• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al-Qur ` an Sebagai Kitab Berbahasa Arab

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

A. Asumsi dan Pra-anggapan tentang al-Qur ` an

2. Al-Qur ` an Sebagai Kitab Berbahasa Arab

Al-Sya>t}ibi> menekankan pentingnya status al-Qur`an sebagai sebuah

kitab berbahasa Arab. Pada bagian terdahulu, telah diuraikan bahwa al-Sya>t}ibi> memandang al-Qur`an sebagai teks yang bisa dipahami. Tetapi pemahaman itu

berlangsung hanya melalui kemampuan dan keterampilan (durbah) berbahasa Arab41—tidak ada kemungkinan untuk mendekatinya melalui bahasa non- Arab.42 Al-Qur`an bersifat ‘arabi> dalam bahasa, makna, maupun gaya bahasanya.

Jika hal ini disadari, maka proses tafsir, istinba>t} dan istidla>l terhadapnya harus dilakukan berdasarkan mekanisme-mekanisme yang lazim berlaku dalam bahasa Arab. “Banyak orang,” tulis al-Sya>t}ibi>, “yang mengambil dalil-dalil al-Qur`an

berdasarkan kecenderungan pikirannya, bukan berdasarkan mekanisme konvensional (t}ari>q al-wad}‘) bahasa Arab. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan besar dan penyimpangan dari maksud Sang Penetap syariat.”43

Argumen-argumen yang digunakan oleh al-Sya>t}ibi> bersumber dari al- Qur`an sendiri. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa

Qur`an berbahasa Arab agar kamu mengerti.” (Yu>suf [12]: 2), “...dengan bahasa

Arab yang jelas.” (al-Syu‘ara>` [26]: 195), “Bahasa orang yang mereka tuduhkan

[bahwa Muhammad belajar] kepadanya adalah bahasa ‘ajam, padahal ini (al-

Qur`an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.” (al-Nah}l [16]: 103).44

41

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 257-258. 42

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 2, hlm. 49. Al-Sya>t}ibi> juga beberapa kali menyatakan bahwa pendapatnya itu paralel dengan pendapat al-Sya>fi‘i> dalam persoalan yang sama. Lihat, misalnya, al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 2, hlm. 51 dan Al-I‘tis}a>m, hlm. 472.

43

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 1, hlm. 30. Al-Sya>t}ibi> bahkan menyatakan bahwa salah satu dari dua penyebab terbesar lahirnya bid‘ah adalah ketidaktahuan tentang maksud- maksud dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 160.

44

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 2, hlm. 49-50. Mufassir seperti Ibn Katsi>r menafsirkan ayat-ayat di atas untuk menegaskan keutamaan bahasa Arab di atas bahasa-bahasa yang lain, bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang “paling fasih (afs}ah}), paling jelas (abyan), paling luas (awsa‘), serta memiliki kemampuan paling besar dalam mengungkapkan makna (akstaruha> ta`diyatan li al-ma‘na>)”. Lihat Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur`a>n al-‘Az}i>m (ttp.: Da>r Mis}r li al-T{iba>‘ah, tt.), vol. 2, hlm 48. Dalam penafsirannya terhadap surah al-Syu‘ara>` [26]: 195, Ibn Katsi>r bahkan mengutip pernyataan Sufya>n al-Tsawri> bahwa seluruh wahyu kepada para nabi diturunkan dengan bahasa Arab—mereka masing-masinglah yang kemudian menerjemahkan wahyu tersebut ke dalam bahasa kaumnya. Lihat Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur`a>n al-‘Az}i>m, vol. 3, hlm 359. Meski menganggap penting status al-Qur`an sebagai sebuah kitab berbahasa Arab, al-

Karena al-Qur`an tidak mungkin dipahami tanpa pengetahuan tentang

bahasa Arab, maka seseorang, tulis al-Sya>t}ibi>, tidak boleh mengemukakan tafsirnya (an la> yatakallam fi> syay` min al-syari>‘ah) kecuali jika dia memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab seperti orang-orang Arab sendiri atau seperti para pakar bahasa Arab terdahulu (al-a`immah al-mutaqaddimu>n).45 Jika tidak, maka “cukuplah baginya untuk memahami makna-makna al-Qur`an melalui

orang lain (taqli>d)”. Karena itu, jika seseorang menemukan sesuatu yang tidak dipahaminya dalam al-Qur`an (juga Sunnah), maka dia tidak boleh melakukan

tafsir hingga dia menanyakan hal itu kepada orang lain yang memahaminya sebagaimana dicontohkan sendiri oleh Ibn ‘Abba>s dan ‘Umar.46

Al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa perdebatan apakah al-Qur`an mengandung

kata-kata non-Arab atau tidak bukanlah persoalan prinsipil.47 Kalaupun ada kata-

Sya>t}ibi> tidak mengarahkan prinsip tersebut kepada kesimpulan seperti apa yang dikemukakan Ibn Katsi>r di atas.

45

Beberapa pakar bahasa Arab terdahulu yang dicantumkan namanya oleh al-Sya>t}ibi>, adalah al-Khali>l (w. 170 H.), Si>bawayh (w. 180 H.), al-Kisa>`i> (w. 189 H.), dan al-Farra>` (w. 207 H.). Seorang mufassir memang tidak harus mengetahui dan menghafal segala detail bahasa Arab sebagaimana mereka, tetapi ia dituntut untuk memiliki pemahaman bahasa Arab secara general yang setingkat, atau setidaknya mendekati, kemampuan mereka. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 473.

46

Al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 473-477. Pada bagian tersebut, al-Sya>t}ibi> juga mencantumkan beberapa contoh penyimpangan tafsir yang bisa terjadi akibat ketidaktahuan sang mufassir terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab. Salah satunya adalah penafsiran atas ayat, “kullu syay`in ha>likun illa> wajhahu>” (al-Qas}as} [28]: 88). Ada orang-orang yang, berdasarkan ayat ini, menganggap bahwa segala sesuatu, termasuk Dzat Allah, akan musnah. Yang abadi hanyalah wajah-Nya. Orang-orang yang berpendapat semacam itu, menurut al-Sya>t}ibi>, tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Bangsa Arab biasa menyebut “wajah” untuk menunjuk “sang pemilik wajah”, seperti dalam ungkapan, “fa‘altu ha>dza> li wajh fula>n”. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 476. Contoh-contoh senada bisa juga dilihat dalam al-I‘tis}a>m, hlm. 172-173.

47

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 1, hlm. 30, dan vol. 3, hlm. 50. Perdebatan tentang apakah al-Qur`an mengandung kata-kata non-Arab atau tidak sebetulnya merupakan persoalan klasik. Titik tolaknya adalah pernyataan al-Qur`an sendiri bahwa ia merupakan kitab berbahasa Arab seperti tercantum dalam surah Yu>suf [12]: 2, al-Syu‘ara>` [26]: 195, serta al-Nah}l [16]: 103. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, beberapa ulama, seperti al-Syafi‘i (w. 204 H.), Abu ‘Ubaydah (w. 209 H.), al-T{abari> (w. 310 H.), dan Ibn Fa>ris (w. 395 H.), menyatakan bahwa sama sekali tidak mungkin ada kata-kata yang berasal dari bahasa non-Arab (al-mu‘arrab) dalam al-Qur`an. Al- Suyu>t}i> sendiri memilih pendapat yang berbeda. Menurutnya, al-Qur`an mencakup segala bahasa (fi> al-Qur`an min kull lisa>n). Tentu saja yang dimaksudnya adalah bagian dari bahasa-bahasa lain yang telah mengalami arabisasi. Pandangan ini tampaknya bersumber dari asumsi bahwa al- Qur`an mengandung segala bentuk pengetahuan (h}awa> ‘ulu>m al-awwali>n wa al-a>khiri>n wa naba` kull syay`). Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n, hlm. 271-272. Bandingkan dengan Muh}ammad Ibra>hi>m al- H{afana>wi>, Dira>sa>t fi> al-Qur`a>n al-Kari>m (Kairo: Da>r al-H{adi>ts, tt.), hlm. 65-72.

kata non-Arab yang tercantum dalam al-Qur`an, maka ia pasti merupakan

sesuatu yang telah dikenal oleh bangsa Arab, sesuatu yang mereka pahami sepenuhnya dan biasa mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Jika itu persoalannya, maka kata-kata asing tersebut sebetulnya telah menjadi bagian dari bahasa Arab; dan ketika kata-kata itu digunakan oleh al-Qur`an, maka tidak bisa

dibilang bahwa al-Qur`an menggunakan kata-kata non-Arab. Apalagi bila

disadari bahwa setiap proses arabisasi kata-kata asing pasti dilakukan dengan menundukkannya ke bawah aturan-aturan bahasa Arab.48

Dengan penekanan terhadap status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa

Arab ini, tentu mudah dipahami jika al-Sya>t}ibi> mempersyaratkan bahwa makna

maja>zi> al-Qur`an hanya bisa diterima apabila makna tersebut memang digunakan

oleh bangsa Arab. Berdasarkan syarat tersebut, al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa penafsiran kata “suka>ra>” dalam surah al-Nisa>` [4]: 43 dengan makna “tidur”

dapat dibenarkan karena orang-orang Arab biasa menggunakannya. Tetapi jika kata tersebut dimaknai sebagai “kelalaian, nafsu syahwat, dan rasa cinta kepada dunia”, maka ia adalah tafsir yang tidak sah karena makna maja>zi> semacam itu tidak dikenal oleh orang-orang Arab.49

Demikian pula dalam persoalan makna z}a>hir dan makna ba>t}in. Al-Sya>t}ibi> menekankan kaitan yang sangat erat antara dualisme makna ini dengan persoalan-persoalan bahasa. Dalam pengantarnya untuk persoalan ini, al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa, pada hakikatnya, makna z}a>hir adalah makna literal (z}a>hir al-

tila>wah) atau makna linguistik (al-mafhu>m al-‘arabi>), sementara makna ba>t}in

adalah apa yang dikehendaki (mura>d) oleh Allah. Orang-orang musyrik Arab yang mengingkari kebenaran ajaran Islam sebetulnya mampu memahami makna

z}a>hir al-Qur`an. “Bagaimana tidak,” tulis al-Sya>t}ibi>, “sementara al-Qur`an

diturunkan dengan bahasa mereka?”. Hanya saja, orang-orang musyrik itu tidak mampu memahami makna ba>t}in al-Qur`an, yakni kehendak Allah dalam

48

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 2, hlm. 50. 49

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 39-40. Penafsiran kata “suka>ra>” dengan makna “tidur” itu berasal dari al-D{ah}h}a>k. Lihat al-Ra>zi>, Mafa>ti>h} al-Gayb, vol. 10, hlm 112-113.

menurunkannya. Karena itu, Allah berfirman, “…Maka mengapa orang-orang itu

hampir-hampir tidak memahami pembicaraan [sedikit pun] (la> yaka>du>na

yafqahu>na h}adi>tsan)?” (al-Nisa>` [4]: 78).50

Melalui konsepsi tersebut, bisa dilihat bahwa, di mata al-Sya>t}ibi>, tujuan terpenting dari penafsiran al-Qur`an adalah pemahaman atas makna ba>t}in-nya.

Lebih dari itu, sebagaimana telah dinyatakan di atas, perbedaan antara orang- orang musyrik dan umat Islam terletak tepat pada pemahaman atas makna ba>t}in

al-Qur`an tersebut. Ketika Allah berfirman, “Barang siapa meminjamkan kepada

Allah pinjaman yang baik….” (al-Baqarah [2]: 245), orang-orang Yahudi segera

meresponsnya dengan berkata, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.”

(A<li ‘Imra>n [3]: 181). Sedangkan orang-orang mukmin, seperti Abu> al-Dah}da>h} al- Ans}a>ri>, justru berkomentar, “Allah sungguh Mahamulia; Dia meminjam apa yang telah diberikan-Nya kepada kita.”51

Setelah memberikan banyak contoh tentang ketidakmampuan orang- orang musyrik memahami makna ba>t}in al-Qur`an, al-Sya>t}ibi> kemudian

menyatakan,

“Jika Allah menegasikan pemahaman (fiqh) atau pengetahuan (‘ilm) dari sebuah kaum, maka hal itu karena mereka hanya berpegang pada makna

za>hir tanpa memperhatikan mura>d-nya. [Sebaliknya], jika Allah

mengafirmasi kedua sifat tersebut, maka hal itu menunjukkan bahwa mereka mampu memahami apa yang dikehendaki Allah dalam khit}a>b-Nya, yakni makna ba>t}in dari khit}a>b tersebut.”52

Dengan pengantar tersebut, al-Sya>t}ibi> siap menguraikan definisi serta batasan makna z}a>hir dan makna ba>t}in secara lebih terperinci. “Setiap makna bahasa Arab,” tulisnya, “yang pemahaman al-Qur`an tidak bisa dibangun kecuali

50

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 286-287. 51

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 286-287. Riwayat tentang pemyataan orang Yahudi itu juga tercantum dalam kitab-kitab tafsir karya al-Ra>zi>, al-Zamakhsyari>, dan Ibn Katsi>r. Lihat al-Ra>zi>, Mafa>tih} al-Gayb, vol. 9, hlm. 121; al-Zamakhsyari>, Al-Kassya>f ‘an H{aqa>`iq Gawa>mid} al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta`wi>l (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), vol. 1, hlm. 437. dan Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur`a>n al-‘Az}i>m, vol. 1, hlm 433-434. Kisah lengkap Abu> al-Dah}da>h} al-Ans}a>ri> terdapat dalam Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Qur`a>n al-‘Az}i>m, vol. 1, hlm 299.

52

di atasnya adalah termasuk kategori z}a>hir.”53 Persoalan-persoalan baya>ni> dan

bala>gi>—seperti perbedaan antara kata “dhayyiq” dalam surah al-An‘a>m [6]: 125

dan kata “dha>`iq” dalam surah Hu>d [11]: 12; perbedaan penggunaan bentuk- bentuk seruan (nida>`); perbedaan ‘at}f serta i‘ra>b; dan sebagainya—adalah bagian dari kategori makna z}a>hir ini.54 Sedangkan “setiap makna yang membuat obyek

khit}a>b (mukha>t}ab) menyadari statusnya sebagai hamba (‘ubu>diyyah) serta

mengakui Allah sebagai Rabb (rubu>biyyah) adalah [makna] ba>t}in yang dikehendaki dan dituju, sesuatu yang karenanya al-Qur`an diturunkan.”55

Salah satu makna ba>t}in terpenting dalam al-Qur`an, menurut al-Sya>t}ibi>,

adalah syukur. Karena syukur adalah lawan dari kufur, maka iman beserta seluruh konsekuensinya adalah bagian dari syukur. Dengan konsepsi semacam ini, al- Sya>t}ibi> menyatakan bahwa orang yang beragama demi kepentingan-kepentingan duniawi—seperti memperoleh harta atau menjamin keselamatan jiwa—serta orang yang melakukan praktik muslihat hukum (h}i>lah)56 tidak dapat dianggap memahami makna ba>t}in al-Qur`an.57 Dari sana, tampak dengan jelas bahwa

makna ba>t}in al-Qur`an dalam pemikiran al-Sya>t}ibi> terhubung sangat erat dengan

unsur kesalehan—semakin seseorang memahami makna ba>t}in tersebut, semakin saleh seharusnya dia.58 Dalam pernyataan al-Sya>t}ibi> sendiri,

“Setiap orang yang tersesat dan menyimpang dari jalan kebenaran pasti mengabaikan kadar tertentu dari pemahaman dan pengetahuan tentang makna ba>t}in al-Qur`an. Sementara orang yang menemukan dan mencapai

53

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 291. Bandingkan dengan definisi senada yang diajukan oleh al-Dzahabi> dalam al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah, hlm. 82.

54

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 289-290. 55

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 290.

56 H{i>lah (bentuk pluralnya: h}iyal) adalah penggunaan sarana-sarana hukum untuk mencapai tujuan-tujuan ekstra-legal yang tidak dapat dicapai secara langsung dengan mematuhi hukum awalnya. Lihat Joseph Schacht, “H{iyal” dalam C.E. Bosworth, dkk. [ed.], The Encyclopaedia of Islam, WebCD Edition (Leiden: Brill Academic Publishers, 2003). Al-Sya>t}ibi> sendiri menolak keras praktik h}i>lah yang didefinisikannya sebagai upaya pembatalan (isqa>t}) atau manipulasi (qalb) hukum melalui sebuah sarana (wa>sit}ah) untuk mencapai tujuan tertentu yang sebetulnya bukan merupakan, atau bahkan bertentangan dengan, tujuan syar‘i> dari ditetapkannya hukum tersebut. Lihat Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 2, hlm. 287-296.

57

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 291. 58

kebenaran pasti telah mencapai kadar tertentu dari [pemahaman dan pengetahuan tentang] makna ba>t}in tersebut.”59

Akan tetapi al-Sya>t}ibi> juga berusaha menghilangkan hubungan antara makna ba>t}in yang dikonsepsikannya itu dengan interpretasi-interpretasi sektarian yang dianggapnya menyimpang. Karena itu, agar sebuah makna ba>t}in bisa dianggap benar, al-Sya>t}ibi> menetapkan dua syarat berikut. Pertama, makna ba>t}in

itu sesuai dengan makna z}a>hir-nya dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Status al-Qur`an sebagai kitab berbahasa Arab menjadi basis

argumen al-Sya>t}ibi> pada poin ini. “Jika ada pemahaman yang absah dilakukan di luar koridor bahasa Arab,” tulis al-Sya>t}ibi>, “maka al-Qur`an tidak akan disebut

sebagai kitab berbahasa Arab.”60 Kedua, makna ba>t}in tersebut didukung oleh, serta tidak bertentangan dengan, dalil lain yang berupa nas}s} atau z}a>hir61 karena jika tidak, “maka hal itu adalah bagian dari tuduhan terhadap al-Qur`an, padahal

tuduhan yang tidak didukung bukti (al-da‘wa> al-mujarradah) tidak boleh diterima berdasarkan kesepakatan para ulama.”62

Melalui kriteria-kriteria di atas, al-Sya>t}ibi> menganggap salah banyak penafsiran kaum Ba>t}iniyyah,63 seperti bahwa t}aha>rah adalah “pembersihan diri dari keyakinan apapun selain ketaatan terhadap para imam”, bahwa tayammum

adalah “menerima ajaran para wakil imam sampai sang imam datang”, bahwa

s}iya>m adalah “menahan diri dari mengungkapkan rahasia”, bahwa shalat lima

waktu menunjukkan makna empat prinsip yang mereka yakini plus kewajiban

59

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 292. 60

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 295. 61

Nas}s} dan z}a>hir di sini adalah dua terma dalam us}ul fiqh yang merupakan bagian dari mubayyan. Menurut mayoritas us}u>li>, nas}s} adalah lafaz yang tidak mengandung kemungkinan takwil atau pemaknaan lain. Sedangkan z}a>hir adalah makna ra>jih} yang mengandung kemungkinan takwil. Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Beirut: Da>r al-Fikr, cet.2, 1998), vol. 1, hlm. 327.

62

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 295. 63

Al-Sya>t}ibi> menolak dengan sengit banyak penafsiran kelompok Ba>t}iniyyah. Ketika menyatakan bahwa ilmu terbagi dua: inti (s}ulb) dan pelengkap (mulah}), al-Sya>t}ibi> menyatakan bahwa penafsiran kelompok Ba>t}iniyyah tidak termasuk kedua-duanya karena penafsiran mereka itu tidak berdasar dan tidak pula dapat diterima akal sehat. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 1, hlm. 59-60. Bandingkan pula dengan Al-I‘tis}a>m, hlm. 183-185.

menaati imam, dan sebagainya.64 Pengalihan makna semacam itu bukanlah sesuatu yang dikenal oleh bangsa Arab dan sama sekali tidak didukung oleh dalil.

Dua syarat penerimaan makna ba>t}in tersebut juga bisa diberlakukan untuk menilai tafsir-tafsir yang berasal dari generasi-generasi terdahulu. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa Ibn ‘Abba>s menafsirkan “alif-la>m-mi>m” —“alif”

bermakna Allah, “la>m” bermakna Jibril, dan “mi>m” bermakna Muh}ammad. Jika riwayat ini sahih, tegas al-Sya>t}ibi>, maka ia sulit diterima (musykil) karena pemaknaan semacam itu tidak dikenal oleh bangsa Arab dan tidak pula didukung oleh dalil apa pun. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa huruf-huruf

muqat}t}a‘ah yang terletak di fawa>tih

}

al-suwar itu mengandung angka-angka

tertentu yang menunjukkan berapa lama agama Islam akan bertahan.65 Al-Sya>t}ibi> menolak penafsiran ini dengan menyatakan bahwa penggunaan huruf-huruf untuk menunjuk angka-angka tertentu bukanlah sesuatu yang berasal dari bangsa Arab, melainkan berasal dari bangsa Yahudi.66

Akan tetapi, al-Sya>t}ibi> tampaknya menyadari bahwa pemberlakuan dua kriteria untuk menilai tafsir makna ba>t}in al-Qur`an itu mesti dilakukan secara

hati-hati. Kehati-hatian ini terlihat ketika al-Sya>t}ibi> mengulas penafsiran Sahl al- Tustari> (w. 283 H.) terhadap ayat 22 dari surah al-Baqarah [2], “…Karena itu,

janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan (anda>d) bagi Allah, padahal

kamu mengetahui.” Al-Tustari> menyatakan bahwa tandingan terbesar (akbar al-

anda>d) bagi Allah adalah hawa nafsu manusia (al-nafs al-amma>rah). Pemaknaan

ini bertentangan dengan makna z}a>hir ayat tersebut—bahwa yang dimaksud dengan anda>d (bentuk tunggalnya: nidd) adalah patung-patung yang disembah

64

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 295-296.

65 Pendapat bahwa h}uru>f muqat}t}a‘ah mengandung angka-angka tertentu yang menunjukkan berapa lama agama Islam akan bertahan di atas tercantum dalam sebuah riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abba>s dan dinisbatkan kepada tiga orang pemeluk agama Yahudi, yakni Abu> Ya>sir ibn Akht}ab, H{ayy ibn Akht}ab, dan Ka‘b ibn al-Asyraf. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n, vol. 2, hlm. 18, al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n, vol. 1, hlm. 232, atau ‘A<isyah ‘Abd al-Rah}ma>n, Al-I‘ja>z al-Baya>ni> li al-Qur`a>n wa Masa`il ibn al-Azraq, hlm. 145-148.

66 Dalam persoalan fawa>tih} al-suwar itu, al-Sya>

t}ibi> mencantumkan banyak penafsiran yang dianggapnya menyimpang. Pendapat yang paling benar, menurutnya, adalah yang menyerahkan takwilnya kepada Allah semata. Lihat Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 296- 297. Posisi yang senada juga dianut oleh al-Suyu>t}i>. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n, vol. 2, hlm. 15.