pada periode Mekah ini. Ketika Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, yang tersisa dari ajaran Islam hanyalah hal-hal partikular yang bersifat komplementer bagi prinsip-prinsip general yang telah ditetapkan sebelumnya di Mekah.165

163

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 305. 164

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 33. 165

Dengan membagi periode pewahyuan menjadi dua, al-Sya>t}ibi> siap menguraikan konsepsinya tentang naskh. Menurutnya, sebuah prinsip general

(kulli>) sama sekali tidak dapat di-naskh. Karena sebagian besar kulliyya>t terdapat

dalam ayat-ayat makkiyyah, maka naskh lebih banyak terjadi pada ayat-ayat

madaniyyah.166 Al-Sya>t}ibi> mengemukakan argumen-argumen berikut ini untuk

mendukung klaimnya tentang naskh yang jarang terjadi pada ayat-ayat

makkiyyah. Pertama, argumen berdasarkan induksi terhadap seluruh kasus naskh

yang dikemukakan ulama. Proses induksi itu menegaskan bahwa yang mungkin

di-naskh hanyalah hal-hal partikular (juz`iyya>t). Dan karena hanya sedikit juz`i>

yang terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, maka hanya sedikit pula ayat-ayat

makkiyyah yang di-naskh. Kedua, ketika sebuah hukum telah ditetapkan, maka ia

hanya bisa di-naskh dengan sesuatu yang bersifat pasti (amr muh}aqqaq). Karena itu, para ulama sepakat bahwa khabar al-wa>h}id tidak bisa me-naskh ayat al- Qur`an atau hadits lain yang bersifat mutawa>tir. Implikasinya, al-Sya>t}ibi>

menetapkan dua syarat untuk menyatakan bahwa sebuah ayat al-Qur`an di-naskh

oleh ayat lain: bahwa ayat yang di-naskh itu tidak bersifat kulli> serta bahwa kedua ayat yang bertentangan tersebut benar-benar tidak mungkin dikompromikan. Ketiga, dalam sejarahnya, naskh pernah digunakan untuk menunjuk pengertian yang lebih luas daripada apa yang diyakini oleh para ulama belakangan. Dalam pemaknaan yang sangat luas itu, naskh juga mencakup baya>n

bagi mujmal, atau takhs}i>s} bagi ‘a>mm, atau taqyi>d bagi mut}laq. Karena itu, tidak setiap naskh yang dikemukakan oleh para ulama terdahulu bermakna sama seperti apa yang dikemukakan oleh para ulama belakangan. Keempat, pengharaman atas sesuatu yang sebelumnya muba>h} bukanlah termasuk naskh. Ketika Islam mengharamkan riba dan khamr yang telah lama dipraktikkan oleh masyarakat Arab, maka pengharaman itu tidak bisa dianggap sebagai naskh.

166

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 78. Bandingkan dengan S}ubh}i> S{a>lih}, Maba>h}its fi> ‘Ulu>m al-Qur`a>n, hlm. 273-274.

Dengan demikian, menjadi gugurlah banyak hal yang oleh para ulama dimasukkan ke dalam kategori na>sikh dan mansu>kh.167

Upaya al-Sya>t}ibi> untuk mendasarkan konsepsinya tentang makki>-madani>

dan na>sikh-mansu>kh kepada kategorisasi kulli>-juz`i> itu menandai pandangannya

tentang prinsip intertekstualitas antar seluruh bagian dari al-Qur`an. Tetapi

intertekstualitas itu tidak bersifat simetris. Dalam kesatuannya, masing-masing bagian dari al-Qur`an diletakkan pada posisi tertentu berdasarkan pola yang

hirarkis. Ada bagian yang menjadi dasar, dan ada bagian lain yang “sekedar” menjadi cabang atau penjelasan sekunder dari dasar tersebut. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa yang sekunder kurang penting dibandingkan dengan yang fundamental. Sebagaimana telah berulangkali dinyatakan, relasi antara kulli> dan

juz`i> dalam struktur pemikiran al-Sya>t}ibi> dilangsungkan melalui sebuah pola dan

mekanisme dialektis di mana tidak ada salah satu yang dikorbankan demi sesuatu yang lain.168

Menarik juga untuk diamati bahwa al-Sya>t}ibi> memberlakukan dua model pemahaman yang berbeda untuk masing-masing tingkatan intertekstualitas al- Qur`an. Pada tingkat surah, kesatuan tema dilacak melalui urutan ayat-ayat

dalam mus}h}af. Tetapi, pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan, hubungan

antar ayat diurai melalui urutan kronologis pewahyuan: ayat yang turun lebih awal bersifat lebih umum dan lebih mendasar daripada ayat yang turun belakangan. Tampaknya, konsep koherensi al-Qur`an yang dirumuskan al-Sya>t}ibi>

dilatarbelakangi oleh minat dan tujuan, serta dirumuskan melalui pola, yang sedikit berbeda dari apa yang lazim dalam pendekatan tematis (tafsi>r mawd}u>‘i>) terhadap al-Qur`an. Jika pada bagian terdahulu, telah dicantumkan pendapat

beberapa peneliti tentang konvergensi antara tujuan serta pendekatan yang digunakan oleh para pendukung tafsir mawd}u>‘i> dengan apa yang sebelumnya

167

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 79-81.

168 Sebuah kulli> dirumuskan melalui pengamatan terhadap seluruh aspek-aspek partikularnya (juz`iyya>t), dan setiap juz`i> hanya bisa bermakna apabila ia diletakkan dalam kerangka general kulli> yang mendasarinya. Dengan demikian pemahaman terhadap kulli> dan juz`i berlangsung dalam dua arah sekaligus. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 5-11.

telah digagas oleh al-Sya>t}ibi>,169 maka pada bagian berikut ini, kita akan menguji sejauh mana pertautan itu terjadi.