• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS. adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II URAIAN TEORITIS. adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Beberapa ahli menguraikan berbagai pengertian komunikasi, diantaranya adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol (Samovar, dkk, 2010: 18). Bagi Everett M. Rogers, komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Sedangkan menurut Joseph A. Devito, komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan efek dan kesempatan untuk arus balik (Uchjana, 2006: 5).

Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau lebih. Richard dan Yoshida mengatakan bahwa komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal ataupun nonverbal, tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama (Mulyana, 2004: 3). Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Atau seperti yang dikatakan Geert Hofstede, simbol adalah kata, jargon, isyarat, gambar,

(2)

gaya, atau objek (simbol status) yang mengandung suatu makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Mulyana, 2004: 3).

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi komunikasi itu sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2003: 5).

II.1.2 Prinsip Komunikasi

Menurut Samovar, dkk, ada enam prinsip komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang

sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup, bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir hingga ia mati.

2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili

(3)

bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi. Gudykunst dan Kim (dalam Samovar, dkk, 2010 ) mengatakan bahwa suatu simbol menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat menjadikannya suatu simbol.

3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual

karena komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian, bahasa, perilaku menyentuh, dan lainnya diadaptasikan dalam konteks.

4. Komunikasi merupakan refleksi diri.Refleksi diri menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan diri sendiri, teman mereka berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut (terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan.

5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi

merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya informasi itu tetap ada disana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut. Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain.

6. Komunikasi memiliki konsekuensi.Inti dari prinsip ini adalah bahwa kegiatan mengirim dan menerima simbol mempengaruhi semua orang yang terlibat di dalamnya. Respons seseorang terhadap suatu pesan berbeda, baik dari segi cara maupun jenisnya. Hal ini mungkin membantu seseorang untuk mencoba menggambarkan respons potensial yang ia miliki dalam suatu rangkaian kesatuan. Di akhir setiap rangkaian ini terdapat respons terhadap pesan yang jelas dan mudah dimengerti. Salah satu implikasi penting dari prinsip ini adalah pengaruh potensial yang seseorang miliki atas orang lain. Apa yang seseorang katakan pasti berpengaruh pada orang lain: bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, bagaimana mereka berpikir tentang diri mereka sendiri, dan bagaimana mereka berpikir tentang orang lain (Samovar, dkk, 2010: 18-25).

(4)

II.2 Komunikasi Antarbudaya

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11). Defenisi lain dari komunikasi antarbudaya diantaranya adalah Stephen Dahl yang mengartikan komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan oleh orang-oang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2003: 9).

Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya, telah banyak para ahli yang mencoba mendefenisikan komunikasi antarbudaya. Beberapa diantaranya adalah:

1. Menurut Sitaram (1970), komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain.

2. Menurut Rich (1974), komunikasi bersifat budaya apabila terjadi di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.

(5)

3. Menurut Stewart (1974), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

4. Menurut Sitaram and Codgell (1976), komunikasi antarbudaya adalah interaksi antara para anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya.

5. Menurut Gerhard Maletzke (1976), komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.

6. Menurut Young Yung Kim (1984), komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung (dalam Djuarsa, dkk, 2007: 332-333).

Dari defenisi-defenisi komunikasi antarbudaya diatas dapat disimpulkan bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas, kebingungan, tidak bermanfaat, bahkan terlihat tidak bersahabat. Kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita.

II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain.

(6)

Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:

1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi).

2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang

muncul dari kontak awal tersebut, misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau berkomunikasi dengan dia?

3. Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup melalui atribusi dan

pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang mendorong dia berkata, berpikir, atau berbuat demikian? Kalau seseorang menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif. Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit. Bahwa karena anda di saat awal komunikasi/pra kontak berkesan orang itu baik maka semua sifat-sifat positif akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik pasti jujur, setia kawan, rendah hati, suka menolong, dan lain-lain.

(7)

Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan, dan memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif (Liliweri, 2003: 19-20; 21-22).

II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya

Menurut Liliweri, ada tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya, yaitu:

1. Komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin. Perbedaan karakterisitik komunikator antarbudaya ditentukan oleh nilai dan norma, faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dan faktor mikro seperti dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.

2. Komunikan. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Tujuan komunikasi akan tercapai jika komunikan dapat memahami pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima pesan secara menyeluruh. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.

3. Pesan. Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan atau yang dialihkan komunikator kepada komunikan. Setiap pesan sekurang-kurangnya berisi dua aspek utama, yakni isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi daya tarik pesan disertai perlakuan meliputi penjelasan isi pesan oleh komunikator.

4. Media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat atau saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, dan media elektronik. Tetapi terkadang pesan itu tidak

(8)

dikirim melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, yakni saluran sensoris (cahaya, bunyi, perabaan, pembauan, dan rasa). Yang kedua adalah saluran institusional, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan, dan media elektronik. Saluran institusional juga memerlukan saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan.

5. Efek. Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.

6. Suasana. Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu yang tepat untuk bertemu, tempat (rumah, kantor) untuk berkomunikasi, dan kualitas relasi (formal, informal) yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya. 7. Gangguan. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu

yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan terjadi bila pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan. Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (isyarat tubuh). Sedangkan gangguan dari media dapat berupa salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi, situasi, dan kondisi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 25-31).

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Individu-individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya mereka. Mereka cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan

(9)

dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

Ketika proses komunikasi antarbudaya telah berlangsung, seringkali ada gangguan dan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaan bahwa budayanya jauh lebih baik dari yang lain. Ting Toomey mendefinisikan identitas kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo, 2005:1-2). Ketika manusia menggunakan cara dimana budaya yang lain berbeda dengan budayanya, mereka mungkin menganggap elemen budaya mereka sebagai yang normal, bermoral, dan lebih diinginkan dibandingkan elemen budaya lain. Sifat etnosentrisme ini dapat menghalangi individu dalam menjalin komunikasi dengan budaya lain (Samovar,dkk, 2010: 54-55).

Untuk mengurangi gangguan dalam komunikasi antarbudaya, kepekaan terhadap perbedaan budaya tersebut menjadi hal yang sangat penting. Melalui pengalaman-pengalaman lintas budaya, manusia menjadi lebih terbuka dan toleran terhadap keganjilan budaya lain. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak gegar budaya (culture shock). Culture shock merupakan bentuk kecemasan berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain dan kehilangan pergaulan sosial dengan budaya aslinya. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif

(10)

adalah dengan meningkatkan kesadaran budaya individu secara umum. Individu harus memahami konsep dan ciri-ciri budayanya sebelum ia memperoleh studi tentang aspek-aspek budaya asing (Mulyana, 2005: 70). Kita harus dapat berperilaku dengan cara-cara yang diterima budaya lain dan juga diterima oleh budaya kita sendiri.

II.2.4 Pandangan Dunia (World View)

Menurut Ishii, Cooke, dan Klopf (dalam Samovar, dkk) cara pandang merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam, pertanyaan tentang keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan etis, penderitaan, kematian, dan isu filosofis lainnya yang mempengaruhi bagaimana anggotanya memandang dunia. Tujuan cara pandang adalah untuk menuntun orang menentukan gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut. Banyak ahli yang setuju bahwa budaya mempengaruhi sebagian besar cara pandang seseorang. Cara pandang menyediakan dasar persepsi dan sifat realitas seperti yang dialami oleh mereka yang berbagi budaya yang umum. Pandangan budaya berfungsi untuk membuat pengalaman hidup yang mungkin menurut orang lain kacau dan tidak berarti menjadi dapat diterima oleh akal sehat. Cara pandang ditentukan oleh pemahaman kolektif sebagai dasar untuk menghakimi suatu tindakan yang memungkinkan kelangsungan hidup dan adaptasi (Samovar, dkk, 2010: 117-118).

Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Cara pandang erat kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan. Manusia percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari manusia sebagai penentu

(11)

dan pencipta budaya. Bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama (seperti keluarga, suku atau negara) menjadi identitas mereka di dunia. Orang Kristen percaya bahwa keselamatan hanya diperoleh lewat Yesus Kristus. Sedangkan kaum Muslim percaya bahwa untuk memperoleh surga adalah keyakinan bahwa Tuhan itu satu dan tanpa sekutu dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Akan tetapi orang-orang yang beragama Hindu dan Budha tidak menganut kepercayaan seperti Kristen dan Islam. Agama Hindu dan Budha percaya bahwa Tuhan tidak dalam otoritas tunggal, tetapi menjelma menjadi banyak tuhan (Mulyana, 2004: 35).

Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Baik melalui ajaran Alkitab, Alquran, Weda, Torah, dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat keluar diri mereka sendiri akan nilai-nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Agama menyediakan dan menunjukkan nilai dari fenomena yang tidak dapat dijelaskan.Inti dari agama adalah menyediakan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain dan memperoleh kedamaian batin (Samovar, dkk, 2010: 123-125).

Keyakinan kita tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa atau Adam adalah manusia pertama di bumi. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan/keyakinan adalah bahwa hal itu membentuk dasar nilai. Nilai adalah komponen evaluatif dari kepercayaan mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik atau buruk, benar dan salah, apa yang harus diperjuangkan, dan sebagainya. Nilai biasanya

(12)

bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah (Mulyana, 2007:215-216).

Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang yang jika dilaksanakan secara terus-menerus akan disebut sikap. Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang tidak dapat diamati langsung. Kita hanya bisa menduga bagaimana kepercayaan dan nilai seseorang berdasarkan tindakannya, terutama yang konsisten dari waktu ke waktu (sikap). Manusia telah menganut berbagai kepercayaan sejak lahir yang ditanamkan di dalam lingkungannya. Bagaimana cara berbicara, gaya berpakaian, apa yang bisa dicapai, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, semua diterima begitu saja dari lingkungan tanpa banyak mempersoalkannya. Pola budaya merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang terintegrasi yang bekerja sama untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi tidak hanya pada cara manusia melihat dan berpikir mengenai dunia ini, namun juga bagaimana manusia hidup di dunia ini (Samovar,dkk, 2010: 227).

II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran II.3.1 Komunikasi dan Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai berbagai arti. Namun para sarjana antropologi sepaham bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 248). Akulturasi merupakan proses yang dilakukan imigran

(13)

untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah kepada asimilasi.

Migrasi menyebabkan pertemuan-pertemuan antarkelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu-individu dalam kelompok tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tapi juga sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran itu adalah perbedaan antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat pribumi dalam mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk beradaptasi dengan sistem sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam budaya mereka.

Proses komunikasi mendasari proses akuturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi, seorang imigran juga memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpibadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal. Bahkan bila

(14)

seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal secara memuaskan, ia mungkin masih mengalami kesulitan dalam mengenal dan merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu (Mulyana, 2005: 139).

Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut (Mulyana, 2005: 140).

Penelitian-penelitian sekitar masalah akulturasi sebagian besar bersifat deskriptif, yaitu melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkret pada satu atau beberapa suku bangsa tertentu yang mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Di samping karangan-karangan deskriptif timbul pula karangan yang bersifat teori, yaitu karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa akulturasi dan beberapa konsep mengenai gejala/masalah mengenai akulturasi. Lima golongan masalah tersebut, yaitu:

1. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan asing apa yang mudah diterima dan unsur-unsur kebudayaan asing apa yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.

(15)

3. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan unsur apa yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi (Koentjaraningrat, 2002: 251).

II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi

Menurut Mulyana, ada dua variabel komunikasi dalam akulturasi, yaitu:

1. Komunikasi persona. Komunikasi persona mengacu pada proses-proses

mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. Dalam konteks akulturasi, komunikasi persona seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman-pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respins kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan yang konsisten dengan budaya pribumi atau yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Fase awal akulturasi, perspesi seorang imgran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun setelah imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh, persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks. Faktor yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi pribumi. Pengetahuan tentang sistem komunikasi pribumi terbukti penting dalam meningkatkan partisipasi imigran dalam jaringan komunikasi masyarakat pribumi. Variabel lainnya dalam komunikasi persona adalah citra diri/image.

Citra diri imigran yang berhubungan dengan citranya tentang masyarakat pribumi member informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan terasing dan rendah diri yang diderita imigran berkaitan dengan jarak perceptual antara dirinya dengan masyarakat pribumi. Motivasi imigran untuk belajar dan berpartisipasi dalam sosio-budaya pribumi dapat meningkatkan jaringan komunikasi dengan masyarakat pribumi.

2. Komunikasi sosial. Melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur

perasaan, pikiran, dan perilaku antara yang satu dengan lainnya. Komunikasi sosial dapat dikategorikan ke dalam komunikasi antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antarpersona terjadi melalui hubungan-hubungan antarpersona dengan masyarakat pribumi. Seorang imigran yang mempunyai hubungan antarpersona dengan etnik yang berkuasa dianggap kurang terakulturasi dan kurang kompeten dibandingkan dengan imigran yang

(16)

terutama berhubungan dengan masyarakat pribumi. Sedangkan fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona. Meskipun dampaknya terbatas, komunikasi massa memainkan suatu peranan penting melalui surat kabar, majalah, dan berita televisi dalam memperluas pengalaman-pengalaman imigran dengan masyarakat pribumi di luar lingkungan yang dapat dijangkaunya. Terutama di fase awal akulturasi, imigran merasa frustasi dengan kontak komunikasi antarpersona. Komunikasi massa menjadi alternatif saluran yang bebas dari tekanan yang memungkinkan imigran menyerap unsur-unsur lingkungan pribumi (Mulyana, 2005: 140-144).

II.3.3 Potensi Akulturasi

Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi. 2. Usia pada saat berimigrasi.

3. Latar belakang pendidikan.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi (Mulyana, 2005:

146).

Memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena mereka adalah

agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk.

Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari kebudayaannya. Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara berdagang, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu.

Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan terbentuk. Masyarakat yang “kolot” (tidak suka dan menolak hal-hal baru) dan masyarakat yang

(17)

“progresif” (suka dan menerima hal-hal baru). Salah satu wujud penolakan terhadap pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka menerima hal-hal baru yang datang. Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik (Koentjaraningrat, 2002: 254-255).

II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran

Kata asimilasi berasal dari kata Latin, assimilare yang artinya “menjadi sama”. Dari kata ini diturunkan kata assimilation yang diindonesiakan menjadi asimilasi, yang berarti “pembauran” (Koentjaraningrat, 2002: 255). Asimilasi didefenisikan sebagai suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih individu atau kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok baru yang terpadu. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan sebagai milik bersama. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi mungkin merupakan tujuan sepanjang hidup (Mulyana, 2005: 139).

(18)

1. Ada perbedaan kebudayaan antara kelompok-kelompok manusia yang hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat yang sama.

2. Para warga dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda itu dalam kenyataannya selalu bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama.

3. Demi pergaulan mereka yang telah berlangsung secara intensif itu, masing-masing pihak menyesuaikan kebudayaan mereka masing-masing-masing-masing, sehingga terjadilah proses saling penyesuaian kebudayaan di antara kelompok-kelompok itu (Narwoko, 2004: 42).

Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari kebudayaannya dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kepribadian kebudayaannya hilang dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas (Koentjaraningrat, 2002: 255).

Perspektif asimilasi adalah fungsional karena etnisitas akan hilang dan tidak berfungsi dalam suatu masyarakat multietnik. Dalam studi tentang adaptasi kaum imigran dengan lingkungan baru mereka, para peneliti telah memfokuskan studi pada motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di suatu daerah baru, juga pada proses adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi mempengaruhi atau berkorelasi dengan derajat adaptasi kaum imigran, pemeliharaan atau hilangnya budaya asli. Banyak kajian tentang adaptasi kaum imigran di daerah baru yang juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting adalah gegar budaya. Gegar budaya sebagai akibat tak terhindarkan dari kontak

(19)

antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat pribumi mereka (Mulyana, 2005: 163-164).

Sebelum memasuki proses pembauran, masing-masing pihak hidup berdampingan menurut pola kelakuannya sendiri. Sejak mereka memutuskan untuk menjadi satu kelompok, mereka memasuki suatu proses baru menuju penciptaan satu pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama. Dalam merealisasi pola tersebut hingga mencapai bentuk yang kuat dan mantap, faktor waktu memainkan peranan penting. Melalui proses asimilasi, proses pembauran berbagai suku terjadi hingga membentuk kebudayaan baru yang merupakan identitas baru mereka. Proses ini akhirnya akan menghasilkan asimilasi psikologis, yaitu hilangnya identitas etnik kelompok (Mulyana, 2005: 163). Perbedaan-perbedaan yang ada akan digantikan oleh kesamaan paham budayawi, kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin juga tindakan.

Ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempermudah terjadinya asimilasi, antara lain:

1. Sikap dan kesediaan menenggang. Apabila toleransi dapat dihidupkan di antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda budaya itu, maka proses asimilasi akan mudah dilangsungkan tanpa banyak hambatan yang berarti. 2. Sikap menghadapi orang asing berikut kebudayaannya. Sikap demikian ini

akan memudahkan pendekatan-pendekatan warga dari kelompok-kelompok yang saling berbeda itu.

3. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang begini akan memberikan kemungkinan pada setiap pihak untuk mencapai kedudukan tertentu berkat kemampuannya. Hal yang demikian jelas akan menetralisir perbedaan-perbedaan kesempatan yang terjadi akibat kebudayaan yang berlainan dan berbeda-beda, yang oleh karena itu akan memudahkan asimilasi.

4. Sikap terbuka golongan penguasa. Sikap terbuka golongan penguasa akan meniadakan kemungkinan diskriminasi oleh kelompok mayoritas terhadap

(20)

kelompok minoritas, dan tiadanya diskriminasi antar kelompok akan memudahkan asimilasi.

5. Kesamaan dalam berbagai unsur kebudayaan. Sekalipun kebudayaan masing-masing kelompok itu tidak sepenuhnya sama, namun sering kita saksikan bahwa dalam hal-hal atau unsur-unsur tertentu terdapat kesamaan. Semakin banyak unsur-unsur kebudayaan kelompok-kelompok itu yang bersamaan akan semakin mudahlah prasangka-prasangka antar kelompok itu dihilangkan, dan oleh karena itu asimilasi pun akan mudah diusahakan.

6. Perkawinan campuran. Misalnya, antara kelompok warga mayoritas dan warga kelompok minoritas, atau antara golongan-golongan penjajah dan anggota golongan terjajah. Seringkali merupakan langkah penting di dalam usaha-usaha penyelenggaraan asimilasi.

7. Musuh bersama dari luar. Ancaman musuh bersama dari luar sering pula diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan di dalam masyarakat. Sadar akan adanya ancaman musuh bersama, golongan di dalam masyarakat sering melupakan perbedaan-perbedaannya, dan karenanya lalu mudah berasimilasi (Narwoko, 2004: 42-43).

Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks pernikahan berbeda suku. Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993: 102), perkawinan campuran dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga (keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.

Oleh Hariyono, perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat

(21)

diterima untuk kemudian berjalan bersamasama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama (Hariyono, 1993: 17).

Dugan Romano dalam penelitiannya mengenai perkawinan antaretnis, atau antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis tersebut, yaitu patuh/tunduk, kompromi, eliminasi, dan konsensus. Perkawinan dalam tipe patuh, individu bersedia menerima budaya pasangannya. Dan tipe inilah yang sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam perkawinan antarbudaya, sehingga tidak ada nilai-nilai yang disembunyikan (http://ums.ac.id/).

Beulah Rohrlich (Dodd, 1998: 71) menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin campur, komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlich memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian:

1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment): salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya.

2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment): pada satu kesempatan salah satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan. 3. Kompromi midpoin (midpoint compromise): kedua pihak sepakat untuk

menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar.

4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment): kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi.

5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment): kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru.

(22)

Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi. Dodd menggolongkannya ke dalam delapan kategori, yaitu:

1. Efek Romeo dan Juliet. Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.

2. Peran yang diharapkan. Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para istri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi. 3. Gangguan dari keluarga besar. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar

ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.

4. Budaya kolektif-individualistik. Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.

5. Bahasa dan kesalahpahaman. Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya.

6. Model konflik. Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.

7. Cara membesarkan anak. Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.

8. Pandangan negatif dari komunitas. Bizman mengajukan pertanyaan kepada 549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi Barat dengan Yahudi Timur. Hasilnya, 25 persen beranggapan, bahwa perkawinan antara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya (dalam Dodd, 1998: 70-71).

(23)

Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif saja, belum terjadi suatu proses asimilasi jika diantara kelompok-kelompok tersebut tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu sama lain. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia misalnya, mereka bergaul secara luas dan intensif dengan orang Indonesia sejak berabad-abad lamanya, namun mereka belum juga terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada sikap saling bertoleransi dan bersimpati (Koentjaraningrat, 2002: 256).

Proses asimilasi tidaklah akan terjadi apabila antarkelompok tidak tumbuh sikap toleransi dan saling berempati. Faktor-faktor di atas kiranya akan mendorong lahirnya kedua sikap yang diprasyaratkan itu. Selain faktor-faktor yang mempermudah asimilasi, ada pula beberapa faktor lain yang justru menghambat terjadinya asimilasi. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Terisolasinya kebudayaan sesuai golongan tertentu di dalam masyarakat. 2. Kurangnya pengetahuan suatu golongan tertentu mengenai kebudayaan yang

dipunyai oleh golongan lain.

3. Perasaan takut kepada kekuatan kebudayaan kelompok lain yang dirasakan oleh kelompok tertentu.

4. Perasaan superior dari suatu kelompok dan meremehkan kelompok lain. 5. Perbedaan ras dan warna kulit antarkelompok.

6. Perasaan in-group yang kuat (merasa sangat terikat dengan kelompoknya). 7. Gangguan diskriminatif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. 8. Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi antarwarga

yang akhirnya membawa kepada pertentangan antarkelompok (Narwoko, 2004: 43-44).

Asimilasi di Indonesia masih merupakan suatu masalah yang belum terselesaikan. Asimilasi berarti menghilangkan identitas sebagai golongan minoritas. Percampuran darah melalui pernikahan campuran telah terjadi sejak dulu antara

(24)

penduduk asli Indonesia dengan orang asing seperti dari Eropa dan Cina. Namun golongan minoritas tetap mempertahankan kesukuan asli mereka karena mereka masih belum bisa mencintai Indonesia seutuhnya. Kesatuan baru yang bernama bangsa Indonesia masih merupakan kesatuan politis. Dari segi kebudayaan belum terbentuk satu kesatuan yang terikat. Proses pengembangan kebudayaan daerah berjalan sejajar dengan proses pengembangan kebudayaan nasional. Namun kenyataannya, masih banyak etnis/suku yang lebih memprioritaskan kesukuannya. Kasus pelik yang masih dihadapi Indonesia adalah pembauran suku Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia.

Sampai saat ini masih terdapat rintangan-rintangan yang belum teratasi. Suku Tionghoa yang walaupun sudah turun-temurun tinggal di Indonesia, kenyataannya masih banyak dari mereka yang tidak merasakan “sense of belonging”/ cinta tanah air terhadap negara Indonesia (Rahardjo, 2005:1-2). Hal ini juga membuat suku asli Indonesia tidak menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia. Bila timbul keadaan krisis, baik krisis ekonomi, politik, dan lain-lain maka dengan segera konflik akan muncul seperti kerusuhan Mei 1998. Oleh kelompok mayoritas (Indonesia asli) kelompok minoritas seperti suku Tionghoa dijadikan “kambing hitam” atas krisis-krisis yang terjadi. Diskriminasi dan ketegangan tidak dapat dihindarkan. Ketika terjadi pernikahan campuran diantara suku Tionghoa dengan Batak Toba tentu saja menjadi hal menarik untuk diketahui lebih lanjut. Sikap tertutup Tionghoa terhadap kebudayaan lain bisa jadi menyulitkan suku Batak Toba untuk memasuki kehidupan mereka. Dalam penelitian ini ingin dilihat apakah salah satu suku mengalah dan

(25)

menerima suku lain atau terjadi proses dimana diciptakan kebudayaan baru hasil peleburan kedua kebudayaan itu yaitu kebudayaan Batak Toba dan Tionghoa.

Referensi

Dokumen terkait

Tidak ada perguruan tinggi lain dari pengobatan Cina telah bekerja sangat tekun pada kedua tingkat nasional dan internasional untuk memfasilitasi dialog dan

Pada penyimpanan 3 hingga 6 hari lama hidup imago yang muncul tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol, hal ini dikarenakan pada penyimpanan selama 3 hingga 6

Sedangkan pemasok/supplier yang terbanyak yang digunakan UMKM adalah 5 pemasok, dimana usaha UMKM ini merupakan pembuat produk makanan.Setelah membeli bahan baku

Berdasarkan pengujian yang dilakukan, bahwa pada kedalaman lubang elektroda grafit 4 mm memberikan intensitas yang paling optimum, sehingga elektroda ini dapat digunakan untuk

Analisa perlakuan pada praktikum kali ini yaitu pada saat larutan buah manga yang telah dicampur dengan detergen dan garam, maka didiamkan selama 15 menit. Hal ini

Tatalaksana hemofilia A adalah dengan pemberian terapi faktor anti hemofili yaitu faktor VIII dan untuk tatalaksana Perdarahan Subdural dapat dilakukan terapi pembedahan yaitu

Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar individu

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah, rahmat, dan karunia serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “