• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Sya> t} ibi> dan Tafsir Mawd} u> ‘i>

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

B. Metode Tafsir al-Qur ` an

3. Al-Sya> t} ibi> dan Tafsir Mawd} u> ‘i>

Ada beragam definisi tafsir mawd}u>‘i> yang dikemukakan oleh banyak ulama dan penulis.170 Berdasarkan eksposisi terhadap beberapa definisi tersebut, El-Tahir El-Misawi merumuskan dua ciri utama dari pendekatan mawd}u>‘i>dalam tafsir. Pertama, perhatian kepada tema sebagai titik fokus dari kegiatan interpretasi al-Qur`an. Kedua, gagasan tentang al-Qur`an sebagai sebuah

kesatuan koheren yang terbentuk dari bagian-bagiannya.171 Selain itu, meski sebagian besar literatur tafsir yang menggunakan metode mawd}u>‘i> tidak mengemukakan kerangka epistemologis dan teoretis yang dibutuhkan untuk melakukan tafsir dengan cara tersebut, namun semua literatur itu berangkat dari keprihatinan yang sama: bahwa tafsir tradisional yang bersifat atomistik, yang menafsirkan al-Qur`an ayat perayat, dianggap tidak lagi memuaskan.172

Dari dua ciri utama tafsir mawd}u>‘i> di atas, pemikiran al-Sya>t}ibi> tampak lebih berhubungan dengan ciri kedua, yaitu gagasan tentang al-Qur`an sebagai

sebuah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan.

169

Lihat bab II, hlm. 42-44. 170

Salah satu definisi tafsir mawd}u>‘i> yang diajukan oleh Mus}t}afa> Muslim adalah “Sebuah ilmu yang mengkaji persoalan-persoalan tertentu sesuai dengan al-maqa>s}id al- Qur`a>niyyah, baik yang dirumuskan dari sebuah surah atau lebih.” Lihat Mus}t}afa> Muslim, Maba>h}its fi> al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1989), hlm. 15-16. Sementara itu, Sonia Wafiq mendefinisikannya sebagai “Sebuah metode (manhaj) dalam penafsiran al-Qur`an yang bertujuan untuk memperlihatkan kesesuaian (muna>sabah) antara teks-teks al-Qur`an (al- nus}u>s} al-Qur`a>niyyah) dalam sebuah surah atau lebih berdasarkan kesatuan tematis yang jelas rambu-rambunya guna menghasilkan sebuah teori, atau paling tidak sebuah pandangan qur`ani, yang membantu tercapainya salah satu atau lebih dari maqa>s}id al-Qur`a>n serta (digunakan untuk) menyelesaikan problem-problem nyata (masya>kil wa>qi‘iyyah).” Lihat, Sonia Wafiq, “Manhaj al- Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> wa al-H{a>jah ilayh”, dalam Buh}u>ts Mu`tamar Mana>hij Tafsi>r al-Qur`a>n al- Kari>m wa Syarh} al-H{adi>ts al-Syari>f, hlm. 653-654.

171

Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 128-129.

172

Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i”, hlm. 125-126. Secara tersirat, hal senada juga diungkapkan oleh al-Kha>lidi>. Lihat S}ala>h} ‘Abd al- Fatta>h} al-Kha>lidi>, Al-Tafsi>r al-Mawd}u>‘i> bayna al-Naz}ariyyah wa al-Tat}bi>q, hlm. 42-48.

Perumusan sebuah teori atau pandangan-dunia al-Qur`an tentang tema-tema

tertentu barangkali bukan merupakan pusat perhatian al-Sya>t}ibi>. Dengan itu, bisa dinyatakan bahwa kecenderungan al-Sya>t}ibi> untuk menemukan tema dasar dari setiap surah dalam al-Qur`an tidak dia lakukan demi kepentingan tema itu

sendiri, melainkan demi mendukung konsepsinya tentang intertekstualitas dan koherensi al-Qur`an, tentang al-Qur`an sebagai kala>m wa>h}id. Dengan kata lain,

al-Sya>t}ibi> tidak berangkat dari sebuah tema untuk kemudian mencari pandangan al-Qur`an tentangnya. Selain itu, tidak ditemukan data apa pun yang

menunjukkan ketidakpuasan al-Sya>t}ibi> terhadap metode tafsir tradisional yang bersifat atomistik—sesuatu yang, sebagaimana diungkapkan di atas, menjadi keprihatinan bersama para penggagas metode tafsir mawd}u>‘i>.

Pada bagian terdahulu, telah ditegaskan bahwa proyek besar al-Sya>t}ibi> adalah peletakan dasar-dasar ilmu syariat (ta`s}i>l us}u>l ‘ilm al-syari>‘ah).173 Dalam kerangka ta`si>l itu, seluruh ajaran Islam harus bertumpu di atas dasar-dasar yang pasti serta tidak terbantahkan (qat}‘iyya>t). Cara yang digunakan al-Sya>t}ibi> untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menyusun sebuah skala yang dengannya sumber-sumber ajaran Islam diklasifikasi dan dikategorikan. Dalam skala tersebut, Sunnah memperoleh pendasarannya dari al-Qur`an, dan seluruh bagian

al-Qur`an memperoleh pendasarannya dari ayat-ayat makkiyyah. Skala semacam

itu membuat seluruh ajaran Islam, juga seluruh bagian al-Qur`an, menjadi

koheren dan terhubungkan satu sama lain dengan pola relasi yang, sekali lagi, hirarkis.

Metode tafsir mawd}u>‘i> tidak secara sistematis menyusun pola hirarki semacam itu. Setiap ayat dalam tema tertentu cenderung diposisikan setara. Pola relasi antar ayat bersifat simetris, tidak ada yang menjadi kulli> dan tidak ada pula yang menjadi juz`i>; seluruhnya berfungsi sama dalam kepentingan merumuskan pandangan atau teori al-Qur`an tentang tema tertentu. Jika dalam proyek al-

Sya>t}ibi>, prinsip koherensi al-Qur`an ditempatkan pada kerangka ta`s}i>l al-us}u>l,

maka dalam struktur tafsir mawd}u>‘i>, prinsip yang sama diletakkan pada kerangka

173

perumusan pandangan-dunia al-Qur`an. Itu sebabnya mengapa al-Sya>t}ibi>

merumuskan koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an dalam pola yang hirarkis,

sementara para penggagas metode tafsir mawd}u‘i> merumuskan koherensi tersebut dalam pola yang simetris.

Salah satu asumsi yang dibangun berdasarkan prinsip koherensi dan intertekstualitas al-Qur`an adalah bahwa tidak mungkin ada pertentangan antara

bagian-bagian al-Qur`an. Tafsir mawd}u‘i> juga dibangun di atas asumsi ini. Tetapi

al-Sya>t}ibi>, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini, mengembangkan sebuah metode untuk menjembatani ayat-ayat yang terkesan kontradiktif dalam al- Qur`an melalui, lagi-lagi, perspektif kulli> dan juz`i>.