• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI WONOGIRI TAHUN 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI WONOGIRI TAHUN 2012"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI WONOGIRI

TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

Nurul Wachidah Syam

K 5108044

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KABUPATEN

WONOGIRI TAHUN 2012

Oleh :

Nurul Wachidah Syam

K5108044

SKRIPSI

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar

Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

iv

(5)

commit to user

(6)

commit to user

vi MOTTO

# ...niscaya Alloh akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...#

( Terjemahan Q.S Al-Mujadilah(58): 11)

# Tuhan tak akan memberi kita kekurangan tanpa kelebihan karena Tuhan telah

mengkombinasikan antara kelebihan dengan kekurangan untuk menjadi

sempurna#

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada:

 Bapak dan Ibu

Terimakasih atas do’a, asuhan, kasih sayang dan cinta kalian yang tak terbatas. Beruntungnya aku karena Alloh telah menitipkankku pada kalian.

 Kedua adikku, Isna dan Eshan

Terima kasih atas doa, cinta dan kebahagiaan yang telah kalian berikan. Kita saudara selamanya.

 Mbah Uti dan Alm. Mbah Kung

Terimakasih untuk doa dan semangatnya.

 Sahabat Romantis 12, Dian, Wiwit, Isni, Rima, Esti, Putri, Dahlia, Shanti, Tita, Gandis, dan Siska.

Kita tidak dapat memilih keluarga tapi kita dapat memilih teman untuk menjadi keluarga. Kalianlah teman yang menjadi keluargaku.

 Tim Inklusi Wonogiri, Dian, Isni, Tia, Eka, Priske, dan Enggar Semangat dan perjuangan kita sungguh-sungguh luar biasa kawan.

 Teman-teman PLB 2008

Terimakasih atas semangat dan perjuangannya.

Semoga kita bisa menjadi pendidik yang sejati untuk mereka yang luar biasa. Sukses untuk kita semua..!!!

(8)

commit to user

viii ABSTRAK

Nurul Wachidah Syam. K5108044. PREVALENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI KABUPATEN WONOGIRI TAHUN 2012. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) prevalensi anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri tahun 2012, (2) klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainannya, (3) klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya, (4) prosentase anak berkebutuhan khusus di setiap kecamatan, (5) jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian survey, dan dianalisis menggunakan statistik deskriptif, dimana perhitungan statistik dilakukan menggunakan frekuensi dan persentase. Untuk data yang bersifat kualitatif disajikan dalam bentuk deskripsi untuk menggambarkan hasil dari analisis data kuantitatif.. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak yang diduga berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri. Sampel yang digunakan adalah sampel populasi, adapun teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh karena seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel. Teknik pengumpulan data menggunakan angket.

(9)

commit to user

ix

Paranggupito terdapat 15 anak (0,81%); (q) Pracimantoro terdapat 84 anak (4,52%); (r) Puhpelem terdapat 8 anak (0,44%); (s) Selogiri terdapat 111 anak (5,97%); (t) Sidoharjo terdapat 92 anak (4,94%); (u) Slogohimo terdapat 218 anak (11,72%); (v) Tirtomoyo terdapat 50 anak (2,68%); (w) Wonogiri terdapat 314 anak (16,89%); (x) Wuryantoro terdapat 15 anak (0,81%). (5) jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya sebanyak 1850 anak (99,47%) sedangkan yang belum mendapat layanan pendidikan sebanyak 10 anak (0,53%).

(10)

commit to user

(11)

commit to user

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

karunia, rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang berjudul Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di

Kabupaten Wonogiri Tahun 2012.

Skripsi ini disusun serta diajukan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari

dukungan serta bantuan dari berbagai pihak yang terlibat dalam penelitian dan

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

izin dalam melakukan penelitian;

2. Prof. Dr.rer.nat. Sajidan, M.Si, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

izin dalam melakukan penelitian;

3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan

izin dalam melakukan penelitian;

4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,;

5. Drs. Hermawan, M.Si, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing II atas bimbingan,

(12)

commit to user

xii

6. Priyono,S.Pd, M.Si, selaku Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta,;

7. Dewi Sri Rejeki, S. Pd, M.Pd selaku Pembimbing Akademik yang telah

memberikan bimbingan serta pengarahan;

8. Bapak Ibu Dosen Pendidikan Luar Biasa Universitas Sebelas Maret yang telah

memberikan pengalaman serta ilmunya;

9. Prof. Dr. Sunardi, M.Sc, selaku Pembimbing I atas bimbingan, saran, dan

nasehat yang diberikan sampai selesainya skripsi ini;

10.Drs. H. Siswanto M.Pd, selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri

yang telah memberikan ijin penelitian.

11.Dra Sri Mulyati, M.Pd, selaku Kepala Bidang Pendidikan TK/SD Dinas

Pendidikan Wonogiri beserta stafnya yang selalu meluangkan waktu guna

terselesaikannya penelitian ini.

12.Kepala UPTD Dinas Pendidikan seKabupaten Wonogiri yang telah bersedia

membantu menyalurkan angket.

13.Seluruh Bapak/Ibu guru SD dan SLB yang telah bersedia memberikan

informasi melalui pengisian angket.

14.Keluarga dan teman-teman atas do’a dan semangatnya.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pihak yang

bersedia membacanya dan bagi penulis khususnya.

Surakarta, Juli 2012

(13)

commit to user

xiii DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Pernyataan ... . ii

Halaman Pengajuan ... iii

Halaman Persetujuan Pembimbing ... iv

Halaman Pengesahan Penguji ... . v

Halaman Motto ... vi

Halaman Persembahan ... vii

Abstrak ... viii

Kata Pengantar ... xi

Daftar Isi ...xiiii

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar ... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 4

D. Perumusan Masalah ... 4

(14)

commit to user

xiv

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ... 6

1. Prevalensi…………... ... 6

2. Anak Berkebutuhan Khusus…………... ... 7

3. Anak Tunanetra ... 13

4. Anak Tunarungu ... 19

5. Anak Tunagrahita ... 29

6. Anak tunadaksa ... 37

7. Anak Tunalaras ... 44

8. Anak Berkesulitan Belajar ... 53

9. Anak berbakat ... 61

10.Hasil Penelitian Yang Relevan ... 71

B. Kerangka Berpikir ... 73

C. Hipotesis ... 74

BAB III METODE PENELITIAN... 75

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 75

B. Rancangan/Desain Penelitian ... 76

C. Populasi dan Sampel ... 77

D. Teknik Pengumpulan Data ... 78

E. Analisis Data ... 83

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 85

(15)

commit to user

xv

B. Hasil Penelitian ... 87

C. Pembahasan ... 97

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 102

A. Simpulan ... 102

B. Implikasi ... 103

C. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 : Distribusi Frekuensi ABK Berdasarkan Kelainan ... 72

Tabel 2.2 : Distribusi Frekuensi ABK Berdasarkan Usia ... 72

Tabel 3.1 : Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian ... 76

Tabel 4.1 : Daftar Nama Kecamatan di Kabupaten Wonogiri ... 86

Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Siswa SD/MI/SLB di Kabupaten Wonogiri tahun 2012... 88

Tabel 4.3 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan di Kabupaten Wonogiri tahun 2012... 89

Tabel 4.4 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan Berdasarkan Kelainannya ... 90

Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Prevalensi Anak Berkebutuhan Berdasarkan Umur ... 92

Tabel 4.6 : Distribusi Frekuensi Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus di Tiap Kecamatan ... 94

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 : Skema Kerangka Berfikir ... 73

Grafik 4.1 : Prosentase Siswa di Kabupaten Wonogiri ... 88

Grafik 4.2 : Prevalensi Anak Berkebutuhan Khusus di Kabupaten Wonogiri 89

Grafik 4.3 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan

Kelainannya ... 91

Grafik 4.4 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Umur ... 93

Grafik 4.5 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus di Tiap Kecamatan ... 95

Grafik 4.6 : Prosentase Anak Berkebutuhan Khusus yang Sudah Terlayani

Pendidikannya dan yang Belum Terlayani Pendidikannya ... 96

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 :Instrumen Penelitian SD ... 110

Lampiran 2 :Instrumen Penelitian SLB ... 114

Lampiran 3 :Data SLB B C YMS Wonogiri ... 121

Lampiran 4 :Data SD N II Krisak ... 128

Lampiran 5 :Data SDN V Giritontro... 131

Lampiran 6 :Data SDN III Wonokerto ... 135

Lampiran 7 :Rekapitulasi Data Kecamatan Eromoko... 139

Lampiran 8 :Rekapitulasi Data Kecamatan Ngadirojo ... 143

Lampiran 9 :Rekapitulsi Data Kecamatan Jatiroto ... 147

Lampiran 10 :Data Anak Berkebutuhan Khusus yang Belum Mendapat Layanan Pendidikan ... 149

Lampiran 11 :Rekapitulasi Data Siswa di Kabupaten Wonogiri ... 150

Lampiran 12 :Rekapitulasi Data Anak Berkebutuhan Khusus ... 151

Lampiran 13 :Rekapitulasi Data Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Umur ... 152

(19)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mensukseskan program wajib belajar pendidikan dasar

sembilan tahun dan perwujudan hak azasi manusia, pelayanan pendidikan anak

berkebutuhan khusus perlu lebih ditingkatkan.

Kirk dan Gallagher mengemukakan definisi anak berkebutuhan khusus

sebagai anak yang menyimpang dari rata-rata atau normal dalam karakteristik

mental, kemampuan sensoris, karakteristik neuromotor atau fisik, perilaku sosial,

kemampuan berkomunikasi, atau gabungan dari berbagai variabel tersebut.

Sedangkan menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa mengemukakan bahwa

peserta didik berkelainan adalah peserta didik yang secara signifikan (berarti)

mengalami kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,

mental, intelektual, emosional, dan/atau sosial, sehingga mereka memerlukan

pendidikan khusus.

Dengan demikian, meskipun seorang peserta didik mengalami kelainan

atau penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangannya tidak signifikan

sehingga mereka tidak memerlukan pendidikan khusus, peserta didik tersebut

bukan termasuk peserta didik yang memiliki kelainan.

Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak

diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar

Luar Biasa (SDLB). Sementara itu lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada

di Ibu Kota Kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus tersebar tidak

hanya di Ibu Kota Kabupaten, namun hampir diseluruh daerah (Kecamatan/Desa).

Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus tersebut tidak bersekolah karena

lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah

reguler terdekat belum memiliki kesadaran untuk menerima anak dengan

berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu melayaninya.

Sebagian lain yang selama ini dapat diterima di sekolah reguler tersebut,

(20)

commit to user

berpotensi tinggal kelas yang pada akhirnya akan putus sekolah. Akibat lebih

lanjut program wajib belajar pendidikan sembilan tahun akan sulit tercapai.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5

dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama

memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak

pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal)

dalam pendidikan. Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 5 dinyatakan bahwa: (1)

setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu; (2) warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; (3)

warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang

terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus; (4) warga negara yang

memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan

khusus; dan (5) setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan

pendidikan sepanjang hayat.

Lebih lanjut dipertegas pada pasal 32, bahwa: (1) pendidikan khusus

merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam

mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,

dan/ atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; (2) pendidikan layanan

khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil, dan/atau

mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi

(dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebut

dengan istilah daerah khusus). Hal ini menunjukkan bahwa secara yuridis,

pemerintah sangat serius dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia di

Indonesia. Setiap warga negara diberi hak untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu dan sepanjang hayat, baik bagi warga negara yang berkelainan (cacat),

normal, maupun yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; baik yang

(21)

commit to user

masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana

sosial, serta tidak mampu dari segi ekonomi.

Perlunya perhatian terhadap pendidikan anak berkebutuhan khusus

disebabkan jumlah mereka yang ternyata tidak sedikit. Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia (2010) menyebutkan bahwa WHO memperkirakan jumlah

anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total populasi anak.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat

82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar

8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus.

Joglo Semar (2010) menjelaskan data dari Direktorat Pembinaan Sekolah

Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional menyebutkan Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) di Indonesia mencapai sebanyak 324.000 orang. Dari 324.000

ABK, baru 75.000 anak yang sudah tersentuh pendidikan, sedangkan sisanya

sebanyak 249.000 belum tersentuh pendidikan.

Kompas (2012) menyebutkan bahwa pada tahun 2012 jumlah anak

berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat mencapai 1.544.184 anak, dengan

330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah

tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang bersekolah. Artinya,

masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus yang belum mengenyam

pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.

Dari data diatas diketahui bahwa masih banyak anak berkebutuhan khusus

yang belum terlayani pendidikannya. Oleh karena itu untuk mendapatkan data

yang lebih akurat dan dapat digunakan untuk dasar pembuatan kebijakan dalam

(22)

commit to user

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian pada latar belakang penelitian tersebut, ada beberapa masalah

yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus, yaitu:

1. Pelayanan pendidikan bagi Anak Bekebutuhan Khusus (ABK) yang masih

perlu ditingkatkan.

2. Letak SLB dan SDLB yang berada di Ibu Kota Kabupaten padahal

keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tersebar di Kecamatan/Desa.

3. Sekolah umum/reguler yang berada didekat rumah Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) belum mampu melayani peserta didik dengan berkebutuhan

khusus.

4. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang tidak sedikit dan masih banyak yang

belum terlayani pendidikannya.

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah yang telah diuraikan, peneliti tidak akan meneliti

semua masalah tersebut. Dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas hanya

jumlah dan klasifikasi anak berkebutuhan khusus yang berusia 7-18 tahun.

D. Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang penelitian, identifikasi dan batasan masalah

tersebut, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Berapa prevalensi anak berkebutuhan khusus di Kabupaten Wonogiri tahun

2012?

2. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya?

3. Bagaimana klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya?

4. Berapa prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan?

5. Berapa jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani

(23)

commit to user

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Prevalensi anak berkebutuhan khusus di kabupaten Wonogiri tahun 2012.

2. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelainanannya.

3. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus berdasarkan umurnya.

4. Prosentase anak berkebutuhan khusus di tiap kecamatan.

5. Jumlah anak berkebutuhan khusus yang sudah terlayani pendidikannya.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik secara

teoretis maupun praktis sebagai berikut:

1. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk:

a. Memberikan informasi tentang prevalensi siswa berkebutuhan khusus.

b. Dijadikan studi lanjutan yang relevan tentang siswa berkebutuhan khusus.

c. Menjadi bahan kajian ke arah pengembangan pendidikan bagi siswa

berkebutuhan khusus.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk:

a. Informasi bagi pemerintah kabupaten Wonogiri sebagai bahan landasan

membuat kebijaksanaan dalam pelayanan pendidikan siswa berkebutuhan

khusus.

b. Informasi bagi peneliti tentang prevalensi siswa berkebutuhan khusus di

(24)

commit to user

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori Dan Hasil Penelitian Yang Relevan

1. Prevalensi

Prevalensi merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan

jumlah suatu kondisi tertentu dalam masyarakat. Banyak penelitian dalam dunia

pendidikan, kesehatan, dan sosial menggunakan istilah prevalensi untuk

menunjukkan jumlah suatu kondisi dalam masyarakat. Berikut diuraikan beberapa

pengertian prevalensi.

Sunardi (1995) menjelaskan bahwa prevalensi dari suatu gejala adalah jumlah

orang dalam populasi tertentu yang menunjukkan gejala yang dimaksud pada saat

tertentu.

Menurut artikata.com prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit

yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.

www.kamuskesehatan.com menjelaskan prevalensi adalah seberapa sering

suatu penyakit atau kondisi terjadi pada sekelompok orang. Prevalensi dihitung

dengan membagi jumlah orang yang memiliki penyakit atau kondisi dengan

jumlah total orang dalam kelompok.

Kadri (2010) menyebutkan bahwa prevalensi adalah jumlah keseluruhan orang

yang menggambarkan kondisi tertentu yang menimpa sekelompok penduduk

tertentu (point prevalence), atau pada periode tertentu (period prevalence) tanpa

melihat kapan kondisi itu mulai dibagi dengan jumlah penduduk yang mempunyai

resiko tertimpa penyakit pada waktu titik tertentu atau periode tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi

adalah jumlah keseluruhan orang yang menggambarkan kondisi tertentu dalam

populasi tertentu pada waktu titik tertentu atau pada periode waktu tertentu.

Menghitung prevalensi anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan dalam dunia

pendidikan guna memenuhi kebutuhan pendidikan mereka yang memerlukan

(25)

commit to user

2. Anak berkebutuhan khusus

a. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Terdapat istilah yang sering membingungkan masyarakat, yaitu istilah

anak cacat atau anak yang menyandang ketunaan (handicapped children)

dengan istilah anak luar biasa atau berkelainan. Kebingungan tersebut

disebabkan antara lain karena penyelenggaraan pendidikan luar biasa

berlangsung di sekolah luar biasa, dan anak-anak yang bersekolah di SLB

pada umumnya anak-anak cacat atau yang menyandang ketunaan, sehingga

anak luar biasa diidentikkan dengan anak-anak cacat. Padahal, anak luar biasa

atau berkelaian memiliki arti generik, yakni baik yang sub-normal (di bawah

normal/cacat) maupun yang upnormal (di atas normal/berbakat). Sejalan

dengan perkembangan jaman, istilah anak luar biasa diperhalus dengan istilah

anak berkebutuhan khusus. Hal ini dilihat dari kebutuhan anak luar biasa yang

membutuhkan pelayanan khusus sesuai dengan karakteristiknya. Berikut ini

dijelaskan beberapa pengertian anak berkebutuhan khusus.

Menurut Kirk, Heward & Orlansky dalam Efendi (2006:2) anak

berkelainan adalah siswa yang dianggap memiliki kelainan penyimpangan dari

kondisi rata-rata anak normal umumnya, dalam hal fisik, mental, maupun

karakteristik perilaku sosialnya

Wardani, Astati, Hernawati, Somad (2007) menjelaskan:

Anak luar biasa adalah anak yang mempunyai sesuatu yang luar biasa yang secara signifikan membedakannya dengan anak-anak seusia pada umumnya. Keluarbiasaan yang dimiliki anak tersebut dapat merupakan sesuatu yang positif, dapat pula yang negatif. Dengan demikian, keluarbiasaan itu dapat berada di atas rata-rata anak normal, dapat pula berada di bawah rata-rata anak normal (hlm. 1.3).

Menurut Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) secara statistika, yang dimaksud dengan anak luar biasa atau anak berkelainan ialah “anak yang menyimpang dari kriteria normal atau rata-rata, baik penyimpangan ke atas

maupun penyimpangan ke bawah; sedangkan anak yang menyandang

(26)

commit to user

Menurut direktorat pendidikan luar biasa (2004)

anak berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus (hlm. 5).

Dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak

berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan/ penyimpangan

dari kondisi rata-rata anak seusianya dalam hal fisik, mental, dan intelektual

sehingga dalam pendidikannya membutuhkan pelayanan khusus.

b. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Tujuan dilakukannya klasifikasi berkebutuhan khusus bukan untuk

memisahkan mereka dari anak normal tetapi hanya untuk keperluan

pembelajaran bukan untuk keperluan pendidikan.

Amin & Dwidjosumarto dalam Efendi (2006) Menurut klasifikasi dan

jenis kelainan, anak berkebutuhan khusus dikelompokkan ke dalam kelainan

fisik, kelainan mental, dan kelainan karakteristik sosial.

1) Kelainan fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih

organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada

fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal.

Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada: a) alat fisik indra, misalnya

pada indra penglihatan (tunanetra), indra pendengaran (tunarungu), dan

organ bicara (tunawicara); b) alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot

dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang

berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota

badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa

tangan/ kaki, amputasi, dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat motorik

tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.

(27)

commit to user

Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki

penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi

dunia sekitarnya. Kelainan pada aspek mental ini dapat menyebar ke dua

arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan

mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih

atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: a) anak

mampu belajar dengan cepat (rapid learner), b) anak berbakat (gifted), dan

c) anak genius (extremelly gifted).

Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita,

yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang

sedemikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas

perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus,

termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya.

3) Kelainan perilaku sosial

Kelainan perilaku atau tunalaras adalah mereka yang mengalami

kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib,

norma sosial, dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan

dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan,

sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/ norma maupun

kesopanan.

Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami

kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak

dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan

sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan

dibedakan menjadi: a) tunalaras emosi, yaitu penyimpangan perilaku

sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi, b) tunalaras sosial,

yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam

penyesuaian sosial karena bersifat fungsional (hlm. 4).

Kirk dan Gallagher dalam Abdurrahman dan Sudjadi (1994)

(28)

commit to user

1) Kelainan mental, meliputi anak-anak

a) Yang memiliki kapasitas intelektual luar biasa tinggi (intellectually

superior) dan

b) Yang lamban dalam belajar (mentally retarded);

2) Kelainan sensoris, meliputi anak-anak dengan

a) Kerusakan pendengaran (auditory impairments) dan

b) Kerusakan penglihatan (visual impairments);

3) Gangguan komunikasi, meliputi anak-anak dengan

a) Kesulitan belajar (learning disabilities) dan

b) Gangguan dalam berbicara dan berbahasa (speech and language

impairments);

4) Gangguan perilaku, meliputi anak-anak dengan

a) Gangguan emosional (emosional distrubance) dan

b) Ketidaksesuaian perilaku sosial atau tunalaras (social maladjusment);

dan

5) Tunaganda, cacat berat meliputi macam-macam kombinasi kecacatan,

seperti: cerebral palsy dengan tunagrahita, tunanetra dengan tunagrahita,

dan sebagainya (hlm. 10).

Dembo dalam Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) mengklasifikasikan

untuk keperluan pembelajaran dikemukakan seperti berikut ini:

1) Tunagrahita (mental retardation);

2) Berkesulitan belajar (learning disabilities);

3) Gangguan perilaku atau gangguan emosi (behavior disorders);

4) Gangguan bicara dan bahasa (speech and language disorder);

5) Kerusakan pendengaran (hearing impairments);

6) Kerusakan penglihatan (visual impairments);

7) Kerusakan fisik dan gangguan kesehatan (physical and other health

impairments);

(29)

commit to user

9) Berkecerdasan luar biasa tinggi atau berbakat (gifted and talented) (hlm.

11).

Menurut Abdurrachman dalam Wardani, dkk (2007) kategori

keluarbiasaan berdasarkan jenis penyimpangan yang dibuat untuk keperluan

pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Kelompok yang mengalami penyimpangan dalam bidang intelektual,

terdiri dari anak yang luar biasa cerdas (intellectually superior) dan anak

yang tingkat kecerdasannya rendah atau yang disebut tunagrahita.

2) Kelompok yang mengalami penyimpangan atau keluarbiasaan yang terjadi

karena hambatan sensoris atau indra, terdiri dari anak tunanetra dan

tunarungu.

3) Kelompok anak yang mendapat kesulitan belajar dan gangguan

komunikasi.

4) Kelompok anak yang mengalami penyimpangan perilaku, yang terdiri dari

anak tunalaras dan penyandang gangguan emosi.

5) Kelompok anak yang mempunyai keluarbiasaan/ penyimpangan ganda

atau berat dan sering disebut sebagai tunaganda (hlm. 1.5).

Berdasarkan klasifikasi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

klasifikasi siswa berkebutuhan khusus adalah:

1) Tunanetra;

2) Tunarungu;

3) Tunawicara;

4) Tunagrahita;

5) Tunadaksa;

6) Tunalaras;

7) Tunaganda;

8) Kesulitan belajar; dan

(30)

commit to user

c. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus

Faktor penyebab terjadinya kelainan pada seseorang sangatlah beragam,

berikut dijelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya kelainan.

Menurut Efendi (2006) faktor penyebab terjadinya kelainan pada

seseorang sangat beragam jenisnya, namun dilihat dari masa terjadinya,

kelainan itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Kelainan yang terjadi sebelum masa kelahiran (prenatal), berdasarkan

periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio, periode janin muda, dan

periode janin aktini (Arkandha). Faktor lain yang mempengaruhi terhadap

kelainan anak pada masa prenatal ini antara lain penyakit kronis, diabetes,

anemia, kanker, kurang gizi, toxemia, rh factor, infeksi (rubella. Syphilis,

toxoplasmosis, dan cytomegalic inclusion disease/ CID), radiasi, kelaianan

genetik, kelainan kromosom, obat-obatan dan bahan kimia lainnya yang

berinteraksi dengan ibu anak semasa hamil.

2) Kelainan saat anak lahir (neonatal), yakni masa dimana kelainan itu terjadi

pada saat anak dilahirkan. Ada beberapa sebab kelainan saat anak

dilahirkan, antara lain anak dilahirkan sebelum waktunya (prematurity),

lahir dengan bantuan alat (tang verlossing), posisi bayi tidak normal,

analgesia dan anesthesia, kelahiran ganda, asphyxia, atau karena kesehatan

bayi yang bersangkutan.

3) Kelainan yang terjadi setelah anak lahir (postnatal), yakni masa di mana

kelainan itu terjadi setelah bayi dilahirkan, atau saat anak dalam masa

perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan,

antara lain infeksi, luka, bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor dan

meningitis, stuip, dan lain-lain (hlm. 12-13).

Menurut Wardani, dkk (2007) mengelompokkan penyebab terjadinya

keluarbiasaan berdasarkan waktu terjadinya seperti berikut:

1) Penyebab Prenatal, yaitu penyebab yang beraksi sebelum kelahiran.

Artinya, pada waktu janin masih berada dalam kandungan, mungkin sang

(31)

commit to user

minum obat, yang semuanya ini berakibat bagi munculnya kelaianan pada

bayi.

2) Penyebab Neonatal, yaitu penyebab yang muncul pada saat atau waktu

proses kelahiran, seperti terjadinya benturan atau infeksi ketika

melahirkan, proses kelahiran dengan penyedotan (di-vacuum), pemberian

oksigen yang terlampau lama bagi anak yang lahir premature.

3) Penyebab Postnatal, yaitu penyebab yang muncul setelah kelahiran,

misalnya kecelakaan, jatuh atau kena penyakit tertentu (hlm. 1.18).

Dari pendapat diatas maka penyebab anak berkebutuhan khusus dapat

dibedakan menjadi tiga berdasarkan waktu terjadinya yaitu sebelum kelahiran

(prenatal), pada saat kelahiran (neonatal), dan setelah kelahiran (postnatal).

3. Anak Tunanetra

a. Pengertian

Penglihatan adalah sumber penyerapan informasi. Kita bergantung

pada penglihatan untuk menjaga diri, mengenal orang dan objek,

mengendalikan kemampuan motorik, dan tingkah laku sosial. Penglihatan

juga penting dalam perkembangan anak-anak karena 80% dari yang

dipelajari anak-anak adalah melalui penglihatan. Pada kenyataannya tidak

semua manusia diberi indra penglihatan yang normal atau yang biasa

disebut tunanetra. Masyarakat umumnya mengartikan bahwa tunanetra

sama dengan orang buta yaitu orang yang tidak bisa melihat sama sekali.

Hal ini kurang benar karena yang disebut tunanetra tidak semuanya buta.

Berikut dijelaskan beberapa pengertian tentang tunanetra.

Menurut Abdurrachman dan Sudjadi (1994) anak tunanetra adalah “mereka yang meskipun sudah mengalami perbaikan penglihatannya masih rusak sehingga memerlukan penyesuaian-penyesuaian dalam materi

visual dan metode-metode khusus dalam pengajaran” (hal.54).

(32)

commit to user

menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan

alat-alat bantu khusus, mereka masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus” (hlm. 6-7).

Menurut Somantri (2006) anak tunanetra adalah “individu yang indera

penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima

informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas” (hlm. 65).

Menurut Barraga dalam Wardani, dkk (2007) anak yang mengalami ketidakmampuan melihat adalah “anak yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya sehingga menghambat prestasi belajar

secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian dalam metode-metode

penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan yang digunakan, dan/ atau

lingkungan belajar” (hlm. 4.5).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak

tunanetra adalah individu yang memiliki gangguan dalam penglihatannya

baik berupa buta total atau hanya sebagian dari penglihatannya.

b. Penyebab

Banyak kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan pada struktur

jaringan penglihatan, dan kerusakan pada struktur ini setidak-tidaknya

dapat menyebabkan fungsi penglihatan menjadi lebih terbatas.

Somantri (2006) Secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan

oleh berbagai faktor, apakah itu faktor dalam diri anak (internal) ataupun

faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal

yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama

masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen (sifat

pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,

dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal

diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi

dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit siphilis yang mengenai

matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan

(33)

commit to user

racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan

mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.

Menurut Efendi (2006) etiologi timbulnya ketunanetraan disebabkan

oleh faktor endogen dan faktor eksogen. Ketunanetraan karena faktor

endogen, seperti keturunan (herediter), atau karena faktor eksogen seperti

penyakit, kecelakaan, obat-obatan dan lain-lainnya.

Sedangkan menurut Wardani, dkk (2007) faktor penyebab tunanetra

didasarkan pada faktor internal dan eksternal.

1) Faktor internal

Merupakan penyabab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri

individu, yang sering disebut juga faktor keturunan.

2) Faktor eksternal

Merupakan penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar diri

individu. Penyebab ketunanetraan yang dikelompokkan pada faktor

eksternal ini, antara lain sebagai berikut:

a) Penyakit rubella dan syphilis,

b) Glaukoma (tekanan yang berlebihan pada bola mata),

c) Retinopati diabetes,

d) Retinoblastoma (tumor ganas yang terjadi pada retina),

e) Kekurangan vitamin A,

f) Terkena zat kimia,

g) Kecelakaan.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ketunanetraan

disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri individu atau

keturunan dan faktor eksternal yang berasal dari luar diri individu yang

dikarenakan penyakit atau kecelakaan.

c. Karakteristik

Karakteristik anak tunanetra dapat dilihat dari beberapa segi karena

(34)

commit to user

Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) karakteristik

tunanetra adalah sebagai berikut:

1) Tidak mampu melihat,

2) Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,

3) Kerusakan nyata pada kedua bola mata,

4) Sering meraba-raba/ tersandung waktu berjalan,

5) Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya, 6) Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/ besisik/ kering, 7) Peradangan hebat pada kedua bola mata,

8) Mata bergoyang terus.

Menurut Wardani, dkk (2007):

1) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek akademis Tilman & Osborn menemukan beberapa perbedaan antara anak tunanetra dan anak awas.

a) Anak tunanetra menyimpan pengalaman-pengalaman khusus,

seperti halnya anak awas, namun pengalaman-pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.

b) Anak tunanetra mendapatkan angka yang hampir sama dengan anak awas, dalam hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.

c) Kosakata anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitif.

2) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek pribadi dan sosial

a) Ketunanetraan tidak secara langsung menyebabkan timbulnya

masalah kepribadian. Masalah kepribadian cenderung diakibatkan oleh sikap negatif yang diterima anak tunanetra dari lingkungan sosialnya.

b) Anak tunanetra mengalami kesulitan dalam menguasai ketrampilan

sosial karena ketrampilan tersebut biasanya diperoleh individu melalui model atau contoh perilaku dan umpan balik melalui penglihatan.

c) Beberapa karakteristik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya adalah curiga terhadap orang lain, mudah tersinggung, dan ketetergantungan pada orang lain.

3) Karakteristik anak tunanetra dalam aspek fisik/indera dan

motorik/perilaku

a) Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra. Hal itu dapat dilihat dari kondisi matanya yang berbeda dengan mata orang awas dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku.

b) Anak tunanetra umumnya menunjukkan kepekaan yang lebih baik

(35)

commit to user

c) Dalam aspek motorik/perilaku, gerakan anak tunanetra terlihat agak kaku dan kurang fleksibel, serta sering melakukan perilaku stereotip, seperti menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tangan.

Suran & Rizzo; Johnson, Christie, &Yawkey dalam Hildayani, dkk,

(2010) membagi karakteristik anak yang mengalami gangguan penglihatan

dari beberapa segi:

1) Perkembangan motorik

Anak yang mengalami gangguan penglihatan memperlihatkan

keterlambatan awal dalam perkembangan motorik dibandingkan

dengan anak yang dapat melihat. Keterlambatan itu seperti

mengangkat diri sendiri dengan lengan (posisi tiarap), mengangkat diri

sendiri ke posisi duduk, berdiri dengan bantuan furniture, serta berjalan

sendiri.

2) Faktor bahasa

Karena anak yang buta kurang memiliki pengalaman mengenai

asosiasi visual, pengolahan kosa kata berlangsung secara lambat. Anak

yang buta juga mengalami kesulitan untuk memahami komunikasi

nonverbal.

3) Kemampuan konseptual

Kelemahan kemampuan konseptual atau kognitif pada anak buta lebih

disebabkan oleh kurangnya pengalaman belajar yang tepat daripada

disebabkan oleh kelemahan yang bersifat bawaan.

4) Kegiatan bermain

Anak yang buta jarang terlibat dalam permainan yang mengandalkan

keterampilan motorik kasar dan halus. Dalam bermain pura-pura, tema

yang ditampilkan juga kurang imajinatif.

5) Faktor personal dan sosial

Masalah kepribadian bukanlah kondisi bawaan dari orang buta.

Masalah-masalah muncul lebih karena cara masyarakat

(36)

commit to user

yang menentukan apakah penyesuaian diri mereka kurang atau tidak

(hlm. 8.6-8.9).

Meskipun pendapat tentang karakteristik anak tunanetra

bermacam-macam tetapi dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

karakteristik anak tunanetra dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu:

1) Aspek akademis/konseptual/kognitif.

2) Aspek motorik.

3) Aspek pribadi dan sosial.

d. Klasifikasi

Untuk memudahkan dalam pemberian pelayanan sesuai kebutuhannya

maka anak tunanetra perlu diklasifikasikan sesuai tingkat ketunaannya.

Kirk dalam Abdurrachman dan Sudjadi (1994) mengklasifikasikan

anak tunanetra untuk keperluan pembelajaran dibedakan menjadi dua

kategori yaitu anak buta dan lemah penglihatan. Anak buta hanya dapat

dididik dengan menggunakan indera-indera yang lain sedangkan anak

lemah penglihatan sisa penglihatannya masih dapat dimanfaatkan dalam

memperoleh keterampilan-keterampilan (hlm.45)

Menurut Efendi (2006) klasifikasi anak tunanetra ditinjau dari

ketajaman untuk melihat bayangan benda dapat dikelompokkan menjadi

sebagai berikut:

1) Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang mempunyai

kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat

optik tertentu.

2) Anak yang mengalami kelainan penglihatan, meskipun dikoreksi

dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami kesulitan

mengikuti kelas reguler sehingga diperlukan kompensasi pengajaran

untuk mengganti kekurangannya.

3) Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi

dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena anak tidak mampu

(37)

commit to user

Somantri (2006) anak tunanetra juga dapat dikelompokkan menjadi

dua macam:

1) Buta

Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visusnya=0).

2) Low vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar (hlm.66).

Menurut Wardani, dkk (2007) tunanetra dapat diklasifikasikan

berdasarkan:

1) Berdasarkan tingkat ketajaman penglihatannya tunanetra dapat

dibedakan menjadi:

a)Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70

feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat;

b)Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang, yang disebut buta;

c)Tunanetra yang memiliki visus 0 atau yang disebut buta total (totally blind).

2) Berdasarkan saat terjadinya, tunanetra diklasifikasikan menjadi tunanetra sebelum dan sejak lahir, tunanetra batita, tunanetra balita, tunanetra pada usia sekolah, tunanetra remaja, dan tunanetra dewasa.

3) Berdasarkan adaptasi pendidikannya, tunanetra diklasifikasikan

menjadi:

a)Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability); b)Ketidakmampuan melihat taraf berat (severe visual disability); c)Ketidakmampuan melihat taraf sangant berat (profound visual

disability) (hlm.4.16).

Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan anak tunanetra dapat

diklasifikasikan menjadi low vision dan buta.

4. Anak Tunarungu

a. Pengertian

Istilah tunarungu atau gangguan pendengaran tidak terbatas pada

individu-individu yang kehilangan pendengaran sangat berat saja,

melainkan mencakup seluruh tingkat kerusakan pendengaran. Untuk itu

(38)

commit to user

Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) tunarungu adalah “anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan

walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus” (hlm. 11).

Menurut Somantri (2006) tunarungu adalah “mereka yang kehilangan

pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf)

yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki fungsional di dalam

kehidupan sehari-hari” (hlm. 94).

Menurut Efendi (2006):

Tunarungu atau kelainan pendengaran adalah kondisi dimana dalam proses mendengar terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik (hlm.57).

Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Wardani, dkk (2007)

menyatakan bahwa tunarungu (hearing impairmrnt) merupakan satu istilah

umum yang menunjukkan ketidakmampuan mendengar dari yang ringan

sampai yang berat sekali yang digolongkan kepada tuli (deaf) dan kurang

dengar (a hard of hearing) (hlm. 5.3).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah

anak yang kehilangan pendengaran baik sebagian atau seluruh

pendengarannya.

b. Penyebab

Banyak informasi tentang sebab-sebab terjadinya kerusakan organ

pendengaran yang menyebabkan penderitanya mengalami ketunarunguan.

Berikut dijelaskan beberapa penyebab ketunarunguan.

Somad dan Hernawati (1995) mengelompokkan faktor-faktor

penyebab ketunarunguan sebagai berikut:

(39)

commit to user

a) Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua

orangtuanya yang mengalami ketunarunguan.

b) Ibu yang mengandung menderita penyakit campak jerman

(rubella).

c) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau

toxaminia.

2) Faktor luar diri anak

a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran.

b) Meningitis atau radang selaput otak.

c) Otitis media (radang telinga bagian tengah).

Sedangkan menurut Efendi (2006) penyebab ketunarunguan adalah

sebagai berikut:

1) Ketunarunguan sebelum lahir (prenatal) disebabkan oleh:

a) Heredites atau keturunan,

b) Maternal rubella,

c) Pemakaian antibiotika over dosis,

d) Toxoemia.

2) Ketunarunguan saat lahir (neonatal) disebabkan oleh:

a) Lahir prematur,

b) Rhesus factors,

c) Tang verlossing.

3) Ketunarunguan setelah lahir (postnatal) disebabkan oleh:

a) Penyakit meningitis cerebralis,

b) Infeksi,

c) Otitis media kronis.

Somantri (2006) menjelaskan penyebab ketunarunguan ada beberapa

faktor, yaitu:

1) Pada saat sebelum dilahirkan

(40)

commit to user

b) Karena penyakit; sewaktu ibu mengandung terserang suatu penyakit, terutama penyakit-penyakit yang diderita pada saat kehamilan tri semester pertama yaitu pada saat pembentukan ruang telinga. Penyakit itu ialah rubella, moribili, dan lain-lain. c) Karena keracunan obat-obatan; pada suatu kehamilan, ibu

meminum obat-obatan terlalu banyak, ibu seorang pecandu alkohol, atau ibu tidak menghendaki kehadiran anaknya sehingga ia meminum obat penggugur kandungan, hal ini akan dapat menyebabkan ketunarunguan pada anak yang dilahirkan. 2) Pada saat kelahiran

a) Sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga

persalinan dibantu dengan penyedotan (tang).

b) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya. 3) Pada saat setelah kelahiran (post natal)

a) Ketulian yang terjadi karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.

b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

c) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat

pendengaran bagian dalam, misalnya jatuh (hlm.94-95).

Wardani, dkk (2007) menjelaskan penyebab terjadinya tunarungu:

1) Penyebab terjadinya tunarungu tipe konduktif

a) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat

disebabkan, antara lain oleh hal-hal berikut:

b) Tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (traesia meatus

akustikus externus) yang dibawa sejak lahir (pembawaan).

c) Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa).

2) Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat

disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:

a) Ruda paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga

seperti jatuh, tabrakan, tertusuk, dan sebagainya.

b) Terjadinya peradangan/ inspeksi pada telinga tengah (otitis media).

c) Otosclerosis, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang

stapes.

d) Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/zat kapur pada

(41)

commit to user

e) Anomali congenital dari tulang pendengaran atau tidak

terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir.

f) Disfungsi tuba eustachius (saluran yang menghubungkan rongga

tellinga dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada

nasopharynx.

3) Penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural

a) Disebabkan oleh faktor genetik (keturunan).

b) Disebabkan oleh faktor non genetik antara lain:

(1) Rubella (Campak Jerman)

(2) Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak

(3) Meningitis (radang selaput otak)

(4) Trauma akustik.

Dari beberapa pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

penyebab ketunarunguan adalah:

1) Pada saat sebelum dilahirkan

a) Keturunan.

b) Ketika mengandung ibu menderita penyakit seperti rubella.

c) Pada saat hamil ibu mengkonsumsi obat secara berlebihan, minum

alkohol, minum obat penggugur kandungan, dll.

2) Pada saat kelahiran

a) Kelahiran dibantu dengan alat bantu kelahiran seperti tang, dll.

b) Prematuritas.

3) Pada saat setelah kelahiran (post natal)

a) Anak terkena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau

infeksi umum seperti difteri, morbili, dan lain-lain.

b) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak.

c) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat

(42)

commit to user

c. Karakteristik

Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda begitu pula dengan

anak tunarungu, mereka memiliki beberapa karakteristik yang berbeda

anatara tunarungu satu dengan yang yang lain. Berikut penjelasan tentang

karakteristik anak tunarungu dari beberapa ahli.

Somad dan Hernawati (1995) melihat karakteristik anak tunarungu dari

berbagai segi:

1) Karakteristik dalam segi intelegensi

Pada dasarnya kemampuan intelektual anak tunarungu sama seperti

anak yang normal lainnya. Ada yang tinggi, rata-rata, dan rendah.

Akan tetapi perkembangan intelegensi anak tunarungu tidak sama

cepatnya dengan mereka yang mendengar terutama dalam hal bahasa.

Prestasi anak tunarungu lebih rendah dari anak normal dalam mata

pelajaran yang diverbalisasikan. Untuk aspek inelegensi yang

bersumber pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak

mengalami hambatan, bahkan dapat berkembang dengan cepat.

2) Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara

Kemampuan berbicara dan bahasa anak tunarungu berbeda dengan

anak yang mendengar, hal ini disebabkan perkembangan bahasa erat

kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu

tidak bisa mendengar bahasa, kemampuan berbahasanya tidak akan

berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus. Akibat dari

ketidakmampuannya dibandingkan dengan anak yang mendengar

dengan usia yang sama, maka dalam perkembangan bahasanya akan

jauh tertinggal.

Bicara dan bahasa anak tunarungu pada awalnya seringkali sukar

ditangkap, akan tetapi bila bergaul lebih lama dengan mereka kita akan

terbiasa dengan cara bicara mereka sehingga akan mempermudah kita

dalam memahami maksud bicara anak tunarungu itu.

(43)

commit to user

Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari pergaulan

sehari-hari. Akibat dari keterasingan tersebut dapat menimbulkan efek-efek

negatif seperti:

a) Egosentrisme yang melebihi anak normal.

b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas.

c) Ketergantungan terhadap orang lain.

d) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan.

e) Mereka pada umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana, dan

tanpa banyak masalah.

f) Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) karakteristik siswa

tunarungu adalah sebagai berikut:

1)Secara nyata tidak mampu mendengar,

2)Terlambat perkembangan bahasa,

3)Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, 4)Kurang/ tidak tanggap bila diajak berbicara,

5)Ucapan kata tidak jelas, 6)Kualitas suara aneh/ monoton,

7)Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,

8)Banyak perhatian terhadap getaran,

9)Keluar cairan nanah dari kedua telinga (hlm.11).

Sedangkan menurut Wardani, dkk (2007) karakteristik anak tunarungu

meliputi 3 aspek:

1) Karakteristik anak tunarungu dalam aspek akademik adalah

sebagai berikut.

Keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat nonverbal dengan anak normal seusianya.

2) Karakteristik anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional adalah sebagai berikut.

a) Pergaulan terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi.

(44)

commit to user

serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego” sehingga kalau ada keinginan, harus selalu dipenuhi.

c) Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, yang menyebabkan ia tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri.

d) Perhatian anak tunarungu sukar dialihkan, apabila ia sudah menyenangi suatu benda atau pekerjaan tertentu.

e) Memiliki sifat polos, serta perasaannya umumnya dalam

keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa.

f) Cepat marah dan mudah tersinggung, sebagai akibat seringnya

mengalami kekecewaan karena sulitnya menyampaikan perasaan/keinginannya secara lisan ataupun dalam memahami pembicaraan orang lain.

3) Karakteristik tunarungu dari segi fisik/kesehatan adalah sebagai berikut.

Jalannya kaku dan agak membungkuk (jika organ keseimbangan yang ada pada telinga bagian dalam terganggu); gerak matanya lebih cepat; gerakan tangannya cepat/ lincah; dan pernapasannya pendek; sedangkan dalam aspek kesehatan, pada umumya sama dengan orang normal lainnya (hlm.5.23-5.24).

Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa karateristik anak

tunarungu meliputi segi intelektual, segi bahasa dan bicara, segi

sosial-emosional, dan segi kesehatan.

d. Klasifikasi

Ketajaman pendengaran seseorang diukur dan dinyatakan dalam satuan

bunyi deci-Bell (disingkat dB). Pengunaan satuan tersebut untuk

membantu dalam interpretasi hasil tes pendengarn dan mengelompokkan

dalam jenjangnya. Untuk menetapkan seseorang dalam kelompok

tunarungu tertentu berdasarkan kehilangan ketajaman pendengaran, jika

dicermati sangat bervariasi. Antara ahli satu dengan yang lain berbeda,

biasanya didasarkan pada keahlian yang dimiliki atau untuk kepentingan

tujuan tertentu. Berikut klasifikasi anak tunarungu dari beberapa ahli.

Menurut Efendi (2006) ditinjau dari kepentingan tujuan

pendidikannya, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan

(45)

commit to user

1) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight

losses),

2) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild

losses),

3) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB

(moderate losses),

4) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe

losses),

5) Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB keatas

(profoundly losses).

Dwidjosumarto dalam Somantri (2006) mengklasifikasikan tunarungu

menurut tarafnya dapat diketahui dengan tes audiometris. Untuk

kepentingan pendidikan ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Tingkat I, kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB.

2) Tingkat II, kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69

dB.

3) Tingkat III, kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89

dB.

4) Tingkat IV, kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas

(hlm.95).

Sedangkan Wardani, dkk (2007) ketunarunguan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut.

1) Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut;

a) Tunarungu ringan, mengalami kehilangan pendengaran 27-40 dB

(mild hearing loss).

b) Tunarungu sedang, mengalami kehilangan pendengaran antara

41-55 dB (moderate hearing loss).

c) Tunarungu agak berat, mengalami kehilangan pendengaran antara

(46)

commit to user

d) Tunarungu berat, mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90

dB (severe hearing loss).

e) Tunarungu berat sekali, mengalami kehilangan pendengaran lebih

dari 90 dB (profound hearing loss).

2) Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan

sebagai berikut.

a) Ketunarunguan prabahasa (prelingual deafness), terjadi sebelum

kemampuan bicara dan bahasa berkembang.

b) Ketunarunguan pasca bahasa (post lingual deafness), terjadi

beberapa tahun setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang.

3) Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,

ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Tunarungu tipe konduktif, kehilangan pendengaran yang

disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga bagian luar dan

tengah.

b) Tunarungu tipe sensorineural, kehilangan pendengaran yang

disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada telinga dalam serta

saraf pendengaran.

c) Tunarungu tipe campuran, gabungan dari tipe konduktif dan

sensorineural.

4) Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan

sebagai berikut.

a) Tunarungu endogen, tunarungu yang disebabkan oleh faktor

genetik (keturunan).

b) Tunarungu eksogen, tunarungu yang disebabkan oleh faktor non

genetik (keturunan).

Berdasarkan pendapat diatas klasifikasi tunarungu untuk kepentingan

dalam pembelajaran berdasarkan tingkatannya maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1) Tunarungu ringan, mengalami kehilangan pendengaran 27-40 dB (mild

(47)

commit to user

2) Tunarungu sedang, mengalami kehilangan pendengaran antara 41-55

dB (moderate hearing loss).

3) Tunarungu agak berat, mengalami kehilangan pendengaran antara

56-70 dB (moderately severe hearing loss).

4) Tunarungu berat, mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90 dB

(severe hearing loss).

5) Tunarungu berat sekali, mengalami kehilangan pendengaran lebih dari

90 dB (profound hearing loss).

5. Anak Tunagrahita

a. Pengertian

Di dalam dunia ini, terdapat anak yang disebut normal karena

perkembangannya sama dengan teman sebayanya, tetapi juga ada anak

yang di atas normal dan di bawah normal karena perkembangannya lebih

cepat atau lebih lambat dibanding teman sebayanya. Anak yang

perkembangannya lebih lambat dibanding teman sebayanya baik dalam

perkembangan intelegensi maupun sosial sering disebut anak terbelakang

mental atau tunagrahita. Pemahaman yang jelas tentang siapa anak

tunagrahita merupakan dasar yang penting untuk dapat memberikan

pelayanan khusus sesuai kebutuhannya. Berikut dijelaskan beberapa

pengertian tunagrahita menurut ahli.

American Association on Mental defeciency (AAMD) dalam

Abdurrachman dan Sudjadi (1994) mendefinisikan retardasi mental

sebagai kelainan yang (1) meliputi fungsi intelektual umum di bawah

rata-rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual, (2)

muncul sebelum usia 16 tahun, dan (3) menunjukkan hambatan dalam

perilaku adaptif (hlm.20).

Menurut Amin (1995) anak tunagrahita adalah

Mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata-rata.

Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam

(48)

berbelit-commit to user

belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir

segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti: mengarang,

menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang/ terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (hlm.11).

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004) berpendapat tunagrahita (retardasi mental) adalah “anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah

rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas

akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus” (hlm. 16).

Sedangkan Somantri (2006) menjelaskan “anak tunagrahita merupakan kondisi di mana perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan

sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal” (hlm.105).

Menurut Muhammad (2008) anak-anak yang mengalami cacat mental

adalah anak-anak yang mengalami keadaan perkembangan yang kurang

atau tidak lengkap dalam fungsi intelektual dan sosial. Biasanya juga

mengalami masalah dalam pembelajaran dan kurang memiliki kemampuan

dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak

tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan

intelektual atau kecerdasan dan sosialnya.

b. Penyebab

Terdapat banyak penyebab cacat mental, seperti penyakit yang diderita

semasa kehamilan, kerusakan dalam metabolisme, penyakit pada otak atau

kromosom yang abnormal, faktor lingkungan, pola makan yang tidak baik,

(49)

commit to user

Menurut Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) tunagrahita dapat

disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu:

1) Faktor genetik

a) Kerusakan/ kelainan biokimiawi

Para ahli biokimiawi telah mengidentifikasi sejumlah substansi

kimia yang dapat berpengaruh terhadap kondisi genetik abnormal

misalnya materi kimia berupa karbohidrat, lemak, dan asam amino.

b) Abnormalitas kromosomal (chromosomal abnormalities)

Abnormalitas kromosom paling umum ditemukan adalah sindroma

down atau sindroma mongol (mongolism). Dalam tubuh manusia

ada 46 kromosom yang tersusun dalam 23 pasang. Pada anak

sindroma Down memiliki 47 kromosom karena pasangan

kromosom ke-21 terdiri dari 3 kromosom.

2) Penyebab tunagrahita pada masa prenatal

a) Ibu yang ketika hamil terkena infeksi rubella (cacar).

b) Faktor rhesus (Rh).

3) Penyebab tunagrahita pada masa perinatal

Berbagai peristiwa pada saat kelahiran yang memungkinkan terjadinya

retardasi mental yang terutama adalah luka-luka saat kelahiran, sesak

napas (asphyxia), dan prematuritas.

4) Penyebab tunagrahita pada masa postnatal

Penyakit-penyakit akibat infeksi dan problema nutrisi yang diderita

pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan

retardasi mental, antara lain:

a) Encephalitis menunjuk pada suatu peradangan sistem saraf pusat

yang disebabkan oleh virus tertentu.

b) Meningitis adalah suatu kondisi yang berasal dari infeksi bakteri

yang menyebabkan peradangan pada selaput otak (meninges) dan

menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat.

c) Malnutrisi.

Gambar

Gambar 2.1 :  Skema Kerangka Berfikir   ......................................................
Tabel 2.1. Distribusi Frekuensi Anak Berkebutuhan Khusus Berdasarkan Jenis Kelainan
Tabel 3.1 Jenis Kegiatan dan Waktu Penelitian
Tabel 4.1 Daftar nama kecamatan di kabupaten Wonogiri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan: 1) implementasi kebijakan pengelolaan asesmen anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi Dinas

(Sekolah biasa yang mengakomodasi peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran GPK dalam upaya meningkatkan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar penyelenggara pendidikan

Dari jumlah penderita katarak pada anak sebanyak 45 orang, maka didapatkan prevalensi katarak pada anak di RS H.Adam Malik tahun 2012 sebesar 0,55%.. Kesimpulan : Prevalensi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesabaran pada orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus di Kota Dumai. Jenis penelitian ini adalah

Penelitian ini bertujuan mengetahui pendekatan behavior yang diberikan konselor di bidang konseling rehabilitasi anak berkebutuhan khusus, khususnya cerebral palsy

dengan anak berkebutuhan khusus telah menemukan bahwa tingkat kebugaran anak berkebutuhan khusus g g pada umumnya di bawah rekan mereka tanpa cacat. Hal ini menunjukkan bahwa

Penelitian yang dilakukan oleh Arsani, dkk pada tahun 2021 menyimpulkan bahwa pembelajaran siswa pada umumnya berbeda dengan anak berkebutuhan khusus, karena anak berkebutuhan khusus