II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi Hujan Asam
Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena
keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu dan tempat. Hujan adalah salah
satu bentuk dari presipitasi. Menurut Lakitan (2002), presipitasi adalah proses
jatuhnya butiran air atau kristal es ke permukaan bumi. Sedangkan
Tjasyono (2004) mendefenisikan presipitasi sebagai bentuk air cair dan padat (es)
yang jatuh ke permukaan bumi. Kabut, embun dan embun beku bukan merupakan
bagian dari presipitasi (frost) walaupun berperan dalam alih kebasahan (moisture).
Curah hujan terukur dalam inci atau millimeter. Jumlah curah hujan 1 mm,
menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan bumi 1 mm, jika air
tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfer.
Nilai pH air hujan pada saat terjadi hujan asam dapat lebih kecil dari pada
pH air hujan normal (5,6), yakni mencapai nilai 2 atau 3. Hujan asam terjadi
karena tingginya gas sulfur oksida (SOX) dan nitrogen oksida (NOX). Gas sulfur
oksida dapat berupa sulfur dioksida (SO2), sulfit (SO32-), dan sulfat (SO42-);
sedangkan nitrogen oksida dapat berupa nitrat (NO3) dan nitrogen dioksida (N2O).
gas-gas tersebut terdapat di atmosfer sebagai hasil emisi (buangan) dari kegiatan
industri kendaraan bermotor. SOX terutama dihasilkan dari hasil pembakaran batu
bara (mengandung banyak sulfur); sedangkan NOX terutama dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar minyak. Selain mengeluarkan gas NOX, kendaraan
bermotor juga melepaskan emisi gas hidrokarbon, CO dan partikel timbal.
menghasilkan H2S, HSO3- dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi
gas NOX akan menghasilkan asam nitrat (HNO3) sehingga menurunkan nilai pH
air hujan (Effendi, 2003).
Nordstrom et.al (2000) mendefenisikan pH sebagai derajat keasaman yang
digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh
suatu larutan. Kemasaman (pH) menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu
larutan, melalui konsentrasi ion hydrogen H+ (Alaerts dan Santika, 1987). Air
dapat bersifat asam atau basa, terkandung pada besar kecilnya pH air atau
besarnya konsentrasi ion hydrogen dalam air, pH normal berkisar antara 6,5-7,5.
Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam,
sedangkan air yang mempunyai pH yang lebih besar dari pH normal akan bersifat
basa (Sunu, 2001).
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan.
Karena pH mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan tumbuhan dan
hewan akuatik, maka pH suatu perairan sering kali dipakai sebagai petunjuk baik
atau buruknya perairan sebagai lingkungan hidup. Terdapat suatu hubungan antara
pH dengan sebaran hewan akuatik di perairan alamiah yang ternyata sangat
menarik, berkaitan dengan masalah pencemaran yang dihubungkan dengan hujan
asam dan proses pengasaman perairan secara alami (Nugroho, 2006).
B. Penyebab Hujan Asam
Secara alami hujan asam dapat terjadi akibat semburan dari gunung merapi
dan dari proses biologis tanah, rawa dan laut. Akan tetapi, mayoritas hujan asam
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik,
oleh proses ini dapat terbawa angin hingga beberapa kilometer di atmosfer
sebelum berubah menjadi asam dan terdeposit ke tanah (Agustiarni, 2008).
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor
dalam bahan bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen
membentuk sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer
dan bereaksi dengan air untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang
mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan. Nitrogen oksida, diemisikan dari
pembakaran pada temperatur tinggi yang bereaksi dengan bensin yang tidak
terbakar dengan sempurna dan zat hidrokarbon lain akan membentuk ozon rendah
atau smog kabut berawan coklat kemerahan (Susanta dan Sutjahjo, 2008).
Bahan bakar fosil merupakan sumber utama terjadinya pencemaran udara.
Pencemaran udara yang terjadi berbanding lurus dengan pengembangan industri
modern, pembangkit tenaga listrik, penggunaan batubara dan kemajuan sektor
transportasi. Pembakaran sempurna bahan bakar fosil menghasilkan CO2 dan H2O
bersama beberapa nitrogen oksida yang muncul dari fiksasi nitrogen dan atmosfer
pada suhu tinggi. Pembakaran yang tidak sempurna menghasilkan asap hitam
yang terdiri dari partikel-partikel karbon atau hidrokarbon kompleks atau CO dan
senyawa organik yang teroksidasi sebagian (Kristanto, 2002).
Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam dapat diilustrasikan
sebagai berikut:
S (g) + O2 (g) SO2 (g)
2SO2(g) + O2 (g) 2SO3 (g)
Sejak dimulainya revolusi industri, jumlah sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke
atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama
batubara, merupakan sumber utama meningkatnya oksida belerang ini.
Pembacaan pH di area industri terkadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman
cuka). Sumber ini ditambah oleh transportasi yang merupakan penyumbang utama
hujan asam. Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan
pertumbuhan populasi dan indutri tetapi lebih berkembang menjadi lebih luas.
Penggunaan cerobong asap yang tinggi untuk mengurangi populasi lokal
berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena emisi gas yang
dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan
lebih luas (Agustiarni,2008).
C. Dampak kegiatan industri dan hujan asam
Pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pembangunan yang masih berpusat
pada daerah perkotaan (70 % industri diperkirakan berlokasi di kawasan
perkotaan dan sekitarnya), memacu arus urbanisasi sehingga berpengaruh
terhadap penyebaran penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
luasan lahan yang terbatas akan berakibat terhadap menurunnya kemampuan daya
dukung dan daya tampung lingkungan. Masalah lain yang timbul akibat
bertambahnya penduduk diantaranya adalah penurunan kualitas lingkungan yang
diakibatkan oleh limbah rumah tangga, seiring dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, sektor industri merupakan penyumbang
pencemaran udara melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit
tenaga. Adapun salah satu penyebab meningkatnya pencemaran udara di
tidak dibarengi dengan pengendalian pencemaran yang memadai dan efesien
dalam penggunaan bahan bakar fosil (BPLH DKI, 2004).
Gangguan pada harta benda dan ekosistem terutama terjadi sebagai akibat
adanya hujan asam. Hujan asam terjadi bila di udara terdapat bahan pencemar
terutama gas SO2 (Sulfur Dioksida) dan gas NOx (Nitrogen Oksida) di udara. Gas
SO2 di udara umumnya berasal dari bahan bakar yang mengandung sulfur
(misalnya batu-bara dan minyak bumi). Gas SO2 di udara bereaksi dengan uap air
atau larut pada tetesan air membentuk H2SO4 yang merupakan komponen utama
dari hujan asam. Dengan cara yang sama, gas NOx di udara bereaksi dengan uap
air atau larut pada tetesan air membentuk HNO3 yang juga merupakan komponen
utama dari hujan asam. Hujan asam bersifat korosif sehingga dapat mengoksidasi
benda-benda yang kontak dengannya. Proses turunnya hujan asam ke permukaan
bumi dapat terjadi pada jarak (0-10) km untuk jarak dekat dan (100-1.000) km
untuk jarak jauh. Selain itu juga hujan asam mengakibatkan terjadinya perubahan
pH pada badan air dan tanah yang dilaluinya, sehingga terjadi perubahan
kesetimbangan dalam ekosistem (Wardhana, 1995).
Meningkatnya kegiatan industri biasanya akan diikuti dengan
meningkatnya kegiatan perekonomian dan jumlah penduduk, sehingga kebutuhan
akan transportasi khususnya kendaraan bermotor akan meningkat terus. Hal
tersebut akan menyebabkan konsentrasi pencemaran udara semakin tinggi. Gas
sulfur dioksida (SO2) adalah salah satu gas buang kendaraan bermotor yang
menyebabkan gangguan pernafasan, mengurangi visibilitas, mempercepat
pengkaratan, menyebabkan pencemaran udara juga menyebabkan terjadinya hujan
Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap
lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu: menurunnya fungsi paru,
peningkatan penyakit pernafasan dan beberapa penyakit lainnya. Selain itu
pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi, gangguan
penglihatan dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan. Hujan
asam merupakan salah satu indikator untuk melihat kondisi pencemaran udara dan
air. Hujan asam terjadi karena banyaknya polutan di udara yang larut dan terbawa
oleh air hujan sehingga pH air akan berada di bawah rata. Batas nilai
rata-rata pH air hujan adalah 5.6, merupakan nilai yang di anggap normal atau hujan
alami seperti yang telah disepakati secara internasional oleh badan kesehatan
dunia WHO. Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5.6, maka hujan bersifat asam
atau sering disebut hujan asam dan apabila pH air hujan lebih besar 5.6 maka
hujan bersifat basa. Dampak hujan yang bersifat asam dapat mengikis
bangunan/gedung atau bersifat korosif terhadap bahan bangunan, merusak
kehidupan biota di danau-danau dan aliran sungai (BMG, 2004).
Susanta dan Sutjahjo (2008), menyatakan hujan secara alami bersifat asam
(pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan
air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Apabila hujan dengan pH kurang
dari 5,6 terutama pH di bawah 5,1 akan berdampak negatif dan menyebabkan
berbagai kerusakan diantaranya dapat merusak properti, monumen, patung, bahan
logam, dapat mematikan berbagai jenis binatang dan tumbuhan, menghambat
pertumbuhan tanaman pangan dan sayur, menyebabkan penyakit pernafasan dan
yang paling parah, pada ibu hamil akan menyebabkan bayi yang lahir prematur
Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara pH 6-8,
sedangkan pH air yang terpolusi, misalnya air buangan, berbeda-beda tergantung
dari jenis buangannya. Sebagai contoh, air buangan pabrik pengalengan
mempunyai pH 6,2 – 7,6, air buangan pabrik susu dan produk-produk susu
biasanya mempunyai pH 7,6 – 9,5. Pada industri makanan, peningkatan keasaman
air buangan umumnya disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Air
buangan industri-industri bahan anorganik pada umumnya mengandung asam
mineral dalam jumlah tinggi sehingga keasamannya juga tinggi atau pH-nya
rendah. Adanya komponen besi sulfur (FeS2) dalam jumlah tinggi di dalam air
juga akan meningkatkan keasaman karena FeS2 dengan udara dan air akan
membentuk H2SO4 dan besi (Fe) yang larut. Perubahan keasaman pada air
buangan, baik kearah alkali (pH menaik) maupun kearah asam (pH menurun),
akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air di sekitarnya. Selain itu,
air buangan yang mempunyai pH rendah bersifat sangat korosif terhadap baja dan
menyebabkan pengkaratan pada pipa-pipa besi (Agusnar, 2008).