• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PRINSIP-PRINSIP TAFSIR AL-SYA< T{ IBI<

C. Sumber Penafsiran al-Qur ` an

1. Tafsir bi al-Ma ` tsu> r dan

Tafsir bi al-ma`tsu>r dipahami sebagai upaya penafsiran al-Qur`an yang

didasarkan kepada hadits Rasulullah saw., riwayat para sahabat, atau pendapat para ta>bi‘i>n. Sejauh yang dapat diamati dari dua karyanya, al-Muwa>faqa>t dan al-

I‘tis}a>m, al-Sya>t}ibi> memang tidak menggunakan istilah “tafsir bi al-ma`tsu>r”.

Tetapi, sebagaimana akan diuraikan pada paragraf-paragraf berikut ini, al-Sya>t}ibi> menjelaskan secara cukup eksplisit pendapatnya tentang penafsiran al-Qur`an

berdasarkan riwayat-riwayat dalam tiga kategori di atas.

Penafsiran al-Qur`an yang dilakukan oleh Rasulullah saw., menurut al-

Sya>t}ibi>, adalah penafsiran yang “sahih dan tidak mungkin dipersoalkan kebenarannya” (s}ah}i>h} la> isyka>l fi> s}ih}h}atihi>) dan “tidak ada perbedaan pendapat tentang hal itu” (la> khila>f fi> dza>lika). Untuk tujuan “menjelaskan kandungan al- Qur`an” itulah Rasulullah saw. diutus oleh Allah sebagaimana dinyatakan dalam

al-Qur`an, “Dan Kami turunkan al-dzikr (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau

menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (al-

Nah}l [16]: 44).217 Selain itu, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, ketika al-Sya>t}ibi> menegaskan bahwa Sunnah memiliki status yang lebih sekunder dibandingkan al-Qur`an, dia juga secara bersamaan menekankan

fungsi Sunnah sebagai sumber yang tidak mungkin diabaikan dalam penafsiran al-Qur`an.

Para ulama berdebat mengenai persoalan berapa banyak ayat al-Qur`an

yang ditafsirkan Rasulullah saw. kepada para sahabat.218 Sebagian di antara mereka, seperti Ibn Taymiyah (w. 728 H.),219 berpendapat bahwa Rasulullah saw. menafsirkan seluruh ayat al-Qur`an. Sementara beberapa ulama lain, seperti al-

217

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 251. 218

Al-Dzahabi>, Al-Ittija>ha>t al-Munh}arifah, hlm. 11-12.

219 Ibn Taymiyah, Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r (Beirut: Da>

r Ibn H{azm, cet.2, 1997), hlm. 6.

Suyu>t}i> (w. 911 H.),220 menyatakan bahwa Rasulullah saw. hanya menafsirkan sebagian kecil dari ayat-ayat al-Qur`an. Al-Sya>t}ibi> sendiri tampaknya lebih

menyetujui pendapat kedua. Menurutnya, Rasulullah saw. hanya menjelaskan apa yang tanpanya al-Qur`an tidak mungkin dipahami (ma> la> yu>s}al ila> ‘ilmihi> illa>

bihi>) dan menyerahkan pemahaman atas hal-hal lainnya kepada ijtihad para

ulama.221

Setelah Rasulullah saw. wafat, otoritas tafsir al-Qur`an beralih kepada

para sahabat. Menurut al-Sya>t}ibi>, jika seluruh sahabat sepakat dalam penafsiran sebuah ayat, maka penafsiran tersebut dapat dianggap sahih dan layak dijadikan pegangan.222 Alasannya ada dua. Pertama, para sahabat adalah orang-orang Arab yang paling fasih dan memiliki pengetahuan paling mendalam tentang seluk- beluk bahasa mereka. Dari sudut pandang linguistik ini, tidak ada alasan untuk meragukan pemahaman mereka terhadap al-Qur`an dan seluruh aspek syariat

Islam.223 Kedua, mereka juga hidup di masa pewahyuan dan menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ayat-ayat al-Qur`an diturunkan. Dalam

hal itu, mereka dapat dianggap mengetahui apa yang tidak bisa diketahui oleh generasi-generasi setelah mereka.224 Karena itu, tulis al-Sya>t}ibi>,

“jika mereka memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai tafsir bagi bagian-bagian tertentu dari al-Qur`an atau Sunnah, yakni penjelasan yang

tanpanya teks [al-Qur`an atau Sunnah] itu tidak mungkin dipahami secara

benar (lam yakun tanzi>l al-nas}s} ‘alayhi ‘ala> wajhihi>), maka menerima dan

220

Pendapat ini dikutip al-Suyu>t}i> dari al-Khuwayyi>. Lihat al-Suyu>t}i>, Al-Itqa>n, vol. 2, hlm. 349.

221

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 315-316.

222 Para sahabat bersepakat, misalnya, bahwa penyebab perintah bersuci dalam ayat “wa in kuntum junuban fa-t}t}ahharu>” (al-Ma`idah [5]: 6) mencakup juga persentuhan dua alat kelamin laki-laki dan wanita (iltiqa>` al-khita>nayn). Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 251.

223

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 251. Dalam al-I‘tis}a>m, al-Sya>t}ibi> juga menyatakan, “Setiap orang yang berusaha meneladani mereka [yakni para sahabat] dalam memahami al-Qur`an dan Sunnah berdasarkan bahasa Arab; jika ia benar-benar menginginkan dirinya termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berhak melakukan ijtihad, maka, dengan kehendak Allah, dia akan termasuk dalam kelompok tersebut.” Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-I‘tis}a>m, hlm. 477.

224

mengamalkan penjelasan tersebut adalah sesuatu yang harus dilakukan”.225

Sedangkan dalam hal ketika sebuah penafsiran tidak disepakati oleh seluruh sahabat, al-Sya>t}ibi> cenderung memilih untuk menganggapnya sebagai persoalan ijtiha>diyyah sehingga para sahabat maupun orang-orang lain yang hidup setelah mereka pun memiliki posisi yang setara (hum wa man siwa>hum fi>hi

syara‘ sawa`).226 Meski demikian, uraian di bawah ini akan memperlihatkan

bahwa al-Sya>t}ibi> tetap menganggap para sahabat, dan generasi al-salaf al-s}a>lih} secara umum, sebagai generasi yang memiliki otoritas lebih besar daripada generasi-generasi setelah mereka.227

Al-Sya>t}ibi> mengecam keras praktik apa pun yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh generasi terdahulu (mukha>lafah al-awwali>n). “Jika keutamaan itu ada,” tulisnya, “maka generasi-generasi awal lebih berhak untuk memilikinya” (laka>na al-awwalu>n ah}aqqa bihi>). Karena itu, “siapa pun yang berbeda pendapat dengan generasi salaf terdahulu (man kha>lafa al-salaf al-

awwali>n), maka ia pasti berada dalam kesalahan (fa huwa ‘ala> khat}a`)”.228 Kesan

kontradiksi antar ayat al-Qur`an juga bisa timbul ketika ia dipahami tanpa

“berpedoman kepada generasi-generasi terdahulu” (min gayr i‘tima>d ‘ala> al-

awwali>n).229 Ketika menolak beberapa tafsir yang salah terhadap makna ba>t}in al-

Qur`an, al-Sya>t}ibi> berargumen bahwa,

“tidak pernah ada catatan bahwa generasi al-salaf al-s}a>lih}, yakni para sahabat dan ta>bi‘i>n, menafsirkan al-Qur`an dengan cara seperti itu. Jika

tafsir [dengan cara semacam itu] telah mereka kenal, maka penafsiran

225

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 252. 226

Al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 253. 227

Secara umum, al-Sya>t}ibi> memang menempatkan para sahabat pada posisi yang sangat tinggi dalam pemahaman terhadap seluruh ajaran Islam. Sunnah para sahabat adalah sunnah yang harus diikuti, diamalkan, dan dirujuk. Al-Sya>t}ibi> mendasarkan pendapatnya ini pada argumen- argumen yang bersumber dari al-Qur`an, hadits Rasulullah saw., serta pandangan para ulama. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 4, hlm. 54-59 dan al-I‘tis}a>m, hlm. 498-499.

228

Atas dasar klaim itulah al-Sya>t}ibi> menganggap salah tafsir-tafsir al-Qur`an yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang menyimpang, seperti Ba>t}iniyyah dan Tana>sukhiyyah. Lihat al-Sya>t}ibi>, Al-Muwa>faqa>t, vol. 3, hlm. 52-53.

229

mereka tentu akan sampai kepada kita karena semua ulama sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang paling tahu tentang makna z}a>hir dan makna ba>t}in al-Qur`an. Generasi umat Islam yang datang belakangan

tentu tidak lebih mendapat petunjuk serta tidak pula lebih memahami syariat Islam dibandingkan generasi-generasi terdahulu itu.”230

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa al-Sya>t}ibi> menempatkan tafsir yang dilakukan oleh generasi salaf (tafsir bi al-ma`tsu>r) sebagai salah satu sumber yang tidak bisa diabaikan untuk memahami al-Qur`an. Meski demikian,

al-Sya>t}ibi> tidak menganggap penafsiran generasi salaf itu sebagai satu-satunya sumber dalam penafsiran al-Qur`an. Kita akan melihat pada bagian berikut ini

bagaimana al-Sya>t}ibi> membolehkan praktik tafsir bi al-ra`y dengan persyaratan- persyaratan tertentu serta bahwa, dalam dalam upayanya untuk melegitimasi tafsir bi al-ra`y itu, al-Sya>t}ibi> pun menggunakan otoritas generasi salaf sebagai sandaran.