• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUMAN RIGHTS CITIES DOKUMEN REFERENSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUMAN RIGHTS CITIES DOKUMEN REFERENSI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

HUMAN RIGHTS CITIES

(2)
(3)

DIDUKUNG OLEH: MEDIA PARTNER:

HUMAN RIGHTS CITIES

DOKUMEN REFERENSI

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Jl. Jati Padang Raya Kav.3 No.105, Pasar Minggu,

Jakarta Selatan 12540 - Indonesia

Phone: (62-21) 781 9734, 781 9735, 7884 0497 Fax: (62-21) 7884 4703 E-mail: infid@infid.org www.infid.org Diterbitkan oleh: @Desember 2014 Layout isi dan Cover: Galih Gerryaldy

(4)
(5)

Daftar Isi

Piagam Dunia tentang Hak atas Kota 1 Laporan perkembangan Komite Penasehat 21 Agenda Piagam Global Tentang Hak Asasi Manusia di Kota 45 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 65

(6)

PIAGAM DUNIA

TENTANG HAK

ATAS KOTA

Forum Sosial Amerika – Quito – Juli 2004 Forum Sosial Dunia – Barcelona – Oktober 2004 Forum Sosial Dunia – Porto Alegre – Januari 2005 Revisi persiapan untuk Barcelona – September 2005

(7)

Pendahuluan

Milenium baru disertai dengan kenyataan bahwa setengah dari populasi dunia tinggal di wilayah perkotaan, dan para ahli memperkirakan bahwa pada tahun 2050 tingkat urbanisasi di dunia akan mencapai 65%. Perkotaan merupakan wilayah yang memiliki potensi kekayaan dan keberagaman ekonomi, lingkungan, politik dan budaya yang luas. Cara hidup masyarakat perkotaan mempengaruhi cara kita berhubungan dengan sesama manusia dan wilayah sekitar.

Namun, bertentangan dengan keberadaan potensi ini, model pembangunan yang diterapkan di sebagian besar negara-negara miskin ditandai dengan kecenderungan untuk melakukan konsentrasi pada pendapatan dan kekuasaan sehingga mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan pengucilan, yang berkontribusi terhadap degradasi lingkungan, mempercepat proses migrasi dan urbanisasi, segregasi sosial dan spasial, serta privatisasi kesejahteraan umum maupun ruang publik. Proses ini mendukung meluasnya proliferasi daerah perkotaan yang ditandai dengan kemiskinan, kondisi yang genting, dan kerentanan terhadap bencana alam.

Saat ini, kota menawarkan kondisi dan kesempatan yang masih jauh dari adil bagi penduduknya. Mayoritas penduduk perkotaan terampas atau terbatas – dalam memperoleh manfaat dari karakteristik ekonomi, sosial, budaya, etnis, jenis kelamin atau usia mereka – untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak yang paling mendasar mereka. Kebijakan publik yang berkontribusi terhadap kondisi ini dengan mengabaikan peran penduduk dalam proses pembangunan kota dan kewarganegaraan, hanya merugikan kehidupan perkotaan. Konsekuensi serius yang harus dihadapi dari situasi ini mencakup pengusiran besar-besaran, segregasi, dan kerusakan yang disebabkan oleh koeksistensi sosial.

Konteks ini mengakibatkan timbulnya kesulitan yang dihadapi perkotaan yang masih tetap terfragmentasi dan belum mampu menghasilkan perubahan yang transendental dalam model pembangunan saat ini, meskipun betapa pentingnya hal tersebut secara sosial dan politik.

(8)

Untuk menghadapi kenyataan ini, dan perlunya membalikkan tren yang ada, organisasi dan gerakan perkotaan saling bekerjasama sejak Forum Sosial Dunia Pertama (2001) yang membahas dan menghadapi tantangan untuk membangun sebuah model masyarakat dan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan, berdasarkan prinsip-prinsip solidaritas, kebebasan, keadilan, martabat, dan keadilan sosial, serta didirikan dengan menghormati budaya perkotaan yang berbeda dan keseimbangan antara perkotaan dan pedesaan. Sejak saat itu, kelompok terpadu dari gerakan rakyat, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi profesional, forum, serta jaringan masyarakat sipil nasional dan internasional, yang berkomitmen untuk melakukan perjuangan sosial bagi terciptanya kota yang adil, demokratis, manusiawi dan berkelanjutan, telah bekerja untuk membangun Piagam Dunia tentang Hak atas Kota. Piagam ini bertujuan untuk menggalang komitmen dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat sipil, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, anggota parlemen, serta organisasi-organisasi internasional, sehingga semua orang dapat hidup bermartabat di kota. Hak atas Kota akan memperluas fokus tradisional tentang peningkatan kualitas hidup masyarakat berdasarkan perumahan dan lingkungan yang ada selama ini, untuk mencakup kualitas hidup pada skala kota dan pedesaan di sekitarnya, sebagai mekanisme perlindungan penduduk yang hidup di wilayah perkotaan atau wilayah-wilayah dengan proses urbanisasi yang cepat. Hal ini mengindikasikan agar memulai cara baru untuk memajukan, menghargai, membela dan memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang dijamin dalam instrumen HAM regional dan internasional.

Di kota dan pedesaan di sekitarnya, korelasi antara hak-hak dan tugas yang diperlukan dapat dituntut sesuai dengan tanggung jawab dan kondisi sosial ekonomi penduduknya yang berbeda, sebagai bentuk promosi: distribusi yang merata atas manfaat dan tanggung jawab yang dihasilkan dari proses urbanisasi; pemenuhan fungsi sosial kota dan properti; distribusi pendapatan perkotaan; serta demokratisasi akses terhadap lahan tanah dan layanan publik bagi semua warga negara, terutama mereka yang kurang memiliki sumberdaya ekonomi dan berada dalam situasi yang rentan.

Sebagai asal-usul dan arti sosial, Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebenarnya merupakan instrumen yang berorientasi untuk memperkuat proses perkotaan, pembenaran, dan perjuangan. Kami menyebut Piagam yang disusun tersebut sebagai platform yang mampu menghubungkan upaya dari pihak semua aktor yang terkait – publik, sosial dan pribadi – yang tergerak untuk mengalokasikan validitas dan efektivitas secara penuh terhadap hak asasi manusia yang baru ini melalui upaya pemajuan, pengakuan hukum, implementasi, regulasi, dan penempatan yang tepat.

(9)

Bagian I – Ketentuan Umum

PASAL I. HAK ATAS KOTA

• Semua orang memiliki Hak atas Kota yang bebas dari diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, status kesehatan, pendapatan, kebangsaan, etnis, kondisi migrasi, orientasi politik, agama atau seksual, dan untuk melestarikan nilai budaya dan identitas sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma yang ditetapkan dalam Piagam ini.

• Hak atas Kota didefinisikan sebagai hak pakai hasil kota yang setara dalam prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sosial. Hak ini merupakan hak kolektif dari penduduk kota, khususnya kelompok-kelompok yang rentan dan terpinggirkan, yang menganugerahkan kepada mereka legitimasi tindakan dan organisasi, berdasarkan kegunaan dan adat istiadat mereka, dengan tujuan mencapai hak secara penuh dalam memperoleh kebebasan atas kemauan sendiri dan standar hidup yang layak. Hak atas Kota adalah saling bergantungnya semua hak asasi manusia yang diakui secara internasional dan dipahami secara integral, dan oleh karena itu mencakup semua hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang sudah diatur dalam perjanjian internasional tentang hak asasi manusia. • Hal ini mengasumsikan tercakupnya hak untuk bekerja dalam kondisi yang

adil dan memuaskan; hak untuk mendirikan dan berafiliasi dengan serikat kerja; jaminan sosial, kesehatan masyarakat, air minum yang bersih, energi, transportasi umum, dan layanan sosial lainnya; hak atas makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak; hak atas pendidikan publik yang berkualitas dan budaya; hak atas informasi, partisipasi politik, hidup berdampingan secara damai, dan akses terhadap keadilan; serta hak untuk berorganisasi, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak tersebut juga mencakup penghormatan terhadap kaum minoritas; pluralitas etnis, ras, seksual dan budaya; serta menghargai para migran.

• Wilayah perkotaan dan lingkungan pedesaan di sekitar mereka juga merupakan ruang dan lokasi bagi pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak kolektif sebagai cara untuk menjamin adanya distribusi dan penggunaan yang setara, universal, adil, demokratis, dan berkelanjutan atas sumberdaya, kekayaan, jasa, barang, dan peluang yang dimiliki kota. Oleh karena itu Hak atas Kota juga meliputi hak terhadap pembangunan, lingkungan yang sehat, penggunaan dan pelestarian sumberdaya alam, partisipasi dalam perencanaan dan manajemen perkotaan, serta warisan sejarah dan budaya.

(10)

• Kota ini adalah ruang kolektif budaya yang kaya dan beragam yang berkaitan dengan semua penghuninya.

• Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, arti dari konsep kota menjadi berlipat ganda. Sebagai karakter fisik, kota adalah setiap metropolis, desa, atau kota kecil yang secara kelembagaan diselenggarakan sebagai satu unit pemerintah lokal dengan karakter kota atau metropolitan. Hal ini mencakup ruang kota serta lingkungan pedesaan atau semi-pedesaan di sekitarnya yang merupakan bagian dari wilayahnya. Sebagai ruang publik, kota adalah keseluruhan lembaga dan aktor yang ikut ambil bagian dalam pengelolaannya, seperti otoritas pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif, entitas partisipasi sosial yang dilembagakan, gerakan dan organisasi sosial, serta masyarakat pada umumnya.

• Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, semua individu yang menghuni kota, baik secara permanen atau sementara, dianggap sebagai warganya. • Kota, yang bertanggung jawab secara bersama dengan otoritas nasional,

harus mengadopsi semua langkah yang diperlukan – hingga pada tingkat maksimum yang memungkinkan berdasarkan sumberdaya yang tersedia bagi mereka – agar berupaya secara bertahap untuk mencapai, dengan segala cara yang tepat dan dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif dan peraturan, serta secara penuh merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Selanjutnya, kota sesuai dengan kerangka hukum dan perjanjian internasional, harus menegakkan ketentuan legislatif atau ketentuan yang tepat lainnya sehingga secara penuh merefleksikan hak-hak sipil dan politik yang terkumpul dalam Piagam ini.

PASAL II. PRINSIP DAN LANDASAN STRATEGIS DARI HAK ATAS KOTA 1. PENERAPAN PENUH KEWARGANEGARAAN DAN PENGELOLAAN KOTA

YANG DEMOKRATIS:

1.1. Kota seharusnya merupakan lingkungan yang berperan sebagai realisasi penuh atas hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, yang menjamin martabat dan kesejahteraan kolektif dari semua orang, dalam kondisi yang setara, merata, dan berkeadilan. Semua orang memiliki hak untuk mendapati kota dalam kondisi yang sesuai dengan keperluan realisasi politik, ekonomi, budaya, sosial, dan ekologi mereka, asalkan menjaga solidaritas.

(11)

1.2. Semua orang mempunyai hak untuk berpartisipasi secara langsung maupun dalam bentuk perwakilan dalam melakukan elaborasi, definisi, implementasi, dan distribusi fiskal serta manajemen kebijakan publik dan anggaran kota, dalam rangka memperkuat transparansi, efektivitas, dan otonomi pemerintah daerah dan organisasi masyarakat.

2. FUNGSI SOSIAL KOTA DAN PROPERTI PERKOTAAN:

2.1. Sebagaimana tujuan utamanya, kota harus melaksanakan fungsi sosial, yang menjamin semua penghuninya atas hak penuh untuk memanfaatkan sumberdaya yang ditawarkan oleh kota. Dengan kata lain, kota harus mulai melakukan realisasi proyek dan investasi untuk kepentingan masyarakat perkotaan secara keseluruhan, dalam kriteria yang secara distributif merata, komplementaritas ekonomi, menghargai budaya, dan keberlanjutan ekologi, untuk menjamin kesejahteraan semua penduduknya, yang selaras dengan alam, bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.

2.2. Ruang-ruang publik dan swasta serta barang-barang dari kota dan warganya harus digunakan dengan dengan memprioritaskan kepentingan sosial, budaya, dan lingkungan. Semua warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kepemilikan wilayah perkotaan dalam parameter demokrasi, yang berkeadilan sosial dan dalam kondisi lingkungan yang berkelanjutan. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik harus mendorong penggunaan ruang dan lahan perkotaan yang berkeadilan sosial dan seimbang secara lingkungan, dalam kondisi keamanan dan kesetaraan gender.

2.3. Kota harus menyebarluaskan perundangan yang memadai serta menetapkan mekanisme dan sanksi yang dirancang untuk menjamin keuntungan penuh dari lahan perkotaan dan properti publik dan swasta yang kosong, tidak terpakai, kurang dimanfaatkan, atau tidak dihuni, bagi pemenuhan fungsi sosial properti.

2.4. Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan perkotaan, kepentingan sosial dan budaya kolektif harus diutamakan di atas hak kepemilikan individu dan kepentingan spekulatif.

2.5. Kota harus menghambat spekulan real estate melalui pengadopsian norma-norma perkotaan bagi distribusi beban dan manfaat yang adil yang ditimbulkan oleh proses urbanisasi, dan adaptasi ekonomi,

(12)

penghargaan, keuangan, serta instrumen kebijakan belanja publik dengan tujuan pembangunan perkotaan yang adil dan berkelanjutan. Pendapatan luar biasa (apresiasi) yang dihasilkan oleh investasi publik – yang saat ini digunakan oleh bisnis real estate dan sektor swasta - harus diarahkan dalam mendukung program-program sosial yang menjamin hak atas perumahan dan kehidupan yang bermartabat bagi sektor-sektor yang hidup dalam kondisi kesulitan dan situasi berisiko. 3. KESETARAAN, TANPA ADA DISKRIMINASI:

3.1. Hak yang disebutkan dalam Piagam ini harus dijamin untuk semua orang yang menghuni kota, baik secara permanen maupun sementara, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.

3.2. Kota harus mempunyai komitmen dalam hal pelaksanaan kebijakan publik yang menjamin kesempatan yang setara bagi perempuan di kota, yang dinyatakan diantaranya dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konferensi Lingkungan (Rio de Janeiro 1992), Konferensi Perempuan (Beijing 1995), serta Konferensi Habitat II (Istanbul 1996). Sumberdaya yang diperlukan harus dialokasikan dari anggaran pemerintah untuk menjamin efektivitas kebijakan yang dilakukan, dan mekanisme yang diperlukan serta indikator kuantitatif dan kualitatif harus dibentuk untuk memantau pemenuhannya dari waktu ke waktu.

4. PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP KELOMPOK DAN INDIVIDU YANG BERADA DALAM SITUASI YANG RENTAN

4.1. Kelompok dan individu yang berada dalam situasi yang rentan memiliki hak atas langkah-langkah khusus untuk perlindungan dan integrasi, distribusi sumberdaya, akses terhadap layanan penting, serta perlindungan dari diskriminasi. Sebagai akibat dari keberadaan Piagam ini, kelompok berikut ini dianggap sebagai rentan: orang atau kelompok yang hidup dalam kemiskinan atau dalam situasi lingkungan yang berisiko (terancam oleh bencana alam), korban kekerasan, penyandang cacat, migran paksa (pengungsi internal), pengungsi lintas batas, dan semua kelompok yang tinggal dalam situasi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan penduduk lainnya, sesuai dengan realitas masing-masing kota. Pada gilirannya, prioritas perhatian dalam kelompok-kelompok ini harus ditujukan untuk orang tua, perempuan (khususnya perempuan kepala rumah tangga), dan anak-anak.

(13)

4.2. Kota, melalui kebijakan aksi afirmatif yang mendukung kelompok rentan, harus menekan hambatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang membatasi kebebasan, keadilan, dan kesetaraan warga negara dan menghambat perkembangan penuh seseorang dan partisipasi efektif seseorang dalam bidang politik , ekonomi, sosial, dan budaya di kota.

5. KOMITMEN SOSIAL DARI SEKTOR SWASTA:

Kota harus meningkatkan partisipasi pihak swasta dalam program-program sosial dan upaya ekonomi yang bertujuan untuk mengembangkan solidaritas dan kesetaraan sepenuhnya di kalangan penduduk, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Piagam ini.

6. MEMAJUKAN SOLIDARITAS EKONOMI DAN KEBIJAKAN PAJAK PROGRESIF:

Kota harus mempromosikan dan menghargai kondisi politik dan ekonomi yang diperlukan untuk menjamin program-program ekonomi solidaritas sosial dan sistem pajak progresif yang menjamin distribusi yang adil dari sumberdaya dan dana yang diperlukan bagi pelaksanaan kebijakan sosial.

Bagian II. Hak-hak yang terkait dengan Pelaksanaan

Kewarganegaraan dan Partisipasi dalam Perencanaan,

Produksi dan Manajemen Kota

PASAL III. PERENCANAAN DAN MANAJEMEN KOTA

1. Kota harus membuka bentuk dan ruang yang dilembagakan bagi partisipasi warga negara laki-laki dan perempuan yang luas, langsung, adil dan demokratis dalam proses perencanaan, elaborasi, persetujuan, manajemen serta evaluasi kebijakan dan anggaran publik. Jaminan harus diberikan untuk bagi operasional perguruan tinggi, dengar pendapat, konferensi, konsultasi dan debat publik, serta untuk memungkinkan dan mengenali proses inisiatif masyarakat dalam proposal legislatif dan perencanaan pembangunan perkotaan.

2. Sesuai dengan prinsip-prinsip dasar organisasi hukum mereka, kota harus merumuskan dan menerapkan kebijakan yang terkoordinasi dan efektif terhadap korupsi; dalam mendorong partisipasi masyarakat; dan dalam mencerminkan prinsip-prinsip penegakan hukum, manajemen permasalahan

(14)

dan properti publik, integritas, transparansi, dan akuntabilitas.

3. Untuk menjaga prinsip transparansi, kota harus mengatur struktur administrasi mereka dengan cara sedemikian rupa yang menjamin tanggung jawab efektif fungsionaris mereka terhadap warga negara mereka, serta tanggung jawab pemerintah kota yang terkait dengan pemerintah di tingkat lainnya serta badan dan lembaga hak asasi manusia regional maupun internasional. PASAL IV. PRODUK SOSIAL DARI HABITAT

Kota harus membentuk mekanisme kelembagaan dan mengembangkan instrumen hukum, keuangan, administrasi, programatik, keuangan, teknologi, dan pelatihan yang diperlukan untuk mendukung beragam modalitas dari produk sosial habitat dan perumahan, dengan memberikan penekanan khusus pada proses swakelola, baik individu , keluarga, atau upaya kolektif yang terorganisir. PASAL V. PEMBANGUNAN PERKOTAAN YANG SETARA DAN

BERKELANJUTAN

1. Kota harus mengembangkan perencanaan, regulasi, dan manajemen lingkungan perkotaan yang menjamin keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan perlindungan alam, sejarah, arsitektur, warisan seni dan budaya; yang menghambat segregasi dan eksklusi teritorial; yang mengutamakan produk sosial habitat, dan yang menjamin fungsi sosial kota dan properti. Untuk mencapai hal itu, kota harus mengadopsi langkah-langkah yang menumbuhkan kota terpadu dan merata.

2. Perencanaan kota serta program dan proyek sektoral harus mengintegrasikan tema keamanan perkotaan sebagai atribut dari ruang publik.

PASAL VI. HAK TERHADAP INFORMASI PUBLIK

1. Semua orang berhak untuk meminta dan menerima informasi yang lengkap, handal, memadai dan tepat waktu sehubungan dengan kegiatan administrasi dan keuangan dari setiap entitas yang terkait dengan administrasi kota, cabang-cabang legislatif dan yudikatif, serta kalangan bisnis dan swasta atau campuran masyarakat yang memberikan layanan publik.

2. Para fungsionaris dari sektor pemerintah atau swasta masing-masing harus menghasilkan informasi yang diperlukan sesuai dengan kompetensi mereka dalam jangka waktu yang paling singkat jika mereka tidak memiliki informasi

(15)

tersebut pada saat ada permintaan. Satu-satunya batasan akses terhadap informasi publik adalah penghormatan terhadap hak individu atas privasi mereka.

3. Kota harus menjamin mekanisme sehingga semua orang memiliki akses terhadap informasi publik yang efektif dan transparan. Untuk itu, tindakan harus dikembangkan untuk mendorong akses bagi semua sektor penduduk terhadap teknologi informasi baru, penggunaan, dan periode pemutakhiran data mereka.

4. Semua orang atau kelompok yang terorganisasi, dan terutama mereka yang membangun perumahan mereka sendiri dan komponen habitat lainnya, memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang ketersediaan dan lokasi lahan yang memadai, program perumahan yang dikembangkan di kota, dan instrumen pendukung yang tersedia.

PASAL VII. KEBEBASAN DAN INTEGRITAS

Semua orang memiliki hak atas kebebasan dan integritas, baik fisik maupun spiritual. Kota harus berkomitmen untuk membangun jaminan perlindungan yang memastikan bahwa hak-hak tersebut tidak dilanggar oleh individu atau lembaga dalam bentuk apapun.

PASAL VIII. PARTISIPASI POLITIK

1. Semua warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik lokal melalui pemilihan umum yang bebas dan demokratis terhadap dewan perwakilan lokal mereka, serta dalam semua keputusan yang mempengaruhi kebijakan lokal dari perencanaan, produksi, renovasi, perbaikan, dan manajemen kota.

2. Kota harus menjamin hak atas pemilu yang bebas dan demokratis untuk memilih perwakilan lokal, realisasi plebisit/referendum dan inisiatif legislatif masyarakat, serta akses yang setara terhadap debat publik dan dengar pendapat tentang isu-isu yang terkait dengan kota.

3. Kota harus menerapkan kebijakan aksi yang afirmatif bagi perwakilan dan partisipasi politik perempuan dan kaum minoritas di semua pos dan posisi elektif lokal yang bertanggung jawab atas kebijakan publik, penganggaran, dan pendefinisian program kota.

(16)

PASAL IX. HAK UNTUK BERSERIKAT, BERKUMPUL, MENUNJUKKAN JATI DIRI, DAN PENGGUNAAN YANG DEMOKRATIS DARI RUANG PUBLIK PERKOTAAN

Semua orang memiliki hak untuk berserikat, berkumpul, dan menunjukkan jati diri. Kota harus menyediakan dan menjamin ruang publik untuk memenuhi hal ini. PASAL X. HAK ATAS KEADILAN

1. Kota harus mengadopsi langkah-langkah yang dirancang untuk meningkatkan akses setiap orang terhadap hukum dan keadilan.

2. Kota harus menggerakkan penyelesaian konflik sipil, pidana, administrasi, dan tenaga kerja melalui pelaksanaan mekanisme publik yang berupa rekonsiliasi, transaksi, mediasi, dan arbitrase.

3. Kota harus menjamin akses terhadap layanan peradilan, menetapkan kebijakan khusus yang mendukung kelompok penduduk yang rentan, dan memperkuat sistem pertahanan publik secara cuma-cuma.

PASAL XI. HAK ATAS KEAMANAN DAN KETENANGAN PUBLIK,

SOLIDARITAS DAN HIDUP BERDAMPINGAN DALAM BERAGAM BUDAYA 1. Kota harus menciptakan kondisi untuk keamanan publik, hidup berdampingan

secara damai, pengembangan kolektif, dan penerapan solidaritas. Untuk itu mereka harus menjamin hak untuk memanfaatkan kota secara penuh, menghormati keberagaman dan melestarikan warisan budaya dan identitas semua warga negara tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.

2. Misi utama dari pasukan keamanan mencakup penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Kota harus memastikan bahwa aparat keamanan yang berada di bawah yurisdiksi mereka menerapkan penggunaan kekuatan secara ketat sesuai dengan ketentuan hukum dan dengan kontrol yang demokratis.

3. Kota harus menjamin partisipasi seluruh warga kota mereka berada dalam kendali dan evaluasi aparat keamanan.

(17)

Bagian III. Hak atas Pembangunan Ekonomi, Sosial,

Budaya, dan Lingkungan terhadap Kota

PASAL XII. HAK ATAS AIR SERTA HAK ATAS AKSES DAN PENYEDIAAN LAYANAN PUBLIK DOMESTIK DAN PERKOTAAN

1. Kota harus menjamin bagi semua warga mereka akses yang permanen terhadap layanan publik seperti layanan air minum, sanitasi, pembuangan sampah, energi dan telekomunikasi, serta fasilitas untuk perawatan kesehatan, pendidikan, pasokan kebutuhan pokok, dan rekreasi, yang tanggung jawabnya dipikul bersama dengan badan-badan publik atau badan-badan swasta lainnya, sesuai dengan kerangka hukum yang ditetapkan dalam hak-hak internasional oleh masing-masing negara.

2. Dalam hal layanan publik, kota harus menjamin biaya sosial yang dapat diakses dan layanan yang memadai bagi semua orang termasuk orang atau kelompok yang rentan dan para pengangguran – bahkan dalam kasus privatisasi layanan publik yang mendahului adopsi Piagam ini.

3. Kota harus berkomitmen untuk menjamin bahwa layanan publik disandarkan pada pengelolaan di tingkat administratif yang paling dekat dengan masyarakat, dengan partisipasi warga dalam pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Layanan ini harus tetap di bawah koridor hukum sebagai kebutuhan publik, yang menghalangi upaya privatisasi terhadap layanan tersebut.

4. Kota harus membangun sistem kontrol sosial atas kualitas layanan yang diberikan oleh badan publik atau swasta, khususnya relatif terhadap kontrol kualitas, penentuan biaya, dan perhatian terhadap masyarakat.

PASAL XIII. HAK ATAS TRANSPORTASI PUBLIK DAN MOBILITAS PERKOTAAN

1. Kota harus memberikan jaminan bagi semua orang, hak atas mobilitas dan sirkulasi di kota, sesuai dengan rencana sirkulasi perkotaan dan antarkota serta melalui sistem transportasi publik yang dapat diakses, yang tersedia dengan biaya yang wajar dan memadai bagi kebutuhan lingkungan dan sosial yang berbeda (jenis kelamin, usia, kapasitas, dll).

2. Kota harus merangsang penggunaan kendaraan non-polusi dan menetapkan area yang disediakan bagi lalu-lintas pejalan kaki, secara permanen atau selama waktu-waktu tertentu dalam sehari.

(18)

3. Kota harus mendorong penghapusan hambatan arsitektur, instalasi fasilitas yang diperlukan dalam sistem mobilitas dan sirkulasi, dan adaptasi dari semua bangunan publik atau bangunan yang digunakan publik serta fasilitas kerja dan liburan untuk memastikan akses bagi para penyandang cacat. PASAL XIV. HAK ATAS PERUMAHAN

1. Kota, dalam kerangka kompetensi masing-masing, harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin semua warga negara bahwa biaya perumahan dapat dijangkau sesuai dengan pendapatan, sehingga memenuhi kondisi hidup yang memadai, sehingga secara memadai terletak, dan bahwa hal itu beradaptasi dengan karakteristik budaya dan etnis semua penghuninya. 2. Kota harus memfasilitasi pasokan perumahan dan fasilitas perkotaan

yang layak bagi semua warga kota dan menetapkan program subsidi dan keuangan bagi pembebasan lahan dan perumahan, kepemilikan regularisasi, serta peningkatan kondisi lingkungan yang genting dan pemukiman informal. 3. Kota harus menjamin adanya prioritas bagi kelompok rentan dalam undang-undang, kebijakan, dan program perumahan, serta menjamin keuangan dan layanan yang khusus ditujukan untuk kalangan anak-anak dan orang tua. 4. Kota harus menyertakan perempuan dalam dokumen kepemilikan yang

dikeluarkan dan tercatat, tanpa memandang status sipil mereka, dalam semua kebijakan publik yang dikembangkan terkait dengan tanah dan distribusi perumahan dan peruntukannya.

5. Kota harus mendorong pembangunan tempat penampungan dan perumahan sewa sosial bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

6. Semua warga tunawisma, baik secara individu, sebagai pasangan, atau sebagai kelompok keluarga, memiliki hak untuk menuntut otoritas atas pelaksanaan yang efektif dari hak mereka atas perumahan yang layak secara progresif dan melalui aplikasi dari seluruh sumberdaya yang tersedia. Fasilitas tempat penampungan dan bed and breakfast (kamar dan sarapan pagi) dapat diadopsi sebagai langkah darurat sementara, tanpa mengurangi kewajiban untuk memberikan solusi perumahan yang definitif.

7. Semua orang memiliki hak atas keamanan kepemilikan perumahan melalui instrumen hukum yang memberikan jaminan akan hal itu, dan berhak atas

(19)

perlindungan dari penggusuran, pengambilalihan, atau pemindahan paksa atau sewenang-wenang. Kota harus melindungi penyewa dari pencatutan dan penggusuran sewenang-wenang, melakukan pengaturan sewa perumahan sesuai dengan Komentar Umum No. 7 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

8. Kota harus berperan sebagai perwakilan langsung dari organisasi dan gerakan sosial yang membela dan bekerja untuk memenuhi hak-hak yang terkait dengan hak atas perumahan yang terkandung dalam Piagam ini. Perhatian, dorongan dan dukungan yang sangat khusus harus diarahkan ke organisasi kaum rentan dan terkucilkan, yang menjamin dalam semua kasus atas terjaganya otonomi mereka.

9. Pasal ini berlaku untuk semua orang, termasuk keluarga, kelompok, penghuni liar, tunawisma, dan orang-orang atau kelompok-kelompok yang kondisi perumahan mereka bervariasi, terutama termasuk kaum nomaden, pelancong, dan kaum gipsi.

PASAL XV. HAK ATAS PEKERJAAN

1. Kota, dalam tanggung jawab bersama dengan otoritas nasional, harus memberikan kontribusi, dengan tingkat yang paling memungkinkan, untuk mempekerjakan secara penuh di kota. Kota juga harus mendorong pendidikan lanjutan dan pelatihan ulang bagi pekerja, baik yang masih aktif bekerja atau yang menganggur, melalui program pembentukan formasi yang permanen. 2. Kota harus mendorong terciptanya kondisi yang sedemikian rupa agar dapat

mencegah pekerja anak sehingga anak laki-laki dan perempuan dapat menikmati masa kecil mereka dan memperoleh pendidikan.

3. Kota, yang bekerja sama dengan sektor administrasi publik dan sektor swasta lainnya, harus mengembangkan mekanisme untuk menjamin kesetaraan bagi semua orang dalam masalah ketenagakerjaan dan menghambat terjadinya diskriminasi.

4. Kota harus mendorong akses yang setara bagi kaum perempuan terhadap pekerjaan melalui pendirian pusat-pusat penitipan anak dan langkah-langkah lainnya, dan bagi para penyandang cacat melalui implementasi fasilitas yang tepat. Untuk memperbaiki kondisi kerja, kota harus menetapkan program untuk meningkatkan perumahan perkotaan yang digunakan oleh kepala rumah tangga perempuan dan kelompok rentan sebagai ruang kerja.

(20)

5. Kota harus meningkatkan integrasi perdagangan informal secara progresif yang dilakukan oleh kalangan berpenghasilan rendah dan pengangguran, menghindarkan mereka dari tindak eliminasi dan represi terhadap pedagang informal. Ruang yang diadaptasi sedemikian rupa bagi perdagangan informal harus disediakan dan kebijakan yang memadai harus dikembangkan untuk menyertakan mereka dalam perekonomian perkotaan.

PASAL XVI. HAK ATAS LINGKUNGAN YANG SEHAT DAN BERKESINAMBUNGAN

1. Kota harus mengadopsi langkah-langkah pencegahan terhadap polusi, pekerjaan yang tidak tertata dalam suatu wilayah, dan pendudukan wilayah lingkungan yang dilindungi, serta langkah-langkah yang mendukung konservasi energi, pengelolaan limbah dan pemakaian kembali, daur ulang, pemulihan lereng, serta perluasan dan perlindungan daerah hijau.

2. Kota harus menghargai warisan alam, sejarah, arsitektur, budaya, dan seni, serta mendorong pemulihan maupun rehabilitasi daerah dan fasilitas perkotaan yang mengalami kerusakan.

Bagian IV. Ketentuan Akhir

PASAL XVII. KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MEMAJUKAN, MELINDUNGI, DAN MELAKSANAKAN HAK ATAS KOTA 1. Badan internasional dan pemerintah di tingkat nasional, provinsi, regional,

metropolitan, kota dan lokal bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan pembelaan yang efektif atas hak yang tercantum dalam Piagam ini, serta semua hak-hak asasi sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan dari semua warga negara, berdasarkan sistem hak asasi manusia internasional dan sistem kompetensi yang berlaku di negara masing-masing.

2. Tidak diterapkannya hak-hak yang terkandung dalam Piagam ini oleh pemerintah yang bertanggung jawab, atau penerapannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan arahan atau dengan norma-norma hak asasi manusia internasional dan nasional yang berlaku di negara, merupakan pelanggaran terhadap Hak atas Kota, yang hanya dapat diperbaiki melalui pelaksanaan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan perbaikan/ membalikkan tindakan atau kelalaian yang menjadi asal-muasal pelanggaran. Langkah-langkah perbaikan tersebut harus memastikan bahwa dampak

(21)

negatif atau kerusakan yang berasal dari pelanggaran dapat diperbaiki/ dikembalikan sedemikian rupa untuk menjamin semua warga tentang dorongan, penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan yang efektif atas hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam ini.

PASAL XVIII. LANGKAH-LANGKAH BAGI PELAKSANAAN DAN PEMANTAUAN HAK ATAS KOTA

1. Kota harus mengadopsi semua langkah-langkah pengaturan yang diperlukan, dengan cara yang tepat dan cepat, untuk menjamin Hak atas Kota bagi semua orang, sesuai dengan Piagam ini. Kota harus menjamin partisipasi warga dan organisasi masyarakat sipil dalam proses peninjauan peraturan. Kota diwajibkan untuk mendayagunakan sumberdaya yang tersedia hingga semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban hukum yang ditetapkan dalam Piagam ini.

2. Kota harus memberikan pelatihan dan penyuluhan pendidikan tentang HAM bagi semua kalangan publik yang terkait dengan pelaksanaan Hak atas Kota dan kewajiban yang mengikatnya, khususnya bagi para fungsionaris yang dipekerjakan oleh badan-badan publik yang pengaruh kebijakannya sedemikian rupa sehingga merupakan realisasi penuh dari Hak atas Kota. 3. Kota harus mendorong pengajaran dan sosialisasi Hak atas Kota di seluruh

pusat pendidikan, perguruan tinggi, dan melalui media komunikasi.

4. Kota harus menetapkan, bersama-sama dengan warga penduduk, mekanisme evaluasi dan pemantauan melalui sistem yang efektif dari indikator-indikator hak atas kota, dengan diferensiasi gender, untuk menjamin Hak atas Kota berdasarkan prinsip-prinsip dan norma-norma dari Piagam ini.

5. Kota harus secara reguler dan terus-menerus memantau tingkat penghargaan yang ditegakkan atas kewajiban dan hak yang tercantum dalam Piagam ini. PASAL XIX. PELANGGARAN TERHADAP HAK ATAS KOTA

1. Pelanggaran terhadap Hak atas Kota yang disebabkan oleh tindakan dan kelalaian, langkah-langkah legislatif, administratif dan hukum, serta praktek sosial yang mengakibatkan adanya hambatan, penolakan, kesulitan, atau ketidakmungkinan dalam:

(22)

1.2. partisipasi politik kolektif dari semua penduduk, yang mencakup khususnya kalangan perempuan dan kelompok-kelompok sosial, dalam pengelolaan kota;

1.3. pemenuhan keputusan dan prioritas yang ditetapkan dalam proses partisipatif yang membentuk bagian dari manajemen kota;

1.4. Konservasi identitas budaya, bentuk hidup berdampingan secara damai, produksi sosial habitat, dan bentuk-bentuk manifestasi dan tindakan dari kelompok sosial dan warga, terutama kalangan yang rentan dan kurang beruntung, berdasarkan kegunaan dan adat istiadat mereka.

2. Tindakan dan kelalaian dapat terjadi di bidang administratif dalam perluasan dan pelaksanaan proyek, program dan rencana; di bidang legislatif melalui pemberlakuan hukum dan kontrol sumberdaya publik dan tindakan pemerintah; dan di bidang hukum dalam pengujian dan keputusan tentang konflik kolektif dan keputusan pengadilan yang terkait dengan isu-isu kepentingan perkotaan.

PASAL XX. TUNTUTAN YANG DAPAT DILAKUKAN DARI HAK ATAS KOTA Semua orang memiliki hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumberdaya administratif maupun hukum yang efektif dan lengkap yang terkait dengan hak dan kewajiban yang tercantum dalam Piagam ini, termasuk tidak dimanfaatkannya hak-hak tersebut.

PASAL XXI. KOMITMEN YANG TERKAIT DENGAN PIAGAM TENTANG HAK ATAS KOTA

I. Jaringan dan organisasi sosial berkomitmen untuk:

a. Menyebarkan Piagam ini secara luas dan mendorong artikulasi internasional agar mendukung Hak atas Kota dalam konteks Forum Sosial Dunia, serta dalam konferensi dan forum internasional lainnya, yang bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam memajukan perjuangan gerakan sosial dan jaringan non-pemerintah pada pembangunan kehidupan yang bermartabat di kota;

b. Membangun platform yang dapat digunakan untuk menuntut Hak atas Kota, serta mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengalaman di

(23)

tingkat nasional dan lokal yang berkontribusi terhadap penyusunan hak ini;

c. Menyampaikan Piagam Dunia tentang Hak atas Kota ini ke badan-badan dan lembaga-lembaga Sistem PBB dan badan-badan-badan-badan regional yang berbeda untuk memulai proses yang bertujuan untuk memperoleh pengakuan tentang Hak atas Kota sebagai hak asasi manusia.

2. Pemerintah pusat dan daerah berkomitmen untuk:

a. Menjabarkan dan mendorong kerangka kerja kelembagaan yang menjunjung tinggi Hak atas Kota, dan segera merumuskan rencana aksi untuk model pembangunan berkelanjutan yang diterapkan untuk kota, sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam ini; b. Membangun platform kemitraan, dengan partisipasi masyarakat sipil

yang luas, untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan di kota; c. Mendorong upaya untuk melakukan ratifikasi dan penerapan perjanjian

hak asasi manusia serta instrumen internasional dan regional lainnya yang berkontribusi terhadap penyusunan Hak atas Kota.

3. Anggota parlemen berkomitmen untuk:

a. Mendorong adanya konsultasi warga negara dan melakukan kegiatan lobi yang bertujuan untuk memperkaya isi Hak atas Kota dan mempercepat pengakuan dan penerapannya oleh badan-badan hak asasi manusia internasional dan regional dan oleh pemerintah pusat dan daerah.

b. Menjabarkan dan menetapkan undang-undang yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia atas kota, sesuai dengan isi yang tercantum dalam Piagam ini dan instrumen HAM internasional.

c. Menyesuaikan kerangka hukum nasional dan lokal untuk menyertakan kewajiban internasional yang dilakukan oleh negara dalam permasalahan yang terkait dengan hak asasi manusia, dengan perhatian khusus pada kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Piagam ini.

(24)

4. Lembaga internasional berkomitmen untuk:

a. Melakukan semua upaya yang memungkinkan untuk menyadarkan, memancing, dan mendukung pemerintah dalam mempromosikan kampanye, seminar dan konferensi, serta untuk memfasilitasi publikasi teknis yang tepat yang mendukung kepatuhan pemerintah terhadap komitmen yang terkandung dalam Piagam ini;

b. Memantau dan mempromosikan penerapan perjanjian hak asasi manusia serta instrumen internasional dan regional lainnya yang berkontribusi terhadap penyusunan Hak atas Kota;

c. Membuka ruang untuk berpartisipasi dalam badan konsultatif dan pengambilan keputusan dari sistem PBB yang memfasilitasi pembahasan inisiatif ini.

Semua orang, organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah, anggota parlemen, dan organisasi internasional diundang untuk berpartisipasi secara aktif di tingkat lokal, nasional, regional dan global dalam proses integrasi, adopsi, diseminasi dan implementasi Piagam Dunia tentang Hak atas Kota sebagai salah satu paradigma bagi dunia yang lebih baik dalam milenium ini.

Terjemahan: Jodi Grahl, Mei 2005

International Alliance of Inhabitants, 2005

(25)
(26)

A/HRC/27/59 Distr.: Umum 4 September 2014 Terjemahan: Bahasa Indonesia Dewan Hak Asasi Manusia Sesi ke-dua puluh tujuh Item agenda 3 dan 5 Memajukan dan melindungi seluruh hak-hak asasi, hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak atas pembangunan Badan dan mekanisme HAM

Laporan perkembangan Komite Penasehat

tentang peran pemerintah daerah dalam

memajukan dan melindungi hak-hak asasi

manusia, termasuk pengarusutamaan HAM ke

dalam pemerintahan lokal dan layanan publik

 

GE.14-15562 (E)

*1415562*

Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Majelis Umum

(27)

Pendahuluan

Pada bulan Agustus 2012, Komite Penasehat menyerahkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk meminta pertimbangan dan persetujuan dari proposal penelitian tentang pemerintah daerah dan hak asasi manusia (A/HRC/AC/9/6). Pada tanggal 20 September 2013, Dewan HAM mengadopsi resolusi 24/2 dengan mempertimbangkan proposal penelitian yang disebutkan di atas dan meminta Komite Penasehat untuk menyiapkan laporan berbasis penelitian tentang peran pemerintah daerah dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk pengarusutamaan HAM pada pemerintah daerah dan layanan publik dengan maksud untuk mengkompilasi praktek terbaik dan tantangan utama, serta menyerahkan laporan kemajuan tentang laporan berbasis penelitian yang diminta kepada Dewan pada sesi ke 27, sebagai bahan pertimbangan.

Komite Penasehat juga diminta untuk menggali pandangan dan masukan dari negara-negara anggota, organisasi internasional dan regional yang terkait, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan prosedur khusus yang relevan, serta lembaga HAM nasional dan LSM, dalam rangka mempersiapkan laporan berbasis penelitian yang disebutkan di atas.

Selama sesi ke 12 yang diselenggarakan pada tanggal 24-28 Februari 2014, Komite Penasehat membentuk tim penyusun yang bertugas untuk membuat laporan tersebut dan menunjuk anggota Komite berikut ini: Bp. Coriolano, Ibu Elsadda, Bp. Huseynov (Pelapor), Ibu Reyes Prado, Bp. Seetulsingh (Ketua), dan Bp. Yigezu.

Pada sesi pertemuan Komite Penasehat yang sama, tim penyusun membuat suatu angket, sesuai dengan resolusi Dewan 24/2, yang disebarluaskan ke berbagai pemangku kepentingan. Terhitung pada tanggal 4 Agustus 2014, sebanyak 67 respon telah diterima: 22 dari berbagai negara, 20 dari lembaga HAM nasional, 9 dari LSM, 12 dari pemerintah daerah dan 4 dari organisasi internasional atau regional.

(28)

II. Definisi pemerintah daerah

Pemerintah daerah umumnya didefinisikan sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah dalam suatu Negara tertentu. Di Negara-negara kesatuan, pemerintah daerah biasanya terdiri dari unsur pemerintah pada tingkat kedua atau ketiga, sedangkan di Negara-Negara federal, pemerintah daerah berada pada tingkat ketiga atau kadangkala tingkat keempat dari pemerintahan. Pengorganisasian dan fungsi pemerintah daerah sangat beragam antar negara. Nama yang berbeda digunakan untuk unsur pemerintah daerah di berbagai negara (county, prefektur, kabupaten, kota, borough, parish, desa, dll). Pemerintah daerah secara geografis berada baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Pemerintah daerah menjalankan tiga peran utama: mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan efektif di wilayah mereka masing-masing, demi kepentingan warga negaranya; mengatur, menyerahkan kepada pihak ketiga, membiayai dan memberikan layanan umum, baik secara universal maupun yang ditargetkan untuk mereka yang paling membutuhkannya; dan bertindak sebagai suara demokrasi dan memperjuangkan hak-hak masyarakat.1

Pemerintah daerah berupaya untuk menjangkau masyarakat hingga ke tingkat akar rumput dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi hajat hidup mereka. Sebagai tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan warga, pemerintah daerah berada dalam posisi yang jauh lebih baik daripada pemerintah pusat untuk menangani masalah-masalah yang memerlukan pengetahuan dan peraturan lokal atas dasar kebutuhan dan prioritas lokal.

Pemerintah daerah memiliki wewenang tertentu yang diberikan melalui undang-undang atau arahan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Wewenang yang dimaksud secara hakiki mencakup wewenang untuk mengatur dan mengelola urusan publik tertentu dan memberikan layanan publik tertentu. Luasnya kekuasaan pemerintah daerah harus selalu dilihat dalam konteks hubungan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat atau pemerintah regional (dalam negara federal). Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah adalah adanya wewenang pengaturan khusus yang bersifat subordinat untuk menjalankan fungsinya yang bagaimanapun juga harus patuh hukum.

Meskipun di beberapa negara konsep “pemerintah daerah” dan “pemerintah otonomi daerah” digunakan secara bergantian, namun karena pemerintah daerah memiliki bentuk yang berbeda di negara yang berbeda maka kedua konsep ini

(29)

harus dibedakan. Administrasi publik di tingkat daerah dapat dilaksanakan tidak hanya oleh unsur-unsur dalam pemerintah otonomi daerah (misalnya kota), tetapi juga oleh unit lokal dari penyelenggaraan negara; dimana unsur otonomi daerah dipilih langsung oleh penduduk setempat dan menikmati otonomi yang luas, sedangkan unit pemerintahan lokal bertindak sebagai wakil dari pihak berwenang yang lebih tinggi dan aparatnya ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada pihak berwenang tersebut. Pemerintah otonomi daerah berdasarkan pada asas desentralisasi, dan penyelenggaraan negara di tingkat lokal berdasarkan pada asas dekonsentrasi.

Seberapa besar pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahannya sendiri dapat menjadi salah satu faktor utama dari demokrasi yang sejati. Dalam hal itu, desentralisasi politik, fiskal dan administrasi sangat penting agar demokrasi dan hak asasi manusia terlokalisasi. Perlu diingat bahwa demokrasi tidak memungkinkan tanpa menghormati hak asasi manusia dan hak asasi manusia tidak dapat dicapai tanpa demokrasi.

Peran pemerintah daerah seharusnya tidak terbatas pada pelaksana dari keputusan dan kebijakan yang diambil dan dikembangkan tanpa partisipasi mereka. Di sisi lain, kemandirian lokal harus memiliki batas-batas tertentu yang ditetapkan dengan jelas oleh hukum, dan berbagai mekanisme harus tersedia untuk mengawasi legalitas kegiatan pemerintah daerah.

III. Kerangka hukum pemerintah daerah

Untuk memastikan tata kelola pemerintahan di tingkat daerah yang efektif dan implementasi HAM yang memadai di tingkat lokal, sangat penting untuk memiliki kerangka hukum yang tepat bagi pemerintah daerah. Organisasi, wewenang dan fungsinya harus secara jelas ditentukan oleh undang-undang. Selanjutnya, perundang-undangan nasional harus menjabarkan dengan jelas tanggung jawab dan wewenang dari pemerintah pusat dan daerah dalam hubungannya antara satu sama lain.

Pemerintah daerah sebaiknya diakui dalam konstitusi nasional; memang di sejumlah negara, konstitusi secara khusus melindungi otonomi pemerintah daerah. Perlu digarisbawahi bahwa perlindungan konstitusional memberikan jaminan terbaik untuk stabilitas. Selain itu, UU khusus tentang pemerintah daerah yang disahkan oleh parlemen nasional juga merupakan solusi terbaik dalam hal ini. Di beberapa negara, sudah ada perlindungan hukum untuk menjaga stabilitas hukum yang mengatur pemerintah daerah. Di Hungaria, misalnya, UU Pemerintah Daerah dapat diadopsi atau diubah hanya oleh dua pertiga mayoritas anggota

(30)

parlemen yang hadir. Hal yang sama berlaku untuk setiap undang-undang yang membatasi hak-hak yang terkait dengan pemerintah mandiri daerah.

Perlu dicatat bahwa prinsip-prinsip subsidiaritas, desentralisasi dan akuntabilitas secara jelas tampak di sejumlah negara sebagai prinsip utama dari pemerintah daerah. Selain itu, untuk memastikan agar prinsip-prinsip ini terpenuhi, masing-masing aturan hukum tersebut membolehkan pemerintah daerah untuk menggunakan upaya hukum.

Hukum internasional pada hakekatnya tidak mempermasalahkan struktur teritorial internal dari suatu Negara. Hubungan antara negara dan pemerintah daerah umumnya dianggap sebagai masalah internal. Dengan kata lain, negara mempunyai hak yang berdaulat untuk mengatur pemerintah daerah mereka sendiri sesuai dengan hukum dalam negeri mereka dan untuk secara bebas menentukan apakah pemerintah daerah dipilih atau ditunjuk, dan apakah pemerintah daerah dapat bekerja secara independen atau hanya dengan persetujuan resmi dari pemerintahan yang lebih tinggi, dimana layanan publik harus disediakan oleh pemerintah daerah.

Namun demikian, aturan dan peraturan tertentu telah dikembangkan, baik di tingkat internasional maupun nasional, yang secara langsung berhubungan dengan pemerintah daerah. Perlu ditekankan bahwa sangat sedikit dari aturan hukum tersebut yang mengikat secara hukum. Di antara aturan yang perlu disebutkan secara khusus adalah Piagam Eropa tentang Pemerintahan Otonomi di Tingkat Daerah, suatu perjanjian regional yang diadopsi pada tahun 1985 dalam kerangka kerja Dewan Eropa. Piagam ini, yang telah diratifikasi oleh seluruh 47 negara anggota Dewan Eropa, merupakan instrumen internasional pertama yang mengikat secara hukum yang menjamin hak-hak masyarakat dan pemerintahan terpilih mereka. Piagam ini meletakkan standar umum Eropa untuk melindungi hak-hak pemerintah otonom daerah.

Instrumen lain yang mengikat secara hukum adalah Piagam Afrika tentang Demokrasi, Pemilu dan Tata Kelola Pemerintahan2 yang diadopsi oleh Uni

Afrika pada bulan Januari 2007. Piagam ini mengandung beberapa ketentuan mengenai pemerintah daerah. Secara khusus, Piagam ini mewajibkan negara anggota untuk melakukan “desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah yang terpilih secara demokratis sebagaimana diatur dalam UU nasional” (pasal 34). Piagam ini selanjutnya menetapkan bahwa “mengingat peran abadi dan penting dari pemerintahan tradisional, khususnya di masyarakat pedesaan, negara anggota harus berusaha untuk menemukan cara dan sarana yang tepat untuk meningkatkan keterpaduan dan efektivitasnya dalam sistem demokrasi

(31)

yang lebih besar” (pasal 35).

Sejumlah instrumen telah diadopsi di bawah naungan Dewan Eropa yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pemerintah daerah, di antaranya: Konvensi Garis Besar Eropa tentang Kerjasama Lintas Batas Antara Masyarakat atau Pemerintahan Teritorial (1980 dan tiga protokol tambahan);3 Tata Perilaku Eropa

untuk integritas politik wakil terpilih di tingkat lokal dan regional (1999);4 Konvensi

Landskap Eropa (2000);5 Piagam Wilayah Perkotaan Eropa I (1992);6 Piagam

Wilayah Perkotaan Eropa II - Manifesto untuk kehidupan perkotaan yangg baru (2008);7 dan Protokol Tambahan Piagam Eropa tentang Pemerintah Otonomi

Daerah yang terkait dengan hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintah daerah (2009).8 Perlu juga mempertimbangkan rekomendasi berikut ini dari

Komite Menteri Dewan Eropa untuk negara-negara anggota yang mengandung prinsip-prinsip dan norma-norma penting yang berkaitan dengan kompetensi, sumberdaya keuangan dan kapasitas pemerintah daerah: Rekomendasi Rec (1998) 12 tentang pengawasan tindakan pemerintah daerah; Rekomendasi Rec (2004) 12 tentang proses reformasi batas-batas dan/atau struktur otoritas lokal dan regional; Rekomendasi Rec (2005) 1 tentang sumberdaya keuangan pemerintah lokal dan regional; Rekomendasi Rec (2001) 19 tentang partisipasi warganegara dalam kehidupan publik di tingkat lokal; dan rekomendasi Rec (2004) 1 tentang pengelolaan keuangan dan anggaran di tingkat lokal dan regional.9

Dua rangkaian pedoman yang disetujui oleh Dewan Pembina Badan PBB Urusan Pemukiman Penduduk (UN-HABITAT) pada tahun 2007 dan 2009, yaitu pedoman tentang desentralisasi dan penguatan pemerintahan lokal, dan pedoman tentang akses terhadap layanan dasar untuk semua,10 harus dilihat sebagai sesuatu

yang memberi kontribusi penting untuk proses penetapan standar internasional di bidang pemerintah daerah. Dengan menyetujui dokumen-dokumen tersebut, Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa berkomitmen untuk memajukan desentralisasi dan penguatan pemerintah daerah, serta akses terhadap layanan dasar untuk semua.

Kerangka hukum yang ada bagi pemerintah daerah juga termasuk aturan dan pedoman yang telah dikembangkan oleh asosiasi pemerintah daerah di tingkat global dan regional. Dengan demikian, Dewan Perkotaan dan Daerah Eropa, yaitu asosiasi Eropa terbesar dari pemerintah lokal dan regional yang menyatukan asosiasi nasional dari pemerintahan lokal dan regional dari 41 negara Eropa, telah menyusun sejumlah dokumen normatif, di antaranya: Piagam Eropa tentang Kebebasan Perkotaan (1953);11 Piagam Eropa untuk Kesetaraan bagi Perempuan

dan Laki-laki dalam Kehidupan di Tingkat Lokal (2006);12 Piagam Eropa tentang

(32)

Perserikatan Kota dan Pemerintah Daerah (United Cities and Local Government), organisasi pemerintah daerah terbesar di dunia, yang didirikan pada tahun 2004, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya membangun kerangka kerja normatif global untuk pemerintah daerah, terutama untuk wilayah perkotaan. Perlu disebutkan secara khusus beberapa dokumen penting seperti Piagam Dunia untuk Hak atas Kota (2005) dan Agenda Piagam Global Hak Asasi Manusia di Kota (2010).14

IV. Peran pemerintah dari berbagai tingkat yang berbeda

dalam pelaksanaan kewajiban HAM internasional oleh

Negara

Dalam konteks hukum internasional, Negara adalah suatu entitas tunggal, terlepas dari apakah Negara tersebut bersifat kesatuan atau federal dan terlepas dari pembagian administrasi internalnya. Dalam hal ini, hanya Negara Pihak secara keseluruhan yang terikat oleh kewajiban-kewajiban yang muncul dari perjanjian internasional yang mana negara tersebut telah meratifikasi. Dengan demikian, dengan menjadi negara pihak dalam perjanjian HAM internasional, Negara tersebut menanggung kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. Lebih khususnya, hanya Negara Pihak yang harus menyerahkan laporan sebagaimana diwajibkan oleh masing-masing perjanjian HAM universal dan regional dan hanya Negara Pihak yang dapat diadukan oleh individu atau antar-negara sebagaimana yang dijamin oleh perjanjian tersebut. Selain itu, suatu Negara yang harus menghadapi mekanisme pengaduan HAM internasional tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa dugaan pelanggaran tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah.

Perlu juga ditekankan bahwa di bawah hukum internasional secara umum, Negara yang diwakili oleh pemerintah pusat bertanggung jawab atas seluruh tindakan dari semua unsur dan badannya.15 Telah diakui secara umum bahwa “perilaku setiap

unsur Negara di bawah hukum internasional akan dianggap sebagai tindakan Negara tersebut, apakah unsur tersebut melakukan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif atau fungsi lainnya, terlepas dari posisi unsur tersebut dalam pengaturan Negara, dan terlepas dari apakah unsur tersebut adalah organ pemerintah pusat atau unit wilayah Negara yang bersangkutan”.16 Dalam alinea 4 dari Komentar

Umum Nomor 31 (2004) tentang kewajiban hukum secara umum yang harus dipenuhi Negara-negara Pihak dari Kovenan, Komite HAM menegaskan bahwa semua otoritas publik atau pemerintah, di tingkat apa pun - nasional, regional atau lokal - berada dalam posisi untuk melaksanakan tanggungjawab dari Negara Pihak. Demikian pula, dalam alinea 42 dari Komentar Umum Nomor 16 (2005) tentang hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk menikmati

(33)

semua hak ekonomi, sosial dan budaya, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menekankan bahwa pelanggaran hak-hak yang terkandung dalam Kovenan dapat terjadi melalui tindakan langsung atau gagal untuk bertindak atau kelalaian oleh Negara Pihak, atau melalui lembaga atau badan di tingkat nasional dan lokal. Perlu dicatat bahwa tindakan atau perilaku lembaga tertentu yang menggunakan kekuasaan publik terhubung dengan Negara meskipun hukum negara tersebut menganggap lembaga yang bersangkutan sebagai lembaga yang otonom dan independen dari pemerintah eksekutif.17

Tindakan ilegal dari otoritas publik manapun, termasuk pemerintah daerah, dapat diatribusikan kepada Negara meskipun tindakan tersebut bersifat ultra vires (melebihi wewenang) atau bertentangan dengan hukum dan aturan di dalam negeri.18 Hal ini merujuk langsung pada prinsip yang terkandung dalam pasal 27

dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, dimana negara pihak tidak boleh berpegang pada ketentuan dalam hukum domestik sebagai pembenaran atas kegagalannya untuk melaksanakan perjanjian.

Pelaksanaan kewajiban negara dalam pemenuhan HAM terletak pada pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah memainkan peran yang bersifat komplementer. Setelah meratifikasi perjanjian HAM internasional, Negara dapat mendelegasikan pelaksanaan tersebut kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, termasuk pemerintah daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat mungkin perlu mengambil langkah-langkah di tingkat lokal, khususnya, untuk menetapkan prosedur dan mekanisme kontrol yang bertujuan untuk memastikan agar Negara memenuhi kewajiban HAM-nya. Pemerintah setempat berkewajiban untuk mematuhi, dalam kompetensi lokal mereka, dengan tugas-tugas mereka yang berasal dari kewajiban HAM internasional Negara. Perwakilan dari pemerintah daerah harus terlibat dalam penyusunan strategi dan kebijakan nasional HAM. Pemerintah daerah sesungguhnya merupakan pihak yang akan mewujudkan kebijakan tersebut di lapangan. Di Negara-negara yang terdesentralisasi, pemerintah daerah dapat memainkan peran yang lebih proaktif dan mandiri dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Kerjasama HAM yang dilembagakan antara pemerintah pusat dan daerah dapat memberi dampak positif pada tingkat pelaksanaan kewajiban HAM internasional oleh Negara. Untuk memenuhi tanggungjawab HAM-nya, pemerintah daerah harus memiliki kekuasaan dan sumberdaya keuangan yang diperlukan. Implementasi HAM yang memadai, terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, oleh pemerintah daerah membutuhkan sumberdaya keuangan yang tidak mudah tersedia; yang harus dipertimbangkan baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal yang terutama perlu ditekankan adalah bahwa kekuasaan apapun yang diberikan kepada

(34)

pemerintah daerah tidak akan efektif tanpa adanya sumberdaya keuangan untuk melaksanakannya.19

Prinsip tanggungjawab bersama dari tingkat pemerintahan yang berbeda untuk melindungi dan memajukan HAM telah beberapa kali digarisbawahi oleh badan-badan dan prosedur khusus perjanjian HAM. Dengan demikian, dalam alinea 12 Komentar Umum Nomor 4 (1991) tentang hak atas perumahan yang layak, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mencatat bahwa Negara-negara Pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya harus mengambil berbagai langkah “untuk memastikan koordinasi antara kementerian dan pejabat regional dan lokal dalam rangka menyelaraskan kebijakan (ekonomi, pertanian, lingkungan hidup, energi, dll.) dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam pasal 11 dari Kovenan”. Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, berbagai penyebab dan konsekuensinya, ketika mengunjungi Italia pada tahun 2012, tidak hanya berbicara dengan perwakilan pemerintah nasional dan berbagai organisasi non-pemerintah, tetapi juga mengunjungi Roma, Milan, Bologna dan Napoli, dan dalam laporannya (A/HRC/20/16/Add.2) secara eksplisit menyatakan pentingnya kemauan politik lokal untuk menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Dalam salah satu keputusannya, Pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa “pihak berwenang dari entitas wilayah suatu Negara merupakan lembaga hukum publik yang melaksanakan fungsi-fungsi yang ditetapkan dalam konstitusi dan aturan hukum. Dalam hal ini, Pengadilan HAM tersebut menegaskan bahwa “dalam hukum internasional istilah ‘organisasi pemerintah’ tidak hanya merujuk pada pemerintah atau organ sentral dari suatu Negara. Di Negara dimana kekuasaan disebarkan menurut jalur desentralisasi, maka hal ini mengacu pada otoritas nasional apapun yang melaksanakan fungsi publik”.20

Dalam konteks pemantauan pelaksanaan komitmen HAM internasional di dalam negeri, mekanisme PBB yang relevan dapat digunakan untuk melibatkan pemerintah daerah dalam dialog. Pemerintah daerah harus dilibatkan dalam tinjauan periodik universal berkenaan dengan pemerintah mereka; yang akan meningkatkan kualitas tindak lanjut rekomendasi yang disepakati. Rekomendasi yang dibuat selama tinjauan periodik universal dan Kesimpulan Pengamatan dari badan-badan perjanjian harus disebarluaskan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perlu juga untuk merujuk pada pedoman yang telah diharmonisasi tentang proses pelaporan kepada badan-badan perjanjian (HRI/ MC/2005/3) di mana negara-negara yang melakukan pelaporan didorong untuk memastikan bahwa departemen pemerintah di tingkat pusat, regional dan lokal dan jika memungkinan, di tingkat federal dan provinsi, ikut berpartisipasi dalam penyusunan laporan berkala (idem, alinea 50).

(35)

V. Peran pemerintah daerah dalam menghormati,

melindungi dan memenuhi HAM

Perundang-undangan di sejumlah negara - dalam beberapa kasus, di tingkat konstitusi - secara eksplisit mengharuskan pemerintah daerah untuk menghormati hak asasi manusia (misalnya negara Australia, Côte d’Ivoire, Maroko dan Slovenia). Di beberapa negara lain, persyaratan konstitusional ini berlaku untuk semua otoritas publik (misalnya Austria, Azerbaijan, Bosnia dan Herzegovina, Jerman, Kenya, Lithuania, Malaysia, Sudan Selatan, Spanyol dan Togo). Di Luxemburg, kekuasaan commune (unit pemerintahan terendah) harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dan ini berarti adanya kewajiban untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum. Di beberapa negara, tugas pemerintah daerah untuk memenuhi HAM dibatasi oleh hukum pada hak-hak atau prinsip-prinsip tertentu. Misalnya, UU Pemerintah Otonomi Daerah di negara Serbia menetapkan bahwa kota-kota harus menjamin upaya untuk memajukan dan melindungi hak-hak kaum minoritas dan kelompok etnis di negara tersebut. Di Irlandia, UU mengenai pemerintah daerah tidak secara khusus menyebutkan tentang pemajuan dan perlindungan HAM, tetapi dalam melaksanakan fungsi-fungsinya pemerintah daerah diwajibkan untuk memperhatikan akan perlunya mendorong inklusi sosial. Demikian pula, di India, UU tentang pemerintah daerah tidak secara khusus menyebutkan perlindungan HAM sebagai salah satu tanggungjawab; namun, fungsi kota sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi secara langsung berhubungan dengan HAM, seperti pelaksanaan inisiatif untuk inklusi yang demokratis, langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan dan sistem peradilan lokal.

Memiliki ketentuan hukum yang secara eksplisit mewajibkan pemerintah daerah untuk melindungi dan memajukan HAM tampaknya merupakan pendekatan yang lebih disukai. Pemerintah daerah pun dibuat sadar akan tanggungjawab HAM yang harus diembannya, memahami bahwa kegagalan untuk memenuhi tanggungjawab tersebut berarti adanya pertanggungjawaban di bawah hukum nasional serta tanggungjawab internasional dari Negara tersebut secara keseluruhan. Selain itu, ketentuan yang demikian secara jelas membebankan kewajiban pada pemerintah daerah untuk menerapkan pendekatan berbasis HAM dalam upaya menyediakan layanan publik sesuai dengan kompetensi yang diperlukan. Hal ini akan mendorong pemegang hak untuk menuntut hak-hak mereka dibandingkan dengan kewajiban-kewajiban pemerintah daerah.

Pemerintah daerah berada dekat dengan kebutuhan hidup warga sehari-hari dan menangani masalah HAM setiap hari. Oleh karena itu, terdapat hubungan yang jelas dan kuat antara HAM dan pemerintah daerah. Ketika menjalankan fungsi

(36)

mereka, pemerintah daerah mengambil keputusan terutama yang berkaitan dengan pendidikan, perumahan, kesehatan, lingkungan hidup serta hukum dan ketertiban, yang secara langsung berhubungan dengan pelaksanaan HAM, yang dapat memperkuat atau melemahkan kemungkinan warganya untuk menikmati hak-hak asasi mereka. Sesungguhnya sulit untuk membayangkan situasi dimana rakyat menyadari bahwa tidak ada pemerintah daerah untuk memberikan layanan yang mereka diperlukan. Dengan demikian, aparat pemerintah daerah bertanggungjawab atas berbagai masalah HAM dalam menjalankan pekerjaan mereka sehari-hari. Namun demikian, pekerjaan tersebut jarang dianggap sebagai bentuk pelaksanaan HAM, baik oleh pihak berwenang maupun publik. Akibatnya, HAM masih belum dijadikan kerangka acuan atau analisis di sebagian besar kebijakan dan praktek di tingkat lokal, sementara hal ini dalam kenyataannya merupakan pelaksanaan HAM.21 Dengan demikian, perlu diingat bahwa dampak

nyata dari hak asasi manusia dirasakan di tingkat lokal.

Tanggungjawab HAM pemerintah daerah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama: kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi dan kewaijban untuk memenuhi. Kewajiban untuk menghormati berarti bahwa pejabat daerah tidak boleh melanggar HAM melalui tindakan mereka sendiri. Oleh karena itu, pemerintah daerah tidak boleh mengganggu penikmatan hak dan kebebasan semua warga yang berada di bawah wilayah kekuasaaanya. Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, pemerintah daerah tidak boleh melarang umat beragama, di luar keterbatasan yang diperbolehkan, dari menggunakan alun-alun atau gedung pemerintah kota untuk perayaan keagamaan. Mengenai hak atas kesehatan, pemerintah daerah tidak boleh mencabut hak masyarakat atau kelompok tertentu untuk mengakses fasilitas layanan kesehatan. Kewajiban untuk melindungi memerlukan langkah-langkah yang memastikan bahwa pihak ketiga tidak melanggar hak-hak dan kebebasan individu. Sebagai contoh, pemerintah daerah diharuskan mengambil tindakan untuk memastikan agar tidak ada pihak lain yang mencegah anak-anak dari mengenyam pendidikan. Kewajiban untuk melindungi dapat berupa upaya menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih aman untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan, misalnya terhadap perempuan. Kewajiban untuk memenuhi berarti bahwa pemerintah daerah harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi penikmatan hak dan kebebasan. Sebagai contoh, pemerintah daerah wajib memenuhi hak atas pendidikan dengan mempertahankan sistem pendidikan yang baik. Dalam upaya menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak individu agar tidak mengalami diskriminasi, mekanisme HAM lokal seperti ombudsman atau lembaga khusus anti-diskriminasi dapat dibentuk.

(37)

terhadap hak asasi semua individu dalam wilayahnya melalui pendidikan dan pelatihan. Secara khusus, pemerintah daerah harus mengatur secara sistematis, pelatihan HAM bagi wakil-wakil terpilih mereka dan staf administrasi serta penyebarluasan informasi yang relevan bagi warga tentang hak-hak mereka. Dengan memajukan HAM, pemerintah daerah dapat ikut membangun budaya HAM di masyarakat.

Pemerintah daerah harus memberi perhatian khusus terhadap perlindungan dan dorongan terhadap hak-hak kelompok rentan dan kurang beruntung, seperti penyandang cacat, etnis minoritas, masyarakat adat, korban diskriminasi seksual, anak-anak dan manula. Dalam hal ini, kualitas layanan pemerintah daerah untuk kelompok-kelompok tersebut “menguji” sejauh mana pemerintah daerah secara nyata menghormati HAM.22.

Di sejumlah negara, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengarusutamakam HAM ke dalam kegiatan pemerintah daerah. Dengan demikian, berbagai langkah telah diambil untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang partisipatif, melakukan audit dan penilaian dampak berbasis HAM, merangkai ulang berbagai permasalahan lokal sebagai masalah HAM, membuat prosedur untuk memverifikasi kesesuaian kebijakan dan peraturan daerah dengan HAM, melaporkan kepatuhan pemerintah dearah pada perjanjian HAM, memberi alokasi yang jelas dalam anggaran pemerintah kota bagi pelaksanaan HAM, memberikan pelatihan HAM secara sistematis untuk PNS daerah, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HAM, dll. Penyusunan piagam HAM di tingkat lokal (atau, lebih baik peraturan HAM yang mengikat piagam secara hukum)23

yang menetapkan tanggungjawab HAM tertentu pada pemerintah daerah dapat menjadi langkah penting lainnya menuju upaya melokalisasi HAM. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah sangat diharapkan untuk dapat mendirikan kantor HAM dengan sumberdaya manusia dan keuangan yang memadai sehingga dapat sepenuhnya menangani masalah HAM sesuai kompetensi lokal masing-masing.

Berikut ini adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi pemerintah daerah dalam upaya untuk memajukan dan melindungi HAM: lemahnya kemauan politik, tidak adanya visi/perencanaan jangka panjang dan/atau komitmen; kurangnya otonomi, kapasitas kelembagaan dan/atau sumberdaya; masih berkuasanya rezim sentralistik dan/atau non-demokratis; konflik dan ketegangan politik di dalam negeri; situasi ekonomi yang sulit di dalam negeri; tidak adanya pengakuan atas peran dan partisipasi masyarakat sipil; kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah; dan kurangnya pemahaman HAM di tingkat pemerintah daerah.

(38)

VI. HAM di kota: kerangka konseptual dan prinsip-prinsip

dasar

Gagasan tentang “HAM di kota” adalah salah satu inisiatif yang dikembangkan secara global yang bertujuan untuk melokalisasi hak asasi manusia. Hal ini didasarkan pada pengakuan bahwa kota merupakan pemain utama dalam upaya perlindungan dan pemajuan HAM dan mengacu secara umum pada kota yang mana pemerintah dan penduduknya secara moral dan hukum diatur oleh prinsip-prinsip HAM. Inisiatif ini berasal dari gagasan bahwa agar norma dan standar HAM internasional menjadi efektif, semua penduduk kota perlu mempelajari dan memahami HAM sebagai kerangka kerja untuk pembangunan yang berkelanjutan dari masyarakat mereka. Konsep ini diluncurkan pada tahun 1997 oleh Gerakan Rakyat untuk Pendidikan HAM, suatu organisasi nirlaba layanan internasional.24

Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut, terutama sebagai konsep normatif, oleh Forum Dunia tentang HAM di Kota yang berlangsung setiap tahun di kota Gwangju (Korea Selatan).

Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota25 yang diadopsi pada tanggal 17 Mei

2011 mengartikan HAM di kota sebagai suatu proses masyarakat lokal dan sosial-politik dalam konteks lokal di mana HAM memainkan peran utama sebagai nilai-nilai dan prinsip-prinsip mendasar.26 Suatu kota yang ramah HAM membutuhkan

tata pemerintahan HAM secara bersama dalam konteks lokal dimana pemerintah daerah, DPRD (Dewan), masyarakat sipil, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua warga dalam semangat kemitraan berdasarkan standar dan norma-norma HAM. Pendekatan HAM dalam tata kelola pemerintahan lokal meliputi prinsip demokrasi, partisipasi, kepemimpinan yang bertanggungjawab, transparansi, akuntabilitas, non-diskriminasi, pemberdayaan dan supremasi hukum. Konsep kota yang ramah HAM juga menekankan pentingnya untuk memastikan partisipasi secara luas dari semua aktor dan pemangku kepentingan, terutama kelompok marginal dan rentan, serta pentingnya mekanisme pemantauan dan perlindungan HAM yang efektif dan independen yang memberikan setiap warga sarana sebagai jalan keluar. Konsep ini mengakui pentingnya kerjasama di tingkat lokal dan internasional dan solidaritas di kalangan kota-kota yang terlibat dalam memajukan dan melindungi HAM.27

Faktor-faktor berikut ini dapat diindikasikan sebagai alasan utama yang telah menyebabkan munculnya “kota yang ramah HAM”: (a) pergeseran dari penetapan standar ke implementasi, terutama pada tingkat pemerintahan, yaitu pemerintah daerah, yang berada pada posisi terbaik untuk mewujudkan hak asasi manusia, khususnya hak-hak ekonomi dan sosial; (b) tren global, dimulai pada tahun

(39)

1980-an, menuju desentralisasi kekuasaan pemerintah - dimana sebagian besar negara di dunia memang dalam beberapa dekade terakhir telah mengalihkan kekuasaan ke pemerintah daerah; (c) perubahan demografi global: pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia hidup di daerah perkotaan, dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi hampir 5 miliar orang pada tahun 2030. Daerah perkotaan mempunyai potensi unik untuk memberdayakan manusia dan memecahkan masalah sosial dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama, kota-kota menghadapi berbagai tantangan dalam hal kohesi sosial. Apabila orang dari berbagai bidang dan latar belakang berkelompok bersama dan biasanya pindah ke kota untuk mendapatkan otonomi individu, baik warga maupun pemerintah berusaha untuk mengidentifikasi wacana yang dapat menyatukan penduduk perkotaan dan membentuk suatu kerangka acuan dalam upaya untuk mencapai harapan bersama antara kota dan warganya.28.

Prinsip-prinsip Gwangju untuk HAM di Kota yang diadopsi pada tanggal 17 Mei 201429 pada Forum Dunia tentang HAM di Kota ke-4 yang mengandung

prinsip-prinsip kota yang ramah HAM berikut ini: hak atas kota (right to the city); non-diskriminasi dan tindakan afirmatif; inklusi sosial dan keragaman budaya; demokrasi partisipatif dan pemerintahan yang akuntabel; keadilan sosial, solidaritas dan keberlanjutan; kepemimpinan dan pelembagaan politik; pengarusutamaan HAM; lembaga dan koordinasi kebijakan yang efektif; pendidikan dan pelatihan HAM; dan hak atas pemulihan atau penyelesaian (right to remedy).

Sejumlah kota di seluruh dunia telah resmi menyatakan dirinya sebagai “kota yang ramah HAM”,30 dan sejumlah jaringan kota internasional telah dikembangkan.

Berbagai konsep lain telah dikembangkan, baik dalam hal doktrin maupun praktek, yang intinya mengejar tujuan yang sama. Salah satunya adalah “hak atas kota” yang pertama kali diungkapkan oleh filsuf Perancis Henri Lefebvre;31 konsep

ini mengacu terutama pada hak warga dan “pengguna” kota untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan lokal dan menetapkan tata ruang kota.32 Sejauh ini

konsep “hak atas kota” telah dilembagakan secara terbatas, contohnya Statuta Kota di Brasil (2001),33 Piagam Hak dan TanggungJawab Montreal (2006)34 dan

Piagam Kota Meksiko untuk Hak atas Kota (2010).35 Yang terakhir ini menetapkan

enam prinsip dasar yang sangat diperlukan untuk memajukan hak atas kota: (a) pemenuhan HAM sepenuhnya di kota; (b) fungsi sosial kota, lahan dan properti; (c) pengelolaan kota yang demokratis; (d) produksi demokratis dari kota dan di kota; (e) pengelolaan berkelanjutan dan bertanggungjawab dari sumberdaya milik bersama (alam, warisan budaya dan sumberdaya energi) dari kota dan sekitarnya; dan (f) penikmatan kota yang demokratis dan adil.

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk melihat berapa kadar beta- karoten dari kulit buah naga merah hasil ekstraksi sehingga dapat dijadikan

Hasil GC-MS Sargassum pada hasil fraksinasi, fraksi ke 2 dari Wediombo menunjukkan hasil adanya 22 senyawa aktif yang dapat berperan sebagai antioksidan, prekusor polimer

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana bentuk saluran pemasaran buah kelapa di Desa Pongongaila Kecamatan Pulubala Kebupaten Gorontalo dan Berapa margin

Hal tersebut, karena dalam pembelajaran, guru kelas V A di SLB Negeri Pembina Yogyakarta telah menggunakan metode demonstrasi dan latihan untuk mengajarkan keterampilan

Untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengaruh ekuitas merek, bauran pemasaran dan kualitas pelayanan terhadap kepuasan konsumen sehingga berpengaruh juga

Dengan sebuah website yang online di internet, masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan mengetahui segala sesuatu mengenai SMP Azharyah Palembang dengan cepat

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak