• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koherensi dan Intertekstualitas al-Qur ` an

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

B. Metode Tafsir al-Qur ` an

1. Koherensi dan Intertekstualitas al-Qur ` an

Pada bagian terdahulu, telah dikemukakan bagaimana prinsip tentang al- Qur`an sebagai kulliyyah al-syari>‘ah membawa al-Sya>t}ibi> untuk

mengkonsepsikan al-Qur`an sebagai kala>m wa>h}id yang tidak mungkin

mengandung kontradiksi. Sebagai kala>m wa>h}id, setiap bagian dari al-Qur`an

berhubungan dengan bagian yang lain dalam sebuah pola yang bersifat intertekstual.126 Dalam pernyataan al-Sya>t}ibi> sendiri,

gaya penulisan (asa>li>b) yang digunakan oleh para mufassir dalam tafsir mereka dan yang kepadanya mereka mengaplikasikan pendekatan (manhaj) mereka masing-masing.” Lihat S}ala>h} ‘Abd al-Fatta>h} al-Kha>lidi>, Al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> bayna al-Naz}ariyyah wa al-Tat}bi>q, hlm. 27-28.

126

Intertekstualitas adalah konsep linguistik modern yang dibangun di atas asumsi bahwa setiap bagian dari teks berhubungan dengan bagian yang lain. Dalam kajian al-Qur`an, konsep ini sebetulnya telah lama dikemukakan oleh para ulama, terutama melalui adagium: al- Qur`a>n yufassir ba‘d}uhu> ba‘d}an. Lihat M.A.S. Abdel Haleem, “Context and internal relationship”, hlm. 73. Konsep intertekstualitas dalam al-Qur`an kadang-kadang juga dimaknai sebagai hubungan antara al-Qur`an dengan kitab suci-kitab suci sebelumnya. Lihat, misalnya, Jane Dammen McAuliffe, “Text and Textuality: Q. 3:7 as a Point of Intersection”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 66. Dalam penelitian ini, kata intertekstualitas digunakan dalam makna yang pertama. Untuk uraian yang lebih terperinci tentang konsep intertekstualitas dalam ilmu linguistik dan sastra modern, lihat Graham Allen, Intertextuality (London & New York: Routledge, 2005).

“…pemahaman atas sebagian al-Qur`an bergantung kepada [pemahaman]

atas bagian yang lain dengan satu dan lain cara (bi wajhin ma>). Artinya, satu bagian dari al-Qur`an dijelaskan oleh bagian yang lain. Bahkan

banyak [bagian dari al-Qur`an] yang maknanya tidak bisa dipahami

sepenuhnya kecuali dengan menafsirkan [ayat] di tempat lain [pada surah yang sama] atau [ayat yang lain] pada surah yang berbeda…Dengan pemahaman semacam ini, seluruh bagian dari al-Qur`an adalah kala>m wa>h}id.”127

Akan tetapi al-Sya>t}ibi> sebetulnya berbicara tentang konsep intertekstualitas dan koherensi al-Qur`an itu dalam dua tingkat: koherensi pada

tingkat surah dan koherensi pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan.128

Koherensi pada tingkat surah, menurut al-Sya>t}ibi>, bersifat tematis dan merupakan sesuatu yang terasa lebih jelas (huwa al-ma‘na> al-az}har) dibandingkan dengan koherensi pada tingkat al-Qur`an secara keseluruhan. Alasannya, sebuah

surah dipisahkan dari surah yang lain melalui awalan (ibtida>`) dan kandungan

makna yang berbeda. Itu sebabnya mengapa al-Qur`an menggunakan basmalah

untuk menjadi pemisah antar surah. Selain itu, kenyataan bahwa banyak ayat yang diturunkan sebagai respons atas sebab atau peristiwa tertentu menyiratkan bahwa al-Qur`an terdiri dari bagian-bagian yang masing-masing bisa dipahami

secara sendiri-sendiri.129

Agak sulit untuk menentukan dengan pasti siapa yang pertama kali merumuskan konsep tentang surah dalam al-Qur`an sebagai sebuah unit

tematis.130 El-Tahir El-Misawi menyebut nama Fakhruddi>n al-Ra>zi> sebagai salah

127

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 314-315. 128

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 315. Muh}ammad al-Gaza>li> juga mengemukakan hal yang senada. Menurutnya, ada dua pendekatan dalam tafsir mawd}u>‘i>: pendekatan yang melacak kesatuan tema setiap surah dalam al-Qur`an serta pendekatan yang berusaha mengidentifikasi tema-tema pokok dalam al-Qur`an secara keseluruhan. Lihat Muh}ammad al-Gaza>li>, Nah}w Tafsi>r Mawd}u>‘i> li Suwar al-Qur`a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-Syuru>q, cet. 3, 1997), hlm. 5-6. Bandingkan dengan Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and Sunnah: Methodologies of Interpretation, hlm. 128.

129

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 315. 130 Tafsir mawd}u>‘i>

bisa dilakukan terhadap sebuah surah, atau terhadap ayat-ayat tentang tema yang sama dari pelbagai surah, atau kepada istilah dan lafaz tertentu dalam al-

satu yang paling awal.131 Sonia Wafiq menyebut al-Sya>t}ibi>.132 Belakangan, konsep tersebut dikembangkan secara elaboratif oleh, misalnya, Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i> (w. 885 H.) dalam dua karyanya: Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A<y wa

al-Suwar dan Mas}a>‘id al-Naz}ar li al-Isyra>f ‘ala> Maqa>s}id al-Suwar;133 Sayyid

Qut}b (w. 1966) dalam Fi> Z{ila>l al-Qur`an;134 serta banyak pemikir modern lainnya.135 Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: adakah perbedaan corak antara pendekatan yang digunakan oleh mufassir klasik dengan para mufassir

modern dalam memperlakukan surah al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis?

Salah satu jawaban bagi pertanyaan di atas dikemukakan oleh Mustansir Mir. Menurutnya, ulama-ulama klasik, seperti al-Ra>zi>, Niz}a>m al-Di>n al-Ni>sa>bu>ri> (w. 728 H.), Abu> H{ayya>n (w. 745 H.), atau al-Syirbi>ni> (w. 977 H.), mengaplikasikan prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an itu ke

dalam praktik penafsiran yang linear-atomistik; mereka hanya berupaya

Qur`an. Lihat S}ala>h} ‘Abd al-Fatta>h} al-Kha>lidi>, Al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> bayna al-Naz}ariyyah wa al- Tat}bi>q, hlm. 52-59.

131

Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 128-129.

132

Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> wa al-H{a>jah ilayh”, dalam Buh}u>ts Mu`tamar Mana>hij Tafsi>r al-Qur`a>n al-Kari>m wa Syarh} al-H{adi>ts al-Syari>f, hlm. 654. Selain dua nama tersebut, ada pula yang menyebut nama al-Fayruzaba>di> (w. 817 H.) dengan karyanya, Bas}a>`ir Dzawi> al-Tamyi>z fi> Lat}a>`if al-Kita>b al-‘Azi>z. Lihat ‘Abdulla>h Mah}mu>d Syah}a>tah, Ahda>f Kull Su>rah wa Maqa>s}iduha> fi> al-Qur`a>n al-Kari>m (Kairo: al-Hay`ah al-Mis}riyyah al-‘A<mmah li al-Kita>b, cet. 3, 1986), vol. 1, hlm. 4.

133 Tentang kitab Naz}m al-Durar, ‘Abd al-Fatta>

h} al-Kha>lidi> berkomentar, “…di dalam kitab tafsir tersebut, [al-Biqa>‘i>] memusatkan perhatiannya kepada hubungan dan pertautan antara ayat-ayat dalam satu surah yang sama. [Dengan cara tersebut], sebuah surah menjadi suatu kesatuan yang [bagian-bagiannya] saling berhubungan, saling mendukung, dan terikat satu sama lain”. Lihat al-Kha>lidi>, Ta‘ri>f al-Da>risi>n bi Mana>hij al-Mufassiri>n (Jedah: Da>r al-Basyi>r, 2002), hlm. 450.

134

Mus}t}afa> Muslim, Maba>h}its fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1989), hlm. 26 dan Issa J. Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation of the Qur’a>n”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 354-371.

135

Di antara para pemikir tersebut, terdapat nama-nama seperti Asyraf ‘Ali> Tsana>wi, H{ami>d al-Di>n al-Fara>h}i>, serta Ami>n Ah}san Is}la>h}i> di India dan Pakistan; ‘Izzat Darwazah dan Sayyid Qut}b di Mesir; serta Muh}ammad H{usayn al-T{aba>t}aba>`i> di Iran. Lihad Mustansir Mir, “The su>ra as unity: A twentieth century development in Qur’a>n exegesis”, dalam dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kader A. Shareef [ed.], Approaches to the Qur’a>n (London dan New York: Routledge, 1993), hlm. 211-224. Menurut Quraish Shihab, ide tentang surah sebagai sebuah unit tematis baru diwujudkan pertama kali dalam sebuah kitaf tafsir oleh Mah}mu>d Syaltu>t pada tahun 1960. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, hlm. 113.

menunjukkan hubungan kesesuaian (muna>sabah) antara sebuah ayat dengan ayat lain sebelum atau setelahnya.136 Itu berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pemikir modern terhadap prinsip yang sama. Di atas segala perbedaan dan keragaman di antara mereka, para pemikir modern itu menerjemahkan prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an ke dalam praktik penafsiran yang

organik-holistik, tidak lagi atomistik.137 Pendekatan pertama (yang bersifat linear-atomistik) cenderung memusatkan perhatiannya kepada masing-masing ayat dalam sebuah surah yang sama; sementara pendekatan kedua (yang bersifat organik-holistik) memusatkan perhatiannya kepada pesan dasar sebuah surah, tidak lagi ayat perayat. Tetapi Mustansir Mir tampaknya tidak sempat membaca karya-karya al-Sya>t}ibi>. Kita akan melihat pada uraian berikut ini bahwa al- Sya>t}ibi>, salah seorang ulama klasik, justru membawa prinsip kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an itu ke dalam praktik penafsiran yang cenderung

bersifat organik dan holistik atau, setidaknya, tidak lagi atomistik.

Al-Sya>t}ibi> membagi surah-surah dalam al-Qur`an ke dalam dua kategori.

Pertama, surah-surah yang mengandung hanya satu tema dan diturunkan sebagai

respons untuk satu persoalan. Sebagian besar surah-surah pendek (suwar al-

mufas}s}al) termasuk dalam kategori ini. Kedua, surah-surah yang mengandung

beragam tema di dalamnya.138 Menyatakan bahwa masing-masing surah dalam kategori pertama adalah kala>m wa>h}id nyaris tidak menimbulkan kesulitan apa- apa karena ia memang hanya berisikan satu tema. Tetapi bagaimana menemukan benang merah dalam satu surah yang memiliki beragam tema?139

136 Mustansir Mir, “The su>ra as unity: A twentieth century development in Qur’a> n exegesis”, hlm. 212.

137 Mustansir Mir, “The su>ra as unity: A twentieth century development in Qur’a> n exegesis”, hlm. 219.

138

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 310. 139

Surah-surah madaniyyah yang panjang seringkali dianggap tidak memiliki kesatuan tema maupun koherensi. Tetapi beberapa pemikir modern, seperti Mustansir Mir, Neal Robinson, dan Mathias Zahniser, berhasil menunjukkan bahwa setiap bagian dari dua surah terpanjang dalam al-Qur`an pun, yakni al-Baqarah dan al-Nisa>`, terhubung satu sama lain melalui sebuah tema besar yang mengikatnya. Lihat A.H. Mathias Zahniser, “Major Transitions and Thematic

Di sini, terlihat bahwa konsep kesatuan tematis setiap surah dalam al- Qur`an yang dirumuskan al-Sya>t}ibi> itu sebetulnya didasarkan kepada asumsi

bahwa penyusunan dan pengurutan ayat-ayat pada sebuah surah ditetapkan berdasarkan wahyu dari Allah (tawqi>fi>) sehingga “sama sekali tidak ada ruang dalam hal itu bagi pemikiran manusia”.140 Dengan asumsi tersebut, al-Sya>t}ibi> seakan-akan hendak menyatakan bahwa penyatuan beragam tema ke dalam satu surah bukanlah tanpa tujuan. Karena itu, sebuah surah yang mengandung beragam tema, menurut al-Sya>t}ibi>, harus dipandang melalui dua sisi: sisi keragaman temanya dan sisi keteraturan (naz}m) yang menyatukannya. Seorang

mufassir harus memandang kedua sisi tersebut secara bersama-sama karena

pemahaman terhadap kandungan sebuah surah tidak mungkin dicapai tanpa pemahaman terhadap masing-masing bagian yang memiliki temanya sendiri- sendiri, sementara perhatian terhadap masing-masing tema dalam sebuah surah juga tidak akan menghasilkan pemahaman yang menyeluruh (gayr mufi>d ga>yah

al-maqs}u>d) sebelum tema-tema tersebut dihubungkan dan disatukan satu sama

lain.141

Setelah menguraikan bahwa setiap surah dalam al-Qur`an, pada

prinsipnya, memiliki sebuah tema dasar yang merangkum keragaman seluruh bagiannya, al-Sya>t}ibi> kemudian mencoba menafsirkan surah al-Mu`minu>n, surah

ke-23 dalam al-Qur`an, berdasarkan prinsip tersebut. Surah al-Mu`minu>n itu,

dinyatakannya, menjelaskan “[hanya] sebuah persoalan meski meliputi makna- makna yang beragam” (na>zilah ‘ala> qad}iyyah wa>h}idah wa in isytamalat ‘ala> ma‘a>nin katsi>rah).142

Al-Sya>t}ibi> memulai penafsirannya dengan terlebih dahulu menegaskan bahwa surah al-Mu`minu>n diturunkan di Mekah. Surah-surah makkiyyah, pada

umumnya, mengandung tiga makna dasar. Pertama, penegasan tentang keesaan

Borders in Two Long Sura>s: al-Baqara and al-Nisa>’”, dalam Issa J. Boullata [ed.], Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n (Surrey: Curzon Press, 2000), hlm. 27-30.

140

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 310. 141

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 310. 142

Allah. Makna ini diuraikan al-Qur`an melalui berbagai cara, seperti dengan

mengingkari kemungkinan adanya sekutu bagi Allah secara mutlak atau dengan membantah pendapat orang-orang musyrik yang menganggap Allah memiliki sekutu, anak, atau perantara. Kedua, penegasan tentang status kenabian Muhammad saw.; bahwa beliau adalah utusan Allah yang terpercaya dalam apa pun yang disampaikannya dari Tuhannya. Dalam hal ini, al-Qur`an juga

menggunakan cara afirmasi dan negasi; afirmasi terhadap kebenaran status kenabian Muhammad, serta penyangkalan terhadap tuduhan-tuduhan bahwa beliau adalah pendusta, penyihir, orang gila, dan lain sebagainya. Ketiga, penegasan tentang kepastian datangnya kebangkitan dan eksistensi hari akhir; bahwa ia nyata dan tidak ada keraguan tentangnya. Penyangkalan al-Qur`an

terhadap orang-orang yang meragukan hari akhir ini dilakukan dengan argumen- argumen yang “bisa menjadi h}ujjah, membungkam para penentang, serta memperjelas persoalan”.143

Meski menyatakan bahwa tiga makna di atas hanya berlaku untuk sebagian besar, bukan untuk seluruh, surah makkiyyah, namun al-Sya>t}ibi> juga menulis, “Apa pun yang sepintas tampak seakan-akan berada di luar [cakupan ketiga makna] itu, sesungguhnya, bisa dikembalikan kepadanya jika dipahami secara lebih teliti.”144 Selain itu, ketiga makna yang terkandung dalam surah- surah makkiyyah di atas sebetulnya bisa dikembalikan kepada satu makna dasar, yaitu seruan untuk menyembah Allah semata, dan bisa pula dikembangkan untuk mencakup hal-hal lain, seperti targi>b dan tarhi>b, berbagai bentuk perumpamaan dan kisah, atau deskripsi tentang kenikmatan surga, siksa neraka, kondisi hari Kiamat, dan lain sebagainya.145

Sebagai sebuah surah yang diturunkan di Mekah, surah al-Mu`minu>n juga

mengandung tiga makna dasar tersebut. Hanya saja, makna yang paling menonjol di dalamnya adalah pengingkaran kaum kafir terhadap status kenabian. Dan lebih

143

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 311-312. 144

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 312. 145

khusus dari itu, pengingkaran tersebut mereka lakukan berdasarkan atribusi sifat- sifat kemanusiaan (was}f al-basyariyyah) kepada para nabi. Karena itu, surah al- Mu`minu>n secara umum menjelaskan sifat-sifat kemanusiaan serta bagaimana

seseorang bisa mencapai kesempurnaan dalam sifat-sifat tersebut sehingga dia berhak menjadi manusia pilihan. Berdasarkan tema dasar itu, al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa surah al-Mu`minu>n dimulai dengan tiga hal.146 Pertama,

penjelasan tentang sifat-sifat tertentu yang dengannya Allah akan mengangkat dan memuliakan seorang manusia. Makna ini terangkum dalam ayat 1 hingga ayat 11.147 Kedua, deskripsi tentang proses penciptaan dan perkembangan manusia yang tercakup dalam ayat 12 hingga ayat 16.148 Ketiga, uraian tentang nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia serta penegasan bahwa hal itu menunjukkan kehormatan dan kemuliaan manusia. Makna ini terangkum dalam ayat 17 hingga ayat 22.149

146

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 312. 147

Terjemahan ayat 1-11 itu adalah sebagai berikut. “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman; [yaitu] orang yang khusyuk dalam shalatnya; dan orang yang menjauhkan diri dari [perbuatan dan perkataan] yang tidak berguna; dan orang yang menunaikan zakat; dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan [sungguh beruntung] orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya; serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi; [yakni] yang akan mewarisi [surga] Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”

148

Terjemahan ayat 12-16 itu adalah sebagai berikut. “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati [yang berasal] dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani [yang tersimpan] dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu lalu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami menjadikannya makhluk yang [berbentuk] lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian setelah itu, sungguh kamu pasti mati. Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan [dari kuburmu] pada hari Kiamat.”

149

Terjemahan ayat 17-22 itu adalah sebagai berikut. “Dan sungguh, kami telah menciptakan tujuh langit di atas kamu, dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan [Kami]. Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. Lalu dengan [air] itu, Kami tumbuhkan untukmu kebun-kebun kurma dan anggur; di sana kamu memperoleh buah-buahan yang banyak dan sebagian dari [buah-buahan] itu kamu makan. Dan [Kami tumbuhkan] pohon yang tumbuh dari gunung Sinai, yang menghasilkan minyak serta [menjadi] bahan pembangkit selera bagi orang- orang yang makan. Dan sungguh pada hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari [air susu] yang ada dalam perutnya, dan padanya juga terdapat

Bagian berikutnya dari surah al-Mu`minu>n mengisahkan para nabi

terdahulu dan penentangan yang mereka terima dari umat mereka. Satu hal yang ditekankan berulangkali dalam bagian tersebut adalah bahwa penentangan orang- orang kafir itu didasarkan pada status para nabi sebagai manusia-manusia biasa. Kaum Nabi Nu>h} berkata (dalam ayat 24), “Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang ingin menjadi orang yang lebih mulia daripada kalian. Dan seandainya Allah menghendaki, tentu Dia mengutus malaikat. Belum pernah kami mendengar [seruan yang seperti] ini pada [masa] nenek moyang kami

dahulu.” Setelah mengisahkan pernyataan kaum Nabi Nu>h}, al-Qur`an kemudian

menjelaskan bahwa, secara umum, orang-orang kafir memang sering mempertanyakan mengapa nabi yang diutus kepada mereka adalah manusia biasa, yang makan dan minum sebagaimana mereka. Pernyataan ini tercantum dalam ayat 33-34, “[Orang] ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, dia makan apa yang kalian makan, dan dia minum apa yang kalian minum. Dan sungguh, jika kalian menaati manusia yang seperti [diri] kalian [sendiri ini],

niscaya kalian akan rugi.” Mereka kemudian juga berkata (ayat 38), “Dia tidak

lain hanyalah seorang laki-laki yang mengada-adakan kebohongan terhadap

Allah, dan kita tidak akan memercayainya.” 150

Dalam sejarah pengutusan nabi dan rasul, penolakan kaum kafir itu terjadi berulang kali; setiap kali seorang nabi diutus, setiap itu pula dia memperoleh penentangan yang sama. Dalam ayat 44, Allah menegaskan, “Kemudian Kami utus rasul-rasul Kami berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada

suatu umat, mereka pun mendustakannya….” Demikian pula yang terjadi pada

Nabi Mu>sa> dan Ha>ru>n, ketika umat mereka berdua berkata (dalam ayat 47),

“Apakah [pantas] kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita, padahal

banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan. Di atasnya (yakni hewan-hewan ternak itu), dan di atas kapal-kapal, kamu diangkut.”

150

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 312. Menurut sebagian mufassir, ayat 31-38 itu sebetulnya tidak mengacu kepada orang-orang kafir secara umum, melainkan merupakan kisah tentang penentangan kaum kafir terhadap Nabi Hu>d atau Nabi S}a>lih}. Lihat Ibn Katsi>r, Tafsi>r al- Qur`a>n al-‘Az}i>m, vol. 3, hlm. 252-253 dan al-Qurt}ubi>, Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur`a>n, vol. 12, hlm.